Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 24
Mereka
datang makin dekat, hanya tinggal belasan meter saja dari rumah rusak itu.
Untuk melarikan diri tidak mungkin karena sekali keluar dari rumah itu tentu
akan terlihat oleh mereka dan lari pun tentu percuma, akan dapat dikejar. Maka
Syanti Dewi hanya bersembunyi dan mengintai dengan menahan napas, diam-diam
berdoa agar mereka itu tidak akan memasuki rumah rusak.
“Haaaa, kau
hendak lari ke mana...?” Suara lirih dan parau di belakangnya ini membuat Sang
Puteri terkejut setengah mati. Dia menengok dan melihat seorang kakek tua
berkepala botak, tersenyum dan matanya memandang seperti mata seorang anak
nakal yang suka menggoda, kedua lengan dibentangkan dengan sikap hendak
menangkap Syanti Dewi!
Syanti Dewi
terkejut dan menjadi bingung, akan tetapi tiba-tiba kakek itu yang melihat
kebingungannya, lalu menurunkan kedua lengannya dan bertanya halus, “Eh, Nona.
Mengapa pagi-pagi sekali engkau berada di sini seorang diri dan kelihatan
ketakutan? Apakah kau hendak minggat dari rumahmu bersama seorang pacar?”
Syanti Dewi
maklum bahwa ternyata kakek ini tidak ada hubungannya dengan para pengejarnya,
dan sepanjang perantauannya dia telah agak mengenal orang-orang pandai, maka
dia pun menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan, maka cepat dia
menjura dan berkata, “Kakek yang baik, aku mohon padamu, tolonglah aku... aku
sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh mereka itu...” Dia menuding ke arah
luar rumah rusak itu.
Akan tetapi
terlambat sudah. Wanita yang bukan lain adalah seorang di antara Loan-ngo Mo-li
itu telah mendengar suara Si Kakek dan dengan langkah lebar diikuti oleh lima
orang prajurit pengawal dia telah menghampiri rumah rusak itu dan tiba-tiba
saja dia muncul di depan Syanti Dewi dan kakek itu.
Wanita yang
memakai anting-anting emas besar di kedua telinganya dan lima orang prajurit
pengawal itu kelihatan girang sekali melihat Syanti Dewi. Akan tetapi tiba-tiba
kakek itu tertawa dan mengandung getaran kuat sekali, “Ha-ha-ha-ha, kalian
bengong memandang kami kakek dan nenek mau apa sih? Berani kalian mengganggu
Nenek Durganini yang sedang indehoi dengan kekasihnya? Heh-heh!”
Betapa
anehnya! Wanita Loan-ngo Mo-li yang bertampang kejam itu dan lima orang
prajurit pengawal yang telah terpengaruh sihir dari nenek hitam guru Tambolon
itu kini memandang bengong, dan wanita itu lalu menjura kepada Syanti Dewi
sambil berkata, “Harap Locianpwe maafkan, saya kira tadi puteri yang sedang
kita cari-cari...”
Syanti Dewi
tentu saja juga bengong dan bingung, akan tetapi lengannya sudah digandeng oleh
kakek itu pergi meninggalkan rumah rusak, jalan bergandengan tangan diikuti
pandang mata wanita itu yang masih terkejut dan heran. Akan tetapi, bukan main
kaget dan heran hatinya ketika melihat mengapa ‘nenek hitam’ itu tadi dari
belakang kelihatan ramping dan muda, tidak terbongkok-bongkok melainkan jalan
berlenggang dengan bukit pinggul seorang dara muda yang bulat dan penuh! Dia
menggoyang dan mengguncang kepalanya, memejamkan mata sebentar kemudian membuka
mata memandang lagi. Kiranya ‘nenek’ itu adalah puteri yang dicari-carinya.
“Kejar...!
Tangkap mereka!” dia berteriak.
Lima orang
prajurit pengawal yang kini berubah menjadi seperti manusia-manusia robot yang
tidak mempunyai pendirian sendiri karena telah dipengaruhi sihir Nenek
Durganini itu cepat mengejar Syanti Dewi dan kakek tua, tombak mereka
ditodongkan ke depan siap untuk menyerang.
Mendengar
teriakan ini yang disusul derap kaki mengejar mereka, Syanti Dewi menjadi
khawatir sekali. “Kek, mereka mengejar...!” bisiknya.
Kakek itu
terkekeh, kemudian secara tiba-tiba dia berhenti dan membalikkan tubuhnya,
telunjuk kirinya menuding ke arah lima orang prajurit pengawal itu sambil
mulutnya berkata, “Heeeiii! Kalian mengapa main-main dengan ular? Lihat, kalian
bisa digigit sendiri oleh ular di tangan kalian!”
Syanti Dewi
tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek yang aneh ini mungkin
sudah miring otaknya. Dikejar musuh yang mengancam bukannya lari atau melawan
malah berolok-olok seperti itu. Akan tetapi Syanti Dewi terbelalak kaget bukan
main ketika dia melihat betapa lima orang prajurit pengawal yang kini telah menjadi
hamba atau kaki tangan nenek hitam mengerikan itu memekik ketakutan dan tombak
di tangan mereka itu telah berubah menjadi ular-ular besar yang kini
membalikkan kepala mendesis-desis hendak menyerang mereka sendiri. Syanti Dewi
mengejap-ngejapkan matanya karena tidak percaya, akan tetapi benar saja,
tombak-tombak di tangan lima orang itu telah berubah menjadi ular-ular yang
menyerang mereka sendiri.
Kelima orang
itu terbelalak dengan muka pucat, kemudian tentu saja mereka lalu membuang
‘ular-ular’ itu dan lari ketakutan! Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal
pilihan, anak buah Jenderal Kao dan juga merupakan prajurit yang pantang mundur
menghadapi musuh yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi kini, melihat tombak
sendiri berubah menjadi ular-ular besar panjang yang menyerang mereka sendiri,
hal ini terlalu hebat bagi mereka dan mendatangkan rasa takut yang hebat.
“Ha-ha-ha-ha!”
Kakek itu tertawa.
Syanti Dewi
terpukau di tempatnya melihat betapa ‘ular-ular’ itu setelah dibuang ke atas
tanah dan ditinggalkan para prajurit, telah kembali kepada bentuk semula, yaitu
lima batang tombak. Bukan main kagum dan girang rasa hatinya karena kini dia
maklum bahwa dia telah ditolong oleh seorang kakek ahli sihir pula. Sungguh
mengherankan sekali, pikirnya. Dia akan diculik oleh seorang nenek ahli sihir
dan ditolong oleh seorang kakek ahli sihir!
“Kakek yang
baik, aku akan kau bawa ke mana?” tanya Syanti Dewi setelah melihat betapa para
pengejar itu tidak tampak lagi di belakang mereka dan kakek itu telah membawanya
keluar dari dusun itu.
“Ke tempat
yang aman, di hutan depan itu. Di sana menanti seorang muridku, mari kau
kuperkenalkan dengan dia,” kata Si Kakek yang bukan lain adalah See-thian
Hoat-su itu.
Kakek ini
pernah mengacau di dalam pesta yang diadakan Tambolon ketika Tambolon memaksa
Siang Hwa untuk menikah dengan dia. Seperti telah diceritakan secara singkat,
tokoh perantauan yang aneh ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi
dan mahir pula dengan ilmu sihir dan dia adalah bekas suami dari Nenek
Durganini.
Seperti
telah kita ketahui, See-thian Hoat-su bersama Panglima Jayin perwira pengawal
Bhutan itu bersama empat orang anak buahnya, Kian Bu, Siang Hwa dan Siang In
melarikan diri dikejar oleh Pasukan Tambolon dan dikeroyok di atas rakit sampai
rakit itu terbawa hanyut oleh sungai yang mengamuk dalam badai. Jenazah Siang
Hwa yang menjadi korban hujan anak panah tidak dapat diselamatkan dan dibawa
hanyut oleh air, akan tetapi kakek ini berhasil menyelamatkan Siang In ke
darat. Karena kasihan melihat dara yang yatim piatu dan kini bahkan kehilangan
enci-nya itu, juga karena melihat Siang In memiliki tulang yang kuat dan darah
yang bersih serta memiliki bakat, kakek itu lalu mengangkat Siang In menjadi
muridnya.
Biar pun
sudah bercerai dari isterinya, yaitu Nenek Durganini, namun sesungguhnya Kakek
See-thian Hoat-su masih mencinta isterinya atau bekas isterinya itu. Maka
ketika dia mendengar bahwa isterinya datang dari barat untuk membantu dan dapat
dikatakan diperalat oleh muridnya yang jahat, yaitu Tambolon, See-thian Hoat-su
menjadi tak senang hati dan dia pun lalu membayangi bekas isterinya itu untuk
mencegah isterinya terseret dalam kejahatan. Inilah sebabnya mengapa kakek itu
bisa muncul di dalam perayaan pesta pernikahan Tambolon dan mengacau sehingga
pernikahan paksaan itu gagal.
Kini,
mendengar bahwa Tambolon dan bekas isterinya itu pergi ke kota raja, diam-diam
dia pun mengajak murid barunya, Teng Siang In untuk membayangi. Melihat betapa
isterinya menggunakan ilmu sihir untuk menculik Syanti Dewi, dia segera turun
tangan menolong gadis itu. Hal ini dilakukannya bukan sekali-kali karena dia
suka mencampuri urusan orang lain, melainkan semata-mata karena dia hendak
mencegah isterinya terseret oleh muridnya melakukan perbuatan jahat. Demikian pula
halnya ketika dia mengacau di dalam pesta Tambolon. Hanya karena mengingat
kepada isterinya sajalah maka kakek ini mau campur tangan karena biasanya dia
sudah tidak sudi lagi mencampuri urusan dunia yang hanya mendatangkan
pertentangan dan permusuhan.
See-thian
Hoat-su yang melarikan Syanti Dewi itu telah tiba di dalam hutan kecil itu dan
langsung dia menghampiri sebuah kuil rusak yang kosong dan sisa dindingnya
sudah penuh dengan lumut hijau.
“Siang
In..., muridku yang baik, kau lekas keluarlah...!” Kakek itu berteriak dengan
suara gembira.
Terdengar
suara orang menjawab dari dalam kuil tua dan Syanti Dewi ingin sekali melihat
macam apa orangnya yang menjadi murid kakek aneh ini. Kemudian dari dalam kuil
itu tampak sesosok bayangan orang melangkah keluar dan Syanti Dewi terbelalak
melihat bahwa orang ini bukan lain adalah nenek hitam berpakaian hitam yang
telah menyihir para pengawalnya malam tadi!
See-thian
Hoat-su juga terkejut sekali, tetapi kakek ini terkekeh dan berkata, “Isteriku
yang baik, engkau sudah menyusulku ke sini? Mana muridku?”
“Siapa
isterimu? Siapa muridmu?”
“Engkau
isteriku... yang baik, yang tercinta, yang...”
“Cukup! Kita
sudah bercerai dan aku sudah nenek-nenek, engkau sudah kakek-kakek, tidak ada
gunanya merayuku lagi.”
“Ahhhh,
galak amat...! Durganini, di mana muridku?” Kakek itu bertanya dengan alis
berkerut, agak khawatir juga sungguh pun dia tahu bahwa isterinya ini tidak
akan mengganggu orang begitu saja.
“Muridmu
siapa?”
“Ah, jangan
main-main. Tentu saja Teng Sian In...”
“Dia? Huh,
engkau lancang mulut, enak saja mengaku murid. Dia muridku, tahu?”
“Hah...?!”
Kakek itu melongo.
Cepat dia
menguasai keheranannya, teringat bahwa sekali dia terheran, akan mudah untuk
jatuh di bawah pengaruh sihir isterinya yang dalam hal ini lebih kuat dari pada
dia itu. “Apa maksudmu?”
“Maksudku?
Kau lihat dan dengar sendiri! Siang In...! Muridku yang baik, kau keluarlah!”
“Baik,
Subo!” Terdengar jawaban nyaring dan tak lama kemudian muncullah seorang dara
remaja cantik manis yang memandang kepada kakek itu dengan senyum lebar dan
kemudian memandang kepada Syanti Dewi dengan sinar mata penuh keheranan. “Ehh,
Enci ini siapakah? Begini cantik jelita seperti bidadari...!”
Begitu
melihat Siang In, Syanti Dewi sudah merasa senang sekali. Akan tetapi hatinya
terlampau gelisah melihat nenek itu sehingga dia diam saja memperhatikan kedua
orang tua itu. Tak disangkanya bahwa kakek yang menolongnya ini malah suami
dari nenek itu, atau setidaknya bekas suami!
Sementara
itu, See-thian Hoat-su yang tadinya menyangka bahwa tentu muridnya telah
terjatuh ke dalam kekuasaan sihir isterinya, begitu melihat muridnya, menjadi
makin terheran-heran karena ternyata benar olehnya bahwa muridnya itu sama
sekali tidak di bawah pengaruh sihir!
“Siang In,
apa maksudmu? Mengapa engkau mengangkat guru kepadanya?”
“Kepada
siapa, Suhu? Maksudmu kepada Subo ini?”
“Ya. Kenapa?
Bukankah engkau sudah menjadi muridku?” kakek itu menuntut.
“Karena aku
menjadi murid Suhu, maka aku adalah muridnya juga, bukan? Engkau adalah suhu-ku
(Bapak Guru) dan dia adalah subo-ku (Ibu Guru). Aku telah mendengar bahwa Suhu
telah meninggalkan Subo. Jahat sekali itu!”
“Ihh, anak
kecil kau tahu apa? Hayo kau ikut aku pergi.”
“Tidak,
Suhu. Aku mau ikut pergi dengan Suhu kalau bersama Subo. Kalau tidak, biar aku
ikut Subo saja, sama-sama perempuan.”
“Wah,
apa-apaan ini?” Kakek itu menggaruk kepalanya. “Celaka sial dangkalan! Kenapa
aku mengambil murid seorang perempuan? Sekarang aku dikeroyok!”
“Bagaimana,
Suhu? Kalau Suhu mau berbaik kembali dengan Subo, aku mau ikut Suhu, kalau
tidak, biar aku ikut dengan Subo.”
Kakek itu
membanting-banting kakinya. “Cari penyakit! Dahulu, hanya dengan seorang
perempuan di sampingku, hidup sudah banyak repot, sekarang malah ada dua ekor!
Cari penyakit!”
“See-thian
Hoat-su, banyak lagak engkau!” Durganini menudingkan tongkatnya. “Kalau begitu,
pergilah tinggalkan kami, jangan sampai bangkit marahku dan kukutuk engkau
menjadi monyet nanti!”
“Sudahlah!”
Kakek itu menghela napas panjang. “Dasar nasibku, tua-tua cari perkara. Aku mau
menurut, kita bersama lagi, akan tetapi hanya dengan satu syarat yaitu kalian
harus meninggalkan Tambolon dan ikut dengan aku ke tempat sunyi. Jangan
membikin dunia yang sudah kacau menjadi makin kacau lagi. Bagaimana?”
“Setuju!”
Siang In bersorak. “Selamanya aku memang hidup di tempat sunyi, dahulu dengan
enci-ku, sekarang dengan Suhu dan Subo, tentu lebih ramai.”
“Bagaimana,
Durganini?” Kakek itu menuntut.
Aneh! Nenek
itu menundukkan muka seperti seorang gadis diajak kawin, kemalu-maluan dan
hanya terkekeh dan mengangguk-angguk! Kakek itu tertawa bergelak lalu
menggandeng tangan Durganini di sebelah kanan dan tangan muridnya di sebelah
kiri. “Kalau begitu, hayo kita pergi, tunggu apa lagi?”
“Ehh, nanti
dulu... Enci, mari kau ikut bersama kami saja...!” Siang In berseru sambil
menoleh kepada Syanti Dewi.
Akan tetapi
Syanti Dewi yang merasa ngeri menyaksikan adegan aneh itu dan seolah-olah
menghadapi orang-orang gila, tentu saja tidak mau dan menggeleng kepala. Dan
tiba-tiba dia melihat asap hitam mengepul yang menelan tiga orang itu lenyap
dari pandangan matanya. Sejenak dia tertegun dan kagum bukan main. Kiranya
banyak benar orang-orang pandai di dunia ini.
Akan tetapi
setelah kakek itu pergi, dia teringat akan keadaan dirinya dan timbullah
kekhawatirannya. Biar pun nenek itu sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia tidak
tahu bagaimana jadinya dengan dua losin orang pengawal itu, apakah masih di
bawah pengaruh sihir nenek itu sehingga bahkan berbalik hendak menangkapnya.
Teringat ini, kemudian dia mengambil keputusan untuk pergi sendiri saja
melanjutkan perjalanannya ke barat.
***************
Dengan hati
lega Ceng Ceng dan Topeng Setan tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng
menjadi ketuanya itu. Mereka sudah melihat beberapa orang anak buah menyambut
kedatangan mereka dengan muka gelisah. Karena Topeng Setan masih menderita luka
parah dan tubuhnya membutuhkan perawatan baik, maka dia tak begitu memperhatikan
keadaan di situ, dan Ceng Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka
dapat tiba di tempat persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki
rumah besar yang selama dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya. Heran
juga dia melihat rumah itu demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang.
Tidak nampak
ada pelayan dan penjaga menyambutnya. Mereka terus saja memasuki ruangan dalam
dan tiba-tiba keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang
warna mukanya aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung
di tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng
Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo,
yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi.
Topeng Setan
juga terkejut sekali dan tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang
yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!
Melihat
wanita yang bersama dengan Kian Bu di Telaga Sungari dan yang telah
memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng menjadi marah, memandang dengan
mata terbelalak dan dia menudingkan telunjuknya sambil membentak, “Kalian iblis
laki perempuan berada di sini mau apa?”
“Ha-ha-ha-ha,
selamat bertemu, Nona Ceng! Selamat datang di tempat perkumpulan kami.”
“Apa
maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?” Ceng Ceng membentak. “Aku adalah Bengcu di tempat
ini!” Ceng Ceng memberi isyarat dengan tepuk tangannya untuk memanggil anak
buahnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani muncul.
“Ha-ha-ha-ha!
Tempat ini telah menjadi tempatku, Nona yang baik. Tetapi mengingat
persahabatan antara kita, aku mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu
kalau engkau suka menyerahkan anak ular naga itu kepadaku.”
“Jangan
mimpi! Mustika itu telah berada di dalam perutku...”
“Tidak...
tidak..., kami tidak berhasil mendapatkan anak naga itu...” Topeng Setan cepat
berseru dengan wajah membayangkan kekhawatiran, namun Hek-tiauw Lo-mo tertawa
lagi.
“Kau hendak
membohongiku? Ha-ha, kulihat cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini
berarti darahnya sudah bersih. Tetapi... darah dan dagingnya masih sepenuhnya
mengandung khasiat mustika itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kini kau
datang menyerahkan diri padaku, ha-ha-ha...!”
“Hek-tiauw
Lo-mo, engkau tidak bisa berbuat sekeji itu!” Mendadak Topeng Setan membentak
marah dan tangan kanannya telah dikepal keras-keras. “Engkau tidak boleh
mengganggu dia!”
“Ha-ha-ha,
siapa yang tidak memperbolehkan? Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung
sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis, kau ikutlah dengan aku, ha-ha-ha-ha!”
Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu
itu menggapai kepada Ceng Ceng.
Nona ini
tenang-tenang saja dan dia masih belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia
berkata, “Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau benar-benar tidak mempunyai
perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan berbudi, akan tetapi apakah
engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau lihatlah, dia terluka parah dan
perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya. Dan percuma saja engkau
mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan semua. Biar engkau akan
membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan anak ular naga itu.”
“Aihhh, Ceng
Ceng... kau... kau tidak tahu...” Topeng Setan mengeluh. “Dia memang bukan
manusia, dia lebih jahat dari pada iblis, lebih keji dari pada seekor binatang
yang paling buas. Dia menghendaki daging dan darahmu...”
Wajah Ceng
Ceng menjadi pucat sekali dan sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke
depan, menghantam ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya
Ketua Pulau Neraka itu mengelak dan kemudian tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa
punggungnya sakit sekali dan dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia
menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari
belakang Hong Kui telah menotoknya.
“Kalian
tidak boleh mengganggunya!” Topeng Setan membentak.
Tubuhnya
mencelat ke depan dengan kecepatan bagai kilat dan tangannya yang tinggal
sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan tangannya dan tenaga yang
terkandung di dalam tangan ini juga amat besar, mendatangkan angin pukulan yang
dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil menangkis.
“Bressss...!”
Tubuh wanita
cantik ini terlempar ke belakang menabrak tembok dan kalau saja dia tidak
memiliki kepandaian tinggi, tentu tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia
sudah mengerahkan sinkang-nya dan ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah
membulatkan tubuh dan menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan
tetapi dia kaget dan marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan
jantungnya masih berdebar tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali
gebrakan saja!
Sementara
itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan
menggunakan Ilmu Pukulan Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng
Setan baru saja menderita kehilangan lengan kiri. Ketika hal itu terjadi, dia
sedang bergulat dengan maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah
dan tubuhnya masih lemah. Apa lagi karena baru saja kehilangan lengan kiri,
gerakannya menjadi kaku dan canggung.
Oleh karena
itu, biar pun dia masih mampu menangkis beberapa pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan
mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga menerjangnya dengan penuh
kemarahan, namun karena sebagian perhatiannya juga tercurah kepada Ceng Ceng
dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah terlentang dalam keadaan
pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah roboh oleh hantaman tangan
kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya. Sekali dia roboh terhuyung,
Mauw Siauw Mo-li langsung menotok pundak kanannya. Seketika Topeng Setan merasa
betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia roboh terguling.
“Ceng
Ceng...!”
Biar pun dia
sudah roboh, Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng
Ceng dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw
Lo-mo dan membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum
darahnya oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular
naga, dia merasa ngeri dan khawatir sekali.
Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa marah bukan main karena tadi dibuat terlempar
menubruk tembok oleh Topeng Setan, menghampiri orang aneh itu. Memang dia sudah
merasa amat kagum dan heran ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan
ketika terjadi perebutan anak ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam
keadaan terluka hebat, buntung lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga
itu, bahkan mampu membawa Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh
sekian banyaknya orang lihai di Telaga Sungari. Sekarang dia merasakan sendiri
keampuhan tangan yang tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk
melihat bagaimana macam orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.
“Suheng
jangan bunuh dia dulu. Aku ingin melihat wajahnya!” Dia berteriak ketika
melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun tangan membunuh Topeng Setan.
“Hemm,
sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa dia!” Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil
terkekeh girang karena dia telah berhasil menangkap Ceng Ceng dan merobohkan
Topeng Setan yang amat lihai itu.
Lauw Hong
Kui membungkuk, tangan kanannya meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama
sekali tidak berdaya lagi itu, jari-jari tangan yang panjang dan halus itu
sudah menyentuh topeng.
“Tahan...!
Enci Hong Kui, jangan kau buka topeng itu...!” Tiba-tiba Kian Bu yang baru
muncul keluar berseru keras mencegah perbuatan Hong Kui itu.
Mendengar
suara Kian Bu itu, Hong Kui terkejut karena kekasihnya itu nada suaranya
bersungguh-sungguh seperti orang sedang marah. Tentu saja dia tidak ingin
membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya karena muka Topeng Setan dia
harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin akan mogok melayani
nafsunya, dia akan rugi sekali!
Kian Bu
terkejut bukan main ketika melihat Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Jika
saja dia tidak terlambat muncul, tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan
sumoi-nya itu menyerang Ceng Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan
langkah lebar dia menghampiri, alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw
Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo, aku melarang engkau mengganggu mereka!
Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku sendiri, dan Topeng Setan adalah
pembantunya yang setia. Mereka berdua telah membuat jasa besar dalam membantu
pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu kalau engkau mengganggu mereka. Enci
Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut suheng-mu!”
“Ha-ha-ha,
Sumoi, matamu buta! Engkau memilih kekasih yang menentang kita. Orang muda,
engkau sombong sekali. Kau kira mudah saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?”
Kakek itu
sudah mengepal kedua tangannya dan terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan
tanda bahwa dia sudah marah sekali dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian
Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan
siap untuk melakukan perlawanan terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.
“Tahan...!
Jangan berkelahi...!” Mauw Siauw Mo-li berseru, meloncat di tengah-tengah
melerai mereka. “Suheng! Kian Bu! Janganlah kalian berkelahi sendiri. Segala
urusan masih dapat dirundingkan baik-baik, mengapa harus menggunakan kekerasan
saling merusak? Kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi, kalau sudah saling gempur tentu ada seorang di antara kalian yang
celaka.”
Hek-tiauw
Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan sumoi-nya ini menyadarkannya bahwa memang
amat merugikan kalau dia bermusuhan dengan kekasih sumoi-nya ini. Dia tahu
betapa lihainya putera Majikan Pulau Es ini dan dalam keadaan seperti sekarang
ini, sebaiknya kalau dia tidak bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat
ditarik oleh sumoi-nya itu. Dan tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga
Topeng Setan, dapat saja dia kuasai dengan jalan halus.
“Ha-ha-ha,
ucapan sumoi memang tepat juga. Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah
suheng-nya, sungguh tidak enak kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan
menjadi malu hati terhadap sumoi-ku yang tinggal seorang ini!”
Kian Bu
menahan senyum dan melirik ke arah Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam
keadaan pingsan dan Topeng Setan yang juga rebah tak berdaya karena sudah
tertotok.
“Lo-mo, aku
pun tidak hendak memusuhimu, tetapi kalau engkau mengganggu mereka, terpaksa
aku harus turun tangan.”
Hek-tiauw
Lo-mo menarik napas panjang. “Aihh, kau tentu mengerti betapa aku amat
membutuhkan khasiat naga itu untuk menyempurnakan ilmuku yang masih setengah
matang kulatih. Dan aku harus merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan
ini.
Akan tetapi
biarlah hal itu akan kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk
mengembalikan kitab. Ada pun tentang nona dengan khasiat anak naga, biar
sementara waktu kita tidak usah bicarakan dulu. Akan tetapi aku pun tidak akan
membebaskan mereka sebelum kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang
bertanggung jawab kalau sampai nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa
dia ke kamar dan menjaganya. Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga
keras.”
Tanpa
menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke
dalam tahanan di mana dia memerintahkan anak buah Pulau Neraka untuk
menjaganya. Lengan yang tinggal sebelah itu dipasangi belenggu baja yang arnat
kuat, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang
tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak
buahnya membuka topeng buruk itu.
Sementara
itu, Lauw Hong Kui terus membujuk kekasihnya untuk bersabar dan dia lalu memondong
tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan itu ke dalam sebuah kamar dan menjaganya.
Dapat dibayangkan betapa bingung rasa hati Kian Bu. Dia ingin sekali menolong
Ceng Ceng dan Topeng Setan, tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya
seperti itu, dia tidak mungkin seorang diri saja membebaskan mereka karena dia
harus menghadapi Hek-tiauw Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya.
Selain itu,
juga dia merasa sungkan untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu tentu
terpaksa akan berpihak kepada suheng-nya. Maka dia mengandalkan cinta kasih
wanita itu kepadanya agar supaya dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak
mengganggu kedua orang tawanan itu sebelum dia mampu menyelamatkan mereka.
Suma Kian Bu
termenung dalam kamarnya. Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya
sadar bahwa dia telah tersesat, telah menuruti nafsu birahi dan membiarkan
dirinya tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung
racun-racun berbahaya. Namun, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan
yang dialaminya bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tak mampu meninggalkan
wanita itu.
Dia
merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan madu.
Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat dia
melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan kenikmatan
biar pun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan diri,
sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan, sadar bahwa
dia tersesat!
Tiba-tiba
dia mendengar suara sesuatu di jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang
dari luar! Dia terheran-heran mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang
mendekati jendelanya dan tahu-tahu jendela itu diketuk dari luar! Dengan sikap
waspada dan siap-siap Kian Bu mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu
mendorong jendela terbuka. Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang
pemuda sudah berdiri di luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik
karena dia bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Dengan
pandang mata tajam penuh selidik Tek Hoat memberi tanda dengan telunjuk di
depan bibir agar Kian Bu tidak membuat gaduh, kemudian dengan gerakan ringan
sekali dia meloncat memasuki kamar Kian Bu. Wajah pemuda ini masih pucat,
agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan
Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan tewaskan itu masih belum
memulihkan kesehatan tubuhnya secara keseluruhan.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang terluka hebat sekali telah
diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana dan di sana mengalami perawatan serta
pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat mendengar bahwa musuh besarnya, Gak
Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul dan biar pun kesehatannya masih belum
pulih, badannya masih lemah, dia tetap nekat meninggalkan istana Puteri Milana
untuk pergi mencari musuh besarnya itu.
Juga dia
pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa Syanti
Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia
tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti.
Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan
dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang
dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.
Karena
kesehatannya belum pulih, Tek Hoat tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan
kemudian dia teringat akan dusun Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang
menjadi bengcu kaum sesat di sana. Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan
meninggalkan tempat itu, Tek Hoat lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari
sapu tangannya yang membuat dia teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan
juga untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Akan tetapi,
ketika pagi hari itu dia tiba di sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia
mendengar jerit seorang wanita. Biar pun dia merasa enggan untuk mencampuri
urusan orang lain, apa lagi karena tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga
rasa penasaran di dalam hatinya dan dia cepat mengejar ke arah datangnya suara
itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali seperti jerit wanita yang mengalami
kekagetan.
Dengan
bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil
rusak di mana terdapat belasan orang yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon
dan dua orang pengawalnya yang terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir
Tek Hoat mengeluarkan teriakan kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara
berdiri di tengah-tengah pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak
lebar dan mukanya pucat karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi!
Tek Hoat
menggosok-gosokkan kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri
Bhutan yang selama ini tidak pernah dilupakannya sedetik pun juga! Akan tetapi
bagai mana puteri ini bisa berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil
tua dan kini dikurung oleh Tambolon dan orang-orangnya?
Seperti kita
ketahui, Puteri Bhutan ini berada di depan kuil tua seorang diri setelah dia
ditinggalkan See-thian Hoat-su yang mengajak pergi isterinya, Durganini dan
muridnya, Teng Siang In di tempat itu, tiba-tiba datang Tambolon dan anak
buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali dan mengeluarkan suara menjerit
tadi yang terdengar oleh Tek Hoat.
Setelah dia
merasa yakin bahwa dara itu adalah Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa
panas naik dari pusarnya terus sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah.
Ada orang-orang berani mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali
meloncat, tubuhnya melayang dan tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan
itu, di dekat Syanti Dewi yang menjadi girang sekali melihat pemuda ini.
“Tek
Hoat...!” Dalam kegirangannya melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya
mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda yang pernah menolongnya dan yang tentu
sekarang datang hendak menolongnya pula, Syanti Dewi segera menyambar lengan
Tek Hoat.
Merasa
betapa lengannya disentuh oleh tangan dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras
akan tetapi dengan halus dia melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik
halus, “Harap paduka mundur dan berlindung di belakang saya...”
Syanti Dewi
menggigit bibirnya mendengar betapa pemuda itu menyebut paduka dan bersikap
amat menghormatinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang
pemuda itu, hatinya diliputi penuh kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon
dan anak buahnya yang mengancam.
Memang
Tambolon marah sekali ketika dia melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan
tiba-tiba saja muncul di situ. “Ahhh, bukankah engkau pemuda tangan kanan
Pangeran Liong Khi Ong?” bentaknya.
“Tidak perlu
menggali urusan lama, yang penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang
engkau mengganggu puteri ini!” Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang
nadanya penuh tantangan.
“Pemuda
sombong!” Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang
ke depan dengan totokan jari-jari tangannya yang dilakukan secara beruntun ke
arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.
“Plak-plak-plak...
desss...!”
Tubuh Siucai
itu terlempar ke belakang, bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa
tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya.
Melihat
betapa kawannya begitu mudah dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah.
Dia berseru keras dan pikulannya telah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut
ini, Tek Hoat cepat mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri
yang juga dapat dielakkan oleh Si Petani Maut. Ada pun Yu Ci Pok yang mukanya
menjadi merah sekali karena terbanting tadi, kini juga telah meloncat bangun,
mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan
Lauw Kui dia menyerang Tek Hoat kalang kabut.
“Hemm...,
kalian hendak bertempur? Boleh, lihat pedang!”
Tiba-tiba
kelihatan sinar pedang bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang
Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dulu
menjadi milik iblis dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong! Terdengar suara
nyaring berkali-kali dan dua orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang
dengan muka pucat karena senjata pikulan dan dug batang poan-koan-pit itu telah
patah-patah terbabat sinar pedang Cui-beng-kiam.
“Simpan
pedangmu atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Tiba-tiba Tambolon berkata
tenang.
Tek Hoat
terkejut, cepat dia memutar tubuhnya dan matanya terbelalak memandang Syanti
Dewi yang sudah dipegang kedua lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja
liar ini menempelkan pedangnya di leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah
seluruh tubuh Tek Hoat.
Tambolon
memang seorang yang amat cerdik sekali. Dia telah melihat betapa lihainya
pemuda ini ketika Tek Hoat dengan mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak
berdaya hanya dalam waktu singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju
dibantu dua orang pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan
dapat mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda
perkasa ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin pula
banyak pembantunya yang akan tewas. Dia tentu tidak menghendaki hal ini
terjadi, apa lagi dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah
mengambil cara yang dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam
Syanti Dewi.
Muka Tek
Hoat menjadi merah saking marahnya menyaksikan cara ini. “Tambolon, kau sungguh
manusia pengecut! Bebaskanlah Sang Puteri dan mari kita bertanding secara
jantan!”
Tambolon
tersenyum mengejek. “Di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa saling
hantam? Pula, aku ingin bicara denganmu, kau simpan pedangmu itu!”
“Jangan
mengira aku akan dapat kau gertak, hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan
membunuh kalian semua!”
“Ha-ha-ha,
apakah kau kira aku anak kecil, Ang Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan
memenggal leher yang halus ini!” Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel
di kulit leher putih halus itu amat mengerikan.
Memang
Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut, melainkan dengan
perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda ini, demi untuk
menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhianat, membalik dan membunuh Pangeran
Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Hal ini
yang membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti Dewi sudah
pasti akan berhasil dengan baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak. Dan
memang perhitungannya tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah dibelenggu kaki
tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.
“Tambolon,
kalau engkau mengganggu selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu
dan akhirnya membunuhmu sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”
Ucapannya itu lirih akan tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.
Tambolon
sendiri yang mempunyai watak kejam bergidik mendengar sumpah itu karena dia
maklum bahwa orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat
itu. Pemuda seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya,
menurut watak dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga.
Akan tetapi dia ingin memanfaatkan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar
pelaporan anak buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di
dusun Nam-lim dan celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Ang Tek
Hoat, aku pun bersumpah tidak akan mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi
engkau harus membantuku dengan sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu
atau mengalami kegagalan, terpaksa aku akan membunuhnya dan kami sanggup
menghadapi ancaman kosongmu itu!”
“Tambolon,
tak perlu banyak cakap. Katakan apa yang kau kehendaki?”
“Aku ingin
agar engkau pergi ke dusun Nam-lim dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau
pendeknya, aku ingin menukar puteri ini dengan Nona Lu Ceng.”
“Tek Hoat...
jangan engkau celakakan Lu Ceng...!” Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan
leher tertempel pedang dan mukanya pucat, berseru. “Biar mati aku tidak akan
mencelakakan adikku itu!”
Tek Hoat
memandang Tambolon dengan sinar mata penuh selidik. “Tambolon, kenapa engkau
menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau dengan begini banyak pembantumu, takut
untuk melakukan penangkapan atas diri Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?”
“Ha-ha-ha,
jangan menduga yang bukan-bukan, orang muda. Engkau adalah seorang di antara
pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau lebih mengenal keadaan di sana dan engkau
tentu akan lebih mudah untuk membawa dia ke sini. Sudahlah, kau lakukan itu
atau terpaksa aku akan membunuh puteri ini.”
“Mengapa
engkau menghendaki dia?”
“Karena dia
telah berhasil memperoleh anak naga Telaga Sungari.”
Diam-diam
Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar tentang anak naga itu akan tetapi dia
sendiri tidak mempedulikan binatang yang dianggap keramat dan merupakan obat
yang amat luar biasa itu.
“Nona Lu
Ceng dan Topeng Setan telah kembali ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan
Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya.”
“Ahhh...?”
Tek Hoat terkejut.
“Karena itu,
berhati-hatilah dan jangan sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau
kau ingin melihat puteri ini selamat.”
“Baik, aku
akan lakukan itu. Dan sekali lagi ingat, jangan engkau mengganggu selembar
rambut pun dari nona ini.” Setelah berkata demikian, Tek Hoat membalikkan
tubuhnya pergi dari situ.
“Tek
Hoat..., jangan kau penuhi permintaan mereka. Jangan kau ganggu adikku Lu
Ceng!” Syanti Dewi masih berseru marah.
Ang Tek Hoat
membalik dan menjura. “Harap paduka tenang saja.” Kemudian sekali berkelebat,
pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu.
Demikianlah,
malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja
dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang
gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek
Hoat di tempat itu.
Setelah
mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian
Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri. “Apakah dunia sudah terbalik? Tidak
salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu
Hek-tiauw Lo-mo?”
Wajah Kian
Bu menjadi merah bukan main. “Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang
bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!”
“Bagus! Akan
tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan
olehnya?”
Jantung Kian
Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini
agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan
merasa makin canggung dan malu lagi. “Enak saja kau bicara, apa kau kira aku
diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku
tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan.”
“Aku datang
untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?”
“Dengan
adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan...”
“Tidak
begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng
ditahan?”
“Di dalam
kamarnya... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Sedangkan Topeng Setan
dimasukkan ke gudang belakang...”
“Aku tidak
peduli dengan Topeng Setan,” kata Tek Hoat. “Sekarang baiknya engkau mengacau
dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan
aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng.”
Kian Bu
mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang
telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari
kamar itu. Setelah memberi isyarat di mana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li,
mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang
baik untuk dibakar. Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia
dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta
wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka.
Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng
Ceng sehingga kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan.
Tak lama
kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas
perkumpulan Tiat-ciang-pang dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan
kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang, “Api...! Api...!
Kebakaran...!”
Seketika
tempat itu menjadi geger. Para anggota Pulau Neraka memimpin orang-orang
memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi
tempat kebakaran. Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu.
Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu
datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw
Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu,
baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.
Ketika
mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan
sumoi-nya, lalu membentak marah, “Sumoi, mengapa kau tinggalkan dia? Celaka,
ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar
sarang!”
Mendengar
ini, Hong Kui terkejut dan bersama suheng-nya dia berlari kembali menuju ke
kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu
tidak ikut kembali ke dalam.
“Brakkk!”
Hek-tiauw
Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan
kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah
kosong.
“Celaka...!”
Lauw Hong Kui berteriak. “Dia sudah kubelenggu!”
“Kau
tolol...!” Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat keluar lagi, mendorong
sumoi-nya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan
mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu.
Sambil
memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat
tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat para penjaganya lengkap di situ
karena mereka tidak berani meninggalkan tawanan penting ini. Dan Topeng Setan
sendiri masih duduk bersila dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar
tahanan.....
***************
Kita
tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan
mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di
depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw
Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng
Ceng mendongkol bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti
atau masih terhitung ‘paman’ tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari
Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya.
Ketika dulu
dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia
masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja
bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga. Akan tetapi
sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ
sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai
pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang
dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan
Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini
tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki
tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis
jahat!
Teringat dia
akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw
Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak, “Enci, biarkan dia
mendapatkan ular itu...!”
Teriakan ini
ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut ‘enci’ oleh Kian Bu. Dan
teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta
kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw
Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.
Akan tetapi
mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa
kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu
cantik sekali. Memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat. Diam-diam
Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah ‘paman’ tirinya itu yang masih muda belia
terjebak dalam pikatan si cantik genit?
Ceng Ceng
gelisah sekali, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang
bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang
kembali berada dalam ancaman maut. Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir
kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya
karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi
tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan?
Tak terasa
lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati?
Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak
mempunyai apa-apa lagi. Dia tidak akan dapat menahan derita hidup dan akan
bosan dengan hidup ini. Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya,
seolah-olah orang itu merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya
yang penuh derita itu.
Sejak dulu
ia hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan
yang dapat menahan kehanyutannya, pegangan dari seorang yang dapat dipercayanya
sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak
sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup
sendirian saja!
Tiba-tiba
jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan
sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung
berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan
sinkang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia
ditotok bebas.
“Tek
Hoat...”
“Sssssttt,
mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!” Tanpa menanti jawaban dia
menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di
antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat
mungkin keluar dari dusun Nam-lim.
“Tek Hoat,
berhenti dulu!” Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat
berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang
di malam itu.
“Kita harus
kembali!” kata Ceng Ceng dengan suara tetap.
“Ehh...?”
Tek Hoat menjadi terheran sekali. “Susah payah aku membebaskan engkau dan
melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?”
“Aku tidak
boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di
sana. Kita harus menolong dan membebaskannya.”
Tek Hoat
yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan,
tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika
membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini
mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.
“Ceng Ceng,
kau kira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian
Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku bisa semudah itu
membebaskanmu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya serta kaki
tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke
sana berarti kita akan memasuki goa naga yang amat berbahaya. Apa lagi mereka
tentu telah bersiap-siap...”
“Tidak
peduli!” Ceng Ceng membentak dan mencari-cari sapu tangan dari balik bajunya.
Sapu tangan
milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan
‘jimat’ baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini. “Ang Tek Hoat, kau berani
membantah perintahku? Kau... kau...”
Dia bingung
karena sapu tangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu
tertawa, dia memandang dan... ternyata sapu tangannya itu telah berada di
tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali sapu tangannya!
“Ceng Ceng,
kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu.”
“Keparat,
kau jahat!” Ceng Ceng membentak. “Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat
dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!” Ceng
Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.
“Nanti
dulu...! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?”
“Syanti
Dewi...? Apa maksudmu?” Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.
“Dia ditawan
oleh Raja Tambolon. Aku hendak menolongnya, akan tetapi Tambolon menodong leher
puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau
menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya.”
“Lalu...
lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?”
“Hemm... aku
telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia
hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi,
kita harus menggunakan akal. Engkau harus pura-pura menjadi tawananku dan
kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku,
maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon.”
Ceng Ceng
menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan
dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan
tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih
menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan
tetapi... bagaimana dengan Paman Topeng Setan...? Kita harus menyelamatkan dia
lebih dulu...”
“Jangan
khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan dan memancing
perhatian musuh, Suma Kian Bu tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin
bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat
menangkapmu kembali. Engkaulah yang sebenarnya dibutuhkan olehnya, bukan dia.
Tentu dia dapat digunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan
terlambat menolong Syanti Dewi!”
Mendengar
ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai
Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri
ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji
dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi
memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan
bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon!
Hari masih
pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng
Ceng tiba di dusun itu. “Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok
jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui
Tambolon dan pembantu-pembantunya yang lihai,” kata Tek Hoat.
Ceng Ceng
mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan
dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke
tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.
“Tambolon,
aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kau keluarkan Puteri Syanti
Dewi!” Tek Hoat berteriak ketika dia sudah tiba di depan rumah yang ditinggali
gerombolan itu.
Tambolon dan
teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat
pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar,
diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan
mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut.
Ketika dia
melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan
rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat
melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang, “Adik Candra...!”
Akan tetapi
Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng
Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata
menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang
kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan
totokannya.
“Tambolon,
kau lemparkanlah Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng
kepadamu!” Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling
baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.
“Hemm,
pemuda sombong. Kau kira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali
mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya kembali. Nah, terimalah!” Tambolon
yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan
melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng
yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.
“Adik
Candra...!”
“Enci
Syanti...!”
Dua orang
gadis itu hanya mampu saling memanggil nama masing-masing ketika mereka
terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan
didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.
“Ang Tek
Hoat... kau harus menolong Adik Candra...” Syanti Dewi berkata ketika melihat
betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.
“Harus satu
demi satu, Sang Puteri. Tidak mungkin aku menyelamatkan kalian berdua
sekaligus,” kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang
terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini.
Dia juga
suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat
terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan,
yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi
yang dicintanya sepenuh hati itu.
“Habis,
bagaimana dengan Candra Dewi...?” Syanti Dewi membantah.
“Jangan
khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan
berusaha untuk menolongnya.”
Agak lega
rasa hati Syanti Dewi, sungguh pun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik
angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam.
“Ke mana aku hendak kau bawa...?” Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda
itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.
“Ke kota
raja,” jawab Tek Hoat pendek.
Tentu saja
Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana
dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini
hendak membawanya kembali ke kota raja?
“Tek
Hoat...! Apa... apa yang hendak kau lakukan ini...?”
Melihat puteri
itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidak
percayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia
menarik napas panjang.
“Puteri
Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan
tetapi... harap paduka tenangkan hati karena saya... saya yang sesungguhnya
seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk
terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su
yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di
samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang
sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan
kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su.
Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong
Ceng Ceng...”
Melihat
sikap pemuda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang
pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah
mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas. “Aku yakin bahwa engkau adalah
seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat.
Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua
nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik
Candra Dewi.”
Tek Hoat
menjadi lega dan girang hatinya. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya
dari pada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia
sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau
dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apa lagi menyelamatkan
puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia.
Akan tetapi
kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang
sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super
Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena
dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw
Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan
pemuda ltu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti
Dewi!
“Agar dapat
cepat, terpaksa saya harus memondong paduka...”
“Terserah
kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu,” jawab Syanti Dewi.
Tek Hoat
kemudian memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan
perjalanan sambil berlari cepat. Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya.
Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya
ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang
dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang.
Dia merasa terharu sekali! Keharuan yang baru pertama kali pernah dirasakan
oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.
Dengan mudah
Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su
setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di
ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang
di tangan.
“Aku bukan
orang jahat..., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada
Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga...!”
Dua orang
pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka
tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari
Bhutan ini. Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama
seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan
seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su
setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.
Perdana
Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul
bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan
keluar dari kamarnya. Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan
Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga
dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada
perdana menteri tua itu.
Perdana
Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya
dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat. “Siapakah
kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah
malam di sini?”
“Saya adalah
Ang Tek Hoat...”
“Hemmm...
aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana...” Kakek bangsawan itu
mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur
dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka.
Perdana
Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat
Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini
bukan orang berbahaya, apa lagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah
perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan
disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh
para pengawal mundur.
“Ceritakan
apa kepentingan kalian,” kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk
di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.
“Saya baru
membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon...”
“Ahhh...? Si
keparat itu berani berada di dekat kota raja?”
Tek Hoat
lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa
dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi
melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng
dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Hemm, tentu
saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu
dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri
kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi
Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu
dapat dibasmi!”
Tek Hoat
menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar
bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri
sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri
Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti
Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu.
Sejenak
mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar, “Selamat jalan,
Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang
berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu.”
Terharu rasa
hati Syanti Dewi. Dia sudah tertarik sekali pada pemuda ini sejak pemuda ini
menyelamatkan dirinya dari Pangeran Liong Khi Ong, apa lagi setelah mendengar
bahwa pemuda inilah yang dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi
pemuda itu menolongnya dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon. Pemuda ini
dikabarkan jahat sekali, dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan
tetapi baginya, pemuda ini amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa
iba di hatinya. Ingin dia menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda
itu yang pernah dijumpainya pada saat Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan
ingin dia menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini.
Akan tetapi
dia merasa tidak enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih
sangsi apakah rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati
pemuda itu. Karena ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan
apa yang diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah
terlambat. Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak
baik dan akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.
“Terima
kasih..., Tek Hoat. Selamanya aku akan selalu ingat bahwa sudah dua kali engkau
menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Terima
kasih...”
Wajah Tek
Hoat berseri sejenak mendengar ini, kemudian dia memandang dengan sinar mata
penuh kasih sayang dan kemesraan, namun hanya sekejap saja karena dia lalu
membalikkan tubuhnya dan pergi cepat sekali dari istana itu. Sekali berkelebat
tubuhnya sudah mencelat keluar dan naik ke atas genteng lalu lenyap.
Perdana
Menteri Su menghela napas panjang. “Seorang pemuda yang hebat sekali
kepandaiannya...”
Dia lalu
mengajak Sang Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah
kamar untuk mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar
kamar puteri itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima
Jayin yang bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja.
Syanti Dewi
tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di
depan matanya, terutama sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir ketika
hendak meninggalkannya. Pandang mata pemuda itu! Tak salahkah dia? Benarkah
pemuda itu menolongnya dengan pengorbanan dirinya, sampai hampir tewas ketika
melawan para pengawal Liong Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya?
Ahhh, tidak mungkin. Tentu karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya,
setelah dia membantu pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang
pemberontak, membunuh dalang pemberontak Pangeran Liong Khi Ong!
Mengapa dia
selalu terkenang kepada pemuda itu? Sedangkan dia sama sekali justru tidak
tersentuh hatinya ketika pemuda seperti Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih
kepadanya?
Dibandingkan
dengan Ang Tek Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera
Pendekar Super Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar! Akan tetapi entah
bagaimana, dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan
dan gagah itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguh
pun dia amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka
seorang kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan.
Dan tentang
cinta kasih terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami,
yaitu terhadap Gak Bun Beng! Meski pun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia
dapat berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya,
mengagumkan hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan
Himalaya, tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus
prosen itu.
Keinsyafan
itu membuat dia mengubur rasa cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa
seorang laki-laki sehebat Gak Bun Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya,
yaitu kepada Puteri Milana, selama hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang
wanita lain, biar pun dia tahu bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik
kepadanya dan amat mencintanya. Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap
Gak Bun Beng menjadi cinta kasih terhadap seorang paman, ayah atau guru yang
amat dihormati dan dijunjung tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu
akan dapat berkumpul kembali dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa
gembira jika melihat pria perkasa itu berbahagia hidupnya.
Sekarang,
melihat Tek Hoat yang pendiam dan kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang
muram, kadang-kadang gembira, dia melihat pula adanya sifat-sifat yang
mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda ini menimbulkan kepercayaan besar
dalam hatinya, dan pemuda ini pun membayangkan sebagai sebongkah batu karang
yang besar dan kokoh kuat, yang akan dapat merupakan seorang pelindung yang
boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di
dalam alam penderitaan, alam kedukaan dan penyesalan.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Perdana Menteri Su sudah memanggilnya,
kemudian mengatakan bahwa perdana menteri itu telah melakukan kontak dengan
para utusan Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Jayin.
“Karena
engkau masih merupakan seorang pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya
keributan, terutama juga untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan
seperti yang terjadi ketika kau dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya
kalau engkau menyamar sebagai seorang wanita biasa, Sang Puteri.”
Demikianlah,
tak lama kemudian, dua orang pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang
cantik sekali namun berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana,
rambutnya juga dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana
menteri melalui pintu belakang.
Panglima
Jayin yang menyambutnya di jalan tidak memberi hormat tetapi memandang dengan
mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan
puteri junjungannya itu. Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu,
mengantarkan Sang Puteri menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak
buahnya sudah berkumpul. Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun
berpakaian seperti orang-orang biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan
memberi hormat kepada Syanti Dewi ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian
wanita biasa memasuki rumah penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang
kelihatan tinggi tegap dan gagah dalam pakaian penyamarannya seperti orang
biasa.
Dengan
sehelai surat dari Perdana Menteri Su di dalam sakunya, Panglima Jayin dan
rombongannya dapat mengawal Sang Puteri mengendarai sebuah kereta keluar dari
kota raja tanpa ada yang berani mengganggu dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang
kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri dari Bhutan itu melakukan perjalanan
pulang ke Bhutan.
Tanpa dapat
dicegah lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan
dapat bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya
menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu jelas siapa yang
ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali
kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao
Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah
Ang Tek Hoat.....
***************
“Ha-ha-ha,
akhirnya engkau terjatuh pula ke dalam tanganku, nona manis. Ha-ha-ha!” Raja
Tambolon tertawa gembira ketika dia memondong tubuh Ceng Ceng masuk ke ruangan
dalam rumah yang dijadikan tempat tinggal sementara itu, diikuti oleh Si Petani
Maut Liauw Kui, Si Siucai Yu Ci Pok, dan lima orang Loan-nga Mo-li. Nenek ahli
sihir Durganini tidak nampak sekali ini karena seperti telah diceritakan di
bagian depan, nenek itu berjumpa dengan bekas suaminya, See-thian Hoat-su dan
pergi bersama kakek ini dan Teng Sian In yang menjadi murid See-thian Hoat-su.
Ceng Ceng
kini mengerti bahwa dia telah ditinggalkan oleh Tek Hoat begitu saja! Dia telah
ditipu oleh Tek Hoat dan ia dijadikan barang tukaran dengan Syanti Dewi.
Celaka, pikirnya. Pemuda itu benar-benar luar biasa jahat dan curangnya. Untuk
mendapatkan Syanti Dewi, pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan
Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi kiranya bukan ditolong untuk dibebaskan, melainkan
untuk diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar diri Syanti Dewi. Terjatuh ke
tangan pemuda berhati palsu seperti itu, tentu kakak angkatnya itu akan celaka,
pikirnya penuh kekhawatiran. Dan dia sendiri, dia baru saja terlepas dari
tangan Hek-tiauw Lo-mo kini terjatuh ke tangan Tambolon, artinya sama saja
dengan terlepas dari mulut harimau terjatuh ke dalam cengkeraman seekor
serigala!
“Tambolon,
aku tahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang berjiwa dan berwatak
pengecut! Kalau memang engkau yang suka mengangkat diri menjadi raja, benar-benar
seorang yang jantan, hayo kau bebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa
jurus sampai seorang di antara kita menggeletak mampus!” Ceng Ceng memaki.
“Ha-ha-ha!
Dengan susah payah aku mendapatkan dirimu, sampai-sampai aku harus mengorbankan
dan kehilangan Puteri Bhutan yang denok ayu, masa sekarang harus membebaskan
kau dan bertanding lagi. Sayang kalau sampai aku harus membunuhmu begitu saja,
nona manis,” Tambolon tertawa-tawa.
Akan tetapi
kemudian tiba-tiba sikapnya berubah, wajahnya bengis dan dengan kasar dia
mendudukkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke atas kursi di
sebelahnya, memegangi pundak dara itu dan membentak. “Hayo lekas katakan di
mana adanya anak ular naga itu dan serahkan kepadaku!”
“Hemm,
kiranya untuk itu dia menangkapku dan rela membebaskan Syanti Dewi,” pikir Ceng
Ceng.
Tahulah kini
Ceng Ceng bahwa dia tidak akan dapat hidup lagi. Seperti juga Hek-tiauw Lo-mo,
Tambolon ini agaknya berkeras ingin memiliki anak naga dan karena anak naga itu
telah dimakannya habis, maka tentu seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, raja liar ini
akan membunuhnya dan minum semua darahnya yang telah mengandung khasiat dari
anak naga itu.
Dia tidak
bisa mengharapkan pertolongan lagi. Kedua orang pembantunya yang boleh
diandalkan, keduanya sudah tak dapat diharapkannya lagi. Tek Hoat telah
menipunya, tak mungkin pemuda ini dapat membantunya. Dan Topeng Setan masih
berada di dalam tahanan Hek-tiauw Lo-mo, entah masih hidup atau sudah mati.
Tidak ada lagi seorang manusia yang akan mampu menyelamatkannya.
Maka dia
lalu menjawab, “Aku tidak tahu!” dan kemudian menutup mulut dan matanya,
seperti orang sedang bersemedhi.
“Keparat,
apakah kau ingin kusiksa untuk mengaku?” Tambolon berteriak marah.
“Ong-ya,
saya mendengar bahwa gadis ini menderita luka parah dan kalau dia mencari anak
naga itu tentu untuk mengobatinya. Setelah memperoleh anak naga itu dengan
demikian susah payah, di mana lagi disimpannya kalau tidak di dalam perutnya?
Lihat, wajahnya demikian merah dan sehat, tentu karena khasiat anak naga itu.”
Tiba-tiba Si Siucai Maut Yu Ci Pok berkata.
“Kata-kata
Yu-hiante ada benarnya dan untuk membuktikannya, tidak ada jalan lain kecuali
memeriksa darahnya,” kata pula Liauw Kui Si Petani Maut.
“Aha, kalian
benar! Tentu telah ditelannya anak naga itu, maka Hek-tiauw Lo-mo lantas
menangkapnya. Aku tahu kebiasaan manusia iblis itu, suka sekali makan daging
dan minum darah manusia. Daging gadis manis ini tentu lunak dan darahnya tentu
manis apa lagi kalau ternyata mengandung khasiat anak naga. Belenggu dia dan
bebaskan totokannya!”
Liauw Kui
dan Yu Ci Pok cepat membelenggu kaki dan tangan Ceng Ceng dengan tali sutera
yang sangat kuat pada kursi yang didudukinya, lalu Liauw Kui membebaskan
totokan pada pundak dara itu. Tetapi Ceng Ceng tetap menutup mulut dan matanya,
seolah-olah tidak merasakan itu semua.
Gadis ini
memang sedang memusatkan perhatiannya. Sudah beberapa hari semenjak dia minum
sari dari anak ular naga itu, dia merasa sesuatu bergerak-gerak aneh di dalam
perutnya, gerakan yang disertai hawa amat panas akan tetapi kadang-kadang juga
amat dingin. Akan tetapi gerakan-gerakan itu dengan segera menghilang, maka dia
melupakannya. Sekarang, kembali perutnya bergerak-gerak dan diam-diam dia bergidik.
Jangan-jangan
anak naga yang hanya diminum perasannya itu kini hidup kembali dan
bergerak-gerak di dalam perutnya! Makin lama gerakan-gerakan itu makin
menghebat dan seolah-olah ada tenaga mukjijat yang hidup di dalam rongga
perutnya dan yang kini minta jalan keluar!
Ceng Ceng
menjadi khawatir sekali karena perutnya seperti hendak pecah rasanya, ditekan
oleh hawa mukjijat yang berputar-putar di perutnya itu. Maka dia kemudian
mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan tenaga dari pusarnya untuk menekan dan
menindih tenaga liar mukjijat itu. Akan tetapi betapa heran dan kagetnya ketika
hawa liar itu malah menyerbu ke dalam pusarnya, tak terkendalikan lagi,
demikian kuatnya bergerak-gerak di dalam pusar hendak menerobos ke atas!
Pada saat
itu pula, Tambolon sudah mengeluarkan sebatang jarum, hendak menusuk
pergelangan lengan Ceng Ceng untuk mengeluarkan darah gadis itu dan
memeriksanya apakah benar darah gadis itu sudah lain dari biasanya dan telah
mengandung khasiat mukjijat dari anak ular naga. Dan Ceng Ceng tidak tahu akan
itu semua karena dia sendiri sedang berjuang melawan hawa liar mukjijat yang
kini dari dalam rongga perut memasuki pusarnya dan akhirnya dia tidak dapat
menahan lagi, membuka saluran dari pusarnya sehingga hawa mukjijat itu kini
menjalar di seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya terasa panas seperti dibakar dan
keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
“Cusss...!”
Tambolon menusukkan jarumnya ke pergelangan lengan Ceng Ceng.
“Krakkk...!”
Jarum itu mendadak patah seperti ditusukkan pada baja yang keras.
“Ahhhh...!”
Tambolon terkejut bukan main dan juga kagum karena dia mengira bahwa gadis itu
telah menggunakan sinkang yang demikian kuatnya sehingga kulit lengannya mampu
mematahkan jarum baja.
“Keparat,
dia melawan! Totok dia agar tidak mampu mengerahkan sinkang!” katanya kepada
Liauw Kui.
Si Petani
Maut ini selain amat lihai ilmu silat dan senjata pikulannya, juga terkenal
sebagai ahli menotok jalan darah yang lihai sekali. Mendengar perintah rajanya,
dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dua jari yaitu telunjuk dan jari
tengahnya menusuk ke arah pundak kini Ceng Ceng, di bagian jalan darah
Kin-ceng-hiat.
“Takkk!
Aughhh...!”
Liauw Kui
terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Dua batang jari
tangannya seperti akan patah-patah rasanya dan hawa panas yang amat hebat
menyerangnya dari pundak gadis itu, membuat seluruh lengan kanannya seperti
lumpuh dan kehilangan tenaga!
Tentu saja
semua orang menjadi terheran-heran melihat keanehan ini. Gadis itu masih duduk
di atas kursi dalam keadaan terbelenggu, dan memejamkan matanya, alisnya
berkerut, semua tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Jelas bahwa gadis itu tidak
seperti sedang mengerahkan tenaga, akan tetapi mengapa jarum menjadi patah dan
totokan Si Petani Maut menjadi gagal?
Pada saat
itu Ceng Ceng memang sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Telinganya bagai penuh
dengan bunyi mengaung-ngaung dan biar pun kedua matanya dipejamkan, namun dia
masih melihat warna merah serta darah yang menyilaukan, dan seluruh tubuhnya
terasa nyeri semua. Celaka, pikirnya, aku tentu keracunan hebat, akan tetapi
pikiran ini hanya seperti kilatan halilintar saja karena segera pikirannya
menjadi kosong lagi dan seluruh perhatiannya hanya tertuju pada pergerakan
hebat di dalam perutnya, pusarnya, dadanya dan semua tubuhnya, bahkan
pergerakan itu sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya.
“Dia... dia
mempunyai ilmu yang mukjijat... ingat, dia gadis beracun!” Liauw Kui berkata
dan semua orang sudah mencabut senjatanya.
“Biar aku
menotoknya dengan poan-koan-pit!” teriak Yu Ci Pok dan cepat dia telah
menggerakkan senjata pensil baja itu ke arah punggung dan tengkuk Ceng Ceng
“Cus-cuss...
krekk-krekkk! Aihhh...!” Yu Ci Pok meloncat ke belakang, tubuhnya tergetar dan
kedua buah senjata pensil itu patah menjadi empat potong!
“Ilmu
siluman...! Biar kita keluarkan darahnya dan kita tampung!” Berkata Tambolon.
“Cepat ambilkan panci!”
Song Lan Ci,
orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, sudah cepat lari dan minta sebuah panci
kepada anak buah Tambolon, kemudian dia datang lagi dan bersama empat orang
saudaranya dia pun sudah mencabut pedang-pedang samurai mereka.
Tambolon
sudah mencabut pedangnya. Dengan gerakan tangkas dia sudah menerjang ke depan,
menusukkan pedangnya ke arah leher Ceng Ceng karena leher itu tentu akan
mengalirkan semua darah segar dari tubuh dara itu yang akan ditadahi dengan
panci. Dia akan ‘menyembelih’ gadis itu di atas kursinya dalam keadaan
terbelenggu!
Pada saat
itu, Ceng Ceng sudah berada dalam keadaan puncak dari getaran hawa mukjijat
yang menguasai seluruh tubuhnya. Dia sudah menahan-nahan diri agar tidak muntah
karena keadaannya itu membuat dia merasa mual dan ingin muntah. Namun pada saat
pedang Tambolon bergerak, dia sudah tidak dapat bertahan lagi, merasa
seolah-olah nyawanya dicabut melalui mulutnya, maka dara yang merasa bahwa dia
tentu mati pada saat itu, padahal sakit hatinya belum terbalas, pemuda laknat
itu belum terdapat olehnya, rasa penasaran membuat dia menjerit sekuatnya.
Lengking yang amat hebat keluar dari tenggorokannya, dibarengi dengan gerakan
tubuhnya yang seolah-olah hendak meronta dan melawan maut yang disangka hendak
merenggut nyawanya.
“Aaaiiihhhhh...!”
Lengking ini diikuti dengan keluarnya darah menghitam bergumpal-gumpal yang
dimuntahkan oleh mulut Ceng Ceng, akan tetapi hebatnya, pada saat dia
menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya bergerak dan semua tali sutera kokoh kuat
yang membelenggunya putus semua.
Bukan itu
saja, dari dua tangannya yang bergerak kalang-kabut itu keluar hawa mukjijat
yang luar biasa dahsyatnya sehingga Tambolon yang sedang menusukkan pedangnya,
kena digempur hawa mukjijat ini sehingga dia terlempar ke belakang. Tidak
terkecuali Si Petani Maut dan Si Siucai Maut, bersama Loan-ngo Mo-li yang
memegang samurai, terdorong oleh hawa mukjijat dari gerakan kedua dengan tangan
Ceng Ceng sehingga mereka itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas
lantai dengan keras!
Ceng Ceng
membuka matanya, merasa betapa dada dan perutnya lega bukan main setelah dia
memuntahkan darah bergumpal-gumpal itu. Melihat betapa gerakan-gerakannya dapat
mematahkan belenggu dan merobohkan delapan orang itu, dia sendiri terheran dan
terkejut, akan tetapi kecerdasannya mengingatkan bahwa dia kini memperoleh
kesempatan baik sekali. Cepat dia meloncat keluar dan melarikan diri di dalam
kegelapan malam!
Tidak lama
kemudian, setelah sadar dari keterkejutan yang hebat, Tambolon dan para
pembantunya meloncat bangun, kemudian sambil berteriak-teriak mereka melakukan
pengejaran, diikuti oleh anak buah mereka. Akan tetapi Ceng Ceng telah lenyap
dan selain Tambolon sendiri, juga para pembantunya masih terkejut dan jeri
menyaksikan kehebatan gadis itu.
Ceng Ceng
sendiri juga terheran-heran. Dia tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu,
akan tetapi karena dia seorang gadis yang memiliki kecerdasan, dia teringat dan
menduga bahwa tentu semua itu adalah khasiat darah anak ular naga yang telah
diminumnya. Agaknya baru sekarang khasiat anak ular naga itu memperlihatkan
diri, dan hasilnya memang hebat. Hanya dia masih belum mengerti benar
keadaannya dan sayang bahwa Topeng Setan tidak berada di situ, karena kalau
ada, tentu pembantunya yang serba bisa itu akan dapat memberi keterangan.
Memang
dugaan Ceng Ceng tidak keliru, semua itu adalah khasiat dari darah anak ular
naga dan darah-darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulutnya itu
adalah dari racun-racun yang dahulu dilatih dan berada di tubuhnya. Hawa
mukjijat itu adalah hawa yang dibangkitkan oleh darah anak ular itu.
Seluruh
tubuh Ceng Ceng masih gemetar. Ketika dia menyelinap di antara pohon-pohon,
mendadak dua orang anak buah Tambolon muncul dan hampir bertumbukan dengan dia
di tempat gelap. Mereka sama-sama kaget, tetapi dua orang anak buah Raja
Tambolon itu telah mengenalnya dan cepat mereka mengangkat golok mereka untuk
menyerang sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka. Ceng Ceng yang
masih merasa gemetar tubuhnya dan dikuasai oleh hawa yang bergerak-gerak,
merasa lemas dan tidak bersemangat untuk melayani mereka. Setelah mengelak, dia
lalu teringat akan senjatanya yang ampuh, yaitu ludahnya.
“Cuh! Cuhh!”
Dua kali dia meludah dan tepat mengenai muka dua orang lawan itu.
Akan tetapi
Ceng Ceng menjadi kaget dan bingung karena dua orang yang terkena ludah
beracunnya itu sama sekali tidak roboh, bahkan menyumpah-nyumpah marah dan
menyerangnya lebih ganas lagi! Dan karena teriakan mereka tadi, kini muncul
lagi dua orang lain yang segera mengepungnya.
Celaka,
pikirnya. Kalau sampai Tambolon dan para pembantunya datang, dia tentu celaka.
“Minggir...!”
teriaknya dan kaki tangannya bergerak menyerang.
Gerakannya
kacau karena Ceng Ceng merasa betapa tenaganya sendiri lenyap ditelan oleh hawa
yang masih bergerak-gerak itu seolah-olah dia tidak mampu lagi menguasai kaki
tangannya. Akan tetapi, begitu kedua tangannya bergerak mendorong ke depan dan kanan
kiri, empat orang itu memekik ngeri, terlempar dan senjata mereka terpental,
terbanting dan tidak bangun lagi karena mereka tewas seketika!
Ceng Ceng
mendengar datangnya banyak kaki orang, maka cepat dia membalikkan tubuhnya dan
lari dari situ. Begitu dia meloncat, hampir dia berteriak kaget karena
loncatannya kini seperti terbang saja. Sekali meloncat dia sudah melayang ke
atas hampir menabrak pohon! Tubuhnya begitu ringan dan loncatannya begitu kuat
sehingga dia tidak dapat menguasai lagi tubuhnya.
“Brukkk!”
Dia
terbanting ke atas tanah seperti seekor burung sedang belajar terbang. Akan
tetapi Ceng Ceng merangkak bangun dan lari lagi, sekali ini dia berhati-hati
karena dia mulai maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang
liar dan tidak dapat dikendalikan sehingga jika dia salah menggunakannya, dia
tidak mampu lagi mengatur keseimbangan dirinya.
Akhirnya dia
dapat meninggalkan tempat itu dan tidak mendengar lagi suara para pengejarnya.
Tadinya dia berniat untuk mengejar Tek Hoat dan menolong Syanti Dewi, akan
tetapi dia tidak tahu ke mana perginya pemuda berhati palsu itu, maka dia lalu
memutuskan untuk kembali saja mencari dan menolong Topeng Setan. Akan tetapi
tiba-tiba kepalanya terasa pening bukan main dan tanpa dapat dicegahnya lagi
tubuhnya terguling. Karena gelap, dia tidak tahu bahwa dia terguling ke dalam
sebuah jurang. Untung baginya bahwa jurang itu tidak terlalu dalam, dan bahwa
di luar kesadarannya, tubuhnya seperti balon karet terisi penuh hawa yang
penuh, maka biar pun dia pingsan, ketika terguling-guling ke dalam jurang itu
tubuhnya sama sekali tidak terluka, terlindung oleh hawa mukjijat itu.
***************
“Kalian
pengecut-pengecut hina-dina, manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!”
maki-makian itu terdengar dari dalam sebuah kamar tahanan yang sangat kuat,
berdinding tebal dan berpintu besi. “Kalau kalian berani mengganggu seujung
rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian satu
demi satu!”
Yang
memaki-maki ini adalah Topeng Setan! Dapat dibayangkan betapa risau hatinya
kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng yang telah terjatuh ke dalam tangan
Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga itu belum diminum darahnya oleh Ceng
Ceng, masih ada harapan bagi dara itu untuk lolos dengan selamat. Akan tetapi,
darah anak ular itu telah diminum Ceng Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo
manusia iblis itu amat membutuhkan darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo
tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan daging dan minum darah Ceng Ceng untuk
memperoleh khasiat darah anak ular naga itu. Membayangkan ini, hatinya merasa
ngeri dan dia berteriak-teriak dan memaki-maki.
“Hek-tiauw
Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji dan curang. Hayo kau tandingi aku, satu
lawan satu, jangan mengandalkan orang banyak selagi aku terluka dan jangan kau
berani mengganggu Ceng Ceng!”
Karena
Topeng Setan selalu meronta dan memaki, maka ketika dia roboh tadi, dia lalu
dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan keadaannya mengerikan sekali. Pundak
kirinya yang buntung itu masih mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian
pundak itu masih basah dan merah. Kedua kakinya, demikian pula tangan kanannya,
sudah dibelenggu dengan belenggu baja yang amat kuat dan diikatkan pada
tiang-tiang di sudut kamar sehingga tubuhnya tergantung menelungkup, terapung
kurang lebih dua kaki dari lantai.
Tentu saja
dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani dilakukan
oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu membuka
topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li sendiri yang
memenuhi permintaan Suma Kian Bu. Sampai kini, para anak buah itu tidak berani
membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu memaki-maki
Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang malam, para
anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam itu menjadi
marah dan benci sekali! Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah tergantung
menelungkup itu.
Melihat
Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan ini, dan tidak menghentikan
maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh para penjaga, para anak buah
Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini tidak hanya mencambuki, juga
menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk menggebuki punggung dan
pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di samping meledaknya
pecut. Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah tidak terasa oleh Topeng
Setan yang masih menantang-nantang.
Karena dia
maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya, sedangkan
Ceng Ceng terancam bencana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan kekhawatiran
dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk memancing
kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya tercurah
kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu. Topeng Setan
tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar teriakan
kebakaran.
Kini,
setelah malam lewat, sikap para anak buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi.
Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang wajahnya muram dan keruh.
“Iblis
laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau berani, hayo kau lawan aku, laki-laki sama
laki-laki, jangan mengganggu wanita! Ataukah kau sudah demikian pengecut tidak
berani melawan seorang laki-laki yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa
hina engkau!” Topeng Setan memaki-maki dan meronta-ronta sehingga
belenggu-belenggu tangan dan kedua kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.
“Siksa dia,
akan tetapi jangan bunuh dulu! Siksa dia sampai dia minta-minta ampun
kepadaku!” bentak Hek-tiauw Lo-mo yang berwajah keruh itu, lalu meninggalkan
kamar tahanan Topeng Setan.
Dia datang
hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali
pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tak ada sangkut pautnya dengan
terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah berpesan
kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa lolosnya
Ceng Ceng malam tadi.
Mendengar
perintah dari kepala mereka, tentu saja para penjaga itu menjadi girang sekali.
Mereka memang ingin melampiaskan kemendongkolan dan kemarahan mereka. Seorang
di antara mereka yang mempunyai banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang
paling sadis, segera mengusulkan untuk mencari batu besar dan menindihkan batu
itu di atas punggung Topeng Setan agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak
cepat-cepat minta ampun. Semua orang setuju dan enam orang di antara mereka
lalu keluar dan menggotong sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari
tiga ratus kati.
Batu besar
itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung ke
bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia mengerahkan
tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar itu terlempar
mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang di antara mereka yang
cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu saja yang hancur
berkeping-keping tertimpa batu itu.
“Ambil yang
lebih berat lagi!” teriak seorang di antara mereka.
Kini enam
orang itu menggotong sebongkah batu yang lebih besar. Mereka berenam adalah
anggota-anggota Pulau Neraka yang lihai dan bertenaga besar dan batu yang
mereka gotong itu tentu lebih dari lima ratus kati beratnya. Dengan
beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar itu dan menindihkannya ke atas
punggung Topeng Setan.
Wajah
belasan orang yang sudah biasa dengan segala macam kekejaman itu kelihatan puas
ketika melihat betapa perut Topeng Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar
keluhan dari mulut di balik topeng itu ketika batu besar menghimpitnya dari
atas. Tangan yang tinggal sebelah itu menegang tertahan belenggunya, demikian
pula kedua kakinya.
Akan tetapi
sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut
Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah
karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga
dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya
untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia
sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk!
“Haiiiiittttttt!”
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga,
mendadak Topeng Setan mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak
mengerahkan tenaga dan... batu sebesar kerbau yang amat berat itu segera
terlempar dari punggungnya.
“Awas...
minggir...!” Mereka berteriak akan tetapi tetap saja seorang di antara mereka
kena tertimpa sehingga terlempar dan terguling-guling dan mengalami luka-luka
parah.
Hal ini
tentu saja membuat para penjaga itu menjadi makin marah dan penasaran saja.
Kalau tidak ada larangan dari kepala mereka, tentu mereka sudah menghujankan
senjata untuk membunuh orang yang keras hati dan keras kepala ini. Kembali
mereka menghujankan cambuknya dan gebukan sampai tangan mereka sendiri
lecet-lecet. Namun Topeng Setan yang juga mengalami rasa puas sudah dapat
membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki tangannya, makin mengejek dan
menantang-nantang.
Karena dalam
keadaan tidak berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka
sedikitnya dia sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak
senang, dan tadi melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di
dalam hatinya. Kalau wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi
hal yang tidak menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan
Ceng Ceng!
Apakah gadis
itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali Hek-tiauw
Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan dia
melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini. Akan janggal dan tidak masuk akallah
kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng dibunuh! Ahh,
dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan ini membuat
hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.
“He,
Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo kau keroyoklah aku dengan semua anak
buahmu! Aku akan mematahkan batang leher kalian satu demi satu!”
Kini para
penjaga sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tidak peduli apakah akibatnya
tawanan ini akan mampus, mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan
tahu yang besar sekali, batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati!
Saking beratnya, mereka tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong
batu yang bentuknya bundar itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan
orang, mereka dapat mengangkat gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas
panggung Topeng Setan!
Sekali ini
Topeng Setan tak mampu berkutik lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan
kanannya, badannya terayun dan ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia
merasa seolah-olah kedua kaki dan sebelah tangannya akan copot pergelangannya.
Napasnya sesak dan keringatnya bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua
orang bersorak dan tertawa-tawa, ada yang menjambak rambutnya dan berkata,
“Hayo kau gebrakkan lagi pantatmu yang lihai itu agar batu ini terlempar!”
“Lihat, dia
sudah empas-empis mau mampus!”
“Hati-hati,
kawan, jangan sampai dia benar-benar mampus!”
“Tidak,
kalau dia sudah sekarat mau mampus kita gulingkan batu ini dari punggungnya.
Paling-paling tulang punggungnya remuk, ha-ha-ha!”
Dapat
dibayangkan betapa hebat siksaan ini terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar
tulang-tulang kaki dan tangannya tidak copot saja sudah amat sukarnya, apa lagi
melemparkan batu seberat itu dari punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul.
Peluh mengucur keluar dengan derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya
terasa seperti akan patah. Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua.
Terutama
sekali sendi pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat
bertahan lama. Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup
untuk dapat menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya
mengeras, dia ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Dia harus membuat tubuhnya
menegang dengan pengerahan sinkang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau
sedikit saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah.
Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati
dengan tubuh gepeng dan tulang remuk dari pada harus minta ampun!
Dia maklum
bahwa nyawanya tergantung kepada selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri
terancam, mana bisa menolong Ceng Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini
yang akan mau dan yang dapat menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi
ada! Yaitu gurunya! Akan tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan
dunia!
Dalam
keadaan menghadapi maut itu, Topeng Setan teringat akan gurunya, manusia yang
memiliki kepandaian tidak lumrah manusia itu. Kalau saja dia sepandai gurunya,
dalam keadaan seperti ini pun tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan
mudah melemparkan batu seberat ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya?
Padahal gurunya itu pun hanya seorang manusia yang buntung sebelah lengannya!
Tiba-tiba
Topeng Setan teringat akan sesuatu, teringat akan pesan gurunya dahulu.
Pelajaran yang diberikan kepadanya di waktu itu, pesan gurunya di waktu itu,
sebelum ini memang tak pernah diperhatikannya. Akan tetapi setelah sebelah
lengannya buntung, setelah dia terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia
teringat akan semua itu. Gurunya pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya
menemukan seorang ahli waris yang tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya
sendiri, sehingga ilmu rahasia perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan
musnah.
“Ilmu
rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh tokoh persilatan di dunia, muridku,”
demikian kata gurunya. “Akan tetapi kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu
menghimpun tenaga sinkang yang akan mampu menandingi ilmu rahasia kita ini.
Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam dan baru setelah tiba di tanganku,
kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku belum pernah mempergunakan ilmu ini
saking hebatnya, dan karena aku memang tidak pernah bermusuhan dengan siapa
pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Atas
Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu rahasia ini, muridku.” Setelah
berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu yang sakti itu.
Dahulu, dia
merasa heran dan tidak mengerti, biar pun dia tidak berani membantah gurunya,
mengapa gurunya mengajarkan ilmu itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu
adalah ilmu mukjijat yang hanya tepat dipelajari oleh orang yang lengannya
buntung sebelah, itu pun harus lengan kanan yang masih tinggal, seperti keadaan
gurunya yang lengannya hanya sebelah kanan itu. Akan tetapi gurunya tetap saja
mengajarkannya kepadanya. Hal ini sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum
kepada suhu-nya yang ternyata selain memiliki kesaktian hebat, juga agaknya
telah dapat mengetahui bahwa dia akhirnya pun akan menjadi buntung lengan
kirinya, seperti gurunya!
Dahulu, biar
pun dia sudah hafal akan teorinya, dia mengalami kesukaran hebat ketika
melatihnya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu, sesuai dengan namanya, harus dilatih
dengan tubuh menelungkup di atas tanah, seperti naga mendekam. Dan ketika
berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari awal sampai akhirnya. Latihan yang
amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya kejang kaku itu bukan dalam waktu
pendek, karena latihan itu memakan waktu sampai setengah hari!
Berbahayanya,
ketika sedang melatih sinkang berdasarkan ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak
boleh mengendur, karena selagi mengerahkan sinkang seperti yang diajarkan dalam
ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur, orang yang melatihnya akan dapat
menjadi lumpuh kaki tangannya untuk selama hidupnya! Inilah yang amat sukar
sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia belum juga dapat menguasai ilmu
itu. Selalu yang menjadi penghalang dahulu adalah adanya lengan kirinya.
Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar dalam latihan ilmu itu, dia
‘melupakan’ lengan kirinya. Akan tetapi mana mungkin? Karena itu dia belum juga
berhasil.
Topeng Setan
melamun mengenangkan masa lalu itu sambil terus menegangkan tubuhnya untuk
menahan gilingan tahu yang amat berat dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat
itu dia sadar! Bukankah keadaannya pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan
menyempurnakan Ilmu Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dapat
dikuasainya itu? Sekarang tubuhnya juga menelungkup dalam keadaan kaku menegang
seluruhnya, biar pun tidak menelungkup di atas lantai. Yang penting, dia pun
dalam keadaan tegang terus tubuhnya, karena kalau tidak, mengendur sedikit
saja, tulang punggungnya bisa patah!
Bagus
sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah
terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu
mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup
dengan tubuh kaku menegang terus. Namun, tadi para penyiksanya ini selalu
mengganti penyiksaannya.
Bagaimana
kalau sebelum dia dapat menguasai Sin-liong-hok-te kemudian mereka menurunkan
batu gilingan itu. Bisa celaka dia karena latihannya jadi terganggu dan setengah
matang! Jangan-jangan dia bisa menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya
untuk menyempurnakan ilmu seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti
ini. Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan teringat ini, tanpa
disadarinya Topeng Setan mengeluh.
“Ha-ha-ha,
mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau lekas minta ampun kepada kami, baru kami
akan menurunkan batu ini agar kau tidak sampai mampus!” Seorang di antara
mereka mengejek.
Bentakan
yang disertai lecutan cambuk ke arah mukanya ini mendatangkan akal kepada
Topeng Setan. “Kalian anjing-anjing rendah! Siapa tidak kuat menahan... uhhh...
uhhh... batu jahanam ini... uhhh...” Topeng Setan berpura-pura kepayahan. “Mari
kita bertaruh... bahwa aku akan kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala
habis.”
“Ha-ha-ha!
Sebatang lilin dapat bernyala sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat
bertahan?”
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Topeng Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih
kurang lebih tiga empat jam!
“Berani atau
tidak bertaruh? Kalau aku dapat bertahan sampai lilin itu padam, kalian
menurunkan batu ini dan selanjutnya jangan kalian menggangguku, biarkan
Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan dengan aku. Kalau aku tidak kuat
bertahan, kalian boleh... boleh menanggalkan topengku!”
Tentu saja
taruhan ini tidak usah dipikir panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama
sekali tidak merugikan mereka dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana
macamnya orang yang mempunyai kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya.
Seorang lalu berlari cepat mencari lilin dan menyalakan lilin itu di situ.
Topeng Setan
sudah mulai dengan latihannya, hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya
tidak akan diganggu. Dia berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain
baginya. Dia harus berhasil dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia
mati terhimpit batu itu. Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya.
Tubuhnya menjadi keras dan kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih
lagi, seperti tiang baja.
Dengan
menurutkan teori yang sudah dihafalnya tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia
mulai mengerahkan sinkang yang berputar di pusarnya, hawa sinkang ini bergerak
perlahan-lahan, mula-mula didorong ke bawah menembus semua jalan darah sampai
ke ujung kedua kakinya, terasa sampai ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan
naik ke atas, ke dada dan ketika tiba di pundak, tenaga itu bergabung dan
tersalur ke samping kanan saja karena lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah
sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan ilmu mukjijat ini, ketika kedua
lengannya masih utuh.
Ketika
lengannya masih lengkap, tenaga atau hawa sinkang yang merayap ke atas itu
selalu sebagian menyeleweng ke lengan kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke
lengan kanan. Padahal di dalam ilmu ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te
sudah sempurna, inti tenaga sakti ini dipergunakan dalam ilmu silat tangan
kosong yang khusus diciptakan untuk seorang berlengan buntung sebelah, dengan
tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat
(Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai
kepala naga, sedangkan kaki bergerak sebagai cakar naga.
Walau pun
memakan waktu yang cukup lama, akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan
berputar pada lengan kanannya. Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu,
tingkat yang paling sukar dan berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam
kepala! Amat sukar dan berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di
ubun-ubun kepala, harus dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan
pencurahan seluruh perhatian dan penyerahan lahir batin.
Para penjaga
sudah mulai tertawa-tawa karena lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga
jam, tinggal sedikit lagi dan Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan
tenaga, kehabisan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Topeng Setan
sadar akan hal ini. Hampir dia tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah!
Tenaganya
telah terkuras habis, berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya
meregang dan menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di
ubun-ubun bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sinkang yang
terpusat. Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih
terluka hebat.
“Ha-ha-ha-ha,
lilinnya sudah hampir padam dan engkau pun sudah hampir padam!” seorang penjaga
mengejeknya.
“Wah-wah,
mampus kau sekali ini, Topeng Setan! Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar
kubuka topengmu dan kami turunkan batu ini?”
“Heh-heh,
dia sudah tidak mampu menjawab. Dia sudah sekarat!”
Para penjaga
yang wataknya kejam itu memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata
mengejek dan semua ini bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang
tadinya sudah hampir tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi
sudah hampir padam.
Dia
menggeleng kepala tanda belum menyerah, kemudian dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai denyut darah terakhir. Dia tidak akan
menyerah sampai mati. Dengan otak membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia
memusatkan tenaga yang menjadi besar kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya,
berusaha menjebol jalan darah ke ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari
latihan dan penguasaan ilmu mukjijat Sin-liong-hok-te.
Hanya
tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti membubung ke atas,
kepalanya sudah tergetar dan terasa panas. Tapi bukan main sukarnya dan kalau
pada waktu itu para penjaga menurunkan batu itu, hal ini bahkan akan
mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian tipis
yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang sudah
disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu sudah akan
dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!
“Wah, dia
memang keras kepala! Manusia ini menjemukan sekali!” teriak seorang penjaga.
“Biar
kuhajar kepalanya agar tahu rasa dia!” Penjaga lain yang memegang cambuk
berteriak.
“Tar-tar-tar...!
Plongggg...!”
Jalan darah
ke ubun-ubun itu tertembus secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia
sedang bersitegang untuk menembus tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara
tiba-tiba cambuk melecut mengenai ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini
membantunya sehingga merupakan bantuan yang tak tersangka-sangka pada saat yang
kritis itu. Dia berhasil!
Hampir
Topeng Setan tidak dapat mempercayai sendiri apa yang dirasakannya pada saat
tirai tipis itu tertembus oleh hawa saktinya dan semua jalan darah telah
terbuka, seluruh hawa sakti di tubuhnya telah meluncur dengan lancar dan
cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman, kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi
terang dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti
mata naga sakti, seperti mata suhu-nya.
Beban berat
yang menindih punggungnya tidak terasa lagi olehnya, yang terasa hanyalah hawa
penuh yang berputar-putar cepat sekali di seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor
naga sakti melayang-layang berputaran di angkasa mencari korban.
Para penjaga
yang tidak sadar akan perubahan ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk
kini mengayun cambuknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala
yang menelungkup itu.
“Tarrr...
brolll...! Aduhhh...!”
Bukan main
hebatnya akibat dari lecutan ini, seolah-olah lecutan yang membuka bendungan
besar tenaga sakti yang kini datang membanjir dengan hebatnya. Naga sakti yang
melayang-layang itu seperti memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mukjijat
yang berputaran di tubuh Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan
akibatnya, Si Pemegang Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru
karena semua urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang
membalik dengan kuatnya.
Batu
penggilingan tahu yang menindih punggung itu mencelat seperti dilontarkan,
menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan masih terus
menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar. Belenggu tangan
kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu patah-patah semua dan
jatuh berkerontangan di atas lantai!
Kini Topeng
Setan berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara
menyeramkan, “Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!”
Para penjaga
lainnya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing
ketakutan melihat orang bertopeng yang berdiri tegak dengan mata mencorong
seperti itu, ada yang kedua kakinya menggigil dan tidak mampu melangkah
selangkah pun untuk mengikuti teman-temannya yang mundur melarikan diri.
“Hek-tiauw
Lo-mo manusia iblis! Hayo kau bebaskan Ceng Ceng...!” Kembali Topeng Setan
berteriak.
Mendadak
terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari sebelah kiri, dari dinding yang masih
utuh. “Topeng Setan, aku berada di sini!”
Mendengar
suara musuhnya ini, dengan sekali gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke
arah dinding, tangan kanannya mendorong dinding dan...
“Braaakkkk!”
Dinding itu
jebol dengan amat mudahnya! Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah
ruangan lain, dari kanan kiri menyambar anak-anak panah yang tak mungkin
dielakkannya lagi. Topeng Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil
mengerahkan tenaga di seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh. Hawa mukjijat di
tubuhnya itu berputar cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika
menyaksikan betapa anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian
mana pun, runtuh semua dan patah-patah!
Hek-tiauw
Lo-mo, Ji Song kakek gendut pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoi-nya,
memandang dengan mata terbelalak. Ketika anak panah itu habis, yang ternyata
dilepas dari alat-alat rahasia, Topeng Setan memandang ke depan dan matanya
yang mencorong itu berapi-api ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo. “Hek-tiauw
Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!”
Hek-tiauw
Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke atas. “Topeng Setan, jangan bergerak kau!
Sekali bergerak, nona itu akan dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang
sudah kuperintahkan. Aku akan membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau
suka membantuku sekali ini. Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh
lebih dulu sebelum kami akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian.”
Topeng Setan
memandang tajam. Betapa cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis
tua ini membawa Ceng Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mukjijat telah
dikuasainya kini, agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan
orang-orang ini. Akan tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng
Ceng, dan orang macam dia ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau
dia tidak memenuhi permintaannya.
“Kalau kau
menipuku, ke mana pun kau pergi akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo.”
“Tidak! Aku
bicara sebagai seorang tokoh kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku
akan tercemar selama hidupku kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian
kalau engkau mau dan berhasil membantuku.”
“Katakan,
apa yang harus kulakukan!”
“Kami sedang
diserbu musuh-musuh yang lihai, dan kalau engkau bisa mengundurkan musuh-musuh
itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu.”
“Siapakah
musuh-musuhmu itu?”
“Mereka
adalah serombongan pengawal yang dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan
Suma Kian Bu.”
Terkejut
sekali hati Topeng Setan mendengar ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani
melawan? Andai kata dia mampu menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat
melawan orang-orang yang dia tahu adalah pahlawan-pahlawan dan
pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi, keselamatan Ceng Ceng berada di
tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi bingung sekali.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment