Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 13
PUTRI MIMI
tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan
senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu
benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum
pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala
pengawal dan berkata.
“Cianbu,
bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau
sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran
dan kemarahan.
Kepala
pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru
menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan
kepada atasannya. “Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa
Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan
mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”
“Apa...?
Pangeran Talibu tertawan...?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa
orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini
sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.
Kepala
pengawal itu menggeleng kepala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba
ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan
di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana. Orang-orang kita
sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan
bantuan Kerajaan Sung...” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.
“Hemm, aku
agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu
saja kami akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu
terjadi di wilayah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat
saja di rumahku agar terjaga keamanannya, ada pun Cianbu kuharap membantu
teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia
dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah. Di antara mereka
banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun
tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran
Talibu.”
“Kiang-kongcu,
agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka
menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.
Kiang Liong
tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan
kelak kuceritakan kepadamu.”
Puteri Mimi
lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang
Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang
Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala
pasukan.
Karena dapat
menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki
tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa
Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua
penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang
pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia
yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.
Ketika ia
bangun pagi itu, sudah agak siang, ia melihat bahwa di taman samping diadakan
pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah
bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri
Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang
menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat
suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian dari ibunya ia mendengar
tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya,
Suma Boan.
“Bagaimana
ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu
tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang
putera?” Kiang Liong bertanya.
“Hemm, aku
pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong),” kata Pangeran Kiang
dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal
setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera.
Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu... hiihh, mengerikan sekali, seperti
iblis betina.”
“Ah, terlalu
sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng,
ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau
sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat
betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah
mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng
mengerikan, akan tetapi... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak
waras, apa lagi dia masih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”
Makin keruh
wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emas selalu
benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”
“Eh, bukan
begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“
“Sudahlah!”
Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar.
Kiang Liong
menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri
Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah sering kali ia mendengar ayah
dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama
gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi
bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan
berkata.
“Sesungguhnya,
bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya
itu ke mana, apakah berada di sini pula?”
Suma Ceng
yang biar pun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus
itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi mendudukkan
gadis itu di dekatnya sambil berkata. “Puteri harap kau maafkan kami yang tidak
tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”
Mimi biar
pun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan
orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nyonya
yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata, “Bibi
yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan
terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”
Suma Ceng
memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian
berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung. "Aahhh, kau tentu
dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang
dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan."
Kemudian ia
memandang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu
meninggal dunia, di luar tahu siapa pun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam
keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang
lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma
Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini
dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak
dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat
melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat
sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."
Kiang Liong
menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh
terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang
peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah
ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang
adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada
dua orang adiknya. Rahasia apakah?
Dia tidak
tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun
yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh
di selatan, di Sucouw. Ada pun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai
(sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar
wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.
"Kalau
begitu... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"
"Tidak,
bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti... seperti
setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina.
Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran
karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling... eh, Gurumu
sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan
tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih,
dan sikapnya... hih, menyeramkan!"
Kiang Liong
tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal
itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di
taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu
pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya,
karena biar pun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak
mengerti ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat dari
pada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.
"Adik
Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"
Ibunya
cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia!
Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di
barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu. Anak pemilik restoran!
Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"
Kiang Liong
tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"
"Ha-ha,
Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga
perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya..."
"Cinta?
Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia
mencinta seorang gadis seperti... Mimi ini..."
"Ihhh...
Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum
jengah.
"Ha-ha-ha!
Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya keliru." Kiang
Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya
menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah
hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!
"Sudahlah,
kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."
"Sabar
dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apa lagi sekarang, aku
harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku,
bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk
menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."
Seketika
wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau
tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita
sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting
itu."
Pada saat
itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana
sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan
melangkah ke luar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang
terjadi di sana.
***************
DEMIKIANLAH,
seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba
di taman dan menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh
wibawa.
"Hemmm,
apakah yang terjadi di sini?"
"Kiang-kongcu
datang...!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan
semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong.
Dengan
pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan
menimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga
ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim
Kai-pang yang sudah banyak didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan
Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apa lagi melihat munculnya
pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang
pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya,
akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.
Suma Kiat
adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik
keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang
itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis-manisnya,
menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
"Kiang-piauwheng
(Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak
dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk
ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan
menutupi luka di pundak kirinya.
Kiang Liong
hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya
tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"
Dengan muka
seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata,
"Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita,
tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja
Sumoi-ku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"
Kiang Liong
tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh
tak disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita
aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya
sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung
adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat
berkata.
Kemudian ia
memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa
pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan
sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan
keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia
segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini
membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.
"Pesta
kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun
yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk
menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah
terjadi ada tamu menghina tamu lain, apa lagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal
yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi
penjelasan."
Sebelum Yu
Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah
berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah si
Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan
meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan
diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, si Jembel busuk ini bikin
gara-gara dan menyerang kami!"
Kiang Liong
menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis
yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula
bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman
bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.
"Harap
kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan
ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang
wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam
taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.
Kiang Liong
kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi
lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan
dan menghina tamu-tamu lain."
"Kiang-kongcu,
sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong
(pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat
hati saya kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah
manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan
menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima
pertanggungan-jawabnya."
Diam-diam
Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus
menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu
untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga
membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang mengaku telah
menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggungan-jawabnya!
Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah.
Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapa pun juga Suma Kiat adalah adik
misannya dan kini adiknya itu terluka, si Pembuat Onar berdiri di depannya
menantang!
"Hemm,
sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanmu berarti
kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara
laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.
Yu Siang Ki
berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah.
"Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung
tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai ketua Khong-sim
Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan
Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka
kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian, aku orang she Yu tentu saja
tidak berani berlaku kurang ajar dan ceroboh membentur gunung Thai-san. Akan
tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi,
berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima pelajaran dari
Kiang-kongcu!"
Dua orang
muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling
berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding
seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apa lagi
setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah ketua Khong-sim Kai-pang yang
baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara
dua orang jago muda yang berilmu tinggi.
"Piauwheng,
untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap
Piauwheng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini
masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah
kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya
yang masih mengucurkan darah.
"Kiang-kongcu,
maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,”
tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya.
Sejak tadi
puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian. Ia amat kagum
menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang
cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum
dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian
jembel itu.
Melihat
majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh.
Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan, mata yang jeli itu
bersinar-sinar, dan diam-diam ia menjadi kagum. "Ada petunjuk apakah,
Puteri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya,
kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.
"Kiang-kongcu,
mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara
tamu tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak
bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih
dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil.
Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan
penyesalan yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan
kesadaran."
Tidak hanya
Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua
orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu
keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.
Kalau semua
mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaliknya Kwi Lan yang sejak tadi
sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju
dengan pedang di tangan kanan dan berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi
pemuda ini, menghadapi Kiang Liong dengan sikap dan pandang mata penuh
tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung
menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.
"Orang
she Kiang! Apakah karena menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak
sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil
hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apa lagi urusan besar! Ketahuilah
dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara
Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang
Ki ini hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku.
Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak
seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani
berbuat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling
Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa
mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan
dan nama gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"
Wajah semua
orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu
gerakan bangsa Hsi-hsia menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak
tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini
benar-benar merupakan penghinaan hebat!
"Kwi
Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan
tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat.
Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat
sekali.
Akan tetapi
yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya
seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"
Wajah Kiang
Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan
tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil
tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan
banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.
"Mutiara
Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik
misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani
bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa
mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"
Kwi Lan
tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih
berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk
tokoh pemberontak?"
Sepasang
mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk
menerjang maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat
menekan hatinya dan membentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa
orangnya!"
"Kau
lihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman
dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk
tiga orang hwesio.
"Sumoi...
jangan...!" Suma Kiat berseru.
Akan tetapi
dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu
dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.
"Brakkk...!"
Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu
pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi
Lan. "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"
Kwi Lan
tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong
Hosiang?"
"Sumoi,
jangan...!" kembali Suma Kiat berseru.
Cheng Kong
Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi
ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi,
tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.
"Pinceng
benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."
Belum habis
ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang
duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini,
mereka pun pandai ilmu silat dan melihat gadis itu sudah menerjang maju, mereka
segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat.
"Trang-trang...
wuuut-wuuut, aduhhh...!"
Cepat luar
biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia
menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali,
kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut
berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian secara mendadak
tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu
dengan tulang pundak patah-patah!
Cheng Kong
Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi
Lan lebih cepat dari padanya. Tubuh gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi
bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.
"Sumoi,
tahan...!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di
belakangnya.
Melihat
sumoi-nya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali
dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh
yang mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan, karena ia
menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk
menghindarkan diri dari pukulan maut suheng-nya. Dan kalau pukulan itu sampai
mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!
"Dukk...!"
Suma Kiat
terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan
kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tangkisan Kiang Liong,
melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi
tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan
dari belakang seganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak
menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik
misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang
itu.
Andai kata
Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini sekali pun, ia tetap
tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara
curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka
mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton
pertandingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.
Yu Siang Ki
juga menyaksikan peristiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak
mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan
tetapi sekarang melindungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti
itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis
itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak
mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan?
Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apa bila gadis itu
terancam bahaya.
Hwesio kurus
itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat dari pada baja kebiruan yang kuat
dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di
tangannya diputar cepat sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan
sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya,
tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu
benar amat tangguh. Ke mana pun juga sinar pedang Kwi Lan menyerang, selalu
dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru
dan sengit. Belasan serangan hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan
Kwi Lan amat gesit.
"Trang!
Trang...!" dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang
bertanding seru itu mencelat mundur sampai tiga meter lebih.
“Tahan!"
seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan
kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng
cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau
tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng,
bukan di sini tempatnya!"
Kwi Lan
tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka
kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kau kira
aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu
pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan
kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan
pembesar yang hadir di sini.."
"Trang-trang...!"
Tongkat itu menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu
sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya
membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat.
Berubah
wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah
bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis
itu? Ia melirik kepada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara
itu, para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan
bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak
hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
"Berhenti!
Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat
memberi isyarat kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar si Penjaga
cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukannya.
Ia sendiri
menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia
sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu
silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek
Couwsu yang lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat.
Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek
Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.
Kwi Lan
maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan
berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini
termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hatinya agak lega melihat
betapa tadi pukulan suheng-nya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai
terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Maka melihat
sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut
pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwesio ini lebih dulu,
pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya
adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.
Kwi Lan
menjadi penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi
pedangnya. Ia harus menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah
mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah
memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus
mempertahankan diri agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia
akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek
itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah
jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan
atau kelemahan dalam pertahanan.
Tiba-tiba
Kwi Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya
itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan
menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari
pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga
mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun
lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat menandingi kehebatan
sumoi-nya dan tentu akan roboh.
Kini melihat
berubahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta
sumoi-nya, akan tetapi kalau sumoi-nya menghalang jalan menuju tercapainya
cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoi-nya terancam bahaya
maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah
berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat
digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi
Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi
kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis
ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam
serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh
menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!
Di dalam
hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu
berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari
tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik
saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun selain tabah Kwi
Lan juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa
pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam
ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh...!"
Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang
terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat
kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi,
kau terlalu...!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia
melawan suheng-nya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya,
melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih
menggeliat-geliat.
"Lo-suhu,
bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya...!" Pemuda ini meraba
dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak
bergerak lagi.
"Piauw-te
(Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini
hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa
lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata
tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja.
Pada saat
itu terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan
berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal terdiri dari tiga losin orang.
Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para
anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.
"Hemm,
tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita
pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki
mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang
dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini ikut
bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan
pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus,
"Biarkan mereka pergi!"
Yu Siang Ki
merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan
di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata,
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm,
tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng
Bukit Cin-lin-san, di kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang
akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah
berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada
ketua Khong-sim Kai-pang ini.
Yu Siang Ki
tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah
membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan
sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman
bersama para tokoh pengemis.
"Kwi
Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst,
diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita
harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek
Couwsu!"
"Apa...?
Bagaimana? Di mana?"
"Sstt,
mari ikut saja, nanti kujelaskan."
"Mengapa
kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm,
kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut
siapa?"
"Bodoh,
Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran
Mahkota Khitan takkan tertolong."
"Ah,
Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"
Kwi Lan
menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki,
kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu?
Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini
bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau
mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang
memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di
sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek
Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah,
sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan
Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya.
Mendengar
penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba
wajahnya berubah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan
maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan
oleh Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa
terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya
Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu.
Akan tetapi
urusan yang dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar pun ia tidak peduli tentang
nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana,
hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan
pengemis yang cukup kuat.
"Mari
kumpulkan teman-teman!" katanya dan berangkatlah mereka mempersiapkan
pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja
dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh
kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke
tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.
***************
SEMUA TAMU
yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat digiring oleh pasukan pengawal
istana. Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada
yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak
mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan
terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!
Diam-diam
Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka
semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu
diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya
dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini
dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar
berusaha keras mencegah pecahnya perang.
"Betapa
pun kecilnya, perang tetap merupakan mala-petaka bagi rakyat. Oleh karena itu,
sedapat mungkin harus dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa
kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka
mengorbankan sebagian harta benda dari pada mendatangkan mala-petaka bagi
rakyat!"
Perintah
kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah
semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti
perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak
kuat bertahan ketika mala-petaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa
Hsi-hsia yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan
ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!
Kiang Liong
kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di antara
para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke
rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan
kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan terhadap orang-orang Hsi-hsia?
Dan di manakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan
peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng
Kong Hosiang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam
menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.
Malam itu ia
mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis
ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu,
Piauwte!"
Suma Kiat
memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi. Tanpa berkata
sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan
minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia
meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia
menoleh dan menjawab.
"Piauwheng,
aku tidak punya rahasia apa-apa."
"Suma
Kiat! Orang lain boleh kau bohongi akan tetapi aku tidak! Kau kira aku tidak
tahu akan kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia
di dalam taman? Dan... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup
mulutnya, bukan?"
"Ha-ha-ha,
Piauwheng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela
pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri?
Sungguh engkau seorang kakak yang tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah
membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka
dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa
aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau kuceritakan hal ini
kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.
Akan tetapi
dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di
ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati
yang panas oleh marah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau
mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar
seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan
pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mencemarkan
nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan
kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab
sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"
Tiba-tiba
berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya
membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas.
Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disipitkan, dari
mana menyambar ke luar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemudian ia tertawa,
kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang
bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya
sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak
waras otaknya!
"Kiang
Liong! Engkau terlalu! Apa kau kira aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kau
perintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku
ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi
aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut kepada siapa pun juga. Kau
tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak
takut!"
Setelah
berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus hendak
keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu.
Kiang Liong
membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum
kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali
tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.
Suma Kiat
tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya
menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik
berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah
lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang
beracun dan amat ganas!
"Plak-plak...!"
Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah
tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi
marah dan menangkis dengan pengerahan sinkang disalurkan ke tangannya. Tubuh
Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong
merasa betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.
Hanya
beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia
sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum
menyeringai. "Piauwheng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"
"Huh,
bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang memancing keributan.
Tinggal kau pilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih
dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.
Suma Kiat
tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani
kurang ajar kepadamu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara
baik-baik." Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong.
Pada
hakekatnya Kiang Liong juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya,
karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar,
menekan kemarahannya dan berkata, "Begitulah yang kukehendaki, Piauwte.
Sekarang kau ceritakan baik-baik tentang...."
"Wuuuutt...
dukkkk...!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di
lantai.
Pukulan Suma
Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak
menyangka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih
untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena
Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena
pukulan. Hanya karena sinkang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja
yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan
sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sinkang yang
ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh pun tidak
berat dan berbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus bergulingan, karena ia
tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi
berbahaya.
"Heh-heh,
kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" terdengar suara Suma Kiat
mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah
Kiang Liong, menutup jalan ke luar dari empat jurusan.
Kiang Liong
yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia
melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya
Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di
belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.
"Kraakkk...
bruukk!" Kursi yang terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur
berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari
kanan kiri.
"Aihhh...!"
Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu
dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi.
Namun ia
tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke
depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri
mendorong dari bawah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan
ilmu silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat
Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan
berdasarkan tenaga gwakang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong
dari bawah dengan tenaga lweekang (tenaga dalam).
Suma Kiat
memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal
tenaga dalam dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia
terkejut dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua
pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan
melihat sambarannya Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwakang. Akan tetapi
setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya
itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam.
Suma Kiat
terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu
tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong
membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak
langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!
Suma Kiat
mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika
ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh,
merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah karena kalau saat itu
lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau
menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia
membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak,
bertolak pinggang, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan
menakutkan hati Suma Kiat.
Tiba-tiba
Suma Kiat menangis! Menangis sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas
lantai, seperti seorang anak kecil menangis rewel. "Uhuuk-hu-huukk...
Piauwheng, kau benar kejam sekali... u-hu-huuk... kalau memang kau tega kepada
adik misan, kau bunuhlah aku sekarang juga... u-huhuuukk...!"
Kiang Liong
mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian
Eng, ibu pemuda ini. Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu
seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknya. Dan bukan aneh kalau
puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah berpura-pura? Ia menghela
napas dan duduk di atas sebuah kursi.
"Sudahlah,
tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kau ceritakan semua rahasia
itu," katanya dengan hati sebal.
Suma Kiat
menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong
tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sinkang
untuk melontarkannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting,
hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan
Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya
terputar agak dekat ke pinggang.
"Piauwheng,
kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini
rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya
itu. Coba saja kau pikir, Piauwheng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani
membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengannya. Katanya... kelak kalau bangsa
Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini
tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang
persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada... eh, sahabat-sahabatmu yang
cantik itu. Apa lagi enci adik Chi itu. Kau bagi mereka untukku, ya,
Piauwheng?"
Kiang Liong
mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah
mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa
Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan tentang ditawannya
Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya. Kalau tidak ingat ibunya,
ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!
"Suma
Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan
anak kecil yang bisa kau bodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana
adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana
markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku... hemm... engkau tentu akan
kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.
"Eh...
eh... ohh... Piauwheng kau bunuhlah saja aku...," kembali Suma Kiat
menangis menggerung-gerung!
Kiang Liong
menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin
keras menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar
tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan... sinar putih yang
menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang
dan menyerangnya secepat kilat!
Kiang Liong
terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak
dekat secara tak tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak
keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga
ginkang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu
terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.
"Crak-crak...!"
Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma
Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke belakang meja.
Beberapa
detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan
meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia
meloncat melampaui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa
kakak misannya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki
lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk
gulungan sinar putih
"Cring-cring...
trang-trang-trang...!" berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu
dengan sepasang pensil di kedua tangan Kiang Liong.
Barulah Suma
Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali
pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat
tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang
berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan
pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung
tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah
dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan
yang amat tangguh.
Betapa pun
Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung
dan terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu
memutar pedang melindungi tubuhnya. Andai kata Suma Kiat bukan adik misan Kiang
Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh
binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh
Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin
merobohkan dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan
tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau
ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk menotok adik misannya.
Tiba-tiba
terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong
terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu,
tolonglah!"
Angin yang
keras menyambar masuk dari jendela dan... lampu dinding dalam kamar itu
seketika menjadi padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan
meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan
hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan pedang dengan pensil di
tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini.
Kembali Suma
Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman
pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam
pandangan matanya di dalam gelap dari pada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup
di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam
di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat
menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.
Karena tidak
ingin ‘salah tangan’ dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan
luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan,
ia cepat ‘menangkap’ pedang itu dengan sepasang pensilnya dengan cara menjepit
pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah
berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti
lekat pada sepasang pensil.
"Suma
Kiat, lepaskan pedangmu!" dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi
tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa
pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan
jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila
itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat
yang kini sudah tiba.
Kiang Liong
mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget
Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari
tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa
menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah
miringkan tubuh dan mengerahkan sinkang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga
sinkang-nya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak
kelihatan.
"Plakk...!”
Pukulan yang
merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata
tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang
Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai
kamar.
Suma Kiat
menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil
berkata. "Untung kau datang, Ibu."
"Goblok!
Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam
wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng.
Melihat
wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa seram juga. Di
dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang kata-katanya mengandung
kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak
dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat
mengalahkan adik misan itu biar pun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.
Akan tetapi
ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya
membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata
mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya
karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa
gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula, menjadi lemas karena
yang tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat
rebah telentang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus,
Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang
Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan, bahkan membahayakan kedudukan
para pembantu di kota raja."
Sian Eng
mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam,
membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata
itu kehilangan perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang
sudah gila atau mata iblis!
"Kau
bawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.
"Heh-heh-heh,
nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung
Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan
tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"
"Siapa?"
"Puteri
Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan
pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan
meloncat ke luar dari dalam kamar.
Di ruangan
tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama
Puteri Mimi. "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar
suara ribut-ribut. Apakah... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"
"Heh-heh-heh,
anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap
Puteri Mimi yang jelita.
"Apa...?
Di mana dia...?" Suma Ceng menjerit.
Akan tetapi
dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke
arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"
Nyonya Kiang
itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari
dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan
kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat
menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke
lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau
jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu
terbelalak.
"Heh-heh,
tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak
menangkap.
Akan tetapi
Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya
yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh,
kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan
berusaha menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim
pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah
dari tubuh lawan.
Terdengar
suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara
hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih
lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan
yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha
menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain
saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat.
Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan
dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma
Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak
berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan
lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan
bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus
melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Di dalam
gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi
kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget
lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong
lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang
siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela
napas panjang dan mengomel.
“Ah, tidak
disangkanya dia menurun ayahnya...!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan
Suma Boan yang memang amat jahat.
Mendengar
ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus. “Perlu
apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat
berusaha mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”
Pangeran
Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk
mengerahkan pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan
hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya
tidak perlu dikhawatirkan. Kedua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu
yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan
yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara
antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong,
melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa
pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta
isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.
Sementara
itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam
suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati
kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di
kaki bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.
Malam telah
terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar
hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita
berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah.
Suma Kiat
duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya. “Ibu, kenapa berhenti?”
“Kita
menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya,” kata ibunya.
Puteri Mimi
mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan
dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas
dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak
akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan
aku, ha-ha!” Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya hendak mencium.
Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng
duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya
itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya
berapi. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam
itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak
keras.
“Suma Kiat!
Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”
Suma Kiat
mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong,
ia tertawa. “Ha-ha, Piauwheng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek.
Akan tetapi
agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia
tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora
nafsunya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan
jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar pun ia sudah dapat bergerak, namun ia
pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa
untuk sementara ia terbebas dari pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia
amat cemas, apa lagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh,
dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia
harapkan juga tertawan!
Mereka tidak
lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala
susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua
belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng.
Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.
“Maafkan
pinceng sekalian yang agak lambat menyambut. Couwsu memerintahkan pinceng untuk
menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”
Kam Sian Eng
bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda
agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang
Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua
belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio
muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon
besar menerjang alang-alang dan berputar-putaran. Sungguh jalan yang amat sulit
bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman.
Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia,
pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!
***************
SETELAH
berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh
Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri
menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit
Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum
pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu
adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia
hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu.
Biasanya Ia
tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar
Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia
sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar
penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi
menolong dan membebaskan Pangeran itu dari pada orang-orang Hsi-hsia!
Ibu
kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran
Mahkota ini tertimpa bencana. Kini ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu
kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara
paksa oleh gurunya dari ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya
mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak
kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan
hancur hatinya.
Hutan yang
lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak
pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia
sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi
Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di
dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam
hutan, sunyi dan gelap, bahkan sedikit pun tak ada angin bertiup.
Jalan kecil
itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan
hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah
tumpukan daun kering. Terdengar bunyi bercuitan dari kanan kiri dan puluhan
batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon di kanan kiri, anak
panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara
otomatis! Kwi Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya,
hanya memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak
panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.
Kwi Lan amat
cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung
rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia
mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan
ini, apa lagi malam hampir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan
menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia
memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling
tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh,
tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon.
Kemudian
mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul ‘jalan atas’ yaitu berloncatan dari
pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di
situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas
nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu
singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon
besar.
Tiba-tiba
ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti
layar menyambar ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar
sambil mengerahkan tenaga.
“Cring-cring...
brettt...!”
Ketika ia
memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya
dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa lagi
ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia berlompatan dan menyerangnya
dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas.
Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang
berbulu.
Kwi Lan
boleh jadi pandai ilmu silat dan andai kata ia dikeroyok di atas tanah,
jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekali
pun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu
saja merupakan ‘daerah’ monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak
lebih leluasa dan gesit. Betapa pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan
kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau
menyambar. Itulah jarum-jarum hijau!
Lima ekor
monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati
Kwi Lan ketika mendengar betapa ‘monyet-monyet’ itu mengeluarkan suara mengaduh
seperti manusia! Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai
monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah
mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima
orang itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang
maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke
bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas!
Akan tetapi
pada saat itu terdengar ledakan keras dan... pohon besar di mana Kwi Lan berada
itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat
turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat
bahaya terbanting bersama pohon. Biar pun terancam bahaya maut, gadis ini masih
tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa
di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada
dahan.
Setelah tahu
arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas
sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apa bila pohon itu
sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya, sebelum
pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon
itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.
Untung
sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung
ranting dari dahan terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun
menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang
dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan
menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung
ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi
turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah
sebatang pohon terdekat!
Kini ia
‘nongkrong’ di atas dahan mengeluarkan sapu tangan dan menghapus dahi dan leher
yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus
keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya.
Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru
lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang
itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat
ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat
akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak
ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran
Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana
tempat sembunyi?
Kwi Lan
memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak
jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima
orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari
situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui
pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun
dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon
ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan
menggunakan sebatang ranting sebagai tongkat. Ia menekan tanah di depan tongkat
lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini
tidak ada jebakannya.
Suara
manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak.
Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil,
lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia
merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol.
Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol,
terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh
dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan
suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.
“Siapa yang
terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,
“Tidak ada
bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suaranya tinggi.
“Wah, mereka
ini tewas...!”
“Bawa obor,
biarkan pinceng memeriksanya!”
Kwi Lan
tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara
orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah
Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan
menurut suheng-nya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya.
Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat dari pada
markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena
selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di
Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu
kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang
ditawan?
Suara
orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini
mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar
sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan tewas oleh
bacokan pedang. Makin jelas suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian
Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam
jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang
itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang
menonjol ini, ia terlindung dan aman!
“Kalau dia
bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara
mereka makin menjauh.
Kwi Lan
maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang
ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa
orang berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu dengan obor di tangan. Kwi
Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa
Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang
ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia
membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari.
Tiba-tiba
dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika
orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan
berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang
Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap lengan korbannya, lalu memadamkan
obor, mengempit tubuh yang lemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia
merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah
orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang
makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.
“Jawab saja
dengan anggukan,” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia
menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan
ditawan?”
Orang itu
menggeleng kepalanya.
“Jangan kau
bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”
Kembali
orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di
bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat
betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian.
Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, sedikit pun tidak
takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia
menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya
dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang
pahlawan!
Tadi ia
melihat banyak orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah
membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat.
Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk
uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apa pun
juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang
yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa,
tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati.
Sadar akan
kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi
lumpuh, dan ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian
dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. Ia berlaku hati-hati, tidak
berani sembarangan meloncat.
Setelah
mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon,
akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis
penuh tambalan membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia
tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi,
membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang
telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.
Tepat
dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apa
lagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah
amat terkenal di antara kaum sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya
menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat
bersuara akibat totokan pada urat gagunya.
“Bawa aku ke
tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh,” desis Kwi
Lan sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak,
lalu mengangguk-angguk.
“Akan
kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku
akan menembus lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!”
Kembali orang itu menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan
membebaskannya.
“Ampunkan
aku, Li-hiap...”
“Sst, jangan
banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”
Mereka turun
dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan
di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang
dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh
jebakan.
Sampai lima
kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik
bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya
lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di
setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa
semua sebelum mereka sempat bergerak.
Akhirnya,
lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi
Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Biar pun Kwi Lan
melakukan perjalanan malam yang gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia
mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan
Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek
Couwsu.
“Di sanalah
tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam goa yang tampak dari sini itu,” pengemis
yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia
menghapus peluh.
Mereka telah
melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah
menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari
tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh
tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak
memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andai kata ia
terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan
perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian
yang lebih hebat lagi.
Dengan amat
hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu
yang berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia
meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak
mendekati goa batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba
ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar
keras karena tegang.
Kiranya di
depan goa yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan
mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan
ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang
bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang
sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias
duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang
memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia
seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan
mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi
tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat ke luar dan dikeroyok
lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara cepat, dan kalau ia tidak
bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul
sendiri, usahanya tentu akan gagal.
Ia mulai
menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di
sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan
berhasil. Apa lagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai
luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas.
Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih,
pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya!
Padahal
semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh
cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam si Berandal! Hampir ia tertawa ketika
teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi
Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong,
mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala!
Kwi Lan
makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan?
Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput
batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter
jauhnya dari mulut goa.
“Eh, apa
itu?” Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang
kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng
periksa, siapa tahu ada musuh.”
“Benar, mari
kita periksa, Suheng,” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati
sambil mencabut pedangnya pula.
Kwi Lan siap
dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar
jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar,
ia membiarkan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang
dengan jarum-jarum hijau dari belakang!
Hebat bukan
main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang
halus sekali, dilontarkan dengan tenaga sinkang sehingga hampir tak
mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apa lagi
dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang si Korban, benar-benar amat
berbahaya.
Dua orang
hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi
serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biar pun
mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang
cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki
daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan
sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua
orang hwesio ini. Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap
kembali ke belakang batu besar.
Tiga orang
penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka
menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu
cepat ia lari memasuki goa. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari
pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah
pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih
bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu
masih membayangkan kegagahan dan keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut
atau khawatir.
Kwi Lan
memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”
Pemuda itu
membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang
matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam
mimpi.
“Jawablah,
apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”
Pemuda itu
sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana
kau bisa...”
“Tidak
penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?”
Suaranya gemas dan tidak sabaran.
Pemuda itu
menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu!
Ya... Aku mengenalmu. Kau tidak asing bagiku... tapi di mana dan kapankah?
Nona, kau siapakah?”
“Wah, kau
cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk
menolongmu.”
Pemuda itu
tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas...!”
Kwi Lan yang
sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan
yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam
sudah berada di tangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga
sudah kembali ke situ dan berdiri di depan goa dengan senjata di tangan dan
sikap mengancam. Melihat ini Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan
berkata lirih.
“Nona,
kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa...?” Ia tidak berani menoleh,
tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai.
Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia
pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang
amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
Pangeran
Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara
denting riuh bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang
penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu,
terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi
mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara
mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan
sehebat ibunya. Ibunya!
Teringatlah
ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda.
Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit
sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip
ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia
teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu,
Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati
saja dari pada tertawan hidup-hidup!
Talibu
membuka matanya dan... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga
sudah menggeletak di depan goa, tak bernyawa lagi! Ada pun dara itu sejenak
memandang ke sekeliling depan goa, kemudian meloncat masuk ke dalam goa,
gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap
tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja
dikeroyok tiga lawan berat!
“Tahanlah,
aku akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika
ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu
menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit
tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu
yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum,
memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.
“Nona,
kau...”
“Sstt, mari
kita lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya ke luar dari
goa, diajak lari cepat meninggalkan goa. Tak jauh dari goa Talibu melihat mayat
dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang
penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah
dipancing ke luar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik
hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
“Nona, kau
benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...”
“Sssttt,
jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang
berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini
hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya
tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa
kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang
disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita
yang galak!
Akan tetapi
belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan
dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran
Talibu tertawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang
Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi
gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka
itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di
depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas
pandang mata Kwi Lan dan berkata.
“Bagus!
Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam goa
sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat.
Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan dapat terbebas dari pada ancaman
ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku
tidak akan pernah melupakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andai kata
kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu
merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”
Kwi Lan
memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut
menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini
memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan
berkata lirih, “Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan,
selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing
Hsi-hsia itu!”
“Bagus! Kau
hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu
berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.
Melihat
gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk
sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju
memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata
melindungi Pangeran itu dari mara-bahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya,
Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga
orang lawan dengan perut terobek pedang!
Tiba-tiba
terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika
ada angin hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah
berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
“Kakek
busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali
melihat musuh besarnya Ini.
“Heh-heh-heh,
kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju.
Kwi Lan
menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri,
kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena
dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku
hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk
mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu
berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk
sementara Kwi Lan dapat bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi
hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk
melindungi Pangeran Talibu.
“Pangeran,
kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang
diputar membentuk lingkaran panjang.
Namun
Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas
dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi
Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan
Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin
Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini,
untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika
ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan
selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat
tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia
dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu
yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang
nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.
“Kalian
kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas,
berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang
sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil
terkekeh menyeramkan.
Pangeran
Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo
hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan
tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang
lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada
Pangeran Talibu sambil berseru.
“Mundur
semua! Lepaskan bocah itu!”
Namun
sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang
hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke
arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu
sudah roboh dan ditodong pedang.
“Heh-heh-heh,
bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku
mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”
Kwi Lan
ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia
sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati si
Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya
menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.
“Nona, kau
larilah! Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan
apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi
sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan!
“Heh-heh-heh,
Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan
ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan... kulit Pangeran Talibu di dada
robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang.
Kwi Lan
merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin
Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”
“Heh-heh-heh,
aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”
Empat orang
hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu.
Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa
Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang merasa benci dan marah
kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang
mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu.
Sudah biasa
bagi orang-orang peperangan ini apa bila pasukan mereka menawan seorang wanita,
siapa saja di antara anggota pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang
Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan
mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya,
ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai
ini.
“Heh,
mundur...!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau
tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu
saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang prajurit Hsi-hsia biasa
yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.
Pada saat
jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan
kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu.
“Hekkk!”
Orang Hsi-hsia hanya sempat mengeluarkan suara demikian, lalu tubuhnya
terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena
tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat! Setelah menendang,
gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin,
yang agaknya bertanya atau menantang, siapa lagi yang berani kurang ajar
terhadap dirinya.
Keadaan
tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo. “Heh-heh-heh, orang goblok
macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia
sendiri lalu memegang lengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu
yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.
“Ha-ha, Bouw
Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang
kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu
belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada
Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan
Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.
Memang Bouw
Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas
daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia
telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang
sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali
Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri
sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw
Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang
tangguh.
Sian Eng
sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini
mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apa bila bala tentara
Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma
Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang
masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan
puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan
persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.
Ada pun
Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang
sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam
kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin
menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh
kedudukan yang lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu
untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu
Hsi-hsia apa bila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini
berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin
Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para
perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau
kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. Ia sudah
tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup
dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok
dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek
Couwsu, bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis
anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam
Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti
diketahui, Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara),
menjadi musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa
Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau
usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan
untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh
besarnya.
Hanya
Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas
Bouw Lek Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak
mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan
pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi
kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek
Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah
dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya
mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak
pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang
serba lezat.
Bouw Lek
Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk
merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek
sakti itu apa bila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat
bahwa Thai-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah.
Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah
berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk
mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika
Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan
juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan
Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat
rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan
hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai
usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan
sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti
permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam goa juga dalam rangka penyiksaan agar
Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.
Bouw Lek
Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya
terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu. Karena pada dasarnya ia memang
seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang
sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda
remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air
liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan
ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih
besar dari pada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan
melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk
menundukkan Pangeran Talibu.
“Bagus!”
jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng
benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada
muridnya, “Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang
kuat agar jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar!”
Setelah Kwi
Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya
terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah
mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul
sambil berkata.
“Demi Iblis!
Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”
Bouw Lek
Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada
seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing
buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin
besar kemungkinan ia menyerah! Ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh,
Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau
laksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu
dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”
“Mengapa?”
Bouw Lek Couwsu bertanya heran.
“Heh-heh,
Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”
Semua orang
terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan
kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau
sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan
memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan
Sian-toanio?”
Siauw-bin
Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara
Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk
membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya
seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam
apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati,
Couwsu”
Bouw Lek
Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu
mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada
wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan,
amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus
cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”
Kalau Kwi
Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda
ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika
mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar
ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot
sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok
tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di
samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi
danbagian atasnya ada jeruji pula...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment