Cerita Silat Kho Ping hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 11
KIANG LIONG
kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan
sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan
lebar. Biar pun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata,
namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap
Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang
luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.
Sementara
itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya
kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum
di tangan kanan, sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia
menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.
Terjadi
perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai
penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan mencinta
pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang
hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan
wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia
dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan
ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai
mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum
dari dalam tulang anak itu!
Bouw Lek
Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya
berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum bibirnya tampak merah seperti
berlepotan darah dalam pandangan Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih
itu seakan-akan bercaling.
“Hanya
sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya
sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan
kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang
putih dan sehat.
Kini wajah
Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak
menggigil. Setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas di bawah
tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas mulai bergerak perlahan,
menempelkan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk menusuk.
Meledaklah
rasa penasaran dan kemarahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan
lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, “Iblis betina,
lepaskan dia!”
Hebat bukan
main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang
Siang-mou Sin-ni dengan ilmu silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan)
yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling
Emas. Biar pun Siang-mou Sin-ni amat lihai, namun saat itu sebagian besar
perhatiannya sedang tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang melonjak-lonjak,
Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, maka ia kurang cepat
menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang
Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh
dan jarum emasnya terlempar!
“Keparat!”
Siang-mou Sin-ni mengumpat, rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang
Kiang Liong. Namun pemuda itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat
tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.
“Perlahan
dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang
amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki.
Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya.
Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan
digerakkan tenaga hebat pula.
Dari arah
kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan
menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Akan tetapi
tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga begitu lengannya terbentur
lengan Siang-mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang.
Kiang Liong terhuyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia
elakkan, dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.
“Plakk!!”
tongkat terpental, akan tetapi Kiang Liong merasa betapa kenyerian dari
perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari
mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi
ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan mengerahkan hawa
murni melawan luka dan racun yang mengamuk di perut.
Siang-mou
Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir.
Tangannya penuh dengan hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali
mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi
pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou
Sin-ni menyambar, Kiang Liong sedang siulian (semedhi) untuk mengerahkan hawa
murni di tubuhnya.
“Plakk!”
Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat
Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan
tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudian mendekatinya dan
berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.
“Ia terluka
oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi,” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan
dapat bertahan untuk hidup?”
Siang-mou
Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu. “Dia lihai
dan kuat, tentu dapat bertahan sampai tiga bulan. Namun darahnya sudah
keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”
“Bagus,”
bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan rencana, biarkan
dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau
dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembalikan, juga kau
janjikan obat penawar pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak
ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk
mengkhianati kita.”
Siang-mou
Sin-ni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya
luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku
sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak
mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang
tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih
tertelungkup di atas meja.
Tiba-tiba
pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara sorak-sorai gemuruh
disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata bertemu dan banyak
sekali orang bertempur.
Pintu kamar
itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia berteriak,
“Barisan Beng-kauw menyerbu...!” Mendadak mereka roboh terjungkal dan di
punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!
“Tar-tar-tar...!”
Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan
seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada
beberapa orang musuh terjungkal tewas.
Di
sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk
pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih
ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang
mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan
kakinya tentu merobohkan seorang lawan.
Di samping
tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua
orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain
mereka, ratusan orang anggota Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan
terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini
adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan
orang-orang Hsi-hsia.
Kakek
bertopi lebar bersenjata cambuk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah
Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dialah
satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah
sute (adik seperguruan) ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi dalam hal
kepandaian, kakek ini melebihi suheng-nya. Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan
diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.
Pada
beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua
orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggota Beng-kauw yang sambil
menangis melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw
Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga
menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bukan orang-orang sembarangan. Yang
bersenjata pedang dan bertubuh gagah adalah ketua penghuni Ang-san-kok di
Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.
Pembaca
CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang
mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia
mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam
ilmu silatnya. Ada pun kakek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai
kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok,
bernama Ong Toan Liong.
Demikianlah,
dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamunya, Kauw Bian
Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggota Beng-kauw sejumlah
empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di
Kao-likung-san. Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa
dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibebaskan karena pertolongan
Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan
pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan.
Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu,
terjadilah perang yang hebat dan berat sebelah.
Biar pun
para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah
orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apa lagi di sebelah depan
dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang
bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya,
Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Liong, Ong Toan Liong, dan kedua
orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan terbesar yang menjadi
tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.
Lecutan
cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka
menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu
mau pun Siang-mou Sin-ni. Juga tidak tampak Kiang Liong mau pun Kam Han Ki.
Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi
penunjuk jalan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di
situ, namun sia-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi
penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak
bayangannya.
Mereka
mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka
keluar lagi, ternyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk
mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw,
tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah.
Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah kurang
lebih seratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian
besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni
juga melarikan diri. Yang menyusahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali
Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah
perginya dua orang tawanan itu?
Ketika tadi
mendengar laporan tentang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat
sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah
menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui belakang bangunan,
turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han
Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang
Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.
Bouw Lek
Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang ke luar dan merobohkan
beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan kelihaian tiga
orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang
Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para
muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang
Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu.
Bouw Lek
Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam
kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui rahasia pergerakannya.
Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa
betapa pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia memasuki kamarnya,
Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada
yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han
Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk bersila di situ. Ke manakah
perginya pemuda itu?
Karena
keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar
melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah
belakang.
Kini setelah
perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulang kali menghela napas
panjang. Alangkah menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu
banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di pertapaan.
Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng-kauw
terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini
mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia,
akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Kemenangan mereka
itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki
lenyap dilarikan musuh.
***************
Kamar itu
amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan pintunya terbuka lebar
menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi. Hawa pegunungan amat sejuk
memasuki ruangan.
Yu Siang Ki
yang rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan.
Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus
yang melarikannya dari dalam kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut
kembali.
“Aduhh....”
Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.
“Siang Ki,
syukur kau telah tertolong...”
Siang Ki
membuka matanya dan pandang matanya bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan!
Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking girangnya melihat Siang
Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir, lalu mendekatinya.
“Siang Ki,
kau minumlah obat ini.”
“Kwi Lan...!
Bagaimana kita bisa berada di sini...? Bukankah kita berdua tertawan...?”
Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.
Kwi Lan
tertawa. “Tiga hari tiga malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kau minum dulu
ini baru bicara.” Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang
Ki yang terpaksa meminum obat yang pahit dan harum itu.
“Kwi Lan,
bagaimana...?”
“Hush, kau
tertolong Song Yok San-jin (Orang Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya,
Enci Goat yang cantik manis!” Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya
ke sebelah kiri dipan.
Siang Ki
cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot jarang
sedang memeriksa sesuatu dalam dua tabung kaca dan seorang gadis yang cantik
manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.
“Hemmm, tak
salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat
di selatan. Ah, sungguh keji orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun
ini dari datuk mereka, Siauw-bin Lo-mo. Biar pun racun ini ganas, namun
pemunahnya tidak sukar. Jalan darahnya telah kututup, racun tidak menjalar.
Goat-ji (Anak Goat), kau ambillah batu penghisap dan bubukan biji delima
putih.”
Setelah
gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek itu membalikkan
tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu ke luar pintu, lalu menaruh
tabung ke dalam jambangan air yang berada di sudut. Barulah ia menghampiri
dipan dan bertanya ramah. “Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar? Syukurlah...“
Siang Ki
cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu sambil berkata, “Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa
kami berdua orang muda, harap jangan bersungkan kepada saya. Terimalah hormat
dan terima kasih saya Yu Siang Ki.”
Kakek itu
tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang jarang. “Ha-ha-ha!
Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak mengecewakan menjadi
putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak sungkan, kita di antara orang
sendiri. Bangkitlah!” Sambil berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu
Siang Ki dan pemuda ini mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang
halus itu tersembunyi tenaga yang amat kuat sehingga ia menjadi amat kagum dan
segera bangkit berdiri.
“Locianpwe
mengenal mendiang ayah saya sebagai sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan
kebahagiaan besar bagi saya,” katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki
memejamkan kedua mata karena kepalanya terasa pening.
“Siauw-pangcu
harap rebahan dulu karena racun masih belum lenyap dari tubuhmu,” kata ahli
pengobatan itu. Tanpa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang
dan mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di atas
dipan.
Gadis cantik
berambut hitam panjang yang disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya
yang ringan, membawa obat dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek
itu menerima obat dari tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan
puterinya itu, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot
hawa beracun dari luka-lukanya.”
Song Goat,
gadis cantik itu menggandeng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu ke luar.
Kwi Lan menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang
mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis
itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu menggulung kedua lengan
jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian Yu Siang Ki.
Luka-luka
karena senjata rahasia Peluru Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu
tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah menghitam. Dengan tangan kanannya kakek
itu memegang batu penghisap, sebuah batu yang berwarna putih dan banyak
lubang-lubang kecil, seperti batu bintang yang terdapat di dasar laut. Kemudian
tangan kirinya dengan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka
sambil menekan batu itu pada lukanya.
Yu Siang Ki
meringis kesakitan, akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa
nyeri sehingga tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat
yang besar-besar berkumpul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna
putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerjaannya menghisap
hawa beracun lalu memasukkan batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah
dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali
akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu
penghisapan itu dilakukan lagi pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan
merah. Usaha pembersihan hawa beracun ini amat nyeri, perih dan seperti
ditusuk-tusuk rasanya, dan baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek
itu membantu Siang Ki mengenakan pakaiannya kembali.
“Aman sudah.
Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih
kembali kesehatannya seperti biasa.”
Kakek itu
lalu menuangkan obat bubuk delima putih, ditaburkan pada luka dan terasalah
oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika,
terganti oleh rasa dingin dan menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah
memejamkan mata menarik napas lega dan pulas seketika! Kakek itu tersenyum,
lalu mencuci kedua tangannya dan duduk di atas bangku dekat pembaringan.
Sementara
itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera menangkap tangan
Song Goat dan berkata, “Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk
mendengar semua keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau
menggunakan jarum-jarum hijauku untuk membunuhi para hwesio itu, kemudian
menggunakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau mendapatkan
jarum-jarum hijau itu?”
Song Goat
tersenyum dan dua buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut
sehingga ia tampak manis sekali. “Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk
Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat menebak sendiri? Hi-hik!”
“Eh, eh,
jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak...“
“Hemm, anak
ganas, kalau tidak kuceritakan kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan
pedangmu yang lihai?” Song Goat yang ternyata pandai berkelakar itu menggoda,
sepasang matanya disipitkan ketika mengerling.
“Aihhh!
Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam
dengan jari-jari tangannya yang kecil.
“Aduh,
ampun... kau anak ganas!” Song Goat tertawa, menutupi kedua pipinya. “Mari kita
duduk di sana dan kau dengarkan ceritaku.”
Dua orang
gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas batu-batu besar tidak
jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua buah kantong dari saku
bajunya. “Kau lihat ini, yang sekantong terisi jarum-jarum biasa, dan kantong
kedua terisi jarum-jarum hijau beracun. Jangan kira bahwa aku mencuri
jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau tentu mengerti bahwa ayahku adalah seorang
yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya secara kebetulan saja
jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan tetapi ada
perbedaannya di antara kita.”
“Apa
bedanya?”
“Kau selalu
menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya menggunakan jarum biasa
tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan orang jahat yang patut dibunuh.”
“Seperti
yang kau lakukan kepada hwesio-hwesio dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa
pendeta-pendeta itu adalah orang-orang jahat?” Kwi Lan mengejek.
“Lebih jahat
dari pada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang penjahat, akan
tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha yang suci,
benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga bahwa mereka itu
adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah
pengaruh Siauw-bin Lo-mo? Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang
Thian-liong-pang yang menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang
gadis baik-baik yang mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang
Thian-liong-pang? Kebetulan Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun
tangan membunuh mereka membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang
Thian-liong-pang itu, segera bubar melarikan diri. Karena sepak terjangmu
bersama... eh, Pangcu itu, Ayah mengajak aku diam-diam mengikuti karena
khawatir kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang
lihai dan curang. Dugaan Ayah ternyata terbukti. Kami tak dapat segera turun
tangan karena tidaklah mudah membebaskan kalian dari tangan dua belas orang
tokoh Thian-liong-pang itu, apa lagi setelah ternyata mereka itu berkumpul
dengan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua...”
Tiba-tiba
Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih kalah
tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut
pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang tertawa-tawa, kakek
kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!
“Ha-ha-ha-ha,
bocah manis, ini aku si Iblis Tua sudah datang. Jadi engkaukah yang telah
berani main-main dan menculik tawananku? Ha-ha-ha, bagus sekali. Bouw Lek
Couwsu tentu akan senang hatinya mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi
secantik engkau. Mari, kalian ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian,
Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram
dua orang gadis itu.
“Siauw-bin
Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!” Kwi Lan sudah berseru keras dan marah
sekali, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau
bergulung panjang membabat kedua lengan kakek itu.
“Aiihhh...!”
Siauw-bin Lo-mo mengeluarkan seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik
kembali kedua lengannya.
Ia tadi
terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apa lagi Kwi Lan yang
pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak
disangkanya gadis ini dapat menyambutnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis
remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedangnya,
sesuai dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru
sekarang ia mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam
kerangkeng dan menjaganya ketat, kiranya gadis ini benar-benar amat berbahaya.
Song Goat
juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biar pun gadis puteri ahli obat
ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya, namun juga termasuk
seorang muda yang berilmu tinggi.
“Ha-ha-ha-ha,
memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam
petualangannya dengan wanita, belum pernah ia mendapatkan dua orang gadis
cantik yang begini lihai!”
Biar pun
maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, namun Siauw-bin Lo-mo
sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar.
Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong
menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan
seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!
Gerakannya
demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya hendak mengenai
sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih dulu dan selalu dapat
mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya hampir kena dirampas! Saking
marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang
yang tiada keduanya dalam soal keanehan di dunia ini.
Siauw-bin
Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat karena segera mengenal ilmu
pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak
heran menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang
ini ia mengenal jurus-jurus campuran yang mirip ilmu pedang dari Hoa-san-pai,
tusukan-tusukan jalan darah seperti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan tenaga
berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek ini
menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya memang jauh
lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam pertempuran, segera
ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil mengirim tendangan ke
arah tangan Song Goat yang memegang pedang. Pedang gadis itu terlepas dan ia
sendiri terhuyung.
“Ha-ha-ha!”
Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song
Goat untuk merobohkan gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa
pukulan dari belakang yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan
kaget.
Sebagai
seorang ahli, Siauw-bin Lomo mengerti betapa hebatnya hawa pukulan itu, maka
cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan
jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan tetapi mengalami
malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan seorang gadis remaja, hanya
karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu
disamping ilmu pedangnya yang luar biasa, juga menguasai ilmu pukulan
Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Song Goat
yang tidak terluka mendapat kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali dan
kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang sudah menerjang kakek lihai itu.
Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang
aneh dari kedua lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih
celaka lagi, dua orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas
orang yang bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu ketua Thian-liong-pang bersama
sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri
di pinggir menonton, tidak berani bergerak mengganggu datuk mereka yang yang
sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!
Pada saat
itu, dari dalam pondok melompat ke luar Yok-san-jin Song Hai si ahli obat. Ia
sudah memegang sebatang pedang. Melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak
hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia berseru. “Siauw-bin Lo-mo, tidak malu
engkau melawan anak-anak?”
Siauw-bin
Lo-mo menoleh dan tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di
sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu? Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga
pun aku tidak takut!”
Akan tetapi,
dua belas orang Cap-ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu
yang segera mengurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera
memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat menduga bahwa dua belas
orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan orang-orang lemah.
“Ha-ha-ha-ha!
Song Hai tukang obat, sebelum main-main dengan aku, kau rasakanlah dulu
kelihaian anak buahku!” Ucapan Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi
Cap-ji-liong dan lenyaplah keraguan mereka. Segera mereka menerjang maju secara
teratur, mengurung kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.
Kwi Lan
menggigit bibir dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Betapa pun juga kakek itu
terlampau kuat untuknya. Biar pun ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu
pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini terdesak hebat dan akhirnya
terhuyung oleh bayangan kedua tangan Siauw-bin Lo-mo yang seolah-olah berubah
menjadi puluhan banyaknya. Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah
tamparan membuat ia terhuyung ke belakang kembali terlepas dari tangan.
Tamparan yang mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!
Kwi Lan
berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring tubuhnya. Siauw-bin
Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi
Lan dengan tangkisan tangan kanan.
“Plakk...!”
Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan harus berjungkir balik
beberapa kali untuk mencegah terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia
diserang secara bertubi-tubi di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk
membalas, namun karena sudah terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat
kesempatan dan hanya dapat mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan
yang hendak menangkap dan menotoknya.
Pada saat
Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang tidak
hanya mengejutkan hati Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song
Hai dan dua belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan
menulikan telinga itu seketika membuat mereka semua menghentikan pertandingan
dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara
melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.
Bagaikan
bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita bertubuh
ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi sutera jarang seperti
rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng guru Kwi Lan!
“Siauw-bin
Lo-mo, kau berani menyerang muridku, berarti engkau tidak memandang mata
kepadaku!”
Siauw-bin
Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara ketawanya canggung
karena hatinya merasa tidak enak. “Eh... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis
yang ganas dan lihai ini muridmu? Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia
muridmu, Sian-toanio karena dia pun tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”
“Sekarang
kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya
Kam Sian Eng, suaranya kaku.
“Ha-ha-ha,
tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan
cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut
bersamaku!” Sambil berkata demikian, tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke
arah Song Goat untuk menyambar tubuh gadis ini yang tentu saja sama sekali
bukan lawan Siauw-bin Lo-mo.
Akan tetapi
tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua
tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak
menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pedang di tangan berdiri
menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.
“Ha-ha-ha-ha,
keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah
begini kau mengajar muridmu?”
“Kwi Lan!
Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain? Sejak kapan kau begini
usil dan lancang?” Kam Sian Eng membentak, suaranya dingin seperti suara dari
lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang terkenal gagah sekali pun menggigil dan
merasa seram.
“Bibi, aku
tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya,
Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua
bangka iblis ini!” Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. “Bagaimana mungkin aku
sekarang membiarkan iblis tua ini mencelakai Enci Goat?”
Kam Sian Eng
adalah seorang yang memiliki watak aneh sekali karena memang jiwanya sakit,
ingatannya terganggu oleh peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal
budi, tidak mengenal apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada
perasaan kasih sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan mendengar pembelaan
Kwi Lan, ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata
singkat. “Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun
kemudian kelak kita bertemu kembali.”
Siauw-bin
Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut kepada Kam Sian
Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah
hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja
cepat. Kalau terjadi pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia
sendiri melawan Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah,
belum tentu siapa yang akan menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang
Cap-ji-liong itu kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama
puterinya dan si Mutiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka
ia lalu tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.
“Ha-ha-ha-ha!
Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak
akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi
seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya.
Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!” Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak
cakap tidak berani membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam
hutan.
Biar pun
perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang
wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang
keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit banyak telah meracuni hatinya,
membuat keningnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar dingin
menakutkan. Melihat betapa sepasang mata Sian Eng memandangnya seperti itu,
tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia
menjadi khawatir dan bersikap waspada.
Pada saat
itu nampak bayangan berkelebat keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang
Ki yang sudah sembuh, hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia
terbangun dari tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera
mengerahkan tenaga, menyambar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah
lagi, kini ia meloncat ke luar, siap membantu Song Hai dan puterinya, terutama
sekali Kwi Lan jika ada bahaya mengancam. Ketika ia melihat mereka itu
berhadapan dengan seorang wanita yang memakai kerudung, yang sikapnya aneh,
yang matanya menyinarkan keseraman yang mengerikan, ia meloncat dan sudah
berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini
tidak kehilangan kelincahannya.
“Siapa
jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang bulu
tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin
menyentuh leher. Ia bergidik.
Song Hai
atau Yok-san-jin yang semenjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh
rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan menjura sebagai penghormatan,
lalu berkata, “Kouwnio, orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua
perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, putera mendiang Yu Kang Tianglo
yang gagah perkasa.”
Sian Eng
melirik ke arah kakek berjenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut
kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita
berkerudung ini karena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih
muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu mau pun bentuk tubuh yang
langsing padat.
Akan tetapi
kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening
mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang
Tianglo yang merupakan seorang di antara lawan golongan sesat yang dipimpin
Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling
Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo atau
pun puteranya. Maka kalau ia hendak mengumpulkan jasa untuk mengalahkan empat
orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang
Tianglo yang menjadi ketua Khong-sim Kai-pang ini.
“Hemm,
jembel muda ini ketua Khong-sim Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak
kulihat sampai di mana kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba
tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar
dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!
“Bibi...!”
Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang!
Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih,
kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi
layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati
seketika karena hangus sebelah dalamnya!
Yu Siang Ki
bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan
berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia
mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat
gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja
menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia
terbebas dari pada bahaya maut.
Bibir Kam
Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal
senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa
tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia
melangkah maju dan kembali tangannya bergerak hendak memukul dengan
Siang-tok-ciang yang lebih hebat.
“Bibi,
jangan...!”
Akan tetapi
pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil
mengangkat tangannya menangkis.
“Plakk!!”
dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, dan ketika ia
meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng
sejenak berdiri seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin,
senyumnya melebar.
“Bibi, kau
tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”
“Dia...
apamu?” tanya Sian Eng, suaranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.
“Dia sahabat
baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia
pernah menolongku dan....”
Sejak tadi
Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia
diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan
hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi
Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulannya dan menghalangi dia turun
tangan terhadap Yu Siang Ki. Marah dan kecewa, apa lagi melihat betapa tukang
obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan.
Watak Sian
Eng memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarahan
hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa
Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan
membentak. “Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu
sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”
Kwi Lan
menjatuhkan dirinya berlutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak
takut melawan siapa pun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya
yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah
seperti ini, biar pun ia melawan juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.
“Bibi,
kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku
bersedia menerima hukuman apa pun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku
menyesal. Silakan!”
Sian Eng
tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi
Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga,
terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali
memuncak.
“Kau sudah
berani menangkis pukulanku, nah, kau cobalah tangkis ini!” Tangan kanannya
bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.
“Wuuuutttt...
prakkkk...!” Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan
untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang terancam
bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah
melompat maju lagi, membusungkan dada menantang kepada Sian Eng.
“Cianpwe,
tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong
saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah karena saya dan saya
bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”
Kam Sian Eng
tercengang. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini
nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah. Akan
tetapi keheranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia
ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.
“Mengapa kau
membela dia? Dia apamu?”
Yu Siang Ki
tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. “Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan
tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya.”
Terdengar
isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah
menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya
dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.
“Hemm...!
Kau... kau mencinta Kwi Lan?”
Kwi Lan
sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Siang Ki
dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang
ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.
“Benar! Saya
mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara
tenang. Kembali Song Goat terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari
rangkulan ayahnya, terus melarikan diri sambil menangis.
“Goat-ji
(Anak Goat)...!” Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya
setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung
penyesalan.
“Bibi,
apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata,
nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki
memandang dengan sikap tenang.
Kam Sian Eng
ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta
pemuda jembel ini?” Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang
putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang
biar pun tampan namun berpakaian jembel.
“Cinta...?”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku tidak tahu..., aku tidak mencinta siapa-siapa,
akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah
jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi.”
Sinar mata
kemarahan di balik kerudung itu berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita
aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain
karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!
“Bagus,
biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul
Suheng-mu.”
Biar pun
sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal gurunya, akan tetapi
karena sejak kecil menjadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. “Di
mana adanya Suma-suheng?”
“Di kota
raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada
di sana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh wanita
berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.
Kwi Lan dan
Siang Kwi saling pandang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah
mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat tegang, kini menarik napas panjang.
“Hebat... Gurumu hebat...,” katanya dan terasalah kini oleh pemuda itu betapa
tubuhnya masih amat lemah, biar pun rasa nyeri sudah hilang.
“Ah, ke mana
perginya Enci Goat tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar
mereka!” Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan
mengerahkan ginkang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan di mana
tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian dikejar ayahnya.
Jauh di
dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya
pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua
pipinya!
“Song-lopek!
Ada apakah? Mana Enci Goat?”
Kakek itu
tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di
depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat sehelai sapu
tangan sutera putih yang tertusuk jarum keempat ujungnya dan sapu tangan itu
ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.
‘Ayah,
biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa’.
“Eh, apa
artinya semua ini, Lopek? Adakah ini sapu tangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya
Kwi Lan yang masih belum mengerti.
Song Hai
mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat
mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras
hati. Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada
ayahnya...” Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku
menunggu..., menunggu dan mengharap... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil
akan memberi jalan kepada Anakku....“
“Akan
tetapi... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”
Tiba-tiba
kakek itu membalikkan tubuh memandangnya dengan tajam sambil bertanya, suaranya
tegas, “Nona apakah... maaf, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”
Kwi Lan
melongo dan wajahnya menjadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah
menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya
kurang ajar. Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya demikian, lebih heran
lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.
“Aku tidak
tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia
seorang sahabatku. Akan tetapi cinta...? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu
cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”
Tiba-tiba
wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan. “Ah, alangkah
lega dan girang hatiku, Nona. Tapi... tapi... ah, apa bedanya? Dia tetap saja
mencintamu.”
“Kalau
begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini
mendukakan hati Enci Goat dan kau?”
Kembali
kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Dahulu, ayah pemuda
itu adalah sahabat baikku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu
anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu
itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah
bertahun-tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami
mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami
menyusul ke sana akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus
sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu
menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan
malu rasa hati Goat-ji....”
“Ahhh...!”
Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak
tahu aturan dan tidak mengenal budi?”
Melihat
gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya. “Jangan kau
persalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu agaknya sama sekali tidak tahu akan
tali perjodohan yang ditentukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya
yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan melakukan hal yang
begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan,
soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksakan. Selamat
berpisah, Nona.”
Kakek itu
membalikkan diri meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa
langkah, ia membalik dan berkata, “Oh ya, tolong kau sampaikan gurumu.
Kepadanya tadi aku tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan
tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kau sampaikan
kepada gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sinkang,
menghentikan latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat
tertolong.”
“Heee?
Kenapa, Lopek?”
“Dia...
telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa
sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak
bagian dalam tubuhnya. Dan... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan
kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya mengingat keadaan gurumu,
bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka
lekas kau mencari guru yang sakti dan minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku
sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.” Setelah
berkata demikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok
lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.
Kwi Lan
tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar
pondok, agaknya menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis
itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat
pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”
Pemuda itu
menghentikan kata-katanya karena melihat wajah gadis itu merah sekali dan sinar
matanya seakan-akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh... eh...,
ada apakah...?”
Kwi Lan
berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur
ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki,
suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.
“Kau ini
seorang yang sangat bo-ceng-li!”
“Hah...?”
Siang Ki memandang bengong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti, mengapa
tiada hujan tiada angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar,
mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!
“Kau tidak
setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang
dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.
“Aahhh...?”
“Semenjak
berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang ayahmu!”
“Ehhh...?”
“Enci Goat
dan ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu mereka telah
menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kau lakukan kepadanya? Di depan
Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”
“Ohhhh...?”
“Huh!
Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki-laki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal
budi, malah menghancurkan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat
engkau sahabatku, sekarang juga sudah kutusuk dadamu, kukeluarkan hatimu!”
“Eeee-eeeh,
nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia
setahun, bagaimana pula ini? Sungguh aku tidak mengerti...”
“Benar kau
tidak mengerti? Kau tidak tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan
ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani
menyangkal!”
“Sungguh
mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah
aku disambar geledek!”
“Huh, enak
saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin,
mana mungkin ada geledek?”
Siang Ki
menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa
miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah
tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan
sambarannya kini sudah terasa nyeri jantungnya.
“Sungguh Kwi
Lan. Mendiang ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana
kau bisa tahu akan pertunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”
Melihat
sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu
akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia
lalu menceritakan pertemuannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.
“Karena
mendiang ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil
Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek
tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”
“Ah..., akan
tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku? Sungguh mati, Kwi Lan.
Andai kata aku tahu, betapa pun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu
keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan,
aku menjadi bingung sekali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi
Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang
pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki
menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.
Betapa pun
juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik
ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi
rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian
bahwa pemuda ini adalah ‘hak milik’ Song Goat, tentu saja menghapus semua
bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas
tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.
“Siang Ki,
ke mana perginya sifat gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti
engkau, seorang ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh
urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan
kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin
bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau
sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama ayahmu dan memenuhi janji ayahmu, juga
harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi
menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu.
Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah
untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kau putus tanpa kau
ketahui.”
“Ke mana...
aku harus mencarinya?”
“Entahlah,
aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”
“Aku sedang
mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”
“Tentu jadi
nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”
“Kalau
begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”
Kwi Lan
memandang pemuda itu dengan kening berkerut karena melihat seri gembira pada
wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau dari lamunanmu yang
kosong? Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kau harap untuk aku...
aku...”
Siang Ki
tersenyum duka dan menggeleng kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus
membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan
perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu,
pertama karena dengan demikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang
lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan... Nona Goat, hanya
engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya tentang... eh, tentang
kebodohanku. Kalau bukan kau yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya
kepadaku.”
Kwi Lan
berpikir sebentar lalu mengangguk. “Alasanmu memang kuat. Baiklah, kita
melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang
sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”
Kemudian
Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya. “Sejak detik ini
kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”
“Baiklah,
kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita
kejar Enci Goat.”
Tanpa menjawab
Siang Ki lalu meloncat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan
hutan.
***************
Setelah
menuliskan pesan pada sapu tangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song
Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya merantau sampai
bertahun-tahun, dan betapa hatinya berdebar tegang penuh perasaan puas dan
gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda
yang tampan dan gagah perkasa. Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya,
dengan jalan menempuh bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan
orang-orang Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan
nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih
yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini.
Akan tetapi,
alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil
dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara
terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati, merasa
dicurangi dan hatinya sakit sekali.
Sudah banyak
tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang
teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak
lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata
banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh
karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah
jodoh putera Yu Kang Tianglo!
Song Goat
berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak
menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata
dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa
berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam
gelap.
Betapa pun
nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri.
Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini
merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian
bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan
nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu
dari pada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan
pengecut.
Tidak, dia
tidak mau membunuh diri, dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui
jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa
lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song
Goat menahan lapar lalu mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan
dinding tinggi di sebelah kirinya untuk tempat berlindung melewatkan malam.
Tempat di
lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu
yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan goa-goa batu. Mula-mula sebelum datang
malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada
manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso,
Song Goat dapat melihat cahaya menyorot ke luar dari goa-goa batu sejauh
sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot ke luar di antara celah-celah batu
itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan
bergerak-gerak terhembus angin.
Ia merasa
heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar
ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit.
Perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri
goa itu. Dari celah-celah batu di luar goa yang diterangi sinar api unggun itu
ia mengintai dan... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk
mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi
merah saking jengah.
Ia tentu
akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang
tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat
ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam goa itu tengah melakukan latihan
untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk
bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan,
mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu
dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah
seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!
Song Goat
banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biar pun belum pernah ayahnya
melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam goa, namun
gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa
sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara
menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam
tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam
keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya!
Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia
melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda
yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.
Setelah
pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu,
ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah
gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin
Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja
mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda
tampan ini pun tentu seorang anggota kaum sesat.
Berpikir demikian,
Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan
niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki
goa itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio
berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
Hemmm,
kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan
hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat
musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid
Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak
terlawan olehnya. Apa lagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak
tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam
ini juga.
Akan tetapi,
kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan
matanya terbelalak memandang ke dalam goa. Hal yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok
dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk
bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget
melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah si Pemuda.
Juga kini
baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah
berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat
itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia
melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali.
Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan
kesehatan, ia kini tahu bahwa si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa
sakti untuk membantu dan mengobati si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang
hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Song Goat
melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu membuka mata,
terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan
pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui
atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang
hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur
hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah
merah dan... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata
mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan
tewas seketika!
Akan tetapi
tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil
kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi
menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh si Pemuda yang tadinya
menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan
warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.
“Celaka...!”
seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu menolong si Pemuda dan
mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa
wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya si Pemuda itu sudah terobati
sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.
Setelah
kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, si Pemuda
tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu
telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio
jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita
cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.
“Leng In...
ah, Leng In...,” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In,
wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum
yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher,
akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.
“...aku
puas... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini... aku bahagia... dapat
menolongmu, kekasihku...“ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya
ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas. Tubuhnya tiba-tiba
kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.
“Leng In !”
Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus
itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini Song Goat
terharu.
Siapa pun
pemuda itu, betapa pun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi
kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda
itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa
perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia
dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak
tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.
Tiba-tiba
tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari goa. Terbuktilah
kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar
pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu
sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak
menyerang.
Akan tetapi
agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang
mengintai adalah seorang gadis cantik, bukan seorang hwesio jubah merah. Dan
wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai
menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan
pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan
tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak
kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang
ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun
adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia
segera meloncat ke dalam goa.
Ia
membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat
keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun
yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos
memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk
merobohkan empat orang hwesio jubah merah.
Dengan
sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga
penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa
beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang
hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua
tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak
dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela
napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam goa yang menjadi
kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di
dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia
membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti
diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun,
akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat
mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.
Sebagai
puteri tunggal Yok-san-jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda
ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apa bila
menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah
hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau
racun itu!
Ia lalu
mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa
dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun
tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian
putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya
dan pergilah Song Goat meninggalkan goa yang mengerikan tadi.
Ia harus
cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga
puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air
mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan
menuruni lereng dari atas, mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia
melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun.
Dipercepatnya
jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar.
Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak
lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua
muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan
kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita
sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki
yang pingsan.
“...ehh...,
Nona siapakah...? Mau apa...? Dan... dia ini...?”
“Paman, aku
seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu,
atau setidaknya dapurmu.”
“Tapi...
tapi... mana bisa...?”
“Tidak ada
tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa
kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam
sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas
meja. Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.”
Tukang kedai
itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah
pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja.
Kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada
seorang janda muda di dusun itu, akan tetapi belum juga berhasil memikatnya.
Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.
“Orang
ini... bagaimana kalau mati di tempatku?”
“Tidak,
Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan
perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup
besar dimasuki orang ini?”
“Haaah?"
Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera
memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.
Tanpa banyak
cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar,
dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup
besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.
“Paman,
harap kau tolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku
hendak mencari beberapa daun obat di hutan,” kata Song Goat sambil menurunkan
dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di
ruangan belakang.
Pemuda itu
mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ia terheran ketika
melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu
bersih. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik
bersanggul tinggi berdiri di dekatnya, dan dengan gerakan serta tangan berkulit
halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.
“Kau
keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari
bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau
rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari
daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang
sibuk di dapur.” Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar
sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan
sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung.
Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni tak
perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu
kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat
mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak
dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!
“Ah, kiranya
aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im
Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”
Merah muka
Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apa lagi kalau
laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi
menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah
seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak.
Bahkan ia tidak menjawab, hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning
dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke
dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian juga masih cemberut tanpa bicara, ia
menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan
jalan darah di di dekat mata kaki kanan.
Pemuda itu
terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum.
“Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah
dewi dari kahyangan mana...”
“Kau
diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat...
hemm, aku puteri Song Yok-san-jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah
mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun
obat.”
Pada saat
itu, si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata
kepadanya, “Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini
dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum
sampai habis.”
Setelah
berkata demikian, dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada
pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang
jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan,
juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda
yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama
sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar
jendela seperti seekor burung!
“Kau kenapa,
Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.
“Kau tanya
kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu
datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran
tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek
aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh,
bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”
Pemuda itu
tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut
bisa tertawa dan bersikap setenang itu. “Paman, dia itu tadi seorang bidadari.
Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”
Pemilik
kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki
dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah si
Dewi tadi.
Setelah si
Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata,
mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh
tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan
nama Song Yok-san-jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita,
lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang
gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.
Teringat
akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang
harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak
dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik
kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang-mou
Sin-ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya
maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan
itu.
Setelah
kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui
jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat
masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi
itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun
obat dan lehernya berkeringat. Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersemedhi
dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat
lihai, akan tetapi cara bersiulian (bersemedhi) seperti itu benar benar di luar
dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.
“Nona, terus
terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”
Song Goat
menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan
cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis!
“Entahlah, kalau dapat akan kucoba menyembuhkannya. Sayangnya, aku tidak tahu
pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan
tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”
“Tidak
terasa apa-apa. hanya dingin.”
“Tidak ada
rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”
“Tidak.”
“Aneh, kalau
terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa
gatal. Hmm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil.”
“Nona Song,
mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”
Gadis itu
memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan si Gadis menjadi marah. “Huh,
apa lagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat?
Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja.” Ia
berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”
Pemuda itu
tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa
terhadap dia berpura-pura galak. “Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan
keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka
dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni. Lambungku kena
pukul Siang-mou Sin-ni.”
Song Goat
tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini
yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni, terluka hebat
karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang
oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
“Hemmm,
mengapa kau dipukul Siang-mou Sin-ni?”
“Mengapa?
Karena aku musuhnya.”
“Musuh...?”
Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh
Siang-mou Sin-ni?”
Pemuda itu
tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila. “Nona Song,
maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang
bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan
oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan
terkena pukulan Tok-hiat Hoat-lek.”
“Hemmm...,”
Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis
betina itu....”
“Ah, kau
maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid
Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku,
bahkan... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut
dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha
mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya
masih dapat diobati?”
Agak lega
hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong
orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po
Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri.
Ah, Po Leng In lebih bahagia dari pada aku, pikirnya duka. Orang sesat macam
dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan
nyawa!
“Akan kucoba
dan agaknya sebagian besar tergantung dari pada sinkang di tubuhmu sendiri.
Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri
dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat
sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku mengetahui siapa
gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”
“Kalau bukan
engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku
dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah
Kim-siauw-eng...”
“Suling
Emas...?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang
pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau... jadi kau adalah...
Kiang-kongcu yang terkenal itu?”
Kini wajah
Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu
Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang...
pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”
Mau tak mau
Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya
pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan,
murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang
membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang
menyebut-nyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.
“Kalau
begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”
Kiang Liong
adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan
wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari ibunya! Kini melihat betapa nona
penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan
kembali kelincahannya.
“Wah,
penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat
kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”
Kini gadis
itu pun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka,
timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu
dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat
mengatasi cara pengobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu
dapat diusir dalam waktu singkat. Kedua, aku tidak perlu khawatir lagi karena
ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”
“Aduh, hal
yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kau puji-puji, akan
tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku
seorang sesat?”
Merah wajah
Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam
keadaan telanjang bulat. “Karena... karena... kau dan wanita murid Siang-mou
Sin-ni itu....“
Kiang Liong
menepuk kepalanya. “Benar juga! Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang
Leng In yang berusaha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou
Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku
dengan cara gurunya pula.”
Pada saat
itu, si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang prajurit ia
berkata, “Perapian dan air sudah siap!”
Song Goat
mengangguk, dan ketika si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong.
“Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan ayahku mengharuskan engkau berendam
di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke
dapur membuka... membuka pakaian dan merendamkan diri di dalam air di atas
perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu
memberi kabar kepadaku.”
Setelah
Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan
daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara
Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song
Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum melihat cara
pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat mengejutkan dan
mengherankan.
Akan tetapi
ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang
Liong dari pada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran
ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber
kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa
pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang
melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan
betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin
saja yang dapat meracuni darah.
Terdengar
langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pintu, matanya
melotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona
lakukan? Mau... mau... rebus dia...?”
“Kau diam
dan jangan mencampuri urusan kami,” Song Goat menegur kesal. Percuma saja
menerangkan kepada orang yang sama sekali tidak mengerti. “Apakah Kongcu (Tuan
Muda) sudah siap?”
“Sudah...
sudah..., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak
menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan
memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam
biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong
sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian
yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh
pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis
penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap
ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian
tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih
bersih dan berisi otot-otot kekar.
“Kiang-kongcu,
kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau
memadamkan sama sekali,” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan
menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong
hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kau
besarkan apinya.”
Dengan
tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan
makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan
sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air.
Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin
lama makin mendekati mendidih.
Makin lama
sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan
perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus
daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bukan tukang masak orang,
bukan pembunuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di
tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dari seluruh tubuh Kiang Liong.
Dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di
tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi
gemas sekali melihat sikap si Gendut itu dan mendengar teriakannya.
“Diam dan
keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kau pun akan kurebus hidup-hidup!”
Muka Si
Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia
lalu berlari ke luar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya!
Song Goat
tersenyum geli, lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong,
“Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”
Kian Liong
mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”
“Tak perlu
berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu
yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sinkang-mu begini kuat
menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”
“Tidak,
boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas
lebih baik?”
“Betul,
makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”
“Kalau
begitu, lekas besarkan apinya, Nona. Tidak enak terlalu lama begini, dianggap
babi rebus oleh tukang kedai!”
Song Goat
tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biar
pun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh
lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang di tubuh melawan panas dan untuk ini
tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya
menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar!
Pemuda hebat!
Sementara
itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan
hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan
sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat
menahan kegelisahannya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya
dan ramailah mereka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu
yang mendengar bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan
berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka
bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan
daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!
“Tentu dia
perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala
penuh keyakinan.
“Tapi...
Kongcu itu menurut saja direbus,” kata si Gendut pemilik kedai.
“Uuuhh, kau
tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali
kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apa pun juga takkan membantah,”
kata pula si Kakek yang tahu segala.
“Memang dia
cantik sekali, cantik jelita dan muda dan... galak.”
“Wah, tak
salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging
manusia. Ihhh...!” kata si Kakek.
“Ihhh...!”
kata yang lain.
“Celaka, dia
harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus
anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang
anaknya yang gemuk-gemuk.
“Betul, hayo
serbu!”
“Cari
senjata!”
“Panggil
Lo-suhu di kelenteng, minta jimat!”
Ramailah
kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang
hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam
senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa
palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita
yang cukup pemberani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula
datang membawa pisau dapur atau besi pengorek api!
Mereka
bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena
mendengar penuturan tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang
menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman
dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun
ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan
yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani
bernapas.
Di luar
pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa
pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya,
termasuk si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan
melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos
maju ke pintu sambil membentak.
“Siluman
jahat! Kami sudah mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin
kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan si Hwesio karena kakek
ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci,
siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur
dan... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun
manusia!
“Eh, mana
dia...?” tanya suara meragu.
Si Tukang
Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan
mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang ke luar,
kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!
“Lihat...!”
Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang.
“Lihat air ini...!”
Semua orang
memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia
seperti yang tadi diceritakan si Gendut tukang kedai. Betapa pun juga, bukti
bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya menghitam, membuat mereka
masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada siluman rase.
“Tentu ia
menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam goa,” kata
si Tukang Kedai.
“Omitohud...!
Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini..., pinceng harus membuat
sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan
keperluan sembahyang...,“ kata si Hwesio.
Terdengar
semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa
mereka harus mengeluarkan sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah
beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah
pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium
bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka
perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak
ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara
mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau
siluman!
***************
Siang-mou
Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas
Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan
meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan
ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh
Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan
kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apa lagi ia ingin sekali membawa lari
Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah
bocah ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari
sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai
seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang
Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han
Ki, cucu ketua Beng-kauw. Maka ia tidak mau berhenti dan terus melakukan
perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san
ia mendarat, lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat
pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah,
membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa
dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan ilmu
Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan
hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!
Han Ki biar
pun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi
anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut
perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia
memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu mengamuk dan
berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou
Sin-ni adalah seorang yang semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan.
Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum
akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak
ini. Akan tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.
“Kau
makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan makanan
yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh
anak ini menjadi agak kurus.
“Tidak sudi!
Kau makanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil
memandang dengan mata melotot.
Sesudah
begitu, mau tak mau terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan
dengan menotok leher, membuat Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja
mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini
hanya bisa memandang penuh kemarahan.
Pagi hari
itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di
atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang
terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah
Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan
segar dan pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe,
menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mukjijat,
yaitu ilmu Hun-beng-to-hoat!
Sambil
bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini
mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu
binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh
mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal
dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou
Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biar pun matanya melotot penuh perlawanan,
namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu
mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini,
namun sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak
tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah
telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali
Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki
ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang
juga amat tabah dan betapa pun dahulu ia pernah menyiksanya.
Kam Bu Sin
sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan
ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya
dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau
menyerah sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang
yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan
ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!
Teringat
akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni.
Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan
tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang
panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya
menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.
Han Ki yang
tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun
ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan.
Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha
mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia merasa betapa di dalam
pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian
hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan
kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada
punggungnya.
Siang-mou
Sin-ni sudah duduk bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai
menembus tulang punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu.
Ia lalu menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan
mengendorkan semua tenaga.
Dalam
melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus ‘mengosongkan’ diri dan karena inilah
maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan
dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuh bagian dalamnya
yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan
disedotnya itulah yang akan menjadi ‘bahan bakar’ bagi penyempurnaan ilmunya
Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu
melawan orang sakti mana pun juga di dunia ini!
Setelah keadaan
dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke
depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu
menghisap!
Hawa di
dalam pusar Han Ki bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar
biasa adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya,
sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang
diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah
digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di
dalam tubuh.
Biar pun ia
belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara
menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya
bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi
punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan
mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk
menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan
seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa
segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan...
jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya
terbelalak. Ia begitu kaget sehingga tanpa disadari lagi ia sudah menarik
mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut terarik,
keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu
sendiri tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti
dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang
yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk
bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas
terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan
kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum
panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada
Siang-mou Sin-ni.
“Blessss...!”
Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou
Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya
bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.
“Krakk...!”
Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa
tulang iganya patah-patah!
Namun
Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapa pun sakti dan kuatnya,
namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan
lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling
dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian
menggeliat-geliat dan akhirnya dia tak bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang
dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang
anak kecil berusia sebelas tahun!
Apakah yang
telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan
hanya darah dan sumsum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang
di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan
Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal
ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu
sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh
hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya.
Sebagai
seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja
serentak bangkit dengan pengerahan sinkang dan menolak atau melawan hawa dingin
ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia
tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biar pun
kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan
hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula.
Akan tetapi
begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan
tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja
akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam
tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh
anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan
hawa di dalam pusar. Kini tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini
amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh
totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi,
pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti
mabok. Betapa pun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia
lebih dulu sadar dari pada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil
membunuh musuh besarnya dengan jarum si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena
Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biar pun jantungnya sudah tertembus jarum,
pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkanbeberapa tulang iga anak itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimkasih telah berbagi
ReplyDelete