Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 04
KARENA TIDAK
MENGERTI, Kwi Lan sama sekali tidak merasa heran mengapa layar perahu itu tidak
dipasang. Untuk menyeberangi sungai sebesar Sungai Kuning ini, tentu dibutuhkan
layar agar penyeberangan dapat berjalan cepat. Akan tetapi empat orang itu
hanya mendayung saja sehingga perahu bergerak lambat, malah hanyut oleh air.
Kuda hitam yang tinggi besar dan gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik,
keempat kakinya menggigil ketika melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi,
Kwi Lan berdiri tegak memegangi kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
“Nona,
orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan tentang sepak terjang Nona di
Thian-liong-pang dan menyebut Nona Mutiara Hitam. Bolehkah lohu tahu, siapa
sesungguhnya namamu dan dari perguruan manakah? Lohu sendiri disebut orang
Huang-ho Tai-ong, bernama Ma Hoan.”
Kwi Lan
tidak menaruh curiga kepada kakek ini, juga tidak memperhatikan nama mau pun
julukannya, akan tetapi karena kakek ini menolongnya menyeberang, ia
menganggapnya orang baik. Dengan acuh ia menjawab, “Si Berandal sudah menjuluki
aku Mutiara Hitam, biarlah selanjutnya orang mengenalku dengan nama itu juga.
Aku tidak terikat dengan perguruan mana pun.”
Kakek ini
mengerutkan alisnya. Gadis yang cantik jelita, akan tetapi sombong sekali,
pikirnya. “Mutiara Hitam, julukan yang bagus. Nona, kenapa engkau mengacau
Thian-liong-pang? Mengapa memusuhinya?”
“Aku tidak
memusuhi Thian-liong-pang dan tidak ada urusan apa-apa antara mereka dan aku.
Hanya aku tahu bahwa orang-orang Thian-liong-pang bukan manusia baik-baik, pula
pengecut. Beraninya hanya melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!”
Pada saat
itu Ma Hoan tertawa bergelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air.
Ketika Kwi Lan melihat ke kanan kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia
ketahui, telah muncul empat buah perahu kecil yang mengurung perahu yang
ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga bercat hitam dan setiap buah perahu
ditumpangi enam orang bersenjata golok.
“Ha-ha-ha,
Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong!
Engkau sudah berada dalam cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki
Thian-liong-pang? Ketua Thian-liong-pang adalah kakakku, tahukah kau?”
Kwi Lan
memandang tajam dan teringatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya
adik Ma Kiu ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak
anak buahnya, tentu dia adalah kepala bajak sungai dan dia kini berada dalam
bahaya!
“Bagus,
kalau begitu kau sudah bosan hidup!” kata Kwi Lan.
Sekali
tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut dan menerjang, merupakan
sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho Tai-ong Ma Hoan dan empat orang
pendayung perahu. Kuda hitam meringkik ketakutan, empat orang itu berteriak
keras dan terjungkal ke luar dari perahu. Akan tetapi dengan gerakan cepat
sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang ke atas sebuah di antara
perahu-perahu kecil yang mengurung perahu besar.
“Tangkap
dia, gulingkan perahu!” Ma Hoan berseru, memberi komando kepada anak buahnya.
Kwi Lan
mendengar ini menjadi kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggulingkan
perahu, dia dan kudanya celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan,
tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke atas sebuah perahu kecil terdekat. Sambil
meloncat ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok di tangan menyambutnya. Terdengar
suara keras dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan seorang di
antara mereka malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang
lainnya cepat-cepat meloncat ke dalam air dengan panik.
Begitu
perahu kecil yang diinjaknya itu terus bergoyang-goyang dan miring, Kwi Lan
sudah menggenjot tubuhnya lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma
Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat menawan Ma Hoan, ia tentu akan
celaka. Di darat ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh orang itu,
akan tetapi di air? Melawan seorang di antara mereka saja belum tentu ia
menang.
Ma Hoan
tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak akan menjadi kepala bajak
kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan pandai bermain di air. Melihat tubuh
gadis perkasa itu berkelebat meloncat ke arah perahunya, ia mengenal bahaya
dan... cepat-cepat ia melempar diri ke dalam air! Dua orang anak buahnya di
perahu itu yang tidak keburu terjun menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan
terjungkal di air.
Keadaan
menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari
perahu ke perahu. Namun para bajak itu sudah lebih dahulu terjun ke air dan
mulailah mereka berusaha menggulingkan perahu di mana Kwi Lan berdiri. Gadis
ini tentu saja tidak mau digulingkan ke dalam air. Ia bermain loncat-loncatan
dari perahu ke perahu.
Akan tetapi
karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apa lagi
karena bajak-bajak menggulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah
berdiri di atas perahu yang terbalik tidak mempunyai tempat lagi untuk
meloncat. Kuda hitam besar sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar
digulingkan. Ketika perahu terbalik yang diinjak Kwi Lan itu tiba-tiba
tenggelam, ia masih dapat meloncat ke atas dan... tak dapat dicegahnya lagi
tubuhnya jatuh terbanting ke dalam air yang bergelombang!
Kwi Lan
pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah ia terbanting ke
air. Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki
tangannya! Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh. Tubuhnya terasa
dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat api unggun dan ternyata ia
telah berada di dalam goa besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan
tubuhnya tidak tertutup pakaian sama sekali!
Kenyataan
ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati dan cepat-cepat ia menutupkan
kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir pingsan lagi saking kagetnya.
Ia tahu bahwa ia telah tertawan, dan bahwa orang telah menanggalkan semua
pakaian dari tubuhnya. Kemudian ia mendengar betapa di situ terdapat banyak
orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Baru sekali ini Kwi Lan mengenal
rasa takut, maka dengan jantung berdebar ketakutan ia mendengarkan tanpa
membuka matanya.
“Ma-totiang,
aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan
bahwa antara Nona itu dan aku tidak ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua
hal itu bukan menjadi halangan bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang
memalukan ini. Betapa pun juga, kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami. Kalau
sekarang engkau melakukan perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti
akan menodai nama besar Thian-liong-pang?”
“Eh,
Siangkoan-kongcu! Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki
mengambil seorang wanita yang disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti
engkau iri hati dan engkau sendiri suka kepada wanita pengacau itu. Betulkah?”
“Tidak,
Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita mana saja yang disukainya, akan
tetapi kalau wanita itu mau. Engkau merobohkannya dengan akal curang, dan
hendak memaksanya secara keji. Mendiang ayahku seorang ketua Thian-liong-pang
tidak pantang melakukan apa saja kecuali sikap curang dan pengecut. Kalau kau
mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk memperlakukan
orang yang kau kalahkan sesuka hatimu. Akan tetapi melihat betapa tadi dia
dilawan secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh sebagai
seorang gagah aku tidak akan mendiamkan saja. Ma-totiang, agar jangan kita
menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kau bebaskan dia!”
“Bocah,
berani engkau membuka mulut besar? Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa
dan aku ini orang macam apa bisa kau perintah sesukamu? Biar pun mendiang
ayahmu pernah menjadi ketua Thian-liong-pang, akan tetapi ayahmu bukanlah
sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar Sin-seng Losu dan masih adik
seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan
tetapi jangan kau keterlaluan karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua
saudara Cap-ji-liong juga tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang
dengan jalan mereka!”
Hening
sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu matanya dan melihat bahwa yang
bertengkar adalah pemuda tampan berambut panjang dan sai-kong yang menawan
dirinya. Tiga orang anggota Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan
melihat pandang mata mereka terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak
berpihak kepada si Pemuda. Kwi Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan
perasaannya yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan
tenaganya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki
tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya penuh hawa amarah yang hebat, sukar
baginya untuk mengumpulkan hawa murni.
“Ma-totiang,
bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain
yang menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara
tentang perbuatanmu sekarang. Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta,
sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan. Engkau adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedikit banyak mengerti tentang kegagahan.
Engkau adalah seorang yang sudah tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang
hendak memperkosa seorang gadis...?”
“Huh, bocah
bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa? Lancang kau menuduh orang...”
“Engkau
masih berani menyangkal? Melihat keadaan Nona ini....“
“Ha-ha-ha!
Memang dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat memperkosanya. Melihat
pandang mata anak buah Thian-liong-pang, mungkin mereka itu mempunyai niat
demikian! Ha-ha, aku sama sekali bukan hendak memperkosa, melainkan ingin
menggunakan dia membantu menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia
seorang gadis yang memiliki Iweekang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan
darah yang sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali
kuambil semua kekuatan Im-kang dari tubuhnya...”
“Keji! Aku
tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang mencipta dan melatih
Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kau lengkapi dengan pukulan
Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun)..., akan tetapi mengapa menggunakan
Im-kang seorang gadis...?”
“Ha-ha-ha,
Siangkoan Li! Kau kira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak perlu,
hanya perlu kau ketahui bahwa aku perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin
Swe-jwe (Ganti Obat Cuci Sumsum). Sudahlah, kau pergi saja dan jangan
menggangguku lagi.”
“Tidak!
Kalau engkau lebih dulu membebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya
secara jantan, biar dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah
tidak akan turut campur. Akan tetapi melihat dia ditawan dengan akal keji dan
kini akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam saja!”
“Bagus!
Memang anak tidak akan berbeda dengan ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari
Thian-liong-pang, engkau pun....”
“Tutup
mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!” bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut
pedangnya.
Huang-to
Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau terluka, mencabut
pedangnya dan menyerang pemuda itu. Karena goa itu kurang luas untuk
bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian lawannya, pemuda yang bernama
Siangkoan Li itu lalu meloncat ke luar goa dikejar oleh Ma Hoan. Segera terjadi
pertandingan hebat di luar goa, di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara
senjata mereka saling beradu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih
berusaha menekan kemarahannya dan membebaskan diri dari totokan.
“Sam-sute,
bagaimana baiknya sekarang?” terdengar seorang di antara tiga anggota
Thian-liong-pang berkata. Mereka bertiga masih berada di dalam goa itu, kini
memandang ke arah Kwi Lan dengan mata terbelalak penuh kagum dan gairah.
“Biarkan saja
mereka bertempur,” kata suara lain yang parau. “Ma-totiang adalah adik kandung
Pangcu (Ketua), dan Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita
boleh campur tangan? Lihat, alangkah hebatnya Nona ini. Hemmm... selagi mereka
bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan bagus ini?”
“Sam-suheng
benar!” kata suara ke tiga. “Aku pun selama hidupku belum pernah melihat yang
seindah ini. Aku rela nanti dimarahi Ma-totiang atau Siangkoan-kongcu...”
Tiga orang
anggota Thian-liong-pang itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh
nafsu. Sebetulnya mereka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong,
bukan pula orang-orang mata keranjang, sungguh pun mereka juga tak dapat
disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi Lan, menyaksikan
kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat bentuk tubuh yang
demikian menggairahkan, mereka tak dapat lagi menguasai hati dan menyerah
kepada bujukan iblis nafsunya.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah yang
berkeringat dengan mata berkilat-kilat seperti mata binatang kelaparan itu
makin mendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut menghadapi ancaman maut
sekali pun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan bahwa kini ia terancam
malapetaka yang jauh lebih mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sudah
mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat terkumpul bulat-bulat sehingga
belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya masih lemas, lumpuh tak
bertenaga.
“Sam-sute,
Hok-sute, kalian mundurlah. Aku sebagai Suheng kalian dan yang paling tua,
biarkan aku mendekati dia lebih dulu.”
“Ah, tidak,
Suheng! Aku yang mengusulkan lebih dulu!”
“Sam-suheng,
aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!”
Tiga orang
murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor
oleh nafsu iblis itu kini saling berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini
saling betot dan agaknya mereka akan saling jotos karena sudah mulai memaki.
Melihat ini Kwi Lan maklum betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia
yang seperti anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar
gelisah, perasaannya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan tenaga
dan hawa murni di tubuhnya sehingga akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan
suara rintihan karena putus harapan.
Tiba-tiba
dari luar goa menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali mengenai jalan darah
di leher dan pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil
yang tepat telah menotok jalan darahnya dan... seketika Kwi Lan merasa betapa
jalan darahnya pulih kembali! Kaki tangannya dapat ia gerakkan dan biar pun
masih kesemutan, namun ia segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia
sudah menyambar pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut goa.
Dengan
jari-jari tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada
detik-detik berbahaya itu, namun dengan amat cepat, Kwi Lan mengenakan
pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu berkelebat cepat ke arah
pintu goa ketika ia melihat tiga orang Thian-liong-pang berusaha lari ke luar.
Kejadian ini amat cepatnya.
Ketika tiga
orang Thian-liong-pang tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka
tidak tahu bahwa calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan berpakaian.
Setelah akhirnya seorang di antara mereka melihat Kwi Lan dan berteriak kaget,
mereka semua menoleh dan serentak mereka kini berlomba lari ke arah pintu goa
untuk menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai itu. Namun
tiba-tiba di depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan tercium bau harum,
tahu-tahu mereka sudah melihat Kwi Lan menghadang di depan pintu goa dengan
pedang Siang-bhok-kiam yang harum di tangan!
Wajah yang
cantik jelita itu tersenyum, senyum manis sekali, akan tetapi sinar matanya
tajam bagaikan pedang dan dingin seperti salju! Tiga orang anggota
Thian-liong-pang itu melangkah mundur dengan muka pucat dan bergidik ngeri.
Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya jalan ke luar untuk lari telah
dihadang oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu
melihat tiga orang lawannya mundur-mundur ketakutan, kini melangkah maju pula
perlahan-lahan. Ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata, namun pandang
matanya dan senyumnya telah membayangkan ancaman yang menyeramkan, dan tiada
caci maki dari mulut lebih jelas membayangkan kemarahan yang meluap-luap itu.
Tiga orang yang mundur terus akhirnya sampai mepet di dinding batu goa.
Terpaksa mereka berhenti, saling pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan
tubuh menggigil. Mereka tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor
kucing yang hendak mempermainkan mereka lebih dahulu sebelum menjatuhkan
terkaman maut.
Tiga orang
itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka merogoh saku dan mengeluarkan senjata
rahasia mereka, yaitu perluru-peluru bintang Sin-seng-piauw yang menjadi
senjata utama para anak buah Thian-liong-pang. Tidak semua anggota
Thian-liong-pang mewarisi ilmu silat Sin-seng Losu, akan tetapi mereka semua
diharuskan melatih penggunaan senjata rahasia Sin-seng-piauw ini. Senjata
rahasia ini bentuknya seperti bintang, kecil namun berat dan pada ujungnya yang
runcing diberi racun.
Seperti
mendapat aba-aba saja, tiga orang itu menggerakkan tangan menyambit dengan Sin-seng-piauw.
Belasan buah peluru bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar
Siang-bhok-kiam, semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau dinding
kanan kiri gadis itu. Tiga orang anak buah Thian-liong-pang itu adalah anggota-anggota
tingkat rendah, kepandaian mereka masih terlalu rendah bagi Kwi Lan. Mereka
menjadi makin ketakutan dan menghamburkan senjata-senjata rahasia mereka sampai
habis. Sebuah pun tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini
memperlebar senyumnya
Sambil
berteriak-teriak seperti orang gila saking takut dan nekat, tiga orang itu lalu
menerjang maju, memutar golok dan membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi
Lan menggerakkan pedangnya yang berkelebatan seperti kilat menyambar.
“Trangg...
tranggg... tranggg...!”
Tiga batang
golok itu patah-patah dan yang berada di tangan mereka hanya tinggal gagangnya
saja! Kembali mereka mundur-mundur sampai mepet dinding dan rasa takut mereka
ini memuncak. Melihat betapa gadis itu sambil tersenyum-senyum melangkah maju
dengan pedang di tangan, mereka bertiga hampir menjadi gila. Lutut mereka
menggigil dan akhirnya mereka tak dapat menahan diri lagi, jatuh berlutut
sambil memohon-mohon ampun dan menangis!
“Menjijikkan!”
Kwi Lan berkata perlahan akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali sampai
lenyap berubah gulungan sinar hijau menyambar-nyambar.
Terdengar
jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika gadis itu melangkah ke luar dari dalam
goa, di bawah penerangan api unggun tampak tiga tubuh manusia bergelimpangan di
atas lantai goa itu, tanpa tangan dan kaki lagi! Darah membanjir merah.
Mengerikan sekali tubuh yang hanya tinggal kepala dan badan itu, kaki tangan
mereka buntung dari pangkalnya! Kini tiga orang itu hanya bisa
menggerak-gerakkan kepala dengan mulut mengerang kesakitan dan mata terbelalak,
masih ketakutan. Namun satu-satunya bagian tubuh yang masih dapat bergerak,
kepala itu, tentu takkan lama bergerak karena mereka tak mungkin dapat hidup
lagi dengan darah mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar
betapa di luar masih terjadi pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan
keras dan ketika ia meloncat ke luar dari dalam goa, ia melihat betapa pemuda
tampan yang menolongnya tadi dikeroyok oleh banyak orang yang membantu Huang-ho
Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu hebat sekali permainan pedangnya. Biar pun Ma Hoan
mengeroyoknya dengan bantuan tujuh orang anak buahnya, namun pemuda itu masih
saja menekan mereka dengan gerakan-gerakan pedang yang amat kuat. Belasan orang
anak buah bajak bersuitan dan mengurung. Biar pun ilmu pedangnya hebat, pemuda
itu terkurung oleh banyak sekali bajak yang rata-rata memiliki kepandaian
lumayan.
Kwi Lan
melompat, pedang Siang-bhok-kiam berkelebat dan terdengarlah jerit susul
menyusul di antara anak buah bajak yang mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau.
Kwi Lan yang merasa benci sekali kepada Ma Hoan, berhasil membuka jalan darah
mendekati Ma Hoan dan langsung mengirim tikaman berantai ke arah dua puluh
tujuh jalan darah lawan.
“Hayaaaa...!”
Ma Hoan terkejut sekali seperti disambar petir.
Repot ia
menggerakkan pedang untuk menangkis dan mengelak. Setiap tangkisan membuat
pundak kanannya tergetar dan dadanya panas, sedangkan setiap elakannya hanya
berselisih sedikit sekali dari sambaran pedang lawan sehingga berkali-kali ia
berteriak kaget dan mencium bau harum pedang lawan yang menyeramkan hatinya.
Betapa pun lihainya Ma Hoan, namun menghadapi ilmu pedang Kwi Lan yang amat
aneh, ia hanya mampu mempertahankan diri dan terhuyung-huyung mundur sambil
berteriak-teriak memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok.
Ada pun
pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok banyak bajak sungai, namun mereka ini
bukanlah lawan si Pemuda yang gagah perkasa. Sebentar saja mereka berseru
kesakitan dan banyak di antara mereka yang mundur. Namun tak seorang pun
terluka berat karena pemuda ini sengaja tidak mau menurunkan tangan maut.
Biar pun
dikeroyok banyak orang, Kwi Lan mengamuk dan sudah lima orang anak buah bajak
roboh tewas oleh pedangnya. Kwi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring
ketika ada empat orang bajak menubruknya dengan golok dari depan, sedangkan Ma
Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang empat orang ini, agaknya hendak
lari. Seketika empat orang di depannya itu menjadi lemas dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Kwi Lan untuk meloncati kepala mereka mengejar Ma Hoan!
Sebelum tubuhnya turun, pedangnya sudah menyambar ke arah leher lawan yang amat
dibencinya ini. Ma Hoan terkejut sekali dan mengerahkan tenaga menangkis dengan
pedangnya.
“Tranggg...!”
“Celaka...!”
seru Ma Hoan ketika pedangnya menjadi patah oleh pedang gadis itu dan pundaknya
terasa sakit karena tertusuk pedang.
Ia cepat
menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus bergulingan, sedangkan para anak
buahnya kembali maju menyerbu Kwi Lan. Dengan demikian, kepala bajak itu
tertolong dan sekali tubuhnya meloncat, ia lenyap dalam gelap. Dengan pundak
berdarah Ma Hoan berlari cepat menuju ke sungai. Ia pikir kalau ia bisa sampai
ke sungai, berarti nyawanya selamat karena sekali terjun ke air, gadis itu
tentu takkan dapat mengejarnya lagi. Ia bergidik kalau mengingat betapa hebat
ilmu kepandaian gadis itu dan juga menyesal mengapa ia gagal mendapatkan hawa
murni Im-kang dari gadis yang sehebat itu. Diam-diam ia marah dan gemas kepada
Siangkoan Li.
Hatinya
girang setelah ia mendengar suara air. Sungai Kuning terbentang di depan dan ia
mempercepat larinya menghampiri pantai. Ia melihat di dalam gelap sesosok
bayangan hitam di pantai dan dikiranya bayangan itu seorang di antara anak
buahnya, maka ia menghampiri sambil berteriak, “Lekas sediakan perahu...!”
Akan tetapi
kata-katanya terhenti dan ia berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan
rambutnya berdiri satu-satu. Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain
adalah Kwi Lan, Si Mutiara Hitam! Gadis ini tersenyum manis dan pedang di
tangannya tergetar.
Huang-ho
Tai-ong Ma Hoan bukanlah seorang penakut. Sebagai kepala bajak yang sudah
belasan tahun merajalela di sepanjang Sungai Kuning, entah sudah berapa
banyaknya manusia tewas di tangannya dan ia dapat membunuh orang tanpa berkedip
mata. Akan tetapi sekarang menghadapi seorang gadis yang tersenyum-senyum manis
di depannya, ia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali! Baru
sekarang ia merasa apa yang dirasakan oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri
menghadapi bahaya maut.
Akan tetapi
sebagai seorang jagoan, ia segera dapat mengubah rasa takut ini menjadi
kemarahan dan kenekatan. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti suara
srigala marah, ia menerjang maju dan kedua telapak tangannya memukul berbareng
dari kanan kiri lambung. Inilah sebuah jurus Bi-ciong-kun dan dari kedua
telapak tangannya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biar pun ilmu yang ganas ini
belum terlatih sempurna, apa lagi tenaga beracun Tok-hiat-ciang belum jadi sepenuhnya,
namun sudah hebat bukan main. Seorang lawan yang tanggung-tanggung saja
kepandaiannya mungkin masih dapat menangkis atau mengelak dari pukulan, namun
sukar untuk menyelamatkan diri dari pada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan
menghadapi pukulan ini dengan tenang. Melihat lawannya tidak bersenjata lagi,
ia pun tidak menggunakan Siang-bhok-kiam di tangannya. Dengan pengerahan tenaga
dalam, tangan kirinya menyampok dan hawa pukulannya menyambut serangan lawan,
kemudian kakinya menendang. Tubuh Huang-ho Tai-ong terlempar ke belakang!
Kaget bukan
main kepala bajak ini. Bukan hanya gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan
secara aneh sekali kakinya sudah menendangnya sampai terjengkang beberapa meter
jauhnya. Ia makin panik dan takut, lalu melompat bangun dan... membalikkan
tubuhnya lari kembali ke tempat tadi. Setidaknya di tempat pertempuran tadi ia
masih dapat mengharapkan bantuan anak buahnya, dari pada menghadapi gadis setan
ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan untuk menyelamatkan diri terjun
ke air sudah ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan bingung hati kepala bajak ini ketika ia tiba
di depan goa tadi, di situ telah sunyi, tidak ada lagi pertempuran dan tidak
tampak seorang pun anggota bajak sungai! Selagi ia hendak lari lagi ke kiri,
tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan... lagi-lagi si Gadis jelita telah berada
di depannya.
“Perempuan
siluman!” Ia membentak dan dengan nekat menubruk maju dengan kedua lengan
terpentang, untuk memeluk dan kalau perlu mengajak mati bersama.
Tampak sinar
hijau berkelebat, disusul pekik mengerikan dari kepala bajak itu dan darah
menyembur ke luar dari dadanya ketika Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh
tersungkur, mendekap dada dengan kedua tangan, berkelojotan dan tewas tak lama
kemudian.
Kwi Lan
berdiri memandang korbannya. Baru lenyap sekarang sinar matanya yang
berkilat-kilat dan senyumnya yang dingin. Sambil menarik napas panjang ia
memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam sarungnya.
“Mereka
memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang layak mati, akan tetapi kau terlalu
ganas, Nona.”
Kwi Lan
cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat pemuda tampan yang rambutnya dibiarkan
terurai di atas punggung itu, pemuda yang bernama Siangkoan Li, yang tadi telah
menolongnya dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut. Pemuda itu berdiri di
mulut goa dan tampak gagah membelakangi sinar api unggun yang agaknya masih
menyala di dalam goa itu.
Teguran ini
seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan tetapi mengingat bahwa
pemuda ini sudah menolongnya, ia menekan perasaan marahnya dan bertanya, suaranya
ketus. “Aku membunuh dia dengan sebuah tusukan, mengapa kau bilang ganas? Apa
yang kau maksudkan?”
Pemuda itu
mengerutkan keningnya dan wajahnya yang tampan itu tampak makin
sungguh-sungguh. “Huang-ho Tai-ong sudah layak mati dan tusukan pada jantungnya
sudah tepat. Yang kumaksudkan adalah pembunuhan yang kau lakukan kepada tiga
orang anggota Thian-liong-pang. Mengapa kau begitu ganas membuntungkan kaki
tangan mereka, membiarkan mereka menderita hebat sebelum mati?”
Pertanyaan
yang penuh teguran ini bagi Kwi Lan dirasakan seperti tantangan. Ia segera
membusungkan dada, menegangkan leher dan memandang tajam.
“Hemm,
kulihat engkau memakai pengikat kepala dan permata kuning seperti yang dipakai
Cap-ji-liong. Engkau seorang tokoh Thian-liong-pang. Apakah engkau kini hendak
membalas atas kematian tiga ekor anjing di dalam goa itu?”
Pemuda itu
memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling tentang, akan tetapi
pemuda itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata,
nada suaranya penuh penyesalan. “Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah
sepatutnya karena dia mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga
orang Thian-liong-pang di dalam goa itu, mengapa kau menyiksa mereka? Dan
mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika
diadakan upacara pengangkatan ketua baru?”
“Huh! Orang
sendiri biar kotor selalu dianggap bersih! Tiga orang itu bukan manusia, mereka
hanya tiga ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak...
hendak... berbuat kurang ajar, mereka seperti anjing-anjing yang kotor...!”
Pemuda itu
menghela napas. “Ah, sudah kusangka demikian...! Makin lama makin rusaklah nama
Thian-liong-pang bersama rusaknya watak mereka...! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa
kau membunuh mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan
dorongan kebencian dan kemarahan bukanlah sikap seorang gagah.”
Kwi Lan
makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan menghardik. “Kau ini
seorang tokoh Thian-liong-pang, apa kau kira seorang gagah? Apakah
Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah? Huh! Kulihat dengan mata sendiri
bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan orang-orang jahat. Dalam pesta
perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang adalah orang-orang dari
golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan dua belas orang gadis culikan!
Dan ketuanya diangkat dengan upacara penyembelihan dan penyiraman darah anjing.
Perkumpulan apa ini? Dan kau yang menjadi tokohnya masih berani bicara tentang
sikap seorang gagah?”
Aneh sekali.
Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran kepada Kwi Lan, setelah
menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba saja berubah air mukanya. Ia
mengerutkan keningnya, wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia
menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menarik napas panjang berkali-kali dan
mengeluh. “Disalah-gunakan... disalah-gunakan...!” Dan ia pun menangis!
Kwi Lan
tercengang menyaksikan perubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau
membawa kehendak sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak
mengenal budi. Melihat keadaan pemuda ini, hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa
disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu di depan pemuda itu, lalu
berkata, “Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu. Aku hanya memaki
Thian-liong-pang. Biar pun kau seorang tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau
lain dari pada mereka. Engkau sudah menolongku tadi dan budimu itu sungguh amat
besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih sekali. Engkau sudah menentang
Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau sudah
memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil.”
Pemuda itu
menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan. Kemudian berkata
dengan suara berduka. “Aku tidak peduli andai kata kau mencaci maki diriku. Dan
aku tentu akan menyerangmu andai kata makianmu terhadap Thian-liong-pang tidak
benar. Akan tetapi apa yang kau katakan adalah benar dan keadaan
Thian-liong-pang seperti itulah yang menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk
Thian-liong-pang, akan tetapi dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang
ini... bagaimana mungkin aku membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi... tidak
berdaya...!”
Timbul rasa
suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki
ilmu kepandaian tinggi seperti telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil
dan dengan sepak terjangnya dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya,
juga memiliki kesetiaan namun tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain
dari perkumpulannya itu.
Dengan suara
halus ia berkata. “Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa
kau bernama Siangkoan Li dan menjadi cucu luar si Kakek Sin-seng Losu. Seorang
seperti kau ini, bagaimanakah bisa berada di tengah-tengah mereka yang kotor
seperti mereka itu?”
Siangkoan Li
menundukkan mukanya. “Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku
sebagai seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah
perkasa, seorang pendekar seperti engkau ini?”
“Pendekar?
Siapa bilang aku pendekar?”
“Ah, tidak
perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap (Pendekar Wanita) dari
perguruan tinggi yang terkenal maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau
hidup di dunia yang bersih, yang menjujung tinggi kegagahan, yang selalu
bertindak membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Sebaliknya aku,
aku hidup bergelimang dosa dan kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam....”
“Ihhh, kau
ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar? Aku sama sekali bukan seorang
lihiap. Aku seorang perantau, tidak datang dari perguruan mana pun juga. Guruku
bukan orang terkenal, dan andai kata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah
mendengar namanya. Aku sama sekali bukan penegak kebenaran dan keadilan, bukan
pendekar, dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja. Yang memusuhi aku,
tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali.
Engkau baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap
musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar bagaimana kau bisa terlibat
dalam Thianliong-pang.”
Mula-mula
pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya,
kemudian berkata perlahan, “Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya
bedanya, engkau bebas dan aku terikat....” Ia meraba permata kuning yang
menghias dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai
bercerita.
Thian-liong-pang
tadinya merupakan perkumpulan orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han
yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa
patriot membentuk perkumpulan Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali
wilayah Hou-han yang sudah tertumpas musuh. Perkumpulan ini dipimpin oleh
seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera seorang
bekas panglima Kerajaan Hou-han.
Di bawah
pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran
gerilya dan sering kali melakukan pengrongrongan terhadap Kerajaan Sung. Karena
perkumpulan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu saja sukar
untuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula orang-orang dari dunia hitam
yang memiliki kepandaian masuk pula menjadi anggota. Di antara mereka ini
terdapat seorang pelarian dari barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain
adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi
pula. Hal yang lumrah terjadilah, Siangkoan Bu jatuh cinta kepada puteri
Sinseng Losu dan kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini lahirlah
Siangkoan Li.
Sin-seng
Losu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga ketua Thian-liong-pang,
yaitu mantunya sendiri mengangkatnya sebagai guru untuk para anggota
Thian-liong-pang. Dengan kedudukan ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah
ayah mertua Siangkoan Bu, maka Sin-seng Losu merupakan orang ke dua setelah
mantunya di dalam perkumpulan. Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul
penjilat-penjilat, yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke
dalam Thian-liong-pang. Mulailah Sin-seng Losu menyimpang dari pada jalan
bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.
Orang-orang
gagah yang melihat gejala-gejala busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang
menjadi marah dan tidak senang sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap
Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang dihormat dan disegani, mereka masih
dapat menahan sabar. Tentu saja, sebagai seorang yang bijaksana Siangkoan Bu
maklum pula akan keadaan ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh
banyak anggota yang berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba
susah. Mau ditindak, kakek itu adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat
merusak nama baik perkumpulan.
Akhirnya,
pada suatu hari Siangkoan Bu berhasil merampas tiga belas butir permata kuning
milik pembesar tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan
Sung, lalu menggunakan permata-permata kuning itu sebagai tanda kekuasan. Ia
memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di antaranya dia
sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang ia tahu
adalah orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati sebagai dewan pimpinan yang
memakai hiasan dari permata kuning. Mereka yang memakai tanda ini berhak untuk
mengambil keputusan demi kebaikan Thian-liong-pang, di antaranya berhak
menghukum para anggota yang menyeleweng!
Dengan
adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa tersudut dan tidak berani lagi
melakukan penyelewengan-penyelewengan secara berterang. Akan tetapi malapetaka
menimpa keluarga Siangkoan Bu dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi
bentrokan dengan jagoan-jagoan Kerajaan Sung, Siangkoan Bu dan isterinya tewas
dalam pertempuran hebat.
Semenjak
itulah kekuasaan tertinggi jatuh ke tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu
kepandaiannya paling tinggi ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia
sayang, yaitu para penjilat terdiri dari Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang
lain-lain, tidak ada tokoh lain yang berani menentangnya. Bahkan satu demi satu
para patriot mengundurkan diri sehingga tiga belas buah permata kuning terjatuh
ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat diri menjadi ketua Thian-liong-pang.
“Demikianlah,
Nona. Sebuah permata, yaitu bekas milik ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar)
diberikan kepadaku untuk kupakai, sedangkan yang dua belas diberikan kepada
para suheng, murid Gwakong.”
“Cap-ji-liong
itu?”
“Benar, kami
diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang
menjadi peraturan perkumpulan kami.”
Hening
sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan
kepada Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa hidup di antara
orang-orang jahat dan merasa tidak berdaya karena yang mengepalai orang-orang
jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di samping kenyataan ini, juga ia telah
bersumpah setia sebagai pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang
yang kini berubah menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih,
wajahnya tak pernah berseri karena batinnya selalu tertekan.
“Aku seorang
anggota dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya, karena aku masih cucu luar
orang pertama Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku
untuk menceritakan semua ini kepada seorang seperti Nona. Akan tetapi... aku
tidak bisa diam saja melihat kau dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena
itu... biar pun merupakan penghinaan terhadap perkumpulan, aku... aku nekat
turun tangan....”
Kwi Lan
memegang kedua tangan pemuda itu. “Siangkoan Li, kalau begitu... yang menolong
aku dan Berandal keluar dari sumur itu... engkaulah orangnya?”
Siangkoan Li
menundukkan mukanya yang menjadi merah. “Aku seorang pengkhianat kotor...
aku... aku akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali...! Hidup
bagiku sudah memuakkan, lebih baik menyusul ayah dan ibu...”
“Siangkoan
Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut
seperti itu? Orang yang bosan hidup dan mengharapkan kematian adalah seorang
pengecut yang tidak berani menentang kesulitan hidup, demikian kata guruku.
Biar pun semua orang menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan
tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!”
“Kam Kwi
Lan? Itukah namamu, Nona...?”
Kwi Lan
terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan namanya secara tak
sadar. Karena sudah terlanjur, ia lalu berkata, “Benar, itulah namaku. Nama
julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si Berandal.”
“Si
Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di
mana dia sekarang?”
“Dia pergi
mencari ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan
menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kau lakukan?”
Dalam
percakapan tadi, ketika si Nona memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu
tampak sedikit cahaya gembira. Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali
wajahnya menjadi muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah
pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam telah
mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.
“Aku harus
mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima
hukuman.”
“Ah, mengapa
begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang
kejahatan!” teriak Kwi Lan penasaran.
Tiba-tiba
Siangkoan Li melompat bangun. “Tidak! Tak mungkin! Thian-liong-pang adalah
perkumpulan yang didirikan oleh mendiang ayahku. Ayah dan ibuku telah
menyerahkan nyawa mereka untuk Thian-liong-pang, masa aku harus melarikan diri?
Meninggalkan Thian-liong-pang? Tidak, Kwi Lan. Aku takkan mundur biar pun harus
menghadapi kematian.”
“Tapi, orang
tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, mereka mati sebagai
pahlawan-pahlawan utama. Akan tetapi kau... kau hendak menyerahkan nyawa
sebagai seorang pengkhianat Thian-liong-pang? Selagi Thian-liong-pang dikuasai
orang-orang jahat?”
Siangkoan Li
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Betapa pun juga, masih ada
Sin-seng Losu di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwakong (Kakek Luar)
bagiku. Andai kata tidak ada dia, tentu aku sudah akan mengadu nyawa dengan
Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang!”
“Marilah
kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita
berdua akan dapat menghancurkan mereka! Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi
dari pada Cap-ji-liong....”
Siangkoan Li
mengangguk. “Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut. Mereka itu
terhitung Suheng-suheng-ku sendiri karena aku pun mendapat pelajaran ilmu silat
dari Gwakong, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang Guru yang ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Gwakong.”
“Siapakah
mereka itu?” Kwi Lan bertanya kagum.
Siangkoan Li
menggeleng kepala. “Tidak boleh kusebut, sungguh pun andai kata kukatakan juga,
kau takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan
dalam hal nama ini. Kau bilang gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi
kurasa gurumu masih jauh lebih terkenal dari pada guruku yang benar-benar tak
ada seorang pun mengenalnya.”
Tiba-tiba
Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya menegang. Kemudian ia memegang
tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil berkata,
“Sudahlah, Kwi Lan. Mereka sudah datang. Selamat berpisah. Kau percayalah,
pertemuan ini merupakan satu-satunya hal yang paling menyenangkan hatiku selama
hidupku dan sampai mati pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu.” Setelah
berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya dan dengan langkah
lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan.
Kwi Lan
berdiri di depan goa dengan hati bimbang. Biar pun pemuda itu sudah dua kali
menolongnya, akan tetapi pemuda itu bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan
bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan
dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada Thian-liong-pang dan begitu bodoh
untuk menyerahkan diri minta dihukum, peduli apakah dengan dia? Berpikir
demikian, Kwi Lan juga mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Ia masih gemas
kala mengingat kuda hitamnya yang hilang. Matikah kuda itu? Hanyut dan
tenggelam? Ataukah terampas para bajak?
Pemuda yang
aneh, kembali ia berpikir tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk
melupakan pemuda itu begitu saja. Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda
itu ketika hendak berpisah, ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling
menyenangkan hatinya selama hidupnya! Sampai mati pun pemuda itu takkan
melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa betapa mukanya menjadi panas. Jantungnya
berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Berandal menyatakan cinta kasihnya
kepadanya di dalam sumur.
Siangkoan Li
merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan mencolok dalam sikap
mereka. Hauw Lam selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya,
Siangkoan Li selalu muram dan sedih. Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan
kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li menimbulkan keharuan. Akan tetapi
keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama lihai dan keduanya sama amat baik
kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari ibu kandungnya, dan Siangkoan Li...
pergi mencari maut! Ah, tidak boleh begini! Ia harus melarangnya, harus
mencegahnya!
Kwi Lan lalu
pergi mengejar. Siangkoan Li sudah tak tampak lagi bayangannya, akan tetapi
karena waktu itu matahari telah mulai muncul mengusir kegelapan, ia dapat lebih
mudah mencari pemuda itu. Ia mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho
dalam keadaan... terbelenggu kedua tangannya dan sedang dimaki-maki oleh
Sin-seng Losu, disaksikan oleh seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek
kurus berjenggot lebat.
Siangkoan Li
hanya menundukkan mukanya dengan kening berkerut, kelihatan berduka sekali.
Melihat keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di
situ hanya terdapat tiga orang Thian-liong-pang, biar pun yang seorang adalah
tokoh terbesar, Sin-seng Losu. Andai kata Cap-ji-liong lengkap berada di situ
sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li.
Pemuda itu telah dua tiga kali menolongnya, tidak hanya menolongnya dari pada
bahaya maut, bahkan dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
“Sin-seng
Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan Siangkoan Li!” bentaknya sambil muncul dari
belakang batang pohon dengan pedang di tangan.
Seorang di
antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi seperti Siangkoan Li
menoleh dan mukanya menjadi marah sekali ketika ia mengenal Kwi Lan. Secepat
kilat tangan kirinya bergerak dan pada saat yang sama Siangkoan Li berseru.
“Thio-suheng...
jangan...! Nona Kam, jangan turut campur...!”
Namun
terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan
tetapi gadis ini menggerakkan pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw
sedangkan tangan kirinya sudah menyebar jarumnya ke arah anggota Cap-ji-liong
itu. Orang she Thio ini cepat meloncat untuk mengelak, namun kurang cepat
karena Kwi Lan melepas jarum secara luar biasa sekali.
Ia melepas
dengan gerakan sekaligus, namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah
terpecah menjadi dua rombongan. Rombongan pertama menyerang cepat sekali
sedangkan rombongan kedua, biar pun disambitkan dalam waktu yang sama, lebih
lambat dan merupakan jarum penutup jalan ke luar sehingga ke mana pun juga
lawan mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum rombongan ke dua ini.
Anggota
Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk sebatang jarum yang
amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit dan dagingnya. Seketika
tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan!
“Wuuuttt...
singgg...!”
Masih untung
bahwa Kwi Lan mempunyai kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh.
Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir menyentuh tanah untuk mengelak
sambaran pedang yang amat luar biasa itu. Ketika ia berjungkir balik memandang,
kiranya yang menyerangnya adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi
Lan terkejut juga. Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat dari
pada orang-orang Cap-ji-liong! Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang
Thian-liong-pang yang menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu tentu
bukan orang Thian-liong-pang.
Ia memandang
penuh perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa
dia telah melatih semacam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan
jenggotnya awut-awutan tak terpelihara, juga kotor seperti seorang pengemis
terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti pakaian pengemis. Agaknya seorang
pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus tak
berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali.
Orang ini
berdiri memandangnya dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan
perasaan sesuatu, juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.
“Susiok,
harap jangan layani dia! Nona Kam, kau pergilah...!” Kalimat terakhir itu
ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang mata penuh kedukaan.
Hati Kwi Lan
makin tidak tega, maka ia menghadapi kakek berpedang itu sambil mengejek,
“Kalian bebaskan dia atau... pedangku harus bicara?”
“Sute (Adik
Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini!” Sin-seng Losu berkata.
Kini tahulah
Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan Sinseng Losu, pantas saja
Siangkoan Li menyebutnya paman guru. Ia melihat betapa orang itu menggetarkan
pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya tergetar hebat, lalu
menjadi kaku dengan jari-jari membentuk cakar garuda. Kemudian tubuh orang itu
menubruk ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang sedangkan tangan kirinya
mencakar ke arah mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu
ataukah jari-jari tangan kiri itu. Keduanya mengeluarkan angin pukulan yang
bersuitan dan amat kuatnya.
Sambutan Kwi
Lan atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi
Lan memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti dari pada
ilmu silat Kam Sian Eng bahwa setiap serangan lawan merupakan pintu yang
terbuka dan merupakan kesempatan untuk dibalas serangan yang mematikan! Tanpa
mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah meloncat tinggi ke atas
sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua kakinya dan berbareng pedang
Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak menyambar ke bawah membabat tangan kiri
lawan yang mencakarnya tadi.
Kakek itu
membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah yang menyatakan
bahwa ia merasa kaget sekali karena bagian muka yang lain tetap seperti kedok.
Namun ternyata ia lihai sekali. Karena tidak keburu menarik kembali lengan
kirinya yang kini menjadi sasaran pedang lawan, ia segera membuang diri ke
belakang sehingga roboh terlentang sambil memutar pedang di depan dada dan
bergulingan. Secepat kilat ia sudah bangun kembali dan kini mereka sudah
berhadapan lagi. Keduanya sama maklum bahwa lawan adalah seorang yang lihai.
Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek, menanti serangan lawan.
Kakek itu
kini menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali.
Pedangnya membacok-bacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling
namun tak pernah berhenti mengikuti bayangan dan gerakan lawan. Kwi Lan
memperlihatkan kegesitannya, terus mengelak dengan sedikit miringkan tubuh
sehingga pedang lawan menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan
kadang-kadang kelihatan seperti sudah menyerempetnya! Makin lama makin gencar
serangan aneh dan hebat ini. Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak
pernah berhenti menyerang dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah dua
puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan segesit
burung walet. Gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang Siang-bhok-kiam berubah
menjadi sinar hijau bergulung-gulung yang makin lama makin luas lingkarannya
dan betapa pun lawannya memutar pedang setelah lewat lima puluh jurus, sinar
hijau mulai menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.
Kakek ini
sebenarnya bukan orang sembarangan. Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar
Siauw-bin Lo-mo paman guru Sin-seng Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah
menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan Sin-seng Losu. Karenanya jarang ia
bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suheng-nya itu
untuk mempersiapkan tempat istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung
ke Yen-an, ia bertemu seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu
menandinginya, bahkan kini mendesaknya dengan ilmu pedang yang hebat dan luar
biasa, dimainkan dengan sebatang pedang kayu pula!
“Auuuggghhhh...!”
Hebat sekali pekik yang keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat
ini, bukan seperti suara manusia lagi, dahsyat dan liar, lebih mirip suara
binatang buas atau suara iblis. Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu
menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan
tekanan-tekanan berat!
Kwi Lan
adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pelbagai ilmu yang
aneh-aneh dengan cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih
puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir, apa
lagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini,
jantungnya tergetar dan tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia
terhuyung-huyung ke belakang.
Ada satu hal
yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak
pernah mau kenal apa artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena
kelemahan orang menghadapi ilmu semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan
takut. Kalau hati merasa gentar, makin hebat pengaruh ilmu itu sehingga mungkin
tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut.
Karena
hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar saja
dan Kwi Lan sudah dapat menetapkan perasaannya lagi. Pedangnya mulai
memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja kembali ia telah
mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak pengalamannya, namun
menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih di bawah bimbingan seorang
jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali, tak dapat menduga-duga
bagaimana perubahan pedang itu sehingga menjadi mati kutu!
“Eh, budak
cilik, kau kurang ajar sekali!”
Seruan ini
keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan
kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini
adalah senjata rahasia Sin-seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang
dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya
seperti bintang, akan tetapi terbuat dari pada perak berkilauan dan karena
kakek ini yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya
pun hebat luar biasa!
“Gwakong
(Kakek Luar), jangan...!” terdengar Siangkoan Li berseru kaget.
Kwi Lan
maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi
pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatiannya kurang
sepenuhnya terhadap datangnya serangan Sin-seng-piauw. Ketika ia melirik, ia
kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri
bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi
yang kecepatannya menyilaukan mata.
Celaka, Kwi
Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar
pedangnya. Namun bagaikan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan
menyambar seperti gila. Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua
piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap di
betis kaki kirinya. Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan
begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan
Iweekang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging
betisnya.
Pada saat
tubuhnya masih di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya. Lebih
hebat lagi, pada saat yang bersamaan Sin-seng Losu sudah mengerahkan sinkang di
lengan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar
ditangkis!
“Auhhhh...
hehhh... kau berani... berani...?” Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan
tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah
ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang terbelenggu!
Melihat ini,
Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat,
mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular saja
menggeliat aneh di udara namun pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya,
langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.
“Iihhh...!”
Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik
lengannya, namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan
pedang hingga terluka dan darahnya bercucuran. Si Muka Mayat ini meloncat ke
belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang
perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut.
Akan tetapi
Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis! “Gwakong... kau tak boleh membunuhnya... tak boleh...!” Pemuda
itu mengeluh berkali-kali.
“Anak
keparat, cucu durhaka... hehhehhh... berani kau... huh-huhh... kubunuh kau...!”
Sekali
meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan
Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh
ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu
berdiri dengan muka pucat, dengan napas senin kamis dan di ujung mulutnya
menetes-netes darah segar!
Diam-diam
Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang
lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian
pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li,
kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat
kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?
“Kalian ini
dua orang tua bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke
neraka!” Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan
kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya
dan pemuda itu berkata dengan nada sedih.
“Jangan, Kwi
Lan. Dan lekas kau keluarkan obat pemunah jarummu untuk Suheng-ku. Lekaslah,
harap kau sudi melihat mukaku dan menolongnya.”
Kwi Lan
melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa
masih nekad hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat bahwa sudah
berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk menolak permintaan itu.
Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus kecil obat bubuk dan
berkata, “Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya.”
Siangkoan Li
menerima bungkusan itu, memberikan kepada suheng-nya. “Thio-suheng, kau
pakailah ini!”
Akan tetapi
suheng-nya malah membuang muka dan menghardik. “Tutup mulutmu, pengkhianat!”
Siangkoan Li
mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suheng-nya yang
masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata,
“Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para
suheng-ku datang, engkau tentu akan celaka dan aku tidak akan mampu menolongmu
lagi.”
Kwi Lan
mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. “Huh, kau tidak takut mati, apa kau
kira aku pun takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu.”
“Nona... Kwi
Lan... aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!”
“Aku pun
tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama
meninggalkan tempat ini!”
“Jahanam
besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat ayahmu membalik di dalam kuburnya!
Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam
apa ini?!” Sin-seng Losu sudah memaki-maki lagi.
“Kwi Lan,
aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa,
biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan
jangan membikin aku mati penasaran karena kau menderita celaka.”
Kini Kwi Lan
menjadi marah. Dengan pedang di tangan ia membentak, “Siangkoan Li! Engkau ini
pemuda macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang
Thian-liong-pang, akan tetapi ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati,
seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan golongan orang jahat.
Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin ayahmu itu, aku tidak akan merasa
heran apa bila engkau mengambil sikap seperti ini, bersetia sampai mati.
Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati,
yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakong-mu
yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu
memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya, melainkan orang-orangnya yang
menyeleweng dari pada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan
pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang yang sudah melepas
budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu dengan taruhan nyawaku. Pernah guruku
bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling
memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang
kelaliman! Demi untuk kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman,
biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan!”
Hebat
kata-kata ini, apa lagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian
merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk dari
pada kemurtadan anak terhadap orang tua, walau pun demi membela kebenaran! Ini
hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak waras.
“Dengar...!
Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siangkoan Li, kau
berani murtad terhadap Kakekmu?”
Sambil
berlutut Siangkoan Li berkata, “Tidak, Gwakong, aku tidak berani...!” kemudian
ia menoleh ke arah Kwi Lan. “Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah
datang...!”
“Biarkan
mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau
sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!” kata Kwi
Lan dengan suara tetap.
“Celaka...!
Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka
lengan kanannya. “Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang
pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan
dapat melawannya.”
Akan tetapi
Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini
dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun,
menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru. “Kalau begitu, demi keselamatanmu,
kita pergi...!”
Kwi Lan ikut
berlari, membiarkan dirinya ditarik Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru,
“Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama.”
“Hushhh...
diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari.
Mari...!”
Mereka lari
memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui
jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan
orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan
ini.
Akhirnya
setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak
gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ
teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun
pohon yang lebat.
“Mari
kuputuskan belenggu,” kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi
pemuda itu merenggut kembali tangannya. “Untuk apa? Setelah menyelamatkan
engkau, aku akan kembali menyerahkan diri.”
Kwi Lan
marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan
telunjuknya kepada Siangkoan Li. “Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati
baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang
pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah? Kalau kau memang
amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang
seperti Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma
Kiu dan lain-lain? Kalau kau lakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi
perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada
mendiang ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kau
lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah,
kalau kau berkukuh hendak mengerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi
Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku
seribu kali lebih berharga dari pada matimu yang seperti kematian seekor
kecoa!”
Pucat wajah
Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan
mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian
Siangkoan Li menarik napas panjang. “Aku bingung dan ragu-ragu... agaknya
engkau benar... biarlah akan kutemui kedua orang Suhu-ku dan minta nasehat
mereka...! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi
pengkhianat!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga
menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan... belenggu besi itu
rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan
tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian
tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang
sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
“Bagus
Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum
percaya betul. Bagaimana kalau kau lakukan ini hanya untuk mengelabui aku?
Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu
beberapa lama. Sekarang engkau hendak ke mana?”
“Ucapan-ucapanmu
mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena
itu, jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang guruku. Aku hendak
mengunjungi mereka.”
“Kedua orang
gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku
ikut!”
“Eh, tidak
bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu
dengan orang lain. Kecuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang,
bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?”
Kwi Lan
tersenyum. “Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan
tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan,
sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang,
aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku
tidak? Marilah kita berangkat!”
Siangkoan Li
mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan
tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.
“Baiklah,
Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau
kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak
kecil bergelimang dalam dunia yang kotor.”
Berangkatlah
dua orang itu melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li
bedanya sejauh bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama
Hauw Lam. Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa
dan gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan
lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda yang pendiam
dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan.
Di sepanjang
jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara.
Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut! Akan tetapi
Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata
pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar
mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya.
Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di
hatinya.
Sebelas hari
lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun pegunungan
Lu-liang-san, masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah
selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang
memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di
sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh
keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang
kecil dan sederhana sekali.
“Kita sudah
sampai,” kata Siangkoan Li.
“Apa? Di
dusun ini?”
Siangkoan Li
menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. “Di puncak sana itu.”
Kwi Lan
memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit
dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.
“Bangunan
apakah itu?” tanya Kwi Lan.
“Itulah kuil
dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang
merupakan partai persilatan besar di daerah ini.”
“Ahhh, kedua
orang gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?”
Siangkoan Li
menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan
kekesalan hatinya.
“Apakah
dugaanku keliru?”
Pemuda itu
mengangguk dan menghela napas panjang. “Kedua orang guruku adalah...
orang-orang hukuman di kuil itu...!”
“Apa...?”
Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
“Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggota-anggota Lu-liang-pai yang
menyeleweng?”
“Bukan.
Mereka bukan hwesio, tapi... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman
di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan, tidak
mudah menemui mereka di sana. Kalau ketahuan para hwesio, tentu aku akan
ditangkap. Karena itu kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku
seorang diri pergi menghadap kedua orang guruku.”
Kwi Lan
mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol ke
luar, “Siangkoan Li, keadaan gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat
menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di kuil Lu-liang-pai?”
Setelah
berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia
tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena
cerita itu amat aneh.
“Terjadinya
ketika ayahku masih hidup. Ayah adalah ketua Thian-liong-pang yang pada waktu
itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal
baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang
ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan
diajak oleh ayah.” Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan
dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan...
Sebagai
seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan
mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka
diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang. Para hwesio
dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat taman
bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam
kembang hidup subur di situ.
Akan tetapi
Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan
bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan kuil Lu-liang-pai.
Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebarnya empat meter
lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi
jembatan.
Dasar
Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu
merasa penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya. Maka biar pun sungai itu
terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai
renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang.
Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai
sebagai galah loncatan, sampai jugalah ia di seberang dengan kaki dan pakaian
berlepotan lumpur.
Ia berjalan
terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya
menginjak lubang yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan
melayang ke bawah! Dia seorang anak pemberani dan karena ketika terbanting di
dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar
lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap,
ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu
mempunyai terowongan.
Akhirnya
setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah
dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek yang
bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka
compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau,
rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua
kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan
tulang-tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas
telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi jenggotnya
lebat dan panjang.
Keduanya
sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain
rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali
sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tembok!
“Heh-heh,
Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah
mampus dan berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?” Si Muka Merah
berkata sambil terkekeh-kekeh.
“Huh,
sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?” kata si Muka Putih dengan
nada dingin dan mengejek.
Melihat
keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biar pun Siangkoan Li seorang anak
yang pemberani, ia merasa seram juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya
terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang
buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah
memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang
sangat tua, ia lalu bertanya. “Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng
di sini?”
Dua orang
kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang
muka putih bersungut-sungut.
“Kau bocah
dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?” tanya
yang muka putih.
Siangkoan Li
terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat
jantungnya berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia
menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
“Bukan. Aku
bernama Siangkoan Li dan bersama ayahku berkunjung kepada para Lo-suhu di
Lu-Liang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang.”
Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ke tempat itu.
“Ayahmu
Siangkoan Bu ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha!” Kakek muka merah itu tiba-tiba
bergerak maju dan... menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih
berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat
mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi
kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin
dapat lolos ke luar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa
banyak susah?
Siangkoan Li
adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah
dilatih silat. Melihat keadaan ini, sungguh pun ia tidak mengerti dan
terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki
ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Harap suka
memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah
orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!”
Si Muka
Merah tertawa tergelak. “Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas
Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh, bocah,
maukah engkau menjadi murid kami?”
Siangkoan Li
kaget, dan juga girang sekali. Sudah sering kali ia mendengar dari ayahnya
tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan sering kali mimpi betapa akan
senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia
berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid! Ia
menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan
hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, “Teecu akan
merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!”
“Ang-bin
Siauwte ( Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid
kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?” tegur si Muka Putih.
“Heh-heh-heh!
Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah
pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil
nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami.
Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal
di sini menemani kami sambil belajar!”
Siangkoan Li
terkejut sekali. “Tapi... tapi... teecu belum memberitahukan hal ini kepada
Ayah...!” bantahnya dengan muka pucat.
Si Muka
Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar.
“Hah, boleh kau coba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan
lebih dulu melayang!”
Siangkoan Li
takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup
mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang
gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ternyata
dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.
“Demikianlah,
Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang guruku itu.”
Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan
muka amat tertarik. “Selama itu belum pernah kedua orang Suhu itu
memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua
tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah
meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku
tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku
harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku
dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang
dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?”
Kini Kwi Lan
mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata,
“Memang sudah paling tepat kalau engkau menemui kedua orang gurumu itu untuk
minta pertimbangan dan nasehat mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu
lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang
gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan
pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang
sudah runtuh nama baiknya itu. Cap-ji-liong harus dibasmi, kakekmu harus
diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh
yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siangkoan Li.”
“Eh, jangan...!
Berbahaya sekali...!”
Kwi Lan
mencibirkan bibirnya. “Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita
boleh lihat saja!”
“Bukan,
bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat
itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi... kedua orang guruku
itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu.”
“Betapa pun
anehnya mereka, belum tentu seaneh guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka
itu begitu gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah,
aku tidak takut!”
Siangkoan Li
habis daya. Ia merasa tak sanggup menang jika harus berbantahan dengan gadis
ini. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat terhadap
Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang kalau mereka berdua akan
mengalami malapetaka bersama sekali pun, apa lagi yang disesalkan? Tidak ada
paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam
ia malah merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis
jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti
rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu
kepandaian mereka, dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati
tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok
belakang. Menurut keterangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat
tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang kuil
Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi
di balik pepohonan.
“Siangkoan
Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?” tanya
Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.
“Entah,
kedua orang guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka.”
“Kalau benar
demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa.”
“Memang aku
masih ingat cerita ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan
tetapi aku tidak percaya mereka mampu mengalahkan kedua orang guruku. Buktinya,
kalau kedua orang guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar
dari kerangkeng? Agaknya memang sengaja kedua orang guruku tidak mau keluar.”
“Aneh
sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”
Tiba-tiba
terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang.
Dua batang piauw (senjata rahasia) menyambar di atas kepala mereka. Dua orang
hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi, mereka memandang ke
sekeliling dengan pedang siap di tangan.
“Aneh
sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?” kata seorang
di antara mereka.
“Benar
sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang
menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh
besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua berjaga dengan
hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan
menjelang habisnya hukuman, teman-temannya yang jahat datang untuk menimbulkan
kekacauan di sini.”
“Kau benar,
Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua
bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka
tidak roboh malah lenyap seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan
kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka!”
Mendadak
saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh
mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran
dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini.
Memang pemuda ini memiliki keahlian menotok jalan darah dengan sambitan
kerikil, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di
dalam goa yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang.
Setelah merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan
dan cepat-cepat mengajaknya berlari ke luar dari taman itu menuju ke sungai
yang melintang di belakang.
“Terpaksa
kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhu-ku
terhalang.” kata Siangkoan Li.
Berbeda
dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus
dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan
melompati sungai yang melintang. Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu
mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpun alang-alang. Ia khawatir
kalau-kalau kedua orang suhu-nya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi
mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya kedua orang suhu-nya bebas?
Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar hari ini.
Dengan mudah
Siangkoan Li mendapatkan sumur yang tertutup alang-alang itu. Ia memberi
isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya, kemudian ia melompat masuk. Dengan
ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak
sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan.
Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di
dasar sumur, Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba
ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.
Ketika tiba
di sebuah tikungan terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu,
tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara
maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan
keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil memandang ke depan.
Kiranya dua
orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari
kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang menari-nari. Akan
tetapi luar biasa hebatnya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan
hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat!
Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil
memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah sambil
memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke
arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata maki-makiannya bukan
ditujukan kepada dua orang muda ini.
“Heh, Bu Kek
Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus
kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau
masih hidup atau pun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami
Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti
Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu!
Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya
untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah
orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek
Siansu?”
Suara kakek
yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan
tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan
itu merasa betapa lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua
orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak
melihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap
sedangkan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang
menerobos masuk dari lubang dan celah-celah di atas.
Kehebatan
gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka
dan membuat mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang
tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li
ini. Akan tetapi mereka bingung dan tidak mengerti mengapa ke dua orang kakek
itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang
mereka tantang?
Nama Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang
amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek ini
memang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah
membikin geger Kerajaan Khitan dengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan
dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena
mereka dihalangi oleh Suling Emas, Lin Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu
di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang
kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada
orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu Kek Siansu!
Siapakah Bu
Kek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini,
walau pun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Di antara
para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek
Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah
dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta
petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh
dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena
kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapa pun juga! Bu Kek Siansu tidak
mempunyai tempat tinggal tertentu, atau lebih tepat tak seorangpun tahu di mana
adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak
disangka-sangka.
Lima belas
tahun yang lalu, setelah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari
Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya, sepasang kakek sakti ini tiba di
Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan
hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi
pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio
Lu-liang-pai dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas
di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Dua orang
kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara
tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa
ini membuat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi
wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di
dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.
Hari itu
tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti
yang ditentukan dalam janji mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu
memanggil-manggil dan memaki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak
memegang janji.
“Hayo, Bu
Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang
pengecut?” kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara
Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek
ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengerikan.
Tiba-tiba
terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki
terowongan itu dari luar, suaranya halus dan merdu, perlahan-lahan namun amat
jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara
ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka
masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil
menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
“Heh-heh-heh,
engkau benar datang, Bu Kek Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.
“Hoh, ke
sinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu,
tua bangka!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada
jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar,
mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu
makin lama makin mereda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi
Lan mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati
suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin
lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun seakan-akan gema
suaranya masih terdengar memenuhi telinga, dan suasana tenang damai serta
tenteram masih terasa menyelubungi hati.
“Siancai,
siancai(damai, damai)...! Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang
sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat
hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia dari pada
kerbau...!” Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara
yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li
dan Kwi Lan yang masih tiarap tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas
kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya
lewat di atas mereka memasuki terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena
tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali. Rambut dan jenggotnya
sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan
sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat
datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang
kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang
bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan
aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sendirinya!
“Dengarlah,
sahabat berdua. Kita ini kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus
bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh
merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji.
Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gemblengan sehingga aku
percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga.”
“Bu Kek
Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu
kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami
tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang tidak
bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari
ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas
tahun yang lalu!” kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
“Tidak
peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan
kami!” kata pula Pak-kek Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk
kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu.
Bu Kek
Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan
lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya, lalu mandi dan tidak
bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang
bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya dan tidak mau
membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh
dan patut disesalkan?”
Pak-kek
Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian si Muka Merah itu
tertawa. “Ha-ha, Bu Kek Siansu. Kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai
melakukan kejahatan. Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian,
tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!”
“Hendak kami
lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad
ini!” kata Pak-kek Sian-ong penasaran.
“Siancai...
Siancai... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada
gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding?
Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak
ada lagi, dunia bukan makin aman. Namun kini muncul tokoh-tokoh baru
menggantikan kedudukan mereka. Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan
sekali mereka itu bersatu padu, bukankah peri-kemanusiaan terancam bahaya
hebat? Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada
kegunaannya. Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air
memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah
dikurniai kepandaian tinggi, layakkah kalau tidak digunakan untuk sesuatu
kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa
gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan
aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf.”
“Heh, Bu Kek
Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu
kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami
lima belas tahun yang lalu.”
“Benar
kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata si Muka Putih. “Yang lain-lain perkara kecil,
kalau kami kalah lagi, selanjutnya kami akan menurut.”
Bu Kek
Siansu menarik napas panjang. “Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari
menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas
oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang
selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji-wi tidak
membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku,
harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya
tokoh-tokoh iblis yang kumaksudkan tadi.”
Kembali dua
orang kakek itu saling pandang. Betapa pun juga, mereka masih merasa gentar
menghadapi manusia setengah dewa itu. Biar pun mereka selama lima belas tahun
ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu
memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul
Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin
membunuhnya, melainkan mereka haus akan kemenangan. Apa pun juga caranya, kalau
mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apa lagi kalau kemenangan
ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu, si manusia dewa di bawah tangan
mereka!
“Baik, aku
akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!” kata Si Muka Merah.
“Aku pun
memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Terserah,
tiga kali juga baik,” kata Bu Kek Siansu tenang.
“Kau tidak
boleh menangkis!” kata pula Lam-kek Sian-ong.
“Dan tidak
boleh mengelak!” sambung Pak-kek Sian-ong.
“Baik, aku
tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali
pukulan Ji-wi.”
Siangkoan Li
dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua
ini menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin
pukulan mereka saja tadi sudah menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek
yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari
masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak mau pun
menangkis?
Kwi Lan
bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah
duduk di dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam
hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap
orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap
seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu. Ia sangat kagum ketika
mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam
hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan
kakek itu tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan.
Ia semenjak
kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan.
Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan
dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan
kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti
yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan
begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti
kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek
Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan
tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja.
Angin pukulan dahsyat menyambar.
“Desss...!”
Tubuh Bu Kek
Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah
menerima pukulan tanpa menangkis mau pun mengelak. Pukulan yang amat keras dan
menggeledek.
“Ang-bin
Siauwte, bergantian!” teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju.
Lam-kek
Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan
akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap
pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada
kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergantian, ia mendapat
kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas
tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi
mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas,
tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh
agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan
Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang,
kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga
Im-kang.
“Cesss...!”
Kembali
tubuh Bu Kek Siansu tergetar, bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka
kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai
sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapa pun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan
dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali
kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat.
Seperti juga
Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan
seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat
mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang
amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata, mengumpulkan tenaga dan mengatur
pernapasannya.
Ketika
Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba
lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata.
Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek
Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat
untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa
berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong
adalah seorang ahli dalam penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek
Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin. Jika sekaligus menghadapi dua
pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam
tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu?
Mustahil
kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi
buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur
ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemukulan kedua secara
berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh
kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta
itu tentu akan terpukul mati.
“Bresss...!”
Hebat bukan
main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong
menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sianong menampar lambung
dalam saat berbareng. Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun
kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara
keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk!
Akan tetapi
kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung.
Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan
dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan
tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Senyum itu masih belum
meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya
mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Dua orang
kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari
ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa
mereka telah mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa
sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka
sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa
lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek
Siansu dan... mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan! Betapapun
juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku nekat. Pukulan ke tiga
sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang
berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi
tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan
Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua
gurunya sambil berseru.
“Harap Suhu
berdua jangan melakukan pemukulan lagi...!”
Akan tetapi
Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan
telunjuknya dan berkata, “Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal
malu sama sekali! Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama
sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian
juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?”
Lam-kek
Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang
terjadi itu telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa
murid mereka berani mencampuri urusan ini, bahkan berani pula mengajak datang
seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu
mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang
pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan
terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak
tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka
itu lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang
menghalang di jalan.
“Pergilah
kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi Lan dan
Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar.
Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi
aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan ke
luar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa
tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba
di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan
tertotok!
Benar-benar
pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti
datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh
mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa! Akan tetapi tiba-tiba mereka
merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat
di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan sebelum tangan kedua orang kakek
itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu
berseru keras lalu roboh terjengkang!
“Minggirlah,
anak-anak!” terdengar bisikan dari belakang.
Kwi Lan
berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat
mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu
dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua
orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang
kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan
mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka
berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa
ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak
dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri! Sinar
mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput
dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan
tersenyum, kakek sakti ini berkata.
“Perjanjian
harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali
lagi.”
Dua orang
kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama
sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguh pun pengerahan tenaga dalam yang
luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi
memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!
Menyaksikan
keraguan mereka, Bu Kek Siansu berkata lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah
Ji-wi merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh
kepada Ji-wi. Biar pun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun
tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa
mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi
hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua.”
Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini
melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata, “Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek
Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku
bersumpah akan mentaati semua pesanmu!”
“Benar,
sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata
pula Pak-kek Sian-ong.
Kemudian
sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah
dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan
tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan,
terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan
terguncang merenggut nyawa.
“Dukkk...!”
Dua orang
itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan
hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah
mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh
Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya
masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah
segar!
Dua orang
kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek
Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul
tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan
mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini?
Bu Kek
Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.
“Siancai... siancai... legalah hatiku sekarang... kejahatan yang merajalela di
dunia akan menghadapi lawan berat...”
“Siansu,
mengapa mengorbankan diri untuk kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu
bertanya.
“Siansu,
kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Anak-anak
yang baik,” kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua
orang anak-anak kecil saja. “Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah
oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul,
yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri
sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf
dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat
berpisah.” Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan
terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan
mulut tersenyum!
Sungguh aneh
bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak.
Lam-kek Sian-ong si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan
menyembunyikan mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek
Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak
tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua
peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun
peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan
penuh keheranan.
Siangkoan Li
segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek
itu. “Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu...”
Mendadak
Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh, lalu membentak, “Aku tidak
mempunyai murid macam engkau!”
Kaget sekali
hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. “Suhu, harap maafkan teecu. Teecu
datang menghadap mohon nasehat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal.
Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong.
Apakah yang teecu harus lakukan...?”
Kini Lam-kek
Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan
mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, “Engkau orang
jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan! Pergi... dan bawa pergi
perempuan liar ini keluar dari sini!”
“Suhu...!”
Siangkoan Li merintih.
“Cukup!
Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan ayahmu menjadi
runtuh berantakan. Kau kira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak
sudi mempunyai murid macam engkau!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Heh-heh,
barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta
persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kau bikin dua
orang muda ini kecewa saja!” si Muka Merah mengejek.
Sambutan dan
sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li.
Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia
sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhu-nya ini dahulu ternyata juga
bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian
ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu
lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan.
Wajah pemuda
ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan
semangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada
dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama
sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah. Si Muka
Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment