Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 10
MEREKA
maklum bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman, dan ibunya adalah bekas panglima besar wanita
Puteri Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak menjadi kaki tangan kedua orang
Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani main-main di
depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing
puteri itu agar bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba
salah. Maju menghadapi mereka berarti merendahkan derajatnya, kalau tidak
berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!
“Kami hendak
mencari Pulau Es karena kami tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa
Majikan Pulau Es adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!” jawab
Sun Giam.
“Akan
tetapi, sebelum melihat sendiri, bagaimana kami dapat percaya?” sambung Yauw
Siu. “Hanya kabarnya, banyak pula muridnya berada di kota raja, maka apa
salahnya kalau ada muridnya yang mau mencoba-coba dengan kami agar dari
kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula tingkat gurunya? Kami adalah dua
orang baru yang tidak tahu apakah benar di kota raja ada murid Pendekar Super
Sakti Majikan Pulau Es yang terkenal itu.”
Tentu saja
Yauw Siu cukup cerdik untuk melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka
tidak tahu menahu tentang Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri
Pendekar Super Sakti berada di tempat perjamuan itu karena kalau demikian
halnya, tentu Puteri Milana yang cerdik langsung merasa curiga dan menduga akan
adanya pancingan dan jebakan.
“Biar aku
menghajar mereka!” kata Panglima Han Wi Kong dan isterinya mengangguk.
Tadi Puteri
Milana telah menyaksikan gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa
mereka berdua itu hanyalah memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa
yakin bahwa suaminya akan dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan
kasar itu menyinggung nama ayahnya tanpa dia melakukan sesuatu, tentu akan
mencemarkan nama dan kehormatannya.
Akan tetapi
kalau dia turun tangan sendiri juga merupakan hal yang tidak baik karena dia
adalah seorang puteri cucu Kaisar dan puteri Pendekar Super Sakti, amat
rendahlah untuk melayani dua orang jagoan kasar! Berbeda lagi kalau Han Wi Kong
yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas seorang pengawal kaisar yang
kini turun tangan menghadapi mereka yang menantang-nantang semua orang gagah di
kota raja!
“Manusia-manusia
sombong! Biar akulah yang akan menghadapi kalian!” bentak Han Wi Kong yang
sekali melancat sudah berada di depan kedua orang itu.
Sun Giam dan
Yauw Siu cepat menjura dengan hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah
Pangeran Liong Bin Ong sambil berkata, “Harap Paduka Pangeran berkenan dan sudi
mengampunkan permohonan hamba berdua. Hamba berdua tentu tidak berani sembarang
mengangkat tangan menghadapi para tamu yang terdiri dari para pembesar dan
bangsawan agung. Oleh karena itu, kami baru berani mengangkat tangan kalau yang
datang ke gelanggang ini menganggap diri sendiri sebagai seorang kang-ouw,
seorang ahli silat tanpa membawa-bawa kedudukannya.”
Sebelum
Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah
membentak, “Aku takkan membawa kedudukanku karena aku pun bekas seorang
pengawal! Aku maju karena ingin menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!”
Han Wi Kong cukup mengerti untuk tidak membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu
Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengaku bahwa dia maju sebagai seorang
bekas pengawal, jadi atas namanya sendiri.
“Bolehkah
kami mengetahui nama besar paduka?” Yauw Siu bertanya.
Tentu saja
dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa laki-laki gagah ini adalah suami
Puteri Milana, akan tetapi dia ingin memancing agar dari mulut laki-laki ini
keluar sendiri pengakuannya. Akan tetapi Han Wi Kong sudah terlalu marah, dan
menjawab dengan bentakan nyaring, “Tidak perlu aku memperkenalkan nama kepada
kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku! Hayo majulah kalian berdua!”
Sun Giam
berseru, “Ehh...! Maju berdua? Benarkah kami disuruh maju berdua?”
Han Wi Kong
bukan orang yang sombong atau sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka
maju berdua secara berbareng adalah karena tadi dia sudah menyaksikan
sepak-terjang mereka dan merasa yakin akan dapat mengalahkan mereka berdua, apa
lagi dia ingin cepat merobohkan mereka yang sombong ini, tidak usah mereka
disuruh maju satu demi satu!
“Ya, majulah
kalian berdua mengeroyokku. Aku ingin menguji kepandaian kalian yang
sesungguhnya tidak patut menjadi pengawal seorang pangeran!”
“Bagus!
Engkau yang menyuruh sendiri, Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan
membunuh, jangan persalahkan kami.”
“Dalam pibu,
membunuh atau terbunuh adalah soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi?
Majulah!”
“Awas
serangan. Hiaaaatttt...!” Sun Giam sudah menyerang.
“Haiiittt...!”
Yauw Siu juga menyusul dengan pukulannya yang dahsyat.
“Hemmm...!”
Han Wi Kong menggeram dan cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis
dengan kedua lengannya.
“Dukkk!
Dukkk!”
Tubuh Han Wi
Kong tergetar akan tetapi pukulan kedua orang lawannya juga terpental.
Diam-diam Han Wi Kong terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang
ini ternyata mempunyai tenaga sinkang yang sangat kuat! Mengapa tadi mereka
tidak memperlihatkan tenaga sinkang ini? Di dalam otaknya segera dia mencari
dan mengerti bahwa kedua orang ini telah menjebaknya! Tadi mereka sengaja
berpura-pura sebagai ahli-ahli silat biasa saja dan menyembunyikan kepandaian
asli mereka dan dia sudah terjebak! Dua orang ini ternyata bukan orang
sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan akan hal itu karena kini mereka
telah mainkan ilmu silat yang amat aneh, cepat, dan kuat sekali!
Wajah Puteri
Milana juga berubah agak pucat. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun
dapat melihat perubahan yang terjadi pada kedua orang jagoan itu. Dan
gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas tampak olehnya bahwa mereka bukanlah
jagoan-jagoan kasar seperti semula setelah melihat sepak terjang mereka tadi.
Kiranya mereka adalah ahli-ahli yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian
mereka di balik sikap kasar dan ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!
Puteri
Milana menjadi serba salah. Memang, di dalam tahun-tahun pertama pernikahan
mereka, dia telah menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu
kepandaian suaminya sudah meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan
dahulu sebelum menjadi suaminya. Namun, suaminya tidak memiliki dasar untuk
menjadi seorang ahli ilmu silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih sinkang
dari Pulau Es. Maka kini bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada
dalam keadaan terancam! Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya
masih dapat mengimbangi, akan tetapi dikeroyok dua!
Memang
demikianlah sebenarnya! Dua orang itu bukanlah orang sembarangan dan tadi
memang mereka berpura-pura, mengeluarkan ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan
menjebak. Sebenarnya mereka adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian
tinggi dan sudah lama menjadi tangan-tangan kanan dari Raja Muda Tambolon,
yaitu raja muda kaum pemberontak di perbatasan barat yang sedang merongrong
Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw
maka mereka sama sekali tidak terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki
oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Tadinya,
untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan orangnya
atau namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga Siang
Lo-mo, sepasang kakek kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di luar
dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo ketika tiba di kota raja telah
bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo bertemu
dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal selama ini sebagai ‘orang sakit yang
lihai’.
Karena
peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong kemudian tidak berani dan tidak jadi
menggunakan kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang Lo-mo pula
yang mengusulkan kepada Liong Bin Ong untuk mengundang Yauw Siu dan Sun Giam,
dua orang di antara para pembantu Raja Tambolon.
Untuk
menjaga nama keluarga isterinya, yaitu para penghuni Pulau Es, juga untuk
menjaga nama isterinya dan dirinya sendiri, biar pun maklum bahwa kedua orang
itu merupakan dua orang lawan yang terlalu tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak
menjadi gentar dan dia sudah menerjang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan
mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun dua orang lawannya dapat
mengelak dan menangkis dengan cepat, bahkan langsung membalas dengan
serangan-serangan dahsyat yang kembali membuat Han Wi Kong terhuyung ke
belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari depan itu.
Segera
berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga orang itu, disaksikan
oleh banyak pasang mata dengan tegang. Diam-diam suasana tegang itu ditimbulkan
oleh perasaan bahwa di dalam pertandingan ini seolah-olah terjadi persaingan
antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak Milana serta Perdana Menteri Su!
Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa diantara kedua
pihak itu memang terdapat permusuhan atau persaingan terpendam! Dan kini,
seolah-olah kedua orang jagoan itu mewakili pihak Pangeran Liong Bin Ong,
sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili pihak isterinya, Puteri Milana dan
Perdana Menteri Su.
Tentu saja
yang merasa paling tegang dan gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam
dia merasa menyesal mengapa tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan
memasuki jebakan pihak Pangeran Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam.
Dia adalah seorang yang amat cerdas, maka setelah berpikir sejenak maklumlah
dia bahwa sesungguhnya yang diserang adalah dia!
Suaminya
tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin Ong yang menjadi paman kakek
tirinya itu, akan tetapi dia tentu saja dianggap musuh oleh pangeran tua itu.
Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan untuk memukul dia! Mulai merah kedua
pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat syaraf di tubuhnya menegang,
siap untuk membela suaminya.
Dia merasa
kasihan sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa.
Bertahun-tahun dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun
mereka sebetulnya hanyalah merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa
tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara suami dan isteri di dalam
hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan hal
ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan hanya
mengakui isterinya secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik isterinya!
Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam kamarnya, melainkan dua orang
selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani suaminya itu!
Biar pun
tidak ada hubungan kasih di dalam hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana
menganggapnya sebagai seorang sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu
saja dia merasa gelisah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan
dia sudah mengambil keputusan untuk melindungi suaminya dari bahaya.
“Yaaahhh!”
Tiba-tiba
Han Wi Kong yang sudah terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan
nyaring, tubuhnya menerjang dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya
dikepal dan menghantam ke arah muka dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali!
Milana
terkejut menyaksikan gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya
pertahanannya, walau pun terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang
pengeroyoknya untuk merobohkannya. Tetapi agaknya suaminya itu tidak mau
didesak terus dan kini mengeluarkan jurus nekat yang ditujukan kepada seorang
di antara dua orang pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah bertekad untuk
merobohkan salah seorang lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan
kedua. Milana maklum akan isi hati suaminya, yaitu bahwa biar pun suaminya
roboh, setidaknya telah dapat merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah
akan terlalu memalukan.
“Heiiiittttt...!”
Yauw Siu berteriak, kaget juga menyaksikan serangan yang hebat ini. Dia
mencelat mundur dan ketika lawan terus mengejar, dia juga melonjorkan dua
lengannya dan bertemulah kedua tangannya dengan kepalan tangan Han Wi Kong.
“Desss...
bukkk...!”
Yauw Siu
kalah tenaga karena memang dia sedang mundur. Begitu kedua tangannya bertemu
dengan tangan lawan, dia terlempar dan terjengkang, akan tetapi pada saat itu
juga, Sun Giam sudah menerjang dari samping dan pukulannya yang amat keras dan
ditujukan kepada leher Han Wi Kong, meski pun sudah dielakkan oleh Han Wi Kong
dengan jalan miringkan tubuh, tetap saja masih mengenai pundaknya, membuat
bekas panglima pengawal ini roboh pula!
Yauw Siu dan
Sun Giam kini melompat ke depan, agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada
lawan yang sudah rebah miring dan belum sempat bangun itu, apa lagi Yauw Su
yang menjadi marah karena tubuhnya masih tergetar oleh pertemuan kedua
tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas dan nyeri karena dia terjengkang dan
terbanting.
“Plakk!
Plakk!”
Dua orang
jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung ke belakang. Mereka terbelalak
memandang puteri cantik yang sudah berdiri di depan mereka yang tadi menangkis
kedua tangan mereka yang sudah diayun untuk menghantam Han Wi Kong, tangan
halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin seperti es dan membuat mereka
menggigil dan terhuyung ke belakang.
“Bedebah!
Kalian manusia curang, setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang
terluka? Tunggulah sebentar!” kata Puteri Milana dengan nada suara dingin
sekali, lalu dia memapah suaminya kembali ke kursinya.
Setelah
melihat bahwa luka suaminya tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang
pundak, dia lalu membalikkan tubuh hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan
tetapi betapa heran hatinya ketika di tengah tempat pibu itu kini telah muncul
dua orang pemuda remaja yang menghadapi Yauw Siu dan Sun Giam sambil
tersenyum-senyum mengejek! Dan banyak tamu yang berbisik-bisik dan ada yang
bertepuk tangan memuji karena ketika Milana sedang memapah suaminya tadi, dari
tempat duduk para tamu di samping melayang dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua
orang pemuda itu telah berdiri di depan Sun Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat
yang indah inilah yang menarik perhatian para tamu.
“Siapakah
mereka?”
“Dari mana
mereka datang?”
Pangeran
Liong Bin Ong sendiri terkejut dan bingung, akan tetapi melihat bahwa yang
muncul hanyalah dua orang pemuda yang masih remaja, dia percaya bahwa dua orang
jagoannya itu akan dapat mengatasi mereka.
Sun Giam
yang tinggi kurus bermuka kuning itu sudah meloncat ke depan dan matanya yang
sipit menjadi makin sipit seperti terpejam ketika dia membentak marah,
“Bocah-bocah lancang, mau apa kalian datang ke sini?”
Dua orang
pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu yang setengah memaksa kakaknya untuk maju
di gelanggang itu, dengan mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Saat tadi
melihat Puteri Milana tiba-tiba maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju
menghadapi dua jagoan dan yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang
penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu.
Mereka
dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka
tidak ingat lagi. Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki
ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang
menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan
tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu.
Sekarang
melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke
kursinya, Kian Bu berbisik kepada kakaknya, “Lee-ko, dia itu adalah Cihu (Kakak
Ipar)!”
“Ah,
benar...! Cihu telah terpukul oleh mereka!” kata Kian Lee.
“Dan Enci
Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!” Tanpa menanti jawaban Kian Lee,
Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka
berdua kini berhadapan dengan Sun Giam dan Yauw Siu.
Kian Bu tahu
bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam
itu, maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi. “Siapa
adanya kami bukan hal yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah
siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan
pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal,
karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!”
Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda
tampan yang suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang
jagoan yang demikian kosen, yang telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal
Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga
amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.
“Setan
cilik, apa kau sudah bosan hidup?”
“Setan gede,
kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira
kami tidak tahu bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main
curang, mana kalian mampu menang menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam
kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongos pun tidak patut,” kata
Kian Bu.
“Wah,
pantasnya menjadi apa, Adikku?” Kian Lee bertanya membantu adiknya.
“Jadi apa,
ya? Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet
di pasar, menjadi penjahat besar pun tidak patut!”
Tentu saja
makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda
yang masih remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja
menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati mereka menjadi tegang dan bertanya
tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.
Yang paling
marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak
mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang
memiliki kekuasaan di antara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka
kini dimaki dan dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti
dibakar rasanya.
Akan tetapi,
di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik dan mereka menahan
kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang
pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak boleh
bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu mereka
sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina
mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa
tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini adalah
putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun Giam
lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia
menoleh dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.
“Mohon
paduka mengampuni hamba berdua!” katanya lantang. “Tanpa perkenan atau perintah
paduka, hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang
pemuda ini telah menghina hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal
paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula.
Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan
perkenan paduka!”
Tadinya
Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang
bahwa kedua orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai
suami Milana dan mungkin akan berhasil membikin malu puteri yang menjadi
musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas merupakan
pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!
Tentu saja
girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih
terpaksa menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal
kedua orang pemuda itu, takut kalau kesalahan tangan. Sekarang, setelah
memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu saja hati mereka menjadi
besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
“Bocah-bocah
lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami
adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa diketahui
siapa ayahnya!” kata Yauw Siu dengan lagak sombong karena dia kini tidak
khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran
Liong Bin Ong.
Semua tamu
termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar
biasa pada kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh
perhatian karena dia pun ingin sekali mendengarkan siapa gerangan dua orang
pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin
Ong! Namun, diantara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani
mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau
terancam bahaya maut di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja
tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela dia, atau membela nama Pulau
Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.
Sementara
itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang
dengan matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah
tertawa riang dan mendahului kakaknya menjawab, “Kalian adalah she Yauw dan she
Su, dan ketahuilah bahwa kakakku ini bernama Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul
Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)!
Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun?”
Jawaban yang
tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati
dua orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami
Puteri Milana yang terluka tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan
kekhawatiran karena mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang
sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang
pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung.
Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun
tidak mengenal takut itu.
“Bocah
setan! Kau sudah bosan hidup!” Sun Giam dan Yauw Siu membentak, lalu keduanya
menerjang dan menyerang Kian Bu.
“Heeiiitt...!
Eiiittt...!” Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan
mempermainkan, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian.
“Kiranya kalian ini benar-benar hanya tukang-tukang pukul kampungan yang
beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu
kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku
pula?”
Wajah kedua
orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh,
akan tetapi baru sekarang mereka merasa dipermainkan oleh seorang anak-anak!
“Kalian juga berdua, majulah!” teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia
pun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang bocah!
“Eh-eh,
nanti dulu!” Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga
sekaligus menahan kakaknya yang sudah bersiap-siap hendak menerjang Yauw Siu.
“Katanya kalian adalah orang-orang gagah, maka sekarang di depan begini banyak
tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian merupakan dua jago tua dan kami
adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih sedap
ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu!
Betul tidak?”
“Betul...!”
Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.
“Hushhh!” Sun
Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh
kata-kata bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa di antara para
tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan itu.
Yauw Siu
yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju. “Baik, mari kita bertanding satu
lawan satu!” bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.
“Nanti dulu,
kau tidak sabar amat!” Kian Bu berkata sambil tersenyum. “Lawanmu adalah
kakakku, ingat? Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau!
Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih
dulu, baru engkau.”
“Setan!
Siapa pun di antara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan
sendiri!” teriak Yauw Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Heiit,
sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo,
engkau orang she Sun, kau hadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!”
Sun Giam
lebih pendiam dari pada kawannya, dan juga ia tidak kelihatan menyeramkan
seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang
berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, bermuka kuning dan
matanya sipit ini memiliki keahlian yang sebetulnya lebih berbahaya
dibandingkan dengan Yauw Siu.
Kalau Yauw
Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah
seorang yang bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot),
sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh.
Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi
menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian
mereka berdua itu tidak ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam
berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun
itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.
Sun Giam
orangnya pendiam, namun menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan
yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tidak dapat menahan
kemarahannya. “Baik, bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu
agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus, nyawamu jangan
penasaran dan menyalahkan aku!”
Setelah
berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya hingga
tampaklah kedua lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu
tertawa, “He-he-he-he, kedua lenganmu kecil sekali seperti kayu kering yang
lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi
patah-patah nanti!”
Kembali
terdengar suara orang tertawa. Biar pun semua orang masih ragu-ragu apakah
pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun
setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada
dua orang jagoan itu menjadi senang.
Akan tetapi
suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika
mereka melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan
berbentuk cakar dan terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari
tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah
menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.
Milana
menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu,
semacam tok-ciang (tangan beracun) yang mengandung sinkang kuat dan berbahaya
karena beracun! Dia mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat
kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh
lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam sudah melatih semacam pukulan
beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan
Beracun Hijau) yang dahsyat!
“Wah-wah,
kiranya engkau pandai main sulap. Tentu dulu kau adalah seorang penjual obat yang
suka main di pasar-pasar, bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak
kebetulan aku tidak membawa uang kecil!” berkata Kian Bu sambil menyeringai.
Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, dia pun mengenal kedua tangan itu, akan
tetapi dia memandang rendah.
“Bocah
sombong, terimalah pukulan mautku!”
Sun Giam
sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya
maju tanpa diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara “syet-syet!” dan kedua
lengannya sudah bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak
keras,
“Huiii...!
Wut-wut-wut-wut!”
Empat kali
beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok
dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, lalu
tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram ke
arah bawah pusar. Tiap serangan merupakan cengkeraman maut yang bisa merenggut
nyawa seketika.
“Aihh...!
Wuusss... plak-plak-plak...!”
Dengan
gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak kemudian menangkis tiga kali dengan
tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan tetapi semua tangkisannya tepat
membuat kedua tangan lawan terpental.
“Sayang
luput...! Desss...!” Kembali dia menangkis hantaman ke arah mukanya dengan
tangan kiri, lalu tangan kanannya menampar ke depan.
“Plakk...!
Aughhh...!”
Sun Giam
terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan
ditangkis, bahkan tahu-tahu pipi kirinya sudah kena ditampar keras sekali
sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya
berdenyut-denyut panas! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.
“Wah, mukamu
menjadi hitam sebelah!” Kian Bu menggoda. “Mari biar kutampar yang sebelah lagi
agar tidak menjadi berat sebelah!”
Bisinglah
keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda
nakal itu dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan
dengan cara semudah itu, seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah
diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak memiliki
kepandaian apa-apa.
Sun Giam
mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Tubuhnya mencelat lagi ke
depan, sekali ini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai
kelihatan menjadi amat banyak saking cepatnya kedua tangan itu bergerak
mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi dan saling
susul-menyusul.
“Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt...!
“Aihhh,
lagi-lagi hanya kena angin belaka!” Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan,
berputaran, seperti menari-nari dan dengan gerakan yang aneh menyelinap ke
sana-sini namun selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.
“Mampuslah!”
Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, kaki kanannya melayang
ke arah bawah pusar Kian Bu.
Kalau
tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang
pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli dalam
ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali
Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar aneh
memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiap-siap
lagi untuk membantu.
“Wirrrrr...!”
Tendangan
itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu
seolah-olah tidak melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia
menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat di sebelah kanan tubuhnya,
tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan
kirinya menyambar ke depan.
“Plakkk!”
Kembali Sun
Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi
kanannya yang kena ditampar.
“Nah,
sekarang barulah berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang
dara cantik yang segar, he-he-heh!” Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan.
Para tamu
yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada pula yang bertepuk tangan.
Sun Giam
menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal
ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Bukan hanya dapat menangkis
tangan beracunnya tanpa terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan
yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat
dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun
Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya,
terasa tergetar hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang amat
luar biasa! Dia maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu
saja.
Dia tidak
sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka
sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan
dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor
harimau kelaparan yang menubruk kambing.
Kembali banyak
orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan
bertepuk tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau
dia tidak tahu betapa dirinya terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan
lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan
sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya.
Namun tentu
saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu
sendiri. Dia dapat melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan
lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia
pun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua
tangan lawan dan berbareng dia mengangkat lutut kirinya ‘memasuki’ perut lawan.
“Ngekkk...!”
Biar pun Sun
Giam sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat perutnya keras dan kebal,
namun hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung
membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah
menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan,
menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu,
sikunya menyambar ke depan.
“Croott...!”
Siku itu
mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi
tenaga lweekang sekuatnya, maka biar pun batang hidung itu tidak remuk, akan
tetapi getaran pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!
“Aughhh...!”
Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya,
yang satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang
berdarah.
“Bocah
setan...!” Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.
“Heiii...!
Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!” Kian Bu mengelak ke sana ke mari
dengan cekatan sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat
kosong.
Namun Yauw
Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking
marahnya terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar
panjang itu bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya
yang hitam menjadi makin hitam dan matanya melotot lebar menyeramkan.
Melihat
betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya
berdiri tersenyum. Tentu saja seratus persen ia tahu bahwa orang kasar itu sama
sekali bukan tandingan adiknya. Biar ada sepuluh orang seperti itu belum tentu
akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan membiarkan
adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!
“Wah...
eiiittt... Koko, bagaimana ini?” Kian Bu masih mengelak terus.
“Ambil saja
untukmu, biar aku menonton saja!” jawab Kian Lee.
“Begitukah?
Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu
akan hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!”
“Keparat...!”
Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya
tidak ada jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak.
Dan pemuda
ini pun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan ia memapaki, menyambut terkaman
itu, kedua tangannya didorongkan ke depan sehingga... tubuh tinggi besar itu
seperti daun ditiup angin, terlempar ke samping dan terbanting keras.
Yauw Siu
terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang
dirasakannya hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat
dingin. Akan tetapi dia merasa penasaran. Cepat dia meloncat berdiri dan
menerjang lagi bagai angin puyuh, mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan
tendangan.
Kian Bu
mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah ia mengelak dengan jalan meloncat
ke belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi
bingung dan terbelalak memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa
para penonton karena mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi
mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah
berada di belakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum.
Mendengar
suara ketawa dari para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya
memandang liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia
membalik dan...
“Plak-plak!”
kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang.
Tepuk tangan
menyambut ‘kemenangan’ pemuda itu. Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong
memandang pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para
pengawalnya.
Yauw Siu
sangat terkejut dan semakin marah. Biar pun dia kini juga maklum bahwa dia
berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya
membuat dia nekat.
“Srattt...!”
Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di
pinggangnya.
“Singgg...
wir-wir-wirrr...!” Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi
melibat pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di
kedua ujungnya.
“Mundurlah,
Bu-te!” Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu
benar-benar tak tahu diri. Betapa pun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan
melihat kenekatan dua orang itu yang telah mengeluarkan senjata, dia cepat
melompat maju.
Kian Bu
meloncat ke belakang. “Celakalah kalian sekarang,” katanya mengejek kepada dua
orang jagoan itu.
Akan tetapi
dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu.
Melihat bahwa sekarang pemuda kedua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan
sikap tenang sekali namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan
dan mata yang tajam itu memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju
menggerakkan senjata masing-masing tanpa peduli lagi akan teriakan-teriakan para
tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
Han Wi Kong
yang pundaknya sudah dibalut dan sejak tadi memandang kagum, kini hendak
bangkit dari tempat duduknya. “Si keparat tak tahu malu!” desisnya. Akan tetapi
tiba-tiba tangan Milana menyentuh lengannya.
“Biarkan
saja...”
“Apa...?
Kedua orang anak muda itu terancam...”
Milana
menggelengkan kepala. Mulutnya tersenyum dan matanya bersinar, wajahnya
berseri-seri. “Apakah kau tidak juga dapat menduga siapa mereka? Apakah kau tidak
mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan
Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu tadi?”
“Kian Bu...
ahhh dan yang satu itu...?”
“Kian Lee,
siapa lagi?”
Han Wi Kong
memandang terbelalak dan dengan penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee
menghadapi dua orang lawan bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua
gulungan sinar senjata itu datang menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee
berkelebat mengelak di antara dua gulungan sinar senjata itu, gerakannya cepat
sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi bentuk tubuhnya, hanya bayangannya
saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar dua kali teriakan keras, dua batang
senjata itu terlempar dan dua orang jagoan itu terlempar dan roboh terbanting!
Kian Lee
telah berdiri dengan sikap penuh wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua
tangan bersedakap dan ia menghardik, “Kalian masih berani menjual lagak lagi di
sini?”
Dua orang
jagoan itu merangkak bangun, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian mereka
saling pandang dan membalikkan tubuhnya.
“Tunggu...!”
Kian Bu mencelat dari tempat dia berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua
orang itu. “Tadi kalian melukai orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan
pergi begitu saja tanpa dihukum!” Kedua tangannya bergerak cepat menyambar ke
depan.
Kedua orang
jagoan yang masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka
jauh kalah cepat.
“Krek-krek!
Krek-krek!” Dua orang itu jatuh berlutut, kedua tulang pundak mereka telah
dipatahkan oleh jari tangan Kian Bu yang hendak membalaskan orang gagah yang
tadi patah tulang pundaknya.
“Nah,
pergilah kalian!” bentaknya.
Dua orang
itu mengeluh, menggigit bibir, memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit
berdiri dan pergi cepat meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan
gerak langkah yang amat lucu. Kaki mereka melangkah cepat setengah berlari,
tetapi kedua lengan mereka tidak dapat berlenggang, hanya tergantung lumpuh di
kanan kiri tubuh.
“Tangkap
kedua orang pengacau itu...!” Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak
memerintah sambil menudingkan telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan
orang pengawal bergerak maju mengepung dengan senjata di tangan.
“Ehh, ehhh,
kenapa kami hendak ditangkap?” Kian Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat
duduknya.
“Kalian
mengacau!” Pangeran itu membentak pula. Dia pun telah melihat betapa banyak di
antara para tamu menggelengkan kepala tanda tidak setuju kalau dua orang muda
itu ditangkap.
“Ahh! Ahh!
Jadi kami yang mengacau?” Kian Bu berteriak pula tanpa takut sedikit pun. “Dua
orang jagoan kampungan tadi telah mengeluarkan tantangan dan penghinaan
terhadap Pulau Es. Siapa pun tahu bahwa Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super
Sakti! Pendekar itu adalah mantu dari Yang Mulia Kaisar dan ayah dari Puteri
Milana yang hadir di sini sebagai tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar
orang yang menghina mantu Kaisar malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa
yang mengacau?”
Mendengar
ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang
pemuda remaja itu terdengar oleh semua orang dan hampir semua orang
mengangguk-angguk membenarkan.
“Siapa
kalian?” bentaknya.
“Sebagai
putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja kami tidak membiarkan
orang-orang macam mereka itu menghina Pulau Es.”
“Kian Bu...!
Kian Lee...!” Milana tak dapat menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah
bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pemuda yang serta merta berlutut di
depan Milana itu.
“Enci
Milana...!” Mereka berkata hampir berbareng.
Milana
tertawa dan sekaligus mengusap air matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk
mereka, menarik mereka ke ruangan tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka
kepada Pangeran Liong berdua dan para tamu.
“Mereka
adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dari Pulau Es!”
Melihat
keluarga yang saling bertemu itu bergembira dan disambut oleh para tamu dengan
girang, dua orang Pangeran Liong saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja
mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu
Kaisar sendiri, apa lagi karena semua tamu tadi jelas menyaksikan betapa dua
orang pemuda itu mengalahkan dua orang jagoan yang dianggap menghina Pulau Es.
Para tamu berbondong datang dan menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang
telah bertemu dengan dua orang adiknya yang gagah perkasa.
Dengan
alasan kedatangan dua orang adiknya, Puteri Milana dan suaminya yang terluka
pundaknya itu bergegas meninggalkan tempat pesta, pulang ke istana mereka
sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah tulang pundaknya itu memperoleh
perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan diri untuk beristirahat di
kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya bercakap-cakap sampai
semalam suntuk.
Tidak ada
habis-habisnya mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama
sekali dengan penuh kerinduan hati Milana ingin mendengarkan segala hal
mengenai Pulau Es. Ketika dia mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek
kembar yang pernah dilawannya di rumah penginapan itu ternyata pernah pula
menyerbu Pulau Es dengan kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan
dengan penuh kekhawatiran dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata
dibantu oleh orang-orang pandai.
Beberapa
hari kemudian, setelah membawa dua orang adiknya menghadap kepada Kaisar,
Milana lalu memberi tugas kepada kedua orang adiknya yang dia tahu memiliki
kepandaian yang cukup tinggi untuk menjaga diri dan untuk menunaikan tugas
rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu pergi ke utara, menemui Jenderal
Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di kota raja, mengajak Jenderal Kao
yang amat setia dan yang menguasai sebagian besar pasukan itu untuk mengerahkan
pasukan menumpas pemberontak-pemberontak tanpa menanti perintah Kaisar lagi
karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh para pangeran yang menjadi saudaranya
sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka merencanakan pemberontakan.
Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk mendahului gerakan pemberontakan
dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum sempat bergerak itu.
***************
Tengah malam
telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu
benteng mengantuk dan mereka berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun
besar. Perang antara dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan
kehangatan yang membuat orang cepat mengantuk, apa lagi setelah bertugas
menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran besok pagi.
Banyak di antara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada
yang berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar
gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat.
Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat?
Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki
benteng?
Kelengahan
para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak
seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka
meloncat ke atas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap di
antara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan
dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.
Dua sosok
bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan
berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap di antara
bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka,
jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal
akan keadaan di situ.
Tentu saja
demikian karena seorang di antara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang
seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang
dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak.
Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara
terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng
memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk
menyelidik.
Sudah tentu
saja andai kata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan
mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal
itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akan kedatangannya, tentu panglima
yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka
mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat
pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi
komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan
langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin.
Akhirnya,
Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana
Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, kelihatan
panglima itu marah-marah.
“Kalian
sungguh-sungguh tidak ada gunanya!” Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia
memaki seperti itu. “Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka.”
“Kim-ciangkun,
apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan
diam-diam berusaha lagi untuk...”
“Jangan
sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan
kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang
ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andai kata
dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini.”
“Bagus
sekali siasatmu, tetapi rahasiamu sudah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat
hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!”
Bentakan
suara Jenderal Kao yang sangat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua
orang yang tengah berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba
bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di
situ memandang mereka dengan sinar mata berapi.
Kim Bouw Sin
tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana dan bercaping
lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa
rahasianya telah terbuka, maka dia cepat berseru, “Bunuh mereka!”
Sebelum
menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa di antara belasan orang itu
terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua
orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun
Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin,
tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu.
Yang
lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi ketiga
orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi yang penting sekali
akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti
dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan
menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.
Aba-aba yang
dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua
yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia
lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian
panglima itu. Sungguh pun kebanyakan di antara mereka tidak ada yang mengenal
laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana
itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan
Jenderal Kao. Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun
Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw
Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari
menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.
Pada saat
itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah
perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan
tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin
yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi
melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha
menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya
bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing,
berputar-putar seperti gasing dan lantas menyambar ke arah lutut kedua orang
yang melarikan diri itu dari belakang.
“Crak-crakkk!”
Dua orang
itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki
mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat
bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang
masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng.
Caping itu
memang dilemparkan dengan gerakan pergelangan tangan yang istimewa sehingga
berputar amat cepatnya. Maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam
keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu
membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang
kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng
melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.
Dengan
tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak. Ketika dia melihat
capingnya melayang kembali, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, dan lalu
menyambar benda itu untuk terus dipakai di atas kepalanya dan mulailah dia
menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.
Jenderal Kao
yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin bersama kaki tangannya, mengamuk hebat.
Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, sehingga lenyap
bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata
tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah
berhasil merobohkan dua di antara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang
mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki
kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.
Gan Bun Beng
yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apa
lagi membunuh, merasa ngeri juga, maka dia mengambil keputusan untuk cepat
mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari
dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa
sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah
angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah
delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik
melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang
mengandung hawa dingin luar biasa itu.
Kemudian
tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk. Dengan beberapa
kali menggerakkan tangan dan kakinya, maka robohlah seorang panglima pembantu
dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah
mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum dan juga girang
sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun Kim
Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia
roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh
jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!
Melihat
robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok segera menjadi jeri dan cepat
melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak untuk minta bantuan.
Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang
bersenjata lengkap.
“Gak-taihiap,
lekas bawa dua orang itu!”
Bun Beng
sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan
datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang
tentara? Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang
dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti
Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari
ruangan itu melalui jendela.
Terdengar
suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun
Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng
sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
“Mari kau
ikuti aku!” Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap
rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara!
Dengan
kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga
menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit
Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi
terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Hai, para
penjaga! Aku Jenderal Kao kini datang untuk membasmi pemberontakan dan
pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda supaya seluruh prajurit
berkumpul!” dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak,
kemudian menambahkan. “Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin
kubunuh semua di sini?”
Para penjaga
itu menjadi ketakutan, apa lagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak
berdaya. Dua orang di antara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur
tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah
mulai tiba, biar pun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi.
Para
prajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali,
cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di
bawah menara. Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang
penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan
simpang-siur oleh para prajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang
sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada
hubungannya dengan berita kekacauan itu.
Karena sudah
terlatih, dalam waktu singkat saja semua prajurit telah berkumpul rapi di
lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan
masing-masing. Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang
pun panglima yang hadir. Dari tempat itu dia dapat melihat jelas karena para
prajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor
untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu
sebagai panglima-panglima di benteng itu. Tiga orang di antara yang lima itu
ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi,
Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut
memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri?
Setelah
semua prajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang
setengah pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua prajurit karena
di bagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi
bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang
terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua prajurit itu.
Melihat
munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa
bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua prajurit
dan di bawah menjadi bising.
“Semua
tenang...!” Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika
keadaan menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.
Hati
jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa
belum semua prajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang
menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa
dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara
menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia
datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan
benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan.
Akan tetapi
sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan
ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para prajurit yang kebingungan
baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang
muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan
hormati.
Setelah
melihat semua prajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara
dan suaranya menggema dari atas menara, “Para perwira dan para prajurit yang
gagah perkasa! Di antara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat
menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin, juga
menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah
berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan
rendah!”
Jenderal itu
berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia
menyambung, “Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana?
Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat
sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga
sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang
terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat
malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki
tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya
terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng. Oleh karena itu, kalau kalian
mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal
Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap
berdosa. Bagaimana pendapat kalian?”
Hening
sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini
maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para prajurit ini
sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan
diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang prajurit itu!
“Hidup
Jenderal Kao...!”
“Basmi
pemberontak...!”
Gak Bun Beng
bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian
jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya sehingga semua kebisingan
yang di bawah berhenti.
“Yang
memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka
sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan
tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua
orang itu?”
Terdengar
jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira, “Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun
telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!”
“Ahh!”
Jenderal Kao Liang berseru. “Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!”
Dari bawah
terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam
rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang
laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya
banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat
menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
“Kwa-ciangkun
dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw
Sin?” Jenderal Kao bertanya.
“Kami berdua
menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami
disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati
dari pada harus memberontak,” jawab Kwa-ciangkun.
“Para
perwira dan prajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang
prajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun
sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!”
Kembali
terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para prajurit yang merasa
beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw
Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka
melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka
yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para
pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur
memberontak, menghadapi pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima
seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur!
Jenderal Kao
lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru.
Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi
‘kuliah’ kepada para prajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao
dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki
tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu
ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari
menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu
panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh
diri!
“Ahhh...
saya yang ceroboh, Panglima!” Bun Beng berseru menyesal. “Mestinya mereka itu
kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi.”
“Tidak
mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah
yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga
mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting
adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu
sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut.”
Jenderal Kao
lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak
Bun Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang
membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng,
karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke
bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya
mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar
mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam
hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu
untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Rasa
persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang
perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk
berkuda berdampingan, tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini
Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya.
Di dalam
pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan
liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya
di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dahulu
dibawanya di perbatasan itu....
Di waktu
keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung,
ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak
itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao telah
mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari, mengarungi
padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat
diketemukan kembali bahkan mayatnya pun tidak! Setelah terjadi peristiwa
menyedihkan itu, ia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa
yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di
dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang
luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak
tentu kuburnya itu.
Ada pun Gak
Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata
selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar
dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang
berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti
Dewi kepada jenderal itu. Dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi
selengkapnya, seperti yang diketahuinya.
“Saya merasa
kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib
membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir dan batin. Tidak hanya dia
terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua
yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa
pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini
belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih
lagi setelah tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu
Ceng, adik angkatnya.”
Mendengar
disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa
betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolong dirinya
itu! Tidak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah
mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng
yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang
akan tewas!
“Memang
kasihan sekali dia...” katanya, sudah tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan
dengan ‘dia’, puteri itukah atau Ceng Ceng.
“Maka saya
mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima
gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya
menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kau antarkan dia kepada Puteri
Milana...”
“Hemm,
kenapa kepada Puteri Milana?” Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.
Bun Beng
menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja. “Siapa lagi yang
dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai
seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu?
Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa
tenang.”
“Baiklah,
Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga
orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan
senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai
ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana.”
Gak Bun Beng
seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri.
“Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!”
Jenderal Kao
memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan
berkata, “Gak-taihiap, engkau memutar balikkan kenyataan dan demikianlah memang
sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku,
kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah
urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi... hemm, sungguh aneh sekali... aneh
sekali...!”
Gak Bun Beng
yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya
heran, “Apakah yang aneh, Kao-goanswe?”
“Taihiap,
pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?”
Bun Beng
memandang dengan hati penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu
menanyakan ini, lalu mengingat-ingat, dan akhirnya menggeleng kepalanya.
“Dan kurang
lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?”
“Shen-yang
dekat kota raja?”
Jenderal itu
mengangguk.
“Tidak
pernah, Goanswe. Belasan tahun ini saya mengembara di gunung-gunung dan
dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar.”
Jenderal Kao
Liang mengangguk-angguk. “Sudah kuduga demikian... tetapi menurut berita,
namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si
Jari Maut...”
“Aihhh,
dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari
Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya dengan saya, Kao-goanswe?”
“Saya
sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali,
lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih
muda, akan tetapi engkau pun belum tua benar, Taihiap.”
“Hemm, tentu
dia orang lain. Apakah pekerjaannya?”
“Dia
merampok, membunuh, memperkosa...”
“Ahhh...!”
Bun Beng mengerutkan alisnya. “Kalau begitu halnya, tentu hanya ada dua
kemungkinan.”
“Maksudmu,
Taihiap?”
“Pertama,
memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang
sama dengan saya. Kedua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja
hendak merusak nama saya. Akan tetapi, yang mana pun kenyataan dari kedua
kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe.”
Jenderal itu
mengangguk-angguk. “Saya lebih condong menduga kemungkinan kedua, Taihiap.
Seorang pendekar lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok
dengan golongan hitam dan kaum sesat, oleh karena itu tidaklah aneh kalau ada
yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu.”
Gak Bun Beng
menggelengkan kepalanya perlahan. “Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah
belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya
akan melakukan penyelidikan.”
“Berita itu
mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan
kota raja. Ke sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap.”
“Baik, hari
ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi.”
Setelah tiba
di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu
tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun
Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan
berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh
pergi semua.
Cepat Bun
Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang
sedang duduk menutupi muka dengan sapu tangan yang basah air mata. Agaknya
puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama
dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu
memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru
sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam
suntuk tidak meninggalkan taman itu!
“Dewi...!”
Sapu tangan
basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak menengok,
lalu dia meloncat, berlari menghampiri sambil mengeluh panjang, “Paman...,
ahhh, Paman...!” Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di
atas dada pendekar itu.
Bun Beng
mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan
memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih, “Aih, Dewi, kau
kenapakah? Semalaman engkau berada di taman dan engkau... menangis? Apa yang
menyusahkan hatimu? Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra
Dewi?”
Syanti Dewi
terisak-isak dan semakin mempererat pelukannya, kemudian melepaskan
rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum tetapi kelihatan
makin mengharukan.
“Maafkan
aku, Paman...! Tentu saja aku masih terus berduka kalau teringat kepada Adik
Candra, akan tetapi semalam aku... aku cemas sekali memikirkan Paman...”
Bun Beng
tersenyum dan kembali jantungnya bagai ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara
ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin
terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa
hati Gak Bun Beng, apa lagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di
situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini,
seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana
kini dibelokkan ke arah Syanti Dewi!
Bun Beng
memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya. “Dewi, kau lucu sekali. Mengapa
mengkhawatirkan aku?”
“Ada dua hal
yang membuat aku merasa khawatir sekali sehingga membuat aku menangis, Paman.
Sampai saat ini pun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada
hal kedua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman
akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada
hal kedua...” Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.
“Ada apakah,
Dewi? Katakanlah kepadaku.”
“Aku... aku
khawatir... bahwa Paman... Paman akan meninggalkan aku...”
“Ah, Dewi,
mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu?”
Syanti Dewi
mengangkat muka, lalu memegang kedua lengan pendekar itu. Wajahnya berseri, matanya
bersinar penuh harapan. “Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman,
berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak
akan saling berpisah!”
Bun Beng
menghela napas panjang. “Aihhh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau
mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya? Biar pun
engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya
adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada
ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan
engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak
sendiri...”
“Tidak...!
Aku ikut denganmu, Paman.”
Bun Beng
menggeleng kepala. “Aku seorang yang hidup sebatang kara, tidak tentu tempat
tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut?”
“Biar! Aku
akan ikut ke mana pun engkau pergi!”
“Perjalanan
hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka...”
“Aku tidak
takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman.”
“Akan tetapi
hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa,
tidak ada hubungan keluarga dan...”
“Siapa
bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman?”
“Maksudmu...”
“Tidak
terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat di antara kita, ikatan
batin yang amat kuat? Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa?
Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat
melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia
di samping Paman? Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa
di antara kita?”
“Maksudmu...?”
“Maksudku...?”
Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan
tetapi pandang matanya bersinar-sinar. “Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa
aku gelisah kalau Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit?
Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi,
Paman? Perlukah...?” Syanti Dewi tersedu.
Wajah Bun
Beng berubah pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini.
Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.
“Kau...
kau...?”
“Aku cinta
padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu...”
“Aku tahu...
aihh, Dewi... aku tahu... tapi...”
“Paman...!”
Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu.
Bun Beng
juga memeluk gadis itu dan mengelus rambutnya. Mukanya ditengadahkan, menghadap
ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, tetapi dia merasa ngeri
untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama
mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tidak
bergerak seperti telah berubah menjadi arca.
Ketika
Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu
bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun
Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!
“Paman...!”
Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa.
Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah
perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis!
Gak Bun Beng
memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi
dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau, “Syanti
Dewi, engkau duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan
membiarkan perasaan mencengkeram hati kita.”
Dengan
pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya, lalu duduk di atas
bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka hanya
saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng
berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali, “Dewi, aku merasa berterima
kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik
jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang
laki-laki seperti aku yang miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir
tua...”
“Paman Gak
Bun Beng! Apakah cinta kasih itu juga harus disertai usia dan kedudukan
seseorang?”
“Tentu saja
tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada
perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan
kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah
bangsawan, dan...”
“Cukup,
Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis
yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman... dan
aku... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman.”
“Dewi...!
Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga
aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan melanjutkan perjalananku,
melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk
menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan
aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan
mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi...”
Gak Bun Beng
sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan
menubruknya, erat memegangi lengannya sambil menangis. “Jangan, Paman... Jangan
tinggalkan aku... ahhh, jangan tinggalkan aku... aku tidak akan kuat
menanggungnya...”
Bun Beng
menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat
keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati
seperti diremas-remas rasanya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan
kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!
“Jangan
begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi,
sekarang juga. Nanti Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal
engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat
mengantar engkau kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar...”
“Paman...
Paman Gak... apakah Paman tidak cinta kepadaku?”
“Demi
Tuhan... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah
engkau seorang, Dewi. Namun, ngeri aku membayangkan untuk mencintaimu dengan
disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku... ahhh... agaknya luka di
hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita... pengalaman
yang lalu... ahhh, kau pasti mengerti, Dewi. Betapa pun juga, kalau ada orang
yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia... ah, kiranya orang itu
hanya engkau, Dewi...”
Gak Bun Beng
memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu,
kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan
rangkulannya dan meloncat pergi. Dalam sekejap mata saja ia lenyap dari
pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan
jiwa yang menggetar, “Selamat tinggal, Dewi...!”
“Paman
Gak...!” Syanti Dewi menjerit dan berlari ke sana ke mari mencari-cari, namun
pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah,
berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu
menumpahkan duka hatinya seperti itu, sampai dia lupa waktu.
“Syanti
Dewi, anakku... mengapa engkau berduka seperti ini?”
Syanti Dewi
mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di
situ, mendengar bahwa jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan
menyebutnya ‘anakku’, hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.
“Paman...!”
Serunya sambil berlari ke depan, lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan
jenderal itu sambil menangis.
Jenderal Kao
Liang mengangkatnya bangun, membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas
dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah
terhadap anaknya.
“Tenanglah,
anakku. Janganlah meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi
kepergian Gak-taihiap, bukan?”
Tanpa
menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata,
“Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut
dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara
seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau
menggunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau
khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan.
Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali.”
Sambil
menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali ke dalam rumah
sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia
tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao
Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!
“Apakah
engkau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan?” Jenderal Kao Liang
bertanya.
“Tidak, saya
ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!” jawab Syanti Dewi dengan tegas.
Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri
Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri
itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur
Puteri Milana!
“Baiklah,
Syanti Dewi. Tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu
sekarang. Aku sudah menyusun laporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban
pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba,
tentu aku diharuskan menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan
kepada Puteri Milana.”
Terpaksa
Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu
mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah
menjatuhkan hatinya itu.....
***************
Kita
tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang merana dan menderita kesengsaraan batin
sebagai akibat cinta pertama itu dan kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu
Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah
tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok Mo-li.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika
Siang Lo-mo datang menuntut diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa
sayang di dalam hati nenek lumpuh yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap
Ceng Ceng.
Dengan penuh
kesungguhan hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng,
terutama sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga
dalam waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang ‘gadis
beracun’ yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa
pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan
racun ke dalam seluruh anggota tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan
tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan
dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula!
Dengan amat
tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang mengerikan
itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat sehingga
jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam sumur maut.
Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam sendiri kepada
Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan harapan agar
kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek kembar yang
lihai itu.
Bahkan
catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang diberikan kepada Siang Lo-mo
yang mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, telah diperlihatkan dan
diserahkan kepada Ceng Ceng untuk dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja
menjadi ahli dalam ilmu silat beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam
racun sehingga dengan tuntunan kitab catatan kecil itu dia bisa menyembuhkan
segala macam keracunan!
Selain memperoleh
ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang
dari gurunya, sebatang pedang yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam
racun yang bermacam-macam, lama, dan amat jahatnya. Pedang ini yang tadinya
merupakan sebatang pedang pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh
Ban-tok Mo-li telah diubah menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan
dan oleh nenek itu diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun).
Tiga bulan
lewat dengan cepatnya dan pada suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah
berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan
mencari-cari jalan rahasia dari mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia
memeriksa terowongan di mana dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia
yakin bahwa tentu di sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia.
Dia sudah
hampir setiap hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding
terowongan itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu
cukup tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya
agak kasar karena batu-batunya menonjol. Kalau pintu rahasia itu tidak berada
di kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit
terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol, lalu
mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di langit-langit,
kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain, kemudian dengan kedua
tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk, mendorong atau menarik batu-batu
menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu.
Tiba-tiba
jantungnya berdebar tegang ketika sebuah batu menonjol yang dipegang tangan
kirinya ketika dia dorong bergerak sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari
tempat berpijak yang kuat, kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu
menonjol itu.
“Kraaakkkk...!”
terdengar suara batu bergeser dan tampak sebuah lubang yang bergaris tengah
hampir satu meter terbuka di langit-langit terowongan itu!
Ceng Ceng
hampir bersorak girang. Tentu saja sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak
dapat menemukan pintu rahasia ini karena nenek yang bernasib malang itu telah
lumpuh kedua belah kakinya. Dia tidak dapat menggunakan lagi kakinya itu,
sedangkan rahasia pintu terowongan itu hanya dapat ditemukan kalau orang
menggunakan kedua kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan
agaknya ini pula yang menjadi satu di antara sebab mengapa dua orang kakek
kembar itu membikin lumpuh kaki Ban-tok Mo-li.
Dengan hati
girang sekali Ceng Ceng lalu meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan
pedang Ban-tok-kiam pemberian subo-nya, kemudian dia lari kembali ke bawah
pintu rahasia itu. Akan tetapi baru saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat
ke atas memasuki lubang itu, tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang
melingkar di batu menonjol tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan
kaget Ceng Ceng mendengar suara teguran subo-nya.
“Ceng Ceng,
kau hendak pergi ke mana membawa-bawa pedang dan kitab?”
Ceng Ceng
terkejut sekali. Dia maklum bahwa dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena
tidaklah mungkin baginya untuk pergi mengajak subo-nya yang cacad kedua kakinya
itu. Tanpa menjawab dia menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan
tetapi tiba-tiba tampak tubuh subo-nya yang merangkak cepat sekali datang dari
dalam.
“Heh-heh-heh,
aku tahu kau berada di situ, Ceng Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau
telah menemukan pintu rahasia itu, bukan? Heh-heh, jangan kau tinggalkan tempat
ini tanpa aku, muridku!”
“Tidak! Subo
harus tetap tinggal di sini, biar teecu yang keluar dan kelak teecu akan
membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!”
“Heh-heh-heh,
enak saja! Tidak, kau harus membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam
keadaan hidup!”
Ceng Ceng
maklum akan watak subo-nya yang amat kejam. Ancaman subo-nya itu tentu akan
dilaksanakan kalau dia tidak mau menurut, akan tetapi dia pun tidak mau
menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Keluar dari tempat itu bersama subo-nya bukanlah
kebebasan namanya. Subo-nya lihai sekali, sekali mereka keluar dari neraka di
bawah tanah itu, dia akan dipaksa untuk memenuhi kehendak subo-nya di bawah
ancaman maut.
“Tidak,
Subo. Teecu akan pergi sendiri!” Ceng Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan
pada saat itu dia tidak lengah, melainkan dengan waspada dia memandang ke arah
subo-nya.
“Kalau
begitu mampuslah!” Ban-tok Mo-li menggerakkan tangan kanannya, dan sebuah benda
bulat yang mengeluarkan sinar melayang ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan
hebat.
Ceng Ceng
terkejut. Dia maklum bahwa subo-nya memiliki senjata-senjata rahasia yang
aneh-aneh dan dia belum sempat mempelajarinya. Ia tidak tahu senjata rahasia
apakah yang dipergunakan subo-nya saat itu untuk menyerangnya, karena itu dia
mengambil keputusan untuk mengelak dengan jalan meloncat turun kembali karena
dia tidak berani menangkis atau menendang bola yang meluncur ke arahnya itu
sebelum dia tahu benda macam apa yang dipergunakan untuk menyerangnya selagi
tubuhnya melayang ke atas itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba ada bayangan meluncur dari atas menyambar ke arah bola yang melayang
itu. Ceng Ceng sudah bergantung ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah.
Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang meluncur itu adalah ular besar yang
dengan moncong terbuka lebar menyambar ke arah senjata rahasia berupa bola itu.
“Ular tolol!
Jangan...!” Ban-tok Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak.
Namun
terlambat! Ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi
ledakan keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang
terpaksa melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api
berkobar-kobar.
Terdengar
jerit melengking mengerikan dan Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia
meloncat turun sambil berteriak, “Subo...!”
Akan tetapi
gadis ini hanya berdiri bingung dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak
tahu harus berbuat bagaimana melihat subo-nya yang tertimpa ular itu kini juga
terbakar secara hebat! Melihat ular dan subo-nya bergulingan dan berkelojotan
tanpa dia mampu menolong sedikit pun, Ceng Ceng hanya memejamkan matanya, tidak
tega menghadapi peristiwa yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi
memasuki lubang terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang
ternyata amat panjang dan gelap itu.
Terowongan
yang gelap itu ternyata amat panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu
tidak tahu sampai berapa jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya
sampai terasa lelah, namun mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus
melanjutkan perjalanan yang sukar itu tanpa berhenti.
Setelah
melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, kadang-kadang terowongan itu
sempit dan licin basah, kadang-kadang melalui lantai yang penuh batu tajam dan
runcing, akhirnya dia berhenti karena jalan itu buntu. Selama menempuh
perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak itu, dia harus meraba-raba dengan
kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun dia meraba-raba dan mendapat
kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti dan buntu, di depannya adalah
dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang penuh dengan benda-benda
berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan di situ menjadi agak
terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas.
Hampir dia
berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia bangkit
berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah berjam-jam
merangkak terus! Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang cukup tinggi,
biar pun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur maut di mana
dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang, bahkan kini
terdengar suara-suara banyak orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan cepat
menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas.
Tampaklah
obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang
kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang
dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng
menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau
busuk, bau bangkai!
Hanya karena
dia sudah melatih diri dengan ilmu yang membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia
tidak begitu merasakan hal ini. Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh
sinar banyak obor di atas sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda
berserakan yang disangkanya batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan
tulang-tulang dan tengkorak manusia, barulah dia tahu bahwa tempat itu
merupakan gudang tulang-tulang manusia, bahkan ada tulang-tulang yang masih
belum bersih betul, masih ada sisa hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang
tentu saja berbau busuk sekali!
Ceng Ceng
memandang lagi ke atas. Agaknya terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu,
akan tetapi suara orang-orang itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk
tidak karuan. Tiba-tiba tampak oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia
mengangkat sesuatu kemudian melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu!
Dengan cepat Ceng Ceng merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri
karena dia sudah menduga benda apakah itu yang dilempar ke bawah.
“Bukkk!”
Benda itu
terbanting keras dan betul dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang
manusia! Dia tidak sempat melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang
jelas bahwa mayat itu telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang
berserakan di tempat itu. Keadaan kembali menjadi gelap pekat karena agaknya
orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan sumur.
Ceng Ceng
terpaksa merangkak mundur sampai belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan
menanti sampai terang. Jika dia mengingat-ingat akan waktu yang digunakan untuk
merangkak-rangkak tadi, dia dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat
tengah malam dan kiranya pagi tidaklah lama lagi. Dia lalu rebah terlentang di
dalam terowongan, beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi
dan terang, dan untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini
dari pada dasar sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat
manusia.
Tentu saja
Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia
ingin lekas-lekas dapat keluar dari tempat itu. Hatinya girang sekali ketika
sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke
dasar sumur, hatinya merasa jijik sekali melihat mayat telanjang seorang
laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam. Dia menujukan perhatiannya ke
atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya melihat ke bawah.
Tepat
seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan keluar karena terowongan
rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo. Dengan girang dia mendapat
kenyataan bahwa biar pun sumur itu dalamnya tidak kurang dari lima belas meter,
namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar dan penuh batu-batu untuk
injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Ceng Ceng merayap atau
mendaki naik dengan harap-harap cemas agar jangan sampai muncul orang yang
mengganggunya setelah dia tiba di luar sumur.
Ketika
akhirnya dia meloncat keluar, ternyata sumur itu berada di tengah hutan di
lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir lagi! Pantas saja kalau terowongan
itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke lereng bukit. Dan sumur itu adalah
sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar daerah ini mempunyai cara
penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat dalam keadaan telanjang
bulat ke dalam sumur ini!
Dia dapat
mengetahui hal ini karena di tepi sumur terdapat banyak papan-papan nama yang
ditancapkan di atas tanah, dan di situ terdapat pula bekas-bekas hio, agaknya
mereka menyembahyangi leluhur mereka di tepi sumur ini secara beramai-ramai.
Sumur ini merupakan kuburan bersama! Pantas saja Siang Lo-mo dapat menggunakan
sumur ini tanpa diketahui orang, karena orang lain tentu tidak ada yang berani
memasuki sumur yang dijadikan kuburan ini, yang tentu merupakan sebuah tempat
yang keramat!
Dengan
perasaan yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh seekor burung yang baru
terlepas dari sangkarnya, atau seekor harimau yang baru terlepas dari
kerangkeng, Ceng Ceng segera pergi dari tempat itu, menuruni lereng atau
memilih jalan menurun untuk keluar dari dalam hutan yang cukup lebat itu.
Biar pun
semalam suntuk tak pernah tidur dan baru saja mengalami ketegangan yang cukup
hebat, namun kelegaan dan kegembiraan hatinya dapat terbebas secara yang tak
disangka-sangkanya itu membuat wajah Ceng Ceng berseri-seri, dan segala yang
tampak di depan matanya, pohon-pohon dan batu-batu, bahkan rumput dan daun
kering, kelihatan amat indah dan menyenangkan hatinya. Ingin dia tertawa-tawa,
ingin dia bernyanyi-nyanyi, akan tetapi kadang-kadang dia berhenti dan
termenung, alisnya berkerut kalau dia teringat kepada gurunya. Betapa pun juga,
harus ia akui bahwa Ban-tok Mo-li yang kejam dan mengerikan itu telah
menyelamatkan nyawanya, bukan itu saja, bahkan nenek itu telah menurunkan
ilmu-ilmunya kepadanya. Kini nenek itu telah tewas.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment