Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 22
"Eh,
engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?” Ceng
Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.
“Subo, aku
mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya
dan aku ditinggal begitu saja, maka aku lalu menyusulnya dan mencarinya sampai
di sini. Apakah Subo melihat ayahku?”
“Tidak, Hwee
Li. Aku tidak melihat ayahmu.”
“Subo
sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang
lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng.
“Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?” Biar pun dara cilik
itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw
Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap
genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Wajah Ceng
Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu. Hayo katakan, apakah
barangkali engkau tahu orang ini di mana.”
Hwee Li
memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. “Sayang aku tidak
tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu
merupakan kawan yang menyenangkan.”
Mendengar
ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan
kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di
sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”
Hwee Li
mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan
mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”
Ceng Ceng
mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum
lalu pergi meninggalkan warung itu.
“Eh, Nona...
agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku...
ehh, aku pun masih membujang.”
Ceng Ceng
memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa
maksudmu...?”
Tukang
bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik, tidak baik
melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang
hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup selalu
senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu tidak dapat melanjutkan teriakannya
karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap
panas dari tempat bakpao dikukus!
Setelah menampar
dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang
sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng
Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua
pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu
merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!
Topeng Setan
dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu
barulah Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul
di warung bakpao tadi?”
“Ohh, dia?
Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”
“Hei...?!”
Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara
keji?” Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga
terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu
subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?”
Ceng Ceng
tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak sekali terdapat
hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo
adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apa bila
kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah
kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku
bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya,
Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan
suka menjadi subo-nya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah,
dia kemudian membebaskan aku...”
Akan tetapi,
ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”
“Ayahnya
lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku
sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun
dariku.”
Topeng Setan
menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau
adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya
engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan
Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang
racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan
tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk
dipergunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk
mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat.
Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang
membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya
dan berjalan sambil menundukkan mukanya.
Ceng Ceng
menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh
penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan sekarang makin heranlah
dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan
tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!
“Paman
Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
Topeng Setan
berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan
bertanya sambil menundukkan muka.
“Paman,
engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan
tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu
sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini.
Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan
kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau
jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”
Topeng Setan
menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau...
mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”
“Ya...?
Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”
“Dia... dia
telah mati...”
“Ouhhh...?
Maafkan, Paman...”
“Dia mati...
karena aku yang membunuhnya...”
“Aihhhh...!”
Ceng Ceng
terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua
pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan
tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri
dan memegang tangan orang tua itu.
“Paman,
sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau
mencinta wanita itu, bukan?”
Topeng Setan
menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila... aku
telah melakukan dosa besar dan karena itu... tiada jalan lain bagiku kecuali
menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...”
“Aihhh,
Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan
jahat. Kalau bibi itu, wanita itu... sampai mati olehmu, tentu dialah yang
bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih
seorang mulia seperti Paman...”
“Cukup...!
Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”
Melihat
keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu
menghibur dan mengalihkan percakapan.
“Sudahlah,
Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah lalu. Yang jelas,
Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...”
“Tapi engkau
hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung
habis...”
“Ah, urusan
kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai
sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah
kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang,
jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat
membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek
gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan
perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman.”
Berangkatlah
kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk
menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.....
***************
“Aughhhh...!”
Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening
berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia
ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama
sekali.
Perasaan
ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini dia tidak merasa
lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu
tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian
mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan
sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat
pelipisnya.
“Bagaimana...?
Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua
dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu
terbanting kepada batu ketika hanyut...”
Kian Bu
mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan
halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang
membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka
matanya, apa lagi ketika perasaannya mulai makin sadar, membuat dia dapat
menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di
atas pangkuan seorang wanita!
Begitu
matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar
matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh
sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang
bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan
putihnya gigi seperti mutiara!
Kian Bu
tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia
bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, “Aihhh... Enci Hong Kui...?”
Hong Kui
atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik?
Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi
terbawa air sungai, maka aku... ehh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana
sekarang, apakah masih pening...?”
Sikap wanita
itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini
benar-benar demikian mencintanya bagaikan seorang kakak perempuan yang mencinta
adiknya? Akan tetapi... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih
berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan
wanita cantik itu.
“Ti...
tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...,” dia
teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga
Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi mencari mereka...”
Lauw Hong
Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa
banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai
setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan
yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang
ganas semalam.
Melihat
wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya
dan berkata, “Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak
mengalami mala petaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka.”
Mendengar
ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu memandangnya dengan penuh
harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”
“Mudah saja.
Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam, bukan? Yang pertama
adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu.
Yang kedua adalah bahwa mereka jatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka.
Aku melihat bahwa kedua mala petaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena,
andai kata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir
seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu
tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai
kata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon
semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu
tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”
Kian Bu
menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang
demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi melihat gadis
itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong
Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”
Hong Kui
melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir
merah mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau
yang tidak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu
Tambolon secara demikian mudah, masih dapat memuji-muji aku yang lemah dan
bodoh. Huiii... sungguh menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang
dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak
kesakitan sambil tertawa-tawa.
Mereka
tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan
manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”
Kian Bu
memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang
Mauw Siauw Mo-li, biar pun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya
cantik siluman, maka bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak
menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada!
Pernah
ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal yang amat
berbahaya, lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain kesombongan diri,
nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita
dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun!
Dan Mauw
Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki
keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan
gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia
harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi
perangkap yang akan mencelakakannya.
“Kenapa
engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.
Jari-jari
tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan mendekat. Kepala
yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi
bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.
“Aku
berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini
bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan
seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga
Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat
dibersihkan.”
Kian Bu
menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya tadi ternyata
palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena agaknya
wanita ini menggantungkan harapannya kepadanya.
“Jangan
khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau
dapat menjadi sehat kembali.”
Wanita itu
memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau... engkau baik
sekali...” Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika
jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan
Kian Bu.
Pergeseran
dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat
yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan
jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung
baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara
ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian
Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil
pasangannya di waktu malam!
Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun usianya baru tiga puluh
tahun, tetapi telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan
mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam
permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya
dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia
mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor
tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan
bangkainya begitu saja, sama sekali tak diingatnya lagi.
Belum pernah
dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria.
Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu
dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia
benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing
yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan
belaian manusia yang lebih kuat!
Pemuda ini
bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang
muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah
seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi dari padanya, dan terutama
sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!
Di dalam
kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia bersikap
hati-hati dan biar pun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun
dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul
kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa
seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan
bermain kasar!
Suma Kian Bu
adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua
Thian-liong-pang. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian
hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang
seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau.
Andai kata
Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam
waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andai kata dalam
rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi
curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia
menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak
kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya,
Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang
patut dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan menjadi
sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan
mendiang Hek-hwa Kuibo.
Wanita ini
amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu
menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa
sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian
Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan segenap kepandaiannya berusaha
menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam
tubuh Hong Kui.
Pada suatu
siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang
pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging
ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk
beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena
mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali
dan tubuhnya telah bergerak meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang
terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah
pingsan!
Kian Bu
terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.
Hong Kui
membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada ular...!” matanya
terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.
Kian Bu
menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap
ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.
“Enci Hong
Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”
“Aihh...
maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluh
dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu... aku... aku paling
takut melihat ular...”
Kian Bu
tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui
melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali dia menengok
ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.
“Enci Hong
Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor
ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu
seorang lihai seperti engkau?”
“Ah, engkau
tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah
sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi,
aku amat takut melihat ular...”
“Enci,
sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat
ular?”
“Aku bukan
takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau
melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya... tapi... ehhh, malu aku untuk
menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...”
Wanita itu lalu menunduk.
Kedua
pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke
atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah.
Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul
kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga
orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.
“Enci Hong
Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau
merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini
lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi.”
“Terjadi di
waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil
menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.
“Pada suatu
hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget
sekali dan... dan... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku
ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam... celanaku,
di paha...”
Kian Bu
terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka
sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin
kemerahan.
“Ketika aku
cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak itu adalah seekor
ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah
setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu
itu dan aku tak kuat menahan.”
Hening
sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini di waktu
berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang sehingga beberapa
kali dia menelan ludah. “Memang... memang mengerikan...,” komentarnya pendek.
“Itulah
sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak
naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan
engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak
naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, jangankan anak naga, baru
melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”
Beberapa
hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu
jauh lagi dari situ. Dan ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya sangat
jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui
berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”
“Akan tetapi
tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”
Hong Kui
mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil
tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta
dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal
sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan
debu yang menempel di tubuh.”
“Baiklah...”
Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak
begitu jauh dari jalan kecil itu.
Memang siang
hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi
dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan
dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang
genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, tetapi tentu
saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah
menjadi wataknya. Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik
terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan
sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada
aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan
menggoncang jantungnya!
“Eiiihhh...
ular... tolong... Kian Bu...!”
Jerit ini
mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan
alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan
kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu
meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.
Celaka,
pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala
terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Karena itu dia lalu
meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya,
kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.
Dapat
dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama
sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika mengangkat tubuh
polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi
tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan
jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin
memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai.
Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah
batu.
Teringat
bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan
polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan
tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia
membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang
berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan
matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu.
Berkali-kali dia menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari
tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil
mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah memaksa kedua
tangannya yang agaknya mau mogok saja!
Begitu
akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan
mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan,
“Ular... ular...”
Kian Bu
tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi
begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi,
Enci Hong Kui.”
Wanita itu
kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan
pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. “Ehh... ahhh... aku
tadi sedang mandi... ada ular hitam menjijikkan...”
“Kau
menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”
“Dan aku...”
Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu,
sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, “...aku tadi sedang mandi...
kutanggalkan pakaianku...”
Kini Kian Bu
memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu,
Enci Hong Kui.”
“Aihhh...
engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”
Kian Bu yang
masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik
yang merayap di cabang pohon mau pun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja
ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama
sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil
dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa
wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.
Dan memang
hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh
cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian
dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat
yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat
seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya,
membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu
termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan
sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini
dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi
hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi yang berkobar.
Hanya berkat
pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan
dan selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa
tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai
sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan birahinya. Apa lagi memang
sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit memikat,
baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam
tersenyum atau berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya
ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum
wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya
yang mesra.
Bagaikan
seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat
jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi
makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin
benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam
itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah
dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja
memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian
Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.
“Kian Bu,
hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak kurayakan. Engkau
tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”
Wajah Kian
Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat
atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang dibalas oleh Hong Kui sambil
tersenyum.
“Engkau baik
sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”
Mereka duduk
menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di
dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau
panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci”
“Terima
kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.
“Kalau aku
boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong
Kui?”
Wanita itu
memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya
umurku sekarang, Kian Bu?”
Kian Bu
memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih
tua dari pada nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya, Hek-tiauw Lo-mo adalah
seorang kakek, dan suci-nya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek.
Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini
tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak
keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita
paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum
dia menjawab, “Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”
“Hi-hi-hik!”
Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam.
“Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun,
melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu.
Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua
nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.
“Ah, siapa
bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda
dan... dan...” Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia
cepat menahan kata-katanya dan menunduk.
“Ya...?
Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”
Kian Bu
tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa
wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali
mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan
karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak
sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka!
Malam telah
gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut,
menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak telah
membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya,
dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas
pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.
Kian Bu
hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang di Pulau Es, di
atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal
di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu,
mengerahkan sinkang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh
tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan
berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya.
Dicobanya
untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah
terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular
itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya,
hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih
dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat
betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal,
lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya,
menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan
mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.
Ketika
kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan
halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar
didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak
memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui
telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam
panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik
kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh
itu.
“Enci...”
Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.
Hong Kui
sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini malah membuat
tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu
telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang
lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur
pulas.
“Kian Bu...
Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong
itu dan menangis, lalu memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda
yang telanjang itu.
“Enci...
apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.
“Artinya...
bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah aku...,” tangan Hong
Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi
gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya
merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.
Kian Bu
hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan
sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya,
dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu birahi pemuda
remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian
Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan sering kali melihat pandang
mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki.
Kemudian,
malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok
sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian
Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret
hanyut oleh gelombang nafsu birahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu
merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah
Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu
dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.
Keesokan
harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong
Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan
menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong
Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan
pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu birahinya.
Mereka
melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka
berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam
suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah
mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh
lebih lihai dari pada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi
ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat
pandai.
Demikianlah,
Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai,
bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah
seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu birahinya. Akan
tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.
Selama
hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang
selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia
sendiri, juga adalah seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah
hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju
ke Telaga Sungari sering kali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk
mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.
Pada suatu
hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang
teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka
saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor
kucing manja.
Mendadak
terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di
sini!”
Hong Kui dan
Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan
meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu
Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Kemudian dari belakang
mereka sudah muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon
berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan
mereka.
Kian Bu
menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk
membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang
melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak,
tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap
itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia
dapat mengenali nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo
hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!
Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu.
Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan
melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu
tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan... senjata
rahasia itu meledak di udara!
“Aihhh...!”
Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.
Kian Bu juga
maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon
ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita pergi!”
Hong Kui
mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan
kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan
merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat
senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.
“Siluman Kucing,
hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.
“Bresss!”
Liauw Kui
yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan
lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan
tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia
bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan
Hong Kui cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus
melarikan diri.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara
tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik
ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian
terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit,
kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau
robohlah...!”
“Enci Hong
Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita yang
menjadi kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tak
cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil
memondong tubuh Hong Kui.
“Haiii...
pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan
berlari lagi... berhenti...!”
Suara yang
tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja
berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu
memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali
tidak mau mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia
memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.
Dua buah
lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya.
“Kian Bu, kekasihku... kau telah menyelamatkan aku...”
Dan Hong Kui
menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya
untuk menyambut ciuman kekasihnya.
“Tempat ini
sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh orang...” Hong Kui
yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke
atas rumput.
“Jangan,
Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari
terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali.
Tadinya kukira dia sudah mampus pada waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”
Hong Kui
menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak
dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.
“Dia memang
bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar
namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main
dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan
tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah
seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya
banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan
dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon.”
“Sebetulnya
tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak
sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khikang yang
mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sinkang,
atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan
dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah
tentu celaka...!” Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat
bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan
ayahnya kepada Hong Kui.
Akan tetapi,
pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya.
Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha
menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang
membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya,
dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan)
Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini
memiliki sinkang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang
ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar
biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti
yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.
Namun dengan
cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya, dia lalu
pura-pura tak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang
rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika
bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini
adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar
itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!
Diam-diam
hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah salah seorang
putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi mantu Majikan Pulau
Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk
tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.
Tiba-tiba
Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari
kita bersembunyi di sana!”
Tanpa
menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas
dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti
terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara
daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga
bukan main. Dirinya sendiri memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya,
namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan
pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main.
Dia sendiri
belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda.
Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tidak lama
kemudian mereka melihat bahwa dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda.
Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah
kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias
bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta
penuh dengan muatan barang.
Kian Bu
menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak
buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan
memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.
“Eh, kenapa
kau tersenyum?”
Dengan lagak
genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang
terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh
Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”
Kian Bu
mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan
cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran
atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan
yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan ginkang
mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan
oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa
sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan
tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.
“Hi-hik,
enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi
kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.
“Hishhh...
jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu
berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang
cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu
rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.
Tiba-tiba
terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget
karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu
patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat
penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di
udara dan kemudian hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama.
Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan.
Namun
kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika melihat orang itu
yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan
tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa
pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau
busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu
terbakar habis sampai menjadi abu!
Tentu saja
Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari
orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan
dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia
melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum
saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya
tadi. Alangkah tabah hati kekasihnya yang cantik ini.
Akan tetapi,
perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi
tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang
diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar.
Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri melihat betapa kuda tadi dapat terbakar
habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu
bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras,
“Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan
dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!”
Dari kereta
pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian
menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!”
Kepala
rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta
itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat
dan segera dibuka tali pengikatnya.
Ketika
pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok
itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus
jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah
kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap
suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...”
“Hi-hik,
hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus
mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian
Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus
mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.
Kepala
rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua tangannya
menegang lalu saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk
mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan
berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya menggaruki mukanya, mencakar
mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus
digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah
dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan
jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan
terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai
kereta. Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu
terkejut bukan main.
Kini anak
buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan
marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus.
Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung
hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan
bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan
ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.
Yang terkena
bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah
berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang
terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau
yang amat busuk.
Melihat
pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia
meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya
dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari
mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian
Bu menjadi nanar terbuai nafsu.
Hong Kui
melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka begitu lihai,
sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”
Mau tidak
mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka
ini merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang yang berada di dalam
kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja sudah amat berbahaya,
kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja
menonton, akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di
dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian
kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan
berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam
dirinya!

Pemandangan
itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian
Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai
kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis
dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis
dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan
meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu
ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu
menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.
“Lanjutkan
perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat
dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang
ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan
ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang
penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi
orang lihai tadi berada di belakang.
“Hi-hik,
kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui
berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang
indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.
Sambil rebah
dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan
percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua
orang itu tahulah mereka bahwa rombongan ini adalah kelompok anggota dari
perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli
racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan sedang melakukan perjalanan ke Telaga
Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek
yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.
Pantas saja
orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan
sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan
itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama
kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat
karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian
dua orang musuh besar yang amat lihai.
“Kalau
Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang
dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita
tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.
Kian Bu
tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang
pembicara itu. Dan Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari Ketua
Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suheng-ku.”
“Hek-tiauw
Lo-mo?”
“Benar,
mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru karena
mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”
Kian Bu
hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya
sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan
dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari
Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini
melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya,
bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek
pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang
amat lihai.
Dia tahu
bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan
pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo.
Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian
mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya
menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang
dipelajarinya dari kitab curian itu.
Kini,
melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh
induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga
itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan
yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia
tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun juga.
Malam itu
terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya
bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan
halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok
melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan
cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman
Kucing itu.
Karena
maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apa
lagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong
Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menahan diri
hingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya
dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya
merintih lirih.
Kian Bu
sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya,
berbantalkan lengan sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya
masih mawut itu rebah terlentang memandang langit yang indah dengan mata
merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan
seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.
Hong Kui
terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua
orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang
laki-laki berkuda. Laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang
seekor kuda putih yang juga besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai
ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.
“Ehh, kenapa
berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada
kekasihnya.
“Ssssh...”
Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun
dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.
“Wah...
dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi
besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Akan tetapi
kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu
mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di
atas kereta.
“Orang she
Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu. Hayo keluar dan
kembalikan kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya
yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.
Dari dalam
kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng
dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka
tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi
Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi
Thio Sek.
“Ha-ha-ha,
engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas
majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi
maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah
kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah,
Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!”
Hek-tiauw
Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon
berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak tadi bersembunyi.
Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan
yang sedang mengawal ketua mereka.
Semenjak
Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke
tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan
pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong,
yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari
Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang
telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah
sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.
Kitab milik
Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah
sebuah kitab pelajaran ilmu mukjijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan
tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua,
maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena
itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang
mereka butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk
dengan mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang
dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang
ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu
orang-orang Pulau Neraka.
Kini setelah
anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang
Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Ada pun
anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau
Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu sekarang berubah
menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang
lihai itu.
Karena
orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang
bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka
terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun
mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan
kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga andai kata mereka
mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka
kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat
untuk mengalahkan musuh besar mereka.
Melihat
perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka
kalau tidak kubantu...”
Akan tetapi
dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah
bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu
lawannya.”
“Eihhh...?”
“Karena itu
sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”
Hong Kui
menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian menciumi kekasihnya
dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan
pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di
bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu
dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!
“Ehhh, lihat
ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang
menindihnya dan menuding ke kiri.
Hong Kui
menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia dengan gerakan
cepat dan ringan berloncatan kemudian berindap-indap menghampiri kereta di
belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian
bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk
dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.
“Dia mencuri
kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat
melayang ke arah kereta di belakang itu.
“Darrrrr...!”
Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping
menghindar.
Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai itu cepat
menengok, dan melihat kakek itu mereka terkejut sekali.
“Dia mencuri
kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka
lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat
melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab
mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.
“Wah, jadi
ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka
dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka
berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut
mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.
“Hayo kita
ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya,
membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas
kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah
melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua
orang itu, yaitu ke utara.
Kakek tua
berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua
orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat
membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya
sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak
berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua,
dia tidak akan mampu menang.
Kakek tua
yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia
melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama
kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi
karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini
hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia
menjadi bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan
pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.
Akan tetapi
tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan
dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya. Pemilik warung ini menjadi
terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman
maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!
Yang muncul
itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat
menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah
Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan
tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang
sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua
orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!
Ketika Ceng
Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia
menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak
mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua
orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak
memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi
perutnya yang lapar di warung itu.
Hek-tiauw
Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah
utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah
dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia
agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang
gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu
meloncat ke pintu dan membentak, “Bocah hina mundurlah!”
Tentu saja
seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan ‘bocah hina’ tadi,
maka ketika melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya
memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut
kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!
Barulah
Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari
pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang yang cukup kuat, akan
tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis
itu!
“Aihhh...!”
Dia berseru.
Tentu saja
dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru kini dia teringat
siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena mendendam dan merasa benci
kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan
beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya, kini mempergunakan pukulan
beracun yang mematikan untuk membalas dendam.
“Dessss...!”
Dua tangan
yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng
Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh
Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya lalu memandang
kepada Ceng Ceng sambil tertawa.
“Hah!
Kiranya engkau belum mampus?”
Dapat
dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa
diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, “Paman, bunuhlah
orang ini!”
Kelihatannya
memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat
mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia
sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia
berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan
kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur
seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung
menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!
Tentu saja
Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia
bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan
tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian,
dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.
“Cuuss...!
Dessss!”
Akibat
pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh
Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung
mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!
Melihat ini,
Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia
memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan
itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di
dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si
Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan
dengan pukulan mautnya.
Topeng Setan
mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah
dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan
ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu
tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.
Hebat sekali
sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan
tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua
Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka
dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam
Topeng Setan maklum bahwa biar pun dia mampu menandingi dua orang datuk itu,
tetapi dia pun tak dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau
pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat
kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.
Tak lama
kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir
dari pada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat pula
menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu
melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab,
tetapi bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika
dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia
membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia
sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu
tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.
Akan tetapi
ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong
Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan
Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain
cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw
Mo-li, ia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng
Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.
“Aku... aku
mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti
jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap
pergi.
Sementara
itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak
mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi
penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat
tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut
pedangnya.
Topeng Setan
terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan
tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng
Setan menjadi makin repot.
“Perempuan
hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan
dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya
melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li.
Wanita ini
amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu
mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat
hingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat
melempar tubuh ke belakang.
“Ceng Ceng
mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara
itu yang belum sembuh benar.
Pada saat
itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung
menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya
cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan
kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di
dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, sekarang
meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu
oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua orang
datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.
Tiba-tiba
Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak Topeng Setan,
membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik
sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi
ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek
rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri
kitab adalah kakek rambut putih itu.
Pada saat
itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak
dan lambungnya tertusuk pedang!
Melihat ini
Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang
lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka
parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung
lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng
juga tidak mau tinggal diam saja, langsung dia terjun dan menyerang
kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu,
tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam,
diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu
dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk.
“Heh-heh-heh,
Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”
Melihat
munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa
lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang
sejak tadi belum juga muncul.
“Kian
Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu
melarikan diri sambil mencari kekasihnya.
“Heh-heh-heh,
kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan.
Heh-heh-heh...!”
Pada saat
itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran
sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang
hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya
yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun nenek
itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi
yang sudah melarikan diri.
Dua orang
datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir
Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka
saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek
berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.
Topeng Setan
yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul tubuh kakek berambut
putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng, terus saja dia
membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang
berbahaya itu.....
***************
Sebaiknya
kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh Topeng Setan yang
memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita
mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah
terlalu lama kita tinggalkan mereka.
Seperti
telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana
terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa
pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su
sendiri untuk menangkapnya.
Setelah
menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang
baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, kemudian
menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana
Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri
Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri
Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan
tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.
“Bibi Puteri
Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang
halus itu pucat dan basah air mata.
“Bibi... apa
yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.
“Lekas
berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”
Tentu saja
Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang
dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu
Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah
membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi pemuda yang gagah perkasa itu masih
juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan
dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang
disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari
Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan
semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi
makin suka kepada Puteri Bhutan ini.
Puteri
Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas
genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa
ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana,
selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang
memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti
Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!
Setelah
mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun
dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar
dari kota raja, Syanti Dewi.”
“Ehh,
mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”
“Hmm, engkau
tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah
terjadi dengan keluargaku....”
Dengan
singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan
pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena
suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua
inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah
berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh
pengeroyokan pengawal.
“Nah, karena
itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan
ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.”
Ucapan ini
memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.
“Ahhh...
Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.
Dua orang
wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam
detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada
Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana
itu.
Tak lama
kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak
Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa
saya?”
Milana
menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus membawamu, yang
jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang
pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku
ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”
Syanti Dewi
dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi karena jenazah suami
puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus
sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat
gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata
istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi
Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk
jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur
dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi
permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi
Kong dengan baik-baik.
“Mari kita
pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana
itu dengan hati terharu.
Tak
disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai
tertimpa mala petaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya
sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau
dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri Milana.
Milana yang
berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat
berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak
merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti
Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat
untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah
melalui pintu gerbang utara.
Para
pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat
menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana
Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar
luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang
utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja
dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang
terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti
Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah
malam itu.
Setelah agak
jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat
peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana
melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan
tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga
saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.
Malam lewat
dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana
hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita dari jauh, “Adik Milana, tunggu dulu...!”
Milana
terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi
dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat.
Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota
raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.
Kini wanita
itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh
selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguh pun usianya
sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari
sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu
telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya
tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu
pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia
tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.
“Adik
Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah
merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang
sedang melarikan diri,” wanita itu berkata.
“Maaf,”
Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”
“Ahhh, Adik
Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib
sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee
mengeroyok seorang musuh besar kita?”
“Lu Kim
Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru kaget dan kini dia
mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu
ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak
Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang
wanita itu.
Akan tetapi
dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan
pandang mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada keperluan apakah engkau sejak di
kota raja semalam mengikutiku?”
“Maaf, Adik
Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku
berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar
bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”
“Ah, engkau
mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”
“Adik
Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib
kita belasan tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa engkau telah menawan
seorang bernama Ang Tek Hoat...”
“Hemm, apa
mu kah pemuda itu?”
“Dia itu
puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa dia telah
membantu pemberontak akan tetapi demi perkenalan kita kuharap engkau suka
mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.”
Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya
itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!
Milana cepat
memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci
Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”
Dengan penuh
harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk
berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti
Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu
karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah
perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda
perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak
mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah
ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang
amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu
saling mengenal itu.
“Jadi Ang
Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya kepadamu,
siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang
tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa
seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.
“Adik
Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”
“Hubungannya
banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku
terus terang siapa ayahnya.”
“Betapa aneh
pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak
tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya
kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?”
Dapat
dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini.
Wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara,
hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian.
Milana
mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga demikian dan engkau
tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng
adalah musuh besarmu, bukan?”
“Adik
Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas
bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...”
“Enci Siok
Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah
mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku
tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang
telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan
tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”
Siok Bi
memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar
puteranya dapat selamat, biar pun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab
juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang
Thian Pa...”
“Hemm,
pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin
ayahmu, bukan?”
Siok Bi
mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng,
akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan
keterangan itu?”
Milana
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau begitu... aihhh,
sungguh kasihan sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun
engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng,
begitukah?”
“Tentu saja!
Habis mengapa?”
“Engkau
telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang
lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng
Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun juga. Ketahuilah, Enci, yang
melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama
sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...”
“Ahhh...!”
Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan
tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biar pun
puteranya itu tampan akan tetapi sedikit pun juga tidak ada miripnya dengan
wajah Gak Bun Beng!
“Apa... apa
maksudmu...?”
“Maksudku
adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang
menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan
jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan
perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat
baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat
wajahnya?”
Siok Bi
menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di
dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan
dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku
demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai
sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah
sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!
“Kita semua
telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci,
melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang sebetulnya menjadi ayah kandung
dari puteramu Tek Hoat.”
Dengan mata
terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan
suara gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku dapat percaya ceritamu
ini...? Setelah belasan tahun aku percaya demikian... bagaimana aku bisa tahu
bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”
“Engkau
harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi
korban tipuan orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti
engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng
adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena
itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk
mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira
bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi
dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut
sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji
itu masih anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui segalanya di
depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari
ibu tiriku di Pulau Es...”
“Ya
Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”
“Dia sudah
tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Putera mu itu she Wan, tidak
salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...”
“Dan kita
dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”
“Tidak, Enci
Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya
tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan
membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang
tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang,
puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.
“Sungguh
kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, kini...
puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan mempergunakan
namanya.”
“Ahhhh...!
Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang
manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan
suaranya mengandung rintihan batin tertekan.
“Tidak! Tek
Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan
suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal
itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita
ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani.”
Siok Bi
menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia
ini, Adik Milana?”
“Dia adalah
Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu
dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah
melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang
disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak
dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya
sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya
besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir
pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak
Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai
terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka
dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng
masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”
“Ahhhh...!”
Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik
Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain beliau bukan musuh
kami... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?”
“Agaknya
engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki
kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu
ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan
menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia
masih berada di kota raja.”
“Kalau
begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu
berlari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.
Milana
menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya belasan tahun
yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman
Gak, Bibi.”
Milana
menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar sekali terhadap
Gak-suheng, dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia
yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...”
Puteri ini
lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang
meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya.
Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan
diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya
pria yang dikasihinya itu.
“Sekarang
kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang
menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana
dari lamunannya.
“Ke mana...?
Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau
engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi... aku pun
sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat
tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...”
“Bibi
Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun
bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan.
Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”
“Hemm, jangan
berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana,
maka akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari
jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”
Selagi
Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak rombongan
pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang tajam dengan alis berkerut.
“Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan pula?” Dia mengomel dan mengepal
tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan
diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa
dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.
Akan tetapi,
ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba dekat, mereka
melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan
gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.
“Gi-hu...!”
Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu
melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata
berseri.
“Syukurlah...
aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”
Sementara
itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao,
apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”
Jenderal itu
menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya
terdengar penuh penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang dapat memaksa saya
untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja
dan saya ikut menyatakan berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan
diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama
seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa
tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan
bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”
“Jenderal
Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak
membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku
bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan.”
“Jangan
khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai ke Bhutan
dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau
ingin kembali ke Bhutan?”
Puteri itu
mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu.
Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu
kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...”
“Ahh, mana
mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat
mengantar sendiri, tapi dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke
Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau
melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu
sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai
seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari
kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku
ini.”
Syanti Dewi
merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan
selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat
telinganya, “Bibi... jangan biarkan Paman Gak merana...”
Dan sambil
terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian membalapkan kuda itu,
diiringi oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao
diiringi oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata
Jenderal Kao yang merasa kehilangan.
Dua orang
gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara
sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment