Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 12
SUNYI di
dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang
menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung
berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini
seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling
menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi
yang tadinya menerobos masuk melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri
wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi,
lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam
kemarahan, kesakitan dan pergulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang
mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-binatang hutan yang
mendengarnya, juga terdengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan
perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih
bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua
dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah seenaknya. Akan
tetapi yang hebat, biar pun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat
laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang
sunyi itu.
Sejenak
kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang
keduanya menggeletak tak bergerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang,
berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.
“Aahhhhh...
yang pintar mau pun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang mau pun
yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang
takkan disusul kematian? Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti
datang menjemputnya, akan tetapi... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak
mengisi dengan hal yang berguna, baik, bagi orang lain mau pun bagi diri
sendiri? Manusia...!” Kakek tua renta itu maju, membungkuk dan mengangkat tubuh
Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondongnya keluar dari pondok. Ia masih
melangkah biasa, namun kini lebih cepat lagi dari pada tadi, pergi menghilang
ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat musik yang-khim butut
tergantung di punggungnya.
Kakek ini
bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek
ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa
oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir
berapa usianya. Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat
tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu
juga ditolong Bu Kek Siansu. Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya
menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorang
pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan
tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam
cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan
muncul di dalam cerita lain.
Beberapa
pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu
yang kebetulan sampai di puncak Tai-liang-san. Mereka itu segera mengubur mayat
yang tinggal tulang-tulang itu. Dan sejak saat itu, Siang-mou Sin-ni lenyap
dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana
tempat kuburnya.
Kota
Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai, terletak di sebelah barat
kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi kota indah yang banyak dikunjungi
pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang ingin memperdalam ilmu
kesusasteraan di kota ini, juga Lokyang ramai dikunjungi pedagang. Bahkan di
kota ini banyak terdapat pengunjung dari utara, yaitu bangsa-bangsa Khitan,
Mongol, dan lain-lain yang datang untuk berdagang kulit dan bulu dan berbelanja
kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak dapat mereka temukan di utara. Ada pula yang
datang untuk sekedar mengunjungi kota besar ini yang namanya sudah terkenal
sampai ke pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan yang paling banyak
datang berkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan Sung bersahabat
dengan Kerajaan Khitan.
Akan tetapi
pada pagi hari itu, penduduk kota Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang
muda yang berpakaian serba indah gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang
besar dan diberi pakaian indah pula, dikawal oleh dua losin tentara Khitan. Si
Pemuda berusia sembilan belas tahun, amat tampan dan gagah, alisnya tebal
hitam, pandang matanya tajam berkilat, senyumnya manis akan tetapi penuh
wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima muda dengan pedang panjang berukir
indah tergantung di pinggang. Topinya dihias naga emas berkliauan dan anehnya,
di pinggang pemuda ini terselip sebatang suling!
Ada pun dara
remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah menarik perhatian orang
saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang Khitan, dengan sepasang mata
lebar, senyum terbuka dan anting-antingnya besar, manis bukan main. Pinggangnya
ramping, tubuhnya padat berisi dan dari cara ia menunggang kuda, jelas tampak
bahwa gadis ini pun bukan orang sembarangan serta memiliki ketangkasan yang
mengagumkan.
Semua orang
yang melihat sepasang orang muda ini bertanya-tanya dan menduga bahwa dua orang
muda itu tentulah bangsawan-bangsawan tinggi di Kerajaan Khitan. Dugaan mereka
itu memang tidak keliru, akan tetapi jarang di antara mereka dapat mengenal
bahwa si Pemuda itu bukan lain adalah Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu
Pangeran Talibu. Ada pun dara remaja berusia tujuh belas tahun yang amat cantik
jelita itu adalah Puteri Mimi. Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal
sebagai adik kandung Sang Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan.
Semua orang
Khitan tahu bahwa Putera Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung
Panglima Kayabu, atau kakak kandung Sang Puteri itu, yang semenjak berusia lima
tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Akan tetapi semenjak beberapa pekan yang
lalu Pangeran Talibu sendiri tidak mempunyai anggapan demikian. Ia telah
mengetahui rahasia dirinya dan dengan hati girang kini ia memandang wajah
Puteri Mimi yang cantik jelita, dengan pandang mata yang lain dari pada
biasanya. Sikapnya lebih mesra dan sungguh pun hal ini amat mengherankan hati
Mimi, namun puteri itu pun menjadi gembira karena sesungguhnya ia amat mencinta
kakak kandungnya yang menjadi pangeran mahkota ini.
Talibu
meninggalkan Khitan beberapa hari setelah Suling Emas pergi. Keinginannya untuk
pergi ke selatan untuk mencari adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu
Yalina. Akhirnya berangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang berkeras hendak
ikut, dikawal oleh dua losin tentara pengawal pilihan. Ratu Yalina membolehkan
puteranya pergi karena selain ia tahu akan kelihaian puteranya yang tentu dapat
menjaga diri, juga karena kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga
kiranya tidak ada bahaya mengancam keselamatan puteranya. Selain dikawal oleh
dua losin pengawal pilihan, Mimi sendiri juga seorang puteri yang memiliki
kepandaian tinggi. Biar pun perjalanan Pangeran itu tidak resmi, akan tetapi di
sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan pembesar setempat yang
mengenal mereka.
Pagi hari
itu rombongan Pangeran Talibu tiba di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama
Puteri Mimi menahan kuda di depan sebuah losmen yang sudah dipesan lebih dulu
oleh kusir pasukan pengawal. Beberapa orang pengawal membantu dua orang muda
bangsawan itu menahan kuda mereka yang besar-besar. Dengan wajah gembira Talibu
melompat turun. Matanya yang berpemandangan tajam itu melihat empat orang
laki-laki berpakaian pengemis yang berteduh di bawah sebuah rumah butut di
pinggir losmen.
Seperti juga
terdapat di lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut
di samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan buruk ini di
sebelah kanan losmen yang besar. Talibu maklum bahwa empat orang pengemis itu
bicara tentang dia. Mata mereka semua ditujukan kepadanya, bahkan seorang di
antara mereka yang berjenggot menudingkan telunjuknya secara terang-terangan
kepadanya.
Talibu
tersenyum ramah kepada mereka. Biar pun ia seorang Pangeran Khitan, namun ia
banyak tahu akan kehidupan kang-ouw di selatan ini. Ibunya banyak bercerita
tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang akan ia temui di
antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat gerak-gerik empat
orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka bukanlah
pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa pandang mata
mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan. Ketika senyumnya tidak
dibalas, ia lalu tak mengacuhkan mereka, apa lagi pada saat itu Mimi sudah
melompat turun pula dari atas kuda. Sambil bercakap-cakap dan tersenyum-senyum
kedua orang muda bangsawan ini memasuki losmen, disambut oleh pemilik losmen
dan anak buahnya.
Ketika
mendengar akan kunjungan Putera Mahkota Khitan, pembesar di Lok-yang menjadi
kaget dan sibuk sekali, serta-merta mengirim undangan makan malam. Akan tetapi
Talibu menolak dengan halus, mengirim pesan bahwa dia dan Puterl Mimi melakukan
kunjungan tidak resmi, hanya ingin melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan
sebagai pelancong biasa, bukan sebagai tamu. Biar pun merasa tidak enak hati
dan takut kalau-kalau terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para
pembesar itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya diam-diam memperingatkan semua
penduduk dan pedagang agar bersikap ramah dan hormat kepada tamu agung ini.
Penyambutan
penduduk dan pembesar Lok-yang ini membuat Talibu menjadi jengkel sekali. Ia
ingin bebas, ingin merantau seperti burung di udara dalam usahanya mencari adik
kembarnya. Ia ingin mencari adiknya dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang
seperti yang sering ia dengar dari penuturan ibunya. Akan tetapi penyambutan
dan sikap penduduk yang selalu membungkuk-bungkuk dan menghormatinya secara
berlebih-lebihan itu membuat ia merasa tidak leluasa dan tidak enak. Malam itu
juga ia memanggil komandan pengawalnya dan memberi perintah.
“Mulai saat
ini, aku tidak mau dikawal lagi. Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan
besok pagi kalian harus mengawal Sang Puteri kembali ke Khitan.”
Tentu saja
komandan pengawal itu kaget sekali. “Akan tetapi Pangeran...“
“Tidak ada
tapi! Ini perintahku, mengerti? Mau membantah?”
Komandan itu
tentu saja tidak berani membantah, mengangguk-angguk lalu diperkenankan keluar
untuk membubarkan pengawalan mulai saat itu juga. Talibu sama sekali tidak tahu
bahwa perintahnya ini diam-diam terdengar oleh Puteri Mimi dari balik jendela
ketika puteri ini hendak mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar
perintah ini terkejut, cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi
puteri yang remaja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang
diri, sudah mengambil keputusan sendiri.
Malam hari
itu juga Talibu sudah melepaskan pakaian pangerannya, mengenakan pakaian biasa,
menyamar sebagai seorang pelajar. Dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, ia
dapat lolos dari dalam losmen, melompat ke luar dari jendela dan pergi melalui
genteng rumah. Pada keesokan harinya, para pengawal tidak saja kehilangan Sang
Pangeran, bahkan dengan kaget mereka tidak lagi melihat adanya Puteri Mimi yang
sudah lenyap pula dari dalam kamarnya.
Ketika
memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang Puteri. Tentu saja
para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi mereka tak dapat berbuat
lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal sudah cepat menyuruh dua orang
anak buahnya kembali ke Khitan menyampaikan laporan tentang hilangnya Puteri
Mimi dan tentang perintah Sang Pangeran yang melarang mereka mengawal karena
Sang Pangeran berkenan melakukan perjalanan seorang diri
Talibu
adalah seorang pemuda yang amat berani dan ilmu kepandaiannya bukan lemah. Ia
menerima gemblengan langsung dari ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina yang di
waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian yang amat rahasia, simpanan tokoh pendiri
Beng-kauw, yaitu ilmu silat yang hanya terdiri dari tiga belas jurus bernama
Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti Tiga Belas Jurus). Biar pun hanya tiga belas
jurus, akan tetapi kalau Ratu Yalina yang mainkan, kiranya tokoh-tokoh kang-ouw
jarang yang akan dapat menandinginya.
Talibu tentu
saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun dengan ilmu ini ia pun menjadi
orang muda paling lihai di seluruh kerajaan ibunya. Dengan bekal ilmu
kepandaiannya, kini pemuda bangsawan yang merupakan orang paling penting
sesudah ratu ini sekarang melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam
meninggalkan losmen, lolos dengan pakaian seorang pelajar.
Ketika
tubuhnya berkelebat ke luar dari pintu gerbang kota sebelah timur, karena ia
bermaksud pergi ke kota raja yang berada di sebelah timur Lok-yang, ia melihat
berkelebatnya bayangan beberapa sosok tubuh di sebelah belakangnya. Talibu
boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang pengalaman dan tidak mengenal keadaan
dunia kang-ouw. Maka ia tidak menaruh curiga dan dengan lapang ia melanjutkan
perjalanan keluar dari kota Lok-yang.
Malam itu
amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa gangguan awan. Ia kini tidak lari
lagi melainkan berlenggang seenaknya melalui jalan yang sunyi di tepi sawah
ladang. Suara banyak katak membentuk perpaduan musik yang indah dan amat
menarik hatinya. Sambil tersenyum-senyum Pangeran ini berjalan, pertama kali
selama hidupnya merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak terikat
oleh segala macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para pengawal. Ia
pada saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda perantau seperti
yang sering ia dengar didongengkan ibunya. Sambil tersenyum ia meraba gagang
pedangnya.
“Berhenti...!“
Bentakan ini membuat Talibu menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat
mencium bahaya, apa lagi ketika ia mengenal empat orang berpakaian pengemis
yang pagi hari tadi memandangnya dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia
turun dari atas kudanya di depan losmen. Kini empat orang pengemis yang
berpakaian tambal-tambalan namun bersih ini berdiri menghadapinya dengan sikap
mengancam!
Namun Talibu
memiliki keberanian yang luar biasa. Tidak percuma ia menjadi putera Ratu
Yalina yang di waktu mudanya merupakan seorang wanita seperti naga betina yang
tak pernah mengenal takut! Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa
takut. Bahkan bibirnya yang merah itu tersenyum ketika ia bertanya.
“Kalian ini
siapakah? Apakah golongan orang gagah dari kai-pang? Dan apa kehendak kalian
malam-malam mengganggu perjalanan orang?”
“Menyerahlah
menjadi tawanan kami dan kami takkan menggunakan kekerasan,” kata seorang di
antara empat pengemis ini, yaitu pengemis yang berjenggot panjang.
“Eh-eh,
apakah kalian tidak salah mengenal orang? Aku adalah seorang pelajar yang
melakukan perantauan, sama sekali tidak pernah mempunyai permusuhan dengan
orang lain, apa lagi dengan golongan kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian
hendak menawan aku?”
“Harap kau
tidak banyak membantah. Kami tahu bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari
Khitan.” kata si Jenggot Panjang.
Talibu
membusungkan dadanya. “Kalau sudah tahu aku Pangeran Mahkota Khitan, mengapa
menggangguku? Kerajaan Khitan bersahabat dengan negara ini dan tak tahukah
kalian bahwa jika kalian menggangguku maka hal ini bukan hanya membikin marah
Negara Khitan, bahkan juga negara kalian sendiri? Apakah kalian ini
pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang memusuhi kerajaan?” Sebagai Putera
Mahkota Khitan, tentu saja Talibu maklum akan keadaan kedua kerajaan itu.
Ucapannya yang tepat dan bengis membuat empat orang pengemis itu berubah.
Akan tetapi
kelirulah kalau Talibu mengira bahwa ucapannya akan mengundurkan mereka. Tidak
sama sekali, mereka itu malah maju mengurung dan si Jenggot berkata, “Kami
hanya menjalankan perintah. Harap Sang Pangeran suka menyerah saja!”
“Hemm,
penjahat-penjahat rendah. Kalian kira aku Talibu takut menghadapi empat ekor
tikus seperti kalian?”
Empat orang
pengemis ini menubruk maju, akan tetapi mereka disambut tendangan dan pukulan
tangan yang membuat mereka roboh terguling-guling. Mereka adalah orang-orang
yang berkepandaian akan tetapi begitu Talibu menggerakkan kaki tangannya,
mereka sudah roboh jatuh bangun. Hal ini adalah karena empat orang pengemis
baju bersih ini sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan
yang mereka anggap sebagai bangsa kasar akan dapat bergerak sebagai seorang
ahli silat pilihan! Mereka menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut keluar
senjata mereka, yaitu tongkat berbentuk ular yang berwarna hitam. Senjata ini
menandakan bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh perkumpulan pengemis Hek-coa
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam).
“Bagus,
kalian hendak mencoba kelihaianku. Majulah!” Pangeran Talibu mencabut pedangnya
dan tampak sinar gemerlapan ketika pedang pusaka yang panjang itu tertimpa
sinar bulan purnama. Pedang itu mengeluarkan cahaya kemerahan. Itu bukanlah
pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka dari Kerajaan Khitan!
Begitu empat
orang pengeroyoknya menyerbu, Talibu menggerakkan pedangnya membabat. Sinar
merah menyilaukan mata dan angin sambaran pedang membuat dua orang pengemis
cepat menarik kembali tongkatnya. Akan tetapi dua pengemis yang sudah terlanjur
menyerang tak dapat menghindarkan bentrokan senjata.
“Trang...
trang...!”
Dua orang
pengemis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur, tongkat mereka
tinggal sepotong karena tengahnya terbabat buntung oleh pedang bersinar merah!
Marahlah mereka dan segera mereka mengurung dari empat penjuru, kini menjaga
agar tongkat mereka tidak bentrok lagi dengan pedang si Pangeran. Biar pun
tongkat mereka tinggal sepotong, namun dua orang pengemis itu masih lihai
gerakannya.
Talibu
mewarisi ilmu dari ibunya sendiri, oleh sebab itu ilmunya hebat. Sayang sekali
bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau ia sudah matang ilmunya, agaknya
dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu merobohkan empat orang lawannya tanpa
pedang. Sesungguhnya ilmunya tangan kosong Cap-sha Sin-kun merupakan ilmu yang
jarang bandingnya, akan tetapi pemuda yang belum berpengalaman ini merasa ngeri
untuk menghadapi pengeroyokan empat lawan bersenjata dengan tangan kosong.
Justru karena ia berpedang, maka ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam
waktu singkat.
Betapa pun
juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga sinkang-nya lebih
kuat dan ditambah pedangnya adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat
puluh jurus kemudian, empat orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi
Pangeran itu bukanlah seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang
pengemis itu hanya terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja.
Tentu saja kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di
lengan bisa menjadi tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di
pinggang.
Sambil
melintangkan pedang di depan dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak.
“Sekarang mengakulah, siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk
menangkap aku?”
“Kami tidak
berani mengaku!” kata seorang di antara mereka dan seterusnya mereka membungkam
tidak berani bicara lagi hanya mengeluh karena kesakitan.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu dari tempat gelap muncullah
sesosok bayangan. Ketika Talibu memandang, ternyata di depannya telah berdiri
seorang laki-laki tinggi besar bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan
ketawanya seperti wanita, bahkan kemudian orang itu lalu menyanyi-nyanyi dengan
suara kecil merdu! Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi
Talibu tidak mengenal orang aneh ini, maka ia lalu bertanya dengan hormat
karena munculnya orang aneh ini menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang
sembarangan.
“Maaf,
siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?”
“Ha-ha-hi-hi-hik!
Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran
menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap
jembel-jembel yang tidak sopan ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu
kami secara terhormat.”
Talibu biar
pun belum banyak pengalaman, namun dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya,
orang-orang sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan sikap mereka memang
aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir, laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan
jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya amat genit, bicaranya seperti wanita
dan suara serta ketawanya jelas suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan
hormat dan menjawab.
“Saya memang
Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai
orang biasa. Saya tidak mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan
mengganggu dan maafkan penolakanku.”
“Hi-hik!
Kalau para pembesar yang mengundang boleh saja Paduka menolak, akan tetapi
Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini
undangan bukan hanya datang dari saya pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek
Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan sesuatu yang amat
penting dengan Paduka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?”
Talibu
seorang pemuda cerdik. Mendengar bahwa orang aneh ini sekutu pimpinan bangsa
Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah melihat munculnya
puluhan orang di sekitar tempat itu, sebagian besar hwesio-hwesio berjubah
merah. Teringatlah ia akan cerita tentang penumpasan Beng-kauw dan ia maklum
bahwa melawan pun akan sia-sia belaka. Maka ia lalu menjawab.
“Undangan
resmi dari bangsa Hsi-hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak
dapat saya tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan
menyalah-gunakan undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat
itu.”
Kembali Bu-tek
Siu-lam tertawa terkekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran
itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit.
Menjelang pagi barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ
terdapat bangunan-bangunan darurat dari bambu yang dijadikan tempat
persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya.
Pangeran
Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couwsu dan
murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat
sambil menyambut di depan pintu. “Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari
Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehormatan besar sekali
dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai
keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuktikan kesetiaan orang gagah
Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”
Pangeran
Talibu balas memberi hormat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung.
“Sudah lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet
dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu dapat bangkit menjadi bangsa
yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi
alasan bagi Lo-suhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa
Hsi-hsia.”
Sebagai putera
kandung seorang panglima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula
dalam hal siasat dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa
Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan menganggap bangsa
Hsi-hsia sebuah bangsa yang kecil dan tidak ada hubungannya dengan Khitan yang
besar!
“Ha-ha-ha!
Pangeran Talibu dari Khitan benar tinggi hati! Justru pertemuan antara kita
inilah yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan
duduk dan mari kita berunding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan
yang memiliki kepentingan bersama.”
Talibu
mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk
menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan
cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat
menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan
istana raja.
Diam-diam
Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan
mengapa pula seorang pendeta, biar pun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia,
mempunyai pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi
sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam
saja, melirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam
ia merasa bahwa ia berada di dalam keadaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.
Setelah
mereka makan minum ditemani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin genit sikapnya
terhadap dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya, “Lo-suhu, kalau saya
tidak keliru menduga, Lo-suhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para
hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke
Khitan.”
“Pandang
mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pinceng adalah
Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskinan bangsa Hsi-hsia,
maka sengaja memimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”
Pangeran
Talibu mengangguk-angguk. “Setelah saya memenuhi undangan Lo-suhu yang
disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penjelasan,
apakah yang akan Lo-suhu bicarakan dengan saya.”
“Ha-ha-ha!
Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki.” Pendeta
ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan
mereka bertiga di dalam ruangan itu.
Setelah
mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata,
“Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti
menyusul kita rayakan. Terus terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran
dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan dan membicarakan urusan antara
bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung.”
Talibu cukup
cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta
dengan senyum yang memikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah
mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak
lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah
barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik
terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja
tidak bisa lain dari pada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan
bangsa Khitan untuk memusuhi Sung!
Padahal pada
waktu itu Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung. Betapa pun bangsanya
banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan
selalu mencegah bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak
mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan Hsi-hsia, apa lagi atas nama
bangsanya. Namun sebaliknya, biar pun ia dianggap tamu agung, namun ia telah
berada di sarang Hsi-hsia, sehingga penolakannya akan membahayakan
keselamatannya.
“Membicarakan
urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguh pun saya Putera
Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan
pemerintahan. Apa lagi pada saat ini saya hanya sebagai seorang pelancong,
bagaimana saya dapat merundingkan urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang
utusan khusus dari Sang Ratu di Khitan.”
“Hi-hi-hik!
Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti seorang gadis pemalu
saja? Kenapa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!”
kata Bu-tek Siu-lam sambil terkekeh.
Talibu
bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang.
“Apakah ini sebuah penghinaan?”
Bu-tek
Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai.
“Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam?
Sahabatku ini sama sekali tidak menghina, akan tetapi suka bicara secara terus
terang dan sejujurnya. Apa yang dikatakan memang tidaklah terlalu salah. Paduka
adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak
mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini
sudah menjadi kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah
ditakdirkan menjadi sekutu?”
Pangeran
Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran
Mahkota yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang
kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kupertimbangkan apakah
aku berhak memutuskan atau tidak.”
Bouw Lek
Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa
ha-ha-hi-hi. “Bagus, memang inilah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka
sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan
bangsa Khitan adalah dua bangsa yang besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan
yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap
kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu
harus dihajar. Kerajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin
membagi keuntungannya dengan bangsa Khitan. Dalam keadaan bangsa Sung lemah
sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari
barat, menaklukkan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami
mengulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa
besar bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan
selatan!”
“Agaknya
Couwsu lupa bahwa biar pun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak
panglima yang pandai dan pasukan-pasukan yang kuat.”
“Ha-ha-ha!
Hal ini sudah pinceng selidiki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng
telah mempunyai hubungan dengan banyak pejabat dan panglima di kota raja
Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita
pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia
kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”
“Bu-tek
Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya
tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari
ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah
kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia
mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.
“He-heh-heh,
tidak heran kalau Paduka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang
Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian.
Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang
amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke
tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal
karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang
Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan
bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan
memiliki kepandaian mengerikan.”
“Apa yang
dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita,
Pangeran Talibu. Karena itu pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk
membuat persekutuan dengan kami.”
“Bouw Lek
Couwsu, aku hanya seorang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin
dapat kuputuskan sendiri. Apakah yang harus kulakukan sekarang?”
“Paduka
menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan
ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”
“Kalau ibuku
menolak...?”
“Ha-ha-ha,
tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama
selama Paduka menjadi tamu agung kami....“
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang
kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring
lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruangan itu, si Kakek tua
mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan
menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan.
Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.
“Bouw Lek
Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hutang kepadamu!”
kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil
menangkap kembali Mutiara Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, kuhadiahkan
kepadamu lima orang gadis paling cantik yang kutemui di sepanjang perjalanan ke
sini. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi
kalian menjamu Pangeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus,
bagus! Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis
cantik. Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh
kurang ramah!”
Melihat
kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang. Memang ia membutuhkan
sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apa lagi setelah ia kehilangan bantuan
Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana perginya itu. Ia tertawa bergelak.
“Bagus,
terima kasih, Siauw-bin Lomo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan,
silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan
layani Pangeran Talibu!” perintahnya kepada lima orang gadis yang masih
berlutut.
Karena sudah
mengalami siksaan apa bila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang
gadis itu seperti kehilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar
perintah pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak dari pada Siauw-bin
Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit
berdiri. Wajah mereka yang cantik itu menjadi agak terang ketika mereka melihat
siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian
tampan dan gagahnya, apa lagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa
mereka akan sungkan untuk menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada
kemungkinan mereka tidak terpilih oleh si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin
Lo-mo atau si Pendeta yang biar pun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki
buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh
dengan dandanan seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlomba
menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.
Talibu
hampir tak dapat mengendalikan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar
Bu-tek Siu-lam memperkenalkan Pak-sin-ong sebagai seorang di antara lima orang
sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah sekali. Tokoh jahat
Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat
Khitan, mana mungkin Khitan dapat bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih
dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya
dengan langkah lemas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa
senyum. Ia merasa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini
musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk menerkam dan mengeroyoknya!
Ia memandang
dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak
menimbulkan benci di hatinya. Sebaliknya mereka itu bukan lima ekor anjing
ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih.
Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban
kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini. Tak dapat pula ia menahan
kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan
halus sambil berkata.
“Nona
berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah
masing-masing.”
Lima orang
gadis itu kelihatan bingung, saling pandang, meragu dan seperti tidak percaya
kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw-bin Lo-mo yang
masih duduk sambil tertawa. Melihat ini serentak timbul harapan mereka bahwa
mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemuda tampan itu.
Otomatis mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Talibu,
mengangguk-anggukkan kepala lalu bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan
menuju pintu.
Mendadak
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat melalui
lima orang gadis itu, berdiri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya
yang panjang sambil tertawa-tawa.
“Hi-hi-hik,
Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian,
masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian.
Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku
memilih yang dua ini!” Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua
orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang
gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan
tubuhnya menggigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki
lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.
“Tahan!”
Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan
Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek
Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku
berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah kubebaskan dia, kenapa
dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?”
“Eh-eh,
orang muda! Aku yang membawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak
membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak membebaskan mereka? Kau berani
memandang rendah Siauw-bin Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil
tertawa-tawa mengejek.
Talibu marah
sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia
menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah. “Bouw Lek
Couwsu, engkaulah tuan rumah di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain.
Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?”
Bouw Lek
Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain
sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan
ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya,
yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!
“Pangeran
Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan menolak hidanganku
untuk menikmati wanita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani
menjual lagak. Ha-ha-ha, apa kau kira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau
pura-pura bersikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci
kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah
engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khitan? Engkau belum memperlihatkan jasa
sedikit pun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba
jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?”
“Hi-hi-hik,
Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi
aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya?
Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata
Bu-tek Siu-lam sambil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya
secara tak tahu malu.
“Couwsu,
serahkan saja bocah ini kepadaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau
menangkapnya saja? Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di
depanmu,” kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari
muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah
bentrok dengan para hwesio jubah merah.
Bouw Lek
Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran
Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu-lam yang membelai-belai dan
meremas-remas tubuh dua orang gadis yang menggigil pucat dengan pandang mata
penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya
sambil membentak, “Hayo kalian bertiga buka pakaian!”
Tiga orang gadis
itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata
dengan suara gemetar, “Ampunkan kami... ampunkan kami...“ sedangkan yang dua
orang lainnya menangis.
“Masih belum
memenuhi perintah?” Bouw Lek Couwsu membentak lalu mengerling ke arah Talibu
yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah,
kemudian ia tertawa, kedua lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan,
sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut.
“Brett-brett-brett...!”
terdengar suara di antara jerit lirih, dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu
robek semua sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat.
Mereka hanya dapat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua
lengan.
Bouw Lek
Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian
dengan sengaja ia meraih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak
berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul seperti tadi! Bu-tek
Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakaian cabik-cabik
diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang dalam waktu
beberapa detik sudah telanjang pula seperti teman-teman senasib mereka.
“Ha-ha-ha,
bagaimana Pangeran Talibu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau
kau mau, biarlah pinceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini
kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.
Pangeran
Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan
semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan
apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking
marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang terjadi, sampai mati tak mungkin ia
mau bersekutu dengan manusia-manusia macam ini, dan bahwa ibunya pun tak
mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung.
Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.
“Jahanam
berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian
patut dibasmi!” Ia menyerbu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu.
Akan tetapi
tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah
pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali
dan mendatangkan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali
pedangnya dan melompat ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Kiranya
Siauw-bin Lomo sudah berdiri di depannya, tertawa-tawa dan berkata.
“Couwsu,
apakah kau ingin dia mampus?”
“Jangan,
cukup asal kau tangkap dia Lo-mo.”
“Kau lihat
aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju.
Pangeran
Talibu tidak gentar biar pun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya.
Pedangnya berkelebat, memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat.
Namun tubuh lawan yang kurus kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan
yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya. Talibu kaget dan cepat menarik
pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedangnya berkelebat ke kanan
menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya
dan menundukkan kepala miringkan tubuh, membiarkan pedang lewat di dekat leher.
Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran Khitan ini dan karena ia maklum
bahwa Ratu Khitan memiliki kepandaian tinggi, apa lagi setelah menyaksikan
gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.
Kini tubuh
Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti
sehingga Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan
yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan
segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang
berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi
sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.
Lima orang
gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw
Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara
seperti melupakan mereka. Mereka tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton
dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan bagi si Pemuda Tampan yang
mereka tahu bertanding karena membela mereka.
Namun
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang
belum berpengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat
dan tangkas dan bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apa lagi pemuda
Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya
mampu bertahan selama dua puluh jurus saja.
Ketika
sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan, tiba-tiba pada saat pedangnya kembali
menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah
kanannya bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan
kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan pedangnya
terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri
bergulingan di lantai menjauhi lawan.
Lima orang
gadis itu seperti dikomando saja menjerit. Jeritan ini mencelakakan mereka
karena seolah-olah menyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam bahwa mereka
berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa
membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu kembali
merintih-rintih penuh kengerian.
Mendengar
jeritan dan rintihan mereka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan
urusan lain. Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya berusaha membasmi
orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan
terancam mala petaka itu. Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya
menerjang maju dengan tangan kosong.
Mula-mula
kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan
tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauw-bin
Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum
pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat
menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang
rendah, apa lagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kelihaian
dan garis pertahanannya lemah sekali. Ia yakin dalam segebrakan akan dapat
merobohkan dan menangkap pemuda ini.
Makin dekat
gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya
bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi
terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini.
Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti itu? Menghadapi pengeroyokan banyak
orang sambil memainkan pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan
tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apa lagi bertangan kosong,
apa gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia
makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia
cepat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah
di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap! Hebat bukan main serangan
ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat
menghindarkan diri.
Akan tetapi
terjadi hal yang amat aneh. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga
cengkeramannya, bahkan dari dalam putaran itu datang menyambar pukulan tangan
kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling
roboh!
Lima orang
gadis itu sejenak melupakan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw
Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemuda pujaan dan penolong
mereka dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi alangkah kecewa hati
mereka ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah,
namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di
bawah penghinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.
Siauw-bin
Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki
ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan
kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh lebih lihai dari pada ilmu
pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih tangguh!
Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri,
Talibu menjadi lebih berbahaya.
Ia kini
mainkan ilmu Cap-sha sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biar pun belum
dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat
merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus
dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan
Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya tahan yang kokoh kuat,
dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukulan dan serangan lawan.
Tidak mengherankan apa bila totokan-totokan dan cengkeraman tangan Siauw-bin
Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran
tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak tersangka-sangka
munculnya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena
dirobohkan.
Karena
Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu
belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus
Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika Talibu
melancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan.
Mulailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya
berputar itu sambil mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo
yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga membobolkan daya
pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu
akan roboh.
Siauw-bin
Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia
terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk menghancurkan jurus
pertahanan lawan dan mencari lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai
lelah dan pening. Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan
terlalu lama karena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya dimainkan
sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada
hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat perputaran tubuh Talibu
berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo mencengkeram kedua
pundak Talibu!
Pangeran
Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus
yang kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya bergerak
menendang bergantian, pertama ke arah anggota rahasia lawan kemudian disusul
tendangan ke lutut kanan.
“Aihhhh...!”
Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya.
Kembali ia
hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan
pertama dapat ia elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi
tendangan susulan biar pun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya,
membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!
“Hi-hi-hik,
Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa
mengejek.
Mulut
Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang matanya yang
ditujukan ke arah Talibu menyinarkan pandangan maut. “Kau lihat saja, Siu-lam.
Kau lihat kuhancurkan Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku
tetap akan dapat menghancurkannya!”
Melihat
sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo.
Aku tidak menghendaki dia mati!”
Siauw-bin
Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia melangkah maju,
perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon mangsanya. Talibu yang
merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut dan membuat kedua lengannya
hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti penyerbuannya. Ia maklum bahwa
dia bukanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan
mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang
terkenal. Apa lagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan
dan pendekar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus
sampai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit
gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan
ketangkasannya yang mengagumkan.
Kini Talibu
menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan
menghantam disusul cengkeraman ke arah anggota rahasia lawan. Serangan hebat
ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo
sudah meloncat maju. Kakek itu tidak gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat
menggerakkan tangannya, menangkis tangan kanan Talibu dan menangkap pergelangan
tangan kiri lawan.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu terbuka jari-jarinya
dan memapaki tangkisannya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan
ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya!
Kakek itu secara tergesa-gesa merubah gerakannya, membatalkan niatnya menangkis
dan menangkap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini,
atau memang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua
perhitungannya tidak meleset. Kiranya totokan-totokan itu pun tidak dilanjutkan,
di tengah jalan membalik dan menotok kedua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk
keperluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut
sebelah kaki!
“Haya...!”
Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget.
Ia dapat
menyelamatkan kaki kanannya, akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok
lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai sehingga dengan
sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati
ia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus
ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus
itu, dan tiga kali pula ia ‘termakan’. Kalau pemuda ini lebih mahir dan
menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia akan
terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang
melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan
menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian
Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira
bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu dengan terjangan ganas,
tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum
dikenal lawan. Kini ia menerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul.
Akan tetapi tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya merendah dan sebelum
Talibu dapat mencegahnya, sebuah tamparan mengenai perutnya.
“Plakk...!
Aduuuuuhhh...!” Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya,
seakan-akan isi perutnya dibakar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi
kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai sebelah kanan
lehernya. Seketika pandang matanya berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian
pandang matanya menjadi merah gelap. Telinganya masih dapat menangkap suara
Bouw Lek Couwsu.
“Lo-mo,
jangan bunuh dia...!”
“Jangan
khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menampar, kali ini
mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya
yang amat menusuk perasaan sebelum tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam
di sekelilingnya.
***************
Kota raja
Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pelancong dari luar
kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu
kelihatan megah dalam suasana gembira. Pesta-pesta diramaikan bermacam kesenian
silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas. Di setiap taman
bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang
amat indah dan semua ruangan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan
dan tulisan-tulisan hias melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda
dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya.
Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan mendapat kesan
bahwa penduduknya menikmati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlomba dalam
keindahan dan kemajuan seni budaya.
Memang
demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih
mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih
condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena
Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan
tetapi sayangnya Sang Kaisar lupa bahwa untuk menjamin semua keamanan dan
ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang
dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat! Apa lagi kalau
diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu mengincar untuk
mencaploknya.
Para
bangsawan yang kaya raya itu seakan berlomba mengadakan pesta terbuka di mana
siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton pertunjukan kesenian.
Mereka berlomba melakukan derma dan perbuatan baik karena Kaisar menganjurkan
perbuatan amal dan kebaikan. Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini
bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk
membedaki muka mereka yang hitam oleh korupsi agar menjadi putih bersih.
Dan memang
siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan
kedermawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan
makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawanan
pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata
orang-orang kang-ouw yang biasanya tajam dapat pula dikelabui karena terlampau
sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.
Pagi hari
itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung
Pangeran Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah
sebuah di antara gedung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang yang kaya
raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu
(Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang mengenal
Kiang-kongcu.
Orang-orang
gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena sepak terjangnya yang gagah dan
lihai, apa lagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas!
Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut. Penjilat-penjilat mengenalnya
karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan
pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya karena ketampanannya dan
sifatnya yang romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!
Dan pagi
hari itu, pesta meriah diadakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang
ini! Untuk keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga
Pangeran Kiang dan isterinya yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi
untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang
pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk
menyambut kedatangannya di gedung itu.
Dia bernama
Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh Pangeran Kiang sebagai
anak keponakan Nyonya Kiang yang baru datang berkunjung setelah berpisah
belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru pertama kali itu selama hidupnya
pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma Boan, kakak
dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya
Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini
benar-benar putera mendiang kakaknya karena mempunyai persamaan wajah yang
tidak dapat diragukan lagi.
“Engkau
benar, keponakanku..., engkau tentu putera mendiang Kakakku.... Ahhh, melihatmu
seperti melihat dia dahulu...!” Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul
dan menangis.
Dan
demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat kedatangan
pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya,
jika ada kesempatan baik seperti ini, banyak pula para anggota kai-pang (perkumpulan
pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyendiri, menikmati
hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai-pang ini adalah
kenalan baik Kiang-kongcu karena mereka ini sesungguhnya bukanlah orang-orang
jembel biasa, melainkan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw
sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang ini,
banyak orang-orang aneh sahabat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak mengherankan
apa bila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak semestinya ikut
berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu pertapa! Semua orang
aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di kebun Kiang-kongcu.
Dan bukan
hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam
pesta! Bukan wanita-wanita cantik sembarangan, melainkan ahli-ahli silat pula
yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang
murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota raja. Lima
orang wanita ini berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian
ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat
wanita Kiang-kongcu sudah dapat dipastikan cantik-cantik!
Tentu saja
mereka berlima memilih sebuah meja dan menjadi sekelompok, akan tetapi alangkah
kecewa hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Kiang-kongcu tidak hadir!
Sebetulnya mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dan
bercakap-cakap dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin
melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya sebentar karena sebagai pengganti
Kiang-kongcu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam
hal keramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah
lihai dari pada Kiang-kongcu.
Suma-kongcu
ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan
yang asyik dan gembira. Apa lagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa
Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut mereka
menyaksikan ketika Suma Kiat menggenggam cawan arak, mengerahkan sinkang dan
membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biar pun wajah Suma
Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang
pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk.
Ada pun
delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para
pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat
mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap sebagai seorang musuh. Bukankah
Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar pengemis golongan
sesat? Delapan orang pengemis yang kini berkumpul di situ adalah
pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang
pengemis muda yang memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda
belia yang tampan dan gagah.
Dia ini
bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tujuh
orang pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim
Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah
dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui
tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa ketua Khong-sim
Kai-pang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
“Yu-pangcu,
pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semenjak dahulu kami
menghormat dan mencintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat
mengatakan di mana dapat bertemu dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi
seperti dewa, tak pernah meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak
pernah orang melihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata, di kota raja ini
terdapat seorang muridnya yang lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat
Putih).
“Apakah
Lo-kai maksudkan Kiang-kongcu?”
“Ha-ha, nama
besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh.”
“Bukan hanya
mengenal namanya, Lokai, malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat
kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”
“Ah,
begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang
akan diadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta
itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan
di mana Pangcu dapat bertemu dengan Suling Emas.”
Demikianlah,
pagi hari itu Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pengemis kota raja.
Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan
mendengar bahwa pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk
menyambut kedatangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin
besar rasa kecewa dan ketidak-senangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan
lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit
dan mendemonstrasikan kepandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam
cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan
sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
“Hemmm, dia
amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lweekang-nya hebat sekali,” bisik
pengemis di sebelah kiri Siang Ki. “Melihat kepandaiannya, ia memang pantas
menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan tetapi melihat kesombongannya, sungguh
jauh bedanya...”
Siang Ki
mengangguk-angguk. “Kepandaiannya hebat, dan mungkin kesombongannya itu karena
ia masih muda dan karena berhadapan dengan wanita-wanita.”
Pek-tung
Lo-kai yang duduk di sebelah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri,
berbisik. “Hemmm... sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang
gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat
Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak
pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran sekali, orang
macam apakah Suma Kongcu ini?”
“Lo-kai,
bukan urusan kita, tidak perlu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti
Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat
ini saja,” berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak
diminumnya.
Akan tetapi
dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring,
suara Kwi Lan! Gadis itu berseru dengan nyaring.
“Suheng...!
Mengapa kau berada di sini...?”
Hanya
sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan
berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. “Wah, tentu akan terjadi
keributan....“
Bagaimanakah
tahu-tahu Kwi Lan si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita
ketahui bahwa dara perkasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah
pemuda ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang
adik angkat. Biar pun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka
seperti biasa, namun sikap Siang Ki terhadapnya sudah berubah. Pemuda ini
menekan hatinya dan memaksa perasaannya untuk memandang gadis ini sebagai adik
angkat, namun ia tak pernah berhasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki
nampak murung dan berduka.
Akhirnya
mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh
pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan
mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang dipesankan gurunya. Diam-diam
ia menjadi jengkel sekali. Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat
puluhan laksa orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat?
Selagi ia
termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia
mendengar suara ketawa cekikikan dan dua orang gadis yang berpakaian ringkas
berwajah cantik memasuki ruangan itu dari depan. Melihat cara mereka
berpakaian, pedang yang tergantung di pinggang, dan langkah kaki mereka yang
ringan, Kwi Lan dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat.
Ia tertarik dan dari sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang
melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu
tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan
ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu menuju ke kamar sebelah
belakang.
“Wah...
sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita
datang menghadiri pesta itu?” kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut
tinggi sambil menghela napas kecewa.
“Ihh, yang
kau pikirkan dia saja, Moi-moi! Jangan khawatir, biar pun dia tidak ada, namun
ada penggantinya. Aku mendengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai
dan tampan, hi-hik!”
“Hemm, aku
sangsi apakah ada yang lebih hebat dari pada dia. Siapakah namanya, Cici?”
“Entah,
hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“
Suara
percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan
tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma-kongcu membangkitkan
perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua
orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suheng-nya yang sedang ia cari-cari.
Demikianlah,
pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan
losmen, diam-diam ia membayangi mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang
gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika
melihat bahwa di dalam taman di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak
tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai
sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.
“Suheng...!
Mengapa kau berada di sini...?” tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk
menghadapi lima orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang
ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena
hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suheng-nya seperti yang
diperintahkan gurunya.
Seruan yang
nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak
seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini.
Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan
Kwi Lan.
“Aha,
Sumoi...! Alangkah girang hatiku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama
ini...!” Suma Kiat yang memegang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk
Kwi Lan dengan pandang mata penuh nafsu.
“Suheng, kau
menjadi makin gila!” bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari
pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Ketika Suma
Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan
menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma
Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoi-nya
marah benar-benar.
“Eh...
eh..., Sumoi..., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku kepadamu?
Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa....”
“Bodoh! Tak
malukah engkau?” bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat
betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum dan menahan
ketawa.
Suma Kiat
tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira
melihat sumoi-nya yang memang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal
bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap
sumoi-nya kecuali ingin menggodanya dan ia suka sekali melihat sumoi-nya ini
marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa
hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa
cintanya terhadap gadis itu. Kini melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba
dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikapnya itu
ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.
“Ah, maaf,
Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan semua pengalamanmu.
Oya, biarlah kuperkenalkan kau kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan sikap Kwi
Lan yang memprotes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan
suara lantang.
“Para tamu
yang terhormat! Perkenankanlah saya memperkenalkan Sumoi-ku yang cantik jelita
dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!” Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para
tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan
menjura kepada mereka.
Dengan
tersipu-sipu Kwi Lan terpaksa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas
penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau suheng-nya yang
otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di
bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya
dengan mata terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.
Suma Kiat
sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk tangan memanggil
pelayan, berseru. “Lekas bawa hidangan terlezat dan arak terbaik untuk
Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diam-diam mencibirkan bibirnya melihat sikap
congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap
seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan
kasar.
Namun Suma
Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan
untuk menghormatinya, apa lagi kini melihat sumoi-nya datang, tidak tahu akan
ketidak-senangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan
Kwi Lan, kemudian berkata, “Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini
adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah
murid-murid kepala dari perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan
harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”
Senang hati
lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan
menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar
berkata ketus, “Sudah, kalian berlima pergilah!”
Suma Kiat
melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi
Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya
ketus. “Apa maksudmu...?”
“Maksudku
sudah cukup jelas. Menggelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak
bicara berdua lengan Suheng-ku!”
Lima orang
wanita itu tak dapat menahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam
mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian
Bu-koan membentak. “Orang tidak boleh menghina kami begini saja!”
Kwi Lan yang
sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suheng-nya, kini pun marah. “Aku
suruh kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini
perempuan-perempuan genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata
demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima
orang gadis itu!
Kedua Chi
Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis
sembarangan. Diserang begini biar pun tak secara tersangka-sangka dan dari
jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara
berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar.
Mereka terhindar dari hantaman meja, namun tak dapat menghindarkan diri dari
serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian
mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka berlepotan
kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh
pelayan dalam keadaan masih panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah
dan mencak-mencak.
“Ah, Sumoi
jangan bikin ribut. Mari kita bicara...!” Suma Kiat sudah menyambar lengan adik
seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah
itu.
Kwi Lan
ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak
menghendaki pertempuran melawan suheng-nya sendiri di tempat umum itu, maka ia
menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.
Setelah
mereka berdua duduk di ruangan samping, Suma Kiat segera berkata dengan suara
perlahan setengah berbisik, tetapi penuh kesungguhan. Matanya memancarkan
kecerdikan yang mengagetkan hati Kwi Lan.
“Ah, Sumoi,
kau tidak tahu. Ibu yang mengatur semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini
menjadi calon kaisar?”
Kwi Lan
memandang, matanya terbelalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata
suheng-nya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!
“Suheng, tak
sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”
“Huh, anak
bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini
mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kau lihatlah lima orang wanita itu, dan
para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami.”
“Sekutu
apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.
“Sekutu
untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap
bergerak....”
“Ahhh...!”
Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya.
Jadi gurunya yang gila, juga suheng-nya yang berotak miring ini, mempunyai
rencana yang demikian gila?
Ia cerdik,
maka kini ia menahan kemarahannya dan berbisik. “Suheng aku belum diberi tahu
Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia pura-pura
bersungguh-sungguh.
Suma Kiat
tersenyum, menengok ke sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini
adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, isteri Pangeran Kiang bernama
Suma Ceng, dan menurut Ibu dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih
putera Pangeran bernama Suma Boan.”
Sampai di
sini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pangeran! Karenanya aku berhak
menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar,
kelak engkau menjadi permaisuri, dan Ibu menjadi ibu suri... ha-ha-ha!”
“Hushh...
Suheng, bicaralah yang benar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”
“Heh-heh,
banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengadakan hubungan
rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian
besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk mengadakan persekutuan.
Kau lihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia
yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan
dari dalam apa bila saatnya tiba.”
“Hemm, kau
kira begitu mudah? Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan
menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya
ini?”
“Siapa
bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti perempuan! Dan
menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap membantu bangsa
Hsi-hsia...”
“Bohong...!”
Kwi Lan
sendiri menjadi kaget mendengar suaranya yang spontan dan mengandung kemarahan
itu. Tanpa disadarinya, ia kini telah menjadi pembela bangsa Khitan! Teringat
ini, dan melihat pandang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung.
“Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung. Tak mungkin
mereka sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan
menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio
gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta!”
“Aihh...
kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini
engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa
yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat
jalan untuk memaksa pemerintah Kerajaan Khitan untuk bekerja sama dengan bangsa
Hsi-hsia.”
“Hemm, aku
tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya,
sedangkan Khitan adalah negara besar...“
“Ha-ha-ha,
mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran
Mahkota mereka terjatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw.
“Apa...?!”
Kwi Lan menekan perasaannya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol
pada wajahnya.
Suma Kiat
tertawa puas. “Benar! Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu
kini menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa
Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu.”
Kwi Lan
tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari
Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu
memang mempunyai seorang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan
gagah perkasa. Biar pun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak
angkat ibunya itu, namun kini ia terkejut sekali mendengar betapa putera
mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu.
Urusan ini ternyata
bukan urusan kecil dan sama sekali bukan urusan main-main. Kalau yang dikatakan
pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong putera angkat
ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang sepenuhnya
menonjolkan sikap tidak percaya.
“Ah, Suheng.
Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja
diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan
menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran
Mahkota Khitan ditawan orang-orang Hsi-hsia?” Kwi Lan sengaja mengeluarkan
suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau
bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.
Merah wajah
Suma Kiat. “Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada
aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu
yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki
gunung Fu-niyu-san...“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata-katanya dan
memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia
telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapa pun
juga. “eh, Sumoi..., jangan bilang kepada siapa pun juga...“
Akan tetapi
pada saat itu perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan
itu, di taman. Mereka bergegas keluar, terutama Suma Kiat telah mendahului
sumoi-nya melompat ke luar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.
Di tengah
taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah
topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang sebatang tongkat,
berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua
orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.
“Jembel busuk!
Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah
gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kau permainkan...!“ bentak gadis muda
she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis
muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan
sudah ia duga bahwa gadis itu tentu akan menimbulkan keributan sesuai dengan
wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang
duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita
itu patut diberi sedikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang
wanita itu.
Akan
tetetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang
disebut suheng oleh Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi
jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik
angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seperguruan
pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya,
bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia
mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan,
mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar sekali.
Yu Siang Ki
tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apa lagi mengingat bahwa di situ
adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia
merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda
sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan
keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat
duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. “Jangan heran akan
sikapku...!”
Sambil
memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring, “Kuharap kalian
berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan mengeluarkan kata-kata
kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah
mengampuni jiwa anjing kalian?”
Ucapan ini
sungguh hebat dan pedas. Biar pun mereka berlima itu wanita, namun tokoh-tokoh
kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang
rendah. Apa lagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh
karena perguruan mereka. Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal
berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut,
wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda
dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki
dan memaki-makinya seperti tadi.
Siang Ki
tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panasnya api yang ia
kobarkan. “Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah
perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang
genit...“
“Jembel
busuk mau mampus!” bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang
dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan sebuah tusukan ke dada
Siang Ki.
“Wuuuuttt...!”
Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini
tanpa merubah kedudukan kakinya telah mampu mengelak dengan amat mudahnya. Ia
tertawa mengejek.
“Gadis galak
dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”
“Enci, mari
kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee juga sudah mencabut pedangnya dan membacok.
Namun kembali bacokannya mengenai angin.
“Hayo,
kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah,
perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?” Siang Ki mengejek terus.
Marahlah
tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari
gerakan pemuda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan
tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini
menyerang kalang-kabut! Biar pun dibandingkan dengan Siang Ki tingkat ilmu
silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan
nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar
topinya, sambil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.
“Siuut-siuut-bret-bret...!”
terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang
digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan
karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki.
Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka
tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa
rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang, pita-pita rambut
mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.
Bukan main
kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini
benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peristiwa yang terjadi di
depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan
inilah yang membuat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa
menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gunanya berlaku nekat karena takkan
dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang
Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar
berhasil. Ia sudah melihat gadis itu muncul keluar di belakang Suma-kongcu,
maka hatinya menjadi lega dan ia berniat mengakhiri perkelahian dan
meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi,
pada saat itu Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda
ini marah sekali. Ia tidak mengenal si Pemuda Jembel, sebaliknya ia sudah
beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang
wanita cantik itu, tentu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak
lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya,
tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke
arah Yu Siang Ki.
“Suheng...
jangan...!” Kwi Lan melompat dan mengejar kakak seperguruannya.
Akan tetapi
Suma Kiat tidak mempedulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki.
Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima
batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin
menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah
datang menghantam dengan hawa amat panas! Kagetlah ia mengenal pukulan ampuh
ini. Cepat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang
memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang
yang menyambar ke arahnya.
“Wuuuuttt...
plakkk...!” Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sinkangnya untuk mengebut pedang
dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya.
Ia tidak menduga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang
demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan bertemu Yu Siang Ki merasa
betapa serangkum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung
dengan wajah pucat!
Suma Kiat
tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, mengirim pukulan lebih
ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.
“Suheng...
mundur kau...!”
Suma Kiat
melihat sinar hijau berkelebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok-kiam di tangan
sumoi-nya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak percaya bahwa sumoi-nya
akan berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan
pukulannya ke arah Siang Ki.
“Brettt...!
Aduhhh...! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?!” bentak Suma
Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang
merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan
kanan, memandang sumoi-nya dengan mata terbelalak heran. Sungguh di luar
dugaannya bahwa sumoi-nya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini
dilakukan hanya untuk membela seorang... pengemis!
Dengan
pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang
pandang mata suheng-nya. “Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan
Yu-pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang
erat. Akan tetapi engkau malah membela perempuan-perempuan tak tahu malu ini
dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju
sehingga terluka oleh pedangku. Pendeknya, siapa pun juga tidak boleh
mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan
dada.
“Ha-ha-ha,
sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi inang pengasuh jembel cilik
ini? Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?”
Siang Ki
telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat
sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan
pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata, “Sungguh omongan
yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar
dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta
dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau,
Suma-kongcu.”
Suma Kiat
marah sekali, akan tetapi melihat sumoi-nya masih berdiri dengan pedang di
tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak
sumoi-nya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoi-nya marah
dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoi-nya itu. Dan kini jelas
tampak sikap sumoi-nya itu membela si Pengemis ini!
Pada saat
yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan
selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegangan, tiba-tiba terdengar
suara yang halus namun nyaring berwibawa.
“Hemm,
apakah yang terjadi di sini?”
Semua orang
menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang
berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-khim yang bentuknya
seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping
pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita berpakaian indah dan gadis ini
adalah Puteri Mimi!
Bagaimanakah
Kiang Liong bisa muncul pada saat itu dan mengapa pula bersama Puteri Mimi?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perjalanan Kiang Liong
agar jalannya cerita menjadi lancar.
***************
Seperti
telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan
diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong
‘direbus’ dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan
tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.
Untung bahwa
pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat
mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan
penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka
siluman, Song Goat tertawa lalu berkata, “Kongcu, sebaiknya kita segera pergi
dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”
Kiang Liong
membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi
Song Goat dan menjura sampai dalam. “Nona Song, kau telah menyelamatkan
nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima
kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona
sebagai siluman. Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”
“Ah, mengapa
kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan
pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya
marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya
orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat
diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang
sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang
pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetiaan! Marilah kita
pergi!” Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat ke
luar melalui jendela.
Sejenak
Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajaran keagamaan,
maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis
yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata sesuatu, setelah menyambar
sepasang pit dan yang-khim-nya, ia pun melompat ke luar jendela menyusul Song
Goat.
Mereka
berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis
itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung kekeruhan tanda bahwa
hati gadis itu berduka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh
dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang
Liong tak dapat menahan kesunyian di antara mereka.
“Nona Song,
harap berhenti dulu.”
Song Goat
mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara menghampiri sebuah
pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawanya. Enak duduk
di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar matahari yang sudah
naik tinggi.
Mereka duduk
berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah.
Masih tidak bicara. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan. Melihat
pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipinya menjadi kemerahan dan
menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.
“Kongcu,
mengapa kau menyuruh aku berhenti?”
Kiang Liong
tersenyum. Makin tertarik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara
cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi patah-patah dan... pemalu!
Berdebar jantungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.
“Nona Song,
aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.”
Kini Song
Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah
ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.
“Bicara tentang apakah, Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat
melanjutkan perjalananmu. Jalan kita bersimpangan...”
“Ah,
Song-kouwnio, apakah kau menganggap aku seorang yang demikian rendah dan tidak
ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah
menyelamatkan aku dan sampai mati sekali pun, budimu yang besar tidak akan
dapat kulupakan. Betapa mungkin akan kutinggalkan kau begitu saja setelah kini
kau menyelamatkan aku? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohon yang
disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan
buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan.
Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?”
Mau tidak
mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati
pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda
yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri, bahkan
lebih tinggi dari pada tingkat ayahnya mau pun semua tokoh yang pernah
dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia mengangkat muka.
Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra.
Bagaikan sinar matahari, hangat-hangat menembus jantung gadis itu.
“Kiang-kongcu,
kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, karena sedikit kepandaian
pengobatan ini kudapat dari Ayah...“
“Ah, benar!
Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah adanya ayahmu, Nona?
Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan terima kasihku.”
Tiba-tiba
Song Goat yang duduk bersandar pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan
muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda yang amat halus
dan mengenal budi ini, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya,
menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema
kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang
menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang
ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh
pertanyaan dan sikap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang
membuat air matanya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi
muka.
Sebuah
lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan
suara yang halus terdengar dekat telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa
menangis? Hanya manusia kejam berhati iblis saja yang tega membuatmu berduka.
Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa
ragaku untuk membantumu.”
Sentuhan
jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini
seakan-akan menjebolkan bendungan terakhir sehingga membanjirlah air mata dari
sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia
sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu
sampai basah semua oleh air matanya!
Kiang Liong
yang banyak mengenal watak wanita tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu
menangis tersedu-sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan
dendam yang meracuni hati. Dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut
yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun
kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang
luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya. Akan tetapi ia berlaku hati-hati
agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah
terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.
Akhirnya
reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Seperti seorang
terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebahkan diri di atas
dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong,
bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi
dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.
“Aiihhh...“
Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri.
“Kenapa,
Nona?” Kiang Liong bertanya, tersenyum ramah.
Dua pasang
mata bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan dalam pandang mata Kiang Liong
itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
“Ahh,
Kiang-kongcu, maafkan... maafkan aku... yang lupa diri...“
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat
menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?”
Song Goat
merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya
menggeleng kepala tanpa jawaban.
Kiang Liong
meraih maju dan memegang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari
tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata. “Nona Song, aku berterima
kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya
padaku?”
Song Goat
mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pasang mata bertemu
pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan
kemesraan memandangnya, Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari
jari-jari tangannya bergerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah
mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya
menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja... kalau saja...
Song Goat
cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi
merah dan panas, kemudian ia menarik tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong
melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguh pun ia tahu betapa tangan
kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.
“Nona Song,
siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”
Dengan muka
tunduk Song Goat menjawab lirih. “Aku... meninggalkan Ayahku...!”
“Kenapa? Di
mana dia?”
Kembali Song
Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song
Goat lalu berkata, “Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia
pribadi, akan tetapi... biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan
mendengarnya. Aku percaya kepadamu dan biarlah kau seorang yang menjadi
penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan
meracuni hatiku. Kiang-kongcu, aku... aku telah dihina dan dikhianati...
tunanganku sendiri.”
Kiang Liong
mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm? Apakah dia seorang yang buta?
Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji
terhadapmu. Siapa dia, Nona?”
Dengan suara
lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia telah dijodohkan oleh
ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan
tahun ia ikut merantau mencari tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan
ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di
depannya menyatakan cinta kasihnya kepada seorang gadis lain sehingga ia
menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.
Kiang Liong
mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah
selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan. “Nona
Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim
Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis muda yang bertopi lebar terhias bunga dan
memegang tongkat. Wajahnya tampan tubuhnya tinggi?”
Song Goat
mengangguk. “Apakah Kongcu sudah mengenal dia?”
“Hemm, kenal
baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda
yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan kekejian kepadamu? Dan
siapakah wanita yang dicintanya?”
“Seorang
gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan...”
“Ahhhh...!
Dia...?” Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita,
lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tunangan gadis ini telah
jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk
dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai
bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!
“Eh, kau
sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?”
“Hemm, kenal
sih tidak. Dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya.
Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri,
tidak mengenal budi dan tidak bijaksana kalau dia melukai hatimu dengan
pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu.”
Song Goat
menarik napas panjang. “Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan
cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan
dengan aku. Dan dia menyatakan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk
menolong keselamatan Adik Kwi Lan.” Song Goat lalu menceritakan tentang
munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara
Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya
ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya sendiri.
Mendengar
semua ini Kiang Liong mengangguk-angguk.
“Setelah
mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu kembali
dengan dia, Kongcu? Apa lagi harus bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya
untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu hanyalah melarikan diri
seperti yang kulakukan sekarang.”
Kiang Liong
maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa kasihan sekali.
Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti
seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.
“Nona,
apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”
Dua pasang
mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menunduk dan menarik
tangannya. “Aku... aku tidak tahu... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku
baru saja bertemu dengannya..., dan... mendengar pengakuannya terhadap Kwi Lan,
rasanya... rasanya aku tidak mencintanya...“
Kembali
tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser
dekat. “Dewiku, kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak
dapat menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau
sebaliknya harus bersyukur telah terbebas dari padanya. Terus terang saja, aku
bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencintamu, dan cinta kasihku
akan jauh melampaui cinta kasih pengemis bodoh itu!”
Mendengar
ucapan ini Song Goat memejamkan matanya dan air matanya berlinang di atas pipi.
Ia seperti mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya
erat-erat, bahkan ia hanya meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata
dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan
terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang
kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian
dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir mabok madu asmara.
Akan tetapi
ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra
mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua
lengannya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk mendorong dada Kiang
Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali
dan kedua kakinya menggigil.
“Tidak...!
Tidak...!” keluhnya berkali-kali.
Kiang Liong
juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh pertanyaan. Akan
tetapi ia tidak mau memaksa dan hanya memandang penuh selidik. Melihat pandang
mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri,
kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang!
“Kiang-kongcu,
kau maafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar
sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk
mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat
menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan bahagia sekali!”
Kiang Liong
tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat
mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Akan tetapi... jelek-jelek
aku bukanlah seorang yang tidak memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku
tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau
memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku
kecil. Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan
kalau dia sekarang memutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali
masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”
“Moi-moi...!”
“Tidak,
jangan sentuh aku lagi, Kongcu! Ingat, aku calon isteri orang lain! Engkau
seorang pendekar muda yang sudah terkenal dan aku yakin seorang pendekar akan
menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau budiman, lebih baik
tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi kepada agama.” Song
Goat menghapus air matanya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya.
Kiang Liong
menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan
cintanya terhadap wanita, maka ia lalu berkata, “Nona Song, aku mengerti akan
pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai
oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang ke sana dan
menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah
bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu
Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku
gagal dan sesukamulah kalau kau hendak menjadi nikouw. Kau serahkan suratku
kepada Fang-nikouw.”
Pemuda itu
lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai sapu tangan putih dan
menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di
atas sapu tangan lalu memberikannya kepada Song Goat.
“Terima
kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan
budimu.”
“Aihhh,
Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan tetapi apa
boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu
tahun.”
“Baiklah,
Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu.”
Dengan
pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal
gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang mendatangkan rasa iba besar
di hatinya. Kemudian, setelah bayangan gadis itu lenyap, ia pun melanjutkan
perjalanan.
Tentu saja
ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusan besar. Ia harus melapor
sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman
bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalanan, hanya dua wajah
yang selalu terbayang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat.
Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan tetapi yang kedua-duanya telah
melepas budi kepadanya.
Senja telah
mendatang ketika Kiang Liong tiba di lembah Sungai Kuning, di kaki Bukit
Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja. Ia mempercepat larinya karena tidak
ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun yang ia tahu berada di
depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.
Akan tetapi
perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah
depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu terjadi perang
kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang. Hatinya berdebar keras. Dari
jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat
dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang bergerak cepat dan
tangkas. Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang berseragam, seperti pasukan
yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga
kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot mempertahankan diri.
Kiang Liong
menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada
begini dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal
dari kota raja? Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat
larinya menuju ke tempat pertempuran.
Setelah
dekat, ia terheran-heran. Kiranya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu
adalah orang-orang Khitan! Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah
dan belasan orang sisanya melakukan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan
ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki
keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah
pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang
Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat
seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio jubah merah.
Bukan main
gadis remaja ini. Cantik jelita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbeda
dengan kecantikan orang-orang daerah Tionggoan, memakai pakaian serba indah dan
hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang
bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak pengalaman
bertanding, karena kalau ia lebih berpengalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua
orang hwesio jubah merah ini tentu takkan dapat bertahan lama.
Apa lagi ia
telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu
merupakan bangsa sahabat. Andai kata pasukan tak dikenal sekali pun, tentu
Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan
hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis
cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan
itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan
dapat berkenalan dengan baik!
Akan tetapi
gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya
dapat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah
pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu
dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu serombongan tikus saja,
begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia memekik dan roboh
terguling.
Seketika
berubah keadaan perang kecil itu. Apa lagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu
memandang dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong
terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah
roboh terguling. Para prajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka
melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu
menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, sebagian roboh binasa, yang
lain melarikan diri. Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka,
termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri
masuk ke dalam hutan dan berlindung pada kegelapan malam yang mulai timbul.
“Cianbu
(Kapten), syukur kau dan pasukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu
aku sudah mereka tawan!” Dara remaja itu berkata sambil menyarungkan pedangnya,
wajahnya sedikit pun tidak membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguh pun ia
baru saja terlepas dari pada bahaya besar.
Kapten yang
memimpin pasukan pengawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di
depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di depan dada, kemudian berkata.
“Rasa syukur dan terima kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini,
karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba
sepasukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong,” berkata
demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.
Hal ini
tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai
banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira
Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan
seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget mendengar betapa dara itu
disebut Paduka Puteri oleh si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan
puteri jelita ini.
“Cianbu
terlalu memuji...,“ Kiang Liong berkata sambil menjura di depan dara itu yang
memandangnya dengan sepasang mata bintang.
“Ah, kiranya
engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid... Suling Emas....?”
Di dalam
hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Suling Emas tidak
membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari
sepasang bibir yang indah ini...!
“Saya orang
she Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu guru
saya yang mulia.” katanya merendah.
Dara itu
tersenyum, pandang matanya melamun. “Sudah sering aku mendengar dari Ayahku
tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran
Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu.”
Kiang Liong
memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita
bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang
gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik
jelita dan pandai ilmu silat.
“Ah, kiranya
saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang
terhormat?” ...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment