Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 25
Bagaimana
Gak Bun Beng, Milana, dan Suma Kian Bu dapat berkumpul dan sekarang dikatakan
oleh Hek-tiauw Lo-mo bahwa mereka sedang memimpin pasukan pengawal menyerbu
dusun itu? Untuk mengetahui hal ini, baiknya kita membiarkan dulu Topeng Setan
yang sedang kebingungan itu dan mari kita mengikuti pengalaman Gak Bun Beng dan
Milana.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, dengan hati seperti disayat-sayat Gak Bun
Beng terpaksa meninggalkan istana Milana, bekas kekasihnya dan yang masih
merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya di dunia ini. Perih sekali
hatinya ketika dia melihat kenyataan bahwa Milana juga masih mencinta dia!
Bahwa wanita yang dicintanya itu ternyata hidup merana, hidup sengsara di
samping suaminya itu, karena Milana tidak pernah dapat melupakan dia.
Betapa akan
mudahnya untuk membiarkan diri terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana,
menuruti suara hati dan dorongan keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan
tahun ini. Namun kalau dia menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana,
akan menjadi orang macam apakah dia? Tidak! Ayahnya dulu terkenal sebagai
seorang datuk sesat, berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya
pun adalah akibat perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap
ibunya.
Biar pun ayahnya
seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya itu dengan
perbuatan yang benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut
seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia adalah sama
tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya,
dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana!
Namun,
cintanya terhadap Milana demikian besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu,
selama belasan tahun dia telah mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat
hatinya untuk bersanding dengan wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini
bertemu dengan Milana, duduk berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar
pernyataan cinta kasih wanita itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya,
mana dia mampu berjauhan? Dia tidak kuat untuk berjauhan lagi.
Maka seperti
seorang yang sinting Gak Bun Beng tak pernah jauh meninggalkan kota raja,
bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk, menggunakan kepandaiannya hanya untuk
menjenguk dan melihat wajah kekasihnya. Dia cukup puas hanya dengan melihat
sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi,
akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar kota raja, bersembunyi.
Gak Bun Beng
adalah seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir
empat puluh tahun dan selama hidup baru dengan Milana saja dia berdekatan
dengan wanita. Dia adalah seorang perjaka, bahkan setelah berpisah dengan
Milana belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah mau memandang wanita lainnya
dan seolah-olah sudah menutupkan pintu hatinya terhadap cinta asmara antara
pria dan wanita.
Segala macam
bentuk nafsu keinginan lahir dari pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam
keindahan bentuk tubuh dan kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap
pandang mata seorang pria memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik
itu tidak terkandung nafsu birahi.
Kalau kita
kaum pria melihat seorang wanita dan kita lalu kagum akan kecantikannya,
kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada tingkat kekaguman
saja. Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri, pikiran membayangkan
hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya atau pernah
didengar, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini lalu membayangkan betapa
akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki wanita itu menjadi kawan
bermain cinta dan sebagainya, maka lahirlah nafsu birahi yang pada dasarnya
hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran adalah diri
pribadi, maka segala yang direncanakan dan diperbuat oleh pikiran selalu
berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi.
Dengan
kekuatan batinnya yang memang amat kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan
diri dari nafsu birahi dan tidak merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul
Syanti Dewi dalam kehidupannya, dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan
kekuatan mukjijat membuka lagi pintu hatinya. Jika saja dia tidak mempunyai
kesetiaan sampai mati kepada Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima
uluran tangan Syanti Dewi yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh
hutang budi dan kekaguman yang berlebihan.
Dia sudah
menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka, mengingat hubungan
hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka lebar-lebar kembali
luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan perjumpaannya dengan
Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana betapa wanita itu masih
selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya karena dia!
Kini Gak Bun
Beng tersiksa hebat, jauh lebih hebat dari pada dahulu kerena kini setiap detik
dia digerogoti perasaan dendam rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia
tidak mampu lagi terpisah jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan
penderitaan ini hendak diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang
dicintanya. Dia tidak tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat
penderitaannya, seperti seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak
boleh diminumnya!
Betapa
terkejutnya ketika dia mendengar akan geger yang terjadi di kota raja, yaitu
tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han
Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu pula, kemudian tentang mengamuknya
Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti Dewi dari istana Kaisar!
Tentu saja
dia cepat memasuki kota raja dan melakukan penyelidikan. Dengan muka pucat dia
menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar semua penuturan perdana menteri itu
bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa Milana menculik Puteri Syanti Dewi
dan melarikan diri dari kota raja setelah membunuh para pengawal Liong Bin Ong
yang menewaskan suaminya!
Gak Bun Beng
terkejut dan juga berduka sekali. Kekasihnya tertimpa mala petaka yang demikian
hebat tanpa dia mampu menolongnya! Dia merasa menyesal sekali. Andai kata dia
tidak meninggalkan istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan
tewas dan membawa akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana
menjadi seorang pelarian dari istana! Setelah menghaturkan terima kasih kepada
Perdana Menteri Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga
tentu hendak mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan.
Sementara
itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti
Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi, kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan
menyerahkan Syanti Dewi kepada dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin
oleh kepala pengawal Can Siok untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana
sendiri lalu berpisah dari Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia
ingin pergi ke orang tuanya, yaitu di Pulau Es.
Lemas rasa
seluruh sendi tulangnya ketika Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan
itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena
dia merasa telah melakukan dosa yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah
yang telah membunuh Han Wi Kong. Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh
diri, sungguh pun pembunuhan diri yang amat terhormat dan berjasa besar bagi
negara. Dan yang menjadi sebab adalah dia.
Suaminya
menderita hebat sejak menikah dengan dia karena suaminya itu benar-benar mencintanya
dan dapat dibayangkan betapa perih hatinya dan sengsara hidupnya karena
semenjak menikah, sampai belasan tahun lamanya, dia hanya menjadi isteri dalam
nama saja, tidak pernah menjadi isteri dalam arti yang sesungguhnya.
“Salahkah
aku? Berdosakah aku?” Berkali-kali dia bertanya kepada diri sendiri.
Dia dahulu
diharuskan menikah oleh Kaisar dan terpaksa dia harus memilih seorang di antara
mereka. Pilihannya jatuh kepada Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa
mencinta orang lain kalau hatinya sudah diserahkan sebulatnya kepada Gak Bun
Beng? Han Wi Kong ‘membunuh diri’ sebab ingin membahagiakannya, ingin
membebaskannya agar dia dapat berkumpul dengan Gak Bun Beng. Jika sampai tujuan
terakhir suaminya itu tidak terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya
itu mati konyol, mati dengan sia-sia.
Akan tetapi
Gak Bun Beng... Milana menarik napas panjang ketika teringat pria yang
dicintanya itu, teringat akan pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa
Gak Bun Beng berkeras meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan
bibirnya terdengar mengeluh lirih seperti rintihan, “Gak-suheng...”
“Sumoi...!”
Suara ini
memasuki telinganya seperti halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar.
Wajah Milana menjadi pucat sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika
melihat orang yang sedang dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun
Beng yang berwajah pucat dan bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.
“Sumoi...
Milana, aku di sini...” Gak Bun Beng berkata dengan suara terharu ketika
melihat wanita itu seperti tak percaya akan kehadirannya, wanita yang
dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut awut-awutan, berwajah pucat
sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak pernah berkurang semenjak
mereka masih remaja dahulu.
“Suheng...
Gak-suheng...” Milana tak dapat lagi menahan hatinya.
Wanita yang
terkenal sebagai seorang pendekar besar, seorang pahlawan dan seorang panglima
yang amat gagah perkasa, yang mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata
tidak berkedip, yang tidak pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal
sebagai seorang wanita gagah berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang
wanita yang lembut dan tangisnya mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai.
Seperti seorang anak kecil dia berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan
kedua punggung tangannya menggosok-gosok matanya.
“Sumoi...
tenangkan hatimu, Sumoi...” Dengan suara gemetar Gak Bun Beng mencoba
menghibur, melangkah maju dan dengan hati-hati menyentuh kedua pundak wanita
itu dengan ujung-ujung jari tangannya. Sedikit sentuhan ini sudah cukup untuk
membuka bendungan itu.
“Gak-suheng...
aihhh, Gak-suheng...!” Milana lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan
mukanya, menangis sejadi-jadinya.
“Sumoi...”
Suara Bun Beng juga mengandung isak dan dia menengadah, memejamkan kedua
matanya mencegah keluarnya air mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut
yang awut-awutan dan halus lemas itu.
Sampai lama
sekali mereka hanya berdiri saling peluk. Milana menangis terisak-isak, makin
lama makin mereda dan Gak Bun Beng memeluk pundaknya serta membelai rambutnya.
Setelah tangis wanita itu agak mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu
dengan halus melepaskan pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut,
“Sumoi, aku telah mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal
sekali... tidak dapat membantumu sama sekali...”
Milana masih
belum mampu menjawab hanya terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan
sehelai sapu tangan sutera.
“Mari kita
duduk di bawah pohon itu dan bicara, Sumoi.” Bun Beng mengajaknya dan dia
mengangguk, keduanya lalu duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas
tanah.
Milana
menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin dikarenakan tangisnya.
Isaknya masih ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah
berhenti mengucur. Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.
“Sumoi, aku
sudah bertemu dengan Perdana Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua
peristiwa. Suamimu telah membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu
dia berhasil akan tetapi dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak
itu. Dan kau telah melarikan Syanti Dewi... ehh, di mana sekarang?”
“Dia telah
dikawal oleh para pengawal Jenderal Kao, kembali ke Bhutan.” Milana lalu menceritakan
dengan singkat pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia juga menceritakan
tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan kemudian menambahkan, “Ternyata
benar bahwa Ang Tek Hoat itu adalah puteranya, dan dia... dia mencari-carimu
sebagai seorang musuh besar, Suheng.”
“Biarlah...”
Gak Bun Beng menarik napas panjang, sikapnya tidak peduli. “Sekarang engkau
hendak... ke manakah, Sumoi?” Suaranya itu penuh perasaan iba dan hal ini
terasa sekali oleh Milana sehingga kembali wanita perkasa ini menggigit bibir
menahan tangisnya.
“Tadinya aku
hendak mencarimu, Suheng, akan tetapi karena tidak tahu engkau berada di mana,
setelah Syanti Dewi diantar para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es
saja. Syukur bahwa kita dapat bertemu di sini, Suheng.”
“Kau... kau
mencariku, Sumoi?” Gak Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.
“Mengapa... engkau mencariku?”
Wajah yang
masih agak pucat itu menjadi merah dan jari-jari tangannya gemetar ketika
Milana mencari-cari ke balik bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah sampul
surat. “Aku mencarimu untuk menyampaikan ini, Suheng. Aku menemukan surat
peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan surat ini untukmu.”
Gak Bun Beng
menerima surat itu dan membaca tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan
kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan
indah. Jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Apakah
yang akan dia baca dan temukan di dalam surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan
penyesalan dari perwira gagah itu?
Karena
dirinya dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu
menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir
dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi
wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.
“Sumoi,
katakanlah, mengapa suamimu melakukan perbuatan nekat itu? Seorang diri
menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong Bin Ong, bukankah hal itu sama saja
artinya dengan membunuh diri?”
Ucapan itu
terasa oleh Milana seperti tusukan pada jantungnya dan tanpa dapat dicegahnya
lagi beberapa butir air mata mengalir turun dan karena dia menunduk, air mata
itu berkumpul di ujung hidungnya seperti sebutir mutiara besar. Ketika Milana
menggeleng kepala, mutiara itu jatuh dari ujung hidungnya. “Aku... aku tidak
tahu...”
Dia merasa
lehernya seperti dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Gak Bun Beng
menarik napas, memandang sampul surat itu lalu memberanikan hatinya, membuka
sampul itu dengan jari-jari tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah
siap untuk menerima berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan
kutuk orang yang sudah mati itu. Lalu dibacanya surat itu.
Gak Bun Beng
Taihiap, Kalau taihiap membaca surat ini, saya tentu sudah mati. Kematian yang
tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil membunuh dalang pemberontak
Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian saya, Puteri Milana menjadi
bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang dicintanya, yaitu Taihiap
sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri Milana hanya mencinta
Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya namanya saja, bukan isteri
dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri Milana masih seorang gadis yang
selalu menanti pinangan Taihiap!
Semoga
bahagia,
Han Wi Kong.
Surat itu
terlepas dari jari-jari tangan Gak Bun Beng yang gemetar karena jantungnya
berdebar dengan keras. “Ohhh...,” demikian keluhnya.
Mendengar
keluhan ini, Milana mengangkat mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar
kertas itu dan menyerahkannya kepada Milana sambil berkata, suaranya gemetar,
“Benarkah ini...? Benarkah ini...?”
Milana
menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng.
Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu
pun terlepas dari tangannya yang menggigil.
“Benarkah,
Milana...?” tanya Bun Beng, suaranya lirih seperti berbisik.
Milana
mengangkat muka memandang. Dua pasang mata saling bertemu dan akhirnya Milana
hanya mengangguk penuh kepastian. Bun Beng meloncat berdiri. “Akan tetapi
mengapa?” teriaknya. “Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau
menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya... hanya dalam
nama saja...? Betapa kejamnya engkau...”
Mendengar
ucapan ini, Milana juga meloncat berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata
bersinar-sinar. “Mangapa? Tentu saja aku tidak bisa menyerahkan diri kepada
lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta kasih dan hatiku kepadamu, suheng,
bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan tubuhku kepada pria lain?”
“Ahh...
tapi... kalau begitu, mengapa engkau menikah dengan dia?”
“Karena
Kaisar memaksaku.”
“Kau bisa
saja pergi dari istana dan mencari aku, Milana...”
“Suheng,
bukankah engkau yang telah meninggalkan aku dan pergi dariku? Aku sudah merasa
berdosa kepadamu dahulu, telah tidak mempercayaimu..., akan tetapi aku tidak mungkin
bisa menyerahkan diri kepada pria lain...”
“Milana...
sumoi, begitu besar cintamu kepadaku...”
“Dan kau
tadinya kuanggap telah melupakan aku, Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup
merana, tak pernah menikah, karena cintamu kepadaku...”
“Milana...
aku cinta padamu, sejak dahulu sampai detik ini... aku hanya merasa diriku
tidak berharga untukmu. Dan ternyata engkau... engkau begitu setia kepadaku...
ternyata aku yang telah menyiksa hidupmu, Milana...”
“Suheng...!”
Milana mengeluh dan mereka saling tubruk, saling rangkul karena sekarang
keduanya yakin akan cinta kasih mereka masing-masing.
“Sumoi...
Milana... ah, Milana... betapa aku rindu padamu.”
“Aku pun
rindu padamu, Suheng...”
Sejenak
kedua orang itu lupa diri. Milana terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya
mengalir turun dari kedua mata yang dipejamkan. Bun Beng kemudian mendekapnya,
menciumnya, mencium lehernya, dagunya, bibirnya, hidung dan matanya, menghisap
air mata itu, air mata yang seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang
di dalam hatinya yang kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu
menjadi segar kembali.
Pada saat
itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya hingga setiap bulu
di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu. Milana memejamkan
matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya. Wanita manakah yang tidak
akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria yang dicintanya,
merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang keluar dari bibir Bun
Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali menyatakan cinta kasih yang
mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan itu lebih merdu dari pada
nyanyian surga!
Akan tetapi
tiba-tiba Milana melepaskan dirinya dengan halus. Kini dia memandang kekasihnya
dengan bibir tersenyum dan mata yang masih basah, dengan kedua pipi kemerahan
seperti wajah seorang dara remaja yang baru pertama kali menerima ciuman
seorang pria. Bun Beng memandang dengan terpesona.
“Jangan...
Suheng, jangan dulu..., kita harus menghormati Han Wi Kong... dialah yang
sesungguhnya mempertemukan kita kembali. Kita... kita harus sabar menanti...
biarkan aku berkabung selama setahun untuknya, Suheng.”
Gak Bun Beng
tersenyum, senyum penuh kecerahan yang baru pertama kali ini nampak di
wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar kembali dengan cahaya kehidupan. Dia
mengangguk dan matanya memandang penuh kelembutan, penuh kemesraan dan penuh
pengertian. “Memang sebaiknya begitu, Sumoi. Sebaiknya begitu..., betapa pun
juga, secara lahiriah dia adalah suamimu dan sahabat kita yang amat baik.
Setelah menanti belasan tahun lamanya, apa artinya setahun bagi kita?”
Milana
melangkah maju lagi dan memegang kedua tangan kekasihnya. “Aku tahu bahwa
engkaulah satu-satunya manusia yang bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai
saat ini aku merasa seolah-olah baru hidup, suheng...”
Gak Bun Beng
balas menggenggam jari-jari tangan yang halus itu. “Bukan baru hidup melainkan
hidup baru, Sumoi. Sekarang, apakah engkau tetap hendak melanjutkan
perjalananmu ke Pulau Es?”
“Aku...
aku... terserah kepadamu, Suheng. Sejak saat ini, aku hanya menurut pada apa
yang kau katakan dan kau tentukan. Aku takut kalau-kalau keputusanku sendiri
akan mengakibatkan kesalahan hebat seperti yang telah kita alami bersama
dahulu. Aku menyerahkan segalanya kepadamu, Suheng.”
Bukan main
girangnya hati Gak Bun Beng. “Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian
kita bersama pergi menghadap ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang
tua. Sekarang, lebih baik kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa
tidak tenang kalau sampai anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya
waktu yang satu tahun itu kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan.”
Milana
mengangguk, lalu berkata, “Dia... Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng...”
“Eh,
bagaimana kau tahu?”
“Anak yang
baik itu menceritakan segalanya kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia
marah-marah kepadaku dan menuntut agar aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh
sekali itu? Seorang anak belasan tahun mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia
benar-benar cinta kepadamu sehingga aku merasa amat heran mengapa engkau tidak
menyambut uluran hati seorang dara secantik dia?”
“Sumoi,
perlukah kau tanyakan lagi hal itu? Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku
mencinta wanita lain? Aku tahu akan kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap
sebagai keponakan atau anak sendiri, dan karena itu pula kita sudah sepatutnya
mengantarkan dia kembali kepada orang tuanya di Bhutan.”
Milana
tersenyum manja. “Terima kasih, Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan
hatiku betapa besar cintamu kepadaku, dan amat membahagiakan hatiku.”
“Hemm, tidak
kalah besarnya dengan kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini
engkau tetap mencintaku, Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi
hal-hal yang tidak baik terhadap diri Syanti Dewi.”
Maka
berangkatlah kedua orang kekasih yang baru saling menemukan kembali setelah
cinta kasih mereka terpisah selama belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun
Beng dan Milana. Keduanya masih perawan dan perjaka, biar pun usia mereka telah
mendekati empat puluh tahun, dan mereka selama belasan tahun menekan kerinduan
hati masing-masing.
Sekarang,
setelah mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang
menghalangi mereka untuk saling memiliki, seolah-olah kenikmatan itu merupakan
setangkai bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya
sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada halangannya untuk
saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan
nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah
sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh
kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah dimabok oleh nafsu
birahi!
Sambil
bergandeng tangan mereka pergi meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar
biasa mereka menggunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke barat untuk
menyusul rombongan Syanti Dewi yang dikawal oleh dua losin orang pasukan
pengawal Jenderal Kao Liang.
Ketika
mereka tiba di dekat dusun yang dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw
Lo-mo, di tengah jalan mereka bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin
sepasukan yang terdiri dari belasan orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari
Perdana Menteri. Pemuda ini setelah behasil membantu Tek Hoat membakar ruangan
dan membiarkan Tek Hoat menolong Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja
dan dia pun pergi menemui Perdana Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan
untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Perdana
Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah ditolong Tek
Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana, maka perdana
menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal pribadinya
yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong Ceng Ceng
dan Topeng Setan. Demikianlah, di tengah jalan mereka saling bertemu.
“Enci
Milana! Gak-suheng!” Suma Kian Bu berseru dengan girang bukan main dan dia
memegangi kedua tangan suheng dan enci-nya itu.
“Hemmm, ke
mana saja engkau selama ini, Kian Bu?” Milana bertanya.
Ditanya
demikian, Kian Bu menundukkan muka menyembunyikan perasaan jengah dan malunya.
Tentu saja tidak mungkin dia menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.
“Aku hanya
merantau saja, Enci, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk kalian
ketahui dan kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi
menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan dan di perjalanan nanti kuceritakan semua
kepada Ji-wi (Kalian Berdua).”
Tentu saja
Gak Bun Beng dan Milana terkejut dan segera mengikuti adik itu melanjutkan
perjalanan menuju ke dusun yang dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu
telah mendengar penuturan dari Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih
ditawan oleh Tambolon menurut cerita Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek
Hoat sedang pergi untuk menolongnya. Sedangkan Topeng Setan juga masih ditawan
Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim.
Dengan
singkat namun jelas Kian Bu menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan
dia membantu Tek Hoat untuk membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota
raja untuk minta bantuan.
“Hek-tiauw
Lo-mo kuat sekali kedudukannya, apa lagi di dekat dusun Nam-lim itu terdapat
pula rombongan Tambolon yang dibantu oleh banyak orang pandai, di antaranya
seorang nenek yang amat lihai dan pandai ilmu sihir. Ternyata tadinya Puteri
Syanti Dewi ditawan oleh Tambolon dan telah diselamatkan oleh Tek Hoat dengan
jalan menukarnya dengan Ceng Ceng. Menurut Perdana Menteri Su, kini puteri itu
telah dikawal oleh pasukan Bhutan sendiri, kembali ke Bhutan.” Kian Bu
menghentikan ceritanya karena dia masih merasa terluka oleh penolakan cintanya
terhadap puteri itu.
“Sungguh
aneh sekali! Mengapa pula rombongan Hek-tiauw Lo-mo dan rombongan Tambolon
masih saja berkeliaran di sini? Dan bagaimana pula Syanti Dewi yang dikawal
oleh pasukan Jenderal Kao sampai dapat tertawan oleh rombongan Tambolon?
Bagaimana pula cara Tek Hoat menukar tawanan itu? Ahhh, pemuda itu ternyata
hebat! Kembali dia telah menyelamatkan Syanti Dewi dan kini dia seorang diri
hendak menolong Ceng Ceng, sungguh berbahaya baginya. Mari kita mempercepat
perjalanan dan mendahului pasukan ini,” Bun Beng berkata.
Setelah
berpesan kepada pasukan itu, Kian Bu lalu bersama Milana dan Bun Beng
menggunakan ilmu berlari cepat, meninggalkan pasukan dan mendahului pergi ke
sarang Tambolon di mana kabarnya Ceng Ceng menjadi tawanan raja liar itu.
Akan tetapi
ternyata rombongan itu tidak lagi berada di situ. Seperti kita ketahui, akibat
khasiat darah anak ular naga yang diminumnya, Ceng Ceng dapat membebaskan diri
sendiri dari tangan Tambolon dan kawan-kawannya, dan rombongan raja liar ini
pun lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran.
Karena dusun
itu kosong, maka Bun Beng lalu mengajak Milana dan Kian Bu untuk melanjutkan
perjalanan ke Nam-lim. Kedatangan tiga orang ini dengan pasukan pengawal di
belakang mereka, telah diketahui oleh anak buah Hek-tiauw Lo-mo yang cepat
melapor kepada Ketua Pulau Neraka ini, tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi
terkejut sekali dan pada saat itu dia melihat Topeng Setan sudah dapat
membebaskan diri secara menggiriskan.
Maka
timbullah akalnya untuk mengadu Topeng Setan dengan rombongan Puteri Milana.
Biar pun Ceng Ceng sudah tidak berada lagi di tahanan, akan tetapi kebebasan
dara ini belum diketahui oleh Topeng Setan dan karenanya dia masih dapat menipu
Topeng Setan dan memaksanya untuk membantunya dengan mengancam Ceng Ceng yang
sebenarnya sudah tidak ada lagi di situ.
Demikianlah
mengapa Gak Bun Beng, Milana dan Suma Kian Bu dapat muncul di tempat itu dan
kini kita kembali kepada Topeng Setan yang dihadapkan pada dua pilihan yang
amat berat baginya. Sungguh berat baginya untuk menghadapi rombongan Puteri
Milana yang dihormati dan dipandang tinggi itu, akan tetapi apa pun akan
dilakukannya demi untuk menolong keselamatan Ceng Ceng.
“Bagaimana,
Topeng Setan? Apakah engkau lebih ingin melihat kami membunuh gadis itu
kemudian engkau melawan kami mati-matian? Jangan mengira bahwa kami takut
kepadamu. Kami hanya ingin menarikmu sebagai kawan untuk menghadapi musuh-musuh
yang kuat itu, dan percayalah, aku pasti akan membebaskan engkau dan gadis itu
kelak. Mereka telah tiba di luar dan pergilah kau mengundurkan mereka.”
“Baik, akan
tetapi awaslah engkau kalau menipuku, Lo-mo!” teriak Topeng Setan yang kini
juga sudah mendengar gerakan orang di depan rumah itu. Dia meloncat keluar dan
terus ke ruangan depan dan tiba-tiba saja dia sudah berhadapan dengan Puteri
Milana, Gak Bun Beng dan Suma Kian Bu!
“Pergilah
kalian dari sini...! Ahhh, pergilah segera...!” Topeng Setan berkata sambil
melambai-lambaikan tangannya memberi isyarat agar supaya mereka itu pergi dari
situ.
“Topeng
Setan, kami datang justru untuk menolong... engkau dan Ceng Ceng...” Suma Kian
Bu berkata.
“Tidak...,
tidak...! Lekas kalian pergi dari sini, lekas...!” kembali Topeng Setan berseru
dengan kacau karena memang hatinya kacau-balau tidak karuan menghadapi keadaan
gawat yang mengancam keselamatan Ceng Ceng itu.
Milana dan
Gak Bun Beng hanya pernah mendengar nama Topeng Setan, akan tetapi mereka baru
sekarang melihat orangnya. Bagi kedua orang pendekar besar ini, orang yang
menyembunyikan mukanya di balik topeng sudah menunjukkan ketidak jujuran orang
itu, maka topeng itu saja sudah mendatangkan kesan yang kurang baik bagi
mereka.
“Topeng
Setan atau siapa pun adanya engkau. Mundurlah karena kami datang untuk
membebaskan Ceng Ceng!”
“Tidak...
tidak... Paduka saja mundurlah. Dan harap jangan mencampuri urusan kami berdua
dengan Hek-tiauw Lo-mo!”
Milana
menjadi marah. Biar pun satu kali dia pernah melihat Topeng Setan ini dan biar
pun dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah pembantunya Ceng Ceng, namun
sikapnya sekarang amat mencurigakan karena agaknya membela Hek-tiauw Lo-mo.
“Manusia
sombong, agaknya engkau telah berkhianat dan memihak Hek-tiauw Lo-mo.
Minggir...!” Milana lalu maju dan mendorong Topeng Setan agar ke pinggir akan
tetapi Topeng Setan menggerakkan tangan kanannya menangkis.
“Dessss...!”
Milana
terlempar hampir jatuh oleh tangkisan itu, baiknya Bun Beng cepat menyambar
lengannya. Milana dan Bun Beng terkejut bukan main. Apa lagi Milana. Wanita
perkasa ini tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya karena dia dapat menduga
bahwa Topeng Setan ini memiliki kepandaian hebat, namun dia terlempar oleh
tangkisan itu. Sungguh hebat orang ini.
Hek-tiauw
Lo-mo, pembantunya yang utama Ji Song, dan Mauw Siauw Moli juga kaget bukan
main melihat betapa Topeng Setan dapat menangkis dan membuat puteri yang mereka
segani dan takuti itu terlempar! Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui
yang melihat Suma Kian Bu muncul bersama Milana dan Gak Bun Beng menjadi girang
dan juga khawatir.
“Kian
Bu...!” Dia berseru memanggil akan tetapi pemuda itu sudah cepat melompat ke
belakang dan menghilang karena dia merasa malu sekali kalau sampai wanita
cantik yang membuat dia mabuk dan lupa daratan, membuat dia tenggelam dalam
permainan cinta dan nafsu birahi, akan membuka rahasia yang memalukan di depan
enci-nya dan suheng-nya.
Pada saat
itu Milana sudah menjadi marah bukan main.
“Kau
mundurlah, biar aku yang menghadapinya,” kata Bun Beng.
Akan tetapi
Milana yang sudah penasaran itu membantah. “Biar aku mencobanya sekali lagi!”
Puteri
Milana sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im
Sinkang. Setelah mengerahkan tenaga mukjijat ini, tangan puteri itu kelihatan
mengkilap kebiruan dan di ruangan itu menyambar hawa yang amat dingin!
Topeng Setan
maklum bahwa puteri ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, maka ia pun
terpaksa mengerahkan ilmunya yang mukjijat, yang baru saja dikuasainya, yaitu
tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya memasang kuda-kuda rendah sekali, hampir
menelungkup, lengan kanannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan membentuk
kepala ular, tubuhnya kaku kejang dan anehnya, lengan kiri yang hanya tinggal
lengan bajunya yang kosong itu seolah-olah ‘hidup’, dapat bergerak-gerak lurus
ke belakang dan kopat-kapit seperti ekor naga!
“Pergi!” Milana
membentak dan wanita ini sudah mendorong dengan lengan tangannya.
Hawa yang
amat dingin menyambar ke arah Topeng Setan. Pukulan yang didasari tenaga
Swat-im Sinkang ini hebat dan dahsyat bukan main. Dengan ilmu ini yang sudah
sampai di puncaknya, air pun terkena hawa pukulan ini akan menjadi beku! Topeng
Setan memapaki dengan lengan kanannya dalam tangkisan yang dahsyat pula.
“Dessss...!”
Kembali
tubuh Milana terlempar ke belakang, sedang Topeng Setan hanya melangkah mundur
dua langkah saja. Dan kembali Gak Bun Beng yang menyambar lengan Milana. Sekali
ini Milana tidak banyak membantah ketika Bun Beng yang maju menghadapi Topeng
Setan.
Hek-tiauw
Lo-mo dan para pembantunya memandang heran dan terkejut, akan tetapi juga
girang bahwa ‘pembantu’ mereka itu dapat menolong mereka menghadapi para lawan
yang tangguh itu. Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo memberi isyarat kepada sumoi-nya
dan kepada para pembantu dan anak buahnya dan diam-diam mereka itu mundur ke
dalam. Mereka hendak mempergunakan kesempatan selagi para musuh sibuk
menghadapi Topeng Setan yang hebat itu untuk meloloskan diri karena mereka
merasa tidak akan menguntungkan kalau melawan pasukan pemerintah yang dipimpin
sendiri oleh Puteri Milana.
Gak Bun Beng
memandang tajam dan dengan penuh keheranan. Selama hidupnya yang penuh dengan
pengalaman dan pertempuran melawan orang-orang pandai, tokoh-tokoh sesat dari
seluruh dunia persilatan, belum pernah dia bertemu dengan orang yang
menggunakan ilmu pukulan macam yang diperlihatkan Topeng Setan. Penghimpunan
sinkang dengan tubuh merendah hampir menelungkup itu!
Dia sendiri
pernah melatih diri di bawah pimpinan Bu-tek Siauw-jin tokoh besar di Pulau
Neraka dengan sinkang mukjijat yang dinamakan Tenaga Sakti Inti Bumi, yang juga
pengerahan tenaganya dilakukan dengan menelungkup di atas tanah, akan tetapi
sungguh berbeda lagi dengan yang diperlihatkan Topeng Setan tadi. Apa lagi
gerakan ilmu silat yang aneh itu, lengan kanan seperti kepala ular dan lengan
buntung diwakili lengan baju seperti ekor naga, sungguh amat mengerikan dan
hebat. Kalau sinkang Si Topeng Setan mampu menandingi Swat-im-sinkang, sungguh
amat luar biasa. Biar pun dia tahu bahwa Milana belum mencapai kesempurnaan
dalam latihan Swat-im Sinkang, namun tingkat wanita ini amat tinggi dan sukar mencari
tandingannya.
“Kau agaknya
tetap berkeras hendak membela Hek-tiauw Lo-mo!” kata Gak Bun Beng. “Terpaksa
aku pun harus menggunakan kekerasan.”
“Harap...
harap Taihiap mundur saja...” Topeng Setan berkata dengan cemas.
“Aku tidak
tahu apa yang memaksamu, akan tetapi jelas engkau membela musuh, maka terpaksa
aku akan berusaha menyingkirkanmu!”
Bun Beng
kini mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang di tangan kanannya. Tenaga ini sudah
dia perkuat dengan tenaga sakti Inti Bumi sehingga lengan kanannya itu kelihatan
merah membara seperti baja yang terbakar api dan mengeluarkan uap. Hawa di
sekitarnya menjadi panas sekali sehingga para pengawal yang sudah tiba di situ
tidak berani mendekat saking panasnya.
Topeng Setan
terkejut bukan main, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang
benar-benar sakti, akan tetapi karena dia harus melindungi keselamatan Ceng
Ceng, dia tidak gentar dan kalau perlu dia akan mempertaruhkan nyawanya. Gak
Bun Beng mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah menerjang ke depan,
menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka untuk menghantam. Serangkum hawa
panas sekali menyambar dan Topeng Setan terpaksa menyambutnya dengan telapak
tangan kanannya, seperti tadi tubuhnya mengambil posisi rendah dan lengan baju
kirinya tergerak-gerak di belakangnya seperti mengatur keseimbangan.
“Blarrrrr...!”
Hebat bukan
main pertemuan dua tenaga sakti di udara ini, terasa oleh semua orang, bahkan
beberapa orang pengawal yang sudah menonton dari jarak jauh ada yang terpental.
Topeng Setan berseru keras dan pada saat kedua tangan bertemu tadi, kakinya
melangkah ke belakang, akan tetapi tiba-tiba ‘ekor naga’ yang berupa lengan
baju kirinya itu menyambar, tubuhnya miring.
“Pyarrrrr...!”
Bun Beng
terkejut dan masih sempat menangkis, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke
belakang, sedangkan Topeng Setan juga terhuyung ke belakang dengan muka pucat
akibat pertemuan tenaga sakti yang pertama tadi.
Topeng Setan
memandang dengan mata terbelalak. Dia maklum bahwa dia sudah berhasil menguasai
Ilmu Tenaga Sakti Sin-liong-hok-te, biar pun belum sesempurna gurunya, namun
ilmu ini hebat sekali dan menurut gurunya, jarang ada orang di dunia yang akan
mampu melawannya. Akan tetapi siapa kira, baru saja dia berkesempatan
mempergunakan ilmu yang dahsyat ini, dia telah menemui lawan yang begini hebat.
Di lain
pihak, Gak Bun Beng juga memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar
keras. Baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang hebat, yang dapat mengimbangi
kepandaiannya. Seolah-olah dia melihat tokoh-tokoh besar seperti Cui-beng
Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua tokoh Pulau Neraka itu, hidup lagi! Topeng
Setan ini merupakan orang yang kepandaiannya sukar ditandingi.
Padahal dia
sudah menggembleng dirinya dan pukulannya tadi adalah pukulan yang didasari
persatuan tenaga Hwi-yang Sinkang dan Inti Bumi. Kiranya di dunia ini hanya
dapat dihitung dengan jari tangan saja yang akan mampu menahan pukulannya, di
samping tentu saja orang sakti seperti Pendekar Super Sakti, akan tetapi orang
bertopeng ini mampu menahan bahkan membalas dan membuat dia terhuyung.
Sejenak
keduanya saling pandang dengan mata terbelalak, seperti dua ekor ayam jago yang
berlagak sebelum saling gempur, berdiri saling pandang dan saling taksir.
Tiba-tiba Bun Beng mengeluarkan suara melengking tinggi dan pendekar sakti ini
sudah bergerak menyerang. Topeng Setan yang sudah memasang kuda-kuda
Sin-liong-hok-te menyambut dan bertempurlah kedua orang itu.
Karena yakin
bahwa lawannya ini memang dahsyat sekali dan tingkat kepandaiannya masih lebih
tinggi dari padanya, maka Topeng Setan tidak berani mainkan lain ilmu silat
kecuali yang baru saja dikuasainya, yaitu Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat yang
sejak dahulu memang sudah dihafalnya benar akan tetapi baru sekarang dia
kuasai. Pula, ilmu inilah satu-satunya ilmu silat tinggi yang dikenalnya, yang
cocok dimainkan dengan lengan tunggal, sedangkan ilmu silatnya yang lain,
dahulu dilatihnya dengan sepasang lengan sehingga tentu sekarang menjadi canggung
kalau dia mainkan dengan lengan tunggal.
Sementara
itu, menghadapi serangan-serangan yang aneh dari lengan kanan dan ‘ekor’ berupa
lengan baju kiri itu, Gak Bun Beng mainkan ilmu silat Kong-jiu-jip-tin (Dengan
Tangan Kosong Memasuki Barisan) sambil mengerahkan tenaga saktinya
berganti-ganti kadang-kadang dengan Hwi-yang Sinkang, kadang-kadang dengan
Swat-im Sinkang yang amat dingin.
Akhirnya
Topeng Setan harus mengakui keunggulan Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Dan
diam-diam Bun Beng juga harus mengakui bahwa kalau saja Topeng Setan tidak
sedang terluka hebat, dan kalau saja ilmu silat aneh itu sudah dikuasainya
benar, sudah terlatih matang dan banyak dipakai menghadapi orang pandai dalam
pertempuran, belum tentu dia akan dapat menang dengan mudah! Kini Topeng Setan
terhuyung dan terdesak hebat, agaknya sebentar lagi akan roboh.
Topeng Setan
merasa heran sekali mengapa Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li tidak
membantunya, padahal kedua orang itu memiliki kepandaian hebat pula dan kalau
membantunya, belum tentu dia sampai terdesak seperti ini. Ketika sebuah
hantaman yang biar pun sudah ditangkisnya membuat dia terlempar ke belakang,
dia menengok dan... dia tidak melihat mereka. Terkejutlah dia. Celaka,
pikirnya, siapa tahu dia ditipu oleh orang Pulau Neraka itu.
“Tahan
dulu...!” teriaknya ketika Gak Bun Beng mendesak maju. Napasnya sudah
terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
“Taihiap...!
Puteri...! Tolonglah... harap jangan serbu Hek-tiauw Lo-mo karena... karena
Ceng Ceng mereka jadikan sandera. Mereka akan membunuh Ceng Ceng kalau saya
tidak melawan Ji-wi, maka terpaksa saya melawan agar Ceng Ceng dibebaskan...”
Mendadak terdengar
suara teriakan, “Paman...! Kau sudah mati-matian membelaku...! Aku telah dapat
lolos, Paman...!”
Kemudian
Ceng Ceng membalik, menghadapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana dengan kedua
tangan terkepal. “Paman Gak Bun Beng dan... Bibi Puteri Milana! Kalau kalian
melanjutkan mendesak dan menyerang Paman Topeng Setan, terpaksa aku akan
menentang kalian!”
“Hushhh...
Ceng Ceng, jangan kurang ajar kau terhadap mereka. Gak-taihiap, celaka, kita
telah diadu domba dan ditipu oleh Hek-tiauw Lo-mo!” kata Topeng Setan.
Akan tetapi
Ceng Ceng yang kegirangan melihat Topeng Setan tidak mati seperti yang
dikhawatirkannya itu, sudah lari dan menubruk, merangkulnya dengan penuh girang
dan kebanggaan. Lagi-lagi dalam keadaan seperti itu, Topeng Setan telah
memperlihatkan kemuliaan hatinya terhadap dia, telah membelanya mati-matian,
bahkan sampai berani melawan Gak Bun Beng yang demikian sakti karena dia
ditekan oleh Hek-tiauw Lo-mo yang mengancam hendak membunuhnya kalau Si Buruk
Rupa ini tidak melawan Gak Bun Beng.
Dia baru
saja tiba dan selagi dia terheran-heran dan kebingungan menyaksikan Topeng
Setan bertanding sedemikian hebatnya dengan Gak Bun Beng, dia mendengar ucapan
Topeng Setan itu, maka dia lalu berteriak dan muncul memperlihatkan diri.
“Syukur
engkau telah bebas pula, Paman. Betapa aku amat mengkhawatirkan dirimu,
Paman...,” katanya.
“Dan kau...
bagaimana kau dapat bebas, Ceng Ceng?” Topeng Setan bertanya dan mereka lalu
bicara dengan asyik, tanpa mempedulikan Milana dan Gak Bun Beng yang sudah
menerjang ke dalam. Akan tetapi rumah itu sudah kosong sama sekali dan di
belakang mereka berjumpa dengan Suma Kian Bu.
“Eh, kau
tadi ke mana, Bu-te?” tanya Milana terheran-heran. Baru sekarang dia teringat
bahwa adiknya ini tidak nampak ketika mereka bertanding melawan Topeng Setan.
“Aku... aku
tadinya menyelinap ke belakang untuk menolong Ceng Ceng, kiranya Ceng Ceng
tidak ada dan mereka semua telah melarikan diri,” jawab Suma Kian Bu yang
sebenarnya menghindarkan diri dari Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui.
Mereka semua
lalu mencari-cari, mengejar ke sana-sini dan mengerahkan belasan orang
pengawal, namun hasilnya sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo dan kawan-kawannya
sudah melarikan diri entah ke mana, menggunakan kesempatan selagi Milana dan
Gak Bun Beng sibuk bertempur melawan Topeng Setan tadi. Terpaksa mereka kembali
ke tempat tadi dan melihat Topeng Setan dan Ceng Ceng masih bercakap-cakap
dengan asyik sekali.
“Orang itu
hebat, entah siapa dia...” Diam-diam Gak Bun Beng berbisik kepada Milana dan
wanita perkasa itu mengangguk menyetujui.
“Tapi dia
benar-benar setia, agaknya dia mencinta Ceng Ceng...,” bisiknya kembali dan
biar pun tidak yakin akan hal ini, Gak Bun Beng juga mengangguk. Baginya, tanpa
melihat wajah Si Kedok itu, bagaimana dia bisa menduga isi hati orang? Akan
tetapi, dalam hal asmara memang wanita lebih halus perasaannya.
Melihat
kedatangan mereka, Ceng Ceng lalu bertanya kepada Milana, “Bibi Puteri Milana,
bagaimana dengan Syanti Dewi? Di mana Kakak Syanti?”
Yang
menjawabnya adalah Suma Kian Bu, “Menurut penuturan Perdana Menteri Su, puteri
itu kini telah dikawal oleh para utusan Bhutan sendiri kembali ke negaranya...”
“Ah...!
Kiranya dia bermain curang...!” Ceng Ceng berseru.
“Siapa?”
“Ang Tek
Hoat. Dia menolongku dari tahanan di sini, akan tetapi dia membawaku, dan
menukarkan aku dengan Enci Syanti yang tadinya tertawan oleh Tambolon. Untung
aku dapat meloloskan diri...” Dia tidak menceritakan kepada orang lain kecuali
kepada Topeng Setan tadi betapa dia secara aneh dan tiba-tiba memiliki tenaga
mukjijat yang amat dahsyat itu.
Selagi
mereka bercakap-cakap, datang serombongan pasukan yang dipimpin langsung oleh
Jenderal Kao Liang! Begitu tiba di situ dan melihat Ceng Ceng, jenderal ini menjadi
girang sekali.
“Ceng
Ceng... ahhh, Nona yang baik...! Ternyata benar engkau masih hidup...!” Dengan
suara serak karena terharunya dia menghampiri Ceng Ceng dan memeluknya seperti
memeluk anaknya sendiri. “Banyak yang mengatakan bahwa kau masih hidup, akan
tetapi sukar bagiku untuk percaya setelah melihat kau terjerumus ke dalam sumur
maut! Aihhh, betapa bahagia rasa hatiku dapat bertemu denganmu!”
Ceng Ceng
segera memberi hormat dan hatinya terharu sekali. Jenderal ini merupakan satu
di antara orang-orang di dunia ini yang amat baik kepadanya.
“Paman,
inilah dia Paman Jenderal Kao Liang yang sering kuceritakan kepadamu, seorang
yang amat mulia hatinya!” katanya kepada Topeng Setan memperkenalkan.
Jenderal Kao
Liang terkejut sekali melihat orang yang bertopeng seperti setan dan amat
buruk, lagi lengannya buntung sebelah itu. “Siapa... siapa dia...?”
Gak Bun Beng
yang menerangkan, “Goanswe, dia adalah Topeng Setan yang amat terkenal, yang
menjadi pembantu dan pengawal Ceng Ceng, akan tetapi ternyata ilmu
kepandaiannya hebat bukan main, saya sendiri sampai kewalahan dibuatnya!”
Dengan
singkat pendekar ini menuturkan kepada Jenderal Kao tentang peristiwa tadi.
Sang Jenderal mengangguk-angguk, kagum memandang ke arah Topeng Setan yang
hanya menunduk.
“Selama
orang-orang jahat itu masih berkeliaran, negara tidak akan aman,” katanya.
“Setelah kini pemberontakan dapat terbasmi, para kaki tangan pemberontak harus
dibersihkan karena jelas bahwa mereka tidak mau insyaf dan melanjutkan
kejahatan mereka. Saya akan mengerahkan semua kekuatan untuk membasmi mereka.”
Lalu kepada Ceng Ceng dia berkata, “Harap engkau suka ikut bersamaku dan
singgah di rumahku karena banyak hal yang harus kubicarakan denganmu, anak yang
baik.”
Ceng Ceng
hanya menoleh kepada Topeng Setan yang masih menunduk saja, hatinya bimbang
karena dia tidak mau berpisah lagi dari Topeng Setan, akan tetapi menolak
permintaan jenderal yang amat baik hati itu pun dia merasa tidak enak.
Melihat
keraguan Ceng Ceng, jenderal yang gagah perkasa dan berwatak jujur itu lalu
tertawa dan dengan suara lantang berkata, “Anak Ceng, biarlah disaksikan oleh
para tokoh perkasa di sini, bahkan oleh Puteri Milana yang masih terhitung bibi
luarmu, aku mengundangmu untuk membicarakan soal perjodohan! Aku ingin sekali
mengambil engkau sebagai mantuku, Ceng Ceng!”
Puteri
Milana terbelalak, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk setuju, sedangkan Gak
Bun Beng juga tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa putera sulung jenderal ini,
yang tadinya lenyap, kini telah pulang dan telah menjadi seorang pemuda yang
amat lihai dan telah membantu pelaksanaan penghancuran para pemberontak. Biar
pun dia sendiri tidak mengenal pemuda itu, namun melihat Jenderal Kao, seorang
yang dia ketahui betul sifat dan keadaannya, amat baiklah kalau gadis yang
gagah ini menjadi mantu jenderal itu.
Akan tetapi
tiba-tiba Ceng Ceng berseru keras, “Ehhh, Paman...! Paman Topeng Setan, kau
tunggu aku...!”
Semua orang
menoleh dan melihat bahwa Topeng Setan telah pergi dari situ tanpa pamit lagi.
Mendengar teriakan Ceng Ceng, dia hanya menoleh sebentar, kemudian melangkah
pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.
“Paman
Jenderal Kao, harap suka maafkan saya. Biarlah lain kali saja saya pergi
mengunjungi rumah Paman untuk menghaturkan terima kasih. Paman Gak, Bibi
Puteri, maafkan saya...!” Ceng Ceng lalu berlari cepat mengejar Topeng Setan
yang sudah agak jauh.
Semua orang
memandang ketika dara itu berhasil menyusul Topeng Setan dan mereka berdua itu
berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Sungguh pasangan yang sama sekali
tidak patut dan berat sebelah!
Tampak
Jenderal Kao Liang menggosok-gosok dagunya, mengelus jenggot dengan hati
penasaran dan kecewa. “Sungguh manusia aneh Topeng Setan itu...”
“Akan tetapi
kesetiaannya terhadap dara itu tidak perlu diragukan lagi, Kao-goanswe. Karena
itu tenangkanlah hatimu, dara itu tidak akan dibiarkan mengalami mala petaka.”
Jenderal Kao
Liang dan pasukannya lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari dan membasmi
kaki tangan bekas pemberontak yang masih berkeliaran, sedangkan Gak Bun Beng
dan Puteri Milana kembali melanjutkan perjalanan mereka untuk mengejar
rombongan Syanti Dewi untuk melindunginya.
“Bu-te, aku
dan Gak-suheng akan mengantarnya sampai ke Bhutan. Kau sebaiknya pulang dulu ke
Pulau Es dan ceritakan semua yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu dan katakan
bahwa setelah mengantar Syanti Dewi ke Bhutan, kami berdua akan pergi ke Pulau
Es menghadap Ayah dan Ibu.”
Kian Bu
hanya mengangguk, akan tetapi setelah semua orang pergi, dia tidak menuju ke
Pulau Es, sebaliknya dia pun menuju ke barat karena dia ingin mencari kakaknya,
Suma Kian Lee yang tidak diketahuinya ke mana perginya itu. Juga dia masih
perlu waktu panjang untuk memulihkan perasaannya yang terguncang karena dia
malu dan menyesal akan semua perbuatannya bersama dengan Mauw Siauw Mo-li. Kini
baru dia insyaf betapa dia telah terpikat oleh wanita yang hina, seorang datuk
kaum sesat yang gila laki-laki. Sungguh dia merasa menyesal sekali kepada
dirinya sendiri yang dianggap amat lemah dan mudah jatuh oleh kecantikan
wanita.
***************
Kereta yang
ditarik oleh empat ekor kuda itu berjalan dengan tenang melalui lembah
pegunungan, dikawal oleh tiga puluh enam orang yang kelihatan gagah perkasa,
kesemuanya menunggang kuda dan biar pun mereka berpakaian seperti orang-orang
biasa, bukan pakaian seragam piauwsu (pengawal barang), namun dari cara mereka
menunggang kuda, duduk dengan tegak dan kuda mereka teratur rapi di belakang
dan di depan kereta, dapat diduga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
biasa berbaris dengan kuda dan mengenal disiplin.
Pemimpinnya,
seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis dan jenggot pendek rapi, kelihatan
gagah sekali dan mereka melanjutkan perjalanan berkuda itu menuju ke barat
tanpa banyak kata-kata. Kereta itu sendiri amat besar, tidak seperti kereta
biasa, agaknya kereta yang khusus dibuat untuk keperluan itu. Panjang kereta
dua kali panjang kereta biasa, maka penariknya adalah empat ekor kuda, tidak
dua ekor seperti biasa kalau hanya menarik penumpang. Di bagian paling belakang
dari rombongan itu terdapat seekor kuda menarik sebuah kereta kecil yang terisi
barang-barang perbekalan mereka.
Orang-orang
yang kelihatan gagah itu ternyata dapat bekerja sama dengan cepat dan setiap
kali jalan terlalu mendaki sehingga empat ekor kuda yang menarik kereta besar
itu kelihatan payah, mereka lalu langsung meloncat turun dan beberapa orang
ikut mendorong roda kereta sehingga kereta itu dapat mendaki dengan lancar dan
perjalanan tidak perlu dihentikan. Walau pun mereka tidak tergesa-gesa, akan
tetapi perjalanan itu tidak pernah berhenti kecuali kalau hendak makan atau
bermalam di tengah perjalanan.
Pagi hari
itu amat cerah. Jalan yang dilalui rombongan itu pun datar sehingga kuda mereka
berlari congklang dan kereta dapat bergerak lancar. Suara derap kaki kuda
menimbulkan bunyi irama yang lucu dan menggembirakan, dan barisan kuda itu
akhirnya memasuki sebuah hutan kecil yang mulai diterobos sinar matahari pagi
yang membangunkan semua binatang penghuni hutan.
Beberapa
ekor kelinci dan tikus lari berserabutan melintasi jalan dan menyelinap ke
balik semak-semak ketika rombongan itu tiba. Burung-burung terbang ketakutan
dari pohon-pohon di kanan kiri jalan. Kuda-kuda mereka agaknya merasa gembira
pula tiba di dalam hutan di antara pohon-pohon dan daun-daun segar. Beberapa di
antara mereka meringkik dan mendengus, agaknya bau daun-daunan dan tanah yang
sedap menimbulkan gairah dan kegembiraan mereka. Tentu saja jauh bedanya dengan
bau pengap di kota-kota dan dusun-dusun yang penuh manusia.
Akan tetapi,
selagi rombongan yang terdiri dari tiga puluh enam orang termasuk kusir kereta
dan komandan rombongan itu menjalankan kuda dengan hati tenang gembira,
tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan tahu-tahu tiga batang tombak menancap
di tengah jalan di depan Si Pemimpin. Cepat pemimpin rombongan ini menahan
kudanya, mengangkat tangan kiri memberi tanda agar rombongan itu berhenti.
Kemudian beberapa orang pembantunya melarikan kuda dari belakang ke depan dan
lima orang pemimpin rombongan yang berkuda itu berjajar memenuhi jalan sambil
memandang ke arah tiga batang tombak yang masih menggetar di atas tanah itu.
Mereka
menyangka bahwa tentu ada perampok-perampok yang ‘bosan hidup’ berani
menghadang mereka. Akan tetapi ketika dari balik pohon-pohon besar muncul
seorang kakek tinggi besar bersama seorang wanita cantik dan di belakang mereka
terdapat belasan orang yang dipimpin oleh seorang kakek gendut tinggi besar,
rombongan berkuda ini menjadi terkejut sekali. Andai kata benar mereka itu
perampok, tentu bukan perampok-perampok sembarangan. Orang-orang yang datang
bersama kakek tinggi besar itu adalah orang-orang yang berwajah menyeramkan
sekali, seperti setan-setan karena wajah mereka itu samar-samar masih
membayangkan warna-warna bermacam-macam, ada yang kehijauan dan ada yang
kemerahan!
“Haii,
rombongan yang sedang melakukan perjalanan, jangan kalian takut, kami bukan
perampok. Ketahuilah, kami adalah orang-orang Pulau Neraka dan aku adalah
Hek-tiauw Lo-mo. Hayo kalian turunlah dari kuda, berikan kereta itu untukku dan
berikan kepada anak buahku masing-masing seekor kuda dan kami tidak akan
membunuh kalian.”
Rombongan
itu belum pernah mendengar tentang Pulau Neraka atau Hek-tiauw Lo-mo, maka
tentu saja mereka menjadi marah mendengar ucapan yang bernada sombong itu. Apa
lagi harus menyerahkan kereta yang dikawalnya dengan rapi, tentu saja mereka
tidak sudi melaksanakan permintaan ini.
Pemimpin
rombongan lalu berkata, suaranya tegas dan bernada keras, “Hek-tiauw Lo-mo,
kami serombongan pelancong tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, maka harap
kalian jangan mengganggu kami. Kuda dan kereta ini kami butuhkan sekali untuk
melanjutkan perjalanan kami. Akan tetapi penolakan kami bukan berarti bahwa
kami pelit. Nah, sedikit emas dan perak ini kiranya cukup bagi kalian untuk
membeli kuda!”
Setelah
berkata demikian, pemimpin rombongan itu melemparkan sebuah kantung kecil ke
arah Hek-tiauw Lo-mo! Kakek ini menerimanya dan merobeknya, sehingga isinya
yang berupa potongan-potongan emas dan perak berhamburan ke atas tanah.
“Ha-ha-ha,
ada orang berani memberi sedekah kepada Hek-tiauw Lo-mo. Penghinaan ini selama
hidupku belum pernah kuterima. Ji Song, hajar mereka!” Perintahnya kepada
pembantunya yang selama ini tidak pernah ketinggalan memimpin para anak buahnya.
Ji Song, kakek gendut tinggi besar, segera berteriak memberi aba-aba dan
majulah belasan orang anak buah Pulau Neraka itu menyerbu.
Akan tetapi
pemimpin rombongan itu pun memberi aba-aba dan bagaikan prajurit-prajurit yang
terlatih baik, para anak buahnya juga meloncat dari atas kuda dan menyambut
serbuan itu sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi betapa kaget
hati pemimpin itu menyaksikan kehebatan pihak lawan, terutama kakek gendut
tinggi besar. Maka dia sendiri bersama empat orang pembantunya lalu meloncat
turun dan disambut oleh wanita cantik itu sambil tertawa-tawa.
Wanita
cantik itu bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li! Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo yang telah kehilangan Ceng Ceng, menggunakan
siasat adu domba ketika dia diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh
Puteri Milana dan Gak Bun Beng, dan menggunakan kesempatan selagi Topeng Setan
melayani mereka, dia lalu mengajak sumoi-nya itu dan semua anak buahnya untuk
meloloskan diri.
Mauw Siauw
Mo-li penasaran sekali karena kehilangan Kian Bu, pemuda yang amat memuaskan
hatinya itu, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo penasaran karena kehilangan Ceng Ceng.
Mereka terus mencari ke barat dan di hutan itu mereka bertemu dengan rombongan
berkuda itu yang hendak mereka rampas kereta dan kudanya agar perjalanan mereka
lebih lancar dan cepat.
Biar pun
dikeroyok oleh lima orang pimpinan rombongan itu, Mauw Siauw Mo-li masih
melayani seenaknya saja. Untung bahwa lima orang pemimpin rombongan itu adalah
laki-laki yang gagah perkasa dan rata-rata berwajah tampan menarik. Laki-laki
muda tampan dan menarik merupakan kelemahan Mauw Siauw Mo-li sehingga hati
wanita ini tidak tega untuk membunuh mereka. Dia hanya mempermainkan mereka,
menangkis senjata mereka dengan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan
jari-jari tangan kirinya tidak hentinya mencolek sana-sini di tubuh kelima
orang lawannya itu sambil mengeluarkan kata-kata pujian yang membuat lima orang
itu terkejut, terheran, akan tetapi juga menjadi muak.
“Hemm,
Sumoi, apakah pada saat begini sudah kumat lagi penyakitmu gila laki-laki? Hayo
kau bunuh mereka agar lebih cepat urusan ini beres!” teriak Hek-tiauw Lo-mo
yang duduk di bawah pohon menonton pertempuran. Dia sendiri merasa terlalu
tinggi untuk melayani orang-orang yang kepandaiannya tidak berapa tinggi itu
dan dia mendongkol menyaksikan sumoi-nya yang mempermainkan lima orang
lawannya.
“Hi-hi-hik,
baiklah, Suheng. Wah, sayang sekali, aku terpaksa harus merobohkan kalian,
orang-orang ganteng!”
Mauw Siauw
Mo-li tertawa dan pedangnya lalu berubah berkelebatan menjadi gulungan sinar
hijau yang amat cepat. Lima orang lawannya terkejut sekali dan mereka pun
menggerakkan senjata mereka untuk membela diri, akan tetapi biar pun mereka
sama sekali tidak dapat menyerang dan hanya mempertahankan diri, tetap saja
mereka terhimpit dan terdesak hebat oleh sinar hijau itu dan agaknya pertahanan
mereka tidak akan berlangsung lama.
Tiba-tiba
tampak bayangan orang berkelebat terjun ke medan pertempuran ini, didahului
sinar yang seperti halilintar menyitaukan mata.
“Cringgg...
trakkkk!”
Mauw Siauw
Mo-li mengeluarkan pekik kaget ketika pedangnya yang bersinar hijau itu
disambar oleh sinar kilat itu dan ternyata ujung pedangnya yang merupakan
pedang pusaka ampuh itu telah patah! Ketika dia yang telah meloncat mundur
memandang ke depan, kiranya di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan
gagah yang sudah dikenalnya baik karena pemuda ini bukan lain adalah Tek Hoat!
Setelah
pemuda itu menyerahkan Syanti Dewi kepada Perdana Menteri Su, hatinya lega
bukan main karena kekasih hatinya itu telah berada dalam keadaan aman. Barulah
dia teringat akan Ceng Ceng dan Topeng Setan. Dia suka sekali kepada Ceng Ceng
dan agaknya akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada gadis itu andai kata
tidak ada Syanti Dewi di dunia ini.
Maka setelah
meninggalkan istana Perdana Menteri, dia bergegas keluar dari kota raja dan
kembali ke tempat Tambolon di sebelah selatan untuk menolong gadis itu.
Diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau dia akan terlambat. Dan ketika
dia tiba di tempat itu, ternyata bahwa Tambolon dan kawan-kawannya telah pergi
dan demikian pula Ceng Ceng, entah pergi ke mana, entah berhasil lolos ataukah
dibawa pergi oleh Tambolon. Maka ia menjadi gelisah juga dan dia cepat pergi ke
dusun Nam-lim untuk menolong Topeng Setan. Akan tetapi dusun bekas sarang kaum
sesat ini pun telah kosong!
Terpaksa dia
lalu meninggalkan tempat itu dan secepatnya dia menuju ke barat, karena dia
dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan dikawal dan dipulangkan ke Bhutan,
maka sebaiknya kalau dia mengamat-amati dari jauh. Demikianlah, pada pagi hari
itu dia melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li mencegat rombongan
berkuda, dan melihat orang-orang yang sekarang menjadi musuhnya ini,
orang-orang yang telah menangkap Topeng Setan dan Ceng Ceng, dia menjadi marah
dan tanpa mengetahui siapa mereka yang didesak oleh Mauw Siauw Mo-li, dia sudah
mencabut Cui-beng-kiam dan sekali tangkis dia telah mematahkan ujung pedang
sinar hijau di tangan Siluman Kucing itu.
“Eh, kau...
bocah tampan? Kau di sini...? Kenapa kau melawan aku?” Mauw Siauw Mo-li
menegur, setengah marah karena kerusakan pedangnya, tetapi juga girang karena
sejak dahulu dia ada hati terhadap pemuda tampan itu yang dahulu merupakan
tangan kanan dari Pangeran Liong Khi Ong.
Sementara
itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan menghadapi Tek Hoat dengan
alis berkerut. “Bocah lancang! Kenapa engkau mencampuri urusanku? Hayo minggat,
sebelum aku marah dan membunuhmu!”
Kalau saja
Hek-tiauw Lo-mo tidak bersikap kasar dan bicara dengan baik, agaknya Tek Hoat
yang tidak mengenal rombongan itu akan merasa sungkan untuk mencampuri dan akan
pergi. Akan tetapi entah mengapa, semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan
orang-orang seperti Milana dan lain-lain, dia merasa betapa dirinya amat rendah
dan hina, betapa dia adalah seorang pemuda yang tersesat dan jahat, betapa dia
karena semua perbuatannya yang jahat, sama sekali tidak berharga untuk
berdekatan dengan Syanti Dewi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main
akan perbuatan-perbuatannya yang sudah-sudah.
Dia bukan
anak penjahat, mengapa dia telah tersesat sedemikiah jauhnya? Penyesalan
inilah, terutama sekali bayangan wajah Syanti Dewi yang lembut dan penuh welas
asih, yang membuat dia merasa tidak senang dengan orang-orang dari golongan
sesat karena dia menganggap bahwa mereka itulah yang menyeretnya ke lembah
kesesatan. Kini, Hek-tiauw Lo-mo bersikap kasar, maka dia menjadi makin marah
dan mengambil keputusan untuk melawannya dan membela rombongan yang tak
dikenalnya ini.
“Hek-tiauw
Lo-mo, engkau manusia sombong dan jahat! Kau kira aku takut kepadamu?”
bentaknya dan pedang Cui-beng-kiam yang menggiriskan itu melintang di depan
dadanya.
Hek-tiauw
Lo-mo memang benar telah menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi dia bukanlah
asli penghuni Pulau Neraka. Dia adalah pendatang baru yang menggunakan ilmunya
untuk menaklukkan orang-orang Pulau Neraka, karena itu dia tidak mengenal
pedang di tangan Tek Hoat itu. Akan tetapi Kakek Ji Song, kakek gendut gundul
yang memang merupakan tokoh Pulau Neraka asli, begitu melihat pedang di tangan
Tek Hoat, seketika dia menjadi ketakutan, gemetar dan berseru, “Cui-beng-kiam...!”
Lalu dia menjauhkan diri dari situ.
Hal ini
adalah tidak aneh. Cui-beng-kiam ini dahulunya adalah pedang milik Cui-beng
Koai-ong, yaitu tokoh nomor satu dari Pulau Neraka yang merupakan iblis Pulau
Neraka. Orangnya mengerikan seperti mayat hidup, kepandaiannya pun tidak lumrah
manusia. Seperti kita ketahui, pedang pusaka ini berikut kitab-kitab
peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin terjatuh ke tangan seorang
tokoh Pulau Neraka lainnya, yaitu Kong To Tek dan akhirnya terjatuh ke tangan
Tek Hoat.
Hek-tiauw
Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak mengenal pedang ini lalu bergerak
menerjang pemuda itu dari kanan kiri. Hek-tiauw Lo-mo yang dapat menduga akan
kelihaian pemuda yang pernah menjadi tangan kanan pemberontak ini, langsung
mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang golok besar tajam yang
punggungnya berbentuk gergaji! Senjata ini terbuat dari baja pilihan sehingga
mengkilap dan amat tajam, ketika digerakkan menjadi gulungan sinar biru dan
mengeluarkan suara berdesing.
Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali karena kerusakan pedangnya, akan tetapi
karena yang patah hanya ujungnya sedikit, dia masih dapat menyerang dengan
ganas. Dia merasa menyesal sekali bahwa obat peledaknya yaitu senjatanya yang
paling diandalkan, telah habis dan belum mendapat kesempatan untuk membuat
lagi, maka kini dia hanya dapat menyerang dengan pedang buntung dibantu oleh
cakaran tangan kirinya yang juga amat berbahaya.
Ang Tek Hoat
mengamuk. Kadang-kadang dia menyeringai menahan rasa sakit. Luka-lukanya akibat
pertempuran membela Syanti Dewi di dalam hutan melawan Pak-thian Lo-mo,
Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo masih belum sembuh sama sekali. Dan kini dua
orang lihai yang mengeroyoknya itu pun mengeluarkan seluruh daya upaya mereka
untuk membunuhnya.
Sebetulnya
suheng dan sumoi itu sama sekali tidak merasa sakit hati atas kematian Hek-wan
Kui-bo karena di antara mereka bertiga biar pun terhitung suheng dan sumoi, tetapi
tidak mempunyai hubungan akrab, bahkan saling mengiri dan saling mencurigai.
Kematian Hek-wan Kui-bo di tangan pemuda ini tidak mendatangkan perasaan
dendam. Akan tetapi, karena kini Tek Hoat berani menentang mereka, maka mereka
teringat akan hal itu yang sedikitnya merupakan pukulan bagi nama mereka, maka
tanpa berunding lebih dulu, keduanya kini berusaha sekuat tenaga untuk membunuh
Tek Hoat.
Tek Hoat
juga maklum akan kelihaian lawan, maka dia memutar pedangnya yang ampuh itu dan
mengeluarkan semua kepandaiannya. Ilmu yang diwarisinya dari Cui-beng Koai-ong
dan Bu-tek Siauw-jin memang hebat sekali. Dari kitab peninggalan Bu-tek
Siauw-jin dia telah memperoleh ilmu menghimpun tenaga sakti, sedangkan dari
kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dia memperoleh ilmu-ilmu pukulan beracun, ilmu
pedang yang dinamakan Cui-beng Kiam-sut dan obat perampas ingatan. Kini dia
menggerakkan pedangnya berdasarkan sinkang yang sesungguhnya berpusat pada ilmu
mukjijat atau Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi dan dia memainkan Cui-beng Kiam-sut
yang luar biasa gerakannya itu.

Hebat bukan
main pertandingan antara tiga orang ini. Sinar pedang Cui-beng-kiam berubah
menjadi gulungan sinar kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata, dan sinar ini
dikeroyok oleh gulungan sinar hijau dan biru! Ada pun lima orang pemimpin
rombongan itu kini sudah saling gempur melawan kakek gundul Ji Song yang lihai
dan teman-temannya. Akan tetapi karena jumlah para anak buah Pulau Neraka ini
kalah jauh dan karena ternyata anggota rombongan berkuda itu pun rata-rata memiliki
kepandaian yang cukup tinggi, maka pertandingan antara mereka itu berjalan seru
dan akhirnya pihak Pulau Neraka mulai terdesak.
Mauw Siauw
Mo-li yang sudah marah kini tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang gila
laki-laki, apa lagi dia teringat akan suci-nya yang tewas oleh pemuda ini dan
pedangnya yang menjadi buntung. Lebih-lebih lagi karena dia yang mengeroyok
dengan suheng-nya yang dia tahu amat lihai, selama hampir seratus jurus masih
belum juga dapat mengalahkan pemuda ini. Dia gemas dan penasaran sekali.
“Ang Tek
Hoat, kau manusia khianat! Engkau yang sudah banyak makan uang dari
pemberontak, pada saat terakhir malah berkhianat. Manusia tak tahu malu!
Sekarang engkau agaknya hendak bermuka-muka dan menjilat-jilat pantat Kaisar
agaknya! Hi-hik, manusia rendah, pemuda yang hina!”
Bukan main
marahnya hati Tek Hoat mendengar ini. Diingatkan akan penyelewengan dan
kejahatannya adalah hal yang amat dibencinya karena hal itu mengingatkan dia
lagi akan ketidak pantasannya untuk berdekatan dengan Syanti Dewi! Tiba-tiba
dia merubah ilmu pedangnya. Biar pun Cui-beng Kiam-sut adalah ilmu pedang iblis
yang amat hebat, akan tetapi pertahanan kedua orang itu amat ketat dan mereka
mulai dapat mengikuti gerakan dari ilmu pedang ini.
Maka secara
tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya dan mainkan Pat-mo Kiam-sut yang pernah
dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo, bekas tokoh Thian-liong-pang. Pat-mo Kiam-sut
(Ilmu Pedang Delapan Iblis) juga merupakan ilmu pedang golongan sesat yang amat
hebat sekali, dahulu menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari
ketuanya, yaitu Puteri Nirahai yang kini menjadi nyonya Pendekar Super Sakti.
Dan perubahan mendadak ini membuat kedua orang lawan itu terkejut, terutama
sekali Lauw Hong Kui yang memang didesak hebat oleh Tek Hoat yang marah
mendengar ejekannya tadi.
Sinar kilat
menyambar ke arah ulu hati Lauw Hong Kui. Wanita hamba nafsu birahi ini
memekik, cepat dia miringkan tubuhnya dan menangkis.
“Cringgg...
trekk... aughhh...!”
Tangkisan
itu memang tepat, tapi saking kuatnya Tek Hoat menggerakkan pedangnya, kembali
pedang sinar hijau dari wanita itu terbabat putus dan Cui-beng-kiam masih
sempat melukai pangkal lengan kanan wanita itu sehingga kulit dan dagingnya
terobek lebar dan darah bercucuran, pedang buntungnya yang tinggal pendek saja
itu terlepas!
Akan tetapi
pada saat itu, sinar hitam menyambar dari atas ke arah kepala Tek Hoat. Pemuda
ini terkejut dan cepat menangkis dengan Cui-beng-kiam.
“Plakkkk...!”
Makin
kagetlah hati Tek Hoat karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah sehelai
jala tipis yang tadi dikepal di tangan kiri Ketua Pulau Neraka dan jala ini
terbuat dari bahan yang amat kuat, tidak dapat diputus oleh pedang pusaka.
Pedang itu telah tertangkap oleh jala! Dan golok berpunggung gergaji itu
menyambar ganas ke arah lehernya!
Sementara
itu, Mauw Siauw Mo-li yang juga marah sekali karena lengannya terluka parah dan
pedangnya rusak, menerjang ke depan dengan hantaman tangan kirinya dengan
pengerahan sinkang dan dia telah mempergunakan pukulan beracun ke arah kepala
Tek Hoat.
Pemuda ini
maklum akan datangnya bahaya besar. Pedangnya tidak dapat digerakkan lagi sebab
telah tertangkap dan terbelit jala tipis, dan andai kata ia hanya mementingkan
pedangnya, tentu dia akan terkena sambaran golok dan hantaman wanita itu. Dia
teringat akan Tenaga Sakti Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan
Bu-tek Siauw-jin.
Tiba-tiba
dia melepaskan pedangnya, melempar diri ke bawah dan menelungkup, kemudian
dengan pengerahan sinkang sakti Inti Bumi, kedua kakinya menghantam ke atas
seperti seekor jangkrik menendang. Tendangannya yang tak tersangka-sangka dan
mengandung tenaga dahsyat itu memapaki golok.
“Dessss...
crakkk...!”
Hek-tiauw
Lo-mo berteriak keras karena goloknya itu membalik sedemikian hebatnya sehingga
dia tidak mampu mempertahankan lagi dan goloknya telah menghantam pundaknya
sendiri sehingga tulang pundaknya retak dan bahunya terluka! Dengan kemarahan
meluap, dia menguyun kakinya.
“Bukkk!
Plakkk!”
Tek Hoat
terkena tendangan pada perutnya dan terkena hantaman tangan kiri Mauw Siauw
Mo-li pada punggungnya. Tubuhnya terlempar dan terbanting lalu bergulingan.
Akan tetapi dia dapat meloncat bangun kembali, matanya terbelalak marah dan
tangan kirinya mengusap mulutnya yang berdarah.
Hek-tiauw
Lo-mo menyumpah-nyumpah. Dia telah terluka, juga Mauw Siauw Mo-li telah
terluka. Celakanya, anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang sudah terluka.
Maka dia lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi bersama sumoi-nya. Anak
buahnya maklum bahwa pimpinan mereka juga terdesak, maka mereka lalu melarikan
diri meninggalkan medan pertempuran sambil memapah teman-teman yang terluka.
Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak, tidak dapat mengejar karena dia
maklum bahwa dirinya sendiri pun terluka parah.
Setelah
melihat bahwa musuh-musuhnya lari pergi membawa pedang Cui-beng-kiam yang
terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, dia mengeluh, memejamkan matanya dan terguling
pingsan di dekat kereta rombongan itu.
Tek Hoat,
yang memang luka-lukanya akibat pertandingan melawan para pengawal lihai dari
Pangeran Liong Khi Ong itu belum sembuh benar, kini mengalami pukulan dan
tendangan yang hebat, tentu saja menjadi makin parah luka-luka di sebelah dalam
tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa selama sehari semalam dia tidak sadar. Ketika
dia akhirnya siuman kembali, dia merasa dirinya terguncang-guncang perlahan dan
telinganya mendengar suara bergemuruh.
Dia membuka
matanya. Kiranya tubuhnya memang sedang terguncang-guncang di dalam bilik
kereta yang berjalan perlahan, dan suara gemuruh itu adalah suara roda-roda
kereta melindas jalan yang tidak rata. Cuping hidungnya kembang-kempis karena
dia mencium bau harum semerbak dan matanya mencari-cari. Kiranya di dalam bilik
kecil kereta itu terdapat peralatan rias dari wanita di atas sebuah meja kecil.
Sisir, cermin, bedak dan lain-lain. Dia bergerak hendak bangkit duduk dan
mengeluh. Kiranya tubuhnya sakit-sakit semua, terutama di dada dan punggungnya.
Dia melihat betapa luka-luka luar di lengan dan dahinya telah dibalut orang dan
diobati.
Tek Hoat
menjadi terheran-heran dan menduga-duga. Tak salah lagi, tentu dia ditolong
oleh rombongan itu, karena dia juga melihat ada sebuah kereta besar dari
rombongan yang diserbu oleh Hek-tiauw Lo-mo itu. Akan tetapi siapakah
orang-orang ini dan kereta siapa ini yang penuh dengan peralatan rias seorang
wanita?
Tiba-tiba
kereta itu berhenti dan Tek Hoat menyingkap tirai di jendela kereta. Kiranya
mereka berhenti di dalam hutan dan waktu itu adalah tengah hari. Dia mengira
bahwa belum lama dia berada di situ, karena pertempuran itu terjadi di pagi hari.
Baru setengah hari.
Seorang yang
berjenggot dan berkumis pendek, yang dikenalnya sebagai seorang di antara para
pemimpin yang mengeroyok Mauw Siauw Mo-li, datang menjenguk dan diikuti seorang
anggota rombongan yang membawa makanan untuk Tek Hoat.
“Aih,
syukurlah bahwa engkau telah siuman kembali, orang muda yang perkasa! Hati kami
sudah gelisah melihat kau pingsan selama sehari semalam.”
“Sehari
semalam?” Ang Tek Hoat berseru kaget. “Bukankah baru pagi tadi aku jatuh
pingsan?”
“Bukan pagi
tadi, melainkan kemarin pagi,” orang itu berkata sambil tersenyum dan memandang
kagum. “Sungguh hebat engkau, dapat menandingi orang-orang iblis itu! Terpaksa
kami membawamu ke dalam kereta karena engkau pingsan dan tentu saja kami tidak
tega meninggalkan engkau di dalam hutan itu.”
“Ahhh,
terima kasih...!” Tek Hoat mencoba untuk bangkit duduk lagi, akan tetapi dia
menyeringai kesakitan.
“Tak usah
duduk. Mengasolah dulu, orang muda...”
“Akan
tetapi... akan tetapi, siapakah kalian ini...?”
“Kami adalah
pelancong-pelancong, rombongan pelancong.”
“Dan ke mana
kalian hendak pergi?”
“Engkau
sendiri hendak ke mana, orang muda? Kalau tidak satu tujuan dengan kami,
biarlah kami mencarikan tempat di sebuah kota atau dusun untuk kau tinggal dan
beristirahat. Jangan khawatir, kami akan meninggalkan biaya secukupnya sampai
kau sembuh.”
“Terima
kasih, kau baik sekali, Paman. Aku... aku akan ke barat...”
“Ahhh! Kalau
begitu kita setujuan. Kami pun serombongan sedang menuju ke barat. Kalau
begitu, biarlah engkau mengaso dahulu di kereta itu dan kami akan berusaha
mengobatimu.”
Tek Hoat
merasa girang sekali dan amat berterima kasih. Karena dia belum kuat bangkit
duduk, maka dia mengangkat kedua tangan ke dada sambil rebah telentang, lalu
berkata, “Engkau sungguh baik sekali, Paman, dan... banyak terima kasih atas
pertolonganmu ini.”
Orang itu
tersenyum dan mengangguk-angguk. “Orang muda perkasa yang rendah hati! Jangan
bicara tentang terima kasih dan pertolongan, karena kalau bukan engkau yang
datang menolong, agaknya saat ini kami telah menjadi mayat-mayat yang
diperebutkan binatang-binatang hutan! Mengasolah dan biar anak buahku ini
melayanimu.” Pemimpin rombongan itu lalu pergi dan kiranya mereka semua
berhenti di hutan itu untuk makan siang.
Orang yang
membawa bubur dan asinan itu lalu hendak menyuapkan makanan, akan tetapi Tek
Hoat mengucapkan terima kasih dan makan sendiri sambil rebah miring. Dia merasa
berhutang budi kepada mereka ini dan diam-diam dia harus mengakui bahwa di
dunia kaum sesat kiranya tidak berlaku hukum tolong-menolong seperti ini. Baru
terbuka matanya bahwa manusia harus saling tolong-menolong, bantu-membantu,
bukan saling bermusuhan seperti di dunia kaum sesat. Betapa tenteramnya dunia
ini kalau kehidupan manusia tidak dikotori oleh permusuhan dan kebencian!
Seorang di
antara anggota rombongan, seorang kakek, ternyata pandai dengan ilmu pengobatan
dan setiap hari Tek Hoat diperiksa dan diberi obat minum yang pahit namun
manjur juga karena dia merasa makin tenang dan makin ringan luka-lukanya di
dalam tubuh. Tentu saja setelah dapat duduk dia pun bersila dan mengumpulkan
hawa murni untuk mengobati luka-lukanya sendiri.
Setiap hari,
bahkan setiap saat Tek Hoat tidak pernah dapat melupakan Syanti Dewi. Makin
dikenang, makin sakitlah hatinya, karena dia makin melihat kenyataan bahwa dia
sama sekali tidak berharga berdekatan dengan puteri itu. Jangankan menjadi...
kekasih seperti yang selalu mengganggu hatinya, bahkan menjadi sahabat pun
tidak pantas, menjadi pelayannya pun tidak patut. Pendeknya dia hanya akan
mengotorkan puteri itu kalau berdekatan, karena hawa di sekitar dirinya adalah
kotor, hina dan jahat! Teringat akan itu semua, dia mengeluh panjang pendek di
dalam bilik itu.
“Keparat
kau, Tek Hoat...!” Dia memaki diri sendiri sambil menjambak rambut di bilik
itu, tidak peduli bahwa suara hatinya itu keluar dari mulutnya dengan suara
lirih. “Engkau manusia sesat, manusia jahat, sejahat-jahatnya orang! Bagaimana
orang macam engkau tergila-gila kepada seorang bidadari seperti Puteri Syanti
Dewi? Kau sudah gila! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung
hong!”
Kadang-kadang
dia memaki-maki dirinya sendiri dan menyesali semua perbuatannya. Kadang-kadang
dia membayangkan kecantikan Syanti Dewi, kelembutannya serta keramahannya,
kemuliaan budinya, bahkan terdorong oleh suara hatinya, kadang dia bersenandung
memuji-muji puteri yang telah menguasai seluruh cinta kasih hatinya itu. Hampir
setiap malam dia bermimpi, bertemu dengan puteri itu dan dalam mimpinya tentu
dia menyebut-nyebut namanya. Apa lagi ketika luka-lukanya membuat tubuhnya
terserang demam, dalam keadaan tak sadar dia mengigau tentang Syanti Dewi.
Berkat
usahanya sendiri siulian dan menghimpun tenaga murni, ditambah pengobatan
rombongan itu, seminggu kemudian kesehatan Tek Hoat sudah berangsur baik. Biar
pun dia belum sembuh sama sekali, dan masih lemah, akan tetapi dia sudah dapat
meninggalkan kereta dan di waktu kereta berhenti di dusun-dusun, dia dapat ikut
pula turun dan bersama dengan rombongan itu makan di warung-warung.
Hari itu
mereka agak lama berhenti di dusun yang agak besar, karena rombongan itu
membeli banyak ransum. Setelah melewati dusun itu, perjalanan akan melalui
daerah pegunungan yang sunyi dan jarang terdapat dusun yang menjual bahan
makanan, maka rombongan itu memperbanyak bekal mereka untuk keperluan di
perjalanan. Tek Hoat juga membantu mereka. Karena tenaganya belum pulih kembali,
dia ditugaskan untuk menghitung dan menimbang bahan-bahan makanan yang dibeli.
Ketika
akhirnya semua beres, dan dia hendak kembali ke kereta karena dia belum kuat
naik kuda, Tek Hoat menjadi bingung. Baru sekarang dia melihat bahwa kereta
yang panjang itu ternyata terdiri dari dua bilik. Dia hampir saja membuka pintu
bilik yang berada di depan, akan tetapi pemimpin rombongan itu memegang
lengannya dan berkata, “Engkau keliru, Taihiap.” Dia kini disebut Taihiap
setelah dia memperkenalkan diri, Ang-taihiap sebutannya. “Bilikmu adalah yang
di belakang ini.”
“Ah, maaf.
Akan tetapi siapakah yang berada di bilik depan?” tanyanya.
“Tidak ada
siapa-siapa, akan tetapi Taihiap jangan membukanya. Sekali-kali harap jangan
membukanya dan kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap.”
Tek Hoat
mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya dia curiga sekali. Beberapa kali ingin
dia membuka pintu bilik itu kalau tidak ada orang melihatnya, akan tetapi
kata-kata pimpinan rombongan itu mengingatkannya. “...kami tentu saja percaya
penuh kepada Ang-taihiap.”
Hemm, apakah
dia yang sudah menyeleweng dan tersesat itu kini juga menjadi orang yang tidak
bisa dipercaya? Betapa pun curiganya, betapa pun inginnya untuk membuka pintu
bilik depan itu, dia mengeraskan hati dan tidak mau membukanya! Mulai sekarang,
dia harus menjadi seorang yang menjauhi segala keburukan! Dia harus memulai
hidup baru dan menanggalkan semua kebiasaan lama yang busuk dan sesat!
Menjelang
tengah hari, kereta mulai memasuki daerah hutan yang sunyi. Akan tetapi, ketika
memasuki sebuah hutan, baru saja tiba di pinggir hutan itu, tiba-tiba rombongan
ini berhenti dan kereta juga berhenti. Ang Tek Hoat terkejut. Kalau sekali ini
terjadi pencegatan oleh orang-orang sakti seperti yang terjadi seminggu yang
lalu, sedangkan kesehatan dan tenaganya belum pulih sama sekali, tentu mereka
semua akan celaka dan dia sama sekali tidak dapat melindungi mereka. Padahal
mereka sudah begitu baik kepadanya!
Tetapi tidak
terdengar kegaduhan, maka Tek Hoat lalu menyingkap tirai bilik keretanya dan
memandang ke depan, menjenguk ke luar. Di depan, tampak seorang dara remaja
berdiri menghadang rombongan itu. Ang Tek Hoat memandang kagum. Seorang dara
remaja yang amat cantik jelita, sangat cantik dan lincah, sikapnya ramah
kekanak-kanakan namun memikat hati, tubuhnya tiada hentinya bergerak, sepasang
matanya seperti sepasang bintang senja yang berkedip-kedip dan bersinar terang,
jernih dan tajam, bibirnya yang merah itu bersungut-sungut namun bertambah
manisnya.
Dengan sikap
yang lucu dan jenaka, akan tetapi juga sedikit ugal-ugalan dara itu menggunakan
telunjuk tangan kanannya menyodok perut kepala rombongan yang agaknya sudah
mengenalnya itu. “Wah, Paman mencari penyakit, ya? Kenapa melalui jalan sini?
Di balik hutan ini terdapat rombongan orang jahat yang amat jahat, bukan
penjahat biasa melainkan gerombolan yang berilmu tinggi. Kalau rombongan Paman
ini diketahuinya, tentu celaka! Suhu sendiri merasa ngeri berhadapan dengan
gerombolan itu dan Suhu yang menyuruh aku menghadang Paman di sini untuk
memberi peringatan agar Paman menggunakan jalan lain!”
Kepala
rombongan itu tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak dara remaja yang
jenaka itu sungguh pun sekali ini dia membawa berita yang mengejutkan.
“Aih, Nona
Teng, kita bertemu lagi di tempat yang tak tersangka-sangka ini! Di mana
Locianpwe yang menjadi gurumu itu? Dan gerombolan apakah yang kau ceritakan
itu?”
“Gerombolan
apa lagi yang berbahaya kalau bukan gerombolan yang dipimpin Raja Tambolon?
Musuh besarmu, bukan? Menurut Suhu, Tambolon selalu menjadi musuh besar
orang-orang Bhutan!”
Kepala
rombongan itu kelihatan kaget bukan main, juga semua anggota rombongan itu
mengeluarkan seruan kaget.
“Celaka...!”
Kepala rombongan itu berseru.
Akan tetapi
Tek Hoat yang mendengarkan percakapan itu pun terkejut bukan main. Kiranya
rombongan ini adalah orang-orang Bhutan! Dia meloncat turun dan pergi ke depan
mendekati gadis ini yang memandang kepada Tek Hoat dengan pandang mata penuh
selidik.
“Taihiap,
sekali ini kita dihadang gerombolan yang lebih berbahaya lagi,” pemimpin
rombongan itu berkata ketika melihat Tek Hoat mendekati mereka.
“Paman
Jayin, siapa dia yang kau sebut taihiap ini? Aku baru sekali ini melihatnya.
Apa dia orang baru?” Dara remaja itu berkata dan dengan sinar mata penuh
selidik, seperti seorang pedagang kuda yang hendak membeli seekor kuda dan
menaksirnya, dia berjalan dengan gerak penuh kelembutan dan lagak yang memikat,
mengelilingi Tek Hoat perlahan-perlahan sambil memandang dengan mata
dipicingkan!
Melihat
sikap ini, Tek Hoat menjadi geli di dalam hatinya. Benar-benar seorang bocah
perempuan yang bersemangat, lincah jenaka dan ugal-ugalan. Rambut yang dikepang
dua itu melambai-lambai lucu ketika kepala yang manis itu digerak-gerakkan dan
lengannya lemah gemulai sehingga pinggul yang tertutup baju panjang itu
bergerak-gerak membayang dengan lemasnya.
Rombongan
itu kini berkerumun dan Tek Hoat lalu bertanya kepada dara remaja yang bukan
lain adalah Teng Siang In itu. Seperti kita ketahui, Siang In telah diambil
murid oleh See-thian Hoat-su, kakek yang sakti bekas suami nenek iblis
Durganini. Mereka berdua telah saling berjumpa dan rujuk kembali. Akan tetapi
dasar watak Durganini sudah pikun dan sudah berubah. Mereka berdua tadinya
mengajak Siang In untuk kembali ke barat, ke Himalaya. Akan tetapi di tengah
perjalanan, nenek itu banyak rewel dan kadang-kadang timbul niat buruknya untuk
mengganggu penduduk dusun yang mereka lalui di tengah perjalanan. See-thian
Hoat-su menentangnya dan kembali mereka cekcok dan bertentangan. Akhirnya,
nenek yang ilmu silatnya masih kalah tinggi dibandingkan bekas suaminya ini
ngambek dan pergi meninggalkan guru dan murid itu.
Setelah
ditinggalkan oleh Nenek Durganini, See-thian Hoat-su menjadi kecewa dan
membatalkan niatnya untuk kembali ke Himalaya. Dia mengajak muridnya kembali ke
timur, karena dia tidak akan merasa tenang selama nenek yang pernah menjadi
isterinya itu masih berkelana di timur. Dialah yang harus mencegah kalau bekas
isterinya itu menggunakan ilmu mendatangkan kerusakan dan mala petaka kepada
penduduk yang tidak berdosa.
“Adik kecil,
apakah ceritamu itu benar? Benarkah Tambolon dan kawan-kawannya sudah berada di
sini?” Tek Hoat bertanya kepada Siang In.
Kontan dara
ini cemberut dan bertolak pinggang. “Ehhh, kau manusia sombong, ya? Dumeh
(mentang-mentang) sudah disebut orang taihiap (pendekar besar) kau lalu merasa
tua sekali, ya?”
Tentu saja
Tek Hoat yang belum pernah bertemu dengan seorang dara seperti ini menjadi
melongo. “Ehh, ehh, kok marah? Apa salahku?”
Perwira
Jayin dari Bhutan dan empat orang pembantunya yang sudah mengenal Siang In,
bahkan sudah pernah sama-sama menjadi tawanan raja liar Tambolon, menahan
senyumnya.
Siang In
memandang ke kanan kiri, kepada rombongan itu dan dengan hidung diangkat ke
atas dia menuding kepada Tek Hoat. “Coba...! Dia masih pura-pura bertanya apa
kesalahannya? Kau menyebut aku adik kecil, apakah itu bukan menghina namanya?
Sudah sebegini, masih disebut anak kecil? Kalau aku anak kecil, apakah engkau
sudah kakek-kakek?”
Semua
rombongan itu tertawa dan muka Tek Hoat menjadi merah. Akan tetapi pemuda ini
tersenyum. Pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang yang jenaka dan lincah
gembira pula. Kalau dia berubah menjadi pendiam adalah karena banyak hal yang
menekan hatinya. Kini dia memandang dengan mata berseri. Dara remaja ini
benar-benar jenaka dan kemarahannya itu dia tahu adalah dibuat-buat.
“Kalau
begitu, biarlah aku menyebutmu nyonya tua yang galak!” Tek Hoat menggoda.
Dara itu
membelalakkan matanya, kelihatan menjadi makin cantik. Dia lalu menarik muka
seperti nenek-nenek, tubuhnya agak membungkuk, suaranya lalu gemetar seperti
seorang wanita tua yang sudah tua sekali, dan dia menjura ke arah Tek Hoat
dengan lagak seorang nenek.
“Baiklah,
kakek tua renta yang sudah pikun. Mengapa sudah setua ini kau masih belum juga
mati-mati? Apakah tidak merasa bosan?”
Kembali
rombongan itu tertawa karena suara dan sikap dara itu persis nenek-nenek tua.
Tek Hoat juga tertawa dan dia lalu berkata, “Sudahlah, Nona. Maafkan aku. Aku
hanya ingin bertanya apakah benar Tambolon sudah tiba di sini karena belum lama
ini aku masih bertemu dengan mereka di timur.”
“Itu Suhu
datang. Kalau kau tidak percaya, sudah jangan tanya aku, kau tanya saja kepada
Suhu!”
Tek Hoat
menoleh dan benar saja dari jauh datang seorang kakek tua renta yang larinya
cepat sekali. Perwira Jayin dan para pembantunya cepat memberi hormat.
“Locianpwe,
terima kasih atas peringatan Locianpwe tentang gerombolan itu. Sekarang
bagaimana baiknya? Belum lama, baru seminggu ini kami juga telah dihadang oleh
gerombolan Hek-tiauw Lo-mo dan kalau tidak ada Ang-taihiap ini tentu kami sudah
celaka semua.”
Kakek itu
bukan lain adalah See-thian Hoat-su. Dia terkejut mendengar bahwa rombongan ini
seminggu yang lalu dicegat oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia memandang kepada Tek
Hoat dengan kagum. Seorang yang dapat menolong rombongan ini dari gangguan
Hek-tiauw Lo-mo, biar pun masih begitu muda, tentu memiliki kepandaian yang
tinggi sekali, pikirnya. Akan tetapi sekali pandang saja, dia tahu bahwa Tek
Hoat pernah mengalami luka-luka dalam yang amat hebat, maka dia terkejut
sekali.
“Ahh, engkau
telah terpukul hebat sekali, orang muda!”
Tek Hoat
menjadi kagum dan dia menjura. “Sudah berangsur baik, Locianpwe, berkat rawatan
dan pengobatan rombongan ini.”
“Rombongan
ini harus mengambil jalan lain. Cepat! Jangan melalui hutan ini. Mudah-mudahan
saja belum terlambat dan tidak akan bertemu dengan mereka. Dan engkau harus
diobati secepatnya, orang muda, agar tenagamu pulih dan kau dapat membantu kalau
toh mereka masih dapat mengejar.”
Mendengar
kata-kata kakek ini, pewira pengawal Bhutan itu tidak ragu-ragu lagi dan cepat
memerintahkan rombongannya mengambil jalan berbelok ke selatan, mengambil jalan
memutari bukit di depan dan menyimpang dari jalan besar. Ada pun Kakek
See-thian Hoat-su lalu mengajak Tek Hoat ke dalam bilik keretanya itu dan
setelah dia menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, dia
memanggil muridnya.
“Berikan dia
obatmu penyembuh luka dalam yang manjur sekali itu!” kata kakek ini yang segera
meninggalkan mereka untuk ikut menjaga di bagian depan barisan itu.
“Hemm,
enaknya! Sudah menghina masih minta obat. Panggil dulu aku sebagaimana
mestinya, nanti kuberi obat yang paling manjur,” Siang In berkata dengan sikap
jual mahal.
Kalau saja
Tek Hoat sudah tidak melihat kesesatannya dan mengambil keputusan untuk merubah
watak dan sikapnya, tentu dia akan menjadi marah dan akan menghina gadis ini.
Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk dalam. “Nona yang baik, aku minta maaf
dan kau berikanlah obat itu.”
Siang In
tersenyum. “Nah, begitu dong! Sekarang engkau menjadi sahabatku, tidak usah
minta pun tentu akan kuberikan obat itu.” Dia lalu mengeluarkan sebungkus obat
yang berwarna merah dan berbentuk bulat kecil. Dia menyerahkan dua butir kepada
Tek Hoat sambil berkata, “Telan semua dan kau tidur, nanti setelah bangun baru
terasa khasiatnya.” Kemudian dia tersenyum manis dan meloncat turun dari dalam
kereta.
Tek Hoat
memandang dua butir obat di telapak tangannya itu sambil berkata seorang diri,
“Betapa baiknya semua orang. Betapa manisnya dara itu, akan tetapi mana bisa
dia menandingi Syanti Dewi...?” Lalu ditelannya dua butir obat itu dan dia pun
merebahkan dirinya.
Begitu obat
memasuki perutnya, terasa hawa panas memenuhi perut dan dadanya, kemudian
seluruh tubuh sehingga dia mengeluarkan keringat. Nyata manjur sekali obat itu
dan Tek Hoat menjadi makin kagum. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu,
Teng Siang In, adalah puteri mendiang ahli obat Yok-sian (Dewa Obat) yang amat
terkenal di dunia kang-ouw, dewa atau ahli pengobatan yang tinggal di Lembah
Pek-thouw-san.
Menjelang
senja, rombongan ini sudah mengelilingi bukit dan memasuki hutan kecil.
Tiba-tiba tanpa ada sebabnya, tahu-tahu hutan di sekeliling mereka sudah
terbakar! Rombongan ini tentu saja berhenti dan terkejut sekali. Akan tetapi
See-thian Hoat-su yang berada di depan rombongan itu berteriak, “Jangan panik!
Ini hanya ilmu siluman!”
Dia lalu
meloncat ke atas sebuah batu besar, bersedakap dan berteriak, “Durganini, kau
terlalu! Terpaksa aku melawanmu!”
Kakek itu
bersedakap terus dan tak lama kemudian, rombongan orang Bhutan itu melihat
hujan turun secara tiba-tiba dan api yang berkobar itu padam. Akan tetapi
anehnya, mereka semua tidak tertimpa hujan! Kiranya baik kebakaran mau pun
hujan itu hanyalah bayangan yang ditimbulkan oleh kekuatan sihir yang mukjijat
saja!
Tak lama
kemudian dari balik pohon-pohon bermunculan banyak orang dan di depan sendiri
tampak Tambolon, Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Maut Yu Ci Pok, dan si
nenek hitam Durganini yang menghadang rombongan!
“Orang gila,
kau berani melawan aku?” Durganini memaki bekas suaminya dan dengan ganas dia
melontarkan tongkatnya ke udara.
Tongkat itu
berubah menjadi seekor naga yang turun menyambar ke arah See-thian Hoat-su yang
masih juga berdiri di atas batu. See-thian Hoat-su cepat meloncat turun,
menyambar segenggam tanah dan melontarkannya ke arah naga yang menyerangnya
dengan dahsyat itu.
“Darrrrr...!”
Tampak kilat
menyambar dan naga itu berubah menjadi tongkat butut kembali, lalu melayang ke
tangan Durganini, etapi See-thian Hoat-su terhuyung karena memang dia kalah
kuat dalam ilmu sihir.
“Kau
perempuan iblis!” Kakek itu memaki dan tubuhnya sudah menyambar ke arah bekas
isterinya untuk merampas tongkat.
Durganini
membalas dengan hantaman tongkatnya, tetapi See-thian Hoat-su menangkis dengan
lengan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun Si Nenek
Ganas. Durganini mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya keserempet jari
tangan See-thian Hoat-su sehingga ia memekik kesakitan, terhuyung dan
menudingkan tongkatnya. “Kau... kau berani memukulku?” Teriakan ini disertai
suara tangis, persis seperti lagak seorang isteri yang marah kepada suaminya!
Tambolon
juga sudah mencabut pedangnya dan membantu gurunya menerjang See-thian Hoat-su.
Sedangkan Liauw Kui dan Yu Ci Pok telah memimpin anak buah mereka menyerbu
Perwira Jayin dan pasukannya. Terjadilah pertempuran yang hebat.
“Heeeiii,
bangun! Bangun kau...! Wah, celaka, malasnya orang ini!”
Diguncang-guncang
pundaknya itu, Tek Hoat terbangun dengan kaget dan dia meloncat turun dari
kereta. Kiranya yang menggugahnya adalah Siang In. “Lekas bantu, lihat Suhu
terdesak hebat oleh nenek siluman itu dan Tambolon!”
Tek Hoat
meraba pinggangnya dan baru teringat dia ketika tangannya meraba tempat kosong,
bahwa pedang yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam, telah terampas oleh
Hek-tiauw Lo-mo.
“Kenapa kau
sendiri tidak membantu gurumu?” tanyanya.
“Uhhh, mana
aku berani? Kau bantu guruku, mereka itu lihai sekali, dan aku akan membantu
Paman Jayin!” kata Siang In yang memang belum begitu tinggi ilmu silatnya
sehingga dia merasa ngeri kalau harus membantu suhu-nya menghadapi orang-orang
seperti Tambolon dan gurunya itu.
Tek Hoat
menggerak-gerakkan kedua lengannya. Memang jauh lebih enak dari pada kemarin.
Dia menarik napas panjang, juga dadanya tidak terasa nyeri lagi. Dikerahkan
sinkang-nya dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaannya jauh
lebih baik dari pada yang sudah-sudah. Maka dia kemudian meloncat dan terjun ke
dalam pertempuran, menyerang Tambolon dengan pukulan dahsyat yang dilakukan
dengan pengerahan sinkang-nya.
Tambolon
terkejut, maklum bahwa lawannya ini lihai sekali. Dia mengelak dan berkata,
“Eh, orang muda. Lupakah kau akan hubungan baik kita baru-baru ini? Kau
bantulah kami dan engkau akan mendapat bagian, kau takkan kecewa!”
“Manusia
keparat, siapa sudi mendengar bujukanmu?” Tek Hoat membentak dan sudah
menerjang lagi, mengirim pukulan mautnya. Tambolon menyambut dengan tangan
kirinya dan membarengi dengan bacokan pedangnya.
“Dessss...!”
Tambolon
terjengkang ke belakang dan pundak kirinya Tek Hoat terkena ujung pedang, akan
tetapi hanya luka kecil saja dan dia terus mendesak Tambolon yang ternyata
kalah tenaga. Tetapi Tek Hoat mengerutkan alisnya. Memang dia telah mampu
mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi begitu bertemu dengan lawan yang kuat,
dalam pertemuan tenaga dahsyat tadi, biar pun dia berhasil membuat Tambolon
terjengkang, akan tetapi dadanya terasa agak nyeri.
Sementara
itu Tambolon sudah menubruk maju dengan serangan pedangnya yang membabi buta.
Tek Hoat mengelak dengan cepat, akan tetapi kembali dia diam-diam mengeluh oleh
karena pengerahan ginkang-nya juga membuat dadanya sakit. Hal ini menandakan
bahwa luka di dadanya belum sembuh benar.
“Sut-sutt-sing...
desss!”
Biar pun Tek
Hoat dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang yang bertubi-tubi itu, namun
sebuah tendangan mengenai lambungnya dan dia terlempar, jatuh terguling-guling.
Dan sialnya, dia terlempar ke dekat Nenek Durganini yang sedang bertanding
melawan bekas suaminya.
“Hiyyaaahhh!”
Nenek itu mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke arah leher
Tek Hoat.
Pemuda yang
masih bergulingan ini terkejut sekali. Ternyata kini sepuluh jari tangan nenek
itu telah mengeluarkan kuku yang panjang runcing dan ketika dia mengelak, kuku
jari tangan itu lewat dekat mukanya dan dia mencium bau yang amis, tanda bahwa
kuku-kuku itu mengandung racun yang hebat! Dia berusaha meloncat berdiri, akan
tetapi kaki kanan nenek yang memakai gelang itu menyambar.
“Dessss...!”
Kembali dia roboh.
See-thian
Hoat-su hendak menolongnya, akan tetapi Tambolon sudah menerjang kakek itu
dengan putaran pedangnya secara dahsyat sehingga terpaksa kakek itu mengelak ke
sana-sini. Tek Hoat terus didesak oleh Nenek Durganini, dan begitu dia bangkit,
dua cakar beracun itu menyambarnya. Tek Hoat mengelak ke sana-sini, akan tetapi
tetap saja leher dan pundaknya kena dicakar. Panas dan perih rasanya! Tek Hoat
terkejut, cepat-cepat dia melempar tubuh ke atas tanah dan ketika nenek itu
menendang, dia membiarkan dirinya ditendang.
“Desss...!”
Tubuh pemuda itu bergulingan menabrak benda keras.
“Bresss!”
Ketika
dilihatnya, ternyata tubuhnya tertumbuk kepada roda kereta! Nenek itu
terkekeh-kekeh dan sudah berlari menghampirinya dengan kedua tangan
bergerak-gerak secara menyeramkan.
Tek Hoat
bangkit dengan kepala pening, siap untuk melawan mati-matian. Akan tetapi
tiba-tiba pintu bilik depan kereta itu terbuka dan sebuah tangan yang halus
namun kuat mencengkeram punggung bajunya dan menarik tubuh pemuda itu ke dalam
bilik kereta yang segera ditutupkan. Nenek itu marah-marah dan hendak
mencengkeram kereta, akan tetapi pemilik tangan halus itu menusukkan pedang
menembus pintu kereta.
“Crattt!
Aihhhh... aduhhhh...!”
Tangan Nenek
itu tertusuk pedang dan terasa sakit bukan main. Karena tidak
disangka-sangkanya, maka ujung pedang itu dapat melukai tangannya dan nenek
yang pikun ini segera membalikkan tubuhnya, menangis lalu mengamuk kepada bekas
suaminya, agaknya dia sudah lupa sama sekali akan Tek Hoat yang tidak kelihatan
lagi itu.
Tek Hoat
membuka matanya memandang dan... dia terbelalak. Matanya melebar dan mulutnya
ternganga, karena ternyata yang menolongnya itu bukan lain adalah... Syanti
Dewi!
“Ya Tuhan...
sudah... sudah matikah aku...? Ataukah... ini hanya... mimpi...?” Tek Hoat
menggosok-gosok matanya.
Syanti Dewi
yang duduk di atas bangku kereta itu memandang dengan dua titik air mata
berlinang, lalu mengulurkan tangan menyentuh leher dan pundak itu dan terdengar
suaranya halus, “Kau... kau... terluka lagi...” Disentuhnya luka-luka itu
dengan ujung jarinya yang halus.
“Kau...
kau... Syanti Dewi...?” Tek Hoat menangkap ujung tangan itu dan menciumnya.
“Aku... aku... ahhh, benarkah aku masih hidup?”
Kedua pipi
puteri itu menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar ketika dia merasa
betapa ujung jarinya diciumi dan merasakan hembusan napas yang panas dari pemuda
itu mengenai jari-jari tangannya.
“Engkau
masih hidup dan aku memang Syanti Dewi... aku... akulah yang berada di bilik
depan kereta ini...”
Tek Hoat
menjadi girang bukan main, girang dan juga jengah dan malu. Setiap saat dia
teringat kepada puteri ini, dicari-carinya dan dikenang, dikhawatirkannya.
Siapa tahu, seminggu lamanya dia berada di satu kereta dengan puteri ini! Dan
teringatlah dia betapa dia sering kali menggandrungi puteri ini, bersenandung
memuji-muji puteri ini. Tiba-tiba dia teringat. Pertempuran itu masih
berlangsung.
“Ahhh, aku
harus melindungimu, aku harus membasmi mereka... kalau tidak... Paduka akan
celaka... kiranya mereka itu menyerang karena Paduka berada di sini...”
“Kau... kau
masih terluka...”
Akan tetapi
Tek Hoat sudah tidak peduli lagi. Begitu melihat bahwa Syanti Dewi berada di
situ, mengertilah dia mengapa gerombolan Hek-tiauw Lo-mo menyerang rombongan
ini, dan mengapa pula kini gerombolan Tambolon juga menyerang rombongan ini.
Kiranya mereka itu tahu bahwa Sang Puteri berada di dalam kereta. Hanya dialah
yang tolol, yang goblok, sekereta sampai seminggu lamanya tidak tahu! Hatinya
girang, tapi juga khawatir, dan dia meloncat keluar dari kereta itu, cepat
menutupkan pintunya kembali seolah-olah dia hendak menyembunyikan mustika agar
tidak terlihat oleh lain orang!
Kakek
See-thian Hoat-su masih dikeroyok dua oleh Tambolon dan Durganini. Kakek ini
terdesak hebat, agaknya juga sudah terluka karena pangkal lengan kirinya
berdarah. Siang In masih mengamuk membantu Perwira Jayin dan para anggota
rombongan, akan tetapi mereka pun terdesak hebat oleh Si Petani Maut Liauw Kui
dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, karena memang tingkat kepandaian dua orang
pembantu Tambolon ini lebih tinggi dari mereka. Senjata pikulan dari Liauw Kui
dan senjata sepasang poan-koan-pit dari Yu Ci Pok memang berbahaya sekali, dan
hanya karena Jayin yang dibantu oleh Siang In dan empat orang perwira pembantunya
itu melakukan perlawanan gigih, maka pertandingan masih berlangsung dengan seru
dan mati-matian.
Tek Hoat
maklum bahwa yang boleh diandalkan oleh rombongan ini hanyalah Kakek See-thian
Hoat-su. Dia sendiri sudah terluka parah, dan kalau kakek itu roboh, tentu yang
lain akan celaka semua. Maka dia lalu menerjang maju lagi membantu kakek itu
dan kini entah bagaimana, pertemuannya dengan Syanti Dewi seolah-olah
memulihkan semua tenaganya. Ketika dia menyerbu dan menghantam, Tambolon sampai
terpental ke belakang dan bergulingan sambil memaki-maki, bangkit berdiri lagi
dan menerjang Tek Hoat yang merasa betapa dadanya sakit akan tetapi kini dia
pertahankan dengan semangat baru. Dia harus hidup. Dia harus menang, karena
kalau tidak, Syanti Dewi akan celaka.
“Sutt...
singgg-singgg...!”
Pedang di
tangan Tambolon menyambar-nyambar ganas. Tek Hoat mengelak dua kali dan dari
samping dia memukul dengan tangan miring, ke arah lambung raja liar itu.
Tambolon terkejut dan tidak sempat mengelak akan tetapi karena dia maklum bahwa
pemuda itu sudah terluka dan dalam keadaan tidak sehat sehingga tenaganya pun
tidak sepenuhnya, dia lalu berlaku nekat, menyambut hantaman itu dengan tangan
kirinya sambil mengerahkan seluruh sinkang-nya.
“Dessss...!”
Sekali ini
hebat sekali pertemuan tenaga sinkang yang sama kuatnya, dan akibatnya, kembali
tubuh Tambolon terpental, mulutnya muntahkan darah segar sedangkan tubuh Tek
Hoat terguling-guling sampai beberapa kaki jauhnya dan wajah pemuda ini pucat
sekali, napasnya terengah-engah dan sesak sehingga dia menggunakan tangannya
untuk menekan dadanya.
Dengan mata
mendelik Tambolon meloncat bangun, mengusap darah dari bibirnya dengan gemas,
kemudian mengangkat pedangnya sambil lari menerjang Tek Hoat. Sementara itu,
kakek See-thian Hoat-su masih belum merobohkan Durganini karena sesungguhnya
kakek ini masih merasa kasihan kepada bekas isterinya yang dia tahu berubah
jahat karena sudah pikun dan disalah gunakan oleh muridnya, Tambolon yang penuh
ambisi dan jahat itu. Ketika melihat betapa Tek Hoat sudah tidak berdaya dan
Tambolon mengejar hendak membunuhnya, dia terkejut sekali, akan tetapi karena
jaraknya agak jauh, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menyelamatkan pemuda
perkasa itu.
Tiba-tiba,
entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu muncul seorang kakek
berlengan tunggal yang berpunggung bongkok! Punggungnya demikian bongkoknya
sehingga ketika dia datang berjalan cepat ke arah pertempuran, kepalanya
seperti meluncur di depan saja, sedangkan kedua kakinya seperti terseret jauh
di belakang. Atau cara kakek ini berjalan seperti setengah merangkak! Tetapi
anehnya, bukan main cepatnya karena tahu-tahu dia telah berada di situ.
Hebatnya,
bersama dengan kakek bongkok yang aneh ini datang pula angin berputar yang
seperti ombak dahsyatnya, dan semua orang, termasuk Tek Hoat, Tambolon,
Durganini dan See-thian Hoat-su terdorong dan terhuyung ke belakang oleh angin
dahsyat ini. Jangan ditanya lagi para anggota rombongan orang Bhutan dan anak
buah Tambolon, mereka semua roboh jungkir balik dan tumpang-tindih antara kawan
dan lawan seperti daun-daun kering diamuk angin puyuh.
Kakek
bongkok yang berdirinya seperti mau ‘tiarap’ itu menggerakkan kedua lengannya
seperti orang mencegah mereka bertempur, lalu berkata, “Antara sesama manusia,
mengapa saling bunuh? Tanpa saling bunuh pun, apakah ada di antara kalian yang
kelak bebas dari kematian?”
Durganini
yang sudah pikun itu tidak terpengaruh oleh ucapan aneh ini, tidak seperti
See-thian Hoat-su yang sudah berdiri tegak dan bersikap hormat. Sebaliknya
Durganini malah melangkah maju mendekati kakek bongkok itu, kedua tangannya
lurus ditujukan ke arah kakek bongkok itu sambil membentak dengan suara yang
amat berpengaruh. Nenek ini sudah mengerahkan kekuatan sihirnya!
“Tua bangka
bongkok, kau yang sudah mau mampus, hayo cepat bergulingan di atas tanah!”
“Durganini,
jangan...!” See-thian Hoat-su mencegah namun terlambat.
Semua orang
di situ merasa betapa ada pengaruh yang amat jahat dan mengerikan terbawa oleh
suara dan gerakan kedua tangan Durganini, bahkan ada di antara prajurit yang
tanpa disadarinya tahu-tahu sudah merebahkan diri di atas tanah dan bergulingan
seperti orang gila! Akan tetapi yang paling aneh adalah ketika semua orang
melihat bahwa kakek bongkok itu hanya menggeleng-geleng kepala sambil menghela
napas, sama sekali tidak bergerak dan lucunya, kini Durganini tahu-tahu
merebahkan diri dan bergulingan di atas tanah dengan hebatnya!
Tek Hoat
yang sudah setengah pingsan itu melihat dengan terbelalak, akan tetapi
pengerahan tenaga terakhir dengan Tambolon tadi membuat kepalanya pening dan
pandang matanya berkunang. Sebuah tangan yang halus memegang lengannya. Dia
menoleh dan kiranya Syanti Dewi yang memegang lengannya. Puteri itu kemudian
menariknya perlahan-lahan dan pergi dari situ selagi semua orang masih
terpesona oleh peristiwa aneh tadi.
“Kau terluka
parah... sebaiknya kita menyingkir dari tempat berbahaya ini...”
Tek Hoat
menggeleng kepala. “Aku... aku harus melawan... aku harus melindungimu...”
Akan tetapi
Syanti Dewi memaksanya pergi, setengah menyeretnya dan keduanya lalu menyelinap
ke dalam hutan yang lebih lebat.
Sementara itu,
melihat Durganini makin lama makin hebat bergulingan, kakek bongkok itu
mengangkat tangan ke atas. “Sadarlah semua... bangkitlah..., dan lenyaplah
semua kekuatan gelap...!”
Aneh, mereka
yang bergulingan di atas tanah, termasuk Durganini, menjadi terkejut, sadar dan
terheran-heran, lalu Durganini bangkit dengan napas terengah-engah dan wajah
pucat. Sekarang dia memandang kepada kakek bongkok itu dengan sinar mata
ketakutan karena dia maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti luar
biasa.
“Siapa yang
pernah bertemu dengan muridku? Harap katakan, di mana muridku? Apakah ada yang
melihatnya? Dia berusia kira-kira dua puluh lima tahun, pemuda yang bertubuh
tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, matanya tajam seperti mata naga,
sikapnya gagah seperti seekor singa, namanya Kok Cu... siapakah yang pernah
bertemu dengan dia?”
See-thian
Hoat-su dan Durganini menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun yang pernah
mendengar tentang pemuda murid kakek bongkok itu. See-thian Hoat-su cepat
memberi hormat dan bertanya dengan suara tergetar penuh kagum. “Kalau saya
tidak keliru sangka, tentu Locianpwe ini adalah Yang Mulia Dewa Bongkok dari
Istana Gurun Pasir...?”
Kakek
bongkok itu menghela napas dan menggerakkan tangannya, seolah-olah tidak
mempedulikan kata-kata itu. “See-thian Hoat-su, Durganini dan Tambolon, apakah
kalian pernah bertemu dengan muridku Kok Cu itu?”
Tiga orang
itu terkejut bukan main. Selama hidup mereka, baru kini mereka bertemu dengan
kakek tua renta itu, akan tetapi kakek ini begitu saja menyebut mereka
seolah-olah sudah lama mengenal mereka. Otomatis mereka menggeleng kepala
karena memang mereka belum pernah bertemu dengan pemuda yang dimaksudkan kakek
itu.
“Sudahlah,
aku mencari di tempat lain!” kata kakek itu dan sekali berkelebat dia sudah
lenyap!
Selagi semua
orang tertegun dan melongo, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan dari jauh di
atas bukit tampaklah debu mengepul tinggi dan datang sebuah pasukan besar dari
barat yang jumlahnya tentu tidak kurang dari seratus orang.
Tambolon
belum dapat mengenal pasukan itu, maka dia sudah berteriak lagi, “Serbu!”
Dan
pertandingan pun mulai lagi! Sungguh mereka ini seperti serigala-serigala yang
haus darah dan tadi pertempuran terganggu sebentar karena munculnya kakek
bongkok luar biasa itu. Durganini kembali menyerang See-thian Hoat-su seperti
sikap seorang isteri galak yang mencemburui suaminya, tak pernah mau sudah
menyerang! Karena dikeroyok dua oleh bekas isterinya dan Tambolon, sedangkan
Tek Hoat sudah tidak ada lagi untuk membantunya, kakek ini tentu saja kembali
terdesak hebat dan kewalahan.
Akan tetapi
tak lama kemudian pasukan itu tiba dan bersoraklah pihak rombongan Perwira
Jayin karena ternyata bahwa pasukan itu adalah pasukan dari Bhutan yang dikirim
oleh rajanya untuk menyusul Perwira Jayin yang belum ada kabarnya dalam mencari
puteri raja. Tentu saja pertempuran menjadi berubah keadaannya dan terpaksa
Tambolon membujuk gurunya untuk lari menyingkir karena menghadapi pasukan
pilihan dari Bhutan yang terlatih baik dan yang jumlahnya jauh lebih besar itu,
tentu saja dia dan anak buahnya kewalahan dan terancam bahaya kemusnahan. Maka
berlarilah mereka, meninggalkan para korban di antara anak buah raja liar Tambolon.
Sementara
itu, Syanti Dewi yang dulu sudah berpengalaman ketika menemani Gak Bun Beng
yang juga menderita sakit payah, kini setengah menyeret tubuh Tek Hoat yang
hampir pingsan itu. Akhirnya, karena tenaganya habis dan napasnya
terengah-engah, Syanti Dewi berhenti di belakang semak-semak yang rimbun.
“Aihhh...,
kau terluka lagi...” katanya sambil menggunakan sapu tangannya menyeka darah
yang mengucur dari luka di leher dan pundak Tek Hoat yang pecah kembali.
“Syanti...
puteri... saya... saya harus membantu teman-teman menghadapi mereka...” Tek
Hoat bangkit akan tetapi terhuyung.
“Tidak...
tidak...! Apakah kau mau bunuh diri? Tidak, aku melarang kau pergi. Aku
melarang!” Syanti Dewi memegangi lengannya erat-erat.
Tek Hoat
membalik dan menghadapi puteri itu, memandang dengan mata terbelalak.
“Paduka... paduka peduli apa... kalau saya mati...?”
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya. “Ang Tek Hoat, kau sudah berkali-kali menolong aku dan
menyelamatkan aku dengan pengorbanan dirimu, dan kini kau masih bertanya aku
peduli apa? Kau anggap aku ini orang apa? Orang yang tidak mengenal budi? Kau
terluka, biar aku merawat lukamu...”
“Paduka...
kau... merawat lukaku...?” Tubuh Tek Hoat menjadi lemas, kepalanya pening
kembali sehingga bicaranya tidak karuan lagi dan dia menurut saja ketika
ditarik turun dan disuruh rebah di atas rumput.
“Luka-lukamu
harus dicuci bersih... sayang obat-obat untuk luka yang pernah kuterima dari
Jenderal Kao sebagai bekal berada di kereta...”
“Aku
mempunyai obat seperti itu...” Tek Hoat dengan mata masih terpejam meraba saku
jubahnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan. “Gunakan obat bubuk ini... auhhh...
dadaku...”
“Kenapa
dadamu? Kenapa...?” Syanti Dewi meraba-raba dan membuka kancing baju pemuda itu
untuk memeriksa. Alangkah kagetnya ketika melihat kulit dada yang putih itu
tampak tanda biru bekas pukulan sedangkan ketika dia mencuci luka di leher dan
pundak bekas cakaran kuku Durganini, luka-luka itu kelihatan kehitaman!
“Ah, kau
terluka parah...!” Dia berseru penuh kekhawatiran.
“Tidak
mengapa... tidak mengapa, harap paduka cepat kembali ke sana, biarlah saya
mengurus diri sendiri...”
“Tek Hoat!”
Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan nada suara agak keras. “Mengapa kau begini
angkuh?”
Tek Hoat
memandang dengan mata terbelalak. “Saya...? Angkuh...?”
“Engkau
terluka parah dan perlu ditolong, mengapa engkau seolah-olah menolak semua
pertolonganku? Engkau benar-benar mengusirku agar kembali ke sana, agar
tertawan oleh Tambolon?”
“Ah,
tidak..., tidak... jangan paduka salah sangka...!”
“Engkau
sungguh... sungguh memuakkan perutku!” Syanti Dewi lalu bangkit berdiri dan
membelakangi Tek Hoat.
Pemuda ini
menjadi bengong dan dia bangkit duduk, memandangi tubuh belakang Syanti Dewi.
Dia benar-benar tidak mengerti harus berkata dan berbuat apa. Sikap wanita ini
membingungkannya, dan dia tidak dapat menyelaminya. Ketika dia melihat pundak
puteri itu berguncang perlahan, dia terkejut. Puteri itu menangis! Tentu merasa
tersinggung dan sakit hatinya, pantas dia dikatakan memuakkan dan memuakkan
perut!
“Ahhh,
Puteri Syanti Dewi, harap paduka sudi mengampuni saya... saya sungguh tidak
tahu terima kasih... saya memang membutuhkan bantuan dan paduka demikian rela
membantu, akan tetapi saya keras kepala, sombong dan... memuakkan perut,
maafkan saya...” Dengan kaku dia lalu merebahkan dirinya sehingga kepalanya
terbentur batu di belakangnya. “Aduhhh...!”
Syanti Dewi
cepat membalik dan berlutut. Melihat belakang kepala Tek Hoat menjendol, dia
lalu menggosok-gosoknya dan mulutnya berbisik, “Kasihan... kau orang muda yang
malang...”
“Saya...
saya tidak muda lagi..., paduka lebih muda...”
“Tek Hoat,
aku akan marah kalau kau terus menerus merendahkan diri, menyebut aku puteri
dan paduka. Engkau mau bersahabat ataukah tidak?” Bibir manis yang merah itu
cemberut.
“Baiklah...
baiklah, put..., ehh, Syanti Dewi. Engkau tentu lebih muda dari pada aku...”
Syanti Dewi
tersenyum, agak lega karena wajah pemuda itu tidak sepucat tadi.
“Tentu saja,
kau tadi bilang tidak muda lagi, agaknya engkau sudah kakek-kakek.”
“Aku sudah
tua, sudah terlalu tua oleh dosa...”
“Sudah,
jangan banyak cakap. Biarkan aku membalut luka-lukamu dan memberi obat-obat
secukupnya.” Dengan jari-jari tangan cekatan, sedikit pun tidak jijik melihat
darah membeku dan luka kehitaman yang mengerikan, Syanti Dewi mengobati dan
membalut luka-luka itu. Bukan main nyerinya, akan tetapi Tek Hoat menggigit
giginya menahan sakit.
“Orang-orang
muda, apakah kalian pernah bertemu dengan muridku?”
Tiba-tiba
saja kakek bongkok itu berdiri di dekat mereka, membuat Syanti Dewi kaget dan
hampir menjerit kalau saja dia tidak menutupi mulut dengan tangannya. Tek Hoat
juga bangkit duduk dan memandang tajam, bersiap melindungi Syanti Dewi yang
dipeluknya dengan lengan kiri. Ketika dia mengenal kakek bongkok yang tadi
datang secara ajaib dan secara mukjijat pula melerai pertempuran, dia lalu
bertanya dengan hormat,
“Locianpwe,
siapakah murid Locianpwe itu?”
“Dia pemuda
gagah perkasa, tinggi besar dan usianya dua puluh lima tahun, namanya Kok
Cu...”
“Maafkan
saya, Locianpwe, saya belum pernah bertemu dengan dia...” jawab Tek Hoat
sejujurnya.
Kakek itu
menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku mencari di lain tempat...”
“Nanti dulu,
Locianpwe!” Syanti Dewi berseru ketika kakek itu berkelebat lenyap.
Dalam
sekejap mata saja kakek itu kelihatan lagi dan Tek Hoat diam-diam kagum bukan
main. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seseorang yang
memiliki kesaktian sehebat ini!
“Kau mau
bicara apa, Nona?”
“Entah dia
murid Locianpwe atau bukan, akan tetapi saya pernah mendengar nama Kok Cu. Dia
itu adalah Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dahulu kabarnya
lenyap di gurun pasir, bukan? Kalau Locianpwe mencari dia, sebaiknya ke kota
raja menemui Jenderal Kao Liang.”
“Aihhh...!”
Tiba-tiba kakek bongkok itu menepuk dahinya. “Jadi putera Jenderal Kao...?”
Sepasang matanya yang mencorong itu kini bersinar-sinar sehingga mengejutkan
dan menakutkan hati Syanti Dewi dan Tek Hoat. Mata kakek ini tidak lumrah mata
manusia, mencorong seperti mengandung api!
“Orang muda,
engkau menderita keracunan yang lumayan. Di sini aku menerima berita tentang
muridku, sudah sepatutnya pula kalau aku merubah sedikit keadaanmu agar lekas
sembuh!”
Kakek itu
lalu menggerakkan lengannya dan Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak
dan ngeri. Kakek itu berdiri kurang lebih tiga meter jauhnya dari Tek Hoat,
akan tetapi lengannya terus memanjang sampai akhirnya telapak tangannya
menempel di punggung pemuda itu, mengusap beberapa kali di punggung, leher dan
pundak, lalu lengan itu ditarik.
“Aku pergi!”
terdengar suaranya akan tetapi orangnya sudah lenyap!
Syanti Dewi
bengong, menoleh ke kanan kiri dengan bulu tengkuk meremang. Sukar dia percaya
bahwa kakek tadi seorang manusia, pantasnya sebangsa dewa atau juga siluman!
Tiba-tiba
Tek Hoat berseru kaget, “Aihhh... aku sudah sembuh!”
Syanti Dewi
cepat berlutut mendekati dan ketika dia memeriksa, benar saja, warna biru
kehitaman di dadanya lenyap, juga luka-luka di leher dan pundaknya sudah tidak
hitam lagi, bahkan hampir kering. Akan tetapi tubuhnya masih lemas sehingga
ketika dia bangkit berdiri, dia terhuyung.
Tek Hoat
lalu berlutut. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Akan tetapi
kenapa kau kelihatan lemas sekali, Tek Hoat?”
“Semua racun
telah lenyap dari tubuhku, dan luka-lukaku tidak ada artinya lagi. Akan tetapi
tenagaku belum pulih dan aku perlu mengaso...”
Pada saat
itu terdengar sorak-sorai dan pertempuran makin menghebat, terdengar dari
tempat itu. Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut, cepat dia menarik lengan Tek
Hoat dan diajaknya terus lari memasuki hutan yang lebat itu, makin jauh ke
dalam. Kalau saja dia tahu bahwa sorak-sorai itu adalah tanda kedatangan
pasukan pembantu dari negerinya, tentu dia tidak akan lari ketakutan.
Setelah
racun yang berada di tubuhnya lenyap semua berkat kesaktian kakek bongkok,
tubuh Tek Hoat menjadi lemas sekali. Akan tetapi Syanti Dewi terus memaksanya
untuk memasuki hutan lebih dalam sehingga pemuda ini berjalan terhuyung-huyung
dipapah oleh dara itu. Hati pemuda ini terharu bukan main. Seorang dara begitu
lembut dan halus, seorang puteri kerajaan, kini memapahnya, tersaruk-saruk
menerjang semak-semak belukar yang penuh duri sehingga kaki tangan dara itu
yang tidak terlindung, luka-luka dan lecet-lecet berdarah.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment