Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 04
Akan tetapi,
ketika mereka tiba di tengah hutan yang subur itu, mereka tertegun melihat
seorang laki-laki sedang tidur di atas rumput, berbantal batu, kedua lengan
bersilang depan dada dan mukanya tertutup oleh sebuah caping besar bundar.
Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang makan rumput tak jauh dari
laki-laki itu.
Panglima
pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang di sepanjang perjalanan sudah menduga
akan datangnya penyerbuan pihak musuh, tentu saja menjadi curiga ketika melihat
laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa terlalu tinggi untuk menegur, panglima
itu memanggil lima orang prajurit yang sedang duduk tak jauh dari situ dengan
lambaian tangannya.
“Usir dia
pergi! Sang puteri berkenan hendak mandi di mata air ini,” katanya.
Lima orang
prajurit itu dengan sikap gagah, galak dan langkah lebar menghampiri orang yang
sedang tidur. “Heiii! Bangun! Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau
pergi dan pindahlah tidur di lain tempat!” bentak seorang di antara para
prajurit itu.
Akan tetapi
orang itu tetap tidur, sama sekali tidak bergerak.
“Haiiii!
Tulikah engkau?” bentak prajurit kedua.
“Apakah kau
sudah mati barangkali?” bentak prajurit ketiga.
“Tak mungkin
mati, lihat lututnya bergerak-gerak!”
Memang,
orang yang tertidur itu lutut kanannya terangkat dan kini bergerak, akan tetapi
terhenti lagi karena dibicarakan orang.
“Haiii,
petani...! Lekaslah bangun dan pergi. Apakah kau ingin diseret?” bentak pula
seorang prajurit.
Tetap saja
orang itu tidak mau bergerak.
Melihat ini,
seorang prajurit yang berkumis tebal memegang sebelah kaki orang itu, lalu
menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang melihat bahwa
si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak, bahkan
menggerakkan kaki itu pun dia tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang
ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya.
Teman-temannya menjadi heran, dan penasaran, kemudian maju bersama dan lima
orang itu membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka
mengeluarkan suara ah-ih-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang
yang dikeroyok lima ini tidak dapat digerakkan sedikit pun juga!
“Eh-eh,
apakah engkau minta dipukul?” Seorang prajurit membentak dan kuda orang itu
menjadi ketakutan melihat dan mendengar ribut-ribut sehingga binatang ini
melarikan diri agak jauh dari tempat itu.
Karena orang
itu tetap tidur dengan muka ditutup caping, lima orang prajurit itu menjadi
hilang sabar, malu dan penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang
yang tidur ini. Jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap
ringan dan hina. Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan
kalang kabut!
“Plak-plak-plak-duk-dukkk...!”
Aneh bukan
main. Tanpa menurunkan topi yang menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat
menggerakkan kaki tangannya menangkisi semua pukulan. Bukan saja
pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan lima orang prajurit itu akhirnya mundur
sambil meringis, memegangi lengan mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan
orang yang masih tertutup mukanya oleh caping itu!
“Hemmm...!”
Panglima sudah memegang gagang pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng
Ceng yang sekali melompat telah berada di dekat orang itu sambil berkata,
suaranya lantang penuh teguran, “Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa
tempat ini bukan hanya milikmu seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk
menyingkir karena ada wanita hendak mandi di sini!”
“Adik
Candra... jangan...!” Tiba-tiba sang puteri berseru dan sudah lari mendatangi
dan berkata dengan halus kepada orang yang mukanya masih ditutupi topi itu.
“Harap kau suka pergi dari sini dan setelah kami selesai mempergunakan mata air
ini, tentu saja kau boleh menempatinya lagi.”
Tubuh itu
bergerak-gerak sedikit, kemudian tangan kanannya meraba tanah, menepuk dengan
pengerahan tenaga dan tubuhnya mencelat ke atas punggung kudanya yang berada
agak jauh dari situ, kemudian kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap
kaki dan sedikit debu mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya
terbuka!
“Hebat...!”
Kakek Lu Kiong memuji dengan kagum.
“Mungkin dia
mata-mata musuh...” bisik panglima komandan pasukan yang segera pergi dan
memerintahkan para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan
itu.
Kakek Lu
Kiong mengerutkan alisnya, termenung dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata
kepada panglima itu, “Dia adalah seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia
memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat
wajahnya sebelum dia pergi. Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau
dia mata-mata musuh, tentu tidak demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki
kita dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Betapa pun juga, dia lihai sekali
dan kita harus berhati-hati.”
Juga
Tan-ciangkun yang diberitahu tentang orang asing bercaping itu jadi termenung.
“Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw, dan tentu saja banyak yang bercaping dan
berilmu tinggi. Mungkin saya dapat mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan
tetapi karena jelas tidak mengganggu, bahkan dalam bentrokan itu dia tidak
menewaskan seorang pun prajurit, kurasa dia tidak mempunyai niat buruk terhadap
rombongan kita.”
Sementara
itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi di mata air. Mereka membicarakan juga
laki-laki yang aneh tadi.
“Dia tentu
orang jahat. Kalau tadi dia tidak lekas menyingkir, tentu aku akan menghajar
dia!” kata Ceng Ceng yang merasa mendongkol juga karena orang asing itu
dipuji-puji dan orang itu mendapat kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya.
Memang dara ini memiliki watak yang kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan
dia paling tidak senang melihat orang memamerkan kepandaiannya.
“Ahhh, belum
tentu, adik Candra. Kurasa, melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat.
Buktinya, dikeroyok demikian banyaknya prajurit, dia tidak membunuh seorang pun
di antara mereka, padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia
mampu melakukan hal itu.”
“Hemm, dia
memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!” bantah Ceng Ceng masih tak
puas. “Kalau saja diberi kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya
kosong belaka!”
Maklum akan
watak adik angkatnya, puteri itu hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi
perihal orang aneh itu. Juga para tokoh dalam rombongan itu tidak bicara lagi
tentang orang aneh, dan orang itu hanya disebut-sebut dengan bisik-bisik di
antara para prajurit. Namun, peristiwa itu mempertinggi kewaspadaan rombongan
dan penjagaan dilakukan ketat malam itu. Karena para penjemput belum juga
muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan itu dengan membangun tenda-tenda
darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para pelayan wanita, tidur di dalam
kereta joli.
Malam itu
sunyi sekali setelah lewat tengah malam. Sebagian besar prajurit yang tidak
bertugas jaga, tidur nyenyak karena mereka memang sudah lelah sekali. Akan
tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap berjaga dengan penuh kewaspadaan di
tempat masing-masing. Perondaan dilakukan terus-menerus dari tempat penjaga yang
satu kepada tempat penjaga yang lain. Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan,
dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan mereka bercakap-cakap di dalam tenda
melewatkan waktu malam yang merupakan bahaya bagi mereka itu.
Di dalam
kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah
terbiasa dengan kamar yang serba lengkap, dengan pembaringan yang lunak
sehingga tidur setengah duduk di kereta joli merupakan hal yang sukar
dilakukan. Maka keduanya juga setengah berbaring sambil bercakap-cakap.
Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda
rahasia akan datangnya hal yang tidak mereka kehendaki. Setelah munculnya orang
aneh siang tadi, segala sesuatu kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir
mempermainkan daun-daun pohon saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan
siluman. Bayang-bayang pohon yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak
seperti bayangan raksasa! Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.
“Kulik!
Kulik! Kulik!”
Suara burung
malam itu terdengar jelas sekali karena suasana yang amat sunyi. Suara itu
memecah kesunyian dan Puteri Syanti Dewi menggerakkan kedua pundaknya.
Tengkuknya terasa dingin meremang.
“Ihhhh...
menyeramkan sekali...!” Bisiknya. “Adik Candra, hatiku terasa tidak enak
sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita?”
Ceng Ceng
juga merasa seram, namun dia menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum
lebar. “Apa yang dapat terjadi kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus
prajurit pilihan, enci Syanti.”
“Lima ratus
orang prajurit di tempat seperti ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra.
Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan ini sering kali muncul gerombolan yang
dipimpin oleh Raja Muda Tambolon yang biadab itu.”
“Siapakah
Raja Muda Tambolon yang terkenal itu, enci?”.
Syanti Dewi
bergidik. “Aku sendiri belum pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut
kabar, dia adalah seorang peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki
bertubuh raksasa yang amat sakti dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap
wanita.”
“Hemmm,
kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?”
“Hihh, aku
merasa ngeri baru mengingat cerita yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau
Tambolon sudah menyerang sebuah dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang
tidak mau menyerah, dan tidak ada seorang pun wanita yang dilepaskannya. Semua
kanak-kanak dibunuh, dan wanita dari usia empat belas tahun ke atas, semua
menjadi korban kebiadabannya. Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya
lima orang wanita tercantik untuk dia permainkan sampai bosan. Ada pun sisanya,
semua diberikan begitu saja kepada para anak buahnya dan terjadilah peristiwa
yang lebih mengerikan dari pada penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak.
Para wanita itu diperkosa di dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana
saja mereka ditemukan, bahkan di antara mayat-mayat suami dan atau
saudara-saudara mereka.”
“Keparat
jahanam!” Ceng Ceng mendesiskan kata-kata ini penuh kebencian.
“Dan beberapa
hari kemudian, wanita-wanita tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang
tawanan atau lebih tepat lagi, sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita
itu mati atau bunuh diri. Anak-anak yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak
menjadi anak buah gerombolan. Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil
kelahiran dari perbuatan biadab seperti itulah.”
“Hemm, kalau
begitu biarlah mereka muncul. Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu
dengan pedangku sendiri!” Ceng Ceng berkata lagi.
Tiba-tiba,
seolah-olah menjawab kata-kata Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi
berulang-ulang. Mula-mula suara itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul
dari selatan, timur dan utara. Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari
leher manusia, melainkan dari semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar
teriakan-teriakan dan kegaduhan hebat di luar kereta joli.
“Apa
itu...?” Syanti Dewi bertanya kaget dan mukanya pucat.
“Jangan
keluar dulu, biar aku yang memeriksa!” Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat ratusan anak panah berapi datang
bagaikan hujan menyerang tempat itu!
Di sana-sini
sudah terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para
prajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke
sana ke mari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan
pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan
kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan
dari empat penjuru itu.
Tak lama
kemudian, muncullah pihak musuh yang menyerang dari empat penjuru, dan terjadi
pertempuran yang amat hebat. Perang yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam
dan dahsyat, namun sungguh tidak menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka
sebagian besar baru saja bangun tidur, masih nanar dan agaknya pihak penyerang
lebih tangkas dan lebih biasa dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap.
Selain itu, segera didapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa jumlah musuh
luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak dari pada jumlah pasukan Bhutan yang
lima ratus orang itu. Juga di pihak musuh banyak terdapat orang-orang pandai
dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama dari Tibet, ada orang Turki yang
bersorban, orang Mongol dan juga orang Han!
Perang
tanding mati-matian itu terjadi sampai hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan
pedang di tangan melindungi Syanti Dewi yang juga memegang pedang. Ada beberapa
orang musuh dapat menyelundup masuk dan Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang
musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri yang selama hidupnya belum pernah
bertempur, apa lagi membunuh orang, terpaksa membunuh seorang laki-laki tinggi
besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka pucat dan tubuh menggigil
puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal di dalam perut korban itu
karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut pedangnya!
Tiba-tiba
kakek Lu Kiong datang dengan muka agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu
berlumur darah, dan mukanya penuh keringat. Pedang di tangan kakek ini pun
penuh berlepotan darah dan kelihatannya dia lelah sekali. Seperti juga para
prajurit dan para pimpinan, kakek ini telah ikut berperang dan mengamuk seperti
seekor harimau.
“Ceng
Ceng... cepatlah persiapkan diri dan tuan puteri! Kita harus melarikan diri,
pihak musuh terlalu kuat!”
“Apa?
Melarikan diri? Tidak, kongkong!” Ceng Ceng membantah marah. “Biarlah kita
melawan sampai titik darah terakhir!”
“Hushhhhh!
Kau kira kakekmu ini pengecut? Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita
harus menyelamatkan sang puteri!”
Barulah Ceng
Ceng teringat. Dia menoleh dan melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang
orang yang telah ditusuk perutnya dengan pedangnya itu. Orang itu masih
berkelojotan di depan kakinya!
“Bagaimana
kita bisa melarikan sang puteri, kongkong? Tempat ini sudah terkurung.”
“Cepat,
kalian berdua pakai pakaian ini dan mari ikut dengan aku!” Kakek Lu Kiong
memberikan dua stel pakaian petani kepada Ceng Ceng dengan nada memerintah.
“Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan tuan puteri. Ini sudah diatur
oleh kami, komandan pasukan, Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus
dapat mengawal dan menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!”
Dua orang
gadis itu tidak banyak membantah lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak
kebesaran itu, menutupi pakaian mereka sendiri, menguncir rambut seperti model
laki-laki, kemudian tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara
pohon-pohon gelap. Sang puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada
Ceng Ceng untuk membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung
baju yang lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di
bawah pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah
dicabut dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian
korban.
Akan tetapi,
di mana-mana mereka bertemu dengan pihak musuh dan beberapa kali terpaksa
mereka terpaksa membuka jalan darah dan merobohkan musuh untuk dapat
melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun, kakek Lu Kiong sedapat mungkin
menghindarkan diri dari pertempuran, memilih lowongan-lowongan untuk keluar
dari dalam hutan tanpa diketahui musuh.
Akhirnya,
setelah matahari pagi tersembul di antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah
berhasil lolos dan keluar dari dalam hutan di mana masih berlangsung perang
yang amat hebat itu. Suara pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru
saja hati ketiga orang pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan
memasuki sebuah hutan kecil di antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja
menyelingi gundukan perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima
orang sudah berdiri di depan mereka dengan golok terhunus di tangan!
“Ha-ha-ha-ha,
sudah kuduga tentu akan ada yang menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah
kalian ini anggota rombongan puteri... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan,
persis perempuan... heiiii, bukankah kalian perempuan?” Seorang di antara
mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan
goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.
“Ahhhh, dia puteri
Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!” tiba-tiba
terdengar teriakan seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima
orang itu cepat maju mengurung.
“Ha-ha-ha-ha,
benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam
jaring kita! Ha-ha-ha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali
kepada kita. Tangkap dia!” teriak si muka hitam, dialah yang agaknya menjadi
pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.
Si muka
hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek
Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.
“Plak-plak,
dess!”
Tiga orang
itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang,
sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.
“Tranggg...!
Cringgg...!”
Kakek Lu
Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biar pun dia terkejut sekali
karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar
hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sinkang
yang kuat sekali!
Melihat tiga
orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa.
“Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya...!”
“Mulut
busuk! Aku bukan pelayan!” bentak Ceng Ceng yang marah sekali dan dia sudah
menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha-ha,
tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja
Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!”
“Keparat!”
Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si
muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong
dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.
Tiga orang
anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan
Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua
orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi
kewalahan, betapa pun lihai ilmu silat mereka. Ceng Ceng mulai mendesak dengan
pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang
pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh
lawan itu!
Terdengar
teriakan keras. Ceng Ceng melihat kakeknya juga telah berhasil merobohkan si
muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya
ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya
sehingga bajunya penuh darah.
“Kongkong...!”
Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.
“Ceng Ceng,
jaga sang puteri...!” kakek itu berteriak.
“Wuuuutttt...
singgg...!” Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas
membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali
melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.
“Tringggg...
augghhh...!” Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan.
Ketika
menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia
kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas
dari bacokan golok. Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan. Namun
kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali
menangkis, lalu dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera
terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.
“Kakekmu
terluka... bantulah dia, adik Candra!” Syanti Dewi berkata sambil pedangnya
membacok ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.
“Tidak, kita
bereskan dulu dua ekor anjing ini!” Ceng Ceng berseru.
Dia mengerti
bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka ia cepat
memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara
ini. Dengan putaran pedang secepat kitiran, akhirnya ia berhasil menendang
roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai
sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.
“Singggg...!”
Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.
“Tranggg...!”
Orang yang
sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak
baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.
“Wuuttt...! Crottt!”
pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya.
Orang itu
mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah
muncrat-muncrat dari lehernya yang coba ditutupinya dengan telapak tangan.
Melihat ini, Syanti Dewi loncat mundur dan membuang muka dengan penuh
kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan
hatinya ini.
Ceng Ceng
mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini
menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga
kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia
berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.
“Robohlah...!”
Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan.
Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu,
menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.
“Kongkong...!”
Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung, lalu kakek itu roboh di
atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan.
Ternyata
kakek yang kosen ini biar pun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai,
menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai
dadanya sehingga dada itu terobek lebar!
“Kongkong...!”
Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya
terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang telah terluka
hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.
Kakek Lu
Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang
juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng. “Ceng Ceng, kau... kau
selamatkan puteri... harus. Sekarang juga... pergilah kau ke kota raja...
jumpai di sana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu. Lindungi puteri
dengan nyawamu sebagai... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia...”
Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.
“Kongkong...!”
Ceng Ceng
memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis,
walau pun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat. “Engkau benar,
kongkong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai
orang gagah, kongkong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu.” Dia melepaskan
pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara
mayat-mayat lima orang lawan tadi.
“Marilah,
enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!”
“Tapi...
tapi jenazah kakekmu...”
“Tidak apa!
Kongkong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang
melihat bahwa kongkong tewas di antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai
seorang pengawal perkasa! Marilah...!” Sekuatnya Ceng Ceng berusaha menahan
tangis karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat
kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan
datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.
Puteri
Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan
benda itu di leher kakek Lu Kiong. “Ini adalah kalungku sendiri, biarlah
sebagai tanda terima kasihku...” Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng
Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi
menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah
menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi
jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.
Demikianlah,
dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi
perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan
hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main
bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan.
Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa
kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur!
Mereka
membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau
mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka
terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan
mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa
sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena pihak musuh,
yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.
***************
“Lee-ko,
mari kita turun dari sini. Lihat itu sepasang rajawali kita beterbangan di atas
permukaan laut, agaknya tentu ada sesuatu terjadi. Mungkin ada ikan besar terdampar
ke pulau seperti dahulu!” kata Kian Bu sambil menudingkan telunjuknya ke bawah
puncak di mana tampak sepasang rajawali itu terbang rendah di permukaan laut.
“Ahh, Bu-te,
sekarang bukan waktunya bermain-main. Ingat, hari ini kita harus melatih sinkang
untuk menghimpun Hui-yang-sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang amat sukar.”
“Memang
sukar, Lee-ko. Tidak semudah ketika kita melatih Swat-im-sinkang.”
“Tentu saja,
untuk menghimpun Swat-im-sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) kita dibantu oleh
hawa dingin dan salju, sedang Hui-yang-sinkang adalah sebaliknya, menyalurkan
sinkang menjadi berhawa panas. Karena sukarnya, maka kita harus giat berlatih,
jangan terlalu banyak main-main. Marilah kita berlatih lagi, kurasa di dalam
goa itu sudah cukup panas, apinya sudah sejak pagi tadi menyala.”
Kian Bu
menghela napas kecewa, akan tetapi tidak berani membantah kakaknya dan mereka
memasuki sebuah goa di puncak itu. Kalau orang lain yang belum terlatih, baru
memasuki goa itu saja tentu tidak akan kuat bertahan. Di situ dinyalakan api
arang yang amat besar sehingga hawa menjadi panas luar biasa, baru masuk saja
terasa kulit seperti dibakar. Namun kedua orang pemuda yang sudah terlatih itu
seolah-olah mereka tidak merasakan hal ini. Mereka berjalan masuk dan duduk
bersila, mulai berlatih Hui-yang-sinkang.
Kedua orang
muda putera majikan Pulau Es ini memang selalu tekun berlatih silat semenjak
mereka dahulu tersesat ke Pulau Neraka dan terancam bahaya maut. Biar pun
mereka dapat terhindar dari mala petaka, bahkan pulang ke Pulau Es membawa
sepasang rajawali, namun keduanya maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih
belum mencukupi sehingga sekali saja keluar merantau hampir celaka, maka di
bawah gemblengan dan bimbingan yang amat keras dari ayah mereka, keduanya
berlatih setiap hari sehingga memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Akan tetapi
belum lama mereka melakukan siulian (semedhi) untuk berlatih sinkang, tiba-tiba
telinga Kian Bu menangkap suara rajawali yang melengking panjang. Dia membuka
mata memandang keluar goa. Tentu saja dari dalam goa itu dia tidak melihat
sepasang rajawali, akan tetapi kembali telinganya menangkap suara lengking
panjang dari sepasang rajawali itu.
“Lee-ko...!”
Kian Lee
membuka matanya memandang dengan cemberut. “Bu-te, mengapa kau belum juga
berlatih? Apa kau ingin mendapat marah dari ayah?”
“Lee-ko
dengarkan! Sepasang rajawali kita marah-marah, tentu ada sesuatu!”
Terpaksa
Kian Lee mencurahkan perhatiannya pada pendengarannya dan tak lama kemudian dia
mendengar lengking panjang dari sepasang rajawali mereka. Tak salah lagi,
memang sepasang rajawali itu sedang marah-marah. Hal ini amat mengherankan
karena kalau tidak terjadi sesuatu di Pulau Es, mengapa sepasang rajawali itu
marah-marah?
“Hemm,
mereka marah sekali. Entah apa yang sedang terjadi...,” kata pemuda yang bersikap
tenang ini.
“Mendengar
suara mereka, kalau tidak melihat dulu, mana bisa aku menyatukan tenaga untuk
berlatih? Aku mau melihatnya dulu, Lee-ko!” Berkata demikian, Kian Bu sudah
menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat keluar dari goa itu.
Gerakannya memang hebat sekali karena pemuda ini sudah memperoleh kemajuan yang
amat pesat.
“Tunggu,
Bu-te...!” Kian Lee juga meloncat dengan kecepatan yang sama.
Kedua orang
kakak beradik itu berlari cepat menuruni puncak dan ketika mereka tiba di pantai
tampaklah oleh mereka apa penyebab sepasang rajawali itu beterbangan rendah dan
mengeluarkan suara pekik kemarahan. Kiranya Pulau Es kedatangan tamu! Hal yang
luar biasa sekali karena selama mereka hidup di Pulau Es, baru satu kali ini
ada orang-orang asing yang datang di Pulau Es, menggunakan sebuah perahu besar
yang berlabuh di tepi pantai.
Kakak
beradik itu merasa heran sekali, apa lagi ketika melihat bahwa yang datang
adalah orang banyak. Ada dua puluh orang yang kini sudah mendarat dan mereka itu
berdiri di pantai, berhadapan dengan Suma Han dan kedua orang isterinya! Karena
ayah dan ibu mereka telah hadir, kakak beradik ini tidak berani bersuara, hanya
melangkah maju dan mendengarkan percakapan.yang baru berlangsung. Agaknya orang
tua mereka juga baru saja datang ke tempat itu menyambut para pendatang ini.
Dua puluh orang itu rata-rata telah berusia lanjut, paling muda empat puluh
lima tahun sampai ada yang sudah tua sekali. Akan tetapi yang paling menarik
adalah dua orang kakek yang berdiri di depan, karena mereka ini adalah yang
paling aneh di antara mereka semua.
Dua orang
kakek ini menarik karena wajah mereka serupa benar. Sukar membedakan dua wajah
itu yang bentuk dan garis-garisnya sama, bahkan rambut mereka yang panjang
terurai sampai ke leher juga sama. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat
menyolok pada pakaian mereka dan warna muka mereka. Yang seorang bermuka putih,
bukan pucat melainkan putih seperti dicat! Kakek ini memakai baju tebal dari
bulu, akan tetapi masih kelihatan seperti orang kedinginan, bahkan mukanya yang
lebar bulat itu, yang berwarna putih, agak kebiruan seperti orang menderita
dingin hampir beku.
Ada pun
kakek kedua merupakan kebalikan dari kakek pertama. Kakek kedua bermuka merah,
muka yang seperti orang kepanasan. Orang kedua ini hanya memakai celana sebatas
lutut dan sepatu, sama sekali tidak memakai baju sehingga tubuhnya yang agak
kurus dengan tulang iga menonjol itu kelihatan. Anehnya, biar pun berada di
Pulau Es yang dingin sekali, kakek ini masih kelihatan seperti orang kegerahan,
mengipas-ngipas tubuh atasnya yang telanjang itu dengan sehelai sapu tangan
yang sudah basah oleh keringatnya. Dan ini bukan hanya aksi belaka karena
memang lehernya selalu basah oleh keringat!
Delapan
belas orang yang lainnya terdiri dari empat belas orang kakek yang rata-rata
kelihatan aneh dan membayangkan ilmu kepandaian tinggi, dan empat orang wanita
berusia kurang lebih lima puluh tahun yang masing-masing membawa pedang di
punggung mereka. Empat orang wanita ini kepalanya dibalut dengan kain putih
seperti orang berkabung dan wajah mereka angker, penuh kebencian ketika mereka
memandang kepada Pendekar Super Sakti dan kedua isterinya. Melihat dari bentuk
pakaian mereka, jelas bahwa empat orang wanita ini bukanlah wanita Han, sungguh
pun wajah mereka seperti wanita Han biasa, akan tetapi pakaian mereka agak
lain. Dan memang mereka itu adalah wanita-wanita dari Korea, dan tergolong
tokoh-tokoh orang gagah di negeri itu.
Siapakah
kedua orang kakek kembar yang agaknya menjadi pimpinan rombongan yang secara
tidak terduga-duga datang mendarat di Pulau Es ini? Nama mereka tidak begitu
dikenal di dunia kang-ouw, karena memang kedua kakek kembar ini selama puluhan
tahun pergi meninggalkan dunia kang-ouw dan merantau di luar negeri. Mereka
adalah kakak beradik kembar, berasal dari Taiwan (Formosa) dan pernah mereka
menjelajah ke daratan besar dan membuat nama dengan ilmu kepandaian mereka.
Akan tetapi,
mereka berbeda haluan dengan suheng mereka yang mencari kedudukan dengan
menghambakan diri kepada Bangsa Mancu yang menduduki Tiongkok. Suheng mereka
kemudian terkenal sebagai Koksu (Guru Negara), yaitu Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun. Mereka berdua merasa kecewa melihat kakak seperguruan yang mereka anggap
sebagai pengganti suhu itu menghambakan diri kepada musuh, maka keduanya lalu
pergi meninggalkan daratan besar dan mereka berpencar untuk meluaskan
pengalaman dan memperdalam ilmu mereka. Yang tua pergi ke utara dan selama
puluhan tahun bermukim di daerah Kutub Utara yang amat dingin. Ada pun yang
muda merantau ke selatan, ke daerah panas di mana matahari lewat tepat di atas
kepala.
Beberapa
tahun yang lalu, kedua orang ini kembali ke daratan besar sebagai dua orang
lihai bukan main. Setelah puluhan tahun tinggal di dekat Kutub Utara, kakek
tertua menjadi putih mukanya dan selalu berpakaian tebal seperti yang biasa
dipakai orang-orang Eskimo di daerah Kutub Utara. Kakek ini kemudian terkenal
dengan sebutan Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Utara). Ada pun adik kembarnya,
sekembalinya dari daerah panas, menjadi merah mukanya dan selalu merasa
kegerahan dan tidak pernah berbaju. Dia kini dijuluki Lam-thian Lo-mo (Iblis
Tua Dari Selatan).
Biar pun
baru datang beberapa tahun saja, kelihaian mereka membuat nama Siang Lo-mo
(Sepasang Iblis) ini terkenal sekali, terutama pada golongan yang menentang
Pemerintah Mancu karena kedua orang ini pun terkenal anti kepada Kerajaan
Mancu. Memang aneh sekali keadaan kedua orang itu. Lajimnya, orang yang
selamanya tinggal di daerah dingin seperti Kutub Utara, kalau datang ke tempat
yang lebih panas tentu akan kegerahan, akan tetapi Pak-thian Lo-mo sebaliknya
malah, terus-menerus kedinginan! Demikian pula dengan Lam-thian Lo-mo, puluhan
tahun dia tinggal di daerah panas, semestinya kini dia akan merasa kedinginan,
akan tetapi biar pun berada di Pulau Es, dia masih terus merasa panas!
Sebetulnya
mereka tidak pura-pura dan yang menyebabkannya demikian adalah sinkang mereka.
Di Kutub Utara, Pak-thian Lo-mo melatih diri secara liar sehingga dia dapat
menghimpun inti tenaga yang mengandung hawa dingin. Memang hebat sekali tenaga
ini, namun akibatnya karena dilatih secara liar, dia selalu merasa kedinginan
dan harus memakai jubah tebal berbulu dan sering kali minum arak tanpa takaran
untuk menghangatkan tubuhnya, demikian pula Lam-thian Lo-mo yang telah melatih
dan menghimpun inti tenaga sakti yang amat panas sehingga tubuhnya selalu
terasa terlalu panas!
Ketika kakek
kembar ini mendengar betapa suheng mereka telah digagalkan semua usahanya
memberontak oleh Pendekar Super Sakti, bahkan kabarnya suheng mereka itu tewas
di Pulau Es, tentu saja menjadi marah sekali dan menaruh hati dendam kepada
Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Apa lagi ketika mendengar pendekar yang
menjadi musuh besar mendiang suheng mereka itu adalah mantu Kaisar Mancu,
kebencian mereka makin meluap-luap.
Mereka lalu
mengumpulkan kawan-kawan sehaluan, yaitu mereka yang menentang Pemerintah
Mancu. Di antaranya adalah keempat wanita dari Korea itu. Mereka itu adalah
kakak beradik dari Jepang yang telah menikah dengan perwira-perwira Korea.
Ketika suami mereka semua gugur dalam perang melawan pasukan Mancu, mereka
bersumpah untuk membalas dendam dan menggabung dengan mereka yang anti Pemerintah
Mancu sehingga akhirnya mereka dapat bekerja sama dengan Siang Lo-mo. Mendengar
bahwa Siang Lo-mo hendak mencari Pulau Es dan menyerang Majikan Pulau Es yang
menjadi mantu Kaisar Mancu, tentu saja mereka berempat menjadi girang dan
segera menyatakan hendak ikut membantu.
Empat belas
kakek yang lainnya sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang merasa
dirugikan oleh Pemerintah Mancu, ada pula yang ikut menyerbu Pulau Es
semata-mata untuk membalas dendam kepada Pendekar Siluman atau Pendekar Super
Sakti karena sahabat atau saudara seperguruan mereka pernah roboh di tangan
pendekar ini.
Suma Han dan
dua orang isterinya yang juga mendengar pekik sepasang rajawali dan melihat
sebuah perahu besar mendarat, sudah cepat menyambut dan kini mereka bertiga menanti
keluarnya dua puluh orang itu dari perahu. Sikap Suma Han dan dua orang
isterinya tenang-tenang saja sungguh pun mereka juga merasa heran sekali
melihat rombongan orang asing datang ke pulau mereka dan mereka bertiga sudah
dapat menduga bahwa rombongan itu tentulah bukan datang dengan iktikad baik.
Namun,
sesuai dengan wataknya yang tenang dan sopan, Suma Han mengangkat kedua
tangannya di depan dadanya sebagai tanda penghormatan, lalu bertanya dengan
suara halus, “Siapakah cu-wi (anda sekalian) yang telah mendarat di Pulau Es
dan apa gerangan keperluan cu-wi?”
Sejenak
kedua orang kakek kembar itu tak dapat menjawab, hanya mata mereka memandang
Suma Han penuh perhatian dan penuh selidik, memandang pendekar itu dari
rambutnya yang putih semua dan panjang sampai ke pundak sampai kakinya yang
tinggal sebelah. Akhirnya Pak-thian Lo-mo menghela napas panjang. Dia merasa
heran sekali dan hampir tidak percaya bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih yang kelihatannya lemah, tubuhnya sedang, kakinya tinggal yang kanan dan
rambutnya sudah putih semua, bersikap halus dan lemah lembut ini adalah
Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang demikian tersohor!
Dia
tersenyum dan dengan sikap tak acuh tanpa membalas penghormatan tuan rumah, dia
bertanya, “Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Super Sakti, Tocu dari Pulau
Es?”
“Kalau benar
demikian, kau mau apakah?” Lulu tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap
orang yang sama sekali tidak menghormat suaminya, padahal suaminya telah
bersikap sopan dan ramah.
Pak-thian
Lo-mo memandang pada Lulu dan mengangguk-angguk. “Hebat, aku sudah mendengar
bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri yang kabarnya lihai bukan
main dan bahwa yang seorang adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri! Apakah
engkau puteri kaisar itu?”
“Kakek tua
bangka yang tidak mengenal orang!” Nirahai membentak. “Akulah puteri kaisar
yang kau tanyakan. Engkau siapakah dan mau apa berlagak di tempat ini dengan
membawa banyak anak buah?”
Pak-thian
Lo-mo saling pandang dengan adik kembarnya, kemudian mereka berdua tertawa
bergelak. Kini Lam-thian Lo-mo yang menjawab, suaranya kering tetapi nyaring
sekali, “Eh, Pendekar Siluman! Kami hendak bertanya, apakah benar suheng kami
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di Pulau Es ini?”
Suma Han dan
kedua orang isterinya terkejut. Kiranya dua orang kakek kembar yang aneh itu
adalah sute-sute dari mendiang Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun! Jelaslah bahwa
kedatangan mereka ini mengandung niat yang tidak baik.
Namun suara
Suma Han masih tetap tenang ketika dia menjawab, “Benar, Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun tewas di tempat ini karena perbuatannya sendiri yang menyalahi
kebenaran.
“Kaukah yang
membunuhnya?” Pak-thian Lo-mo bertanya, suaranya penuh ancaman.
Sebetulnya,
Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun terjungkal dari tebing yang amat curam ketika
bertanding dengan Gak Bun Beng. Namun bukan watak Suma Han untuk menyebutkan
kesalahan orang lain hanya untuk melindungi dirinya sendiri, maka jawabnya,
“Yang membunuhnya adalah tingkah lakunya sendiri yang tidak benar.”
Pak-thian
Lo-mo mengangkat tangannya ke pinggang, bertolak pinggang dengan sikap angkuh
sekali. “Pendekar Siluman, dengarlah baik-baik! Kami berdua adalah Siang Lo-mo,
aku disebut Pak-thian Lo-mo dan dia ini adikku Lam-thian Lo-mo. Kami datang
untuk menuntut kematian suheng kami! Bukan itu saja, karena engkau adalah mantu
kaisar penjajah dan isterimu itu puteri kaisar, maka kami para patriot
bergabung untuk membasmi kalian dan mengambil Pulau Es ini sebagai sebuah
markas baru!”
“Iblis tua
bangka bosan hidup!” Nirahai sudah membentak marah sekali dan hampir berbareng
dengan Lulu yang juga marah, kedua orang wanita sakti ini sudah melompat ke
depan. Terjangan mereka disambut oleh Pak-thian Lomo dan Lam-thian Lo-mo yang
tertawa-tawa menghina dan memandang rendah kedua wanita itu.
“Dessss!
Desssss!”
Empat pasang
lengan saling bertemu dengan hebatnya, dan akibatnya, Nirahai dan Lulu
terlempar ke belakang sedangkan kedua kakek ini pun terhuyung! Melihat
ketangguhan kedua orang kakek Siang Lo-mo itu, Suma Han berkata kepada kedua
orang isterinya yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka, “Biarlah
aku menghadapi mereka.”
“Pendekar
Siluman, tibalah saatnya engkau menebus kematian suheng!” Lam-thian Lo-mo berteriak
keras.
Bersama
saudara kembarnya dia lalu menubruk ke depan dan dari kedua tangannya menyambar
hawa yang panas seperti api menyala, sedangkan dari kedua tangan Pak-thian
Lo-mo menyambar hawa yang dingin sekali. Namun Suma Han dengan gerakan tenang
sudah menggerakkan tongkatnya ke depan, dengan gerakan aneh tongkatnya berputar
seperti mencoret-coret huruf di udara.
“Plak-plak...!”
Secara aneh
sekali tahu-tahu tongkat itu telah memukul tepat mengenai punggung dua kakek
itu yang cepat melompat ke belakang, saling pandang dengan mata terbelalak.
Mereka kaget bukan main! Sama sekali mereka tidak mengerti bagaimana tongkat di
tangan si kaki buntung itu dapat memukul punggung mereka! Namun mereka tidak
menjadi jeri dan cepat tangan mereka meraba pinggang dan mereka melolos sabuk
mereka, yang ternyata merupakan sebatang senjata cambuk baja hitam!
Suma Han
merasa khawatir sekali di dalam hatinya. Kalau kedua orang kakek itu
menggunakan senjata yang dia dapat menduga tentu ampuh dan lihai sekali, maka
pertandingan akan menjadi sungguh-sungguh dan ada kemungkinan dia kesalahan
tangan dan terpaksa membunuh mereka untuk menyelamatkan diri. Biar pun dia
tidak merasa takut, namun betapa pun juga dia tidak menghendaki dia sekeluarga
terpaksa membunuh orang dan mengotori Pulau Es yang sudah beberapa kali
dikotori darah manusia yang terbunuh di situ akibat kejahatan-kejahatan mereka.
Selama puluhan tahun dia hidup damai, tenteram, dan aman bersama dua orang
isterinya dan kedua orang puteranya. Kini dia tidak ingin terjadi pembunuhan.
“Jiwi harap
bersabar. Apakah urusan ini tidak dapat diselesaikan dengan damai?” tanyanya
tenang.
“Pendekar
Siluman, jangan kau kira bahwa kami gentar menghadapi tongkatmu! Kami datang
untuk menantang engkau berkelahi!” bentak Pak-thian Lo-mo.
Suma Han
menahan napas. “Andaikata terpaksa berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita
hanya menggunakan tangan untuk mengukur siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu
menggunakan senjata?” Sambil berkata demikian, dia menancapkan tongkatnya di
depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan menggunakan tongkat itu sebagai senjata.
Dua orang
kakek itu saling pandang, dan sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja
hubungan batin mereka lebih erat dari pada orang lain sehingga dengan saling
pandang saja mereka sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing. Keduanya
mengangguk, menyelipkan cambuk di ikat pinggang, kemudian keduanya lalu
berpencar, menghampiri Suma Han dari kanan kiri.
“Engkau
hendak mengadu tenaga sinkang, ya?” Lam-thian Lo-mo berseru. “Baiklah! Nah, kau
terima pukulan kami ini!”
Kedua orang
kakek itu mengeluarkan suara menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian
mereka menggerakkan kedua lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian,
kedua lengan Lam-thian Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan
uap panas, sedangkan kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti
lengan mayat dan dari kedua lengan ini juga keluar uap dingin!
Kiranya
mereka sudah mengumpulkan dan mengerahkan sinkang istimewa masing-masing,
menyalurkannya ke dalam lengan dan tiba-tiba mereka berseru keras, memukul
dengan telapak tangan kanan terbuka ke arah Suma Han dari kanan kiri agak ke
depan pendekar berkaki tunggal itu.
Suma Han
maklum bahwa kalau dia tidak memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan
membuat lawan mundur dan dia tidak ingin kalau harus bertanding mati-matian,
maka diam-diam dia pun telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang istimewa.
Pendekar Super Sakti ini memang terkenal sekali dengan sinkang-nya, karena ia
telah menguasai dengan sempurna dua macam tenaga sinkang yang berlawanan, yaitu
Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hwi-yang-sinkang (Tenaga Inti Api).
Kini,
menghadapi dua serangan yang datang mengandalkan sinkang yang berlawanan, tentu
saja dia sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sinkang-nya, tentu akan sukar
menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sinkang yang berlawanan
itu, tetapi Pendekar Super Sakti dapat menyalurkan dua tenaga bertentangan itu
dalam satu saat, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sinkang menyambut
telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanan juga
mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.
“Dess!
Dess...!”
Pertemuan
tenaga mukjijat itu hebat luar biasa. Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang
yang ada di situ dapat merasakan getaran hawa panas dan dingin berselang-seling
sehingga beberapa orang anak buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh
kengerian. Selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia
kang-ouw, baru pertama kali itu mereka menyaksikan beradunya tenaga mukjijat
sehebat itu.
Dan
akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh kedua kakek kembar itu terlempar sampai
empat meter lebih. Mereka seperti daun kering tertiup angin, terhuyung dan
terguling-guling dan ketika mereka berdua dapat meloncat berdiri, tampak darah
merah menghias ujung bibir mereka! Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat
mereka terluka di sebelah dalam, sungguh pun tidak terlalu berat karena mereka
telah membiarkan diri mereka terdorong oleh tenaga lawan yang luar biasa
kuatnya.
Akan tetapi,
di lain pihak, biar pun Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi,
tidak bergeser selangkah pun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau
orang melihat ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak
ke dalam tanah sampai hampir selutut! Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek
kembar itu kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han
tertekan sedemikian rupa dan biar pun pendekar ini dapat mempertahankan, namun
tanah di bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam
tanah!
Tadinya
kedua kakek kakak beradik itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka melihat
keadaan lawan, hati mereka menjadi besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak
lebih baik dari pada keadaan mereka. Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih
berdiri dengan kaki tunggal menancap ke dalam tanah, kedua orang itu sudah
mencabut cambuk masing-masing dan dengan bentakan-bentakan nyaring mereka
menerjang maju.
“Tar-tar-tar-tar...!”
Cambuk hitam mereka meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala
Suma Han.
“Trak-trak-trak-trakkk!”
Tiba-tiba
tampak sinar bergulung-gulung dan kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas
tanah di depan kakek Pendekar Siluman, sekarang telah tercabut dan berada di
tangan kanannya. Biar pun kaki tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun
pendekar itu dengan tenangnya dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna
hitam dari kedua cambuk lawan. Ke mana pun ujung cambuk menyambar, tentu akan
terbendung oleh gulungan sinar tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu
api!
Di antara
delapan belas orang teman sepasang kakek kembar, empat orang wanita Korea itu
merupakan tokoh-tokoh terpandai. Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah
sudah terjebak, mereka mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan
ketika tangan mereka bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu
pedang samurai model Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu
panjang dan berat bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk
memegang gagang pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik
sambil berlari ke arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas
kepala mereka.
“Haaaiiiiikkkk...!”
“Trang-cring-cring-cring...!”
Empat orang
wanita itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka memandang dengan mata
terbelalak kepada Lulu dan Nirahai yang ternyata telah menghadang mereka dan
menangkis samurai-samurai itu dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang
Pek-kong-kiam yang bersinar putih, sedangkan Nirahai telah menggunakan
senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang payung. Merasakan tangkisan yang
membuat tangan mereka tergetar dan tubuh mereka terhuyung, empat orang wanita
Korea itu maklum akan kelihaian dua orang wanita isteri Pendekar Siluman itu,
maka mereka lalu serentak maju menyerang sambil mengeluarkan pekik-pekik
dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak maju, hendak mengeroyok Suma Han
dan dua orang isterinya.
“Lee-ko,
mari...!”
Kian Bu
sudah berlari ke medan pertempuran, diikuti oleh kakaknya.
“Manusia-manusia
jahat, berani kalian mengacau Pulau Es?” Kian Bu berteriak dan segera dia
menyerbu ke depan.
“Haiiiitt!”
“Hyaaaahhh!”
Kedua orang
pemuda itu mengamuk dan mereka ternyata hebat sekali. Biar pun mereka hanya
bertangan kosong, namun setiap pukulan mereka tentu mengenai seorang lawan yang
terjengkang atau terhuyung ke belakang. Biar pun mereka itu dapat bangun
kembali, namun amukan kedua orang pemuda ini membuat mereka menjadi kaget dan
panik. Apa lagi ketika terdengar lengking memanjang dari atas dan dua ekor
rajawali yang menyambar-nyambar dan mengamuk pula membantu dua orang majikan
mereka! Keadaan makin menjadi panik dan para pengeroyok itu kini sebaliknya
malah menjadi sibuk dan terdesak hebat!
Pertandingan
antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru, namun diam-diam
kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang berjuluk Pendekar
Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali kedua orang kakek
ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali lawan mereka yang
hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu lawan itu telah
menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka menyambarkan cambuk ke atas,
kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah menerjang dari belakang! Mereka
tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mukjijat,
yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu
kesaktian paling cepat gerakannya di dunia ini!
Diam-diam
Suma Han juga harus mengakui bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek kembar itu
hebat sekali, sinkang mereka kuat dan tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan
ahli-ahli silat yang sudah berhasil mengumpulkan inti sari segala gerakan ilmu
silat, diringkas dan dimainkan dasarnya saja sehingga mereka berdua merupakan
lawan yang amat ulet dan kuat.
Namun, andai
kata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka, tentu
saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau sedikitnya
melukai mereka. Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa jalan kekerasan
hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan kebencian yang tak
kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah.
Ketika Suma
Han mendengar bentakan kedua orang isterinya beserta kedua orang puteranya, dia
menengok dan terkejutlah hati Pendekar Super Sakti ini. Kedua orang isterinya
dan dua orang pemuda itu mengamuk seperti naga-naga marah. Dua orang wanita
Korea telah roboh dan tak dapat bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan
di antara empat belas orang itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah
tewas atau pingsan!
Celaka, dia
sendiri tidak mau turun tangan keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah
mengamuk seperti itu!
“Heiii,
tahan dan mundur kalian semua!” Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri
dan anaknya. “Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!”
teriaknya pula melihat betapa kedua ekor rajawali itu pun turut mengamuk hebat,
membuat para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan
cakar yang kuat.
Kedua
isterinya mengerutkan alis, namun mereka mengenal suami mereka dan tidak mau
membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka akan berduka sekali kalau sampai
keluarganya menggunakan kekerasan. Juga Kian Lee dan Kian Bu meloncat mundur
dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang sedang marah dan mengamuk itu.
Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena sepasang rajawali itu agaknya
telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali mencium darah, mereka menjadi
buas!
Akan tetapi,
sama sekali tidak disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan
menyuruh anak isterinya untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek
itu, dua orang wanita Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum
roboh, sudah datang lagi menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas
panjang. Sedih dia melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya
sehingga mereka itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!
“Siang Lo-mo
dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup? Lihat..., bukit itu
longsor ke sini...!” mendadak Suma Han berteriak keras, suaranya disertai
khikang dan mengandung tenaga sakti mukjijat yang bergema di seluruh tempat
itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana tampak bagian yang menjulang
tinggi seperti bukit es yang putih.
Sepasang kakek
kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata
mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu
pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju
ke tempat itu disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak
bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.
"Celaka...!
Cepat lari...!” Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang
pembantu yang terluka.
“Lari...,
bawa teman-teman...!” berteriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat
wajahnya.
Tentu saja
tidak perlu dikomando dua kali, karena mereka yang belum roboh menjadi pucat
ketakutan menyaksikan malapetaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang
tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari
dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu. Mereka cepat
menyambar teman yang terluka, lalu cepat lari ke arah perahu mereka,
berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut.
Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es.
Suma Han
menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua
kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, sekarang menengadah melihat ibu
mereka tersenyum. Keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata
tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan
melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam
tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!
“Untung
mereka dapat dikelabui...“ Suma Han berkata perlahan.
“Hemmm,
kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!”
kata Lulu.
“Mereka itu
tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?” kata
Nirahai, tidak puas karena tadi sedang ‘enak-enaknya’ membabati musuh.
Sudah
belasan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tak memperoleh kesempatan
untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini
mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Peristiwa tadi sebetulnya amat
menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak
membabat musuh lalu dihentikan?
“Aihhhh...
jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir?” Kian Lee berkata, memandang ayahnya
dengan kagum dan heran. “Akan tetapi... aku melihat sendiri, bukit itu seperti
pecah...“
“Karena kau
ikut menengok, maka kau menjadi korban kekuasaan ilmu sihir ayahmu pula,” kata
Lulu. Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu,
tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret.
“Wah, hebat
sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!” Kian Bu bersorak.
Ayahnya diam
saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih berputaran terbang di
angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor
burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tidak lama kemudian
hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu.
“Kian Lee, Kian
Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!” bentak Suma Han.
Kian Lee dan
Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka.
Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di
paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah daun
telinga manusia!
“Ihhh...!
Ini jari tangan orang!” Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas
tanah.
“Haiiii! Ini
daun telinga orang...!” Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu.
Suma Han
menghela napas, menggunakan tongkatnya membuat lobang di atas tanah, kemudian
menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas
panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.
“Ayah,
ajarkan aku ilmu sihir itu...!” Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya.
Akan tetapi
tangannya dipegang ibunya. “Ilmu itu tak mungkin diajarkan ayahmu kepada
siapapun juga,” puteri kaisar itu berkata.
“Mengapa
tidak mungkin, ibu?”
“Ilmu yang
kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya
karena ayahmu memiliki kekuatan mukjijat. Pula, dengan kepandaian silat yang
kau miliki saat ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau
akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuat pun.”
“Kian Lee,
apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali,” Lulu juga berkata,
ditujukan kepada puteranya sendiri. “Tingkat kepandaian kalian berdua sudah
cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya
tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku
masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua
Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya
masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini.”
Nirahai
mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu, “Memang benar, apa lagi
kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang
kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian
berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari
itu.”
Tentu saja
hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai
itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga
itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus,
“Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar
dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian.”
Kedua orang
pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua
saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira
mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.
“Akan tetapi
ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas.
Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan
kebebasan liar (sesuka hati!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam
perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga
tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih
kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian
pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu
kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali
menyombongkan diri dengan menyebut nama Pulau Es. Mengerti?”
Kedua orang
pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati.
“Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali?”
Suma Han
menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan
biar pun usianya sudah hampir delapan belas tahun, tetapi masih kekanak-kanakan
sehingga merantau pun ingin membawa rajawali kesayangannya!
“Rajawali
jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat
ramai, apa lagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang
rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus
menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di
angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan
siapa pun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada, jangan
lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja
datang dari segala penjuru.”
Setelah
banyak-banyak memberi nasehat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu
mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membekal beberapa potong emas
dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, tetapi mereka berdua tidak diberi
bekal senjata.
Perahu layar
yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah
ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua
ibu mereka yang basah oleh air mata.
Setelah
perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat
menahan tangis mereka. Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka
ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama
mereka? Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat
menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh
lepas ke arah lautan, mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan
laut yang tak bertepi.
Andai kata
ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan
mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka
akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera
mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Jelas bahwa mereka menangis
bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu
ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka
menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi
orang-orang yang dicinta!
‘Cinta’ yang
bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini,
hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, pada harta benda,
pada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih
sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka.
Segala sesuatu, baik benda hidup atau pun mati, yang dipunyai seseorang secara
lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan
kesengsaraan.
Segala
sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau
kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan
seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba
saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu,
sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan
menyakitkan hati!
Mengikatkan
diri kepada apa pun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa
saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi
takut dan khawatir. Takut kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan,
karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah
mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk
ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan,
dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup.
***************
Kita
tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan
putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan
perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari kita menengok kembali
keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.
Seperti
telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri
dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para
tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua
orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka
melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah
cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui
oleh para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.
Sukarlah
bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk
daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar
daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Puteri Syanti Dewi yang pernah
mendengar tentang ini mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia
selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.
Pada suatu
senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar
dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka
berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap
membuat mereka tidak menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya
makan daun-daun dan daging panggang tanpa bumbu.
Kini perut
mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan
sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir
dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, di situ
terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua
membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh di atas meja.
Ketika
Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka
tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang
masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena
pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka.
Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu
melihat keadaan aman.
Syanti Dewi
memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka
berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu.
“Kabarnya
sang puteri lenyap...”
Kata-kata
ini yang membuat mereka terkejut dan memaksa mereka mendengarkan dengan penuh
perhatian.
“Ahhh,
kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?”
“Entahlah,
kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng
lalu tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada
lagi...”
“Aihh,
jangan-jangan dia tertawan musuh”
“Mungkin
sekali...”
“Aduh
kasihan!”
“Kalau saja
kita dapat menolongnya...”
“Wahh,
orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk
memasuki kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk
menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk.”
“Memang
celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi.”
Syanti Dewi
dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus
melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan
Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman
musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka
itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan
Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal
ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!
Alangkah
kaget dan herannya hati ketujuh orang pedagang garam itu ketika mereka
meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun
yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua
orang ‘pemuda’ yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.
“Para paman
harap berhenti sebentar!” Ceng Ceng berkata.
Mendengar
suara wanita, karena Ceng Ceng menggunakan suara aslinya, tujuh orang itu
tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.
“Kami sudah
mendengar percakapan paman bertujuh dan kami percaya bahwa paman sekalian akan
suka membantu kami untuk melewati kota Tai-cou,” kata pula Ceng Ceng.
“Apa... apa
maksudmu... tuan... eh, nona...?” seorang di antara mereka yang berkumis tebal
bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu
adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!
“Paman,
lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah
Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi.”
Tujuh orang
itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka
caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!
“Maafkan
kami... hamba tidak mengetahui...”
Syanti Dewi
cepat berkata, “Harap paman semua bangkit berdiri. Jika sampai kelihatan orang
tentu dicurigai.”
Mendengar
ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang
berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijinkan untuk
mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman.
Dari
Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja
mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan
ini dan sebaliknya, mereka sering kali mengalami gangguan dari para anak buah
Raja Muda Tambolon, maka tentu saja mereka membenci mereka.
“Paman,
tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke
ibukota Kerajaan Ceng,” kata Syanti Dewi.
“Tentu saja
hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut
bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua.”
Syanti Dewi
dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang
kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah
rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si
kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka
dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu
gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan
senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati Tai-cou
dengan selamat.
“Kota
terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali,” kata
si kumis tebal. “Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan
selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang di antara kita, menyamar sebagai
pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota.”
Semua orang
menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam
untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing
sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang
garam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat
meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu
bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!
Perjalanan
dari dusun itu menuju ke kota Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang
perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu
dari memikul garam dan hanya apa bila mereka melewati dusun-dusun saja kedua
orang dara itu harus memikul garam.
Menjelang
sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang
menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa
harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu
gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak
dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah
sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan
pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga
keadaan di situ menjadi ramai sekali.
“Haiiii!”
Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di
pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. “Kalian harus masuk seorang demi
seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa
baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami dapat menangkap
seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!”
Si kumis
tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil
menyerahkan sebuah kantung berisi uang. “Maafkan, tai-ciangkun, kami
tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah
dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk
tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah
lagi...“
Perwira
komandan itu menyambar kantung uang dan berkata kereng, “Hemm... kalian akan
kuperbolehkan lewat lebih dahulu, tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan
sekarang gawat!”
Si kumis
tebal telah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan
bahwa dua orang di antara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan,
apa lagi kalau sampai sang puteri dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di
bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang
pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak
dan mencak-mencak, “Hayaaa... celaka... siapa yang menaruh ular-ular ini di
keranjangku...? Tentu pedagang garam dari barat, keparat...!”
Terjadilah
gaduh dan ribut karena memang mendadak muncul banyak sekali ular-ular besar
kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang
garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning
dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah!
Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng
menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan... mengenai dada
komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada orang yang melihat gerakan ini
kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan
pakaiannya.
“Basmi semua
ular...!” teriaknya kepada para anak buahnya. “Hayo kalian segera maju, jangan
memenuhi tempat ini!” Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.
Menggunakan
kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah
memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka
cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.
“Haiii,
diperiksa dulu... eihhh, celaka...!” Komandan yang berteriak itu kembali
terkejut karena ada seekor ular hijau yang melayang dan mengenai mukanya,
hampir menggigit hidungnya!
Ceng Ceng
dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para
temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan
memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan
gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan
itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena
tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa
membawa pikulan itu adalah anggota rombongan pedagang garam. Apa lagi karena
semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.
Semalam
suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau
mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih
terancam bahaya besar, sungguh pun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai
mereka.
Dengan mudah
mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari pintu sebelah utara dan menempuh
perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali
hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang
merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa
mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka
dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.
Pada kesokan
harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang
mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih
yang mereka dapatkan di hutan itu, lalu berbaring di atas rumput melepaskan
lelah.
“Aihhhhh...
bukan main nyamannya rebah begini...,” Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat.
“Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali.
Belum pernah selama hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti
ini!”
Mendengar
ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena
di situ tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini,
Syanti Dewi memandang heran. ”Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa
segembira itu?”
“Aku geli
mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa
lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat
akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur....”
“Raja itu
meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat
seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu
si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang
hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih.
Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya
lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum
pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau
adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal,
sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah
dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau
merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?”
Syanti Dewi
tertawa juga. “Kau samakan aku dengan raja di dalam dongeng? Jangan begitu, ah!
Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Tetapi aku pun heran sekali mengapa aku
dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini telah membuka mataku, adik Chandra,
bahwa yang dikatakan enak atau tidak enak, menyenangkan atau tidak
menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan di luar, melainkan
kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada
diri sendiri....”
“Lezatnya
makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita,
melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena
lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan
minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri dari pada
segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau
begitu... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan
kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan
waktu itu.”
“Hemm...
lalu bagaimana?” Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya
memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang
dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.
“Kalau
begitu... sejatinya tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri
yang menentukan! Dan... ahh, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang
jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka
mengada-ada saja!”
Ceng Ceng
sudah tidak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya,
hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang
ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu telah tertidur
pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut
istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.
Matahari
telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi
terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun
lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok
kedua matanya dan mengeluh lirih. “Uuhhh, kiranya hanya mimpi...,” bisiknya
karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon!
Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada
Ceng Ceng.
“Haiii, adik
Candra! Bangun! Sudah siang...!” Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.
Ceng Ceng
terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri. “Wah,
keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!”
“Hushhh,
jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita masih enak-enak tidur di
sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku.”
Ceng Ceng
sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka. “Aihhh,
hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci
Syanti Dewi!”
Ketika dua
orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan
puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan, “Lihat itu...!”
Syanti Dewi
menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya.
Tidak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas
tanah, telah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan
sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu
tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang
ini belum lama terbunuh.
“Dan di sana
itu... lihat, enci!” Kembali Ceng Ceng berbisik.
Kakak
angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah
belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang!
Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya,
tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng
memandang ke sekeliling, memeriksa.
Namun tidak
tampak bayangan seorang pun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat
bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang! Delapan
orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini
delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena
senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar
tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang
telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.
“Ahhh, kalau
begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat
yang telah menolong kita,” kata sang puteri.
Ceng Ceng
mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga
demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap
rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara
berterang? Pula, dia pun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah
pihak musuh.
“Lebih baik
kita cepat pergi dari sini, enci,” katanya. Syanti Dewi hanya mengangguk, dan
berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat
yang mengerikan itu.
Sore hari
mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di
kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi
pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ
terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena
merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil
keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.
Para pelayan
rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan
kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja
Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu
mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan
memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja.
Banyak sudah
wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena
sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap
tawanan wanita, apa lagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan
dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam
keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.
“Ji-wi
kouwnio hendak menginap?” tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.
Ceng Ceng
merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu
sambil berkata, “Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap
pilihkan yang bersih.”
Melihat
potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Ia maklum bahwa yang
membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan ‘atas’,
kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang
membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia lalu menjawab,
“Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!”
Tentu saja
kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor
bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih
kotor dari pada kamar dapur di istananya!
Setelah
mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu lalu duduk di atas
pembaringan di dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan
setengah berbisik. “Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada
lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada
yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa
seolah-olah kita di sini pun kini sedang diawasi orang.”
Syanti Dewi
mengangguk. “Aku pun mempunyai perasaan demikian, Candra. Namun, kurasa orang
yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka
sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!”
“Perjalanan
kita masih amat jauh dan biar pun kita sudah melewati kota Tai-cou, namun kita
akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kongkong...
eh, mendiang kongkong...” Sampai di sini, Ceng Ceng tak dapat melanjutkan
ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada
kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak
sampai terkubur!
Syanti Dewi
mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata, “Ahhh,
kongkong-mu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagai mana
aku akan dapat membalas budi kongkong-mu itu ...”
Ceng Ceng
cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras, “Jangan berkata begitu,
enci!”
Sejenak
mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata, “Engkau adalah
seorang dara perkasa, di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang
kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah
terasa berat, Candra. Akan tetapi aku...! Sejak kecil aku hidup mewah dan
senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tidak
mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak
akan berduka? Bukan hanya kongkong-mu tewas, juga menurut cerita para pedagang
garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam
perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang..., adikku yang
tercinta, engkau pun harus menderita karena mengawalku!”
Ceng Ceng
tertawa. “Kata siapa aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!”
“Apa? Tidak
usah berpura-pura. Pakaian kita pun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak
pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa
gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita.”
Tiba-tiba
Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri. “Aihhh,
jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan
sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah
menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Aku pun hanya
seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama
saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak
boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan
mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah
bahwa aku takkan meninggalkanmu. Aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang
kongkong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan di sana kita dapat
minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kongkong.”
Melihat
sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti
Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata, “Ah, kiranya tidak percuma pula aku dulu
tekun mempelajari ilmu silat, apa lagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik
Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, tetapi seorang dara kang-ouw yang
berpetualang dan siap menghadapi bahaya apa pun juga! Kalau ada bahaya
mengancam, hemmm... haiittttt...!” Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki
tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya
lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.
“Bagus!
Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di
udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri.
Bukankah itu menyenangkan sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu
enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja,
tentu akan dilarang oleh sri baginda!”
Kedua orang
dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan
peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur
nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan
kedua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan
aman!
Kurang lebih
lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara
gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan
otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga
terbangun dan puteri ini berbisik, “Suara apa itu...?”
Ceng Ceng
sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di
atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, kemudian
menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik,
“Sssttttt, ada orang bertempur di atas genteng...“
Keduanya
sudah siap dan mencurahkan perhatiannya ke atas. Makin jelas kini suara orang
bertanding di atas dan menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam
pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding di atas genteng kamarnya.
Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biar pun mereka
bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang
terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan
kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.
Tiba-tiba di
antara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam,
terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak
ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki
arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara
itu, seperti suara yang telah dikenalnya!
Sepasang
merpati terkurung
tiada jalan
terbang lari,
dihadang
depan belakang
maut
mengintai dari utara
di sepanjang
lembah sungai!
“Enci
Syanti, mari kita cepat lari...!”
Puteri itu
meragu. “Mengapa lari? Di luar... bukankah lebih berbahaya? Kita berjaga di
sini dan kalau ada bahaya baru kita membela diri.”
“Sssttt...
kau turutlah aku, enci. Cepat!” Ceng Ceng sudah menggandeng tangan puteri itu,
menariknya keluar dari kamar dan terus berlari melalui belakang rumah
penginapan. Pintu belakang rumah penginapan itu masih tertutup. Ceng Ceng
membuka palang pintu, kemudian mereka berdua meloncat ke dalam gelap, melalui
pintu belakang dan terus lari tanpa menoleh lagi.
“Kita lari
ke mana, Candra?” puteri itu bertanya, heran kenapa adik angkatnya ini tanpa
ragu-ragu melarikan diri ke arah tertentu.
“Enci,
ingatlah kata-kata terakhir di setiap baris pantun tadi. Lima kata-kata itu
adalah terkurung-lari-belakang-utara-sungai! Nah, yang berpantun itu adalah
seorang sahabat atau penolong yang menganjurkan kita lari karena kita telah
terkurung dan kita dianjurkan lari melalui pintu belakang, menuju ke utara dan
kalau aku tidak salah menduga, kita akan tiba di sebuah sungai.”
Syanti Dewi
terkejut dan juga kagum akan kecerdikan adik angkatnya, akan tetapi juga ingin
sekali tahu siapa orang yang berpantun dan yang menolong mereka itu.
“Dia siapa,
adik Candra?” tanyanya sambil terus berlari di samping adiknya.
“Entahlah,
akan tetapi suaranya seperti... heiiii!” Mendadak Ceng Ceng menghentikan
larinya karena dia kini teringat akan suara itu. “Tentu saja dia orangnya!”
“Apa
katamu?” Syanti Dewi berusaha menyelidiki muka Ceng Ceng di dalam gelap itu.
“Dia siapa?”
“Penolong
kita itu, yang berpantun tadi... suaranya seperti si muka bopeng yang bikin
ribut dengan ular-ular di Tai-cou itu dan... dan... wah, tidak mungkin salah,
tentu dia orang pandai yang menolong kita.”
Tiba-tiba
Ceng Ceng menarik tangan Syanti Dewi dan dia sendiri sudah melepas topi
capingnya, menggunakan benda itu untuk menghantam ke kanan, ke arah bayangan
yang berkelebat dan tadi dilihat bayangan itu hendak menangkap Syanti Dewi.
“Prakkkk!”
Ceng Ceng
terhuyung ke belakang dan caping di tangannya itu hancur berantakan. Dara ini
kaget bukan main. Dia menyerang bayangan itu dengan caping biasa, akan tetapi
dia sudah mengerahkan sinkang-nya sehingga bagi lawan yang ilmunya tidak amat
tinggi, serangannya itu sudah cukup hebat dan dapat merobohkan orang.
Namun
bayangan itu menangkis dengan lengannya. Akibatnya tidak hanya capingnya yang
hancur, akan tetapi dia sampai terhuyung saking kuatnya tenaga orang yang
menangkisnya itu! Dia teringat akan pesan kongkong-nya bahwa di pedalaman
banyak sekali terdapat orang pandai maka tanpa menanti orang tadi bergerak, dia
sudah menerjang ke depan, menggunakan sepasang pisau belati yang disimpan di
sebelah dalam bajunya.
“Hyaaatttt...!”
Dara perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya menerjang cepat dan
sepasang pisaunya menyambar dari kanan kiri, yang kanan mengarah lambung, yang
kiri mengarah leher. Serangan yang dahsyat dan lihai sekali, apa lagi dilakukan
dalam cuaca yang gelap!
“Plak-plak...
wuuuutttt...!”
Kembali Ceng
Ceng tercengang dan kaget. Orang itu telah dapat menangkis serangan dalam
gelap, menangkis lengan kanan kiri, bahkan telapak tangan orang itu menyambar
hendak mencengkeram ubun-ubun kepalanya. Untung dia dapat mengelak cepat, kalau
tidak, sekali kepalanya kena dicengkeram oleh tangan yang dia tahu amat kuat
itu, akan celakalah dia! Kini, bayangan itu menerjangnya dengan kecepatan yang
mengerikan.
Akan tetapi
Ceng Ceng tidak menjadi gentar. Dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang
pisau, melindungi tubuhnya dan sekaligus dia menggerakkan kepalanya sehingga
kuncir rambutnya menyambar seperti seekor ular hidup ke arah mata orang itu!
“Sing,
sing...! Plakkk!”
Ceng Ceng
mengeluarkan teriakan kaget karena selain sepasang pisaunya dapat dielakkan
orang, juga kuncirnya hampir saja dapat ditangkap kalau saja dia tidak dapat
melepaskan tendangan yang amat kuat dan membuat lawan itu terpaksa menarik
kembali tangannya yang akan menangkap kuncir.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuh orang itu mencelat ke depan dan sebelum Ceng Ceng dapat
mencegahnya, bayangan itu sudah menangkap Syanti Dewi! Puteri ini memekik dan
berusaha memukul, akan tetapi tingkat kepandaian puteri ini masih jauh sekali
di bawah tingkat lawannya yang amat lihai, maka sekali orang itu menggerakkan
tangan, tubuh itu telah menjadi lemas tertotok dan dia telah dipondong!
“Jahanam,
lepaskan dia!” Ceng Ceng sudah menerjang maju dengan lompatan dahsyat. Hatinya
marah bukan main dan sedikit pun dia tidak takut menghadapi lawan yang tangguh
itu, yang dia khawatirkan adalah Puteri Syanti Dewi, maka begitu menerjang maju
dia telah menggunakan sepasang pisaunya untuk menyerang dan berusaha merampas
tubuh Syanti Dewi yang telah dipondong orang itu.
Namun
ternyata lawan gelap itu lihai bukan main, gerakannya ringan sekali sehingga
dia dapat mengelak dengan melompat ke kanan kiri. Selain lawan memang lihai,
juga Ceng Ceng merasa kurang leluasa gerakannya karena dia takut kalau-kalau
senjatanya mengenai tubuh enci angkatnya. Kemudian dengan beberapa lompatan
jauh, orang itu melarikan diri meninggalkan Ceng Ceng.
“Iblis,
hendak lari ke mana kau?” Ceng Ceng tentu saja mengejar secepatnya.
Namun dia
kalah cepat dan hal ini terutama sekali disebabkan karena Ceng Ceng belum hafal
akan keadaan di situ sehingga tentu saja dalam berlari cepat dia harus
berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dan ketinggalan makin jauh lagi. Dia
sudah mulai gelisah sekali karena orang yang melarikan Syanti Dewi itu makin
jauh meninggalkannya ketika tiba-tiba orang itu berteriak dan roboh terguling!
Tubuh Syanti Dewi yang masih lemas tertotok juga ikut terguling, akan tetapi
tiba-tiba ada tangan menyambarnya dan tubuh itu seketika terbebas dari totokan.
Syanti Dewi mengeluh dan cepat menjauhkan diri sambil terhuyung-huyung dan
berpegang kepada sebatang pohon.
Ketika Ceng
Ceng tiba di tempat itu, orang yang melarikan Syanti Dewi tadi telah lari,
dikejar bayangan lain yang agaknya tadi merobohkan penculik itu dan membebaskan
totokan Syanti Dewi. Dalam sekejap mata saja dua bayangan yang berkejaran itu
telah lenyap dari situ.
“Engkau
tidak apa-apa, enci?”
Syanti Dewi
menggeleng kepalanya.
Ceng Ceng
merasa gembira. Cepat dia memegang lengan puteri itu dan diajaknya terus lari
ke utara, seperti yang dipesankan dalam pantun oleh penolong mereka yang aneh.
Siapakah penolong itu? Apakah yang menolong Syanti Dewi dari tangan penculik
itu pun sama orangnya dengan yang tadi berpantun di atas kamar penginapan sambil
bertanding, dan sama pula dengan si muka bopeng yang melepas ular di pintu
gerbang Tai-cou?
Ceng Ceng
merasa heran dan bingung. Kalau benar orangnya hanya satu, tentu orang itu
lihai bukan main. Dia tahu betapa orang-orang yang bertanding di atas kamar
penginapan itu memiliki ginkang yang amat tinggi, dan kalau penolongnya hanya
seorang, berarti dia itu dikeroyok! Tadi pun dia mendapat kenyataan yang tak
mungkin dibantah bahwa penculik Syanti Dewi adalah orang lihai yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari pada dia. Namun penolong itu dalam segebrakan saja
mampu merampas Syanti Dewi!
Selain itu,
juga hatinya khawatir sekali. Mudah saja diduga bahwa pihak musuh sudah
mengenal penyamaran mereka, sudah tahu bahwa yang menyamar sebagai gadis-gadis
petani itu, yang seorang adalah Syanti Dewi. Bahkan di dalam gelap, penculik
tadi sudah dapat menentukan mana yang harus diculiknya! Kalau begini,
berbahayalah!
“Mari cepat,
enci!” Dia berkata dan mereka berlari secepatnya.
Namun,
betapa pun mereka hendak bersicepat, tetap saja mereka menabrak pohon! Apa lagi
ketika mereka tiba di sebuah hutan yang penuh pohon. Mereka tidak dapat berlari
lagi dengan baik, hanya meraba-raba dan menyelinap di antara pohon-pohon,
kadang-kadang hampir terguling karena kaki mereka terjerat akar pohon atau
semak-semak.
Dengan napas
terengah-engah Syanti Dewi mengeluh, “Aduuhhhh... kita berhenti dulu... ahhh,
lelah sekali...”
“Jangan,
enci. Banyak musuh yang lihai... mereka sudah mengenal engkau!”
Ucapan Ceng
Ceng ini membuat sang puteri terkejut sekali. “Be... benarkah mereka telah
mengenaliku? Celaka... hayo... hayo lari cepat...”
Kini Syanti
Dewi yang lari lebih dulu, lari dengan nekat karena takut! Dia merasa ngeri
kalau sampai tertawan dan dibawa kepada Raja Muda Tambolon... ahh, tidak berani
dia membayangkan nasib seperti itu, maka dia lari secepatnya.
“Enci...
hati-hati... !” Kini Ceng Ceng yang merasa khawatir melihat puteri itu lari
cepat dengan nekat tanpa melihat-lihat ke depan.
“Oughhh...!”
Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit, tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang!
“Enci
Syanti...!” Ceng Ceng menjerit.
Cepat dia
menjatuhkan diri menelungkup, kemudian merangkak mendekati jurang yang hanya
kelihatan menghitam di dalam gelap. Dapat dibayangkan, betapa gelisah hatinya.
Sang puteri terjerumus ke dalam jurang yang gelap!
“Enci
Syanti...!” Dia berteriak ke bawah, ke arah sumur menghitam yang menganga di
depannya. Sampai lama tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Akan
tetapi selagi dia hendak memanggil lagi, terdengar suara lemah dari bawah.
“Adik
Candra...!”
Jantung Ceng
Ceng berdebar girang, akan tetapi bulu tengkuknya meremang juga. Terjerumus ke
dalam jurang segelap itu, benar-benarkah sang puteri masih hidup dan selamat?
Jangan-jangan yang memanggil dirinya tadi adalah... arwahnya! Ceng Ceng
menggunakan tangan kiri mengusap tengkuknya yang meremang, lalu menjulurkan
tubuh atasnya ke dalam sambil berteriak lagi, “Enci Syanti... di mana
engkau...?”
“Aku di
sini... aku selamat, Candra. Untung ada pohon di sini yang menahan tubuhku.
Tidak jauh, aku dapat melihatmu dari sini, mungkin kau tidak dapat melihat
karena di bawah gelap. Lekas kau cari tali, tak perlu panjang kurasa sepuluh
kaki cukuplah... aku dapat memanjat ke atas melalui tali...”
Girang
sekali rasa hati Ceng Ceng. Sekarang dia dapat menangkap suara puteri itu dan
memang tidak jauh di bawah. Sepuluh kaki? “Enci, hanya sepuluh kaki, mengapa
kau tidak meloncat saja?”
“Ah, tidak
mungkin. Pohon ini kecil, jika dipakai landasan meloncat mungkin tidak kuat.
Pula, begini gelap, bagaimana aku dapat meloncat dengan tepat ke atas? Lekas
cari tali...”
Ceng Ceng
bingung lagi. Ke mana harus mencari tali di dalam gelap seperti itu, apa lagi
di dalam hutan? Akhirnya dia mendapat akal baik. Tanpa ragu-ragu lagi
ditanggalkannya semua pakaiannya setelah dia mengeluarkan perhiasan dan uang
perak dan emas ke atas tanah. Ditanggalkannya bajunya, celananya, baju dalam
dan celana dalam.
Seluruh
pakaiannya ditanggalkan hingga dia menjadi telanjang bulat sama sekali! Lalu,
sambil meraba-raba, dia sambung-sambungkan semua pakaian itu setelah
digulungnya hingga merupakan gulungan kain yang bersambung-sambung, yang
kemudian, dengan tubuh telanjang bulat, dia bertiarap di tepi jurang,
menggulung-gulungkan kain itu sambil berteriak, “Enci Syanti... ini
talinya...!”
“Ke sini,
Candra. Di sebelah sini...!” Terdengar jawaban dari bawah dan Ceng Ceng
mengulur tali ke arah suara itu.
Tak lama
kemudian tali menegang, telah dapat terpegang oleh Syanti Dewi.
“Eh, dari
mana kau memperoleh tali kain ini...?”
“Naiklah,
enci. Ujung sini sudah kupegang erat. Hati-hati...“
Ceng Ceng mengerahkan
tenaganya menahan ketika Syanti Dewi mulai memanjat naik. Tak lama kemudian,
puteri itu sudah meloncat ke atas tanah. Dia menubruk Ceng Ceng dan keduanya
saling berpelukan dan menangis! Menangis karena girang dan bersyukur bahwa
Syanti Dewi selamat dari bahaya maut yang mengerikan itu.
“Heiiiii...!
Kau... kau... telanjang bulat...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berseru kaget dan
heran sambil meraba-raba tubuh Ceng Ceng. Ceng Ceng menggeliat kegelian dan
memegang tangan Syanti Dewi.
”Itulah tali
yang memancingmu keluar jurang, enci!”
Syanti Dewi
tertawa, dan keduanya tertawa-tawa gembira ketika Ceng Ceng mulai memakai lagi
pakaiannya yang tadi telah dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa enci
angkatnya. Kini dia merasa tubuhnya panas dingin kalau membayangkan betapa akan
jadinya kalau hal itu terjadi di siang hari dan kebetulan ada orang yang
melihat dia bertelanjang bulat seperti seorang bayi tadi!
“Mari kita
mencari tempat untuk beristirahat, enci. Malam terlalu gelap. Melanjutkan
perjalanan berbahaya sekali, apa lagi kita sudah memasuki hutan di pegunungan.
Masih untung Thian melindungimu ketika kau terjerumus tadi. Kalau tidak ada
pohon itu, apa jadinya?”
“Ahhh,
paling-paling mati, adikku! Dan agaknya hal itu jauh lebih baik dari pada jatuh
ke tangan Tambolon.”
“Jangan
putus asa, enci. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku “
Mereka
melanjutkan perjalanan, dan sekarang dengan sangat hati-hati. Setelah mereka
mendapatkan sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan, yaitu di bawah satu
pohon yang diapit oleh batu-batu gunung yang besar, keduanya berhenti dan duduk
beristirahat di atas rumput, bersandar kepada batu gunung. Mereka berusaha
untuk melepaskan lelah dan beristirahat secukupnya.
“Tidurlah,
enci Syanti, biarlah aku menjaga di sini.”
“Hemm,
dinginnya bukan main. Mana bisa tidur? Bagaimana kalau kita membuat api
unggun?”
“Ahhh,
berbahaya, enci. Api unggun itu akan menarik perhatian orang, dan pula dapat
kelihatan dari tempat jauh.”
Tubuh mereka
memang dapat beristirahat, akan tetapi hati mereka selalu tegang dan siap siaga
menghadapi segala bahaya yang mungkin datang menimpa. Malam itu gelap bukan
main, agaknya bintang-bintang di langit dihalangi awan hitam.
Dalam
keadaan segelap itu, di dalam hutan yang asing, apa lagi setelah mengalami
hal-hal yang mengerikan, kedua orang dara itu tentu saja merasa khawatir dan
gelisah. Mereka duduk berhimpit bersandarkan batu, mata mencoba menembus
kegelapan malam dan memandang ke kanan kiri, telinga mereka dicurahkan untuk
mendengar apa yang tak dapat dilihat mata.
Mereka
selalu merasa seolah-olah diikuti oleh sesuatu, entah manusia, binatang atau
setan! Bahkan ketika sedang duduk di tempat itu, mereka merasa ada mata yang
memandang mereka, ada sesuatu yang memperhatikan mereka! Dapat dibayangkan
betapa ngeri rasa hati mereka. Syanti Dewi adalah seorang puteri yang selama
hidupnya belum pernah melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, apa lagi
malam-malam berkeliaran di dalam hutan gelap!
Ada pun Ceng
Ceng, biar pun ia seorang dara perkasa yang sejak kecilnya digembleng oleh
kakeknya, namun perjalanan seperti ini pun baru pertama kali dia alami bersama
Syanti Dewi itu.
Mereka makin
berhimpitan, dan makin siap dengan jantung berdebar tegang sekali ketika di
dalam kegelapan malam pekat itu mereka seperti mendengar suara-suara yang aneh.
Beberapa kali mereka mendengar suara gerengan dari tempat agak jauh, suara
lolong anjing, dan lapat-lapat seperti ada orang bernyanyi! Mula-mula suara
aneh itu seperti lewat terbawa angin lalu, akan tetapi kadang-kadang terdengar
dekat sekali, bahkan mereka seperti mendengar suara langkah kaki orang di
sekeliling mereka!
Tentu saja
semalam suntuk mereka tidak mampu tidur sama sekali. Dengan tinju terkepal
kedua orang dara itu duduk bersandar batu, seluruh urat syarat mereka menegang
karena mereka menduga bahwa sewaktu-waktu tentu akan muncul musuh mereka. Mata
dan telinga mereka siap dengan penuh perhatian meneliti keadaan di depan, kanan
dan kiri karena mereka tidak mengkhawatirkan musuh akan datang menyerang mereka
dari belakang yang terlindung oleh batu gunung yang besar dan tinggi. Akan
tetapi, tidak ada sesuatu terjadi! Bahkan menjelang pagi, suara itu lenyap sama
sekali.
Setelah
sinar matahari pagi mulai mengusir embun dan kegelapan, keduanya bangkit
berdiri. “Hayo kita tinggalkan tempat yang menyeramkan ini, enci Syanti,” kata
Ceng Ceng, lega bahwa malam itu dapat mereka lewatkan dengan selamat.
“Suara
apakah semalam, Candra? Menyeramkan sekali!”
“Entahlah,
mungkin kita salah memilih tempat. Mungkin di sini sebuah perkampungan siluman
yang tentu saja tidak tampak.”
Syanti Dewi
segera bergidik, memegang tangan adik angkatnya dan bergegas mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke utara meninggalkan tempat menyeramkan itu. Tubuh mereka
terasa letih dan mengantuk, tetapi hati lega karena mereka dapat meninggalkan
tempat itu.
“Haii...
banyak bangkai anjing di sini...!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru heran saat
mereka keluar dari tempat itu dan melihat belasan ekor anjing serigala telah
menggeletak malang melintang dalam keadaan mati, ada yang lehernya hampir
putus, ada pula yang kepalanya pecah. Darah masih belum kering betul,
menunjukkan bahwa gerombolan serigala ini dibunuh orang semalam!
“Kalau
begitu lolong anjing semalam bukanlah suara siluman, melainkan suara mereka
ini!” bisik Syanti Dewi sambil menengok ke kanan kiri.
Juga Ceng
Ceng menoleh ke kanan kiri, depan belakang sambil memandang penuh selidik.
“Heran sekali, siapa yang membunuh mereka semalam? Aku mendengar suara orang,
seperti orang bernyanyi...”
“Aku juga!”
kata Syanti Dewi. Semalam ketika mendengar suara-suara itu, keduanya diam saja
karena merasa ngeri.
“Dan ada
suara langkah-langkah kaki orang...”
“Benar, aku
pun mendengarnya.”
“Hemmm,
kalau begitu, kita masih terus dibayangi orang, enci.”
“Siapa dia
gerangan?”
“Tidak
peduli siapa, aku sama sekali tidak takut!” Ceng Ceng menjadi penasaran dan
sudah mencabut sepasang pisau belatinya. Dengan mengangkat dadanya yang mulai
membusung itu dia berteriak, “Heiii, orang yang membayangi kami, hayo keluar
kalau memang engkau seorang gagah! Kalau ada niat busuk, mari kita bertanding
sampai seribu jurus!”
Akan tetapi
dara itu seperti menantang angin karena yang menjawabnya hanya bunyi angin
berdesir yang mempermainkan ujung-ujung ranting pohon. Setelah yakin bahwa di
tempat itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dua orang dara itu
melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, kembali mereka tertegun ketika
melihat bangkai dua ekor harimau yang besar juga.
Seperti juga
gerombolan serigala tadi, dua ekor harimau itu belum lama dibunuh orang. Ketika
Ceng Ceng memeriksa, diam-diam dia terkejut dan kagum bukan main melihat bahwa
dua ekor raja hutan itu mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!
Dapat dibayangkan betapa kuatnya orang itu, yang membunuh dua ekor harimau itu
hanya dengan jari tangan saja! Melihat kenyataan ini, hatinya agak jeri juga
dan dia tidak lagi mengulangi tantangannya di dekat bangkai gerombolan serigala
tadi, tetapi cepat mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan ke utara.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment