Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 15
Cuaca sudah
gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh
tempat penginapan.
“Tidak
mengapalah, Paman,” Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka
bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang!
“Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita
lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang
yang takut menghadapi kesukaran.”
Bun Beng
tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi
ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang
gadis itulah yang merawatnya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam
tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu pula bahwa Kian Bu bersikeras untuk
mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!
“Suheng,
bagaimana kalau aku memasuki sebuah di antara gedung-gedung besar itu? Aku
boleh paksa seorang di antara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!” Kian
Bu berkata.
Bun Beng
menggeleng kepala. “Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute.
Biarlah kita melewatkan malam di pinggir jalan, kita pilih tempat yang agak
sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk
menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini.”
Terpaksa
Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu
duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga
seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan
tampaknya malam itu akan terjadi sesuatu yang hebat. Bun Beng mulai
penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan di antara
kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan
diperolehnya tentang kota Koan-bun ini.
Ada yang
mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi
sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan
kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang
mengabarkan lagi bahwa malam itu juga pemberontak akan melakukan serangan.
Pendeknya bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan
semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil
makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak
beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng menghentikan
ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak
bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.
Orang itu
agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan
berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika
tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan
tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang
lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia
bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi!
Jalan itu
makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan.
Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di
situ? Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sute-nya agar
waspada.
“Siapa tahu
kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung
kita,” bisiknya.
“Sikat
saja!” Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah.
“Sstttt,
tenanglah, Bu-te!” Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali.
Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan
demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menonjolkan dirinya di depan gadis
yang dicintanya.
Diam-diam
dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu dapat lebih berbahagia dalam cintanya,
tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang
berada di mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang
bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah
disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang telah dipesannya selama mereka
berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka kini dalam kesempatan
menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti
Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.
“Adik
Syanti, aku... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,” katanya berbisik agar
jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat. “Aku ingin bertanya
tentang Lu Ceng atau Candra Dewi...”
“Aihhhh...!”
Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak
terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian
Lee dan Kian Bu terkejut.
Gak Bun Beng
menghela napas panjang. “Sute, mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik
angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali.”
“Justru
itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra... dia itu... Nona Lu Ceng
itu, dia belum mati!”
Sepasang
mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada
Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran,
kemudian dia berkata, “Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah
turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun
sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas.”
“Kami juga
mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut,
sungguh pun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng,” kata Kian Bu. “Akan
tetapi... tenangkan hatimu, Moi-moi... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih
hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini
kami melihat dia di kota raja!”
“Ahhh...!
Be... benarkah? Benarkah itu?”
Kian Lee
lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan
betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao,
betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!
“Kami yakin
dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya saja entah mengapa dia tidak mau menjumpai
siapa pun, seperti menyimpan rahasia...” Kian Lee berkata dengan nada duka.
“Aahhh,
benarkah itu? Benarkah dia masih hidup...? Ahhh, Paman... semoga begitu...!”
Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng
erat-erat dan air matanya bercucuran.
“Mudah-mudahan
begitulah...! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan
penuturan Jenderal Kao,” kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya
yang dipegang erat-erat oleh dara itu.
“Lee-ko,
mengapa engkau menanyakan dia?” Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang
wajah Kian Lee.
Untung
mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah
pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya
menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,
“Kami
mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko
mengajukan pertanyaan tadi.”
Syanti Dewi
menghela napas panjang. “Dia adalah seorang yang amat baik, dan biar pun hanya
adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak
ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan
diri....”
Lalu dengan
suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan
Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan
kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya
sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan
dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
“Tadinya aku
mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan
tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang
dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman
Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati... ya
Tuhan, semoga benar demikianlah!”
“Sayang dia
selalu melarikan diri...” Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya
untuk menyembunyikan perasaan hatinya. “Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah
dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi.”
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau
lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul
sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya! Keadaan menjadi geger!
Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan
pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan
liar dan ganas dari suku bangsa biadab.
Pintu-pintu
benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua prajurit lari hilir mudik
dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing,
pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya
karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak
karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari
keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan
yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di
mana rombongan Bun Beng berada.
“Awas, siap
dan jaga...!” Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok
bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan
bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan.
Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat
beraksi dan merobohkan beberapa orang.
Akan tetapi,
mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan
berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk
menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar.
Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang
dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan
hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan
himpit-menghimpit. Biar pun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang
seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak
mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-orang itu
juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.
“Dewi...!”
“Moi-moi...!”
Bun Beng dan
Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus
manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada
lagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus
manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!
“Paman...!”
Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan
wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik
dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat.
Karena
keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti
Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.
“Dewi...!”
“Moi-moi...!
Moi-moi...!” Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat,
akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti
Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Sepasukan
tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para
pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus
manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke
tepi jalan di kanan kiri. Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia
terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang
lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena
obor-obor yang dibawa para prajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi
gelap lagi.
Dia merasa
khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan
seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan
dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapa pun
juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga
diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga
berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.
Tiba-tiba
seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari tempat
dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat
keluar dari himpitan manusia. Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan
dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu
saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan,
menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar
dari himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu
berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan
pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di
seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger.
Bun Beng
menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan
darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak
dapat berdiri karena kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang
dalam himpitan tadi.
“Ouhhhh...
kakiku...” keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit
bibirnya. “Terima kasih... atas bantuan Tuan...”
“Kau tidak
bisa jalan?” Bun Beng lalu bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti
pelayan itu.
Wanita itu
menggeleng kepalanya.
“Di mana
rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?”
“Bukan, saya
adalah pelayan dari gedung di sana itu...”
“Kalau
begitu, mari kuantar ke sana,” kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu
memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh
wanita pelayan itu.
“Ahh, engkau
sungguh amat baik, Tuan...” Pelayan itu berkata dengan terharu.
Semenjak
kecil, selamanya dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah
dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa
diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah
perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biar pun pakaiannya
sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!
“Dalam
keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong...” Bun Beng menjawab singkat,
mengerti akan perasaan hati pelayan ini.
Dia terkejut
juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah!
Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi
ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.
“Eh, Kim-ma,
engkau kenapa?”
Mereka itu
cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami
luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana
seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke
dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak
peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat
orang dengan langkah tergesa-gesa.
Melihat
empat orang ini Bun Beng menjadi heran sebab tentu saja ia mengenal mereka,
terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di
pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat
orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan
berpedang.
Sementara
itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia
mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si
Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak
buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap bengcu karena pemuda itu
bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata
pemberontak.
“Tangkap
mata-mata!” bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang
temannya yang segera mengurung Bun Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam
keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan
pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang
tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh
orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh
besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya.
Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat
berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali.
Sebagai
anggota-anggota Tiat-ciang-pang, biar pun mereka itu terdiri dari golongan
perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka
segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek
Hoat tentang musuh bengcu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda
itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di
bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu
pergi.
Rombongan
orang Tiat-ciang-pang ini kemudian melakukan pengejaran dan mereka pun memasuki
kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu
menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang
setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka! Di tempat
itu mereka bertemu dengan banyak orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu
saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan
mereka yang dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian
mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan
asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan
teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata
pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.
Akan tetapi
tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan
mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam
beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut
berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi keluar dari
pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan membuat Bun
Beng terpaksa berhenti dan menengok.
Terkejut
jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di
depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan
sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam
orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap
mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.
“Mata-mata
pemberontak, menyerahlah engkau!” bentak seorang di antara mereka yang sudah
agak tua namun masih gagah sikapnya.
Bun Beng
tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa
lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka telah meloncat maju dan
hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya
dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu langsung terlempar lima meter
jauhnya dan terbanting terguling-guling!
Semua orang
terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini. “Kau melawan? Bagus, engkau
sudah bosan hidup agaknya!” Belasan orang itu lalu mencabut senjata
masing-masing dan menerjang maju.
Bun Beng
melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali
tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka
dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan
lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu
meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di
antara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu
membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang
terlempar ke sana-sini.
“Mundur
semua...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. “Dia bukanlah lawan
kalian, biarkan aku saja yang menghadapinya!” Suara ini nyaring sekali, jelas
bahwa pembicaranya adalah seorang wanita yang memiliki khikang yang amat tinggi
sehingga mengejutkan hati Bun Beng.
Maklum bahwa
dia kini berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir
balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa
yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di
tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat
dibokong musuh.
Wanita itu
yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet
saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya,
kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa ginkang-nya sudah mendekati
kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan
ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini
penuh dengan orang-orang pandai.
Kini mereka
berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk
saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang
itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng
terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh
tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca
singa itu agar tidak roboh.
Wanita itu
amat cantik biar pun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga
puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti
bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan
tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya
menggigil.
“Kau... kau...?”
Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia
tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.
“Kau...
Gak... Suheng... aughhhh...!” Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air
mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan
lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke
leher dan tentu sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat
menyambarnya.
“Milana...
Sumoi...!” Dia berbisik.
Sejenak dia
mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan
rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam
tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi. Air matanya
bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor
binatang yang terluka. Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana
dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw
itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.
“Tahan...!”
Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.
“Saudara-saudara,
mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!” Tiba-tiba orang tua yang
pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun
Beng sambil menjura. “Gak-taihiap, maafkanlah saya tadi yang tidak mengenal
Taihiap.”
Kini Bun
Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang
selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan
keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.
“Ahhh,
engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia
menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,”
“Silakan,
Taihiap...”
Pada saat
itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu.
Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan
antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu,
dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk.
Dengan
pengerahan sinkang-nya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu
Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali.
Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang
berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena
pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti
tidak boleh didengar oleh lain telinga.
Milana
mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil
memanggil, “Suheng... Gak Bun Beng...”
“Aku di
sini, Sumoi.”
Milana
menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya
merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya
ini dan dia menangis.
“Suheng,
mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini...?”
Bun Beng
menarik napas panjang. “Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?”
“Suheng, aku
menderita selama ini...”
“Jangan
mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi...”
Hening
sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa
diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan
tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut
itu penuh kasih sayang.
“Suheng,
kau... kau kejam...,” Milana terisak.
“Ahh,
Milana, mengapa kau bisa berkata demikian...?”
Bukankah
dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega
menuduhnya demikian maka dia melanjutkan, “Nasib kita yang kejam, Sumoi...
dan... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini...”
“Akan tetapi
aku... aku....”
Milana tidak
melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka
yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan
Milana. Mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan
kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya
lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam
kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.
Mata Milana
berkedip-kedip, bibirnya mulai tersenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi.
“Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam
duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau
lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoi-mu yang dulu itu...”
Bun Beng
menggeleng kepalanya. “Sungguh pun bagiku engkau masih Milana yang dulu, takkan
pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi... tidak boleh begitu, Sumoi,
suamimu...”
“Hushhh,
baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng,
apa lagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap.
Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya
yang melarikan diri dari Teng-bun. Pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan
peristiwa mengagetkan tetapi juga membahagiakan, baik bagiku pribadi mau pun
bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar
biasa berupa tenagamu, Suheng, dan...”
Tiba-tiba
dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah
Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana. “Celaka,
rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!”
“Hemm,
bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan
para pelayan pun tidak ada yang keluar...”
“Ada seorang
pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi,” tiba-tiba Bun Beng
berkata.
“Ah, Kim-ma!
Benar juga!” Phang-ciangkun membanting kakinya.
“Kiranya dia
telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka
berada di sini!” katanya kepada Milana.
“Tidak perlu
gelisah. Kita dapat dengan mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagai mana
dengan berita pasukan asing itu?”
“Agaknya itu
pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin
oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah
pula dikurung pasukan pemberontak.”
“Hemm, sudah
waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota
ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu
kami.”
“Tentu saja
aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting
lagi, yaitu mencari Syanti Dewi...”
“Puteri Bhutan?
Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku
sudah mengutus dua orang adikku...”
“Aku sudah
berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku
sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam
keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku
akan mencari mereka lebih dulu...”
Terdengar
suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan
pemberontak yang mengepung. “Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami
pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang
adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang
Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan
bagi kita...”
“Si Gendut
tadi...”
“Ya, dan
masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah... dan...”
Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan
kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh
Bun Beng.
Sudah jelas
bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi
menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia
hanya mengangguk, dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan
para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan
terjatuh ke tangan pemberontak.
Di luar
terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu
para prajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain
jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan
menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon
yang tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk.
Dengan
sangat mudahnya Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak,
lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga
merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih
berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak
terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.
Dapat
dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini
tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih dapat melihat topi caping buatannya itu
yang dapat dijadikan tanda di mana adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda
itu pun lenyap pula ditelan kegelapan dan ditelan arus manusia.
“Celaka,
Lee-ko, kita harus mengejarnya!”
“Tenanglah,
Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke
sana,” jawab Kian Lee.
Kian Bu
menjadi tidak sabar karena cemasnya. Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia
mendorong sana-sini di antara orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee
hanya menggeleng kepala, akan tetapi agar jangan sampai tertinggal dan terpisah
dari adiknya pula, dia pun terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk membuka
jalan sehingga ke mana pun kedua orang muda ini bergerak, orang-orang di
depannya berteriak-teriak dan terdorong ke kanan kiri, tidak kuat menahan
dorongan tangan kedua orang muda yang amat kuat itu.
Namun,
sampai pagi kedua orang muda itu masih belum berhasil menemukan Syanti Dewi
sehingga tentu saja mereka berdua, terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah.
Orang-orang tidaklah berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat
mengaso dan duduk di tepi jalan yang masih penuh orang hilir mudik.
“Jangan
gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya, mungkin mereka berdua sudah
berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari mereka.”
“Mudah-mudahan
begitu, Lee-ko. Akan tetapi... hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya
adik Syanti Dewi memang dibuat orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita
ketika keributan itu mulai.”
Sejenak
mereka mengaso, kemudian mereka berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas
itu, Kian Bu dan Kian Lee mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba
Kian Lee terkejut sekali ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di
sebelah depan, sebuah lengan lain menangkisnya dengan keras sekali.
“Dessss...!”
Karena tak
mengira bahwa dia akan ditangkis orang sedemikian hebatnya, pula karena memang
dia hanya menggunakan sedikit tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee lalu
terdorong oleh tangkisan itu dan terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang
yang tentu saja menjadi marah-marah,
“He, apa kau
buta?”
“Kurang
ajar, jalan begini lebar menabrak orang!”
Banyak
makian dari orang-orang yang sudah cemas dan marah itu kepada Kian Lee yang
masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar tidak sampai roboh terpelanting,
Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram ke arah baju orang terdekat, yaitu
seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus yang memanggul pikulan.
Akan tetapi,
tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping sehingga cengkeraman Kian Lee luput
dan seperti tidak disengaja, pikulannya menyambar karena tangan Kian Lee yang
luput mencengkeram baju tadi.
“Plakkk!”
Kian Lee
sudah dapat mengatur keseimbangan badannya dan dia menarik tangannya sambil
menyeringai. Sakit bukan main punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi.
Dia memandang dengan marah, akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa
dan Kian Lee menahan kemarahannya. Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena
dia sendirilah yang salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat
seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang
berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot. Kian Lee
terkejut.
Dia maklum
bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang pandai dan
dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang pandai. Dia
terkejut ketika mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika dia
menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang berpakaian
sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, sikapnya halus
akan tetapi sinar matanya liar.
Cepat dia
menghampiri adiknya yang sudah mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.
“Bu-te,
jangan berkelahi!”
“Habis dia
hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika kau terhuyung tadi, aku melihat dia
menghampirimu dan tentu saja aku menangkap tangannya agar tidak memukulmu.”
“Hemm, bocah
lancang. Kalau aku memukulnya, apakah dia masih bisa bicara denganmu?”
Sastrawan itu berkata halus akan tetapi penuh dengan ejekan.
“Sudahlah,
Bu-te, mari kita pergi.” Kian Lee menangkap tangan adiknya dan diajak pergi
dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan hati adiknya karena kehilangan Syanti
Dewi membuat adiknya itu menjadi pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee
berkata, “Mereka bertiga tadi bukanlah orang sembarangan.”
“Aku pun
menduga begitu, akan tetapi aku tidak takut!”
Kian Lee
tersenyum. “Siapa takut? Akan tetapi, dalam keadaan kacau seperti ini tidak
baik kalau mencari permusuhan. Tugas klta belum selesai, kita belum menyelidiki
sesuatu, bahkan kini kita berpisah dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita
melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak ada sebabnya, tentu lebih repot
lagi. Hayo kita terus mencari, dekat pintu depan gedung besar itu banyak
orang-orang, siapa tahu mereka berada di sana.”
“Minggir!
Minggir!”
Orang-orang
cepat minggir ketika dari dalam pekarangan gedung itu keluar sebuah kereta
berkuda, dikawal oleh selosin tentara di depan dan selosin lagi di belakang.
Kian Lee dan Kian Bu ikut minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap
sedikit, mereka dapat melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki
tua duduk di dalamnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta
itu karena tirainya sudah tertutup kembali.
“Lee-ko...!”
Tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya. “Kau melihat pemuda itu?”
Kian Lee
mengangguk. “Dia muncul di mana-mana, sungguh aneh.”
“Ingat
sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan dia yang menculiknya, jangan-jangan
Syanti berada di dalam kereta itu!”
“Ah,
mungkinkah itu...?”
“Mari kita
mengikuti kereta itu, Lee-ko!”
Kian Lee
mengangguk dan keduanya lalu menyelinap di antara orang banyak, mengikuti
kereta berkuda yang dikawal ketat itu. Untung jalan terhalang banyak orang
sehingga kereta itu tidak terlalu cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh
mereka yang harus menyelinap ke kanan kiri agar jangan menabrak orang lain.
Kereta itu menuju ke sebuah rumah gedung besar sekali yang letaknya di dekat
tembok benteng. Itulah rumah kepala daerah!
Melihat
kereta itu memasuki pintu gerbang halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk
menyambut kereta itu dengan pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian
Lee dan Kian Bu mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun
samping gedung itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan
kembang di tempat itu, perlahan-lahan mendekati gedung.
Melihat
besarnya gedung itu, mereka makin bersemangat karena menyangka bahwa tentu dara
yang mereka cari berada di gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi
tawanan. Teringat mereka ketika pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan
kepada Syanti Dewi. Bukan hal tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka,
Syanti Dewi tertolong oleh pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!
Dua orang
pemuda itu tentu saja tidak pernah menduga bahwa mereka telah memasuki tempat
yang dijadikan sarang dan pertemuan oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu
adalah milik Kepala Daerah yang pada saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek
Hoat, dan keluarganya semua ditahan di dalam gedung dan dijaga. Pendeknya,
tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan anak buahnya telah merampas gedung
ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan diam-diam dan tentu saja gedung
Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang.
Ketika itu,
di dalam ruangan yang paling dalam dari gedung itu, tampak beberapa orang
sedang duduk berunding. Mereka ini bukanlah orang-orang sembarangan, karena
mereka merupakan puncak pimpinan para pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang
membantu mereka. Seorang yang berpakaian panglima tinggi duduk memimpin
perundingan itu dan mereka semua sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan
diterangkan oleh panglima tinggi itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima
Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi
kaki tangan nomor satu dari kedua orang Pangeran Liong di kota raja!
Di belakang
panglima ini kelihatan dua orang pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang
telah membebaskannya dari tahanan di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek
kembar Siang Lo-mo! Dua orang kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong
sendiri dikirim ke Teng-bun untuk mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan
selanjutnya diangkat sebagai pengawal pribadi panglima yang amat penting bagi
gerakan pemberontakan itu. Juga terdapat beberapa orang perwira pembantu yang
mulai memperoleh tugas dan petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati
gerakan pemberontakan mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan.
Akan tetapi mereka sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara
tiba-tiba itu.
Mereka
sedang merundingkan soal pasukan liar itu ketika pengawal datang mengiringkan
Tek Hoat dan orang tua yang duduk di dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri
lalu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ketika orang tua itu masuk.
Kiranya orang ini bukan lain adalah Pangeran Liong Khi Ong, orang kedua dari
biang keladi pemberontak! Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak berkumpul dan
berunding di situ.
Panglima Kim
Bouw Sin secara lengkap melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu.
“Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil penyelidikan adalah pasukan dari
barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri yang belum kelihatan
muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan apa dan kami semua menanti
keputusan dari Paduka Pangeran,” Kim Bouw Sin berkata.
“Hemmm,
orang-orang liar itu menambah repot saja,” Liong Ki Ong berkata. “Padahal
menurut penyelidikan, Milana juga sudah bergerak, bahkan wanita itu sudah pula
meninggalkan kota raja secara diam-diam, kabarnya mengerahkan orang-orang
pandai untuk menghadapi gerakan klta. Juga berita rahasia menyampaikan bahwa
pasukan istimewa dari kota raja sudah diberangkatkan. Hal ini harus kita
selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan oleh mereka,” Liong Ki Ong berkata.
“Selain itu,
juga Jenderal Kao Liang telah mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun
sini dan ke Teng-bun, maka kita harus lebih waspada,” berkata pula Kim Bouw
Sin. “Kabarnya, ada beberapa orang yang mencurigakan telah berada di kota ini,
akan tetapi kami telah menyebar mata-mata sehingga Paduka tidak perlu
khawatir.”
“Yang
mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri Milana dan datangnya pasukan liar dari
Tambolon itu,” kata Liong Khi Ong. “Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?” Pangeran
ini selalu mengandalkan nasehat pembantunya yang amat lihai ini.
“Sudah jelas
bahwa Puteri Mllana tentu menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan
kang-ouw. Akan tetapi harap Paduka jangan khawatir karena saya pun sudah
mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang saya tidak dapat mengerahkan seluruh
anggota kaum sesat karena hanya sebagian saja yang tunduk kepada saya, akan
tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian sudah saya suruh, bersiap-siap di
kota raja menanti saat penyerbuan dan sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di
sekitar Teng-bun. Ada pun puteri itu sendiri, biar pun kabarnya amat lihai,
namun saya tidak jeri menghadapinya, apa lagi di sini terdapat Siang Lo-mo.”
Dua orang
kakek kembar itu mengangguk-angguk. “Dia memang hebat, tapi kami tidak takut,”
kata Pak-thian Lo-mo.
“Dengan ilmu
kami yang baru, sekali ini kami sanggup mengalahkannya,” kata pula Lam-thian
Lo-mo.
“Bagus!
Kalau begitu kita tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang
membantu Puteri Milana. Akan tetapi, bagaimana dengan pasukan liar itu? Walau
pun Tambolon pernah bersekutu dengan kita, tetapi kedatangannya ini hanya
mengacaukan rencana kita saja. Bagaimana baiknya?”
“Pasukannya
hanya seribu orang, kalau menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak
kesukaran. Dalam waktu sehari saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup
mengerahkan lima ribu orang saja!” Kim Bouw Sin berkata.
“Saya kira
itu bukan merupakan siasat yang baik, Kim-ciangkun,” kata Tek Hoat. “Dalam
keadaan seperti sekarang ini, menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat,
kita harus menyimpan tenaga, bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita.
Tambolon datang pada saat kacau ini tentu hanya untuk mencari kesempatan baik
guna mengeduk keuntungan, maka mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah
kita suruh mereka menyerbu dusun Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan
pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk Cong dengan janji menyerahkan dusun itu
kepadanya! Ini hanya siasat untuk sementara saja, biar anak buahnya menjadi
puas merampok, membunuh dan memperkosa. Selain hal ini melemahkan kedudukan
musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa sih sukarnya menendang
mereka keluar kalau urusan sudah selesai?”
“Bagus!”
Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk tangan. “Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini
memang hebat. Bagaimana pendapatmu, Ciangkun?” Liong Khi Ong bertanya sambil
memandang kepada semua orang.
Panglima Kim
bersama semua perwira mengangguk-angguk. Memang siasat itu baik sekali.
“Kalau
begitu, sekarang juga hubungilah Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau
sendiri yang berhadapan dengan dia agar dia percaya penuh.”
Kim Bouw Sin
mengangguk lalu bersama dua orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan
beberapa orang perwira meninggalkan tempat itu. Mereka langsung menuju ke
benteng dan naik ke benteng itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus
menyerahkan surat panggilan kepada pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar
kota itu.
Tak lama
kemudian muncullah tiga orang penunggang kuda, yaitu seorang komandan pasukan
liar yang dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di
atas jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan
dan dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong. Dia
menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian
bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin.
Begitu
bertemu, dia bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia
bertanya, “Urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Dia mengerti bahasa Han,
akan tetapi bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan
sopan santun.
Kim Bouw Sin
mendongkol. Orang ini hanyalah seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya
seribu orang. Kalau dia menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan
orang ini bersikap demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar
barisan pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari
pemerintah baru di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang
tidak kurang dari lima laksa orang banyaknya!
“Apakah
engkau komandan dari pasukan yang berada di luar itu?” Panglima Kim Bouw Sin
bertanya.
“Benar,
akulah orang yang diserahi pimpinan atas pasukan maut kami itu!” jawab Si
Komandan dengan bangga.
“Kalau
begitu, kami persilakan Ciangkun untuk masuk ke dalam benteng agar kita dapat
mengadakan perundingan.”
“Ha-ha-ha-ha,
apa lagi yang hendak dirundingkan? Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat,
menggempur, membasmi, menawan atau membunuh. Kami sedang menanti perintah,
begitu perintah tiba kami akan menghancurkan dan membumi hanguskan kota ini,
ha-ha-ha!”
Tentu saja
Kim Bouw Sin menjadi makin marah. Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran
Liong Khi Ong, tentu dia sudah menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan
asing ini.
“Kalau
begitu, dengan siapakah kami harus berunding?”
“Tentu saja
dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang sakti dan yang sudah siap
menghancurkan kota ini.”
“Hemm,
dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di mana adanya beliau?”
Tiba-tiba
terdengar suara hiruk-pikuk dan beberapa orang penjaga di pintu benteng itu
terlempar ke kanan kiri. Muncullah tiga orang laki-laki dan seorang di antara
mereka lalu menudingkan ibu jari kiri ke hidungnya sendiri sambil berkata,
“Inilah adanya aku, Raja Tambolon!”
Kim Bouw Sin
terkejut sekali dan menoleh. Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu
adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan
kuat, matanya terbelalak lebar penuh kebengisan. Biar pun pada saat itu orang
ini berpakaian seperti seorang petani atau buruh kasar, namun jelas betapa
sikapnya keagung-agungan dan sikap ini adalah sikap orang yang biasanya ditaati
perintahnya.
Orang kedua
yang berada di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu adalah seorang
laki-laki tua bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya
seperti pandang mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya
memegang sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Ada pun orang
ketiga yang berusia empat puluh tahunan, termuda di antara mereka, adalah
seorang berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa
liar itu.
Panglima Kim
Bouw Sin bermata tajam dan dapat mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang
menyamar ini bukanlah orang-orang biasa dan komandan pasukan liar di depannya
itu tertawa sambil memandang kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada
Raja Tambolon, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada
sambil berkata, “Maafkan kami yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan
penyambutan!”
“Ha-ha-ha!”
Raja Tambolon tertawa bergelak. “Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan
diam-diam menyelinap ke dalam. Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami
melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang
terkenal itu, bukan?”
“Benar,
Ong-ya. Kami persilakan Ong-ya untuk masuk ke benteng dan mengadakan
perundingan bagi keuntungan kita bersama.”
“Bagus,
bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kau tarik mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk
mengambil ransum dari kota ini dan... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu
tidak begitu pelit untuk memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku,
bukan? Ha-ha-ha!”
“Jangan
khawatir, Ong-ya,” berkata panglima itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk
mengadakan perundingan seperti yang telah direncanakan oleh Tek Hoat dan
Pangeran Liong Khi Ong tadi.
Selagi
Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo
memasuki kamar perundingan di dalam tempat penjagaan di benteng bersama Raja
Tambolon yang dikawal ketat oleh dua orang pengawalnya yang menyamar sebagai
sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah yang telah dijadikan sarang
para pimpinan pemberontak itu terjadi geger.
Ternyata
bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala Daerah ini yang kini telah dikuasai
pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang telah menjadi kaki tangan pemberontak,
bahkan malam ketika terjadi keributan itu, pihak pemberontak sudah
mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak. Bukan hanya Perwira Phang yang
diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain terpaksa melarikan diri, juga
semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap dan dibunuh!
Pasukan
dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula yang melarikan diri.
Mereka yang menakluk masih dipergunakan berikut para perwira mereka yang
menakluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya kini dicampur dengan
pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira dari pemberontak.
Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram Koan-bun yang hanya
sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu semalam saja tanpa
banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan pemberontak yang
operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.
Pengambil
alihan kota Koan-bun itu terjadi secara diam-diam dan dengan amat mudah
sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal masuk saja melalui pintu benteng
yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa ini ditonton oleh pasukan Tambolon
yang berkemah di luar kota sambil tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar
tanpa melakukan sesuatu karena mereka menanti perintah dari pemimpin besar
mereka, yaitu Raja Tambolon yang bersama dua orang pengawalnya menyelundup
masuk kota Koan-bun. Maka ketika datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin,
komandan pasukan Kimonga yang datang memenuhi undangan itu tidak berani
mengambil keputusan apa-apa.
Tentu saja
semua peristiwa ini diketahui dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao
Liang. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya
saja karena merasa belum tiba waktunya. Pada saat itu pula, Jenderal Kao sedang
menyusun kekuatan dan diam-diam telah melakukan persiapan-persiapan untuk
segera menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi pasukan liar yang dipimpin
Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu.
Pasukan
Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggotanya terdiri
dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan
ada pula orang Han bekas anggota Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata
adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati.
Sementara
itu, kegegeran pagi hari itu di gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee
dan Kian Bu. Seperti diketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil
menyelundup masuk ke taman bunga gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri
gedung dan terus saja mereka menyelinap masuk melalui pintu belakang dan
ubek-ubekan mencari Syanti Dewi! Mereka telah menangkap pelayan sampai lima
orang banyaknya yang mereka paksa mengaku, akan tetapi tidak seorang pun di
antara mereka yang tahu tentang Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan
para pelayan itu dan terus masuk makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi
atau menyelidiki pemuda berpedang dan orang tua yang naik kereta tadi.
Ketika
mereka tiba di gudang belakang, mereka mendengar keluh-kesah dan tangis dari
dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee meloncat ke atas genteng dan mengintai.
Tampak oleh mereka isteri kepala daerah dan keluarganya yang dikumpulkan
menjadi satu di tempat itu. Mereka hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu
melakukan sesuatu.
“Beginilah
perang.” Kian Lee berbisik. “Betapa kejam dan jahatnya!”
Ketika
mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit tertahan seorang wanita dari sebuah
kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka bahwa suara itu mungkin
suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai dari celah jendela kamar
itu, diikuti oleh Kian Lee. Apa yang tampak oleh mereka di sana membuat Kian Bu
hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat lengannya ditangkap oleh
kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira kelihatan sedang memperkosa
seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah keluarga dari kepala
daerah tadi!
“Diamlah,
kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu sebagai anggota keluarga yang melawan
kami. Diam!”
Kian Lee
menarik tangan Kian Bu menjauh dari situ. Muka mereka merah sekali, sepasang
mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi dan sampai lama mereka duduk berlindung
di belakang bangunan untuk menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama
kemudian, tampak perwira tadi keluar dari kamar itu. Kian Lee tidak dapat lagi
mencegah adiknya yang memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali
menggerakkan tangan, batu itu menyambar dan tepat mengenai pelipis perwira itu.
Tanpa sempat
mengeluarkan teriakan, perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu
saja dia tewas seketika! Terdengar suara aneh di dalam kamar itu dan ketika
mereka cepat mengintai lagi, mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh
telanjang bulat sudah rebah telentang di atas lantai dan sebatang gunting
menancap di antara buah dadanya yang masih muda. Wanita itu telah membunuh
diri!
“Perang...
akibat perang...,” Kian Lee mengeluh.
“Bedebah
dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Bahkan di waktu damai sekali pun ada saja
manusia keji yang melakukan perbuatan biadab seperti ini!”
“Benar,
Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak di waktu perang. Semua itu terjadi karena
terbuka kesempatan, dan di waktu perang terbuka segala macam kesempatan bagi
orang-orang yang batinnya lemah sehingga mudah menurutkan nafsu jahat melakukan
hal-hal yang biadab seperti ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang
sejak dahulu kala, pembunuhan kejam tanpa sebab tertentu, perampokan
semena-mena, perkosaan yang biadab, semua terjadi dalam perang. Di waktu damai,
membunuh manusia pun akan berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu
perang, membunuh sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin
baik, makin besar jasanya!”
“Perang!
Phuh, muak aku, Lee-ko!”
“Hemm, kau
lupa apa yang menyebabkan kita berdua berada di sini?”
“Ya,
sebabnya adalah pemberontakan.”
“Perang
juga!”
“Kita
terseret mau tidak mau karena kita membela Enci Milana.”
“Dan Enci
Milana terseret karena hendak membela kerajaan.”
“Dan
kerajaan membela siapa?”
“Aha,
membela diri sendiri tentunya, membela kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak
akan membela kedudukannya, Bu-te? Semua pemerintah yang sedang berkuasa di
dunia ini, tentu tidak akan rela begitu saja kalau ditentang, dan setiap
penentangnya dianggap pemberontak dan akan dibasmi oleh pemerintah itu.”
“Hemm,
siapakah pemerintah itu, Lee-ko?”
“Pemerintah?
Tentu saja kaisar dan para pembesarnya.”
“Jadi
orang-orang juga, bukan? Orang-orang yang telah memperoleh kedudukan tinggi,
tentu saja mempertahankan kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?”
“Yang
memberontak sudah jelas adalah kedua orang Pangeran Liong dan dibantu para
pembantunya.”
“Juga
orang-orang yang tidak mendapat bagian, atau orang-orang yang tidak puas dengan
kekuasaan mereka sekarang ini, dan ketidak puasan itu tentulah karena mereka
berada di bawah, bukan? Hemmm, andai kata pemberontakan mereka berhasil, tentu
mereka akan berbalik menjadi di atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan
merekalah yang menjadi pembesar-pembesar wakil pemerintah.”
“Ya, dan
tentu timbul pula mereka yang tidak puas karena tidak mendapat bagian tadi,
karena iri dan ingin di atas. Maka tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan
peperangan ini, Bu-te!”
Kian Bu
menggeleng-geleng kepalanya. “Manusia memang gila!”
“Kita juga.
Kita juga manusia dan kita sekarang pun terlibat!”
Tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang prajurit. “Tangkap
mata-mata!”
“Jangan
sampai lolos!”
“Bunuh! Dia
telah membunuh Kok-ciangkun!”
“Ada
pelayan-pelayan yang pingsan!”
Kian Lee dan
Kian Bu terkejut. Karena keenakan bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada,
sehingga ketahuan oleh penjaga yang segera mengajak teman-temannya mengepung
mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat dengan niat untuk melarikan diri keluar
dari gedung itu. Akan tetapi para prajurit pemberontak itu menerjang mereka dan
dengan cepat kedua orang kakak beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam
orang prajurit berpelantingan ke kanan kiri!
“Bu-te,
lari...!” Kian Lee berseru kepada adiknya.
Kian Lee
khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda orang, suka
berkelahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ, padahal tempat
itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para pimpinan pemberontak.
Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka dia cepat melompat
mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang pengeroyok terdepan.
Sisa para
prajurit pemberontak itu mengejar, akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah
cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang sudah meloncat ke bagian belakang dari
kompleks gedung besar itu. Mereka maklum bahwa lari melalui depan amat
berbahaya. Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang, mereka bertemu dengan
banyak prajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang!
“Huh,
kiranya kalian mata-mata!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek Hoat.
“Dan engkau
anjing pemberontak!” Kian Bu memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci
kepada pemuda ini semenjak dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru
sekaranglah dia teringat akan pemuda ini yang pernah menculik Jenderal Kao.
“Kiranya engkau Si Penculik itu!”
Bentakan
Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee dan marahlah pemuda ini. Tak disangkanya
bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan gagah itu ternyata adalah pemuda kaki
tangan pernberontak yang pernah menculik Jenderal Kao. Kini dia pun teringat
dan cepat dia menerjang maju pula bersama Kian Bu.
Biar pun dia
maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai, Tek Hoat yang terlalu percaya kepada
kepandaiannya sendiri, memandang rendah. Apa lagi dia masih belum ingat bahwa
dua orang ini adalah mereka yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu
banyak dia berhubungan dengan orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu
Pangeran Liong sehingga dia lupa kepada dua orang pemuda ini. Akan tetapi
begitu mendengar Kian Lee menyebutnya penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat.
Seketika teringatlah dia akan dua orang pemuda yang dulu pernah membantu
Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo menyerbu rombongan jenderal itu.
“Aihhh, jadi
kaliankah mereka itu?” bentaknya sambil mengerahkan kedua tangannya dengan
tenaga sinkang untuk menangkis pukulan Kian Lee dan Kian Bu.
“Duk!
Plakkk!”
“Ahhhh...!”
Tubuh Tek
Hoat terlempar ke belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas.
Demikian dahsyat pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang
mendatangkan hawa dingin dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui
tangkisannya kalau dia tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga
dalamnya untuk melindungi tubuh sebelah dalam. Dia sudah meloncat lagi dan
segera mencabut Cui-beng-kiam!
Sementara
itu, ketika Tek Hoat terlempar dan bergulingan, para prajurit telah menerjang
kedua orang pemuda itu, dibantu pula oleh beberapa orang berpakaian preman yang
merupakan kaki tangan Tek Hoat dan bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik.
Ilmu silat mereka ini tentu saja lebih tinggi dari pada para prajurit, akan
tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian Lee menyapu mereka seperti petani membabat
rumput saja.
Melihat Tek
Hoat mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang
saudara itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh,
maka mereka cepat mengulur tangan menyambut serangan para prajurit bertombak
dan sambil menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang
tombak bergagang besi.
“Mundur
semua, kurung saja mereka!” Tek Hoat membentak marah sekali ketika melihat
betapa para prajurit dan kaki tangannya sama sekali tidak berdaya menghadapi
dua orang pemuda itu. Semua prajurit lalu mundur, mengurung dengan senjata
ditodongkan ke depan. Jumlah mereka yang banyak sekali membuat dua orang kakak
beradik itu memandang khawatir.
Akan tetapi
Tek Hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari jalan lari karena
dia sudah mengeluarkan suara melengking yang menggetarkan jantung semua orang
yang hadir di situ kecuali Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke
depan didahului oleh sinar pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan. Pedang ini
adalah pedang ciptaan mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang
seperti iblis, maka dibuatnya juga dengan cara mukjijat dan entah sudah minum
berapa banyak darah manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya
sehingga kalau dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mukjijat yang amat
menyeramkan.
“Sing...
sing... tranggg... krek! Krek...!”
Kian Lee dan
Kian Bu terkejut sekali ketika tombak rampasan mereka patah ketika bertemu
dengan sinar pedang di tangan lawan itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus
menyerang dengan gencar, pedang Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi
sinar bergulung-gulung yang dahsyat menyambar-nyambar.
Namun dua
orang lawannya itu adalah putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah
digembleng oleh orang tua mereka yang sakti. Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit
pun tidak menjadi gentar biar pun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan
orang sembarangan melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
memegang sebatang pedang yang ampuh dan mukjijat pula.
Tanpa
bersepakat lebih dulu mereka telah tahu bagaimana caranya menghadapi lawan yang
berpedang mukjijat, sedang mereka sendiri hanya memegang potongan tombak! Cepat
mereka mengeluarkan ilmu mereka dan mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan
tubuh yang luar biasa sehingga tubuh mereka kini bergerak mencelat ke sana sini
seperti dua ekor burung walet yang amat ringan beterbangan di antara sambaran
sinar pedang Cui-beng-kiam, kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka
untuk menusuk dan menotok jalan darah!
“Ahhh...!”
Tek Hoat berseru kaget sekali.
Dia juga
mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang,
akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak dapat
dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya dan
tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil
mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang
di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya,
perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak! Hampir saja Tek Hoat yang selama ini
menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri
mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia
memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak
buntung.
Mana mungkin
ini? Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik mengerikan, pekik yang mengandung
khikang luar biasa sehingga beberapa orang prajurit yang terlampau dekat
terjungkal pingsan, kemudian dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari
kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin secara
bergantian.
Namun
sia-sia belaka. Sungguh pun Kian Lee dan Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan
yang bermacam-macam dan kesemuanya amat luar biasa itu, namun dengan ilmu silat
mereka yang kokoh kuat dan bersih dari Pulau Es, mereka dapat menandingi
gerakan lawan dan selalu dapat mengelak sambil mengirim tusukan-tusukan kilat.
Mereka terus mendesak Tek Hoat dan setiap kali ada prajurit atau pembantu Tek
Hoat berani maju, dua orang maju, roboh dua orang, empat orang maju roboh pula
semua, bahkan pernah sekaligus delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai
ini sehingga akhirnya tidak ada lagi yang berani maju melainkan mengurung dan
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tombak dan golok.
Tek Hoat
menyesal sekali mengapa dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu
Pak-thian Lo-mo, pada saat itu mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan
perundingan dengan Raja Tambolon. Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh
Siang Lo-mo akan dapat menawan dua orang pemuda hebat ini.
“Bu-te,
mundur ke jembatan!” Tiba-tiba Kian Lee berseru.
Kian Lee
cepat memutar tombak buntungnya, melakukan penusukan kilat bertubi-tubi ke arah
sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali. Karena khawatir menghadapi
serangan aneh yang amat berbahaya itu, dia memutar pedangnya di depan mukanya
untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh ujung tombak buntung.
Kesempatan
itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma untuk mundur ke jembatan yang merupakan
jalan terakhir di taman belakang menuju ke tembok yang mengurung kompleks
gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai buatan kecil di taman itu mereka
akan dekat dengan dinding dan sekali melompat melewati dinding tentu akan
berada di luar dan mudah melarikan diri.
Akan tetapi,
tiba-tiba bayangan yang amat cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja,
melayang dari dinding itu dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua
orang terkejut menyaksikan betapa ada orang dapat meloncat dari dinding ke
jembatan bagitu saja! Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua
prajurit tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga
belum pernah melihat wanita yang buruk rupanya ini.
Wajah wanita
ini buruk sekali untuk ukuran wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku,
pantasnya wajah seorang laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya
riap-riapan sudah bercampur uban dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan
tampak membusung di balik bajunya yang panjang itu tentu dia akan disangka
laki-laki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya
seperti ular.
Beberapa
lamanya nenek ini berdiri di atas jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara
tertawa aneh dan suaranya juga besar seperti suara laki-laki. Kemudian sekali
kedua kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan dan dari atas
tongkatnya bergerak menusuk ke arah ubun-ubun Kian Lee!
“Hehhh!”
Kian Lee mengelak sambil berseru kaget, otomatis pula tombak buntungnya menusuk
dari bawah ke arah lambung nenek itu, seperti kilat menyambar cepatnya.
“Heiiiii...
ternyata kau hebat juga!” Nenek itu memekik, tongkatnya menangkis sambil
mengerahkan sinkang-nya.
“Takkk!”
Tubuh nenek
itu mencelat lagi, jelas bahwa menghadapi tenaga Swat-im Sinkang dari Kian Lee,
dia terkejut dan tidak dapat bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan
tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu
dan tongkatnya membuat gerakan seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu
dan disambung dengan tusukan ke arah bawah pusar.
Gerakan
nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biar pun masih muda sudah memiliki
tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah menangkis dan berbareng
meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya membalas dengan serangan maut
yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!
“Huh, luar
biasa!” Nenek itu berseru, mencelat ke belakang lalu melompat lagi ke depan,
terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee secara bergantian.
Dua orang
pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh dari wanita buruk itu dan
juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah memutar pedangnya lagi. Karena
terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari wanita itu, untuk beberapa
lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak hebat.
Gerakan
wanita itu memang aneh sekali. Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki
berbareng, mencong ke kanan kiri, depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti
seorang anak kecil bermain-main, kadang-kadang sampai tinggi sekali dan
menyerang dengan tongkatnya dari atas. Menghadapi gaya serangan yang aneh
seperti ini, yang belum pernah dilihatnya, Kian Lee dan Kian Bu takjub dan
terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali, juga girang karena nenek yang
tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus membantunya, sehingga dia
terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai itu.
“Bu-te, mari
pergunakan pelajaran terakhir!” tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya.
Kian Bu
mengangguk dan tiba-tiba mereka melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian
Lee melontarkan tombaknya ke arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah
nenek buruk. Biar pun hanya tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang
kakak beradik ini tidak boleh dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal
sekali pun, tombak buntung itu akan dapat menembus, apa lagi tubuh manusia!
Tenaga yang mendorong tombak sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang
membuat tombak meluncur melebihi anak panah cepatnya.
“Cringg...!”
“Trakkk...!”
Tek Hoat dan
nenek itu berhasil menangkis tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi
mereka merasa betapa telapak tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas
dan nyeri sehingga mereka terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang
melihat dua orang pemuda itu ‘membuang’ senjata mereka, agaknya mereka sudah
putus harapan dan agaknya pelajaran terakhir adalah melontarkan tombak tadi.
“Ha-ha,
itukah pelajaran terakhir kalian?” ejeknya.
Akan tetapi
dia berseru kaget dan cepat memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian
Bu sudah menerjangnya dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu
menyambar hawa yang amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan
kiri, yang panas keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini? Tek Hoat sendiri
telah mempelajari ilmu-ilmu sinkang dari kitab-kitab peninggalan kedua datuk
Pulau Neraka, bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih
ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan
yang sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan
tenaga sinkang-nya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua
hawa sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat
cepatnya, tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat!
Melihat
adiknya sudah bergerak, Kian Lee kemudian juga melakukan gerakan yang sama.
Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar, mengimbangi gerakan nenek yang aneh
tadi, dan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, mengeluarkan hawa panas
dan dingin secara berbareng sehingga nenek itu terkejut, berteriak keras dan
mencelat mundur.
Memang
itulah pelajaran terakhir yang dimaksudkan oleh Kian Lee tadi. Sebelum mereka
keluar dari Pulau Es, ayah mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk
mempelajari ilmu ini, ilmu yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti,
mengambil inti dari gerakan ilmu silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai
dan Kilat) dengan menggunakan inti pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti
Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) digabung menjadi
satu!
Ilmu Silat
Soan-hong-lui-kun tidak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua
maka Pendekar Super Sakti hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan
kedua orang puteranya itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak
terduga-duga oleh lawan! Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua
tangan yang masing-masing merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang,
maka dua orang pemuda itu tadi telah membuang tombak buntung mereka.
Setelah
kedua orang kakak beradik itu mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka
dapat mengimbangi lawan dan tidak terdesak lagi sungguh pun hawa pukulan mereka
yang berselang-seling panas dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak
menjauh dan tidak berani terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat
terlalu mendesak karena senjata kedua orang lawan mereka amat lihai.
Tek Hoat
menjadi penasaran bukan main. Kembali dia bertemu dengan ‘batu’! Tidak
disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat orang muda yang begini
hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda tinggi besar yang dulu
menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya. Kiranya bukan hanya dia
seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini. Kenyataan ini
sedikitnya telah menghancur leburkan kebanggaannya, membuka matanya sehingga
dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago muda nomor satu di
dunia!
Sementara
itu, nenek yang didesak oleh Kian Lee yang lebih berani mendesak dari pada Kian
Bu karena nenek itu hanya bersenjata tongkat, bukan pedang mukjijat seperti
yang dipegang oleh lawan Kian Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan
dan aneh, seperti suara jerit seekor binatang yang terjepit. Tiba-tiba dia
meloncat agak jauh ke belakang dan ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan
kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda
bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee sedang meloncat dan lontaran itu cepat
sekali, maka dia tidak sempat lagi mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke
arah kaki kirinya dia menendang benda hitam bulat itu.
“Darrrrr...!”
Benda itu
meledak ketika ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke
bawah dan darah membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan
besi. Kiranya benda itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena
tidak mengira sama sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi
kurang hati-hati dan pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya
terluka yang lumayan parahnya.
“Lee-ko...!”
Kian Bu berseru kaget sekali dan sekali meloncat, dia telah berada di depan
nenek itu, terus menyerangnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh
tenaga.
Dipukul
dengan Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu,
Si Nenek terkejut dan biar pun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong
oleh hawa pukulan sehingga dia terhuyung-huyung dengan muka pucat dan roboh.
Cepat dia bergulingan, kemudian meloncat ke atas lagi.
Suma Kian Bu
sudah menarik kakaknya bangun, kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke
atas jembatan.
“Lepaskan
aku, aku bisa membela diri. Mari kita ke dinding itu...” kata Kian Lee sambil
menyeret kaki kirinya yang sukar digerakkan
Melihat
seorang pemuda telah terluka, para prajurit dan pembantu Tek Hoat menjadi
berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah menyerang dengan tombaknya.
Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas sebatang tombak dan memutar
tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada yang dikemplang tombak, ada
yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang didorong oleh tangan kirinya.
“Hayo,
Lee-ko...!” Dia hendak menggandeng kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu,
seorang pembantu Tek Hoat yang gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang
berjenggot dan berkumis pendek telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.
“Haiiittt...!”
Kian Bu berseru, kaki kirinya yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan
dengan tepat menangkis tombak itu, lalu dia membalik, tombak yang dipegangnya
menyambar ke arah kepala orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu
telah terlempar oleh tangkisan kaki Kian Bu.
“Ouhhhh...!”
Orang itu mengelak, akan tetapi tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak
sehingga remuk.
“Wadouuuhhh...!”
Dia
berloncatan sambil memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan
saking sakitnya dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa
disengaja dia menabrak dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak
mengejar Kian Lee dan Kian Bu. Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri
yang sedang kesakitan, Tek Hoat marah-marah dan ditendangnya pembantu yang
sudah tidak berdaun telinga kiri lagi itu.
“Ngekkk!”
Pembantu itu terlempar, terbanting dan tidak bergerak lagi.
Kian Bu dan
Kian Lee sudah dikepung lagi oleh nenek dan para prajurit dan selain Kian Bu
mengamuk dengan hebat, Kian Lee yang sudah terluka pahanya itu pun masih
melawan. Setiap ada tombak menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya
lalu terpelanting. Pada saat yang amat berbahaya itu tampaklah
berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan dari dinding belakang.
Mereka itu
bukan lain adalah Si Gendut anggota Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya.
Mula-mula hanya belasan orang saja yang berloncatan masuk dan langsung saja Si
Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang para prajurit pemberontak yang
mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee. Melihat ini, Tek Hoat menjadi kaget dan marah,
dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu ada yang sepandai dua orang
pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang hanya
gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang dipimpin Si Gendut, dia
memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran karena Kian Bu dan Kian Lee
sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi.
Kian Bu yang
tadi melihat kesempatan baik selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut
dan kawan-kawannya, cepat mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas
dinding kebun lalu meloncat pula turun. Banyak prajurit yang juga berloncatan
naik dan melakukan pengejaran.
“Lepaskan
aku, biar aku dapat melawan!” Kian Lee berkata.
Kian Bu yang
mendapat kenyataan bahwa kakaknya tidak terluka terlalu berat dan hanya
terpincang-pincang itu, melepaskan kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil
melarikan diri menyelinap ke tengah kota di antara rumah-rumah orang. Akan
tetapi, nenek buruk itu sudah dapat menyusul mereka dan bersama banyak prajurit
dia telah mengeroyok Kian Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek
itu merupakan lawan yang tidak ringan.
“Toanio,
tangkap dia hidup-hidup!”
Suara Tek
Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apa lagi ketika dia menengok dan tidak dapat
melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat
menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh
pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat
sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biar pun
terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari
nenek itu. Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan
pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini menghantam
ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini hidup-hidup.
“Wuuuutttt...
plakkkk!”
Tek Hoat
terbelalak ketika melihat betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak
tangan orang lain dan seluruh tubuhnya menjadi tergetar hebat. Ia masih
mengerahkan tenaga Inti Bumi ke telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi
sedikit pun tangan itu tidak bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua
yang dikenalnya sebagai laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi
mendorong, dia tidak dapat bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat! Ternyata
laki-laki ini malah lebih lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja,
agaknya laki-laki ini pun mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi!
Laki-laki
itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan
berkata, “Mari kita pergi...!”
Kian Bu
meragu, “Lee-ko...”
“Di mana
dia?”
“Entah, kami
berpisahan, dia terluka pahanya...”
“Keparat!”
Tek Hoat berteriak marah dan kini menyerang Gak Bun Beng dengan pedang
Cui-beng-kiam!
Bun Beng
terkejut melihat pedang ini dan cepat mengelak dengan rendahkan tubuhnya.
Sambil mengelak tangan kanannya menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini
bergerak, tanah pasir yang merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat
menyambar ke arah pedang itu, disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah
Tek Hoat.
“Trikk-trikk-cringgg...
aihh...!”
Tek Hoat
cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada
pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga tangannya yang
terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan
hantaman tangan kiri tadi biar pun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa
pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan
isi dadanya! Dia menjadi jeri dan hanya melongo melihat kedua orang itu
melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.
“Kejar...!”
Dia berseru dan menyuruh para prajurit mengejar, sedangkan dia sendiri
menghampiri nenek itu.
“Mereka
hebat, dan laki-laki yang baru datang tadi... hemm, hanya satu orang saja di
dunia ini yang memiliki kepandaian seperti itu.” kata Si Nenek menghela napas
panjang.
“Siapa?” Tek
Hoat bertanya penasaran. “Pendekar Super Sakti?”
“Memang, dan
itulah anehnya. Sudah jelas dia bukan Pendekar Super Sakti, akan tetapi
kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda itu! Hemmm, aku tidak akan heran
kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es...”
“Dan Toanio
(Nyonya Besar) sendiri siapakah? Saya berterima kasih atas bantuan Toanio.”
“Hi-hi-hik,
karena kau tampan sekali maka aku membantumu! Memang kami berniat membantu
pemberontakan menumbangkan pemerintah yang sudah banyak merugikan kami, akan
tetapi Suheng dan Sumoi adalah orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa
mau sendiri sehingga hanya aku seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar
bahwa pihak pemberontak mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan
dan berjuluk Si Jari Maut. Tentu engkau, bukan?”
Tek Hoat
tersenyum. “Saya bernama Ang Tek Hoat dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah
kita masuk ke dalam gedung itu dan kita bicara. Toanio tidak keliru membantu
kami dan akan kuperkenalkan kepada Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada
di sini.”
Mereka lalu
berjalan sambil bercakap-cakap menuju gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu.
Ke manakah
perginya Kian Lee? Pemuda ini yang merasa betapa dada kirinya sakit sekali
maklum bahwa pecahan besi itu tentu mengandung racun dari obat peledak, terasa
panas, perih dan kaku. Dan dia mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu
banyak lawan, dan nenek itu, juga pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri
tentu tidak akan kuat menghadapi mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan
sendiri, tentu berbahaya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian
Bu tentu tidak akan mau meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan
adiknya agar Kian Bu juga cepat pergi dari tempat berbahaya itu, tidak
melanjutkan pertandingan dan akan mencarinya.
Kesempatan
ini tiba ketika dia melihat seekor kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang
terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap dan tanpa diketahui oleh siapa pun dia
lalu membuka daun pintu itu, menyelinap masuk, lalu memasang palang pintu dari
dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar
dan lega.
“Meong...!
Meong...! Meonggg...!”
Kian Lee
terbelalak melihat begitu banyaknya kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam
ekor kucing yang bagus-bagus merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing
itu adalah musuh-musuh yang hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah
binatang-binatang itu penuh perhatian, siap untuk melawan kalau mereka
menyerang!
“Meong...
meong... meooonggg...!”
Kucing-kucing
itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya sambil
mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah kucing-kucing
lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, dan semua bersih
terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh
rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor
kucing darl dalam sehingga jumlahnya ada dua puluh ekor lebih!
Betapa pun
cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam
warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing yang
mengurungnya. Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar,
akan tetapi dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan
seram! Pahanya yang sebelah kiri terasa sakit dan panas, mengucurkan darah
cukup banyak dan dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua
puluh pasang mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah
menyihirnya, membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha
menggoyang-goyang kepala, membuka buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya
makin berat dan pusing, dia terhuyung-huyung.
“Ouhhhh...”
Hampir dia roboh kalau dia tidak buru-buru menangkap sebatang tiang di dalam
ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.
“Heiii,
Belang...! Putih...! Heiii, Hitam... ada apa kalian ribut-ribut di situ...?”
Suara yang halus bening dan penuh keriangan ini masih dapat menembus
pendengaran Kian Lee yang mulai terngiang-ngiang. “Hei, kucing-kucing lucu, di
mana Su-kouw (Bibi Guru)...?”
Lalu pandang
mata Kian Lee yang sudah mulai gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik
yang tampak olehnya seperti munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah
dia melihat seorang bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa
mengulurkan tangannya untuk menolong.
“Uuhhh...!”
Dan dia pun terguling dan roboh ke atas lantai tak sadarkan diri.
Kian Lee
mengeluh dan mengerang. Dia mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang
terbakar, kakinya terhimpit balok terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki
yang terhimpit balok nyeri bukan main dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba hujan
turun, api yang membakar sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok
terkena air, terasa dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan
api yang tadi menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang
paha kaki kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti
suara gadis yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng.
Tercium
olehnya bau harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah,
cantik bukan main, wajah Lu Ceng yang dirindukannya...!
Kian Lee
membuka sedikit matanya dan ternyata mimpinya itu menjadi kenyataan, karena
benar saja dia melihat seraut wajah cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa
mimpinya menjadi kenyataan dan mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk
bersimpuh di dekatnya dan menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik
menyusuti dahinya dengan sehelai sapu tangan yang dibasahi, begitu lembut dan
mesra!
Mungkinkah
gadis itu begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan
kelembutan dan kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum
menggairahkan? Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti
bukan kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya
itu, berbisik halus, “Engkaukah ini... engkau...?”
Sepasang
mata yang tadinya memandang lembut dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu
bibir yang mungil itu terbuka, terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata
dan putih mengkilap. “Hi-hi-hik, kau lucu...!”
Kian Lee
mengejap-ngejapkan matanya, kini dia baru sadar betul. Ketika dia membuka mata
dan memandang lagi, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa wajah itu
bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah gadis yang dirindukan, sungguh pun
wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik jelita, wajah seorang gadis cilik,
seperti setangkai kuncup bunga yang sudah mulai tampak keindahannya,
menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa apa bila telah mekar menjadi
bunga tak lama lagi!
Kian Lee
cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit duduk. Hampir dia berteriak karena paha
kirinya terasa nyeri.
“Ngeonggg...!
Ngeooongggg...!”
Kian Lee
terperanjat dan memandang ke kanan kiri. Penuh kucing!
“Hushhh,
Belang! Hitam! Jangan nakal lho!” Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing
itu menyingkir agak menjauh dari Kian Lee, sedangkan gadis itu kemudian
membungkuk dan memondong seekor kucing kecil berbulu putih yang amat cantik.
Kian Lee
mendapatkan dirinya tadi rebah di atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya
yang dia ingat telah terluka, dia mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam
pipa celananya itu telah diobati dan dibalut orang. Dia meraba-raba,
mengerahkan tenaga sinkang ke arah paha dan mendapat kenyataan yang
menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat peledak itu telah
lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang mujarab sekali.
“Eh, di mana
aku...?” Dia berkata.
Gadis itu
sambil mengusap-usapkan pipinya yang tadi diraba tangan Kian Lee kepada
punggung kucing yang penuh bulu halus, memandang kepadanya dengan muka yang
dimiringkan dan mata bersinar, wajah berseri-seri, tersenyum dan menjawab
nakal, “Di dalam rumah!”
“Ya, tentu.
Tapi rumah siapa?”
Sepasang mata
itu bergerak nakal, dan bibir merah itu tersenyum dikulum sebelum menjawab,
seolah-olah dia hendak mencari ‘akal’ untuk menjawab, kemudian keluar
jawabannya dengan mata bersinar-sinar, “Rumah orang!”
Kian Lee
tertegun sejenak, memandang gadis cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis
ini mengingatkan dia kepada adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama
nakal dan suka menggoda orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban
aneh itu disengaja untuk menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu
yang persis seperti pandang mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.
“Eh, kenapa
kau ketawa-tawa? Apanya yang lucu?” Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau
tadi menahan geli mempermainkan orang, kini penuh penasaran!
“Aku tertawa
karena engkau mengingatkan aku akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang
baik. Ini rumah siapakah?”
“Rumah
bibiku, bibi guruku.”
“Jadi diakah
yang mengobati kakiku yang terluka?”
Gadis itu
menggeleng. “Bukan, dia belum datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan
karena belum diberi makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu
kucing-kucing kelaparan ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau
pingsan tadi.”
Kian Lee
bergidik. Dara cilik ini cantik manis sekali, akan tetapi di dalam kata-kata
dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang menyeramkan, seperti ketika membayangkan
betapa kucing-kucing kelaparan itu akan menggerogoti daging-dagingnya!
“Kalau
begitu, siapa yang mengobati kakiku?”
“Di rumah
ini hanya ada kucing-kucing ini dan aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa
mengobati luka di kakimu yang penuh dengan racun obat peledak, biar pun mereka
akan menggunakan lidah-lidah mereka yang kasar untuk secara bergantian
menjilati luka di kakimu itu.”
Kembali Kian
Lee bergidik. Cara gadis cilik ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin
orang merasa ngeri.
“Kalau
begitu, engkaukah yang telah mengobatinya?” tanyanya dengan heran sekali.
“Hemm, entah
siapa, kau cari saja sendiri. Yang ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan
kucing-kucing ini tentu saja tidak bisa mengobati. Eh, masih ada lagi selain
aku dan kucing-kucing ini, tapi aku sangsi apakah mereka itu dapat
mengobatinya.”
“Mereka
siapa?” Kian Lee bertanya sambil memandang ke kanan kiri, bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
“Mereka
inilah.” Gadis cilik itu telah melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya,
dan tahu-tahu dia kini sudah mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee
terbelalak dan melongo karena mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang
paling berbisa! Dan jelas bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah
dijinakkan atau telah tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan
itu mendesis-desis dan dari desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat
berbisa! Akan tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular ltu seperti
memainkan dua helai sapu tangan sutera saja layaknya!
Kini Kian
Lee memandang gadis itu dengan pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapa
pun halus dan cantik manis tampaknya, ternyata gadis cilik itu mempunyai
kepandaian hebat untuk menaklukkan ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya
ahli tentang racun, maka dia dapat mengobati pahanya yang terluka dan terkena
racun. Buktinya, gadis cilik ini tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena
racun obat peledak!
Kian Lee
lalu bangkit berdiri. Pahanya masih agak nyeri, akan tetapi karena sudah
terbebas dari racun, rasa nyeri dapat dipertahankan dan dia dapat menggerakkan
kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia menjura kepada gadis cilik yang sudah
memondong lagi anak kucing putih sedangkan dua ekor ular tadi entah
disembunyikan di mana, mungkin di saku baju luarnya yang panjang dan lebar itu.
“Nona, saya
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nona yang amat besar tadi.
Saya Suma Kian Lee tidak akan melupakan...”
“Wah, kau
she Suma?!” tiba-tiba gadis cilik itu membentak.
“Benar,
mengapa?” Kian Lee bertanya heran, apa lagi melihat betapa sepasang mata itu
kini terbelalak lebar memandangnya seperti mata orang marah!
“Aku... aku
benci orang yang she-nya Suma! Semua orang she Suma adalah musuh besarku,
demikian kata ayahku. Maka kalau kau she Suma, aku pun menyesal telah mengobati
lukamu... akan tetapi... hemm, kau... tampan dan gagah, engkau tentu orang
baik, maka aneh kalau kau she Suma karena menurut Ayah, she Suma adalah she
orang-orang yang jahat dan menjadi musuh besar kami.”
Kian Lee
mengerutkan alisnya. “Kalau boleh saya bertanya, Nona...”
“Nanti dulu,
aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari
orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat hingga tiap kali
mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat yang
menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!”
Kian Lee
makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi
manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu
demikian tinggi tentang racun!
“Baiklah,
aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)...”
“Iihhh, kau
kira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum
begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja,
jangan pakai kecil segala!” katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa,
akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih
mentah!
Akan tetapi
karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian
Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata, “Baik, Moi-moi. Aku
ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu
yang begitu membenci she Suma?”
“Namaku? Aku
Kim Hwee Li.”
Kian Lee
mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan dia hanya tahu bahwa
nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.
“Dan
ayahmu?”
“Tidak perlu
kukatakan.”
“Kenapa?”
“Engkau
tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku
lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti
itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya.”
“Ahhh, masa?
Katakanlah, aku tidak akan lari...” Tiba-tiba Kian Lee menghentikan
kata-katanya karena pintu depan diketuk orang.
Gadis itu
menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee
betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat,
dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin
pucat lagi.
“Celaka...!”
bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil.
“Kau... kau bersembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas...
jangan mengeluarkan suara... biar aku menghadapi Sukouw... jangan khawatir, aku
tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!”
Kian Lee
yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk
kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke
arah pintu depan.
Sedangkan
Hwee Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus,
melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu. Daun pintu terbuka lebar dan
terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian
Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek
raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis
cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah
Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Hek-tiauw
Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat
bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan
telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang
tenang-tenang saja itu, dia menghardik, “Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di
sini? Mana bibi gurumu?”
“Bibi Guru
tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama
anak buah yang kasar-kasar itu, maka aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi
dia pun tidak ada dan aku senang di sini bermain-main dengan kucing-kucingnya.
Ayah, biarkan aku bermain-main di sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau
tidak boleh aku akan menangis sehari semalam!”
“Wah-wah,
kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana
perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia
pulang, nanti kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh
dia datang mengunjungi pondok kita.”
“Baik, Ayah.
Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!” berkata demikian,
Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian
sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee.
Kian Lee
sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang. “Dia itu ayahmu? Hemm,
kiranya ayahmu Hek-tiauw Lo-mo...”
Hwee Li
terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan. “Jadi engkau
sudah mengenal ayahku?”
Kian Lee
mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik
yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega
mengatakan ini.
“Dan kau
tidak takut kepada ayahku?”
“Tidak,
mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?”
Hwee Li
melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee. “Aihhh, Twako, engkau
hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada
ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan
tetapi... kadang-kadang... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama
jika kepadaku, akan tetapi bisa juga... hemmm... amat kejam... ahhh, sudahlah,
tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?”
Kian Lee
mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo
dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?
“Engkau tadi
tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu.
Mengapa? Siapakah bibi gurumu?”
“Bibi guruku
ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi
tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru kedua yang amat mengerikan. Kalau dia
yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan
engkau.”
“Kenapa?”
“Dia tidak
akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan
dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu
tempat.”
“Hemm, apa
yang dilakukannya?”
“Aku sendiri
tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu.
Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu
apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya.
Mengerikan!” Hwee Li bergidik.
Kian Lee
teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya
terluka. “Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?” tanyanya.
“Yang
seorang buruk sekali akan tetapi yang kedua cantik sekali. Engkau tentu telah
bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tidak sampai dibawanya
lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak,
bukan?”
Kian Lee
mengangguk. “Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik,
melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan...”
“Ah, dia itu
Twa-sukouw!” Hwee Li berseru heran. “Tentu dia telah mencuri senjata rahasia
Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah
Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?”
“Hemm... karena
dia membantu pemberontak.”
“Pemberontak,
pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako!
Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak
siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak
pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kau
antarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku
datang dari Pulau Neraka, bukan?”
“Tidak, Hwee
Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo.”
“Eh, jadi
kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?”
“Aku sudah
mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu
baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku
pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana...”
“Hehh...?
Benarkah? Dua tahun yang lalu... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar
latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku
diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu...? Kakak beradik...? Wah,
wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?”
Kian Lee
mengangguk dan Hwee Li segera meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan.
“Tentu engkau akan membunuh aku!”
“Tidak,
tidak Hwee Li. Engkau adalah gadis yang baik sekali, mengapa pula aku harus
membunuhmu?”
“Engkau dan
adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman...”
“Pendekar
Super Sakti!”
“Tocu
(Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!”
“Tapi aku
tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapa pun juga, Hwee Li.”
“Benarkah?
Aku girang sekali kalau begitu. Aihhh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma!
Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau
putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau
pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku,
ya?”
Kian Lee
mengangguk dan tersenyum. “Engkau anak manis dan telah menyelamatkan aku, Hwee
Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?” Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak
terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat
siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.
“Twako...!”
Kian Lee
menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi,
berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguh pun masih belum
dewasa benar sudah nampak kecantikannya.
“Ada apakah,
Hwee Li?”
“Twako, kau
benar-benar... tidak akan lupa kepadaku?”
Kian Lee
tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Dan aku...
aku suka kepadamu, Twako!”
Kian Lee
terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu. “Tentu saja, engkau
seperti adikku sendiri!”
Mulut yang
manis itu cemberut. “Aku tidak suka menjadi adikmu!”
“Habis
bagaimana?”
“Kita adalah
sahabat, bukan kakak dan adik.”
“Baiklah,
engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Ehh, aku lupa untuk
bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouw-mu itu?” Kian Lee perlu untuk
menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi
musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.
“Twa-sukouw
berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw
Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan
mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan
lebih berbahaya dari Twa-sukouw.”
“Terima
kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal.”
“Jangan lupa
kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku.”
Kian Lee
mengangguk, tersenyum, lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia
membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.
“Awas,
Twako...!” Hwee Li mengingatkan.
Kian Lee
meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terinjak
ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee
telah lebih dulu mengelak.
“Wah,
berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya,
Twako.”
“Ehh?”
“Ji-sukouw
suka sekali memelihara kucing dan... ehh, dia sendiri sifatnya seperti kucing.
Semua kucing ini adalah peliharaannya.”
Kian Lee
menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua
Pulau Neraka dan dua orang sumoinya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia
mengangguk lagi dan kini melesat ke luar, sebentar saja lenyap meninggalkan
Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment