Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 14
Melihat
kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai
seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat kemudian menyetujui
mengangkatnya menjadi bengcu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan
main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan
otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang
memilikii ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung
karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang
suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya?
Sementara
itu Ceng Ceng sudah memerintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk
menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, sebagai
bengcu otomatis dia pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia
lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk
dijadikan pusat di mana bengcu dan pembantunya tinggal.
Malam hari
itu, biar pun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para
pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk
merayakan dan menyambut bengcu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga
para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja
hadir untuk memberi hormat kepada bengcu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan
Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya
kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.
“Engkau
sekarang lihai sekali,” Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang
lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.
“Masih tidak
selihai engkau!” jawab Ceng Ceng jujur.
“Aku heran
sekali, mengapa pula engkau menginginkan kedudukan bengcu?” Tek Hoat bertanya
lagi.
“Karena aku
ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk
menyelidiki dan mencarikan musuh besarku.”
Tek Hoat
mengangkat mukanya, memandang tajam. Tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang
mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa
dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama.
“Siapa...?”
tanyanya lirih.
“Seorang
pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia
berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya.”
“Hemmm...,
sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai... ahhh...! Di dunia ini banyak
sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai.”
“Akan tetapi
engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari
tanganmu.”
“Aihh,
dia...!” Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya. “Dia itu musuh besarmu?”
“Benar.”
“Kalau dia,
aku senang sekali membantumu. Kalau bertemu dengan dia, aku sendiri pun ingin
mematahkan batang lehernya!”
“Tidak, aku
hanya menghendaki engkau dan para anggota lain mencarinya dan paling banyak
menangkapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!” kata Ceng Ceng dan suaranya
mengandung kemarahan dan kebencian hebat.
Tek Hoat
mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya, “Kenapa?
Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya?”
“Kau tidak
perlu tahu!” Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah.
Melihat
gadis itu marah-marah, Tek Hoat cepat mengalihkan percakapan. “Lu Ceng, aku
melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan
dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau
hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang
pandai.”
Ceng Ceng
mengangguk. “Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tak ada duanya di dunia
ini. Oleh karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk
kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!”
Ceng Ceng
menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak di depan Tek Hoat sambil
mengerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam keluar dari tapak
tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam
cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!
“Sedikit
saja kau minum arakmu, kau akan mati,” kata Ceng Ceng.
Tek Hoat
mengangguk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, kemudian
menggantikannya dengan arak baru dari guci. “Hemm, engkau telah membuat dirimu,
sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!” Tek Hoat berkata
memuji, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa jeri dan dia merasa yakin bahwa
kalau terpaksa bertanding, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini.
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Tak lama kemudian
beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan
melapor. “Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak
kawan kita telah dirobohkan olehnya.”
Tek Hoat
merasa tidak senang karena dia diganggu. “Siapa dia dan mengapa dia mengacau?”
“Dia tidak
mengaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka
menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan
kerusakan.”
“Kurang
ajar!” Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.
Setelah tiba
di luar, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk,
dikeroyok oleh banyak orang. Lebih dari tiga puluh orang anggota
Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng
melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat
mudahnya. Para pengeroyok itu bagai sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik
yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka
bangkit lagi dan menerjang lagi.
“Hemm, orang
itu kuat sekali,” Tek Hoat berkata, mempercepat larinya menghampiri.
“Tek Hoat,
aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!” tiba-tiba Ceng Ceng
berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.
“Eh, kenapa?
Dia pengacau...”
“Dia lihai,
aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di sampingmu...”
“Hemm...,”
Tek Hoat tak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak,
“Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!”
Ceng Ceng
hanya menonton saat Tek Hoat telah meloncat maju. Tentu saja jantungnya
berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh
si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar
yang pernah menolongnya! Laki-laki bermuka buruk seperti setan yang telah
menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia
hendak menolong Pangeran Yung Hwa.
Seperti
diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini,
bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan
seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas
dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka
buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan,
mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan,
laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid.
Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai
seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil
membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan
akal!
Tek Hoat
sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang
amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu
mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan
kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke
pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga sudah mengerahkan tenaga pada kedua
lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika
kedua lengan mereka beradu.
“Plakk!
Duukkk!”
Keduanya
terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat
mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka
saling pandang dan Tek Hoat membentak marah. “Siapa kau?”
Akan tetapi,
orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang
sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu
pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.
“Keparat,
mampuslah kau!” bentaknya sambil menyerang.
Menghadapi
serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apa lagi ketika dia
melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini,
yang memiliki pengaruh dan hawa mukjijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat
ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang
melihat kejerian lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa
lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju
menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak, “Tek Hoat mundurlah! Aku akan
menangkapnya!”
Teriakan ini
dikeluarkan oleh Ceng Ceng sebab dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang
mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan
mengandung hawa mukjijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan
kelihaian penolongnya ini, yang dulu menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan
kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah! Tetapi pedang seampuh
itu di tangan Tek Hoat adalah lain lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam
hal ilmu silat dan tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek
Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk
memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya.
Mendengar
teriakan ini, walau pun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur.
Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini.
Biar pun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini
memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat
Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun
tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.
“Engkau
telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi bengcu harus menawanmu!” Ceng Ceng
berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok
jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk.
Orang itu
mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas
setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. “Kau... kau
gadis aneh...!”
Sudah dua
kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah
bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan
menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat
menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong
kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya?
“Ehhh...!”
Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa
orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah
menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng!
Hampir dia
tidak dapat mempercayai hal ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu
benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggota Tiat-ciang-pang
sudah cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat
atas perintah Ceng Ceng.
“Masukkan
dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai
dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan
memeriksanya!” demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera
menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di
mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan
ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.
Sementara
itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh
bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang
tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu. Semua orang memuji
kelihaian bengcu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang demikian
lihainya.
“Heran
sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemikian mudahnya?” Tek Hoat
tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka
telah duduk pula menghadapi meja.
Ceng Ceng
sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil
begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan
sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun
yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa
beracun dan tak sempat menghindarkan diri lagi saat dia menotoknya
bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia
menjawab sederhana, “Biar pun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan
hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya
engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!”
Tek Hoat
tidak mempedulikan ucapan itu. “Aku masih merasa heran dan menduga duga, dia
itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan
kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia
di dunia kang-ouw.”
“Biar besok
aku yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai
aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan
kita, syukurlah. Kalau tidak...”
“Kalau
tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?”
“Hemm...
bagaimana besok sajalah,” Ceng Ceng sendiri bingung.
Ketika dia
berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan
pergi begitu saja. Sekarang setelah dapat menawannya, apakah dia akan berhasil
pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya?
Malam itu
Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Di
dalam mimpinya itu dia melihat pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya
dan hendak memperkosanya lagi, tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi
wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan
bermuka setan itu!
Dia
terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa
dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan
terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki
bermuka setan itu biar pun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan
dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh
orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan
laki-laki tinggi besar ini.
Teringatlah
dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran
itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus,
penuh hormat, lemah-lembut dan penuh kemesraan. Cinta kasih seorang seperti
Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi!
Sebaliknya,
Tek Hoat memang tampan dan gagah, biar pun tidak setampan Pangeran Yung Hwa
namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan
yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang
rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak!
Pemuda
laknat yang memperkosanya itu pun tampan dan gagah sekali, lebih gagah dari
pada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan
seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang. Tetapi pemuda itu telah
menjadi musuh besar yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda
itu pun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak
hidupnya, merusak segala-galanya!
Dan
laki-laki yang bermuka setan ini, dia sudah tua dan menakutkan, biar pun pernah
menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh
rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah
adanya laki-laki bermuka setan ini.
Pada
keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu
berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggota
Tiat-ciang-pang, tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam
gudang, atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah. Cepat
dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah.
“Kau kira
aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau bersembunyi di balik topeng itu!”
Mendengar
ucapan ini, orang bertopeng itu sangat terkejut. “Ehhh... jangan...! Jangan
buka topengku. Kalau dipaksa... aku akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!”
Tek Hoat
tertawa. “Silakan saja mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana
kelihaianmu maka engkau sesombong ini!”
Tek Hoat
telah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang kedua tangannya masih
terbelenggu di belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu.
Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya telah mendekati muka
orang.
“Tek Hoat,
jangan...!” Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut.
Pemuda ini
bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi
begini lemah dan penurut? Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu
memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat
melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan
tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali
hanya karena sumpahnya. Ia memang merasa terlalu gagah untuk melanggar sumpah,
tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu
saja tidak bisa dia terus menurut.
“Hemmm...!”
Dia mendengus dan membalikkan mukanya.
Ceng Ceng
memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga
kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok
yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah asli kalau saja dia tadi
tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa
yang bergerak tentulah bibir aslinya yang berada di balik topeng! Seketika
timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!
“Tek Hoat,
keluarkan sapu tanganmu!” katanya memerintah.
“Untuk
apa...?” Tek Hoat bertanya dengan marah karena sapu tangan mengingatkan dia
akan sumpah dan janjinya.
“Kau tutup
matamu dengan sapu tangan itu!”
“Hemm...!”
Tek Hoat makin marah.
Akan tetapi
tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan sapu tangannya ke
depan mata dan mengikatkan kedua ujung sapu tangan di belakang kepala.
Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis
aneh ini.
Setelah melihat
Tek Hoat menutupi mukanya dengan sapu tangan, Ceng Ceng lalu menghampiri
tawanan yang masih bersandar dinding itu. “Nah, In-kong sekarang kita boleh
bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan sapu tangan sehingga
tidak dapat melihat kita... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu.”
Suara yang
halus itu terdengar kini. “Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa
maksudmu dengan menawan aku? Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di
sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi.”
“Tidak,
sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng
yang menutupi mukamu, In-kong.”
Tentu saja
Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang
menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan
menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biar pun kedua matanya tertutup, Tek Hoat
memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat
mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah
jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.
“Jangan...!
Jangan, Nona...! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap
kau jangan membukanya...” Orang itu berkata, suaranya penuh dengan permohonan
dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.
“Engkau
pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan
membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka
mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana?”
“Hemm...,
baiklah. Aku berjanji.”
“Dan seorang
laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya.”
“Lebih baik
mati dari pada melanggar janji.”
Tiba-tiba
Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang
memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya
sendiri!”
“Tek Hoat,
engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau
boleh membuka sapu tanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kau bebaskan
dia dari belenggu itu.”
Tek Hoat
menyambar sapu tangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan
tertawa mengejek. “Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam
kesukaran, Sobat!” Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan
sinkang-nya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main
hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja
mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap
tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan
tegap.
“Sekarang
setelah menjadi pembantuku kau harus memberitahukan namamu,” Ceng Ceng berkata.
Orang itu
menghela napas panjang. “Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng,
maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan.”
Ceng Ceng
bertepuk tangan gembira. “Bagus! Dua orang pembantuku julukannya amat hebat,
yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita
keluar untuk mengumumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku kedua,
dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok di
antara rekan segolongan.”
Tek Hoat dan
Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar
itu, “Awas, engkau mencurigakan sekali. Sekali waktu akan kupatahkan batang
lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi.”
Topeng Setan
menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut
bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya
mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!
“Tidak perlu
curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!” Si Topeng Setan berkata pula,
berbisik.
Tek Hoat
terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja
membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah
dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah! Makin
tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang
amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong.
Yang merasa
amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai lupa akan kesengsaraan hatinya
melihat betapa dia kini telah menjadi seorang ‘bengcu’, mengepalai ratusan
orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat
tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil
mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya!
Di samping
itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para
pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang
dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya
akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar. Betapa pun juga,
pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang
pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang
kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah
kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta
kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek
Hoat. Namun andai kata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia
akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat.
Jauh lebih baik dari pada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja.....
***************
Kita
tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang bengcu
atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak
beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Seperti yang
sudah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan
hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu
muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun
yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi
meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu
tugas yang diperintahkan gurunya.
Peristiwa
hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan
gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang
disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan
tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk
berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara.
Akan tetapi,
baru saja mereka bersiap-siap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba
terdengar suara halus, “Kao-goanswe, berhentilah dulu...” Dan berkelebatlah
bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri!
Tentu saja
Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi
tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya
itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia
menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting.
Dan memang benarlah demikian!
Begitu
dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biar pun sikapnya masih
tenang itu berkata lirih, “Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil
tindakan secara terang-terangan.”
Jenderal Kao
Liang mengerutkan alisnya. “Paduka maksudkan...?”
“Baru saja
seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin
yang kau tawan itu telah dibebaskan oleh kaki tangannya, bahkan telah menyusun
kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk
menyerbu ke selatan!”
“Si
keparat!” Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali. “Semua ini diatur
dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!”
“Sabarlah,
Goanswe. Tugas kita hanyalah menumpas para pemberontak yang sudah
terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para
penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar
bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka
kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang
adikku ini terlebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan
Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tak terjatuh ke
tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini
setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim
Bouw Sin itu. Namun hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang
pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada
mereka sebagai adik-adiknya.”
Jenderal Kao
mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama
tentu saja karena dia merasa sudah ditipu. Orang menggunakan Kaisar untuk
memanggil dirinya keluar dari benteng dan biar pun pihak pemberontak gagal
membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin
yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya! Hal
kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang
ditinggalkan sendirian di dalam benteng!
Kian Lee dan
Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri
Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu
Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam
perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu
amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya.
Dua orang
pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka
tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu,
dan hal itu pun tidak menarik hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di
Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka
kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena
ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan
tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan
hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu,
juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman.
Di sepanjang
perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian
Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu. Dan biar pun
diam-diam, Kian Bu maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya
menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.
Karena
mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao
ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung
menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang
dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan
hati. Mereka berdua telah bercampur dengan rakyat yang menjadi panik,
pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan
tetapi ada pula yang malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan
kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara
berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.
Ternyata
kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal
Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam
benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara,
kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para
panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga
banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum
pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota.
Gegerlah
keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada
kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena
Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah
dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka
pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar
dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa
ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang berada
di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari
benteng itu.
Berita ini
tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, tetapi mereka terkejut
sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di
benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang
tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini
mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan
perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang
tahu ketika terjadi kerlbutan di benteng itu.
“Wah,
celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!”
“Hemm,
mencari ke mana? Kita tidak tahu dia lari atau dilarikan ke mana.”
“Jangan-jangan
dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng
dan mencarinya di sana?”
“Terlampau
berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita
Jenderal Kao, andai kata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak
sekali pun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan
kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup
teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak mau pun yang anti. Mereka
menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan.”
“Habis, apa
yang harus kita perbuat sekarang?”
“Tidak ada
lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus
memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri
bersama para pengungsi. Andai kata tidak berhasil, kita kembali dan melapor
kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini.”
“Tetapi aku
masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut
penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota
Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu,
sambil mencari-cari.”
“Baiklah,
Bu-te.”
“Lee-ko,
sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah
Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kau cari adalah puteri lain lagi, bukan
Syanti Dewi.”
“Hemmm,
maksudmu...?”
“Engkau
mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!”
Wajah Suma
Kian Lee menjadi merah. “Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!”
Melihat
kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya
lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri
di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang
digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi
saja penuh perhatian.
Kota Teng-bun
yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak
agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan
terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang
sukar untuk diserbu dari luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini
kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak
beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi
semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat
karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi
medan perang.
Pada suatu
hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak
jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu
pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima
bawahan Jernderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai
daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun,
pusat pemberontak. Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik
Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana
tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di
Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun
Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti
akan datang dari kota raja.
Ketika Kian
Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja
karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga
keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak
pula di antara anggota pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri,
tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio
Luk Cong.
“Aku lelah
sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan.”
Kian Lee
menyetujui permintaan adiknya. Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh
yang tidak berhenti, dan tadi pun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas
melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari... Lu Ceng, karena benar
seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu
Ceng dari pada mencari Syanti Dewi!
Rumah
penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di
dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di
bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil
memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.
Pelayan
penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat
sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah
memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya, “Engkau lelah sekali,
Kongcu?”
“Wah, kakiku
lelah sekali...” Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak
mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.
“Kebetulan
sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia
seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat
mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya.”
Kian Bu
tertawa. “Begitukah? Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan
kakiku ini!”
“Baik, baik,
Kongcu, kau tunggu sebentar.” Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.
Setelah
pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya, “Bu-te, engkau ini ada-ada saja!
Aku lihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu
memperhatikan kita.”
“Aihh,
Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai,
apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku? Dan pelayan itu adalah
seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang
sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga.”
Tak lama
kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar
menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih.
“Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya?” Kakek itu bertanya dengan suaranya
yang lemah dan agak gemetar.
Pelayan itu
menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu. “Inilah Kongcu yang ingin kau pijat
kakinya, Lo-sam!” kata Si Pelayan.
Kakek buta
itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang
bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah
kakinya sambil berkata, “Di sini kakiku, Lopek.”
Kakek itu
meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata,
“Hemmm..., hemmm... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima
hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya
sampai menegang dan keras begini.”
Mulailah dia
memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu
amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya
memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan
otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak
menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat
ini benar pandai, biar pun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti
mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.
“Lee-ko,
sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak sekali dan dapat
melenyapkan lelah,” Kian Bu berkata.
“Ah, aku
tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih,”
jawab kakaknya.
Tiba-tiba
pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan
oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun
lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.
“Maafkan
jika saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang karena diutus oleh
panglima untuk memanggil tukang pijit!”
“Ah,
bagaimana ini? Aku belum selesai dipijit!” Suma Kian Bu berseru.
“Tidak
mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda.
Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apa
lagi sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu
agung yang amat penting.”
Kian Lee
jadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai
komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.
“Siapakah
tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?”
Perwira itu
agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh
panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata, “Kami semua tidak mengenal siapa
adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa
saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang kedua adalah seorang
gadis yang luar biasa cantiknya. Biar pun pakaian gadis itu pun sederhana,
namun kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...”
“Berapa
kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya?” Tiba-tiba Kian Lee
bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.
“Ah, tentu
tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya
seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping,
air mukanya angkuh dan agung, pendiam...”
Jantung di
dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga
demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.
“Apakah
komandanmu suka pijit, Ciangkun?” tanya Kian Lee.
“Sebetulnya
tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini
kedatangan seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya
datang menjemputnya.”
Kian Bu
sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu, “Sudah cukup,
Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun
ini.”
Kian Bu
berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang
memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada
pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana.
Setelah
pelayan dan tukang pijit itu keluar, barulah dia berkata kepada perwira itu,
“Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini
tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali.
Pijitannya tidak enak sama sekali. Dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang
yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan
marah kalau dipijat oleh dia.”
“Kalau
begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda?”
Kian Bu
tertawa. “Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami dua kakak dan
adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu
biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika tadi
mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami
tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja.
Orang seperti itu hendak kau suruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan
mendapat marah, Ciangkun.”
Perwira itu
memandang dengan curiga dan tidak percaya. “Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah
pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang
muda begini... mana bisa memijat...?”
“Ha-ha,
ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang
tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kau coba
sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, dan biar kau rasakan
pijatan ajaib dari tanganku.”
Dengan
pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk
di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan
tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang
Sinkang sehingga perwira itu merasa betapa ada hawa yang hangat mendatangkan
nikmat menyelusuri tubuhnya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat
tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan,
tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram
melek!
“Nah,
bagaimana rasanya, Ciangkun?” Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya.
Perwira itu
terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut. “Aihhh, benar hebat sekali
engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh
seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini
pun mahir?”
“Kakakku ini
malah lebih pandai dari pada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami
berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu.”
Mendadak
sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia
bertanya, “Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan
kami?”
Sebetulnya,
kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri
Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak
ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan
Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak
akan sembarangan memperkenalkan diri.
“Ciangkun,
harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik,” tiba-tiba Kian Lee yang
mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk
melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan,
segera berkata meyakinkan,
“Sesungguhnya
biar kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak menggunakan kepandaian kami untuk
mencari uang. Akan tetapi... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami
meninggalkan kota benteng di Khi-ciang yang sedang geger, pergi dengan
tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian
seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar
bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku langsung menawarkan diri sebab
komandanmu tentu suka membayar mahal, belum lagi para perwira yang membiarkan
kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal
perjalanan.”
Perwira itu
mengangguk-angguk. “Baiklah, memang aku sudah membuktikan sendiri kemampuanmu
memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku
mendapat marah dari komandan.”
Maka
berangkatlah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, dan tukang pijit buta yang
digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sedang sepi, Si Pelayan
boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nantinya sekedar mendapat persen,
karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya.
Demikianlah,
dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin
oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan
dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu
dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi
mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di
kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang
Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga.
Diam-diam
Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan
komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara
yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin
membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu
Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu
agung oleh seorang panglima?
Akan tetapi
para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu
mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga
kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas!
Hal ini
mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee
terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini
memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas
kursi!
Seorang
perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para
perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli
lweekeh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang
‘tukang pijat’ muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu,
“Hemmm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba
engkau memijati tubuhku yang capai-capai!”
Melihat
wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin
menyaksikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di
atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya. “Nah, kau pijitlah lengan
kananku ini.”
Lengan itu
kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan
wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang
Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang
menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka
dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari lengan wakil
panglima itu keluar getaran tenaga lweekang yang cukup kuat, yang seolah-olah
hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sinkang yang hangat dari telapak
tangannya.
Louw Kit
Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu
keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui
lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk
membendung tenaga yang hangat itu.
Mereka
bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang
memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga.
Biar pun memakan waktu tiga empat kali lebih lama dari pada para perwira yang
telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya,
diiringi suara ketawa para bawahannya!
Tetapi,
hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun
lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak, “Tangkap
mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!”
Semua
perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang
tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat
mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu
tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah
tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing keluarnya Sang
Panglima dan terutama dara itu!
“Menyerahlah
kalian untuk kami tangkap!” Panglima Louw Kit Siang membentak.
“Kami hanya
mau menyerah kepada Panglima sendiri!” Kian Bu menjawab.
“Aku sudah
berada di sini!” Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima
bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti
oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.
Semua
perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di
depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya
menanti perintah.
“Orang muda,
siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?” Panglima Thio
Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa.
Akan tetapi
Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan
mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena
biar pun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda
sekali. Jelas bahwa dara itu bukan Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan
dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga terus
memandang dengan mata terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh
kecantikan dara itu.
Pandang
matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya
berdebar keras. Hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian
banyak dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang
dara secantik ini!
Seperti
bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biar pun berbeda
dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari
panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya
merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya, maka dia lalu
menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.
“Hei,
Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!” Louw Kit Siang membentak marah.
“Oh,
maaf...” Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih saja terus
terlongong memandang dara itu. “Maaf, Tai-ciangkun. Kami dua kakak beradik
adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa,
setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap.”
“Tai-ciangkun,
mereka bukanlah tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka mempunyai kepandaian
tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!”
“Ihhh, orang
yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!” Kian Bu berkata sambil
melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.
“Begitukah?”
Panglima Thio membentak. “Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah
engkau memijiti lenganku!”
“Boleh kalau
Tai-ciangkun menghendakinya,” Kian Bu berkata tenang. “Silakan duduk di sini.”
Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke
arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!
Akan tetapi
sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya
dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju
dan berkata halus, “Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun
merasa agak lelah.” Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan
lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan
kanannya kepada Kian Bu sambil berkata, “Nah, kau pijitlah lenganku, orang muda
yang baik.”
Melihat
wajah dan sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat
sembarangan. Orang tua ini biar pun kelihatan amat sederhana dalam pakaian,
sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya
terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang
yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan
orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa
saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang
kelelahannya.
Akan tetapi
betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga
memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang
disertai hawa sinkang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya
orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu
sinkang, dia tidak akan mundur! Apa lagi, agaknya orang ini mengawal dara itu,
dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada
orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir
menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang lain itu.
Akan tetapi
begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sinkang-nya yang melalui jari-jari tangannya
menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sinkang
dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas
dari Hwi-yang Sinkang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama
kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget
sekali!
Akan tetapi
dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain. Dia lupa
bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin
mendemonstrasikan kepandaiannya, biar pun tidak langsung dan melalui orang ini,
kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sinkang-nya dan
merubah hawa sinkang-nya. Kini dia mengeluarkan ilmu sinkang yang khas dari
Pulau Es, yaitu Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju)!
Kian Lee
terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya. Dia sudah dapat mengerti bahwa
adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan
memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika
merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa
sinkang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan
itu.
“Uhhh...!”
Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu
berubah saking kagetnya.
Kiranya lawannya
itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mukjijat dan
dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sinkang! Dan kedua tenaga itu kini saling
dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin
pucat dan matanya mulai mengantuk!
“Bu-te,
agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar engkau kubantu memijatnya!”
Kian Lee yang mengikuti ‘pertandingan’ itu dapat melihat keadaan adiknya, maka
timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.
“Cukuplah!”
Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan... kedua tangan Kian Bu
seperti ditolakkan oleh tenaga mukjijat dan terlepas dari lengan orang itu yang
segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata,
“Ciangkun, marilah kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya
ingin bicara dengan mereka.”
Thio Luk
Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak
tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu
tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat
penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu,
“Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami.”
Kian Lee dan
Kian Bu mengangguk. Sekarang Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguh pun dia
juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah
gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah
tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan,
diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima
komandan mereka.
Setelah
mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu
langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya
sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik, “Nah, orang-orang muda
yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?”
Kian Lee
sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang
setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, maka
dia menjura sambil berkata penuh hormat, “Kami kakak beradik adalah
utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana.”
“Aihhh...!”
Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.
“Ahhh,
mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya
dengan baik? Silakan duduk... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik.”
Panglima itu cepat berkata.
Mereka lalu
duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa
duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat
dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Sampai-sampai dia
menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya
dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!
Kian Bu lalu
bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil
berkata, “Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang.”
Orang itu
tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik
kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya. “Tidak perlu
bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal. Dan sekali
mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada
orang-orang muda yang memiliki sinkang seperti apa yang saya rasakan tadi, di
dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama
keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?”
Suma Kian Bu
memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan
menjura kepada laki-laki itu. “Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat
kepada Gak-suheng!”
Laki-laki
itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri
dan merangkul dua orang muda itu. “Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?”
tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.
“Aih,
kiranya Gak-suheng!” Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah
lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biar pun orang
ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari
ayah mereka, mereka menyebutnya suheng. “Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri
Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari
ibu Lulu.”
“Ahhh...!”
Panglima Thio berseru kaget mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai
adik kandung Puteri Milana. “Gak-taihiap... apakah benar bahwa kedua orang muda
ini adalah... adalah... dari Pulau Es...?”
Gak Bun Beng
mengangguk.
“Maaf...
maaf... alangkah bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh
orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih,
kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua
pemberontak dapat dibasmi habis!”
Semua orang
tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.
“Ji-wi Sute,
tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?”
“Kami
ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan
karena kabarnya kota itu sudah dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi
dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng
itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang
tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk
mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...”
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, dua orang kakak beradik
itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit yang buta
dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua
orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar
kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira
dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan
itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!
Gak Bun Beng
dan dua orang sute-nya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata
pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat
memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi
pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di
situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di
dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang
itu adalah mata-mata pemberontak!
Ketika
memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan
rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi
pucat wajahnya. “Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu
tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan
keadaan kami tentu mereka dapat ketahui kelemahan-kelemahan kami dan akan
menghancurkan kami dengan mudah.”
“Mereka
berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Tidak perlu khawatir,
Ciangkun, biarlah kami yang pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan
menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia
itu.”
Wajah
panglima itu berseri. “Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama
seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih.”
“Ji-wi Sute,
sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,” kata Gak
Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.
“Akan
tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...,” Kian Lee membantah.
“Tak perlu
dicari lagi. Inilah dia!”
Dua orang
kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain
adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis. “Terima kasih atas
bantuan kalian.”
Kian Bu lama
termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh
lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya
menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata, “Tak kusangka...
kiranya... kiranya... Sang Puteri... ahhh, sukurlah bahwa Anda selamat!”
Syanti Dewi
membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil
tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis, “Terima kasih.”
Hadirnya
Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Walau
pun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan
yang dikuasai oleh Jenderal Kao, akan tetapi hati pendekar sakti ini tidak rela
secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja. Dia percaya penuh akan
perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapa pun juga,
jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat,
padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya
pemberontakan-pemberontakan itu.
Dia ingin
pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan
tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah
terlalu jauh dari Khi-ciang. Tiap malam bila dia tidak dapat tidur pulas dan
gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia pun menghela napas panjang.
Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun?
Mengapa
wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia
seakan selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu
yang mengatakan cinta kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya
menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke
tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya?
Mengapa?
Cintakah ini?
Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah
dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di
hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan
kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Tetapi perasaan ini selalu hendak
dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu
lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguh pun dia yakin
bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun
dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?
Betapa pun
juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja
atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi
masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan
terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah
menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh
panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di
tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke
dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri
Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!
Pertemuan
mengharukan pun terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian
penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.
“Paman...!”
Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.
“Tenanglah,
mari kita cepat pergi dari tempat ini.” Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri
itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi
ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun
Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu
adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya.
Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak
Bun Beng sebagai tamu agung.
Demikianlah
mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa
disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan kedua orang sute-nya,
putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!
“Sebaiknya
kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota
raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita
mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan
tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke
kota raja.”
“Baik,
Suheng, kami siap berangkat,” jawab Kian Lee.
“Dewi,
engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...”
“Tidak...
tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi.... Biarkanlah aku juga ikut
ke Teng-bun,” puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata
penuh permohonan.
Pertemuannya
kembali dengan Bun Beng seolah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biar
pun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani
membalas cintanya karena Puteri Milana, dan walau pun selama pertemuan mereka
sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tak pernah menyinggung soal cintanya, akan
tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau
terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya
itu.
Pandang mata
yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seakan-akan pandang mata
itu merupakan tanda penyerahan seluruh jiwa raga dan segala-galanya, membuat
Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.
“Kalau Sang
Puteri ikut, kami akan... ikut melindunginya, Suheng,” tiba-tiba Kian Bu
berkata penuh semangat.
Mendengar
suara sute-nya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng.
Mengapa tidak? Dua orang sute-nya ini adalah dua orang pemuda yang hebat!
Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya?
Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian
yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya
kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang di
antara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sute-nya ini agaknya begitu
bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik
Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, dan putera dari Puteri Nirahai!
“Baik!”
Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan
menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu
dengan senyum lebar sambil berkata, “Terima kasih!”
“Akan
tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!” kata Gak Bun Beng.
“Saya kira
tidak perlu demikian, Gak-taihiap.” tiba-tiba Panglima Thio berkata. “Menurut
penyelidikan, biar pun Teng-bun telah direbut pemberontak, tapi kota itu masih
terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja
rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya
penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk
memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang
tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria,
dia tentu malah akan digeledah.”
“Wah, kalau
begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?” Bun Beng bertanya kepada panglima
yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah
dikuasai oleh pemberontak.
“Hanya ada
dua cara,” panglima itu menjawab tegas. “Pertama tentu saja menggunakan
kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di
waktu malam. Kedua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut
bersama Sam-wi (Anda Bertiga), yaitu masuk secara terang-terangan di waktu
siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan
mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini,
surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu
kepada saya. Dan di antara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi
sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa
terjadi perubahan hebat.”
Kian Lee
setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari
Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini
menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu
perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari
cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan
tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik
perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan
naik kuda?
Perjalanan
dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di
jalan-jalan sekarang, sebab perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak
dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah
pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak
ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari mara bahaya.
Di sepanjang
perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus
yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira
adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan
tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak
seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat,
senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara
dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti
Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah
bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata
itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan
pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar
matanya!
Ketika
mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena
banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan
jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata,
atas nasehat Bun Beng kini menyebut ‘adik’ kepada Syanti Dewi karena mereka
menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.
“Adik
Syanti, kau pakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin.”
Wajah gadis
itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng
dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang
melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu sejak mula-mula bertemu, menaruh
harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata, “Dewi, terimalah. Kakakmu yang
seorang ini memang baik sekali hatinya.”
Terpaksa
Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mengucapkan ‘terima
kasih’. Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini
semenjak bertemu, sangat tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu
hanya terasa mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik,
karena membayangkan kesungkanan hati.
“Tidak usah
berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apa lagi dalam
perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan
adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!”
“Betul
sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik
Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?”
Nada suara
Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu
malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka
terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi
yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan
mempersilakan ‘adiknya’ duduk menghadapi api unggun.
Ketika Bun
Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng
menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat-cepat mendahului
gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya
kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk
memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari
pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini,
sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja.
Apa lagi
ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu
hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan
mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil
membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.
Malam itu,
Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian
Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari
situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api
agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak
nyamuknya. Hatinya girang sekali.
Dia telah
menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia
termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao
tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan
seorang di antara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah
berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara
seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?
“Tidak
boleh...!” Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga
abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.
“Apanya yang
tidak boleh?” Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari
api, terkejut dan bertanya.
Kian Bu
menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri
terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.
“Apanya yang
tidak boleh, Bu-koko?” Syanti Dewi bertanya lagi.
“Ah, tidak
apa-apa... aku... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau,
Moi-moi.”
Syanti Dewi
tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang
masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua dari pada
dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang
tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak
nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya
dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat.
Tetapi
keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat
masing-masing. Hanya bedanya, Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat
dan sopan, tetapi Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa
suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya
demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa
berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun
Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya,
bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong
dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sute-nya itu!
Pada
keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui
pegunungan kapur yang gundul dan matahari siang hari itu panasnya bukan main!
Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh
peluh, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha
dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan
kini biar pun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk
melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan
sinar matahari yang panas.
“Kau
pakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari,” katanya sambil memberikan
caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti
Dewi.
“Terima
kasih, kau baik sekali,” kata Syanti Dewi yang menerima dan memakai topi itu di
atas kepala.
Kian Bu
memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa
gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi
caping itu amat kasar dan bersahaja!
Rasa suka
dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia.
Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup,
baik benda tampak mau pun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu
itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci
membuat sesuatu yang dibenci itu terlihat selalu buruk dan tidak menyenangkan.
Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain.
Rasa suka
membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau
bagaimana pun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja.
Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan
tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan!
Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah
harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena
gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!
Rasa suka
dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si
aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari
keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak
menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir
mau pun batin, yang selalu ingin menjauhkan ketidak nikmatan yang tak
menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi
kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi
dirinya.
Karena itu
timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci
akan segala yang tak menyenangkan dirinya. Jika batin kita telah dipengaruhi
oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka
tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan pasti selalu
bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.
Betapa pun
jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada
kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa
seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita,
merugikan kita lahir mau pun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa
segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci
kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya
sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak
menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin.
Sifat yang
sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku
yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala
pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh
dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin mau pun
pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik
antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah
pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang
penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik
perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku,
antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di
seluruh pelosok dunia ini!
Bun Beng dan
rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah
karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suheng-nya untuk berhenti mengaso
dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya
dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan
tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu.
Beberapa
orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak.
Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan
tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah
memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di
warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan
ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian
besar para pengungsi yang kebingungan.
Kian Lee
berbisik kepada suheng-nya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di
situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku
yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan
tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang
membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun
pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan
sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan
tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Bun Beng
mengangguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang
pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar
makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu.
Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh
Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.
“Maafkan
kami, Sobat.” Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. “Karena
kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum
memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?”
Pemuda itu
terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian,
kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit
berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata, “Silakan, memang saya
sendirian dan bangku-bangku itu kosong.”
Dia lalu
duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini
terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena
kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri
saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada
pelayan.
Sejenak tadi
pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu
dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa,
akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam
dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya.
Pedang yang
dibawanya itu, biar pun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya
menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan
pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan
sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun
Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan
kedua orang sute-nya.
Mereka
bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak
mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi
kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang
ketiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sute-nya itu!
Tentu saja
Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda
tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang
menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja
menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena
dianggap telah menodakan namanya.
Dan pemuda
ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari
kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng
Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang
kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk
Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu
rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao.
Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak
saling mengenal lagi.
Tek Hoat
sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan
jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biar pun puteri itu kini telah
mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini.
Andai kata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan
mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat
juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri
itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian
luar biasa, seorang yang tidak terkenal.
Maka dia
dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya
ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguh pun
orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia
pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua
orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia
tidak berani sembrono, apa lagi dia pun kini telah berubah pendiriannya
mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai
bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran
Liong Khi Ong!
Maka
terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti
Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya
sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari
orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang
dicarinya itu kini duduk di depan.
Tek Hoat
tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng,
musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya
adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya
menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa
ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri!
Dan juga ada
hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita
ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat
adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu
Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja
itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal
Syanti Dewi dengan diam-diam.
Mi bakso
yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi
dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan
berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil
berdiri. Tentu saja diam-diam ia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat
beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri,
kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang
yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang
yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi baksonya itu ke sana-sini mencari
tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang
meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.
Dari luar
tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus
bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana
bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya
sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan
menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya
balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan
kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.
“Krakkk!”
Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang
panjangnya satu meter itu ke dalam warung.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu,
dengan mi bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat
mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan.
Akan tetapi
Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang
memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suheng-nya, dan Syanti
Dewi, “Aku sudah memperoleh tempat duduk!”
Setelah
berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja
dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali
tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan
duduklah dia di atas ‘bangku’ darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu
sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi bakso dari
dalam mangkok ke dalam mulutnya!
Banyak tamu
bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah
mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah
dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang
penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa
pula penyelidik pemerintah.
Maka kini
orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah
pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang
memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga
memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada
tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan
yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas
meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda
ini memiliki sinkang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh
perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sinkang pemuda itu
tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!
Pada saat
itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi
dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka
terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya
gendut pendek sehingga seperti karung beras.
Empat orang
itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi,
dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan
tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing
memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak
longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai. Akan
tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan
sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu
berkutetan dengan susah payah untuk ‘menanam’ balok itu ke lantai yang keras.
Apa lagi Si
Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok
dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat
tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan
itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga,
kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk
menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga ‘memasang’
balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini,
tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus
jadi.
Melihat
kejadian ini, banyak di antara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga
tersenyum geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti
Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak
terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan
pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi?
Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum simpul!
Akan tetapi
jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah
atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun
Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda
itu, agaknya mempunyai niat tertentu.
“Maaf, saya
harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,”
tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak
kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.
Akan tetapi,
tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya
amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu,
membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi
menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini
teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan
golok mereka.
“Pergilah
kalian!” Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.
“Tidak!” Si
Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi. “Kami mentaati perintah
bengcu (ketua)...”
“Pulanglah
dulu, aku sedang sibuk!”
“Maaf, kami
terpaksa...”
“Setan!” Tek
Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.
Empat orang
itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi
mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya
mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam
beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut
berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang
menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena
disodok!
Akan tetapi
dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si
Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah
melompat pergi dan melarikan diri. Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi,
segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang,
untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena
memang belum sempat makan atau minum apa-apa.
Melihat ini,
Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat
juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke
barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh
li dari situ.
“Kiranya dia
lihai juga!” Kian Bu berkata.
“Dia malah
lebih lihai dari pada yang tampak, jauh lebih lihai jika saja ada kesempatan.
Sungguh seorang pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di
tempat ini,” kata Bun Beng.
“Aku seperti
pernah melihatnya, entah di mana...,” Kian Lee berkata.
“Engkau
benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi
kapan...,” Kian Bu juga berkata.
“Sudahlah,
kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting.
Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita,” kata Bun Beng.
Tetapi Bun
Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat menghindarkan diri
atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di
situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat
di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau
membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani
mereka?
Si Gendut
dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh
bengcu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi bengcu
dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan
dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang
telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan!
Diam-diam
Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah
kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia
telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng.
Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, tetapi karena terhadap
gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya,
lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang
dicintanya. Namun, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan
dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai
kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.
Karena dia
harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan
dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan
lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu.
Karena Ceng
Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan
hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu bisa mengingkari janji dan
sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan
membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri pada pemberontak, maka dia segera
menyatakan persetujuannya.
Apa lagi,
kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu,
kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah
bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda
laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal
muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada
pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.
Demikianlah,
Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin
Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim
Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang di
nanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu
kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat,
dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang
lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw
Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan
selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.
Setelah
mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah
timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu
menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan
berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan
guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan
rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena
dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran
Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri
Puteri Bhutan itu.
Inilah
sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak
mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu
mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak
mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka, rombongan Bun
Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!
Ketika itu
hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota
Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi
benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di
Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih
termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguh pun orang tidak
tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang
berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh,
adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat
menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan
seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.
Pembesar
setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu
gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah
menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan,
orang-orang yang memiliki kedudukan dan wewenang akan menggunakan kesempatan di
waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri.
Demikian
pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang
‘panas’ itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah
merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa
untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun.
Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara
lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka
berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan
dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.
Rombongan
Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ
terdapat seorang nona muda yang cantik.
“Menurut
peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak
terkecuali!” berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka
pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia
bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke
depan.
Melihat
lagak seperti ini, otomatis Kian Bu jadi naik darah. “Boleh saja menggeledah
kami bertiga,” katanya.
“Hemm...!” Si
Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. “Kalian berempat, kenapa hanya
bertiga yang harus digeledah? Harus keempat-empatnya...”
“Tapi dia
ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga
pria?”
“Peraturan
tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!”
Makin merah
muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja
tubuh Syanti Dewi, dia pasti akan mematahkan tangan laki-laki yang berani
melakukannya!
“Mengapa
yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan
orang?” bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan
yang didiamkan saja oleh penjaga itu.
“Hemm, itu
adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!” Si Kurus
membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan
Bun Beng.
Pada saat
itu pula, di antara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah
seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata, “Mereka ini
adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya.” Berkata demikian,
pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.
“Ah, terima
kasih... harap Cu-wi sekalian maafkan...” Dia mengangguk-angguk seperti seekor
ayam kelaparan makan beras.
Panas rasa
perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda
tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apa lagi ketika ia
melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan
kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya, “Terima kasih!”
Pemuda itu
mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang
matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah
Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata
itu memandangnya penuh kagum dan kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.
Melihat hal
ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. “Siapa suruh
engkau mencampuri...?”
Akan tetapi
tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat
melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, “Terima kasih atas
bantuanmu, Sobat.” Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, “Hayo
kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!”
Mendengar
ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus
berkata, “Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalau pun ada tidak
cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat
menawarkan tempat menginap...”
“Ah, terima
kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami cari penginapan
sendiri, terima kasih dan maaf!” Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia
maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan
kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian
Bu. Di tempat seperti itu, apa lagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya
menjauhkan keributan karena urusan pribadi.
Sambil
bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu,
sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan. “Lagaknya, seperti
dia seorang yang punya uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus
menyogok-nyogok!” Kian Bu mengomel.
“Sute, dia
telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?” Bun Beng
menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih
kekanak-kanakan ini.
“Bu-ko,
orang itu baik, mestinya kita berterima kasih,” Syanti Dewi juga berkata dengan
suara wajar.
Kian Bu
terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah
karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari
tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda
berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah
penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai
berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah
penduduk.
Mereka ini
adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka
mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong
mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota
Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga
oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman
itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari
keganasan manusia dalam perang. Tidak hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh
yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari
gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk
bersimaharajalela.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment