Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 14
SETELAH KWI
LAN yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong
masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga
untuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar,
mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia,
tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan
duduk di atas lantai, memandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di
dekatnya. Kembali jantungnya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan
perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat dari pada biasa. Ia telah
rela menyerah, rela ditawan untuk menyelamatkan nyawa pemuda yang baru sekarang
ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan
orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam
maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh
dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki
terhadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan
hatinya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta
pemuda ini? Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?
Kwi Lan
mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang
membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus
meloloskan diri bersama Pangeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biar pun
terbelenggu, namun kalau ia berusaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia
masih mempunyai tenaga simpanan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi
apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum
lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek
Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga
tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia
dengar??
Harapan
untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja
sudah merupakan lawan yang amat berat. Apa lagi kini pedangnya terampas oleh
Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi
Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu
Siang Ki. Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh kai-pang yang
sakti!
Ia tidak
kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Ia
sudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekali pun.
Tanpa bangkit, ia mengangkat muka memandang.
“Bouw Lek
Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Silakan! Memang orang macam engkau ini
pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?”
Bouw Lek
Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”
“Berikan
pedangku dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di
antara kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!”
Kembali
pendeta itu memperlebar senyumnya. “Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang
kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai
pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk
ibunya untuk membantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebaskan engkau dan dia juga!
Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan
keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian,
Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok dengan jari telunjuknya ke arah
tengkuknya.
Kwi Lan yang
kedua tangannya terbelenggu tidak dapat menangkis atau berusaha mengelak, akan
tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun
menotok pundaknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah
bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas mukanya, ia
mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan.
Baik Kwi Lan
mau pun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek
Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum
dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka
belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan
meninggalkan pesan kepada para penjaga.
Menjelang
senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa
panas yang menyesak dada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat.
Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran karena baru ia
ingat bahwa kedua tangannya kini tidak terbelenggu lagi. Ia sudah bebas dari
belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan mengapa begini
panas?
Ia duduk
menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya
yang bidang dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai
basah oleh tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu. Pangeran Talibu
agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan seperti orang merintih. Jantung Kwi Lan
terasa tertusuk. Rasa iba dan cinta menyesak dada.
Tanpa ia
sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu,
menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi. Luka kecil, darahnya
pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata bertemu pandang,
sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk. Entah mengapa, pandang mata
pemuda itu bagi Kwi Lan seperti sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia
menunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke
mukanya, dadanya, dan pusarnya.
“Sakit
sekalikah luka-luka itu...?” tanya Kwi Lan yang menjadi heran sendiri mengapa
suaranya begini halus dan mesra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia
gemetar dan tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
“Ti...
tidak..., Nona... mengapa kau menyerah...?”
Lebih aneh
lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu
menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga
getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang
menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu
pandang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi.
Bagi Kwi
Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih,
begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang
mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke dalam
pelukan Pangeran itu membuat ia ingin merapatkan mukanya pada dada yang bidang
dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan
mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat
besar ini membuat ia terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai
kepalanya menjadi pening.
“Aku... aku
tak mungkin... membiarkan kau... kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat,
agak serak dan tubuhnya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja
sepasang lengan yang kuat tidak merangkul dan menariknya.
“Nona....“
Suara Pangeran Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan
Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya
yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya
merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda
itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu, “Nona...
siapakah engkau...? Siapakah namamu...?”
Belum pernah
selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda
ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat
muka ia berkata lirih, “...aku... namaku Kam Kwi Lan....”
Tubuh
Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yang menyambarnya. Tubuh itu
seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai
tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang
manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang
matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.
“Ada
apakah...? Mengapa kau... kau...?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas
lantai.
Pangeran
Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal
betul dengan gadis ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan
Mutiara Hitam. Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!
"Kau...
kau... Mutiara Hitam...?" bisiknya dengan suara menggetar.
Kwi Lan
memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran?
Menyesalkah kau karena... karena... kita saling mencinta?"
"Diam...!"
Pangeran Talibu membentak. "Jangan bicara tentang itu...!"
Biar pun Kwi
Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang
keras hati. Ia mengerutkan kening dan berkata, "Apa? Jadi... kau tadi...
hanya pura-pura... dan kau tidak cinta kepadaku?"
"Demi
Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku
sendiri! Tapi... kau...!"
"Kenapa...?"
Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah
pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar
jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri.
Pangeran
Talibu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan
mengintai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada
Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan,
tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat
Kwi Lan.
Merasa
kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan
menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah
akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran
Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi
yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar-sinar, hidung yang kecil
mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping
hidung kembang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan
menantang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk.
Ah, hampir
pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan
yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan
memangsanya. Akan tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik
kandungnya, bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini
merupakan perisai yang kokoh kuat.
Ketika
lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata.
Seperti ada aliran yang menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan.
Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri
sampai berdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu birahi dapat
tertahan.
Juga Kwi Lan
dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu birahi yang timbul
dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan
sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya,
masih ada kesadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya
sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan
Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar bisikannya?
Mengapa? Andai kata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ada perasaan yang
seperti memabokkannya ini?
Di sudut
hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan
tetapi ia tidak tahu apa ketidak-wajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan
keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas
memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda
itu seperti tersiksa, bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.
"Pangeran,
kau kenapa? Kita... kenapa?" Ketidak-wajaran yang makin mendesak dalam
kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan
ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan... Mutiara Hitam... ah,
kita mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan... begini panas dan begini...
merangsang..."
Kwi Lan
tersentak kaget. Benar! Racun! Biar pun racun yang amat aneh dan belum pernah
ia mendengar akan racun yang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang
mendatangkan daya rangsangan birahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu
mereka telah terkena racun! Teringat akan taburan bubuk wangi yang membuat ia
pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia
bersama Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun
atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia mencinta pemuda ini! Ia rela
menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di mana pun juga.
"Benar
kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi... apa bedanya? Aku tidak
menyesal..."
"Apa?
Apa maksudmu?"
"Aku
tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku... aku... ah, bukan
main panas hawanya..." Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan
hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada dinding,
mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengurangi
hawa panas.
Gerakan
gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun
mundur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh
meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora birahi yang
membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu tidaklah seberat yang
diderita Mutiara Hitam.
Pangeran itu
memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik
kembarnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang
bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis
karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi tawanan dan
keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini
merupakan penguat batinnya untuk melawan arus birahi yang tidak wajar dan yang
membakar tubuhnya.
Hebat memang
pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main
kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sinkang yang dikerahkannya untuk
melawan hasrat yang dianggapnya gila dan tidak tahu malu. Ia menjadi lemas
karena pengerahan sinkang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari
dalam tubuh sendiri.
Cuaca sudah
menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguh pun ia mempunyai
perisai berupa pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja
rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam
ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh
menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul
kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan
minum!"
Daun pintu
terbuka dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah besar
yang sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan
pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata
apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya
hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang
memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya.
Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya.
Kembali
ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan
cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan
indah seperti suasana kamar pengantin!
"Pangeran,
apakah yang kau pikirkan?" Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian
lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding
dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang.
Talibu
membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu birahi.
Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka
kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna
merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya saking hebat
serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi
makin tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya
bulat-bulat!
"Apa
yang kupikirkan? Aku... aku... memikirkan... kematian!" jawab Talibu.
Bagi
Pangeran ini, keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau
berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum
tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia
cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguh pun ia tahu
bahwa racun membuatnya seperti mabuk.
Kwi Lan
tersenyum dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya,
seperti ujung golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus
asa benar? Jangan khawatir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah
terakhir."
Kembali
Talibu membuka matanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa
mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek
Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu
pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu
Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama
mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang birahi sukar
dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi
girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.
"Apa
pun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan
lebih baik dimakan, Nona!"
Kwi Lan
tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa
betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang
diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi
makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi.
Talibu
kembali tertawa dan berkata, "Bagaimana kalau makanan ini ada
racunnya?"
"Paling
hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan dari pada itu," jawab Kwi Lan yang
membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan
tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau
sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang
dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan
kiamat!
Pangeran
Talibu menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan
adiknya. Mempunyai kekasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan
keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah
mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta
wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan
janggal jalan hidupnya.
Puteri Mimi
yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan
apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai
pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa
mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bahkan
saudara kembarnya!
"Kalau
memang ada racunnya, marilah kita mati bersama,” jawabnya kemudian dan mulai
makan.
Kwi Lan
tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata
amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan
itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.
"Ahh...
betapa pun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat
makanannya...," kata Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus
bibir dengan telapak tangannya, lalu berjalan menuju ke sudut kembali. Akan
tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai
seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti
akan meledak!
"Pangeran...
!"
Sampai di
sudut Talibu membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah berada di depannya.
Mereka saling pandang, tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan
besi sembrani, keduanya saling tubruk dan saling peluk.
"Mutiaraku...!"
"Talibu,
Pangeranku...”
Dekapan
makin erat dan muka mereka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah
bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran
Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan, lalu merenggutkan diri
terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.
"Pangeran...!"
"Berhenti!
Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku... aku akan
bunuh diri...!" Terengah-engah Talibu berteriak.
Kwi Lan
sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat
oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat.
Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi
melihat betapa obatnya belum juga berhasil, maka ia lalu mengirim makanan yang
ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu.
Melihat
kekasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi
heran, kaget, dan juga kecewa. Ia melangkah maju sedikit dan serentak
menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Pangeran Talibu membenturkan kepalanya
pada dinding!
"Ahhh...
jangan... Pangeran...! Aku aku tidak akan mendekatimu...!" jerit Kwi Lan
cemas.
Pangeran
Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi
pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan
ia menghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di
sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apa lagi di bawah
penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata
antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa biar pun ia merasa yakin bahwa gadis
itu adiknya, namun keyakinan ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu
yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau
gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.
"Mutiara
Hitam... ini tidak baik... kita dirangsang racun... nafsu birahi menguasai
kita...," gumamnya.
Tiada
jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di
sudut lain menangis terisak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa
bingung dan kecewa.
"Mutiara,
Adikku sayang... maafkan aku... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan
menghinamu... akan tetapi kau tunggu... sampai racun ini bersih dari tubuh
kita... aku tetap cinta kepadamu."
Kwi Lan
menarik napas panjang, menahan tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di
benaknya. Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan,
bahkan perasaan tubuhnya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun
mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini,
akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu birahi. Dengan pengerahan
tenaga batinnya, ia bersila dan memejamkan mata, bersemedhi. Melihat keadaan
gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk menindas nafsu dan bersemedhi.
Malam itu
merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa
tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang
menggelora tidak memungkinkan mereka dapat bersemedhi secara layak. Mereka
gelisah sekali. Terdengar Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti
harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh.
Ada pun Kwi
Lan tidak dapat dibayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan
yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya.
Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat,
peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan agar dapat
menindas keinginan hatinya yang membuat ia seakan-akan ingin loncat menubruk
pemuda itu.
Menjelang
pagi mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara
pendeta itu menyumpah-nyumpah dan marah-marah, agaknya kecewa sekali melihat
dua orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia
merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping merasa kecewa,
penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap
yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan
yang mencium bau harum tidak sewajarnya.
"Pangeran,
hati-hati, asap beracun...!" Serunya, namun sia-sia belaka.
Mereka
meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke
luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin menebal. Tak mungkin pula menahan
napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka terhuyung dan roboh pingsan setelah
terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu.
Ketika
Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara
orang dan ketika ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia
melihat Kwi Lan terbelenggu kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu
dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti
monyet-monyet besar.
Mereka
berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan
bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu
penuh bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang memanjang sampai ke perut.
Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bopeng bekas luka penyakit cacar.
Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka
besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan
buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki-laki
dan mendatangkan rasa jijik.
Bouw Lek
Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pangeran Talibu, lalu
berkata, suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai sekarang juga
Pangeran tidak sudi menulis surat untuk Ibunda Pangeran di Khitan?"
"Bouw
Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau
boleh membunuhku, aku tidak peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk.
Rasa panas
tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat
betapa Kwi Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak
karena belenggu pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali
tidak membayangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek
Couwsu penuh kemarahan.
"Hemmm..."
pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta
itu kini membayangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar
keras hati. Mengingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan gagah perkasa,
kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih,
menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis ini!"
Terbelalak
mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya.
Andai kata orang lain sekali pun, tak mungkin ia dapat membiarkan gadis itu
tewas karena dia! Apa lagi adik kembarnya, adiknya yang telah datang dengan
niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya.
Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak mampu
menjawab, hanya menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap wajah pendeta yang
tersenyum-senyum dingin itu.
"Pinceng
tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis
jelita ini mati. Oleh karena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami
butuhkan itu dan inilah kertas..."
"Pangeran
Talibu! Jangan pedulikan dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh
aku, lekas bunuh! Apa kau kira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu.
Jahanam yang berkedok pendeta untuk melampiaskan angkara murka!"
Bouw Lek
Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras,
tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia
menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau
akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita
menyaksikan pemandangan yang amat menyenangkan." Ia memberi perintah dalam
bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.
Dua orang
setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar
sehingga deretan gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya
bermain jari mengadu untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang
menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut,
girang bukan main. Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa
ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih
ke bawah.
"Breeetttt...!"
Sekali renggut robeklah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama
sekali, bahkan sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada
yang putih padat dan sebagian kulit paha yang putih bersih!
Si Raksasa
Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi
calon korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap
melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
"Iblis
keparat...!"
Pangeran
Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang
dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak memperkosa Kwi Lan.
Tubuhnya agak membungkuk, mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya
mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke
arah kepala si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukulan sakti Tok-hiat-coh-kut
(Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biar pun baru dilatih
setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga
besar itu mana mampu menghindarkan diri.
“Kraakkk...!
terdengar suara dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya!
"Hemmm...!"
Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak
dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan
jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya.
Bouw Lek
Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang
menjadi marah sekali karena temannya roboh tewas mentaati perintah itu, lalu
bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian
ia menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika
cambuk itu melecut dan menghantam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang
bagian atasnya.
Pangeran
yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah
kulit seperti dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking
sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti
seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah, sedikit
pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!
Biar pun Kwi
Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya,
namun air matanya bercucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini
mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu
memaki-maki nyaring.
"Bouw
Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah
akan mencabut nyawamu kalau diberi kesempatan!"
Bouw Lek
Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti
Kwi Lan, "Heeii, kau beri rasa sekali dua kali kepada bocah bermulut
lancang ini!"
Raksasa
Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu
birahi, kini memandang dengan kebencian meluap-luap. Ia membalik dan mengangkat
cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus putih
kemerahan itu.
Cambuk
diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan
ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.
"Binatang...!"
Tubuh
Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat
menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang
menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.
"Tarrr...!"
Tubuh
Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan
yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa.
Akan tetapi begitu ia berhasil menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua
kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak
dapat berdiri tegak, maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadi
marah. Ia lalu menggerakkan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar
bertubi-tubi sampai akhirnya pemuda itu roboh pingsan! Dada dan punggungnya
tertutup darah dan garis-garis biru merah.
"Cukup,
kau anjing tolol! Jangan bunuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek
Couwsu membentak kemudian melangkah minggir.
Orang
Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah
pemimpin besar ini, lalu mengangkat cambuknya, menghantam sekerasnya ke arah
Kwi Lan yang rebah telentang tak mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak
berkedip, menanti datangnya cambuk ke muka dengan ketabahan luar biasa.
"Wuuuutt...,
adduuuuhhhh...!"
Cambuk yang
sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu terlepas dari pegangan
si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Sebatang jarum telah
menembus punggung dan terus menancap di jantungnya!
"Hemmm…
Bouw Lek Couwsu! Beginikah engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara
halus dingin dan muncul di ambang pintu, seorang wanita berpakaian putih
berkerudung hitam, Kam Sian Eng! Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang
Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah
membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata.
Di
sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang
dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan
Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya
mereka ini tidak peduli, atau bahkan gembira menyaksikan betapa kini Bouw Lek
Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!
Bouw Lek
Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia
kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil
keputusan yang amat tepat pada waktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan
terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura kepada Kam Sian
Eng, tersenyum lebar dan kemudian menghela napas panjang, menggeleng kepala dan
berkata.
"Aaahhh,
sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio.
Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah
muridmu itu terluka sedikit pun. Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak
lain hanya dalam usaha menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah
kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa
itu... ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"
Kam Sian Eng
tadi membunuh raksasa Hsi-hsia bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi
Lan, melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depan
matanya. Ia sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apa lagi ketika
mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini
mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melemparkan tubuh Kiang
Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuhnya menggelundung
dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.
"Kakanda
Pangeran...!"
Puteri Mimi
meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang tertawa-tawa tidak mau
melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan
terdengar Kam Sian Eng berkata ketus, "Lepaskan dia!"
Suma Kiat
masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan
menubruk tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu
dan menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan.
Bouw Lek
Couwsu mengajak tamu-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup
dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah
keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis Puteri Mimi.
Melihat guru
dan suheng-nya tidak berusaha membebaskannya, Kwi Lan mengerti di dalam hatinya
bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak merasa sedih karena
kini tahulah ia bahwa gurunya dan suheng-nya itu bukanlah manusia-manusia baik.
Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu dan Kiang
Liong, karena andai kata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah ia
akan mau bersekutu dengan mereka.
Kini
perhatiannya tercurah kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa
ia sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman
bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia secara tiba-tiba saja membenci
puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi
Pangeran Talibu.
“Kakanda
Pangeran...!”
Panggilan
berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. Ia
masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri
Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya
sambil menangis, serentak ia bangkit.
“Mimi...
kau... kau...?”
Mereka
berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa kakaknya ini,
kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera ratunya, kini memeluknya dengan
tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi bibirnya penuh nafsu. Ia
terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir kalau-kalau kakaknya yang dicintanya
ini menjadi gila!
"Kakanda...!"
Ia berusaha melepaskan pelukan. Akan tetapi Pangeran Talibu memeluk makin erat,
bahkan mencegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.
Tiba-tiba
terdengar bunyi melengking nyaring. Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan
rasa amarahnya yang menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada
dalam cengkeram iblis cemburu, yang membuatnya marah dan beringas, siap
membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan suara melengking seperti suara
gurunya kalau marah, tubuhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi dengan
pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan
untuk melawan rangsangan birahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih
ganas dan dahsyat luar biasa.
"Dukkk...!"
Tubuh Kwi Lan terpelanting. Sebelum sempat bangkit kembali, sebuah totokan
membuat gadis yang sudah lemah ini rebah miring dalam keadaan pingsan.
Puteri Mimi
terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri
dari pelukan Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata
merah, mulut terengah-engah lalu hendak mengejar.
"Kakanda...
apakah kau gila...?" teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir.
Pangeran Talibu menubruk akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia
roboh pula menggelundung di dekat Kwi Lan dalam keadaan pingsan.
Kiranya
Kiang Liong yang tadi siuman cepat turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi
tadi. Pemuda yang banyak pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu
yang tidak wajar pada sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat
betapa Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan nafsu menyala-nyala, segera
ia menotoknya roboh.
Untung bahwa
dua orang muda itu sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong
dapat merobohkan mereka secara mudah. Apa lagi merobohkan Kwi Lan, karena
tenaga Kiang Liong sendiri pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat
pukulan Kam Sian Eng.
Setelah
melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Puteri Mimi berbalik menjadi
marah kepada Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan
membentak. "Kau apakan Kakakku...?"
Kiang Liong
mengerutkan kening. "Mereka tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku
hanya menotok mereka agar tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka
berada di bawah pengaruh racun." Ia menuding ke arah mangkuk-mangkuk bekas
makanan.
Puteri Mimi
mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya
tadi menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah saking jengah. Ah, selama
hidupnya belum pernah ia dicium orang seperti itu! Kemudian timbul pula rasa
kasihan dan khawatir di hati melihat tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan.
Ia menoleh ke arah Kwi Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini
dan mengapa datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali
merenungi kakaknya dengan hati penuh kegelisahan.
Kiang Liong
juga maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan
waktu dengan berduka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki
keadaan kamar tahanan. Setelah mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali,
dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut ruangan itu, duduk
bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia
tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan
terjadi, yang paling ia perlukan adalah tenaga dan kesehatannya.
Keadaan di
dalam ruangan tahanan ini menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas
panjang diselingi isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan
akhirnya padam. Ruangan menjadi gelap. Puteri Mimi makin gelisah. Dua orang
pingsan, yang seorang duduk bersemedhi. Dia merasa seperti di kuburan.
Menjelang
pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki
yang membawa pasukan pengemis sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung
menyerbu hutan yang kini terjaga rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para
pendeta jubah merah. Pasukan yang dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan
dari dunia kai-pang dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai
tokoh-tokoh kai-pang yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat
orang-orang yang ahli akan siasat pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat
rahasia, maka mereka tidak bertindak sembrono.
Yu Siang Ki
di samping teman-temannya yang berpengalaman, dapat menduga bahwa markas besar
pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap berbahaya.
Oleh karena itu mereka menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka
menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan teman-temannya tidaklah begitu
sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat di hutan
itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak belukar,
menyelinap di antara pohon-pohon besar.
Dengan amat
hati-hati mereka menyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat lincah.
Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, menjelang senja barulah
mereka dapat mendekati markas. Mereka telah lolos dari pada perangkap-perangkap
rahasia yang dipasang di sepanjang jalan, akan tetapi ternyata mereka tidak
dapat lolos dari pada para penjaga yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan
mereka, para hwesio jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak
mengepung dan terjadilah pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw
Lek Couwsu.
Keadaan
masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki
menyerbu dengan dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi.
Akan tetapi ternyata pasukan yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga
banyak prajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio jubah merah melakukan
perlawanan gigih, namun mereka kalah banyak sehingga mulailah mereka terdesak.
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh menjemukan!"
Bentakan ini disusul munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun
gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan kosong ia menyerbu, empat
orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus napasnya!
"Hemmm,
baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata si Kurus dan kembali ia melangkah maju.
Para
pengemis yang terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek ini, menjadi
lebih kaget mendengar namanya. Kiranya inilah Pak-sin-ong! Namun hanya sebentar
mereka terkejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat,
menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala Pak-sin-ong. Kakek
itu hanya berdiri dengan angkuh dan tersenyum mengejek.
"Krakk!"
Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap
tersenyum, sebaliknya tongkat itu yang terbuat dari pada kayu keras itu patah
menjadi dua potong dan terlempar jauh entah ke mana.
Si Pengemis
kaget, tetapi tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke
depan. Pengemis itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga
teman-temannya terbelalak ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah
perutnya, ususnya berantakan dan ditarik-tarik ke luar oleh si Kakek Kejam!
Pemandangan yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang
meluap-luap, membuat para pengemis menjadi nekat. Majulah mereka menerjang
kakek itu yang melayani sambil tersenyum simpul.
Yu Siang Ki
yang mendengar laporan tentang munculnya kakek hebat ini cepat meloncat dan
menggerakkan tongkatnya merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi
sebelum ia tiba di tempat Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri
ke sarnping, bergulingan dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah
kiri menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus
lehernya! Ia meloncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang
terbahak-bahak. Butek Siu-lam!
Kagetlah Yu
Siang Ki. Sudah lama ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam
Khoa-ong sebagai seorang tokoh utara yang luar biasa saktinya. Juga ia pernah
mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam yang baru muncul namun memiliki nama yang
tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat bentuknya, lagaknya, dan
guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat
berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya bergerak,
topinya melesat seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam.
"Klikk!"
Gunting itu menyambar dan... biar pun topi masih terbang lewat, namun
kembangnya yang menghias topi sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri
Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium kembang itu dengan lagak genit!
"Hi-hik,
pemuda tampan, Engkau boleh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini
malas menjadi pengemis. Hi-hik!"
Pada saat
itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata, suaranya gugup,
"Pangcu, keadaan kita terdesak. Minta putusan."
"Beri
tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang
Ki yang tidak ingin mengorbankan teman-temannya. Ia maklum bahwa setelah muncul
dua orang sakti yang sama sekali tidak pernah disangkanya, keadaan pasukannya
terancam bahaya.
Kakek
pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti
orang menangis. Itulah tanda untuk mundur, maka paniklah pasukan pengemis.
Mereka mulai mundur sambil mempertahankan diri, didesak oleh musuh yang kini
mendapat hati.
Jalan keluar
kiranya malah lebih sukar dari pada jalan masuk. Selain pasukan Hsi-hsia dan
pendeta-pendeta jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan
Siauw-bin Lomo dari sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian
Eng dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan berusaha
lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos dari
tempat itu!
Ketika
Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis muda yang tampan gagah ini adalah
seorang Kai-pangcu (Ketua Pengemis) yang memimpin pasukan pengemis, ia menjadi
kagum dan berkata, "Eh, kiranya engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku
mendengar laporan para pengemis anak buahku bahwa ada seorang ketua pengemis
muda belia yang katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tianglo. Engkaukah
orangnya?"
"Benar,
dan aku pun tahu bahwa engkaulah orang dari barat yang menampung kaum sesat
untuk menyelewengkan dunia pengemis ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita
membuat perhitungan!" kata Yu Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia
sudah menggerakkan tongkat panjangnya.
"Hi-hi-hik,
bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh,
bocah ganteng, engkau ikut saja denganku membantu Couwsu."
"Bu-tek
Siu-lam! Kau kira aku Yu Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!"
pemuda itu sudah menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan
suara mengaung ketika menyambar ke arah kepala Bu-tek Siulam.
Namun kakek
ini hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau
melawan!" Tongkat Siang Ki lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini
mengelak. Namun sungguh tak disangkanya ketika tongkat itu seperti seekor naga
membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah dadanya. Ketika ia cepat
miringkan tubuh, tongkat itu kembali tahu-tahu sudah menghantam ke arah
pinggangnya.
"Hiyaa...,
kau boleh juga...!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Kiranya biar
pun masih muda pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi
ketua kai-pang dan juga tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang
Tianglo yang dulu amat tersohor.
Pada saat
itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah terluka di lengan dan
pundak, dan wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan.
Mereka serentak menerjang Bu-tek Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di
antara mereka berkata, "Pangcu mari kita lari, keadaan sudah berbahaya dan
mendesak...!"
Kiranya dua
orang pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha
mengundurkan diri dihajar habis-habisan oleh musuh, kini berusaha membujuk
Siang Ki untuk menyelamatkan diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki
mempercepat gerakan tongkatnya sehingga ujung tongkatnya berubah menjadi
puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke arah jalan darah dan
bagian-bagian lemah dari tubuh Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hi-hi-hik,
dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat
ke arah dua orang pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyambar dan
mengeluarkan bunyi nyaring.
"Klikk!
Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh
menjadi empat potong!
Siang Ki
kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran
ayahnya sambil mengerahkan semua tenaga sinkang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh
pemuda ini, berkelebatan dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar
tongkatnya yang menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai
melengking-lengking nyaring.
Namun yang
dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang
di antara Bu-tek Ngo-sian. Sungguh pun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak
semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ganas, juga
kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjangan tongkat Yu
Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga
terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua
senjata itu bertemu.
Yu Siang Ki
terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi
kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sinkang lawan amat kuat. Dan ia pun
dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula
munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek
Siu-lam ini.
Habislah
harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia
sendiri terancam. Pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan.
Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar
makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia
curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah
tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu-lam
mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biar pun
masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.
Jarang ia
menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah
akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan,
kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan
jantan! Namun tidaklah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah
bertanding sampai seratus jurus lebih!
Yu Siang Ki
juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang
amat sakti ini. Betapa pun juga, ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu
mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati
bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia harus
menggunakan akal, kalau hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat
membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir
demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu
mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul
tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah
dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya,
mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Bu-tek
Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut
serangan membesar-besarkan, yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi
sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan
gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang
Ki yang mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri
Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap
menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali
lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang
hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing,
menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok gunting
lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali
lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah
pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak
tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu
akan membinasakan lawannya!
Bu-tek
Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama sekali tidak
mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai
seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya
sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang
Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagumkan, kakek itu sudah
miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia
terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan
menghantam paha kirinya.
"Bukkk...!"
Bu-tek
Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biar pun tulang pahanya
tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini
menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah
sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah dan kini
terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan
diam-diam tangan kirinya mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas
benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki
kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula
bahwa ia hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela
diri dan memutar tongkatnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi
repot terdesak secara hebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar
seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua
matanya!
Pemuda ini
terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali
ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan
tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia
menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan
kiri dan berusaha menangkap jarum.
Akan tetapi
jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan kiri Butek
Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap d
pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas,
dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting
lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang Ki mengeluh perlahan dan roboh
pingsan.....
***************
DALAM
keadaan tidak berdaya, Kiang Liong terpaksa menonton saja ketika ia dan para
tawanan lain dibelenggu, karena yang melakukan ini adalah Bouw Lek Couwsu
sendiri yang masuk ke ruangan tahanan ditemani Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong dan
Siauw-bin Lo-mo. Di antara para tawanan, hanya dia dan Puteri Mimi yang kini
dalam keadaan sehat. Akan tetapi apa artinya dia dan Puteri Mimi berdua saja
menghadapi empat orang kakek sakti ini? Belum waktunya untuk menerjang dan
mati-matian mengadu nyawa, pikirnya.
Terpaksa ia
berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka semua ini
terbelenggu dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding kamar tahanan. Kiang
Liong di sudut kiri, dan berbaris di sebelah kanannya adalah Pangeran Talibu,
Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri Mimi. Lima orang muda belia berbaris dalam
keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan itu, nasib mereka berada di tangan
kakek-kakek yang kejam dan ganas!
Puteri Mimi
terisak-isak menangis. Melihat ini, Kiang Liong berkata perlahan dan tenang
menghibur, "Harap puteri jangan gelisah dan putus harapan. Percayalah
bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat mengharapkan bantuan Khitan tidak akan begitu
gila untuk membunuh puteri dan Pangeran. Ia melakukan ini sebagai gertakan saja
untuk mengancam dan membujuk Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan
keras hati tidak mau menyerah sehingga mengalami siksaan. Kalau dia nanti sadar
dan melihat puteri menangis, hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya. Engkau
adalah puteri Panglima Kayabu yang gagah perkasa, tidak semestinya takut
menghadapi bahaya yang baru sekian saja."
Puteri Mimi
menghentikan tangisnya. Hanya air matanya yang masih mengalir turun melalui
kedua pipinya, akan tetapi. makin lama air mata itu pun makin mengecil dan
akhirnya berhenti. "Terima kasih, Kiang-kongcu. Sesungguhnya, aku tidak
akan memalukan nama besar ayahku dan aku bukan menangis karena takut. Kematian
di tangan musuh bukanlah apa-apa bagiku. Yang kutangisi dan kusedihkan adalah
keadaan Pangeran Talibu. Melihat keadaan jasmaninya tersiksa seperti itu sudah
cukup mengenaskan, akan tetapi melihat betapa ia tadi... ah, Kongcu, engkau
tahu bahwa dia adalah kakak kandungku, bahwa dia adalah Pangeran Mahkota. Hati
siapa takkan berduka melihat kakak sendiri dan pangerannya menjadi...
menjadi... gila...?"
Kiang Liong
menarik napas panjang. Ia tadi pun melihat betapa Pangeran Talibu memeluk dan
menciumi adik kandungnya itu secara berlebihan bahkan secara tidak patut.
Pelukan dan ciuman yang mengandung nafsu birahi sepenuhnya! Bahkan sedemikian
hebat nafsu itu menggelora dan menguasai Pangeran tadi sehingga Pangeran itu
tidak mempedulikan kehadiran orang lain dan hendak memaksa Sang Puteri. Hal ini
memang benar-benar tidak wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun
tangan menolong Sang Pangeran.
"Puteri
Mimi, harap kau suka tenang. Saya tahu bahwa sikapnya tadi tidak wajar, seperti
juga sikap Mutiara Hitam ini, akan tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena
racun yang hebat. Mereka berdua bukanlah orang-orang jahat dan juga tidak gila.
Tunggu saja kalau mereka sadar, tentu kita akan mendengar keterangan
mereka..."
Terdengar
keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke sebelah kirinya, melihat Kwi Lan menggerakkan
kaki tangan yang terbelenggu, kemudian kepalanya dan akhirnya membuka matanya.
Sejenak mata itu nanar dan bingung, kemudian Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan
matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Mata itu kini memandang ke arah pintu
besi dan mulutnya memaki.
"Heh si
bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek tua bangka mau mampus yang tak tahu malu! Kau
pengecut besar yang hanya mengandalkan jebakan-jebakan rahasia, racun-racun
menjijikkan dan bantuan pengeroyokan! Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin
bangsa biadab Hsi-hsia, hayo kita bertanding sampai selaksa jurus!"
"Kwi
Lan, tidak ada gunanya menantang-nantang kalau kita sudah tak berdaya
begini," kata Yu Siang Ki.
Kwi Lan
menoleh ke kiri dan nenjawab dengan mulut cemberut. "Dasar kau yang tidak
punya guna, Siang Ki. Kau datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana
tahu-tahu sudah menjadi tawanan? Ke mana perginya pasukanmu itu?"
Siang Ki
menarik napas panjang. "Aaahhh, semoga saja di antara mereka ada yang
berhasil meloloskan diri. Masih terlalu berat, apa lagi kakek-kakek iblis
seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siulam, Pak-kek Sin-ong dan yang lain. Sungguh
mereka merupakan lawan berat."
"Aku
tidak takut!" bentak Kwi Lan marah dan kembali ia berteriak-teriak
"Iblis-iblis tua bangka macam Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo
atau Bouw Lek Couwsu, kalau berani bertanding melawan aku secara jantan,
biarkan maju. Kalau aku kalah, aku rela mampus di tangan seorang di antara
mereka!"
Siang Ki
hanya menghela napas, maklum akan watak gadis ini. Kiang Liong tertawa kecil
dan berkata, "Heh-heh, biarkan saja dia, Yu-pangcu. Andai kata dilayani,
dia takkan mampu mengalahkan seorang di antara Bu-tek Ngo-sian."
Kwi Lan kini
menoleh ke kiri, sedapat mungkin memanjangkan lehernya untuk dapat melihat
Kiang Liong yang terhalang Siang Ki dan Talibu, matanya mendelik dan ia
menghardik. "Kau murid Suling Emas si sombong takabur! Kalau kau takut
mampus, boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh wakili mereka menempur aku!
Huh, sombong, tidak menengok tengkuk sendiri. Kalau kau pandai dan murid Suling
Emas kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu malu!"
Kiang Liong
hanya tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, Kwi Lan makin
marah, mendengus-dengus dan meronta-ronta, akan tetapi belenggu kaki tangannya
terlampau kuat. Akhirnya ia tidak meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke
depan. Dua titik air mata meloncat ke atas sepasang pipinya yang kemerahan.
Melihat ini
Kiang Liong menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia kemudian berkata,
"Mutiara Hitam, siapakah yang menyangsikan kegagahan dan keberanianmu? Aku
kagum sekali kepadamu. Akan tetapi, kau tentu mengerti pula bahwa seorang gagah
akan dapat menanggung penderitaan dengan sikap tenang dan tidak putus
harapan."
"Huhh...!"
Kwi Lan hanya mendengus, akan tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan
perhatiannya ke sebelah kanan, kemudian ke kiri ke arah Pangeran Talibu.
Ia melihat
betapa pangeran yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya
berdebar aneh. Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Talibu dan
kalau ia teringat akan keadaan mereka pada malam hari tadi, wajahnya menjadi
merah sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi peristiwa yang amat memalukan
antara mereka berdua. Sikap mereka seperti orang kemasukan setan, tidak tahu
malu!
Dan makin
yakin pula hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia terpengaruh oleh racun yang
terdapat dalam masakan dan minuman, demikian pula Pangeran Talibu. Buktinya,
pagi ini ia tidak mempunyai perasaan panas dan rangsangan seperti semalam,
sungguh harus ia akui bahwa cinta kasihnya terhadap pangeran itu makin
membesar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini halus dan tenang tidak panas
dan penuh nafsu seperti malam tadi.
Akan tetapi
perih hatinya kalau teringat akan kelakuan Pangeran itu terhadap Puteri Mimi.
Dan saat ini, pandang mata Pangeran itu pun ditujukan kepada Puteri Mimi yang
berdiri terbelenggu di sebelah kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi
percakapan dalam bahasa yang ia tidak mengerti! Bahasa Khitan!
Ia sama
sekali tidak mengerti dan tiba-tiba mendengar ketawa perlahan di sebelah
kirinya. Ia menoleh dan melihat Yu Siang Ki tersenyum dan mengangguk-angguk.
Juga di ujung kiri tampak Kiang Liong tersenyum tenang. Jelas bahwa Siang Ki
dan Kiang Liong mengerti bahasa Khitan dan tahu apa yang dipercakapkan kedua
orang itu. Membicarakan tentang dia? Mentertawakan dia? Hatinya panas dan
betapa pun ditahan-tahannya, akhirnya ia tidak kuat dan berbisik kepada Siang
Ki.
"Mereka
bicara apa? Apa yang dikatakan oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka
ke arah Pangeran Talibu.
Siang Ki
menoleh kepadanya dan menjawab sambil berbisik pula. "Pangeran Talibu
bilang bahwa puteri ini bukan adik kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada
hubungan keluarga di antara mereka."
Kwi Lan
tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan dan melihat Puteri Mimi memandang ke kiri,
ke arah Pangeran itu dengan mata terbelalak, seperti tidak percaya, akan tetapi
wajah itu berseri-seri, penuh cemas, harap, dan bahagia! Kemudian ia mendengar
Talibu masih berkata-kata penuh semangat dan perasaan, dan wajah Puteri Mimi
makin berseri, lalu kemerahan kedua pipinya.
"Apa
lagi yang dikatakan?" desisnya kepada Siang Ki.
"Ha,
Pangeran itu bilang bahwa dia mencinta Puteri Mimi, dan telah mengambil
keputusan untuk menikah dengan Puteri Mimi..."
Kwi Lan
memejamkan mata, merasa seakan-akan halilintar menyambar kepalanya. Ia membuka
mata, menoleh ke kanan melihat Puttri Mimi juga memejamkan mata sambil
tersenyum penuh bahagia. Menoleh ke ujung kiri melihat Pangeran Talibu
memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia, dengan penuh cinta kasih! Hatinya
makin panas dan tiba-tiba air matanya bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.
“Kita akan
mampus semua...” desisnya menghibur hati panas dan patah. “Kita akan mampus
semua di sini...!”
Yu Siang Ki
tidak tahu apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Mutiara Hitam. Mendengar
ucapan ini dan melihat air mata bercucuran, ia terheran. Mengapa kini Kwi Lan
seperti orang putus harapan? Ke mana keberaniannya tadi?
“Kwi Lan,
sebelum hayat meninggalkan badan, masih ada harapan untuk lolos...”
“Cukup!
Siapa putus harapan?” bentaknya.
Sementara
itu, menjelang pagi tadi terjadi hal-hal yang aneh di luar ruangan tahanan.
Serombongan penjaga bangsa Hsi-hsia sebanyak lima orang yang menjaga barisan di
luar markas menantikan datangnya pengganti penjaga sambil bermain kartu untuk
menghilangkan rasa kantuk. Mereka sedang gembira karena ketegangan semalam
telah mereda dan mereka merasa beruntung mendapat tugas menjaga sampai pagi,
lebih untung dari pada teman-teman yang mendapat tugas menyingkirkan sekian
banyaknya mayat-mayat para pengemis yang menyerbu markas.
Keadaan
mayat-mayat itu mengerikan. Ada yang terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting
besar Bu-tek Siu-lam, ada yang berceceran isi perutnya sampai berantakan
ususnya oleh tangan Pak-sin-ong. Menyingkirkan mayat-mayat seperti itu amat menjijikkan
dan jauh lebih enak melakukan penjagaan dalam gardu ini sambil mengobrol dan
bermain kartu. Apa lagi setelah kaum penyerbu dapat dihancurkan, keadaan
menjadi aman dan siapa berani memasuki markas mereka?
Suara tapak
kaki halus membuat mereka menengok dan lima orang Hsi-hsia ini meloncat keluar
dari gardu sambil menghunus golok masing-masing. Sebentar saja mereka telah
mengepung wanita yang mendatangi gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik
manis dengan sikap yang genit, tersenyum-senyum malu, dengan sepasang mata
bening lincah, tubuhnya melenggak-lenggok. Biar pun sedang berdiri, pinggangnya
tak pernah diam, bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin. Wanita
yang cantik molek menggairahkan dan genit!
Namun lima
orang penjaga Hsi-hsia itu tidak mau bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita
cantik yang berbahaya dan berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan
terutama sekali Mutiara Hitam. Siapa tahu wanita cantik ini pun sahabat Mutiara
Hitam. Maka mereka mengurung dengan golok terhunus.
“Siapa kau?
Dari mana dan mau apa?” bentak seorang di antara penjaga yang berkumis panjang,
mengacungkan goloknya yang tajam berkilauan.
“Iihhh...,
jangan bunuh aku... aduhhh, jangan bunuh aku... Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang
Perkasa)...!” wanita itu menjerit lirih, suaranya parau basah.
Lima orang
Hsi-hsia itu tertawa. Pertama karena serasa dielus-elus hati mereka mendengar
mereka disebut lima orang perkasa! Dan ke dua karena dengan sikapnya itu,
wanita ini jelas bukanlah pendekar wanita yang pandai silat. Seorang wanita
dusun yang cantik dan bodoh.
“Siapa kau
dan mau apa datang ke sini?” bentak seorang penjaga lain yang matanya buta
sebelah akibat perang.
“Aku... aku
bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni)... dan aku... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda
Boan)....”
Wanita itu
tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu dan akhirnya berkata, “Boan-koko adalah
Boan-hwesio, seorang hwesio jubah merah yang... ah... sahabatku, eh... dia
sering datang ke rumahku di luar hutan. Sudah tiga bulan kami berhubungan, akan
tetapi lebih sepekan ini dia tidak datang....”
“Ha-ha-ha-ha!”
Lima orang itu tertawa terbahak-bahak.
Mereka tidak
mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga bahwa tentulah seorang di antara
hwesio-hwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biar pun
pakaiannya jelas seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar
wanita cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek
Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.
“Kenapa
kalian tertawa? Tolong panggilkan Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat
bertemu dengan dia...,“ wanita itu kembali berkata, sikapnya makin genit,
senyum manisnya murah dan kerling matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.
“Ha-ha-ha-ha!”
si Kumis Panjang berkata sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak
didatangi sehingga menjadi rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya
diulur dan meraba dagu yang putih halus itu.
“Aiihh...
kenapa raba-raba?” wanita itu menjerit genit.
Si Kumis
tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan bentakan
menghardik. “Perempuan, jangan kau coba mengelabui kami! Kau seorang perempuan
dusun penghuni luar hutan? Bagaimana kau dapat memasuki tempat ini?” Kiranya si
Kumis ini teringat betapa jalan menuju masuk ke situ penuh perangkap dan
terjaga sehingga tak mungkin seorang wanita muda yang bodoh dan lemah dapat
masuk tanpa diketahui, sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.
Wanita itu
tersenyum genit. “Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah percuma saja aku
mempunyai kekasih Boan-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh
Boan-koko, melalui jalan yang aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa
sukarnya?”
Lima orang
ini lega dan percaya kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk
mempermainkan wanita cantik genit ini. “Kenapa kau menjadi kekasih seorang
hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”
“Ah, tidak
muda lagi, lebih tua dari pada kalian.”
“Hemm, apa
dia tampan?”
“Tampan?
Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar
hidung itu, dan dia... rakus.”
“Ha-ha.-ha-ha!
Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”
“Idihh, mau
tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih menarik. Apa lagi...
hemm, aku paling suka pria berkumis panjang!” Ia memandang si Kumis dengan mata
dipicingkan penuh tantangan.
“Waduh!
Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”
“Boan-koko
biar pun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia, bagaimana aku dan
Ayah Ibu serta adik-adikku dapat makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk
mencari kesenangan melainkan mencari... makan. Kalau mencari senang tentu aku
memilih kalian, terutama yang kumisnya panjang.”
“Ha-ha-ha!”
Si Kumis Panjang memelintir kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi
tubuh wanita itu lalu menengok ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami
sebentar ke dalam gardu!” bisiknya sambil merangkul.
Wanita itu
terkekeh genit dan balas memeluk pinggang si Kumis sambil berkata, “Aku mau
akan tetapi satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan
Boan-koko!”
“Baik.
Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti giliran!” Si Kumis terkekeh dan
menyeret tubuh wanita itu memasuki gardu.
Empat orang
kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap tak sabar. Jarang
sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang begini lunak. Mereka
menanti di luar dan tertawa-tawa ketika mendengar suara si Kumis menggereng dan
mengeluh di dalam gardu.
Tak lama
kemudian muncul kepala si Wanita sambil menggerakkan leher ke arah si Buta
Sebelah. “Giliranmu. Dia tertidur!”
Si Buta
Sebelah seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul
bayangan wanita itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi
tak tampak seorang pun di antara mereka keluar lagi. Tak lama kemudian,
muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping, mukanya kotor berdebu,
pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini
melenggang ke luar dari dalam gardu penjagaan, langsung masuk ke bagian dalam
dari markas itu. Ketika di bagian dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan
beberapa orang Hsi-hsia, ia ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.
“Hee! Siapa
kamu dan dari mana? Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”
Orang muda
itu tersenyum dan menjawab sambil mengangkat dada. “Aiih, kawan-kawan apakah
belum mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia mengutusku dari utara
langsung melakukan penyelidikan ke kota raja Sung dan kini aku datang untuk
menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu memberi salam dengan tangannya. Sikapnya
yang lincah dan tidak ragu-ragu serta wajahnya yang gembira agaknya tidak
menimbulkan kecurigaan.
“Tunggulah,
kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan kuceritakan pengalamanku
dengan puteri-puteri Sung!” Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan
perjalanannya ke sebelah dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas
Bouw Lek Couwsu.
Tidak lagi
tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh
hwesio-hwesio jubah merah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda Hsi-hsia ini
melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, akan tetapi kali ini ia menyelinap di
antara bangunan-bangunan, mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati sekali
karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuhnya di dalam
gardu penjagaan tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi-hsia lainnya.
Ia tertawa
sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi. Untung
lima orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga
mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi seorang. Kalau tidak, ia harus
bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sungguh pun ia sanggup pula membunuh
mereka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia harus bekerja
cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio jubah merah dan
ia dapat menduga pula bahwa penjaga-penjaga ini tidaklah selemah
penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya terdiri dari orang-orang Hsi-hsia
kasar. Hwesio-hwesio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!
“Heiii! Mau
apa kau masuk ke sini?” Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut
sekali.
Akan tetapi
teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini melegakan hatinya. Selama
hwesio-hwesio di sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali.
Sambil bersikap menghormat ia lalu berkata, “Saya hendak menghadap Couwsu untuk
menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung sebagaimana yang
diperintahkan langsung kepada saya.”
Hwesio itu
mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu bahwa gurunya banyak
mengirim mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang
pemuda seperti ini? Pula, ia merasa tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali
ia membentak.
“Hemm, kalau
menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk
melalui pintu gerbang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga agar
menyampaikan permohonanmu menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga,
dan pinceng (aku) sendiri yang akan melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang
sibuk.”
“Ah, Couwsu
sedang sibuk apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak
mengganggu, jangan-jangan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan.
Sikapnya itu agak mengurangi kecurigaan si Hwesio yang mengenal watak gurunya.
Memang kalau gurunya sedang sibuk, orang yang mengganggunya sering kali
menerima hukuman berat.
“Karena itu
harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-tek Ngo-sian yang sekarang
sudah hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama
puteranya. Dan tempat tahanan makin penuh saja!”
“Eh, apakah
yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.
“Tahanan-tahanan
penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Panglima besar Khitan, Kiang-kongcu
dari kota raja, ketua Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hitam...”
“Mutiara
Hitam...?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.
“Ya, gadis
cantik jelita dan galak... auuughhh...!” Hwesio itu roboh oleh pukulan
jari-jari terbuka yang tepat menghantam tenggorokannya, membuat kerongkongannya
hancur dan tewas seketika! Sebelum tubuhnya terbanting, pemuda itu menyambarnya
dan menyeretnya ke belakang semak-semak.
Tidak lama
kemudian, dari belakang semak itu muncullah si Pemuda yang kini sudah berubah
menjadi... hwesio muda tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi
tak tampak lagi, tersembunyi di balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio
tadi memang gemuk.
Setelah
berpakaian hwesio, pemuda ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran.
Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya
jubahnya yang merah dan kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam
hal ini, biar pun ada banyak hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu
saja tiada banyak bedanya.
Di dalam
kamar tahanan, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, orang-orang muda yang
terbelenggu di situ sudah hampir kehilangan harapan. Apa lagi keadaan Pangeran
Talibu, sungguh amat mengenaskan. Biar pun keselamatannya tidak terancam
bahaya, namun ia sungguh menderita. Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa
panas perih dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pangeran ini siuman, mengerang
dan sering kali pingsan lagi. Tubuhnya lemas menggantung pada kedua tangan yang
terbelenggu di atas kepalanya.
Melihat
keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan
sekali kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan.
Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan bahwa
mereka bukan sanak kadang, apa lagi saudara kandung! Dan pandang mata kakaknya
itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra. Puteri Mimi menangis.
Kwi Lan juga
beberapa kali menoleh ke arah Pangeran ini. Ia gemas, marah, penasaran, benci
dan... cinta! Hatinya seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang
dicintanya ini, akan tetapi mengingat akan kata-kata yang diterjemahkan Siang
Ki, hatinya panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri
Mimi!
Yu Siang Ki
menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya. Pasukan yang dibawanya itu
adalah tokoh-tokoh pengemis di kota raja dan di Lok-yang, kini mereka telah
dibasmi habis! Sungguh pun tewas sebagai patriot yang membela negara menghadapi
bangsa Hsi-hsia, akan tetapi semua itu adalah karena kesalahannya! Ia terlalu
memandang rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.
Hanya Kiang
Liong yang tetap tenang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang
tenang, juga ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan
politik negara. Ia telah yakin bahwa nyawa mereka belum terancam bahaya. Kalau
Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah dibunuhnya dan tidak perlu
ditahan seperti sekarang ini. Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki
mereka mati dan selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun selalu
akan tetap ada.
Apa lagi
bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bangsa Hsi-hsia bukanlah bangsa
yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar, hendak
menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak sekali-kali berani
membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan oleh
mereka menjadi sekutu, bukan musuh!
Tentang Kwi
Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan dibunuh karena bukankah Kwi Lan ini murid
wanita aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di antara Bu-tek
Ngo-sian? Betapa pun juga, guru itu tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh,
apa lagi di sana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang menurut
penglihatannya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih
hidup. Ia tidak akan membiarkan Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini?
Kiang-Liong ingin menampar kepalanya sendiri, akan tetapi kedua tangannya
terbelenggu sehingga ia hanya dapat menarik napas panjang dan kembali melirik
ke arah Kwi Lan.
Sejak tadi
ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh hatinya. Entah
bagaimana, gadis itu seakan-akan mempunyai hawa yang menyedot dan menarik
perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa suka dan cinta yang belum pernah
dirasakannya terhadap gadis lain. Ia memang selalu suka akan gadis cantik, akan
tetapi rasa suka ini seperti rasa suka seseorang akan benda-benda indah, akan
bunga-bunga harum, tidak pernah lebih mendalam dari pada itu.
Kini ia
mempunyai rasa suka dan cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada
dorongan dalam hati bahwa ia harus membela gadis ini, harus menolongnya, dan
kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri untuknya! Kalau biasanya terhadap
gadis-gadis cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan
cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya
kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau
menerima cintanya!
“Kiang
Liong, kau sudah gila...!” Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalui
mulutnya sehingga semua tahanan, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya
dengan penuh keheranan, termasuk Kwi Lan.
“Orang yang
gila tidak akan mengaku gila!” tiba-tiba Kwi Lan berkata, suaranya mengejek.
Memang gadis
ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi
tertawan bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini
yang membawa datang Puteri Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak
tertawan, tentu Puteri Mimi juga tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak
datang ke sini dan Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!
Kiang Liong
memandang gadis ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona?
Pendapatmu membesarkan hatiku, terima kasih.”
“Engkau
memang tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena... takut! Huh, dan
beginikah murid perkasa dari Suling Emas?”
Senyum di
bibir Kiang Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati kecewa. “Aku... ?
Takut...? Aku tidak takut, Nona dan....”
Terpaksa
Kiang Liong menghentikan ucapannya karena pada saat itu terdengar suara pintu
dibuka. Semua mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan yang
memasuki ruangan tahanan itu.
“Eh, kau...
Berandal...!” Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang
kepadanya dengan heran.
Apa pula
sekarang maksud Mutiara Hitam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio
jubah merah, dengan suara bukan seperti orang memaki, bahkan dengan mata
bersinar-sinar dan muka tersenyum geli?
“Sssttt...,
matamu selalu tajam, Mutiara Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh
telunjuk ke depan bibir, kemudian melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan. “Aku
terpaksa menyamar. Aku datang untuk membebaskanmu. Kau bersiaplah, aku akan
mematahkan belenggu tangan dan kakimu.”
Pemuda itu
bukan lain adalah si Berandal Tang Hauw Lam! Dia datang memasuki markas
mempergunakan akalnya, menyamar sebagai wanita cantik, kemudian sebagai orang
Hsi-hsia dan terakhir ini sebagai seorang hwesio gundul berjubah merah. Kini
Hauw Lam mengeluarkan goloknya dan empat kali bacokan kuat, belenggu kaki
tangan yang mengikat Kwi Lan terlepas.
“Mari kita
cepat pergi dari sini!” bisik Hauw Lam sambil menyambar lengan Kwi Lan yang
sedang menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.
“Kau
bebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.
“Kita harus
lekas lari...,“ bantah Hauw Lam.
“Berandal!
Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan
marah.
Hauw Lam
mengangkat alis dan pundak, lalu menghampiri Kiang Liong dengan golok di
tangan. “Kiang-kongcu,” katanya. “Bagaimana selama kita berpisah, engkau
baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku tadi tidak mau membebaskan kalian,
hanya makin banyak orang yang lari makin sukar dan....”
“Saudara tak
perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”
“Apa?”
Kiang Liong
menggerakkan kaki tangannya dan... benar saja, kedua kaki dan tangannya
terlepas dari pada belenggu tanpa mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak,
memandang ke arah belenggu dan mengangguk-angguk. “Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat
(Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar biasa!”
Melihat ini,
Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu dan menggunakan kekuatan sinkangnya
mematahkan belenggu, berkata mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak
dari tadi? Aksinya!”
Kiang Liong
hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan belenggu kaki tangan Siang
Ki sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri Mimi. “Ah, kalau terlepas dari
belenggu, apa artinya? Pintu tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum
waktunya mencoba bebas. Akan tetapi setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita
harus berusaha menerobos ke luar!”
“Kita harus
keluar berpencar,” kata pula Kiang Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh.
Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan, tunduk kepadanya karena maklum bahwa selain
dia yang paling lihai di antara mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam.
“Kalau keluar bersama, sekali ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang
kuat untuk menghadapi mereka yang berjumlah besar, apa lagi banyak orang sakti
di sini. Dengan berpencar, ada harapan seorang di antara kita bebas untuk pergi
mencari bantuan menyerbu ke sini.”
“Benar,”
kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak
menyerbu dan menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri
Mimi.”
Mendengar
ini timbul semangat Pangeran Talibu. Ia diam saja karena Puteri Mimi
menggosok-gosok tubuhnya yang telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk
pemberian Hauw Lam. Obat ini manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya
memandang dengan penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan
diri dan tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apa lagi ia tahu bahwa
Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.
“Pangeran
biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pemuda ini menahan
pula keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam
bersama Saudara Tang, dan Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan
kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya melalui kanan, kiri, dan belakang
markas karena di depan adalah tempat yang terjaga kuat.”
“Baik,
pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata
demikian, Hauw Lam meraba dahinya dan membuka ‘kulit’ dahi terus ke belakang.
Lenyaplah gundulnya dan kini tampak rambuthya hitam panjang yang segera
digelung ke atas belakang dan dibungkus kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan
kini ia sudah berganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya
ia gantung di pinggang.
“Berapa
orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.
“Hanya tiga.
Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu
membujuk para tahanan.”
“Baik, mereka
bagianku, Mutiara Hitam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi pengawas kalau-kalau ada
muncul yang lain.”
Biar pun
Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah
tahu akan kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong,
kemudian melihat tiga orang hwesio jubah merah menjaga di depan pintu, ia
membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan berkelebat ke luar dengan
gerakan amat cepat laksana empat ekor burung terbang.
Bayangan
pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya dan meloncat jauh ke
depan untuk berjaga, sedangkan tiga orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah
menerjang tiga orang hwesio itu. Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati
karena tidak menyangka akan hal ini. Mereka berusaha menangkis namun tiga orang
muda itu terlampau cepat gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh tanpa
mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit pun.
“Aman...,“
bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.
“Berpisah,
sampai jumpa!” kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini kepada semua
temannya akan tetapi matanya memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang
kepada Pangeran Talibu. Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng
tangan Pangeran Talibu meloncat melalui jurusan belakang markas, Yu Siang Ki
dan Mimi lari ke jurusan kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak
paling akhir menuju ke kiri.
Hauw Lam dan
Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar.
“Bagaimana kau tiba-tiba bisa muncul, Berandal?”
Hauw Lam
terkekeh. Girang bukan main hatinya, kegirangan yang selama ia berpisah dari
samping Kwi Lan tak pernah ia rasakan lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah
berpisah. Mutiara! Serasa kita masih seperti dulu ketika berlari-lari bersama
melawan orang-orang jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju
bersih! Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupakan engkau
sekejap mata sekali pun.”
“Bohong!”
Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau
kau tidur?”
“Tidur pun
mimpi bersama engkau!”
“Ah, kau
bisa saja. Aku tidak percaya.”
“Eh, tidak
percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari,
mencabut golok dan bersikap seperti hendak membuka dada. Kwi Lan tertawa.
“Ihhh,
sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul
seperti setan?”
“Memang aku
setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”
“Ibu? Kau
bertemu Bibi Bi Li?”
Pemuda itu
mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan
teringat olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi, “Dan aku melihat istana di
bawah tanah. Wah, pantasnya menjadi tempat tinggal setan-setan. Ibuku
bertahun-tahun tinggal di sana, bukankah patut aku menjadi setan pula?
Aduhh...!” Ia menekan perutnya.
“Ada apa?”
Kwi Lan kaget, khawatir.
“Perutku...
lapar amat, tak tertahankan!” Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat
terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.
“Dasar
rakus! Kau tiada bedanya dengan cacing-cacing dalam perutmu!”
“Sstt...!
Tuh di sana...!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.
“Ada apa di
sana?”
Hidung Hauw
Lam kembang-kempis menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu?
Begini sedap, begini gurih!”
Baru
sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium
bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu adalah sebuah
dapur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Perlu apa ke sana? Kita lari saja.
Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya.”
Hauw Lam
menggeleng-geleng kepala. “Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti
babi. Akan tetapi kerja saja tanpa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi
bahaya, membutuhkan tenaga, kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak
diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana aku ada sisa
tenaga untuk bertempur? Kau pun harus makan, Mutiara Hitam.”
“Aku sudah
kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena
teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar
biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.
“Tapi kau
tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan,
bukan?”
“Sudahlah.
Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan mereka berindap-indap
menghampiri dapur itu.
Ketika
mereka mengintai dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat itu
memang sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang
koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa
Han, agaknya anggota kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu Bouw Lek
Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul panas dari
mangkok-mangkok besar.
Hampir
tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah tidak
tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah
empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget dan tubuh mereka
terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batu-batu kecil
itu tepat mengenai belakang telinga mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh
pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti
ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak, keadaan akan menjadi berbahaya, maka
bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela.
Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok
dan ‘ngorok’ di atas lantai!
Tanpa banyak
cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk
menghadap meja lalu ‘menyapu’ masakan-masakan yang tersedia di atas meja.
“Wah-wah,”
serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu. ”Dalam hal makanan ternyata
Bouw Lek Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang
Thian-liong-pang!” Sumpitnya sibuk bekerja menjepit potongan-potongan daging
dan sayur.
Hauw Lam
memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini
makan, Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk
dan mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.
“Sudahlah,”
akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa
banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong
aliran arak wangi. “Kalau kau makan terus sampai kekenyangan, kau bisa tertidur
di sini.”
Hauw Lam
tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan
ramping. “Wah, kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya,
entah terbuat dari daging apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk bekal!” Ia sibuk
menggunakan kedua tangannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan
itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa
dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah
kantung besar tepat di depan perutnya! Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala.
Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke
jurusan kiri markas.
Setelah
mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang
berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai, dan merasa bahwa kini sudah aman,
terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan dan derap kaki kuda dari
belakang.
“Kita
dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang mulai ‘menancap gas’ mempercepat larinya.
Kwi Lan yang
tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang
dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun
mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil
berlari mereka melompat-lompat.
Para
pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima
orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di
wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang
cepat-cepat larinya.
“Wah-wah-wah...
celaka bakso-bakso ini!” tiba-tiba Hauw Lam berseru.
“Kenapa?”
Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam.
Ketika gadis
itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan menutupi mulutnya
yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu. Kiranya
ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut
berloncatan dan yang berada di kantong kanan kiri baju sudah berloncatan ke
luar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyikan dalam kantung
yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam celana, keluar dari panci
dan karena bakso itu digoreng, keluarlah minyaknya membasahi semua bagian bawah
tubuh Hauw Lam.
Kini sambil
berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor
celana dan berlompatanlah bakso-bakso besar bundar-bundar itu keluar dari dalam
celana, menggelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut
Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat terakhir tangannya masih sempat
menyambar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia
mengeluarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena
mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia
berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.
“Percuma lari.
Kita lawan!” katanya.
Kwi Lan
masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah
dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa
pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonya hilang. Ia pun tidak gentar dan
mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua orang itu berhenti dan
menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang
menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung menerjang dengan
lompatan jauh dan senjata diputar di tangan.
Terjadi
pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa
menit saja. Dua orang muda itu seakan berlomba dan pertempuran berakhir dengan
robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu
hampir bersamaan!
Hauw Lam
tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka
lalu mengangguk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas
tanpa luka bacokan. “Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam!”
“Dan kau
makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.
Mereka
menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi
belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan
berubah ketika gadis ini mengeluarkan suara tertahan. Di depan mereka telah
berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong! Dan di belakang mereka
berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka.
Hauw Lam
terkejut sekali, apa lagi melihat wanita berkerudung yang sikapnya begitu
menyeramkan. Ia sudah mendengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini
bertemu dengan Kam Sian Eng mau pun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat
sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek
itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.
“Srattt...!”
Begitu
goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. Hauw Lam
kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi
tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh. Kiranya sinar itu adalah sehelai
tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam tangannya
yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini
terpegang kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu!
Hebat bukan
main! Biar pun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga
namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar
seorang lawan yang amat tangguh! Ia mengharapkan gerakan bantuan Kwi Lan, akan
tetapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita
berkerudung dengan kening berkerut gelisah.
“Kwi Lan,
apakah engkau hendak melawan aku?” Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya
dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.
Kwi Lan
menggeleng kepala. Ia bukan tidak berani, sungguh pun ia tahu percuma saja
melawan gurunya ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika
gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain lagi. Kini tidak ada siapa-siapa
yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan
gurunya yang betapa pun juga sudah berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti
seorang ibu sendiri. Apa lagi kalau diingat bahwa guru ini adalah bibinya,
bagaimana ia dapat melawannya?
Pak-sin-ong
berkata kepada Hauw Lam, “Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani
membikin huru-hara di sini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek
Couwsu dalam keadaan hidup seperti dikehendakinya, kalau melawan, terpaksa
kuhadapkan sebagai mayat!”
Hauw Lam
juga seorang pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang
bodoh yang nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan
mati-matian melawan. Akan tetapi kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak
melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya tertawan, masih ada harapan
membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas
kalau Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga
diam-diam Pak-sin-ong kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada ‘isinya’.
“Ha-ha-ha,
seorang bijaksana mengetahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti
juga Mutiara!”
“Ikat dia di
kuda!” perintah Pak-sin-ong.
Dua orang
Hsi-hsia yang tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya
tanpa perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa. Ia diikat
di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya dilibat-tibat
ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik akan tetapi masih
menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.
Kwi Lan
dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di
samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian
Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong
yang cemberut angkuh.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama sekali Hauw Lam
ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman
yang tadi melarikan diri sudah tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang
Liong dan Yu Siang Ki terluka, sungguh pun tidak berat namun membutuhkan waktu
untuk istirahat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.
Ketika Kiang
Liong bersama Pangeran Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di tengah
jalan mereka dicegat oleh Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong.
Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek
Kauw-ong segera menerjang dan akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan
jarak jauh. Sia-sia saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang di antara
mereka, mungkin ia masih mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan
pertandingan berat sebelah. Apa lagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat
diharapkan bantuannya karena keadaannya masih payah.
Ada pun Yu
Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, dicegat oleh Bu-tek
Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi
dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couwsu sudah berpesan kepada
sekutu-sekutunya agar para tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak
dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja.
Mereka kini
dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi
yang lebih kuat, dengan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding.
Akan tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam. Karena marah sekali oleh
perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebaskan tawanan dan sudah
membunuh banyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyuruh algojo-algojonya untuk
menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada kakinya! Pemuda ini digantung
dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia
benar-benar seperti seekor kambing yang digantung setelah disembelih untuk
dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak
berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa!
Setelah para
penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam
kembali terkekeh dan berkata, “Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti
sekumpulan bocah-bocah nakal yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus
malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih sengsara!”
Kiang Liong
menghela napas. “Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang.
Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak
memperhitungkan kecerdikannya yang luar biasa.”
“Ha-ha-ha!
Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi
keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat
untuk luka-luka kalian, sayangnya tanganku dibelenggu, tapi kalau
kugerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar.” Mulailah
Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk,
menggeliat-geliat sehingga pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua
orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa
terang-terangan.
“Hi-hi-hik...!”
“Aihhh,
kenapa tertawa, Mutiaraku?”
“Berandal!
Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak
tentu menggelinding keluar semua! Hi-hik!”
Hauw Lam
tertawa. “Ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu
kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!” Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua
isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan.
Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki.
Jari-jari
kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari
itu bergerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jari tangan. Ia
membuka bungkusan itu, dan kembali menggunakan lweekang, menjemput bubuk obat
dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesai, ia
membungkus kembali obat itu, lalu menggunakan tenaga lweekang menyentil
bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan
cara yang sama.
“Eh, dia
sudah tidur! Dasar manusia malas!” Kwi Lan berkata ketika mendengar dengkur
orang dan melihat bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan
bergantung dengan kepala di bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak
sampai mendengkur!
Akan tetapi
Kiang Liong mengeluarkan suara kagum. “Dia tentu pernah mempelajari ilmu
semedhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu.”
“Siapa lagi?
Gurunya seorang badut tua bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan,
teringat akan cerita pemuda lucu itu.
“Aahhh...?
Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu
pernah bercerita tentang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira
beliau sudah meninggal dunia...“
Pada saat
itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari
jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa
terbahak-bahak. “Huah-hah-hahhah! Suling Emas bocah tolol itu mana tahu...?”
Para tawanan
saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi.
Suara setankah itu? Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan terheran lebih
lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah
Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat!
Para orang
muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang
penuh perhatian dan ketegangan. Jelas bahwa pimpinan orang Hsi-hia datang
dengan maksud tertentu, dan agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan
hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang
para tawanan itu seorang demi seorang.
“Pinceng
datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan terakhir! Kali ini pinceng
tidak akan bicara kepada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk
semua. Maka pilihlah seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan
diambil menurut jawab seorang wakil itu. Satu mati semua mati, seorang menolak
berarti semua harus mati. Nah, siapa wakilnya?”
Otomatis
semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biar pun tak seorang pun di antara
mereka bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah
berkata jelas.
“Oho,
agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju
mewakilkan dia?”
“Jawaban
Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!” kata Talibu dengan suara gagah.
“Bouw Lek
Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi
kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku
pribadi, aku tidak peduli lagi mau kau bunuh atau kau siksa atau perbuatan
pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kau lakukan. Bicaralah!”' kata Kiang
Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang.
Bouw Lek
Couwsu tersenyum. “Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran
Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang minta supaya
Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Sung. Juga Puteri
Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya, Panglima Kayabu di Khitan.
Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju
kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah
berkali-kali melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal
mulai sekarang suka membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Ada pun
kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari
dalam kota raja apa bila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima
Sung.”
Hening
sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang
masih tergantung kakinya.
“Kalau kami
menolak?”
“Kalian
berikut anjing yang tergantung itu akan mampus!”
Tiba-tiba
saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu
tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing kecil, “Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”
Suasana
tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang
lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan
berkata, “Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali!”
“Mimpi apa?”
Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal
bicara.
“Aku mimpi
menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali,
aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung.
Sialan!”
Kwi Lan
tertawa, juga Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing
besar gundul buntung. Siapa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?
“Bagaimana
jawabanmu, Kiang-kongcu?” tanya Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan
tidak mempedulikan Hauw Lam.
“Bagaimana
kalau seorang di antara kami menolak?”
“Harus
menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!”
“Kalau
begitu kami menolak!” teiak Pangeran Talibu.
“Kami
menolak!” seru Puteri Mimi.
“Aku pun
menolak!” kata Yu Siang Ki.
“Aku suka
menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.
“Nah, Bouw
Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang
Liong...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment