Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 05
KWI LAN
memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu.
Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah
merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di
samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu
benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani
menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini,
melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa
dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankan lagi. Ia melompat maju
dan memaki.
“Kalian ini
tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid
kalian adalah atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis
kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang
menghadap minta nasehat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak
mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?” Ia lalu memegang lengan
Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan
ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
“Sudahlah,
Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan
pendirianmu kepada orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan
diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini?
Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah
benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu
baru laki-laki namanya!”
“Hi-hi-hik...!”
Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
“Ha-ha-ha-ha!”
Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati
hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya
ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya
itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya mencobanya saja
dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap
menyeringai seperti tadi.
Mereka
berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh
dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan
membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu
akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung
yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis
yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biar pun pakaiannya pengemis,
namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang
berbelanja.
Kini di atas
meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas
meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat
merubungi sisa makanan di atas meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan
duduk melenggut, agaknya tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya
diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi
heran melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya
pun terpelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena
sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu
pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah!
Kwi Lan dan
Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini,
sungguh pun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis
dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya
pengemis ini pun hanya seorang di antara anggota perkumpulan-perkumpulan itu
yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga
Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu
sibuk dengan usahanya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa
lagi kepada si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.
“Sudahlah,
tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang
gurumu itu, betapa pun lihainya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga
menyeleweng dari pada jalan benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling
perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, menghapus semua
yang kotor dan mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat
jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya,”
berkali-kali Kwi Lan menghibur.
“Aihhh...
bukan main...!” Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi
cukup jelas.
Kwi Lan
cepat menoleh ke luar, akan tetapi tidak tampak ada orang di luar. Suara tadi
datang dari luar, ataukah... dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi
bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis
itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam
di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada
orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan
lagi. Mungkin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya
dengan dia.
Siangkoan Li
menghela napas panjang. “Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi,
mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi
insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada
keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong
yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha
mengangkat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kau usulkan.
Akan tetapi....” Ia menundukkan muka dengan sedih.
“Mengapa
lagi? Apa yang menjadi halangan?”
“Selama dua
tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku
telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua
orang guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang
mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot
Hou-han takkan berhasil.”
Kwi Lan
mengerutkan keningnya. Biar pun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis
yang cerdik. Ia dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran
pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba terdengar
suara halus namun kereng dan penuh teguran.
“Huh, bagus
sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun
tangan menggunakan kekerasan!”
Kwi Lan
cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima
orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga
berwibawa. Apa lagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot
panjang dan putih, matanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio
lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan sikap mereka hormat,
menanti perintah. Mereka berlima, semua membawa pedang.
“Celaka,
mereka adalah hwesio-hwesio Lu-liang-pai...,” bisik Siangkoan Li yang segera
bangkit berdiri dan melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang
berdiri paling depan.
“Teecu
Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa
menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan
karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan
kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang-pai.” Siangkoan
Li yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha ‘memperbaiki jalan
hidup’ mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga
diam-diam Kwi Lan mendongkol.
“Omitohud...
baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu.
Sayang, bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada
kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah
larangan. Lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui kau telah menjadi
murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah
melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam
Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak ayahmu mati. Dosa
ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggota
Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah
dengan pelanggaran ke dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan
Li, hayo lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami.”
Siangkoan Li
menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut
pedang Siang-bhok-kiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan,
sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah
hwesio-hwesio itu.
“Hwesio-hwesio
gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian
berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini
hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?”
Para hwesio
itu nampak kaget, bahkan ada di antara mereka mencabut pedang siap menanti
komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan
berkata, “Omitohud..... Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok
Hwesio ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona
murid siapakah?”
“Hwesio tua,
tak perlu aku memperkenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat
Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak
mengadili dia. Kau tidak berhak!”
“Ah, mengapa
semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya
(Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini
adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami.
Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami menganggap Siangkoan-kongcu ini orang
sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak.
Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm... agaknya
pinceng tidak akan berlaku selunak ini.”
Siangkoan Li
membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan
betapa ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw,
sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
“Tua bangka
gundul! Kau bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci
di dunia ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian
adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya
memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa! Kiranya
kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan
mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan
menganggap mereka berdosa! Pantas kalian hendak dibasmi dua orang kakek itu,
dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu
kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah
akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci
anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya
kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!”
“Kwi Lan,
jangan...!” Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis
itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan
tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.
“Thaisu, dan
para Suhu semua, dengarlah! Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama ayahku yang
sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Setelah
kini kupikir baik-baik, aku tidak merasa berdosa terhadap Lu-liang-pai.
Pelanggaran itu bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan
perlu dihukum, boleh. Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku tidak mau dihukum!
Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh! Biarlah aku melakukan
apa yang dahulu kedua orang Suhu-ku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah
gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang
Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!”
Muka Cin Kok
Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda
ini akan berani melawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang
kakek yang hebat itu, ia meragu. Apa lagi di situ terdapat nona muda yang galak
ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu.
Andai kata
dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar
oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka
akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi
Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di
mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia mengetahuinya.
“Omitohud...!
Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti
kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dan berarti pula kami tidak melupakan
persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan
sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba
masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan sebagai putera
sahabat lagi.” Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, “Mari kita
pergi.”
Hwesio tua
itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah ke luar sambil
berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan
Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu mulai
mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
“Engkau
benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri, mempertimbangkan
perbuatan sendiri, kemudian mempertanggung-jawabkannya sendiri pula. Terima
kasih atas segala bantuanmu, Kwi Lan. Sekarang terbukalah mataku. Aku akan
berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah
perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat,
terjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku
untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang
anak seperti aku.” Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan terkepal dan mukanya yang tampan
kehilangan kemuramannya, kini tampak berseri dan bercahaya.
Kwi Lan
tersenyum lebar, menghampiri dan memegang tangan pemuda itu. “Bagus! Sekarang
aku dapat dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li.
Kelak aku pasti akan datang mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu.”
Pemuda itu
memandangnya tajam. “Apa? Kau... kau tidak ikut bersamaku?”
Kwi Lan
menggeleng kepala. “Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh
aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak
meninggalkanmu akan tetapi engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu.
Sekarang engkau dapat berdiri sendiri, Siangkoan Li, dan urusan
Thian-liong-pang bukanlah urusanku, melainkan urusan pribadimu. Betapa pun
juga, aku girang sekali telah dapat bersahabat denganmu. Engkau seorang pemuda
yang amat hebat!”
“Kwi Lan...
ahhh....”
“Ada apa?
Kenapa kau meragu lagi?”
“Kwi Lan...,
terus terang saja... hemm, sekarang ini... terasa amat berat bagiku untuk
berpisah darimu. Tidak... tidak dapatkah kita... eh, bersama selalu...?”
“Ehm...
ehm...!”
Untung
pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil
menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya sehingga suasana tak
enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li itu menjadi buyar seketika.
Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung di mana terdapat pengemis itu
dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan
berkata.
“Maaf, Kwi
Lan. Kembali aku terseret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil
jalan kita masing-masing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih
baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan
selamat berpisah, Kwi Lan!” Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu
seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke
dalam hatinya. Ia memandang mesra kemudian menarik kembali tangannya.
“Selamat
jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu.
Sampai berjumpa pula kelak...”
Dengan wajah
berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama
kemudian ia telah berlari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang
mengikutinya. Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan
memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makanan, ia pun lalu membawa
bungkusan pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
***************
Kita
tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan
perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Marilah kita menengok
keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah disinggung oleh manusia dewa Bu Kek
Siansu ketika memberi nasehat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di
dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat
semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat.
Lenyapnya
enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah
kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apa lagi pemerintah Sung dengan secara tidak
langsung dibantu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan di mana-mana para
pendekar berusaha membasmi golongan hitam sehingga banyaklah golongan hitam
tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang. Untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelundup ke dalam
perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang
dan sebagian besar perkumpulan pengemis sehingga banyaklah
perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar
itu.
Kemudian
timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan
hitam, yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki
kesaktian lebih hebat dari pada mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh
golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia
kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul
sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk
dijadikan semacam ‘datuk’ mereka.
Orang pertama
yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi),
seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan
seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan
hitam kaum wanita yang akhir-akhir ini banyak muncul di dunia sebelah selatan.
Semenjak
dikalahkan oleh Suling Emas, iblis betina ini melarikan diri dan bersembunyi di
sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid perempuan yang cantik-cantik dan
kesemuanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah
barisan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan
tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya
mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua
adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang
namanya menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di
antara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus
lebih orang pengemis golongan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu
mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang besar sekali. Dia ini
dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si Tampan Tanpa Tanding).
Karena
munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, tentu
saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha
untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan
selain lebih lihai dari pada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih
kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak
bicaranya seperti perempuan genit!
Orang ke
tiga adalah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya
Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan.
Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo, salah satu tokoh
Thian-te Liok-kwi (baca cerita CINTA BERNODA DARAH, bagian ketiga dari serial
BU KEK SIANSU). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga
amat kejam, senjatanya sebuah gergaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi
Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan!
Orang ke
tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan
yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh
dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk
dan menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke
empat di antara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah seorang kakek tua
renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo
(Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu ketua
Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya.
Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka
sekarang pun para pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak
sungai.
Orang ke
lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet,
bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini
muncul dari kepulauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan
oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke
daratan tengah.
Sampai kini
belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang
aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama
tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong.
Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai
murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia
kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan
tokoh-tokoh besar!
Pagi hari
itu amat ramai di puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak
gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling sunyi, tak
pernah didatangi manusia karena selain sukar mencapai puncak ini, juga di
sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan sering kali dijadikan
sarang manusia-manusia buas pula. Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san
menjadi pusat pertemuan di antara orang-orang golongan hitam yang sudah
berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh
mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh
dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak
malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada
rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan
besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang
perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan
orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula
yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada
yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang
berpakaian pengemis.
Biar pun
bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang
selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar
dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna,
ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang.
Di antara
banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam
dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh
rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui
bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng
Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak
datang mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan
harimau, binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing,
demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu,
sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka.
Biar pun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak
Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakukan
perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat beramah-tamah, satu
dengan yang lainnya bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa
persahabatan. Dengan bangga mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang bagi
umum merupakan perbuatan jahat, namun bagi mereka merupakan kegagahan dan
keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap
diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang
pergi ketakutan.
Seperti
telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini berkumpul
mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permukaannya
sehingga batu itu dapat dipergunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu
kecil diangkat dan digulingkan di seputar ‘meja’ ini, dijadikan tempat duduk.
Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri
dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang
berkumpul di situ adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita
semerdu ini, serentak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua
percakapan terhenti dan semua mata melotot memandang penuh gairah kepada dua
orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang bergaya tari, menarik
dan menggairahkan.
Dua orang
wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna
merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa
mereka adalah wanita-wanita selatan. Rambut mereka terurai panjang tak
digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang sambil
tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit.
Karena yang
menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang
dan Hek-coa Kaipang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan
rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada
pihak musuh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda
yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan
berkata kepada dua orang wanita itu.
“Selamat
datang di antara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari
golongan manakah dan berdiri di bawah bendera apa?”
Dua orang
wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan
ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang
lebih tinggi berkata, “Kami adalah anggota-anggota Siang-mou-tin, diutus oleh
Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini.”
“Ah, kiranya
Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh
kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni.
Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk,
Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang
wanita itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang
terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar
dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah
mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
“Mari duduk
dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih!”
“Di sini
teduh. Marilah!”
Berlomba
mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan
untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya
dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai mengeluarkan kata-kata
tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang memang sudah biasa
bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua
orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar
senda-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak
senang, namun dua orang wanita anggota Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan
melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka pilih,
melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh,
mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera
mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biar pun
tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini
bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya.
Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para
anggota Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan
pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara
paksa alias merampok!
Dengan
mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang
kaya lalu ‘mengemis’ jumlah tertentu yang harus diberikan oleh si kaya.
Demikianlah praktek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis
golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan
ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan
mahal.
Menjelang
siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih, maka
perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk
persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh
golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah
menghancurkan golongan mereka.
“Sudah
terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain ketua Hek-pek Kai-pang
berkata. “Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja
pengemis kami tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus
sembunyi-sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka.”
“Agar
persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita harus mengangkat seorang bengcu
(pemimpin). Pertemuan ini memang merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan
untuk memilih bengcu. Tentu saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh
yang sakti agar pekerjaan kita jangan sampai gagal!” kata Ketua Hek-coa
Kai-pang. “Kami dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe
Bu-tek Siu-lam!”
Semua
pengemis yang merupakan anggota pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis bertepuk
tangan menyatakan setuju dan mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa
Kai-pang itu.
Mulailah
golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan
calon Sin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya.
Golongan barat diperkuat oleh perkumpulan Thian-liong-pang mengajukan Siauw-bin
Lo-mo. Sebaliknya para penjahat yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak
terjang Thai-lek Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini
sebagai bengcu.
Ramailah
mereka memuji-muji setinggi langit calon masing-masing, menceritakan kehebatan
sepak terjang mereka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang dikatakan
lebih hebat dari pada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal
Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw.
“Bagus!
Agaknya kita tidak kekurangan calon yang hebat-hebat! Sudah ada empat orang
calon kita yang dalam beberapa hari ini akan hadir di sini. Setelah semua calon
berkumpul, barulah dilihat siapa di antara mereka yang paling patut dijadikan
bengcu. Sementara itu, mengingat bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di
antara Thian-te Liok-kwi, jadi merupakan tokoh tua yang patut diingat,
sebaiknya kita mendengarkan suara utusannya yang kini hadir di sini,” kata
Ketua Hek-peng Kai-pang sambil melirik dua orang nona manis yang kelihatan
makin merapat duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa
malu-malu lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang
pasangan mereka.
Mendengar
ucapan itu, dua orang nona manis itu kini dengan manja dan perlahan mendorong
dada pasangan mereka, kemudian tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali
meloncat, gerakan mereka yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah
berdiri di atas batu besar di tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka
kelihatan jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik
pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.
“Seperti
telah kami katakan tadi, kami hanyalah utusan yang ditugaskan oleh guru kami
sebagai peninjau saja. Guru kami menyatakan bahwa beliau tidak tertarik lagi
akan urusan dunia dan tidak menghendaki kedudukan bengcu. Akan tetapi ini bukan
berarti bahwa kami tidak mau bekerja sama dengan anda sekalian. Guru kami
berpesan apa bila bengcu baru sewaktu-waktu bergerak menggempur Suling Emas,
guru kami pasti akan turun tangan membantu. Hanya kalau bentrok melawan Suling
Emas saja guru kami suka berkerja sama. Kiranya cukuplah pernyataan kami dan
selanjutnya kami hanya menjadi peninjau yang tidak mengajukan calon.” Setelah
berkata demikian, dengan langkah menggoyang pinggul mereka kembali menghampiri
pasangan masing-masing yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan
tertawa-tawa.
Ucapan
anggota Siang-mou-tin ini sekaligus membelokkan percakapan mereka yang hadir di
situ dari persoalan pencalonan bengcu menjadi soal musuh-musuh besar mereka.
“Apa yang
dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi memang tepat!” kata seorang di antara para
tokoh dari utara. “Memang Suling Emas merupakan seorang musuh besar kita
bersama. Siapakah di antara kita yang belum pernah terganggu oleh Suling Emas,
baik secara langsung mau pun tidak langsung? Dan jangan dilupakan Ratu Khitan!
Wanita yang kini menjadi Ratu Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas,
bahkan berhasil menjadi ratu karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula
bahwa ratu yang sampai kini tidak menikah itu adalah kekasih Suling Emas.
Sungguh memalukan sekali, terutama terhadap bangsa Khitan yang menjadi kawan
baik kami. Oleh karena itulah kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon bengcu
dan tugas kita pertama adalah mencari dan membunuh Suling Emas bersama
teman-temannya, terutama sekali Ratu Khitan!”
Ramailah
mereka menyebut dan menyumpahi nama-nama tokoh yang menjadi musuh mereka.
Selain Suling Emas dan Ratu Khitan, juga ada yang menyebut-nyebut nama Yu Kang
Tianglo yang mereka khawatirkan akan merupakan pimpinan para pengemis baju
butut yang amat lihai. Disinggung pula nama Kam Bu Sin bersama isterinya Liu
Hwee puteri ketua Beng-kauw yang kini berdiam di kota Heng-yang, sebuah kota
yang terletak di lembah Sungai Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan
tenteram namun yang selalu tak pernah merupakan tugas mereka sebagai
orang-orang gagah untuk melawan kejahatan. Masih banyak nama yang disebut dan
dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat ini, di antaranya disebut-sebut
pemilik Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).
“Paling
penting lebih dulu memohon bengcu baru untuk menyerang Ratu Khitan,” seorang
tokoh utara berkata, “Kalau kedudukan Ratu Khitan dapat dirampas, berarti
golongan kita akan mendapatkan bantuan yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan,
sehingga tidak akan sukarlah membasmi yang lain-lain.”
“Akan tetapi
kabarnya ilmu kepandaian Ratu Khitan juga amat hebat!” bantah seorang lain.
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi aku mendengar bahwa
biar pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun ia masih cantik jelita
seperti bidadari dan ilmu kepandaiannya amat dahsyat. Di sampingnya ada pula
pembantunya yang setia, Panglima Besar Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali.”
“Uhh, lihai
apa? Kayabu itu hanya mengandalkan ketampanan wajahnya sehingga ia menjadi
seorang di antara kekasih Ratu Yalina yang gila lelaki!”
“Masa...?”
“Siapa
membohong? Kekasihnya banyak, di antaranya Suling Emas, Kayabu dan boleh
dibilang setiap orang muda bangsa Khitan tentu ditarik masuk ke istana untuk
memuaskan nafsunya.”
“Ah,
benarkah itu...?” Orang-orang menjadi tertarik hatinya.
Orang yang
bercerita itu membusungkan dadanya. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih, tubuhnya tinggi besar, nampak amat kuat, mukanya dihias kumis dan
jenggot lebat, sehingga wajahnya menjadi angker menakutkan.
“Aku bukan
hanya sudah menyaksikan dengan mata ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati
pelukannya yang hangat!” kata laki-laki ini. “Siapa yang tidak tahu bahwa aku
pernah tinggal di Khitan dan menjadi kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?”
“Wah, hebat
sekali! Twako, agaknya dia suka kepadamu karena kau tinggi besar dan gagah!”
kata seorang anggota pengemis menggoda karena masih belum percaya benar.
“Memang dia
paling suka kepada laki-laki yang tinggi besar, terutama sekali yang jenggot
dan kumisnya sebagus ini!” Laki-laki itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya
dengan bangga sambil melirik ke arah dua orang anggota Siang-mou-tin yang tidak
memilih dia.
“Ceritakan...!”
“Ya,
ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau menjadi kekasih Ratu Yalina?”
Orang-orang
mendesak kepada si Brewok ini untuk bercerita. Dua orang wanita anggota
Siang-mou-tin yang mendengar percakapan yang makin menjurus ke arah cabul dan
kotor ini hanya tersenyum-senyum dan kadang-kadang terkekeh geli.
Si Brewok
yang kini menjadi pusat perhatian, dengan bangga lalu melompat ke atas batu
besar di tengah-tengah, memasang aksi dan berdehem beberapa kali sebelum mulai
dengan ceritanya yang pasti menarik dan cabul. Akan tetapi pada saat itu, si
Brewok menjerit dan terjengkang roboh menggelinding turun dari atas batu besar.
Ketika orang-orang datang menghampirinya, ternyata si Brewok sudah tewas dan di
lehernya menancap sebatang jarum hijau! Kagetlah semua orang dan pada saat itu,
dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini
bukan lain adalah Kwi Lan!
Secara
kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan, Kwi Lan lewat di kaki
gunung Cheng-liong-san. Ia tertarik akan gerak-gerik dua orang anggota
Siang-mou-tin, maka diam-diam ia mengikuti mereka naik ke puncak di mana ia
melihat berkumpul banyak orang dari golongan sesat. Mula-mula ia hanya
mengintai dan mendengarkan, kemudian sudah merasa kesal dan hendak pergi ketika
tiba-tiba ia mendengar nama Ratu Khitan disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama
Yalina, ibu kandungnya!
Ia
mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar betapa Ratu Yalina
dimusuhi, ia hanya mencibirkan bibirnya dan tidak mengambil peduli. Akan tetapi
ketika muncul si Brewok yang menghina Ratu Yalina, ia tak dapat menahan kemarahannya
sehingga sebelum si Brewok bicara yang bukan-bukan, ia sudah menyerangnya
dengan sebatang jarum. Siapa kira si Brewok itu hanya lihai mulutnya saja.
Diserang satu kali telah roboh dan tewas!
Kwi Lan
muncul dari tempat sembunyinya dan berkata lantang. “Aku tidak mencari
permusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi mendengar monyet itu membual,
benar-benar membikin orang menjadi muak dan tak dapat menahan tangan untuk
tidak menghajarnya. Selamat tinggal!” Dengan enak saja Kwi Lan yang telah membunuh
orang itu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Semua orang
terkejut. Gadis cantik itu dapat bersembunyi di situ tanpa seorang pun di
antara mereka tahu, hal ini sudah membuktikan kelihaiannya. Kemudian sekali
turun tangan sudah membunuh si Brewok, hal ini merupakan bukti ke dua. Semua
orang menjadi kesima. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan seorang Khitan
yang ikut dalam rombongan dari utara.
“Itu dia
perempuan iblis yang merampas kuda hitam Hek-liong-ma!” Orang Khitan ini
telinga kanannya putus bekas sabetan pedang Siang-bhok-kiam di tangan Kwi Lan.
“Benar, dia
si Gadis Siluman, murid iblis betina yang bernama Kam Sian Eng!” teriak seorang
yang tangan kanannya buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia
adalah seorang tokoh Hek-pang Kai-pang yang pernah mendapat hajaran Kam Sian
Eng dan kini mengenal Kwi Lan.
“Dia
pengacau itu...!” beberapa orang Thian-liong-pang juga berseru.
“Srr...
werr... siuuuuttt...!” Hujan senjata rahasia menyerang Kwi Lan!
Gadis ini
terkejut. Tak disangkanya bahwa ia akan bertemu banyak musuh di tempat ini.
Cepat ia meloncat ke depan, mengelak dari serangan hujan senjata rahasia itu.
Ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada seratus orang lebih dan dari sambaran
senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia bahwa di antara mereka terdapat banyak
orang yang tak boleh dipandang ringan kepandaiannya. Ia tidak takut, tidak
pernah mengenal takut.
Akan tetapi
Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan nyawanya, mati konyol
dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum mengejek ia lalu mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat. Karena ia tidak mengenal daerah itu, ia lari ke
kiri dan kebetulan sekali ia lari ke tempat kuda. Kuda-kuda tunggangan para
pendatang ini dikumpulkan di suatu tempat yang banyak ditumbuhi rumput gemuk,
dijaga oleh belasan orang anggota rendahan.
Ketika Kwi
Lan lari sampai ke tempat ini dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia
melihat betapa di tempat kuda ini ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan
orang penjaga kuda sudah menggeletak malang-melintang di sekitar tempat itu
sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah terlepas semua! Terdengar bunyi cambuk
meledak-ledak, membuat binatang-binatang itu menjadi makin panik, saling tabrak
dan riuh rendah suara mereka meringkik-ringkik. Melihat kesempatan ini, Kwi Lan
lalu melompat ke atas punggung seekor kuda tinggi besar, kemudian menyendal
kendali kuda itu, membelok ke kanan lalu melarikan kuda.
Ributlah
suara para pengejar ketika menyaksikan kekacauan di tempat ini, apa lagi ketika
melihat betapa semua kuda mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan
seribut itu, mereka terhalang melakukan pengejaran dan sibuk menenangkan kuda
tunggangan mereka.
Kwi Lan
membedal terus kudanya menuruni puncak. Ketika mendengar derap kaki banyak kuda
mengejarnya, ia segera mempersiapkan jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau
ia tertawa sendiri melihat bahwa yang mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa
penunggang. Kiranya banyak kuda yang karena bingung lalu mengikuti saja kuda
yang ditunggangi Kwi Lan. Gadis ini lalu menahan kudanya dan menghalau belasan
ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga mereka lari kacau-balau ketakutan.
Sambil
tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan perjalanannya. Senyum kepuasan menghias
bibirnya. Ia telah berhasil merobohkan orang yang telah menghina ibu
kandungnya. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya dan belum
pernah ada yang bercerita tentang ibunya, namun ia tidak percaya bahwa ibunya
seorang berwatak rendah seperti dibualkan oleh si Brewok tadi. Ia puas bahwa ia
telah membunuh orang itu dan di samping ini telah mendapatkan seekor kuda
tunggangan.
Biar pun
tidak sebaik kuda keturunan Hek-liong-ma yang hilang ketika ia dikeroyok bajak
sungai anak buah Huang-ho Tai-ong, namun kuda ini juga seekor kuda yang baik.
Agaknya tunggangan orang-orang utara tadi. Mereka itu jelas adalah orang-orang
dari golongan sesat, maka Kwi Lan tidak merasa malu untuk merampas kuda mereka.
Akan tetapi,
setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan berhasil turun dari
Cheng-liong-san. Ia merasa heran dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan
kuda, naik turun dan membelok ke kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di
sekitar lereng gunung. Ia memang berhasil melarikan diri dari para pengejarnya,
namun ia tidak berhasil turun dari gunung!
Selagi ia
kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seorang berpakaian pengemis duduk
bersandar batang pohon. Pengemis itu agaknya kelelahan dan mengaso di tempat
itu lalu tertidur karena hembusan angin gunung yang sejuk. Pengemis ini
pakaiannya penuh tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah buntalan besar
terletak di dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mukanya. Topi lebar
bundar yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bunga mawar yang
merah segar berikut dua helai daunnya terselip menghias pita topi itu.
Kwi Lan
menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada pengemis ini, menanyakan jalan
turun. Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau pengemis ini seorang di antara kaum
sesat yang berkumpul di puncak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau
pengemis ini seorang di antara kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di
situ. Mungkin sengaja menghadang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.
Kwi Lan
sengaja memperlambat jalannya kuda ketika melewati pengemis yang duduk
melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan si Pengemis dan ia sudah siap
waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu tidak bergerak, seolah-olah tidak
mendengar suara kaki kuda lewat di depannya. Kwi Lan lewat terus sampai agak
jauh sambil menengok. Pengemis itu tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu
bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang
kelaparan dan kelelahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat
turun dekat pengemis itu. Muka pengemis itu tidak tampak, tertutup topi lebar.
Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang sudah tidak
kuat bekerja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.
“Paman
pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau bangun sebentar, aku ingin
bertanya....”
Pengemis itu
tersentak seperti orang kaget, lalu menggumam dan menggaruk belakang
telinganya. Gerakan ini membuat topinya makin menunduk. Ketika ia mengangkat
sedikit mukanya, yang tampak oleh Kwi Lan hanya sepasang mata mengintai dari
bayang-bayang gelap di bawah topi.
“Mau
bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga
kehabisan tenaga.
“Engkau tentu
mengenal jalan di tempat ini. Paman tua, kau tolonglah aku yang tidak tahu
jalan. Tunjukkan padaku jalan menuruni lembah gunung ini.”
Sejenak
pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang kuda yang dituntun Kwi Lan.
Kemudian ia berkata acuh tak acuh, “Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak
mungkin berkuda. Dari sini maju kira-kira setengah li, di pinggir jalan
terdapat sebuah batu besar berbentuk kepala burung. Di belakang batu itulah
terdapat jalan setapak yang akan membawa orang turun ke bawah.” Setelah berkata
demikian, pengemis itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh
pulas lagi.
“Terima
kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena
agaknya sudah tidur.
“Huh,
pemalas benar,” pikir Kwi Lan.
Akan tetapi
tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika
ia mengingat-ingat, terbayanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun dekat
markas besar Lu-liang-pai di mana ia bersama Siangkoan Li berpisah. Di rumah
makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus menerus duduk melenggut,
sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semenjak ia datang ke rumah itu
sampai pergi lagi. Inikah orang itu? Melihat topi bututnya mungkin ini orangnya
dan kalau betul, benar-benar aneh dan mencurigakan. Bagaimana bisa begitu
kebetulan?
Tadinya
bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san. Di sana
tidur, di sini pun tidur. Kalau pengemis ini begitu malas dan kerjanya hanya
tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini? Biarlah, asal ia tidak
menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di puncak itu dan tentu masih
berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang belum diketahui
kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan melarikan kuda
ke depan.
Kurang lebih
setengah li jauhnya, melihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala
burung, ia berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia
menyelinap ke belakang batu, tampak olehnya jalan menurun yang hanya tampak
bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan kecil sekali, turunnya harus
berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak mungkin dilalui oleh seekor kuda.
Kalau begitu pengemis itu tidak bohong, dan tidak mempunyai niat buruk.
Pada saat
Kwi Lan hendak menuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia mendengar
bentakan-bentakan keras di sebelah belakang. Ia meloncat ke luar lagi dari
belakang batu untuk melihat, siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya
ketika dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas
yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok
belasan orang banyaknya! Hebatnya, pengemis itu masih menutupi kepala dan
mukanya dengan topi lebar butut, bahkan masih duduk melonjorkan kaki dan
bersandar pada pohon, hanya tongkat di tangannya yang bergerak-gerak ke depan
menangkis serangan senjata tajam belasan orang itu yang menyerangnya sambil
membentak-bentak!
Kwi Lan
tertarik sekali. Banyak sekali orang aneh di dunia ini dan agaknya pengemis
malas itu pun seorang aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan gunung ini dan
karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari kembali ke tempat pengemis
itu dikeroyok. Setelah dekat ternyata ia dapat melihat bahwa belasan orang yang
mengeroyok itu adalah pengemis-pengemis pula! Pengemis-pengemis baju bersih
yang sudah beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.
“Hayo
mengakulah! Engkau dari golongan mana dan mengapa mengacau pertemuan di puncak
Cheng-liong-san? Pakaianmu bersih, hal ini berarti bahwa engkau masih
segolongan dengan kami, pengemis-pengemis pakaian bersih. Mengapa kau mengacau
pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai
mana?”
“Hemm, baju
bersih badan kotor hati busuk, apa artinya? Orang-orang sesat, pergilah dan
jangan menggangguku!” Pengemis itu berkata tak acuh, dan tongkatnya juga
bergerak sembarangan menghadapi belasan batang tongkat, golok, dan pedang itu.
Kwi Lan yang
kini sudah berdiri dekat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta
kagum sekali. Tongkat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai
bukan main. Memang benar bahwa belasan orang pengeroyok itu tidak berapa tinggi
ilmu silatnya, namun karena belasan orang maju bersama maka cukup berbahaya.
Apa lagi kalau diingat bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk dan
lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di
tangan pengemis malas ini bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang
pengemis baju bersih itu roboh terguling dengan sambungan lutut terlepas karena
totokan ujung tongkat yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!
Kini
pengemis malas itu dengan gerakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah
tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun mukanya
tetap bersembunyi di balik topi butut. Sambil melintangkan tongkatnya dengan
sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para pengemis yang merintih-rintih
dan mengurut-urut lutut mereka, lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh,
jauh bedanya dengan ketika bicara dengan Kwi Lan tadi.
“Berani
menjadi pengemis berarti berani menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan
jahat, berani mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati
nurani mereka yang mampu, berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan
tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah begitu,
mengapa masih memakai pakaian pengemis? Kalian hanyalah penjahat-penjahat yang
menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia pengemis dan sudah sepatutnya
dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung
jawab, atau kalian mau jadi pengemis, jadilah pengemis yang baik. Mengapa
berlaku seperti pengecut-pengecut yang hina-dina?”
Belasan
orang pengemis yang menggeletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang dengan
mata melotot. Sebagai jawaban kata-kata itu, dari jauh terdengar
bentakan-bentakan dan berbondong-bondong datanglah berlari-lari banyak orang
yang bukan lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan kini sudah
datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!
Mendengar
bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan kepala memandang ke
depan, kemudian ia menoleh kepada Kwi Lan dengan muka masih tersembunyi di
balik topi. “Nona, mengapa engkau kembali? Pergilah turun gunung dan jangan kau
melibatkan diri dengan orang-orang jahat itu.”
“Dan engkau
sendiri?” Kwi Lan bertanya.
“Aku akan
menghadapi mereka. Tongkatku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus
itu.”
“Wah,
enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau tongkatmu kuat,
apa kau kira pedangku kurang tajam? Kaulah yang boleh pergi, mereka itu
mengejar aku, bukan mengejar engkau!” bantah Kwi Lan sambil mencabut
Siang-bhok-kiam dari sarungnya.
Melihat
bahwa pedang gadis itu terbuat dari pada kayu, pengemis itu tercengang, kentara
dari sikapnya yang tiba-tiba tak bergerak. Topinya terangkat sedikit dan dari
bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya. “Ah, kiranya
Nona seorang pendekar pedang yang lihai!”
Percakapan
mereka terpaksa dihentikan karena para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat
larinya bahkan sudah tiba di depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter.
Mereka mengangkat senjata sambil membentak marah.
Akan tetapi
pengemis itu dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan tangan
kanannya ke arah topinya, meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan
kilat dan... topi itu berpusing dan terbang menyambar mereka yang datang
mengancam. Bagaikan hidup, topi itu terbang keliling dan kembali kepada
pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang
mengejar paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul
robohnya tubuh enam orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!
Sejenak Kwi
Lan bengong. Bukan karena melihat senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa
itu karena ia maklum bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar
melempar topi yang pinggirannya lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi.
Yang membuat ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas topinya, maka
tampaklah kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang
pemuda yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua dari padanya! Dan ia sudah
menyebutnya paman tua! Akan tetapi ketika pengemis muda itu sudah mengenakan
kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang tampan tertutup topi, Kwi Lan
sadar dari keheranannya. Ia pun tidak mau kalah dan secepat kilat tangan
kirinya bergerak melepas jarum-jarum halus. Kembali terdengar jerit kesakitan
dan enam orang pengejar roboh.
“Nona, mari
kita pergi. Jumlah mereka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat
orang pandai. Mari!”
Mereka
berdua lari cepat dan sesampainya di batu berbentuk kepala burung, mereka lalu
menuruni jalan setapak. Para pengejar yang belum roboh tidak berani mengejar
setelah menyaksikan kelihaian dua orang muda itu. Mereka berdiri ragu-ragu,
menanti rombongan pengejar lain yang lebih banyak sambil menolong teman-teman
yang terluka.
Karena Kwi
Lan dan pengemis aneh itu menggunakan ginkang mereka, sebentar saja mereka
berhasil menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar
mereka. Mereka kini jalan berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung
tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan baru setelah yakin bahwa mereka tidak
dikejar, mereka tidak berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.
“Ah, untung
bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...,
berbahaya sekali!”
“Kau
maksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam,
Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin Lo-mo? Ah, aku tidak takut!
Justru aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk melihat sampai di mana
kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.
Kini
pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran. Saking herannya ia
sampai lupa menyembunyikan muka seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali
Kwi Lan pun menoleh sehingga ia dapat melihat wajah pengemis itu dengan jelas.
Wajah yang tampan dan gagah, masih muda namun sudah jelas tampak kematangan
jiwa pada sinar mata dan tarikan mukanya.
“Engkau
seorang gadis yang aneh, Nona!”
“Tidak
seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat. “Bukankah engkau ini pengemis malas yang
pernah kulihat duduk dalam warung di lereng Lu-liang-san? Dan mengapa engkau
sekarang berada di sini? Apakah engkau sengaja mengikuti perjalananku?”
Pengemis itu
menggeleng kepala. “Tidak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu
lagi di sini karena memang aku hendak menonton pertemuan kaum sesat di sini.
Akan tetapi engkau... justru pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku
keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh, Nona. Kulihat engkau di sana
bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam yang
menentang para hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang
dengan kepandaian seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan
tetapi hari ini aku melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi
mereka, bahkan baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar
mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?”
“Jadi
tadinya kau kira aku ini seorang tokoh hitam pula?” tanya Kwi Lan sambil
memandang marah.
“Begitulah,
karena kau datang bersama tokoh Thian-liong-pang dan menentang hwesio-hwesio
Lu-liang-pai.”
“Bukan, aku
bukan tokoh golongan sesat.”
“Itu aku
percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang
pendekar wanita yang sakti.”
“Juga bukan.
Aku bukan pendekar wanita dan bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja. Tidak
seperti engkau. Engkau tentu seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) yang
terkenal. Agaknya engkau memimpin pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”
Pengemis muda
itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala. “Aku juga bukan apa-apa
seperti engkau, bahkan tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang
betul bahwa mendiang ayahku adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan
tetapi sudah lama sekali sebelum aku lahir ayahku telah mengundurkan diri dari
dunia pengemis. Sebagai seorang pengemis, tentu saja ayah hanya meninggalkan
topi butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat
betapa dunia pengemis terancam malapetaka, terpaksa aku harus turun tangan
mewakili mendiang ayah. Karena itulah aku turun gunung dan bertemu dengan
engkau di sini.”
“Wah, kalau
begitu ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!”
Pengemis
muda itu terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Kwi Lan
tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar,
tidak ditutup-tutupi dan tidak malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan
kecantikan yang asli. Pengemis muda ini sejenak menjadi bengong, namun ia
membuang pandang matanya dan menekan perasaannya.
“Tentu saja
aku tahu! Kau berilmu tinggi dan seorang pengemis, kau bilang ayahmu tokoh
besar dunia pengemis. Tentu pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara
musuh-musuh kaum sesat disebut-sebut nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau
bukan ayahmu.”
Diam-diam
pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata
susila palsu, di samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia
akan adegan di warung yang terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda
Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada
gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila?
“Betul
sekali dugaanmu. Mendiang ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu
Siang Ki, pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan
mengenalku.” Ia menjura dengan sikap hormat.
Kwi Lan
membalas penghormatan itu sambil tertawa, “Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka
berkenalan? Gerakan tongkatmu tadi hebat luar biasa. Biar pun pakaianmu pakaian
jembel, namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi
Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!”
Pengemis
muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan. “Engkau she
Kam, Nona?”
“Benar,
kenapakah?”
“Aih, tidak
apa-apa, hanya... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan...”
“Wah, kau
menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi
sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau... Mutiara Hitam.”
“Tapi aku...
bukan sahabat....”
“Hemm,
bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau
tak mau bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan tubuh
hendak pergi.
“Eh... maaf,
bukan begitu maksudku. Aku... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu,
tapi... baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang
marah?”
Kwi Lan
tertawa. “Memang aku gampang marah gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan,
kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?”
“She-mu
mengingatkan aku akan seorang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti
yang selain menjadi sahabat baik mendiang ayahku, juga menjadi tokoh besar
dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor
satu. Dia adalah Suling Emas!”
“Eh, dia she
Kam?”
Siang Ki
mengangguk. “Menurut penuturan ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song. Kwi
Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaianmu yang lihai, dan she
mu Kam, siapa yang takkan menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah
engkau puterinya? Ataukah keponakannya?”
Kwi Lan
menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian,
bahwa dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan
dan membanggakan! Akan tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu
Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa liar!
“Bukan, aku
bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaimana macamnya
Suling Emas.”
“Ah, sayang
sekali. Alangkah akan senang hatiku andai kata engkau benar-benar puterinya,
karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum pernah berjumpa dengan
Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan bahwa dalam usahaku membersihkan dunia
pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas.
Bolehkah aku mengetahui siapa orang tuamu?”
Mereka tiba
di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki gunung
Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara
batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi
sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan
mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi
anak sungai itu.
“Aku sendiri
tidak tahu siapa orang tuaku,” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang
mata melamun. “Semenjak aku masih bayi, aku dirawat guruku.”
Yu Siang Ki
memandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan
tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tuanya. Gadis ini
sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut
dikasihani.
“Ah, gurumu
tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”
“Guruku
tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya
mengenalnya sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya,
akan tetapi dia orang biasa saja.” Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut
nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal
namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini
dengan memberitahukan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki
menarik napas panjang. “Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang
mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di
antara mereka dan melihat kepandaianmu, tentu gurumu seorang yang amat pandai.”
Kwi Lan
tertawa. “Yu Siang Ki, engkau belum pernah bertanding denganku, belum pernah
melihat kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang
lihai, akan tetapi tidaklah terlalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek
Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan
aneh luar biasa.”
Siang Ki
terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau
pernah berjumpa dengan kedua Locianpwe itu? Mengenal mereka?”
Kwi Lan
mencibirkan bibirnya. Hatinya masih mengkal kalau ia teringat kepada dua orang
kakek itu, menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan
Li, “Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka seperti
monyet!”
“Aiihhh...
Kwi Lan, bagaimana engkau berani...?”
“Memaki
mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi
mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku
memiliki ilmu kepandaian seperti Bu Kek Siansu, tentu mereka berdua itu sudah
kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!”
Kini Siang
Ki memandang bengong. Makin lama gadis ini makin mengherankan! “Kau... kau
pernah berjumpa pula dengan... dengan Bu Kek Siansu?”
Kwi Lan
mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.
Tanpa
disadarinya, Siang Ki memegang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh
gairah ia bertanya. “Benarkah itu, Kwi Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku
hanya mendengar namanya seperti dongeng yang diceritakan ayah!”
“Mengapa aku
berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh
akan tetapi juga goblok!”
Kali ini
sepasang mata Siang Ki memandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan
keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal
itu sudah merupakan sesuatu yang tak masuk akal dan terlalu luar biasa karena
sebagian besar orang kangouw, menyebut nama dua orang kakek ini pun dengan
berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki
mereka, bahkan berani mengatakan bahwa Bu Kek Siansu goblok!
Ini sudah
keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh semua
pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu, dan juga
disegani semua tokoh dunia hitam, dianggap seperti manusia dewa yang entah
sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok!
Kalau tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri, tak mau Siang Ki
mempercayai hal ini.
“Kwi Lan,
maukah engkau menceritakan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang
kakek sakti itu?” Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan
semangat Kwi Lan untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika
mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali
ia mengangguk. “Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dikasihani keadaan
Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya jika keadaan mengijinkan.
Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan
membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus membangun kembali dan
membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kau
ceritakan bahwa kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada
Bu Kek Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya
orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung datangnya
iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”
“Yu Siang
Ki, aku sudah terlalu banyak cerita. Sekarang kau ceritakanlah pengalaman
dirimu, tentang ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri.”
Memang
begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa suka dan cocok sekali dengan gadis yang
wajar dan polos ini. Apa lagi ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam. Biar pun
tidak ada hubungan dengan Kam Bu Song si Suling Emas, namun persamaan she ini
saja sudah menambah rasa suka di hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki
sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini
mendengar permintaan gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan
Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera
Ketua Khong-sim Kai-pang akan tetapi semenjak kecil menghilang dan mempelajari
ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga puluh tahun ia muncul dan mencari musuh
besar yang membunuh ayahnya, yaitu seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang
menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini
karena It-gan Kai-ong memiliki kesaktian yang hebat, ia mendapat bantuan Suling
Emas sehingga akhirnya berhasil membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak
itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biar pun
secara diam-diam ia masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para
pimpinan kai-pang, namun ia sendiri mengasingkan diri dan beberapa tahun
kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga seorang pendekar silat
yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki.
Akan tetapi
sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo. Ketika melahirkan, isterinya meninggal
dunia. Hal ini terjadi karena tempat tinggal mereka yang menyendiri di lereng
bukit Thai-hang-san, jauh dari tetangga sehingga pada saat melahirkan tidak ada
satu orang pun yang membantu nyonya muda yang belum berpengalaman ini.
Yu Kang
Tianglo sendiri tidak berada di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia
pulang ke pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan,
isterinya telah menggeletak tak bernyawa di samping seorang bayi yang menangis
keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang
Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaan besar. Ia makin tak mau lagi
muncul di dunia ramai. Hidupnya dicurahkan untuk merawat dan mendidik Siang Ki,
sehingga ketika pemuda ini berusia dua puluh tahun, ia telah mewarisi semua
kepandaian ayahnya! Betapa pun juga, Yu Kang Tianglo tak pernah mau mengingkari
asal-usulnya sebagai putera kai-pang (perkumpulan pengemis) sehingga bukan
hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang
dihias tambal-tambalan seperti pakaian pengemis.
“Demikianlah,
Kwi Lan. Ketika ayah mendengar bahwa dunia pengemis kembali rusak dan terancam
hebat oleh tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pengemis dibawa menyeleweng, ayah
menjadi kaget dan marah sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka. Jantung
ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu meninggal dunia, mendapat
serangan yang membawa ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya berpesan agar aku
mewakili ayah untuk menolong kaum pengemis, terutama sekali Khong-sim
Kai-pang.”
Kwi Lan
mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini juga
bernasib buruk di waktu kecilnya, tidak ada bedanya dengan Tang Hauw Lam mau
pun Siangkoan Li, semenjak kecil sudah dirundung malang dan kini hidup sebatang
kara di dunia.
“Saudara
Siang Ki, karena engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat
engkau mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam mau
pun putih. Karena ayahmu adalah sahabat baik pendekar sakti Suling Emas, tentu
engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu.”
“Aku hanya
mendengar dari penuturan mendiang ayah. Biar pun hatiku amat kepingin, namun
belum pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan pendekar itu.”
“Dalam
percakapan kaum sesat di puncak Cheng-liong-san tadi, aku mendengar mereka
menyebut-nyebut nama Ratu Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling
Emas, bahkan katanya menjadi... eh, kekasihnya. Tahukah engkau akan hal itu?”
Yu Siang Ki
menggeleng kepalanya. “Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar.
Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, dan aku pernah mendengar pula dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi
adik angkat Suling Emas. Tentang hubungan asmara di antara mereka, aku tidak
tahu. Yang pasti, sampai sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu
Khitan yang kabarnya cantik jelita itu sampai sekarang tak pernah menikah.”
Berdebar
jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata Bibi Sian
gurunya, dia adalah puteri Khitan. Kalau Ratu Khitan tidak pernah menikah,
bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah ayahnya?
“Ah,
bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?” Ia pura-pura merasa heran dan
bertanya. “Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan keturunan untuk
kelak diwarisi tahta kerajaan?”
Yu Siang Ki
mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak
menikah. Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling yang sering kali
mengembara ke Khitan bahwa sesungguhnya ia tidak menikah namun Ratu Khitan
mempunyai seorang putera angkat. Agaknya putera angkatnya itu pun telah
mewarisi kepandaian ibunya. Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali
pangeran itu mengadakan perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya
tampan bukan main dan sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang
tangguh.”
Makin tidak
nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang dituturkan gurunya secara
singkat sekali bahwa dia puteri Ratu Khitan, mengapa ia sejak kecil ikut Bibi
Sian? Mengapa Ibu kandungnya sendiri tidak merawat dan mendidiknya, bahkan
mengangkat seorang putera? Apakah karena aku perempuan? Makin penasaran rasa
hati Kwi Lan sehingga tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api
kemarahan.
“Kau
kenapakah?” Siang Ki yang berpemandangan tajam itu menegurnya.
“Tidak
apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?”
Siang Ki
makin terheran. “Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai hubungan dengan
Suling Emas, mengapa sekarang hendak bertemu dengannya?”
Kwi Lan
sudah dapat menekan perasaannya. Ia tersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang
kudengar mendorong hatiku untuk melihat bagaimana macamnya pendekar besar itu.
Di manakah dia berada sekarang?”
“Aku sendiri
pun mencari-carinya, Kwi Lan. Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia
seperti Suling Emas. Aku hendak pergi ke Kang-hu, mengunjungi pusat dari
Khong-sim Kai-pang. Setelah aku memperkenalkan diri, kiranya para tokoh
Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di mana adanya Suling Emas yang merupakan
sahabat baik itu.”
Hati Kwi Lan
kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di
mana adanya Suling Emas. Ia harus bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai
pendekar itu tentang ibu kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya
itu seorang wanita tak tahu malu seperti yang dibicarakan oleh para kaum sesat,
ia tidak usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di
samping ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaimana keadaan perkumpulan
pengemis golongan putih yang menjadi musuh pengemis-pengemis golongan hitam.
Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar besar yang ia percaya
tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pengemis muda ini.
“Aku ikut!”
Tiba-tiba ia berkata.
Siang Ki
memandang terkejut. “Apa maksudmu? Ikut...?”
“Ya, aku
ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai-pang akan dapat
membantuku mempertemukan dengan Suling Emas. Atau... barangkali engkau tidak
suka mengajak aku.” Sepasang mata gadis itu memandang penuh selidik, bahkan
mengandung tantangan.
Mau tidak
mau Siang Ki tersenyum. Gadis ini benar-benar lincah dan wajar, asli dan
menyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih, “Bukan aku yang tidak suka
melakukan perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau
akan betah melakukan perjalanan di samping seorang pengemis sehingga derajatmu
terseret turun dan dipandang rendah serta dihina orang.”
“Karena kau
seorang yang berpakaian pengemis? Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku
kalau aku berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan
pula dari kata-katanya, melainkan dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar
setelah merantau.”
Pengemis
muda itu memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan
masih belajar banyak, Kwi Lan, dan akan mendapatkan kenyataan-kenyataan yang
banyak pula. Hidup ini belajar, dan sebelum mati takkan pernah habis hal-hal
yang perlu kita pelajari. Nah, mari kita berangkat ke kota Kang-hu.”
Demikianlah,
untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama seorang pengemis
tampan yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang
pernah dikenalnya. Kalau Tang Hauw Lam pemuda berandalan yang selalu riang
gembira itu memandang hidup dari segi yang lucu dan menggembirakan, sedangkan
Siangkoan Li memandang hidup dari segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan
penuh perjuangan, adalah pemuda ke tiga ini seorang pemuda yang sikapnya
seperti orang tua, sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan
memandang dunia dengan sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemuda
yang ketiganya sama lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan yang
masing-masing memiliki sifat-sifat menarik dan baik. Tiga pemuda perkasa yang
begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang.....
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama.
Dua orang tokoh pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gak-lokai dan
Ciam-lokai, dengan penuh keyakinan mengira bahwa Suling Emas adalah Yu Kang
Tianglo dan mohon kepada ‘Yu Kang Tianglo’ ini untuk menolong kaum pengemis
yang terancam keselamatannya oleh kaum sesat. Setelah mendengar permintaan
mereka berdua, akhirnya Suling Emas menyanggupi untuk datang ke Kang-hu
mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang Tianglo!
Ada dua hal
yang menyebabkan Suling Emas menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat
akan persahabatannya dengan Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan orang-orang sesat. Ke dua, karena
ia sedang dikejar-kejar oleh para orang-orang suruhan Ratu Yalina dari Khitan
yang minta kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke
Khitan melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina. Akan
tetapi keinginan ini ia tekan dengan anggapan bahwa kepergiannya ke Khitan
berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh bangsa Khitan itu.
Tidak, ia harus berkorban.
Dengan
menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan sapu tangan, tentu
akan membebaskannya dari pada pengejaran orang-orang Khitan itu. Karena kini
menghadapi sebuah tugas yang penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak
lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit sehingga tubuhnya menjadi lebih
segar dan bersemangat.
Memang tubuh
pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala penderitaan. Hanya
kalau terlalu merana hatinya, teringat akan kegagalan-kegagalan cinta kasih yang
meremukkan jiwanya, maka jantungnya menjadi tidak kuat dan ia suka
terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah dapat mengatasi kedukaan ini,
tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah
kurus yang menjadi kawan satu-satunya dan menjadi kuda tunggangan Suling Emas
yang setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu
sebelah barat, Suling Emas menarik napas panjang. Entah sudah berapa belas
tahun ia tak pernah lewat kota ini yang dahulu dikenalnya amat baik.
Ia menaikkan
sapu tangan dan menundukkan topi bututnya untuk menyembunyikan muka, kemudian
melanjutkan perjalanan untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar
perkumpulan pengemis, Khong-sim Kai-pang. Ia harus memasuki kota Kang-hu dan
keluar lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena kuil itu berada di
luar kota sebelah timur.
Kota Kang-hu
tidak ada perubahan. Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu
saja. Namun ia tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang
dahulu telah menjadi tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti
yang muda, yang dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh
karena penggantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia tidak
mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di
dalam warung dan toko.
Hatinya
menjadi lega, maka ia melepas sapu tangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau
perlu saja, agar jangan dikenal orang, ia menutupi mukanya. Kalau memang tidak
ada yang mengenalnya, ia tidak perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan
menimbulkan kecurigaan.
Seorang
laki-laki tua di atas kuda kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di
kota itu, maka tak seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang
menganggap dia ini seorang petani tua miskin yang mungkin hendak mencari
sanaknya di kota atau hendak berbelanja.
Ketika tiba
di sebuah jalan simpang tiga di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas
menghentikan kudanya di depan sebuah warung. Ia teringat bahwa warung ini
dahulu amat terkenal dengan masakan bakminya yang lezat dan murah. Perutnya
memang sudah lapar, maka ia ingin makan di warung ini. Seperti yang telah
diduganya, juga penjaga kedai bakmi ini sudah terganti orang lain semua. Akan
tetapi meja-mejanya masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya
dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati lega Suling Emas mengambil tempat
duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat betapa dugaannya
tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu karena bakminya. Buktinya,
belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu semua menggerakkan sumpit makan
bakmi!
Ia memesan
bakmi dan arak, kemudian makan dengan enaknya. Betapa pun juga, karena ia
berada dekat markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah
ia akan menghadapi hal-hal yang pelik, Suling Emas memasang mata dengan
waspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan mengintai dari balik
topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di
antara para tamu yang makan bakmi.
Hanya di
sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian seperti ahli-ahli silat,
agaknya mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar kiriman) yang lewat di
Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah berusia lima puluhan tahun,
bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah pemuda-pemuda
berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu.
Di pinggang mereka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak sombong
dan bicara dengan sopan dan perlahan, Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah
orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang selatan.
Setelah
habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi. Perutnya amat lepar,
sudah dua hari ia tidak makan. Juga ia minta tambah arak. Pelayan kedai curiga.
Orang tua ini pelahap benar, dan pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat
juga seorang dusun yang miskin.
“Lopek harap
bayar dulu,” kata si Pelayan dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini
terlalu banyak makan minum kemudian tidak dapat membayarnya, dia juga tidak
terlepas dari tanggung jawab dan selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus
menanggung separoh harga makanan dan minuman itu!
Suling Emas
tersenyum. Ia dihina, akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia
tidak merasa terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata
sesuatu ia mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya kepada si Pelayan.
Melihat
perak yang cukup besar ini, si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan
berkata, “Biar nanti sajalah, Lopek. Saya ambilkan tambahanmu.”
Si Pelayan
pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambil tersenyum pula. Semenjak ia
muda dahulu sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih
sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia
diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan
berdasarkan pribadinya, namun berdasarkan harta dan kedudukannya. Orang
menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya, melainkan berdasarkan
bagusnya pakaian dan padatnya kantung. Manusia sudah tidak dapat menguasai
dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan kedudukan.
Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!
Ketika
pelayan itu membawa bakmi dan arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba
terdengar ribut-ribut di pintu kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat
dua orang pengemis di pintu itu yang marah-marah dan memaki-maki, ia
cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam
ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan
pintu itu.
Dua orang
pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk
lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa
mereka berdua adalah anggota-anggota Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang
Khong-sim Kai-pang datang ke kedai ini dengan sikap demikian aneh?
“Mana
pemilik kedai? Hayo lekas keluar!” bentak seorang di antara mereka dengan suara
galak. Kini mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi
mereka kempit.
Tak lepas dari
pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah melihat dua orang
pengemis ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggota-anggota Khong-sim
Kai-pang bersikap galak seperti ini dan ditakuti orang?
Dari dalam
kedai berlari-lari keluar seorang berjubah hitam panjang, tubuhnya kecil kurus
dan kumisnya panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakutan.
Sambil membungkuk-bungkuk dan memaksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam
karena tembakau, ia menghampiri dua orang pengemis itu sambil berkata, “Ah,
kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!”
“Tak usah
banyak jual omongan manis. Kami datang bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan
arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai ini?”
“Be...
betul..., ada apakah, Taihiap...?”
Diam-diam
Suling Emas geli juga mendengar, si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar
Besar) kepada anggota Khong-sim Kai-pang itu.
“Huh, engkau
benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggota
rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kau beri uang
kecil? Engkau berani menghina kami?”
“Ah, tidak
sama sekali.... Mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi suka
mempertimbangkan. Perdagangan sekarang sepi, dan pula keuntungannya habis
dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana saya sanggup menderma sepuluh tail
perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan....”
“Tidak laku,
ya? Sepi kau bilang? Begini banyak tamu kau bilang sepi!” bentak pengemis
kedua.
“Benar, ada
juga yang datang berbelanja, namun keuntungannya tipis sekali....“
“Banyak
alasan! Kalau kau naikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau bisa
mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail? Pendeknya,
tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya orang-orang yang
boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap
kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!” Sambil berkata demikian, seorang di
antara para pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan....
“Ceppp...!”
tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengahnya lebih!
Si Pemillk
Kedai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur
isak ia berkata, “Kalau begini... bakal bangkrut....”
“Kau pilih
saja. Bangkrut atau mampus!”
Keadaan
sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil
berseru, “Bangsat tak tahu malu! Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang
begini kurang ajar?!”
Ternyata
yang menggebrak meja dan marah-marah ini adalah tiga orang piauwsu tadi yang
kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di
luar pintu. Piauwsu setengah tua bermuka merah tadi kini menudingkan
telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
“Kalian ini
golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pengemis yang
biasanya mencari sisa makanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang
yang lewat. Akan tetapi ternyata kalian lebih rendah dari pada pengemis mau pun
perampok. Pengemis tidak minta secara paksa sedangkan perampok tidak akan
berkedok pengemis!”
Dua orang
pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata
melotot lebar. “Apa kamu mencari mampus berani mencampuri urusan kami dua orang
anggota Khong-sim Kai-pang?” Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh
seorang di antara pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak
mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.
“Khong-sim
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mempunyai
anggota-anggota yang berhati kosong tanpa pamrih, akan tetapi kalian ini
perampok-perampok berkedok pengemis amat menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang
sedang makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan
pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu!
Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah
dari sini!” bentak piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di
kanan kirinya juga bersikap galak. Malah seorang di antara dua orang muda ini
segera mengulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat
yang tertancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah
tercabut keluar dari lantai.
“Phuhh! Yang
macam ini dipakai menakut-nakuti orang? Menyebalkan!” katanya sambil melempar
tongkat itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai.
Semua tamu
kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah
sekali. Pemilik tongkat sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka berdua
meloncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.
“Pengacau
dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?”
Piauwsu
setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda. “Tak tahu
malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim
Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak
pernah menyembunyikan nama. Di selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang
paling benci terhadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti
srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang atau Lim-piauwsu, dan ini kedua
orang puteraku. Lekas kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir
dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing rendah?”
Dua orang
pengemis itu marah bukan main. “Keparat she Lim! Kau dan anak-anakmu sudah
bosan hidup rupanya. Majulah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya
kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?”
“Ayah,
biarkan kami menghajar dua penjahat ini!” seru dua orang muda sambil meloncat
ke depan dan pedang mereka sudah berada di tangan. Sang ayah yang agaknya cukup
percaya akan kepandaian putera-puteranya lalu mengangguk dan tersenyum
mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.
Dua orang
pengemis itu sudah berseru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka,
menyerang dua orang piauwsu muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka
pula. Terjadilah pertandingan yang seru, di atas jalan raya di depan kedai
bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah keluar pula dari
kedai untuk menonton. Wajah mereka tegang dan khawatir karena semua orang di
Kang-hu tahu belaka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini
berlaku sewenang-wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan
bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan
mereka itu ternyata terkabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki
ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat
bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan
pundak terluka tusukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut
menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang
segera ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw!
Tak
disangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan
melihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga. Mereka ini murid-murid
Bengkauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua
orang pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang piauwsu muda itu hanya
melukai pundak lawan, tidak membunuhnya.
Beberapa
orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera menghampiri tiga orang
piauwsu itu sambil berbisik, “Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau
terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan
selain anggotanya banyak, juga mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang pandai
dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan Bertiga) pergilah dari sini.”
Piauwsu tua
mengerutkan alisnya dan berkata lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang
berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua
orang pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya
datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang kami.”
Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak
membayangkan kesombongan.
Banyak orang
yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir
ini berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi saja
karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak anggota Khong-sim
Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua
orang puteranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim
Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang
kepada penduduk Kang-hu!
Tiba-tiba
terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua suara orang yang sedang
membujuk-bujuk, “Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk-bujuk?
Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka mati!”
Semua orang
menoleh. Ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata
nyaring ini adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian
bawah tertutup sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat
menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar. “Nah, mereka sudah mulai
datang...!”
Piauwsu
setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan
memandang Suling Emas dengan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di
antara pemimpin-pemimpin Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah
maju dan hendak menegur.
Akan tetapi
Suling Emas sudah menghampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan
kirinya dan menegur, “Kalian ini orang-orang apa berani hendak mengancam
Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa
dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu
menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka?
Demikian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng,
apakah benar kalau dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat?
Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan
kemenangannya, itulah sikap seorang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas
pergi, mengandalkan apakah? Hayo pergi... pergi... pergi...!” Ia
mendorong-dorong sehingga jari-jari tangannya menyentuh pundak dan punggung
tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang
adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi kebenaran dan
kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak
ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua
orang puteranya mewarisi watak gagah ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan
ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh
Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat
menduga bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah ia memberi
tanda kepada dua orang puteranya untuk mundur, kemudian ia sendiri tersenyum
dan berkata.
“Setiap
orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapa pun jahatnya Khong-sim
Kai-pang, tentu seorang anggotanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang
baik. Sahabat, kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu,
kau majulah!” Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
“Aihh...!”
ia berseru kaget dan tangannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk
melihat ke arah pinggangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang
pedangnya karena pedang itu sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang
piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka
saling pandang dengan mata terbelalak.
“Pe...
pedangku...!” Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa
pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap!
“Ada kalanya
orang tidak dapat mengandalkan pedangnya.” Suling Emas berkata lagi, “Tapi
lebih tepat mempergunakan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap
bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa kemenangan. Sam-wi mencari inikah?”
Tiga orang
piauwsu itu melongo ketika melihat pengemis yang mukanya ditutupi sapu tangan
itu mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat mereka menyambut pedang
mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas
pedang mereka bertiga tanpa mereka ketahui sama sekali adalah orang yang
memiliki ilmu kepandaian luar biasa sekali dan bukanlah lawan mereka! Betapa
pun juga, Lim Kiang adalah seorang gagah yang tidak mau menyerah kepada orang
jahat sebelum ia dikalahkan.
“Boleh jadi
engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira
bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas kejahatanmu!” Setelah berkata
demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua
orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat
itu berkelebat dua bayangan hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal
keduanya hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang
seorang bertubuh bongkok kurus. Namun si Bongkok ini sekali sambar sudah
mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang sehingga
piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula
melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
“Hemm,
kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terhadap ketua
Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?” bentak si Pengemis
Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai. Ada pun pengemis ke dua adalah
Ciam-lokai.
Lim Kiang
adalah seorang piauwsu yang sudah banyak pengalaman. Ia terkejut dan maklum
bahwa dua orang pengemis tua itu pun lihai bukan main. Akan tetapi ia makin
kaget ketika mendengar disebutnya nama Yu Kang Tianglo. Ia memandang terbelalak
kepada Suling Emas lalu berkata, “Locianpwe ini... Yu Kang Tianglo...? Akan
tetapi... mereka itu....” Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi
dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas tanah.
Suling Emas
mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan
dua orang puteranya. “Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu
kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di antara anggota Khong-sim Kai-pang
ada yang menyeleweng, namun itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah
menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampaikanlah
hormatnya Yu Kang Tianglo kepada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami
hormati!”
Diam-diam
Lim Kiang terkejut dan heran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang
Tianglo, akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis
itu dapat mengenal gerakan pedang putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka
bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut,
diturut kedua orang puteranya.
“Mohon maaf
bahwa kami berani bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata
demikian, Lim Kiang cepat-cepat mengajak kedua orang puteranya pergi
meninggalkan Kang-hu.
“Kalian
sudah datang? Bagus! Bagaimana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu
melakukan hal yang amat memalukan Khong-sim Kai-pang?” Suling Emas menegur
Gak-lokai dan Ciam-lokai.
“Maaf,
Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggota yang
setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu,” kata Gak-lokai,
sedangkan Ciam-lokai mengambilkan kuda Suling Emas.
Ketiganya
lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua
orang pengemis yang terluka tadi, sedangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang
terjadi di Khong-sim Kai-pang selama ini.
Sementara
itu, berita tentang munculnya Yu Kang Tianglo seperti tadi terdengar oleh
beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi
girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah tokoh besar itu muncul,
Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada
gangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.
Mendengar
penuturan Gak-lokai, Suling Emas menjadi marah. Ternyata bahwa kaum sesat yang
menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil memecah belah perkumpulan itu,
bahkan sebagian besar anggotanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah
mereka. Hal ini tidak mengherankan karena oknum-oknum jahat itu menjanjikan
hal-hal yang menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan
dunia.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai yang melihat gejala-gejala buruk ini maklum, bahwa kalau mereka
berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para anggota sendiri yang
akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal mereka yang kini terbujuk bukanlah
orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh
bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang
kini terpilih menjadi pemimpin mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu
memiliki ilmu kepandaian yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani
turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang
mereka andalkan.
“Mereka yang
menyeleweng kini menduduki markas karena para anggota yang setia rela mengikuti
kami mengundurkan diri bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti
kedatangan Pangcu.” Gak-lokai menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian
mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi.
Hanya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang
lebih maka anggota-anggota yang menyeleweng akan dapat disadarkan kembali.”
Ketika
mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata
Suling Emas yang tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat
menyelinap di antara pohon-pohon mendahului mereka. Ia dapat menduga bahwa itu
tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai markas Khong-sim
Kai-pang.
Ketika
mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil
besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang,
mereka melihat betapa dari belakang mereka datang berbondong-bondong puluhan
orang pengemis yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka
ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk
menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti dlkomando saja
mereka berseru. “Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”
Kemudian
tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti barisan pengemis
pula, pengemis dengan pakaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini
Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai, suaranya nyaring.
“Saudara-saudara
semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan
sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang
mengotori kai-pang!”
Demikianlah,
empat puluh orang pengemis itu disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas
dengan diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini
berjalan masuk dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luar
pekarangan. Ia memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin barisan
pengemis baju bersih yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh
orang.
Lima di
antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian
pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak
senjata tongkat yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua
orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya
mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh
lebih.
Suling Emas
memandang tajam, namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia naik
anak tangga yang tingginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang
cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk pertemuan umum para
anggota, di udara terbuka dan letaknya di depan kuil.
Lima orang
pengemis berpakaian penuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak
dengan sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka.
Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya
itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh tersungkur ke depan kaki lima orang
kepala pengemis baru.
“Siapakah
yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggota Khong-sim
Kai-pang ini?” terdengar suara Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya halus,
namun penuh wibawa. “Mereka yang merasa bersalah, telah menyelewengkan
Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman!”
Seorang di
antara lima pimpinan pengemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua
di antara mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
Suling Emas.
“Siapakah
kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan
kata-kata kurang ajar? Apakah engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua
orang jembel tua bangka itu?” ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan
Ciam-lokai.
Gak-lokai
tak dapat menahan kemarahannya. “Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian
adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seperti buta tidak
mau membuka mata, seperti tuli tak mau membuka telinga. Kalian berhadapan
dengan Yu Kang Tianglo, seorang tokoh terbesar dari golongan Khong-sim
Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!”
Lima orang
itu agaknya sudah mendengar laporan maka mereka tidak menjadi kaget, bahkan
tersenyum-senyum. Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggota Khong-sim
Kai-pang yang sudah dibawa menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri
berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil tubuhnya. Kawan-kawannya
yang percaya kepada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
“Ha-ha-ha,
bagus sekali! Puluhan tahun Yu Kang Tianglo tidak memperlihatkan diri,
membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut.
Setelah kami muncul dan mengangkat keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul
dan berlagak seperti seorang kawakan yang berkuasa! Cih, sungguh tidak tahu
malu! Pada saat ini memang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk
sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua
pada pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu
Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang
tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak
ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di
sini!”
Merah wajah
Gak-lokai dan Ciam-lokai, namun Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar
mereka diam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata.
“Yu Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang.
Semenjak ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai
perkumpulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan
jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat
terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti akan kejahatan. Siapa pun
dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia orangnya boleh
menjadi anggota, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai
dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun
tidak akan muncul di sini sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan
sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan.
Dengan mata kepala, sendiri aku menyaksikan dua orangmu melakukan pemerasan
seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak
membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat!”
Mendengar
ini, banyak di antara para anggota Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju
kembang-kembang dan memegang tongkat besi menjadi ketakutan. Melihat ini lima
orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan
si Juling membentak.
“Keparat
busuk, enak saja kau mengobrol di sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim
Kai-pang dan kami yang berhak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana
demi kemajuan perkumpulan dan kebahagiaan semua anggota kami. Kau berani datang
menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri!” Sambil berkata demikian, si
Juling dan empat orang adik seperguruannya mengangkat tinggi tongkat-tongkat
mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada
yang memegang tongkat dari perak murni!
“Hemm...
hemm... semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu
mengambil jalan halus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang
butut sebagai lambang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi
kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah-mewahan dan berlomba memegang
tongkat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali!”
“Tak usah
banyak cakap! Satu di antara syarat menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah
dia harus mempunyai kepandaian yang paling tinggi di antara para anggota.
Beranikah engkau melawan kami berlima?”
“Eh, kiranya
kalian masih mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian
memperlihatkan kecurangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama
atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri
pinjam tongkatmu!” kata Suling Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.
“Harap Pangcu
pakai saja tongkat ini. Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu
Jin Tianglo,” kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat
bambu yang sudah amat tua...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment