Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 16
Tek Hoat
yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah
menghilang, apa lagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi
jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah
mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu
penuh dengan mata-mata musuh. Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan
pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk
menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah
ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!
Pasukan
Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah
bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin
untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh
Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas
dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang
karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah
dan yang terutama sekali banyak perempuan tawanan!
Pangeran Tua
Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng
Teng-bun bersama Panglima Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan
pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah
Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan
benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu.
Biar pun
hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun
Tek Hoat tidak berani membantah, apa lagi saat itu memang merupakan saat yang
penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk
sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar
Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.
Para
penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin
dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini
mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh
prajurit-prajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar.
Perang
memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya
yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang
selalu dipergunakan oleh manusia penguasa untuk memuaskan hawa nafsunya. Dalam
penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk
pembersihan dan menangkapi mata-mata musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak
diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat
aneh, kejam dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa,
dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan
penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat. Yang
termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang.
Penyogokan
atau sumbangan paksaan setengah merampok, mengambil benda-benda berharga yang
kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa
menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar ‘menghibur’ Sang
Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan
tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di
dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa
melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggota tentara. Banyak pula orang
yang ditangkap dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya
untuk pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi!
Para
pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Jenderal Kao dan Puteri
Milana, juga anggota Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai
pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka
telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan. Setelah main
kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan
pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama
belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung
karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga
dengan ketat oleh pasukan pemberontak.
Cuaca senja
remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari
akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.
“Kita
bongkar tembok saja.”
“Ah, akan makan
waktu terlalu lama.”
“Selain itu
juga berisik dan tentu ketahuan penjaga.”
“Temboknya
tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap.”
Selagi
mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang
tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara
mereka memberi isyarat, “Sssttt... ada orang...!”
Bagaikan
segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke
sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi! Si Gendut yang
memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan
tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si
Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga,
bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh
kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.
“Ssst, A
Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kau mintalah
tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita
pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang
panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini,”
berkata Si Gendut kepada temannya.
A Ciang
mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, kemudian keluar dari tempat
persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu
datang mendekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara! Dia terpesona
menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar
ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita
luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan
senyumnya. Tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada
bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang buah
dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat
seorang wanita secantik ini!
Ketika
wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam
dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi
pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A
Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.
“Engkau mau
apa menghadang perjalananku?” Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan
merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara.
A Ciang
menelan ludahnya sebelum menjawab. “Maaf... Nona, saya... saya, ehhh, ingin
minta tolong kepada Nona...”
“Minta
tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah
kalian perampok?”
Mendengar
ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya
bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka
dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari
sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena
percuma bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula,
seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.
“Mereka
adalah kawan-kawanku...,” A Ciang berkata.
Akan tetapi
Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu. “Kouw-nio (Nona), harap
suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami
akan dibunuh oleh serigala-serigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan
mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah
orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan
badan demi negara dan rakyat...”
Wanita itu
menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apa lagi karena dia
memang memiliki sepasang mata yang amat bagus. “Jadi kalian ini adalah
mata-mata kerajaan?”
“Bukan, kami
adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah menghadapi pemberontak
hina. Harap Nona suka membantu kami.”
“Keluar dari
tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus menggunakan tali?”
“Ahhh,
Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio juga
mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih aman?” Si Gendut bertanya.
Wanita itu
menggelengkan kepala. “Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi
tanpa tali.”
Semua orang
yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan terbelalak. “Tanpa
tali...?” Si Gendut bertanya.
“Nona yang
baik, harap Nona suka mengajari saya agar kami dapat keluar dari sini
sebaiknya,” kata A Ciang.
Wanita itu
memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar aneh, kemudian dia tersenyum. “Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah
sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian.” Setelah berkata demikian, wanita
itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita
itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.
“Mampus! Dia
melapor kepada penjaga!”
“Wah, dia
siluman, kita akan celaka!”
“Hushhh,
harap tenang dulu, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan
mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!” kata A Ciang kepada teman-temannya
dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!
“Terima
kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kata wanita itu kepada A Ciang sambil terus
melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir
copot rasanya. “Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?” tanya wanita
itu sambil tersenyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan
orang ini.
Si Gendut
yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali,
kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung
yang lain lagi. Batu itu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu
tertarik dan menegang. Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik
saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa
mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si
Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga
setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.
“Sayang
tidak ada besi pengait...,” Si Gendut akhirnya berkata jengkel.
“Berikan
padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas,” tiba-tiba wanita itu
berkata.
Si Gendut
meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan
menyerahkannya kepada wanita cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika A
Ciang menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru
kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki
tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia
memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat
buah pinggulnya seperti menari-nari, menghampiri tembok benteng, kemudian
mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada
tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu... mulailah
dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor
cecak merayap tembok! Oleh karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak,
membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.
“Aihhh...
dia lihai sekali...!”
“Dan cantik
bukan main...”
“Seperti
bukan manusia...!”
“Dia seperti
Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja...!”
“Wanita
hebat!”
“Betapa
bahagianya pria yang memiliki dia!”
Demikian
seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap
gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu
telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang
berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak
ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka
telah bertepuk tangan dan memuji.
Wanita itu
lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri.
“Panjatlah!” perintahnya.
Tentu saja
semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali
yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?
“Talikan
ujungnya...!” kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu
tidak dapat mendengarnya, demikian pikir teman-teman yang lain.
“Biar aku
yang memanjat lebih dulu. Dia lihai sekali, tentu dia kuat menahan dengan
tangannya,” kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap
naik menggunakan kedua tangan dan kakinya.
Benar saja.
Tali itu tetap saja menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat
kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini
bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biar pun pada tali itu kini
bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah
tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!
Setelah
belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung
tali di atas tembok dan melempar tali ke luar sehingga tergantung di luar
tembok. “Nah, turunlah!” katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke
bawah!
“Bukan
main...!”
“Hebat
sekali dia...!”
Semua orang
memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari
tempat yang demikian tingginya, melayang seperti seekor burung saja karena dia
mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung
mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan
melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan
sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk
mematahkan tenaga luncuran tubuhnya yang melayang tadi.
Sejenak
semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya
memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang
kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua
orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di
atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.
Pada saat
itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang
melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.
“Lari...!
Kita berpencar...!” Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke
pelbagai jurusan.
“Kau lari
bersamaku, A Ciang!” tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang.
Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka
tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui
tali
A Ciang
tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia
merasa tubuhnya ‘diterbangkan’ oleh wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada
yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan
masing-masing.
Mereka
bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat
tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan
orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut
memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andai kata ada yang tertangkap
atau terbunuh, tidak semua anggota rombongan itu menjadi korban seperti kalau
nekat melawan di tempat berbahaya itu.
Komandan
pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah
dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam
benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan
dengan lima puluh orang prajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu
adalah seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan
menunggang seekor kuda putih.
Para anggota
Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat
mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita
itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke
dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia.
Dia
menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang
itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang
terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya
berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau
ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan
mereka yang aneh.
“Ahhh,
Kouw-nio...!” Terdengar suara A Ciang gagap.
“Hemmm,
kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau...
hem...?” Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor
kucing.
“...Koauw-nio...
kau cantik sekali...”
“Kau suka?
Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka... hemm...”
“Kouw-nio...
hemmm...!”
Tak
terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun
alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian
terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong
tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah,
kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar
terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang
mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.
Dan memang
ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan
kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi
berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka
berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya, “Keparat, di
tempat begini ada kucing kawin!”
“Ihh,
bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?”
“Coba
dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara
kucing indehoi, bukankah sama benar suaranya?”
Mereka berdua
kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara
kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang
marah, kadang-kadang juga halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih.
Menyeramkan!
Sementara
itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang
ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan
perwira itu memandang dengan penasaran. “Serbu ke dalam ladang!” perintahnya
kepada pasukan yang tidak berkuda. Belasan golok prajurit yang memegang perisai
dan golok menyerbu ke dalam ladang itu.
Yang tampak
hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut
robohlah enam orang prajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang
dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja
sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan
tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para prajurit
pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali
diserang secara tiba-tiba.
Perwira itu
agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak
buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian
tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba, “Bakar...!”
Ladang
ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin
lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut
sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api
yang mengancam mereka.
Sementara
itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan
ancaman api yang makin ke tengah. Tiba-tiba terdengar lengking tinggi
mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam
keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan
berloncatan, tidak menjauhi pasukan yang mengejar para pelarian yang lain,
melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya
bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Tanah dan batu
muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke
kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan
ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda
bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul.
Perwira muda
itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak
yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk
mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih
prajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.
Si Gendut
dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia
berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang
laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati.
Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang
yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang
tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya
tersenyum!
Beramai-ramai
mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A
Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang
ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung
kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh
di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.
Dengan sedih
juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu
mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat
lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang
pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mukjijat yang dapat meledak.
“Mengapa A
Ciang mati?” Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati
semua orang.
Mereka
menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita
cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita
itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa
bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini
wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.
Siapakah
sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat
menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik
ini adalah sukouw-nya yang kedua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw
Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang
merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari
Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi
sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari
kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama
dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi
Ketua Lembah Hitam.
Hek-tiauw
Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek
Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee
dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Ada pun yang kedua
adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!
Tidak ada
orang mengenal nama aslinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara
orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Si Siluman Kucing atau Sang Kucing Liar.
Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapa pun
gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar
ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang
laki-laki, tua mau pun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah
tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li.
Cantik
jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing,
tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya
mulus melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut
hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang
itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum
puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh namun menarik. Rambutnya
dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau.
Alisnya
hitam kecil panjang tanpa dibantu alat hiasan, memang bagus bentuknya, dan
sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang
dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti
baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara
rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut
dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya lentik panjang, menambah
keindahan sepasang mata itu.
Hidungnya
sedang saja, akan tetapi mulutnya! Hemm, banyak pria menelan ludah kalau
menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan
kemesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi
oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung
yang penuh kewanitaan dan kelembutan.
Pendeknya,
Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk
membangkitkan gairah birahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan
kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di
balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat
semua orang bergidik dan merasa ngeri.
Wanita ini
dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan
kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di
utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita
ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau
terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam
keadaan yang mengerikan!
Siluman
kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus
akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda
karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu
menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan
tetapi semua itu telah gagal.
Ada yang
mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan.
Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang sangat binal. Kemudian
dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea,
yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya
melebihi orang-orang muda!
Setelah
menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau
‘suami’ wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah
menjadi bosan karena memang kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh
gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa
cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian
hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai
menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah,
dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-wan Kui-bo, bahkan karena ‘suaminya’ amat sayang kepadanya, dia diberi
ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suheng-nya dan
melebihi suci-nya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap
sang kekasihnya yang tidak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu
itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia kemudian meninggal dunia,
meninggalkan tiga orang muridnya.
Wanita
cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda.
Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki
ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan
yang telah ‘matang’, dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia
menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu
dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan
tampan.
Tentu diculiknya
pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap
rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh
dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan, belaian dan permainan cintanya sehingga
seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun
tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering,
kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!
Entah sudah
berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi
korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk
pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia
masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria
saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman
hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan
hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar
dari kenikmatan.
Ciri khas
dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti
kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya
apa bila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung,
senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah
yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!
Selama
bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan
Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di
antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di
kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea. Dunia
kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan
tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw
Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke
Koan-bun.
Seperti kita
ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak
karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu
pemberontak. Ada pun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai
ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan.
Kebetulan dia melihat rombongan anggota Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari
kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya
malam itu.
Kini, Si
Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur
itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka.
Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke
tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima
belas orang.
“Kita tidak
bisa lari,” Si Gendut berkata. “Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak
oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka
pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan
pemerintah.”
“Ihh...
begitukah seharusnya sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti
segerombolan pengecut?” Tiba-tiba terdengar suara halus ini.
Mereka
terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita
cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang
ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena
munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak
ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan kematian A
Ciang yang demikian anehnya.
“Ahh,
kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan
Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio
adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit,” kata
Si Gendut.
Bibir yang
merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!
“Kalau
kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa kalian tak menyambut mereka
dengan perlawanan?”
“Jumlah kami
hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih...”
“Lima belas
orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat
membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan
menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih
sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi
mereka.”
Semua, orang
berseri wajahnya. “Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami
takuti? Kami tidak takut sekarang!” Si Gendut berkata.
“Benar, kami
tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!” teriak seorang lain,
yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu
dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang!
Mereka lalu
keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri
memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda
berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan
lihai.
“Kalian
permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku saja
yang menghadapinya!” Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum manis dan dari
kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar
ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka
akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.
“Cepat
menyebar dan bersembunyi...!” Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah
mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu
kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan
dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada
perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat
kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.
“Haii kalian
mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum. “Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda
yang gagah perkasa?” Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang
meringkik-ringkik itu.
Perwira muda
itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu
terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya. Akan tetapi karena
dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak pula orang yang pandai dan
merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru
keras dia lalu menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu
sambil mengayun pedangnya.
Akan tetapi
dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang prajurit
menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk
membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil
tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa
dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya
diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.
“Ihh,
benarkah engkau kejam hendak membunuhku?” Mauw Siauw Mo-li bertanya halus
sambil terkekeh dan matanya mengerling genit.
Pedang itu
bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu
yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung
walet. Tiba-tiba dia berseru, “Turunlah kau!” dan sambil mengelak tangannya
terus menyambar ke samping.
“Crotttt...!”
Tangan yang
berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti
ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan
ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia,
terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu.
Melihat
komandannya jatuh, delapan orang anggota pasukan cepat menerjang wanita itu
sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan
dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja, tubuhnya
tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan. Hebatnya, siapa
saja yang berani mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya
terlempar sebab dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu
sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok.
Sementara itu,
Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan
berhasil merobohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba, lalu menyelinap
dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di
tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda
masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil
menunggang kuda.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang
adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari
kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan
berkuda untuk mendatangkan bala bantuan.
Melihat ini,
paniklah para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biar pun
tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para
anggota pasukan itu sekarang mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok
mengandalkan banyak orang, maka Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani lagi
sembarangan menyergap seperti tadi.
Sementara
itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biar pun
tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil
tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.
“Darrrrr...!”
Benda itu
meledak dan belasan orang prajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para
pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri.
Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka
memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah
lenyap.
“Kejar
mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang
tentu menjadi pemimpin mereka!” Perwira itu dengan hati penasaran dan marah
memberi aba-aba.
Terjadilah
kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggota
Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi
di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu
kapur terakhir, dekat gurun pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa
lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi, ketika itu hari telah
berganti malam dan baik yang dikejar mau pun yang mengejar telah merasa lelah
sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat.
Dapat
dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka
dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada
ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan
lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan dan minum
ransum dari perlengkapan mereka.
Akan tetapi
malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi
keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum
sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah
aneh. Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun,
wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat
membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat
yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal
yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana
datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin
dekat di tempat itu.
“Kucing
keparat!” Seorang prajurit memaki sambil menyambar tombaknya. “Kalau kau dapat
olehku, akan kusate dagingnya!”
“Haii,
Lai-ciangkun ke mana?” Teriakan ini terdengar dari seorang prajurit yang tadi
duduknya tidak jauh dari perwira itu.
Semua orang
memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang,
sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap!
Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru saja dimakannya,
terguling dan sepasang supitnya juga berceceran.
Semua orang
mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh
terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja
tidak berani sebab tak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa
berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh
dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa
menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi.
Sementara
itu pula, di antara batu-batu gunung kapur di mana Si Gendut dan kawan-kawannya
bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh khawatir,
juga terjadi peristiwa yang menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang
itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing
mengeong-ngeong!
Dan suara
kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika
bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina
merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu
kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua
menjadi seram dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam
sebuah goa, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka
tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu
pertempuran gerilya siang tadi.
“Menyeramkan...!”
Si Gendut mengomel.
“Tentu suara
siluman kucing.”
“Mengingatkan
aku akan kematian A Ciang.”
“Hushhh,
jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini.”
“Ah, mana
bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu,
berulang-ulang. Tapi itu... hemm, dengarkan... suaranya merengek tinggi rendah,
persis suara kucing kawin!”
“Suaranya
datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar...”
“Sudah,”
kata Si Gendut akhirnya untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya. “Suara
apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan
diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita
semua akan mati konyol.”
Suara kucing
itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti
beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan
sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati
mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di
tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang
berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia
itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.
Pada
keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga
belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit
terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak
terdengar lagi sejak tadi.
Tiba-tiba
mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua
berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam
keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan
setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka.
Rambut
wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai
ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang
mengulet. Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang
sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat
tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat
sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat
dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang
tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan
lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apa
lagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat
setumpuk pakaian perwira!
Teringat
kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman
inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk
menerjang maju sambil berseru, “Siluman kucing keparat!”
Dua belas
orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir
rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut
menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat
digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia
amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu
takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah
menggigil. Apa lagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang
benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi,
seluruh tubuhnya menggigil.
“Hi-hi-hik!”
Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di
atas batu.
“Ahhh...!”
“Ohhhh...!”
“Kouw-nio...!”
Semua orang
terbelalak memandang. Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah
menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian
dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk tubuhnya yang
mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya
bersinar-sinar.
“Kalian
memaki aku siluman kucing keparat? Nggg...!”
Kembali
terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba
mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun
dan menyambar ke arah mereka.
Terdengar
bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu.
Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing
merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut
yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing
Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya
menyambar ke depan.
“Crottt...!
Retttt...!”
Tubuh Si
Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mauw
Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku
tangan kiri, juga mengucurkan darah.
Orang kurus
pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia
pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan
wanita itu sudah lenyap dari situ. Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya
yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh
bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia
dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan
melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau
Lu-bengcu.
Rombongan
pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah
tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika
menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat,
mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat
menyenangkan. Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan
yang berserakan malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas
cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa
pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun
untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara
tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing.
***************
Wajah Ceng
Ceng menjadi merah saking marahnya mendengar pelaporan anggota Tiat-ciang-pang
yang kurus bermuka pucat itu. Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya
di tangan Siluman Kucing, dia hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi
mendengar akan sikap Tek Hoat yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari
jejak pemuda laknat musuh besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak
mencampuri urusan pemberontakan, dia menjadi marah.
“Keparat,
manusia itu memang palsu dan licik!” bentaknya sambil mengepal tinju.
“Dia memang
seorang kaki tangan pemberontak, Nona,” Si Topeng Setan yang selalu menemaninya
itu berkata lirih.
“Itulah yang
menjemukan! Dia menjadi wakilku, dan sekaligus dia menjadi kaki tangan
pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula.
In-kong, secepatnya kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah
membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!” Biar pun Si
Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong
(Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia
menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi
dan tentu saja untuk membantunya membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang
dia tahu amat lihai itu.
“Akan
tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa
artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini
menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?”
“In-kong,
apa engkau tidak mendengar pelaporan tadi? Di utara sudah mulai geger,
pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan
tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk
menumpas pemberontak. Bagaimana kemudian aku dapat tinggal diam saja?
Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah
kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas
pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam saja melihat negara dalam
bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?”
Sepasang
mata Topeng Setan tampak berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan
melihat sikap ini. “Akan tetapi, engkau juga mempunyai urusan pribadi yang
lebih penting lagi, bukan?”
Ceng Ceng
mengepal tinjunya. “Tentu! Urusan pribadiku itu adalah urusan mati hidup,
selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat
kubunuh!” Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah
dia tidak setuju dengan sikap ini. “Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan
negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua
patriot, walau pun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah
mengusir pemberontak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh
besarku di sana!”
Topeng Setan
tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggota Tiat-ciang-pang dan
memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil
untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang
golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng
Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja.
“Pada saat
seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan
hanya manusia-manusia tidak berguna saja, tetapi kalau keadaan menghendaki,
kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan-segan pula mengorbankan nyawa
demi negara. Negara kini terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka
berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti
pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggota Tiat-ciang-pang yang telah
mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi
sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah.”
Ceng Ceng
memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu
caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan
dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh
mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke
utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia
sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara.
Seperti
telah dilakukannya sejak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di
sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada
Ceng Ceng, yang lalu dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau
melewatkan malam. Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang
diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang
sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu
silatnya sendiri yang dia pelajari dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat
ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan.
Tetapi, Si
Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan
memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu
dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran
dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh
rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan
jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.
Dia tak
memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah
saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja
menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya,
Topeng Setan dengan mudah akan mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan
semudah itu. Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling
berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan
rahasianya, akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng
dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi
pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji.
Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat
ditutupi itu?
Betapa pun
juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung
dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan
berkata, “In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu
menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kau rahasiakan sekali.
Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali
tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian
rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?”
Seperti tak
disadari, Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng menggenggam sebuah batu
dan batu itu remuk menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia
menarik napas panjang dan mengangguk. “Memang aku takut.”
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. “Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah
tidak mempunyai rasa takut lagi, apa lagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian
begitu tinggi! Siapa yang kau takuti itu?”
Sejenak
Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi
tak lama kemudian laki-laki itu berkata, “Aku takut kepada diriku sendiri...”
“Ehhh...?”
Ceng Ceng berseru keras, “Mengapa...?”
Topeng Setan
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia pun berkata, “Nona sudah
banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?”
“Hemmm,
boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula.”
“Nona
mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan
mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak
tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan
menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek
Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pemberontakan dari pada
mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci
musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?”
Ceng Ceng
menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian
mengangkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng
kepalanya. “Itu... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada
orang lain.”
Sejenak
sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya
Ceng Ceng yang lebih dulu berkata, “Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi
tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya
sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam
rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu.”
Topeng Setan
mengangguk-angguk setuju. Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika
Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan
menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali! Melihat
keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun menjadi lupa akan
kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya
sedang melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan
nasibnya yang buruk.
Akan tetapi
melihat temannya begitu berduka, biar pun tidak kentara akan tetapi melihat
pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam, dia dapat
menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu
meloncat bangun dan berkata, “Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat
kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!”
Topeng Setan
terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi
bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah
bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.
Beberapa
hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tak
jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dari jauh mereka sudah mendengar
suara perang yang amat gaduh. Ketika lari mendekat, mereka melihat pertempuran
yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang
amat kuat. Hampir rata-rata anggota pasukan liar itu terdiri dari orang yang
tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam
pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekali
pun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian
kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki
dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.
“Ahh...
mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!” Ceng Ceng berseru.
Dia pernah
melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika
dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan
liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon. Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari
cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki
dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang jumlahnya sudah
tinggal seperempat itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu
gerbang didobrak bobol dari luar, dan membajirlah pasukan liar itu memasuki
dusun Ang-kiok-teng.
Dugaan Ceng
Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang
memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah
‘diberikan’ oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas
dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon
beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun dan seluruh
penduduknya itu!
Panglima
Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu
memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah
mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan
liar itu hebat bukan main dan biar pun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak
mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun
Ang-kiok-teng.
Panglima
Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan
penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar supaya penduduk Ang-kiok-teng
tidak menjadi panik, melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu
pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma
saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar.
Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.
Selagi
Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak
buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang
pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, namun Ceng Ceng
berseru, “Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi
komandan!”
Thio-ciangkun
terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.
“Siapa kami
bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya
pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun
yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi.”
Thio Luk
Cong memandang penuh selidik, lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan
berkata, “Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi...”
Pada saat
itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh
perwira itu.
“Huhhh!” Si
Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya, ketika kedua tangannya
bergerak, dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia
melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar
terjengkang roboh
Kiranya pasukan
liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini
diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang
menyerbu.
Di dalam
dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak
ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri
manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan pada
waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain. Pasukan liar di bawah
pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan
pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang
seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun.
Semua kaum
pria, baik yang masih kanak-kanak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di
tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula.
Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu malah seakan
mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah semua
perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari
kekuasaan dan kemenangan.
Kaum wanita
mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi. Mereka diseret, dikumpulkan di
jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari
anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan
ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak
tawa. Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung
tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.
Pasukan yang
merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh
mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa,
mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta
menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka
yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang
dipilihnya sendiri! Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para
pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru
setelah ada komando dari raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar
berpesta pora untuk diri mereka sendiri!
Sisa pasukan
pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu
samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang
lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan
sampai titik darah terakhir! Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi
serbuan para pasukan itu, biar pun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan
yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya
habislah semua prajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa
meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama kelima orang
pengawal pribadinya siap untuk membela diri.
“Jangan
khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!” kata Ceng
Ceng dengan gemas, apa lagi dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa
penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di
jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!
Sambil
bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah
bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya
untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak
amat perlu. Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama
Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang
begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang
dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok
Mo-li.
Setelah
menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam
menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara. Racun yang
merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak.
Akan tetapi
tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara! Mula-mula hanya beberapa
orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan,
bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang
amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan,
merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka. Dan hal aneh ini disusul
oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan
akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggota pasukan liar itu bergulingan,
saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal
yang menyiksa tubuh mereka!
Tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa-sisa pasukan liar cepat mundur
menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang
laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang kedua
berpakaian pelajar.
Mereka ini
bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok,
keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggota
pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara,
mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari
menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi
terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya
seperti itulah.
“Hemm, dia
menggunakan racun yang amat berbahaya!” kata Liauw Kui.
“Kalau tidak
ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!” kata pula Yu Ci Pok.
“Kita harus
melaporkan kepada Sri Baginda!” Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau
kita harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat
merugikan dan hebat.
“Benar,
harus lapor,” dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka
pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan
pasukannya itu.
“Kurung
menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!” Kimonga lalu mengatur
pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang prajurit yang
siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun
itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara.
Raja
Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus
orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja
yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah seorang yang haus wanita, sungguh
pun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita
rampasan sebagai hasil menang perang. Akan tetapi wanita-wanita dusun itu
baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang
dipilihnya.
Dia menunjuk
dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira. Gadis itu
dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu.
Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak
mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu birahi, yaitu mata dari para tentara
pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggota badan
mereka dengan rambut dan tangan, tetapi hal ini justru menambah gairah mereka
yang memandangnya.
Setelah
memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang
rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat
dibilang kaya-raya. Pada saat itu datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok yang
melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.
“Keparat!
Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran saja
kepada mereka?” bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa lebih dari seratus
orang-orangnya sekarat di bawah menara.
“Kami
menantikan perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya
menyelamatkan anak buah kita itu,” Yu Ci Pok menjawab.
Dengan
langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke
menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula
seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas
menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.
“Gendewaku...!”
Raja Tambolon berseru.
Cepat salah
seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang
amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang
anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak
panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang
berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.
“Reeeettt...
singgg...!”
Bagaikan
kilat anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon
menganggap bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya
merupakan lawan berat.
Sinar kilat
itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari
suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya,
tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan
tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.
“Plakk...!
Sing...!”
Anak panah
itu tertangkis dan membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan
mengerikan disusul robohnya seorang prajurit karena lehernya tertembus anak
panah rajanya sendiri itu!
Wajah Tambolon
menjadi merah dan dia mengangguk-angguk. “Boleh juga,” gerutunya, kemudian dia
memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya
di sekeliling menara.
Setelah itu,
dengan pengerahan khikang yang amat kuat sehingga suaranya bergema di seluruh
tempat, dia lalu berseru, “Haiii... komandan pasukan kerajaan yang berada di
menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan
sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu!
Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati
prajurit-prajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu
untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang
prajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan
menjadi bangkai-bangkai hangus!”
Thio-ciangkun
lalu berkata kepada Ceng Ceng, “Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat
melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos,
saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang
nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas
terakhir.”
“Tidak!”
Ceng Ceng membantah. “Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tak ada
gunanya melawan seperti membunuh diri.”
Lalu dia
melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi
besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau
pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring, “Heii,
pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu
adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan
pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan
menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!”
Tambolon
terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis
muda cantik jelita itulah yang lihai. “Baik!” teriaknya, kemudian menoleh
kepada anak buahnya berkata, “Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia
pergi!”
Para
prajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat
mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun
menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi
komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan
Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.
“Sediakan
enam ekor kuda yang baik untuk mereka!” Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah
dan penuh wibawa.
Raja
Tambolon kembali terkejut, lalu dia tertawa bergelak, hatinya senang sekali!
Raja ini adalah seorang kasar dan liar yang berilmu tinggi, dan tidak ada yang
disenangi di dunia ini kecuali kegagahan dan keberanian. Kini melihat sikap
Ceng Ceng, dia kagum bukan main dan hatinya senang sekali. Biasanya, dia
menganggap wanita hanya sebagai makhluk lemah yang hanya memiliki kecantikan
dan yang hanya untuk menyenangkan dan menghibur hati pria, makhluk lemah yang
biasanya paling banyak hanya menangis! Akan tetapi kini melihat sikap Ceng Ceng,
yang demikian tabah penuh keberanian dan kegagahan, dia terkejut, heran, kagum
dan senang sekali.
“Sediakan
enam ekor kuda, tolol kalian semua! Hayo cepat!” teriak Tambolon dengan keras
lalu tertawa lagi bergelak.
Ceng Ceng
memandang laki-laki tinggi besar brewok itu dengan kagum. Sudah lama dia
mendengar nama besar Raja Tambolon, dan baru sekarang dia melihat orangnya.
Seorang jantan asli, seperti seekor binatang yang liar, akan tetapi dia tahu
bahwa manusia ini berhati seperti binatang, penuh kekerasan dan kekejaman,
seorang manusia yang dapat membunuhi manusia-manusia lain dengan kedua tangan
tanpa berkedip sedikit pun.
Setelah
Thio-ciangkun bersama lima orang pengawalnya menunggang kuda dan pergi
meninggalkan dusun itu dengan cepat, Topeng Setan lalu berkata kepada Ceng
Ceng, “Nona, lekas berikan obat pemunah racun dan mari kita cepat pergi dari
sini.”
Ceng Ceng
mengangguk, kemudian mengeluarkan bungkusan obat bubuk putih dan menyerahkannya
kepada Tambolon sambil berkata, “Inilah obat penawarnya. Campur dengan air,
suruh mereka minum seorang seperempat cawan kecil, tentu sembuh. Kalau tidak
ditolong obat ini, mereka akan menggaruk terus sampai kulit dan daging mereka
terkupas habis!”
Tambolon
menerima bungkusan itu dan ketika Ceng Ceng dan Topeng Setan hendak pergi,
Tambolon tertawa, “Tunggu dulu, tidak semudah itu! Ha-ha-ha!”
Ceng Ceng
dan Topeng Setan memandang ke sekeliling dan ternyata mereka telah dikurung
rapat oleh ratusan orang prajurit itu!
“Hemm,
Tambolon, apa artinya ini?” Ceng Ceng membentak.
Raja
Tambolon terkejut. “Eh, kau sudah tahu siapa aku, Nona? Bagus, engkau memang
hebat, bukan seorang biasa. Ingat akan janjimu tadi, Nona. Kami telah
membebaskan Thio-ciangkun, akan tetapi orang-orangku belum sembuh, belum kau
sembuhkan, mana mungkin kami membiarkan kalian lolos? Mari, kalian menjadi
tamu-tamuku sambil menanti sembuhnya orang-orangku.”
Ceng Ceng
dan Topeng Setan terpaksa menerima undangan ini. Mereka kagum akan kecerdikan
Tambolon, akan tetapi juga mereka menduga-duga apakah orang ini dapat dipercaya
dan akan membebaskan mereka berdua setelah orang-orangnya sembuh kembali.
Ceng Ceng
dan Topeng Setan dipersilakan naik ke menara dan tempat itu segera dibersihkan
dan diaturlah meja besar di atas menara karena Raja Tambolon dan dua orang
pengawalnya itu hendak menjamu makan minum kedua orang ini. Mengagumkan juga
betapa di dalam dusun yang sudah rusak itu, anak buah Raja Tambolon dengan
mudah dan cepat dapat mempersiapkan pesta yang cukup meriah, dengan masakan dan
minuman pilihan!
Setelah
makan minum dihidangkan memenuhi meja, Tambolon mengisi cawan arak dan
mengangkat cawannya mengajak dua orang tamunya minum sambil berkata, “Mari kita
minum untuk perkenalan yang amat menyenangkan ini!” Mereka lalu minum arak dari
cawan masing-masing, diikuti pula oleh dua orang pengawal Tambolon, yaitu Si
Petani dan Si Pelajar.
“Kalian
berdua yang lihai ini siapakah dan dari mana?” Tambolon bertanya.
“Namaku Lu
Ceng dan dia ini berjuluk Topeng Setan, menjadi pembantuku dan juga
pengawalku,” jawab Ceng Ceng singkat.
“Nona Lu ini
adalah bengcu dari kaum sesat di sekitar kota raja,” Si Topeng Setan
menambahkan.
“Ha-ha-ha,
hebat, hebat sekali!” Tambolon tertawa bergelak. “Seorang wanita begini muda
sudah memiliki kelihaian dan menjadi bengcu! Ha-ha-ha, siapa yang mengira? Nona
Lu Ceng, bagaimana engkau dapat mengenal namaku, padahal baru sekarang kita
saling bertemu?”
“Hemmm, aku
sudah pernah merantau jauh ke barat dan di Bhutan aku mendengar tentang namamu
dan pasukanmu, maka begitu aku melihat pasukanmu, aku dapat menduga bahwa tentu
ini pasukan Raja Tambolon yang amat terkenal itu.”
“Ha-ha-ha,
kau memang cerdik! Kau pantas menerima arak penghormatan dari Raja Tambolon!”
Dengan gaya dan geraknya yang kasar Raja Tambolon lalu mempersilakan
tamu-tamunya makan. Tanpa sungkan lagi Ceng Ceng dan Topeng Setan makan
ditemani oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya.
Tiba-tiba
seorang prajurit datang menghadap Raja Tambolon. Dengan sikap amat hormat akan
tetapi kasar prajurit itu berkata, “Lapor! Kawan-kawan tidak sabar lagi dengan
para tawanan wanita. Mohon keputusan dan perintah Sri Baginda Raja!”
Tambolon
minum arak dari cawannya dan tertawa, “Ha-ha-ha, wah, aku sampai lupa. Bagi
rata dan bergilir seperti biasa! Awas jangan sampai berebut dan berkelahi,
suruh masing-masing perwira mengadakan undian siapa yang lebih dulu mendapat
giliran. Eh, bawa pilihanku ke sini untuk melayani makan minum!”
Prajurit itu
memberi hormat dengan wajah berseri, kemudian berlari turun dari menara. Ceng
Ceng dan Topeng Setan saling pandang, hanya setengah menduga apa yang akan
terjadi dengan para tawanan wanita. Saking tidak tahannya, Ceng Ceng berkata,
“Sri Baginda, apakah yang akan kau lakukan terhadap para tawanan wanita?”
“Ha-ha-ha,
kalian ingin tahu? Mari kita lihat, dari atas sini tentu merupakan pandangan
yang amat hebat, ha-ha-ha!”
Tambolon,
Ceng Ceng, Topeng Setan dan dua orang pengawal Tambolon lalu bangkit dan
berjalan ke pinggir loteng menara sehingga mereka dapat melihat apa yang
terjadi di bawah sana. Jantung Ceng Ceng berdebar tegang, kedua telinganya
menjadi panas ketika dia melihat apa yang terjadi di sana. Kurang lebih dua
ratus orang wanita yang bertelanjang bulat berdiri dengan mata menunduk, ada
yang merintih, ada yang menangis terisak-isak, ada orang berdiri ketakutan,
dirubung oleh ratusan anak buah Tambolon yang memandang liar dan ada yang
menjilat dan seperti sikap serigala kelaparan melihat domba muda.
Tak lama
kemudian, terdengar perwira-perwira bicara dan meledaklah sorak-sorai para anak
buah Tambolon, kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Ceng Ceng hampir saja
meloncat ke bawah untuk mengamuk. Seperti serigala yang dilepaskan, para
prajurit pasukan liar itu berlari-larian menyerbu wanita-wanita itu.
Terdengar
jerit-jerit mengerikan diseling suara tawa para prajurit liar dan terjadilah
peristiwa yang sukar dapat dibayangkan oleh manusia waras. Pemerkosaan begitu
saja di atas jalan-jalan, di tepi jalan, ada yang membawa wanita memasuki
rumah, akan tetapi ada pula yang memperkosanya di tempat itu juga, tidak peduli
akan semua orang di sekitarnya, bahkan ditonton, ditertawakan dan disoraki oleh
teman-teman yang belum kebagian! Dua ratus orang wanita itu tentu saja segera
habis dan banyak sekali prajurit yang terpaksa menanti giliran karena jumlah
mereka lima kali lebih banyak dari jumlah wanita tawanan. Jerit melengking,
rintihan dan keluhan, ratap tangis para wanita itu seolah-olah menusuki jantung
Ceng Ceng dan terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia diperkosa
oleh pemuda laknat itu!
Dia
memejamkan matanya, lalu tiba-tiba membalik dan lari kembali ke dekat meja
dengan muka merah seperti udang direbus, matanya mendelik memandang Tambolon
yang juga sudah kembali ke kursinya.
“Terkutuk
engkau!” Ceng Ceng memaki marah. “Mengapa kau suruh anak buahmu melakukan
perbuatan terkutuk itu?”
Tadi Ceng
Ceng merasa betapa lengannya disentuh oleh Topeng Setan yang dengan halus
menggelengkan kepala, mencegah dia melakukan sesuatu. Kini Ceng Ceng maklum
bahwa andai kata dia tadi tidak kuat menahan kemarahannya dan bertindak, tentu
mereka berdua akan binasa menghadapi hampir seribu orang lawan itu!
Tambolon hanya
tersenyum lebar mendengar makian Ceng Ceng. “Duduklah, Nona, dan kau juga,
Topeng Setan. Minumlah arak ini untuk mendinginkan hatimu.”
Ceng Ceng
menyambar dan menenggak araknya, karena memang dia membutuhkan arak itu untuk
menenangkan hatinya yang bergelora menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan
itu.
“Nona,
pasukanku telah melakukan perjalanan ribuan li jauhnya, perjalanan yang
ditempuh dengan susah payah siang dan malam. Mereka telah menghadapi bahaya
maut entah berapa ribu kali dan kadang-kadang sampai berbulan mereka tidak
pernah melihat wajah seorang wanita. Mereka taat sekali kepadaku dan tanpa
perkenanku, mereka tidak akan berani mengganggu seorang pun wanita. Akan
tetapi, seperti juga makanan untuk perut mereka, mereka itu membutuhkan wanita
dan kalau tidak sekali-kali memenuhi kebutuhan mereka itu, tentu mereka tidak
akan taat lagi kepadaku. Wanita mana lagi yang dapat kuberikan kepada mereka
kecuali wanita tawanan yang suaminya telah tewas dalam pertempuran?”
Sunyi
menyambut kata-kata ini dan betapa pun kejinya, Ceng Ceng dapat mengerti apa
yang dimaksudkan Tambolon, akan tetapi karena merasa ngeri membayangkan nasib
ratusan orang wanita yang suaranya masih terus mengikuti pendengarannya itu
Ceng Ceng memejamkan matanya.
“Berapa lama
mereka dapat bertahan diterjang oleh sedemikian banyak anak buahmu?” Tiba-tiba
Topeng Setan bertanya, suaranya amat halus dan datar seolah-olah tidak
menyembunyikan perasaan apa-apa.
“Ha-ha-ha,
orang-orangku yang kehausan itu mana tahu akan daya tahan mereka? Telah
berbulan mereka kehausan, tentu tidak mengenal puas dan dengan jumlah mereka
yang lima enam kali lebih banyak, tidak sampai sepekan pun wanita-wanita itu
akan habis.”
“Mati?”
“Ha-ha-ha,
bagaimana lagi? Lebih baik begitu dari pada satu mendapat satu, terus menjadi
terikat dan akan ikut ke mana pun kami pergi, menghalangi gerakan kami.”
Topeng Setan
menghela napas dan pada saat itu Ceng Ceng memandangnya. Mereka saling pandang
dan Topeng Setan berkata, “Memang lebih baik begitu. Penderitaan mereka
sebentar saja dan mereka akan segera mati menyusul suami atau keluarga mereka.”
Ceng Ceng
ingin menjerit. Wanita-wanita itu masih lebih beruntung kalau dibandingkan
dengan dia! Mereka itu akan segera mati menyusul dan berkumpul dengan keluarga
mereka yang tercinta. Akan tetapi dia? Dia menanggung aib dan malu, derita
batin dan penasaran. Akan tetapi sampai sekarang pun orang yang didendamnya
belum dapat dia temukan.
Dan dia
dijauhkan dari orang-orang yang dia cinta. Ayah bundanya sudah tiada, kakeknya
pun tewas, sedangkan orang terakhir yang dicintanya, Syanti Dewi, pun entah
berada di mana. Tambolon dan orang-orangnya ini adalah manusia-manusia kejam,
demi kemenangan diri sendiri mereka ini bersedia melakukan kekejaman apa pun
juga. Akan tetapi mereka ini lihai, jumlah mereka banyak. Dia harus
berhati-hati dan harus percaya kepada Si Topeng Setan yang dia percaya pun juga
diam-diam mencari siasat agar mereka dapat terlepas dari Tambolon dan anak
buahnya.
Tiba-tiba
terdengar isak wanita naik ke menara itu. “Ahhh, lepaskah aku... lepaskan aku
atau bunuh saja aku...!”
Seorang
prajurit muncul mendorong seorang wanita. Ceng Ceng memandang dan melihat bahwa
wanita itu adalah seorang gadis muda yang usianya tidak akan lebih dari enam
belas tahun, wajahnya cukup cantik dan pakaiannya terlalu besar, seolah-olah
bukan pakaiannya sendiri dan dikenakan di tubuhnya dengan tergesa-gesa.
Prajurit itu mendorong gadis ini jatuh berlutut di depan Tambolon, lalu memberi
hormat kepada rajanya dan pergi ke luar.
“Ha-ha-ha,
inilah dia yang kupilih. Hei, perawan cilik, bangun dan berdirilah!”
Gadis itu
mengangkat mukanya yang pucat, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya terurai,
sebagian menutupi mukanya, matanya liar ketakutan ketika memandang kepada Raja
Tambolon. Dia mengeluh dan bangkit berdiri, kedua kakinya menggigil ketakutan.
“Nah, begitu
baru baik. Ha-ha-ha, sekarang kau tanggalkan pakaianmu! Hayo cepat!”
Gadis itu
terbelalak, lalu menggeleng kepala keras-keras. Tambolon bangkit dari bangkunya
dan Ceng Ceng sudah mengepal tinju. Kalau manusia ini menggunakan kekerasan di
depanku, aku akan membunuhnya, demikian dia mengambil keputusan. Akan tetapi
Tambolon yang menghampiri gadis itu, hanya memegang lengannya lalu menariknya
ke pinggir loteng menara.
“Nah, kau
lihat baik-baik! Di bawah itu, setiap orang wanita sedikitnya harus melayani
enam orang prajuritku, terus-menerus sampai beberapa hari lamanya. Engkau
bernasib baik karena telah kupilih dan hanya harus melayani aku seorang saja.
Dan kau masih rewel? Nah, pilihlah. Engkau melayani aku dengan baik, mentaati
segala perintahku, ataukah engkau memilih kulempar ke bawah sana dan menjadi
perebutan banyak orang laki-laki?”
Wajah itu
makin pucat, matanya terbelalak memandang ke bawah di mana masih terjadi pemerkosaan
yang mengerikan, jelas tampak dari atas dan juga terdengar jelas rintih dan
ratap tangis para wanita itu. “Kau memilih di sana?”
Gadis itu
menggeleng kepala keras-keras.
“Ha-ha-ha,
jadi engkau memilih di sini dan mentaati segala perintahku?”
Gadis itu
mengangguk lemah, patah semua semangat perlawanannya.
Tambolon
kembali duduk di atas kursinya dan memandang bangga kepada dua orang tamunya
bahwa dia telah berhasil mematahkan semangat perlawanan gadis tawanan itu.
“Hayo kau buka semua pakaianmu, kau tidak pantas dengan pakaian yang terlalu
besar itu!”
Gadis itu
dengan muka menunduk, seperti dalam mimpi, gerakannya otomatis, mulai
menanggalkan pakaiannya. Ceng Ceng memandang dengan dada panas. Ternyata
setelah pakaian luarnya ditanggalkan di sebelah bawah pakaian itu tidak ada
apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya! Agaknya gadis ini tadinya memang sudah
telanjang bulat seperti para wanita lain dan ketika dibawa menghadap baru
diberi pakaian luar itu. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang sama sekali,
menunduk dan matanya setengah dipejamkan, rambutnya terurai ke depan dada dan
punggung.
“Hayo
sanggul rambutmu itu baik-baik!” kembali Tambolon memberi perintah dan gadis
itu, masih merasa ngeri dan takut memikirkan keadaan para wanita lain di bawah
sana, mentaati tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Dan untuk menyanggul
rambutnya, terpaksa dia mengangkat kedua lengannya ke atas sehingga bentuk
tubuhnya tampak senyata-nyatanya.
“Lihat,
betapa indah tubuhnya, hemm... bukan main indahnya!” Tambolon memuji.
“Tambolon!”
Tiba-tiba Ceng Ceng berseru, tak mampu menahan kemarahannya karena melihat
keadaan gadis telanjang itu, dia merasa seolah-olah dirinya sendiri yang dihina
seperti itu. “Aku minta padamu agar gadis ini...”
“Tidak, aku
yang ingin menantangmu untuk memperebutkan gadis ini, Raja Tambolon!” Tiba-tiba
Topeng Setan memotong kata-kata Ceng Ceng. Ketika gadis ini memandang dengan
kaget, dia melihat mata yang besar sebelah itu berkedip kepadanya.
Raja
Tambolon yang tadinya menikmati pemandangan indah di depannya seperti seorang
mengagumi sehelai lukisan, terkejut dan menoleh kepada dua orang tamunya itu.
“Eh, kalian mau apa?”
Topeng Setan
kini bangkit berdiri, sikapnya berwibawa dan tubuhnya seperti lebih tinggi dari
biasanya ketika dia mengangkat dada menghadap Raja Tambolon sambil berkata,
suaranya tetap halus datar, akan tetapi terdengar agak kaku, “Raja Tambolon,
aku menantangmu untuk memperebutkan gadis ini. Kalau aku kalah, gadis ini boleh
menjadi milikmu dan terserah hendak kau apakan dia, akan tetapi kalau aku
menang, dia harus diserahkan kepadaku.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Tambolon menepuk-nepuk perutnya dan tertawa berkakakan, sungguh tidak pantas
kalau orang sekasar ini menjadi raja, pikir Ceng Ceng. “Engkau baru melihat
yang begini saja sudah timbul nafsu birahimu? Ha-ha-ha! Aku sendiri muak
melihatnya. Setelah aku bertemu dengan seorang gadis cantik jelita dan gagah
perkasa seperti Nona Lu, sikap gadis-gadis yang lemah dan pucat seperti itu
benar-benar amat memuakkan hatiku. Dan engkau malah timbul gairah? Ha-ha-ha,
lucu sekali! Topeng Setan, engkau adalah tamuku, tamu terhormat. Kalau engkau
menginginkan gadis itu, nah, kau ambillah dia sekarang juga. Aku rela!”
Ceng Ceng
merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Selama ini, dia menganggap Topeng Setan
sebagai seorang laki-laki yang aneh dan penuh rahasia, tetapi yang jelas amat
sayang kepadanya, selalu siap melindungi dan membelanya. Dia sendiri tidak
mengerti mengapa begitu. Topeng Setan ini pernah menolongnya, dan mungkinkah
seperti halnya Tek Hoat, laki-laki bertopeng penuh rahasia ini hanya terikat
oleh janji ketika tertawan dan berjanji hendak membantunya dan mengajarkan ilmu
kepadanya?
Berbeda
dengan Tek Hoat yang mempunyai pandang mata penuh gairah, laki-laki bertopeng
ini selalu kelihatan pendiam dan penuh rahasia, tidak pernah membayangkan
gairah apa pun seperti mayat hidup, atau seperti arca bernyawa. Akan tetapi
sekarang, mengapa secara tiba-tiba dia menghendaki gadis telanjang bulat yang
memang amat menggiurkan dengan tubuhnya yang muda dan mulus itu?
Apakah
artinya kedipan mata tadi? Diam-diam dia akan merasa kecewa kalau sampai
temannya ini menerima gadis itu sebagai hadiah dari Tambolon, dan dia yakin
bahwa pandangannya terhadap Topeng Setan pasti akan berubah sama sekali kalau
laki-laki bertopeng ini mau menerima gadis telanjang itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba dia menjadi makin terheran ketika Topeng Setan berkata, “Terima
kasih, Sri Baginda. Tetapi gadis ini patut diperebutkan dan saya akan merasa
terhina kalau hanya diberikan begitu saja, dia pun menjadi kurang berharga
bagiku. Karena itu, saya menantang Paduka untuk memperebutkan gadis manis ini
dengan saya.”
“Ong-ya,
kalau dia tidak mau, biarlah diberikan saja kepada saya. Pilihanku tidak semuda
dan semanis dia!” Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut, seorang di antara dua
orang pengawal Tambolon yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara, sekarang
berkata lantang dan matanya memandang ke arah Topeng Setan dengan penuh ejekan.
“Pula, saya kira gadis itu akan lebih suka kepada saya dari pada kepada dia!”
Tambolon
tertawa. Memang dia sudah biasa dengan sikap para anak buahnya yang tidak
banyak peraturan terhadap dia, bahkan kadang-kadang kasar. “Heh, anak manis,
kau lihat kami bertiga ini. Kau memilih yang mana? Aku, Raja Tambolon yang
gagah perkasa, ataukah pengawalku ini, Yu-siucai yang lebih muda dan tampan,
ataukah Topeng Setan itu?”
Dengan mata
terbelalak seperti mata seekor kelinci salah masuk ke dalam goa penuh harimau,
dan wajahnya pucat, gadis itu memandang mereka bertiga, dan dia menunduk tanpa
berani menjawab. Mereka semua mengerikan baginya, terutama sekali wajah Raja
Tambolon yang penuh brewok, tinggi besar dan kasar, juga wajah Topeng Setan
yang amat buruk dengan tubuhnya yang tinggi pula. Betapa pun juga, wajah siucai
itu sama sekali tidak menghibur hatinya. Kalau ada jalan, agaknya baginya lebih
baik mati dari pada harus menyerahkan tubuhnya kepada seorang di antara mereka
bertiga.
“Hei, kau
layani kami, hayo tuangkan arak sebelum aku mengambil keputusan tentang
tantangan Si Topeng Setan, ha-ha-ha!” Raja Tambolon berkata.
Dengan
tindakan lemas gadis itu menghampiri meja. Tubuhnya menjadi lemas, namun hal
ini agaknya membuat lengannya menjadi makin lemah gemulai menggairahkan. Kedua
tangannya agak gemetar ketika dia menuangkan arak di cawan Raja Tambolon.
Ketika gadis itu menuangkan arak di dekat Raja Tambolon, orang kasar ini sambil
tertawa menggunakan jari tangannya meraba dada gadis itu dan ketika menuangkan
arak pada cawan Si Siucai, orang she Yu ini pun meraba pinggulnya. Hanya Si
Petani dan Topeng Setan yang diam saja, dan Ceng Ceng yang melihat ini, sudah
menjadi marah sekali hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi
sekali lagi dia melihat Topeng Setan berkedip kepadanya, maka dia menahan
kemarahannya.
Setelah
mengajak tamunya minum arak, Tambolon kemudian berkata, “Topeng Setan,
sepatutnya tantanganmu itu cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu! Akan
tetapi melihat muka Nona Lu, biarlah kuanggap engkau sudah mabok, mabok arak
dan mabok kecantikan gadis ini. Tetapi engkau hanya seorang pengawal dan aku
pun sudah kehilangan gairahku terhadap gadis ini, maka biarlah Yu-siucai yang
melayanimu. Siapa di antara kalian yang lebih unggul, nah, boleh memiliki gadis
ini. Ha-ha-ha!”
Yu-siucai
mengeluarkan suara tertawa mengejek lalu meloncat berdiri dan memandang kepada
Topeng Setan sambil berkata, “Sobat baik, salahmu sendiri kau tergila-gila
kepada gadis ini. Sri Baginda memberikan engkau kepadaku untuk menerima sedikit
hajaran!”
Topeng Setan
juga bangkit berdiri, menarik napas panjang dan berkata, “Sayang Sri Baginda
tidak menerima tantanganku. Memperebutkannya dengan engkau jadi terasa kurang
menarik. Akan tetapi kau majulah dan biar aku menerima sedikit hajaranmu itu!”
Yu-siucai
adalah seorang di antara dua pengawal jagoan dari Tambolon yang sudah terkenal
kelihaiannya. Biar pun dia tidak selihai Si Petani yang sikapnya pendiam itu,
namun Tambolon sendiri sudah mengujinya dan jarang ada orang mampu menandingi
kepandaian Yu-siucai ini. Dia adalah seorang pelarian dari perguruan tinggi
Hoa-san-pai karena menyeleweng dan setelah dia menggembleng dirinya di
Pegunungan Himalaya selama sepuluh tahun, ilmu kepandaiannya meningkat hebat
dan akhirnya dia bertemu dengan Tambolon dan menjadi pengawal raja orang-orang
liar itu.
Karena di
waktu mudanya dia pernah mempelajari ilmu, membaca dan menulis, maka dia
menganggap dirinya sendiri sebagai seorang sastrawan. Dan memanglah kalau
dibandingkan dengan pasukan Tambolon yang hampir semua buta huruf itu, bahkan
kalau dibandingkan dengan Tambolon sendiri, Yu Ci Pok boleh dibilang merupakan
satu orang yang amat pandai dalam ilmu sastra sehingga dari pakaiannya ini dia
terkenal sebagai Si Siucai Maut!
Karena
merasa bahwa di dalam pemerintahan Raja Tambolon dia adalah seorang yang nomor
tiga, maka muncullah sifat-sifat sombong di dalam hati siucai yang usianya
empat puluh tahun lebih ini, menganggap bahwa tidak ada orang lain kecuali Raja
Tambolon dan Si Petani yang akan mampu menandinginya! Sudah menjadi wataknya
dia memandang rendah kepada orang lain, dan biar pun dia tahu bahwa Topeng
Setan ini pun bukan orang biasa, namun tetap saja dia memandang ringan dan kini
sambil bertolak pinggang dia menghadapi Topeng Setan sambil berkata, “Topeng
Setan, aku yakin bahwa pibu (adu ilmu silat) antara kita ini tidak akan lebih
dari sepuluh jurus!”
“Hemmm,
agaknya begitulah,” jawab Topeng Setan.
Tiba-tiba
Yu-siucai membentak keras dan tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang dengan
serangan kilat dan dalam jurus pertama ini kedua tangannya sudah mengirim dua
kali pukulan dan kedua kakinya menendang dua kali, semua dilakukan
susul-menyusul cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!
“Wut-wutt...
plak! Plak!”
Dengan amat
mudahnya Topeng Setan mengelak dari tendangan dan menangkis dua kali pukulan
itu dengan tangannya. Dalam melakukan ini, tubuhnya sama sekali tidak berpindah
tempat, hanya bergerak mengelak dan menangkis tanpa meloncat ke lain tempat,
bahkan juga tidak merubah kuda-kudanya yang dilakukan dengan kedua kaki
terpentang lebar.
Hal ini
membuat Yu-siucai terkejut sekali, juga Tambolon dan Si Petani sekali pandang
saja maklum bahwa Topeng Setan benar-benar tak boleh dibuat permainan.
“Yu-siucai, hati-hatilah terhadap dia!” Tiba-tiba Si Petani berkata dan
ucapannya ini saja sudah membuktikan bahwa dia bermata awas.
Ceng Ceng
tadinya khawatir juga menyaksikan kehebatan serangan Yu-siucai yang demikian
ganas. Sekarang dia dapat menjadi lega ketika melihat betapa Topeng Setan
menghadapinya dengan begitu tenang dan yakin akan kemenangannya, maka dia mulai
mengalihkan perhatiannya, melirik kepada gadis telanjang itu yang kini
mundur-mundur ke pinggir loteng dengan mata terbelalak penuh rasa khawatir.
Tambolon dan Si Petani mencurahkan perhatiannya kepada pertandingan itu dengan
hati tegang, karena tentu saja mereka berdua ini ingin mengukur sampai di mana
kepandaian Topeng Setan itu.
Yu-siucai
sendiri juga maklum akan kelihaian lawan. Tangkisan dua kali tadi saja sudah
membuat kedua tengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sinkang lawan ini
tidak berada di sebelah bawah tingkatnya, padahal dia tidak tahu apakah lawan
ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Kalau belum, sukar dibayangkan betapa
kuatnya lawan dan mengingat ini, Yu-siucai cepat menerjang lagi dengan
kecepatan kilat dan mengirim pukulan-pukulan yang lebih dahsyat dari pada tadi
untuk mendahului lawan karena dia masih merasa yakin akan keunggulan permainan
silatnya, sungguh pun jelas bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat.
Topeng Setan
bersikap tenang sekali dan dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan
cepat dan dibantu oleh tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan
secara mantap dan kuat. Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan
terus-menerus sampai sembilan jurus lamanya, selalu hanya dielakkan dan
ditangkisnya, kemudian pada jurus ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis
melainkan balas mendorong dengan tangannya. Tenaga sinkang yang amat dahsyat
menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang. Pada saat tubuhnya condong
ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi,
tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!
Menyaksikan
hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan
jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid
Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa mala petaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya,
dia bertepuk tangan dan berkata memuji, “Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan
sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan
Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus
seperti yang sudah diramalkannya!”
Mendengar
kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan
kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah
mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang
terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah
yang berbahaya.
“Aku tadi
telah bersikap kurang hati-hati,” katanya. “Tetapi aku belum kalah, Topeng
Setan!”
Dengan sikap
mengancam ia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan.
Mendadak dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampak sepasang
sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit
itu mulai menyerang.
“Hemmm...!”
Topeng Setan
terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian
cepat dan hebat serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan
Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun
sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil
alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!
“In-kong,
sambut ini!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang
sumpitnya yang tadi dipakainya makan kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat
dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan dari pada
bertangan kosong menghadapi sepasang poan-koan-pit yang lihai itu.
“Terima
kasih!” kata Topeng Setan sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke
arahnya itu. Sebetulnya, biar pun menghadapi sepasang senjata di tangan
Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jeri
karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Akan
tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.
“Ha-ha,
bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!” Yu-siucai tertawa girang
karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata,
sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah
memegang sumpit, dia menjadi girang.
Apalah
artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pit-nya? Sekali
gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah! Memang dengan
poan-koan-pit-nya ini Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara
mengagumkan. Ketika akan diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon, dia
diharuskan memperlihatkan kelihaian poan-koan-pit-nya, melawan pengeroyokan
selosin orang Mongol yang bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh
jurus saja semua orang Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang
poan-koan-pit-nya!
Sekarang
menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya,
seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu
poan-koan-pit-nya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak
kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri
ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan!
Topeng Setan
tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura
tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima
poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.
“Cappp!”
Hebat memang
gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil ‘menangkap’ poan-koan-pit
kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!
Menyaksikan
kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apa lagi
saat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh
kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit
gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia
girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan
kanannya lantas meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.
“Cusssss...!”
Tepat sekali
poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, yaitu sasaran di bawah
ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung
poan-koan-pit-nya itu mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap
dan seperti ‘dihisap’, juga tidak dapat dicabutnya kembali! Kini Yu-siucai
mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang
poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang
sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.
“Pletak...!”
tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu
patah menjadi dua.
Yu-siucai
kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, kemudian
menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut
poan-koan-pit yang terjepit di ketiak. Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan
jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap,
dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu.
Topeng Setan
berkata, “Hemmm, masih belum puas?” Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk
ke arah lehernya itu lewat. Secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok
lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!
“Hi-hi-hik,
kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!” Ceng Ceng berkata
sambil tertawa.
“Maafkan
saya,” Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di
mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.
“Keparat,
engkau Tambolon manusia curang!” Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah
mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Tetapi segera dia dikepung oleh
Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok
yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira,
termasuk Kimonga komandan pasukan liar itu.
“Ha-ha-ha,
Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapa
pun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau
tidak.”
“Tambolon
manusia keparat!” Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya.
Semua
pengeroyoknya cepat meloncat mundur dengan kaget oleh karena pedang itu
mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona
itu terguling! Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka
bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam
arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng
telah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya bisa
memaki-maki dan berteriak-teriak. Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan
karena sambaran rambut serta ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya
dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri, menotoknya hingga
dia tak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!
“Ha-ha-ha,
engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar
Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai
terlepas. Tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!”
Ceng Ceng
mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak
mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba
kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya
lagi, bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari
tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat
dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai!
Apakah pembantunya itu yang menotoknya?
Ahhh,
agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya
sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mukjijat? Akhirnya dia
berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang
ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan
banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang
akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil
diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.
***************
Tek Hoat
terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang bergegas menyelamatkan dirinya ke
dalam kota Teng-bun yang dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena
dia merasa tidak aman berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat
mata-mata pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah
sebagai puncak pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong
yang masih berada di kota raja mendekati Kaisar.
Tek Hoat
diam-diam merasa dongkol bukan main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang
dipegangnya selalu mengalami kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia
telah bertemu dengan begitu banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu
semua berkumpul di utara, di tempat yang sedang geger ini.
Yang membuat
dia merasa dongkol sekali adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak
Puteri Syanti Dewi! Sambil mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun,
dia mengenangkan puteri yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat
betapa halus sikap puteri itu terhadap dirinya ketika dia dulu sengaja
menghadang perjalanan rombongan puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri
itu minta kepadanya agar dia pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di
sungai! Teringat pula olehnya betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali,
jauh bedanya dengan sikap kasar Lu Ceng saat ia menyamar sebagai tukang perahu
dan ‘menolong’ mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia
terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam
bungkusannya lenyap di dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.
Di kota
Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula
bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia
ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak
beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya. Dua
orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah
orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka
tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian
lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan
sama sekali, apa lagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka.
Di kota
Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan
liar dari Tambolon mengakibatkan geger, ditambah lagi dengan gerakan
orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin,
membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah
mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun
hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak
meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati
kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguh pun kini gerakan
pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati
kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi,
dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak
peduli lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.
“Semua
gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu,” pikirnya gemas.
Kalau tidak
ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan
tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng
yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biar pun gadis itu memiliki ilmu
tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan
mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada
sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!
Kini dia
mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani
puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah
yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya
dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan
tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya,
bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi,
ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri
sedangkan pemuda yang kedua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang
amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak
berhasil baik!
Setelah
Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat
diperbolehkan mengaso. Pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar
tubuhnya ke atas pembaringan kemudian memejamkan mata, mengenangkan semua
pengalamannya sejak dia meninggalkan ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan
ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho.
Teringat
akan ibunya, tiba-tiba timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di
lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu
kandungnya, juga perasaan iba yang amat besar. Teringat dia ketika beberapa
tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok
ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang
ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti
kedatangannya.
“Kau anak
tidak berbakti!” Dia memaki dirinya sendiri. “Sebetulnya engkau sudah harus
pulang.”
“Tidak!”
Bentaknya sambil membuka kembali matanya. “Kalau kini aku pulang dalam keadaan
begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang jika
cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang
pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang
menjemput ibu dengan segala hormat...”
Dia lalu
memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan
kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya
memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga!
Dan dari
dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik
jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia... ahhh!
Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan
puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas
seperti ini?
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment