Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 08
Kembali Bu
Tek Siu Lam tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguh pun cukup kuat, akan
tetapi tidak mengherankan karena senjata pemuda itu adalah sebatang golok besar
yang berat. Akan tetapi, biar pun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya
terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga
lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya
memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
Perlu
diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal,
ia pernah menjadi orang kepercayaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam
(pembesar kebiri) yang dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan
keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu-tek Siu-lam telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biar pun dikebiri, ia tetap menjadi
seorang laki-laki yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu kehilangan
kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah
nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat
menjadi thaikam itu hanya melenyapkan kemampuannya mendapat keturunan saja.
Biar pun
dengan kenyataan ini diam-diam ia dapat merajalela dan merusak kesusilaan yang
dijaga keras di dalam istana dengan melakukan hubungan-hubungan gelap dengan
para puteri dan selir raja, namun pergaulannya dengan para thaikam lainnya,
juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat kewanita-wanitaan kepada
dirinya seperti kepada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain,
timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada
pemuda-pemuda tampan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap
gadis-gadis cantik!
Kebiasaan
seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak
normal dan boleh dibilang mendekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan
telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan
dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang marah!
Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan
berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup dalam dunia pengemis.
Kini bertemu
dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan
tertariknya hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi
sikap Hauw Lam yang mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah
kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan
wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa lagi mendapat kenyataan
bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai dari pada si
Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda
ini dengan mudah.
“Orang muda,
boleh juga kepandaianmu. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek
Siu-lam tanpa alasan?”
Pemuda baju
putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku
mendengar tentang namamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak
terjangmu. Aku she Kiang bernama Liong dari kota raja. Memang tak ada
permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mencelakai orang lain.
Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kau
perhina....“
“Hi-hik,
jadi engkaukah yang menyambitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah
berandal sombong ini, dan....”
“Ah...!”
Tiba-tiba Hauw Lam memotong, memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan
Bu-tek Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu...! Namamu amat terkenal sebagai
pendekar muda di kota raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas!”
PEMUDA baju
putih yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan senyum. Memang tidak salah
dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang benar Kiang-kongcu, putera
Pangeran Kiang yang sulung. Para pembaca cerita Cinta Bernoda Darah tentu masih
ingat bahwa ibu pemuda ini bernama Suma Ceng dan sebelum Suma Ceng menikah
dengan Pangeran Kiang, ia telah mengandung anak sulung ini! Jadi siapakah ayah
pemuda ini? Bukan lain adalah Suling Emas!
Sebelum
menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling cinta dengan Suling Emas dan
karena kedudukan mereka tak memungkinkan perjodohan di antara mereka, maka
dengan nekat mereka melakukan hubungan gelap yang mengakibatkan Suling Emas
disiksa (ketika itu belum sakti) dan Suma Ceng dikawinkan dengan Pangeran
Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi
rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling
Emas dan Suma Ceng.
Bagi Kiang
Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang ia kasihi, hormati dan taati,
karena Suling Emas adalah gurunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil.
Masih teringat olehnya betapa ketika ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam
Suling Emas memasuki kamarnya, dengan sikap manis mengajaknya bercakap-cakap
kemudian mengajaknya ke luar, dan mulai malam hari itulah ia menjadi murid
Suling Emas.
Murid
terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kandungnya sendiri tidak mengetahui akan hal
yang dirahasiakan ini. Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas
tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini. Ayahnya marah-marah, akan tetapi
setelah mendapat penjelasan ibunya, marahnya mereda dan sejak itu ia menjadi
murid Suling Emas secara berterang. Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau
bertemu dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu
mengajaknya berlatih di dalam taman bunga.
“Sobat baik,
engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau
segera dapat mengenalku “
Ada pun
Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid Suling Emas,
menjadi kaget dan kagum sekali, di samping perasaan tidak enak di hatinya. Dari
sambaran batu kerikil yang mengenai lengannya dan tangkisan pensil terhadap
guntingnya saja sudah membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian pemuda itu.
Kalau muridnya sepandai ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap
musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!
“Heh-heh,
kiranya engkau murid Suling Emas? Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kau
katakan kepada gurumu bahwa kalau dia memang seorang pendekar sakti, boleh dia
menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)!”
Kiang Liong
mengerutkan keningnya. “Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka
itu?”
“Hi-hik,
pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi dilahirkan. Dengarkan
baik-baik dan kau ceritakan kepada mereka yang menganggap diri sebagai
pendekar-pendekar kang-ouw. Bu-tek Ngo-sian mulai hari ini menguasai dunia
persilatan yang kalian sebut kaum sesat sebagai pengganti Thian-te Liok-kwi
yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua
adalah Thai-lek Kauw-ong, kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan
Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau tidak tentu dapat berjumpa
dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenalkan Thai-lek Kauw-ong...!” ia
menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, “...ehhh... kemana
Kauw-ong?”
“Heeeiii,
mana dia Mutiara Hitam...?” Hauw Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke
mari. “Kiang-kongcu, tentu dia dibawa lari setan gundul tadi. Mari kau bantu
aku mengejarnya!”
Kiang Liong
adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi
ia pun merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua orang itu. Ia merasa
heran betapa kakek gundul itu dapat bergerak sedemikian cepatnya dan tanpa ia
ketahui. Hal itu saja sudah jelas membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu
lihai bukan main. Ia mengangguk lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih
dahulu.
Bu-tek Siau-lam
terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak
membantuku malah membawa lari gadis galak tadi. Biar kau rasakan betapa
lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hi-hik!” Ia lalu turun dari puncak,
memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak mengikuti datuk itu
turun gunung.
***************
“Hei, kakek
gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?”
Thai-lek
Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit
pun tidak membayangkan rasa takut. Di samping ketabahan ini, juga menurut
perhitungannya, gadis yang sudah ia lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya
dapat bicara lagi. Kemudian rasa kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba
tubuh yang ramping itu meronta dan tangan kanan Kwi Lan menyambar dahsyat ke
arah lambungnya.
Thai-lek
Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat
dan kuat sekali, maka tentu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga
sinkang amat berbahaya ini. Untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada
lain jalan baginya kecuali melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya
yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi
Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal. Namun tamparan tangan
kiri Kwi Lan pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama
sekali.
“Plakk!” dan
tubuh Thai-lek Kauw-ong terhuyung sedikit.
Thai-lek
Kauw-ong terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan yang sudah
berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja kakek
kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar belakang peristiwa ini. Kwi Lan
adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu silat
tinggi yang dipelajari secara sesat sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali
dari ilmu silat tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali dari pada
aslinya.
Demikian
pula dalam melatih lweekang dan memperkuat sinkang. Kwi Lan mempunyai cara
berlatih yang amat aneh sehingga hasilnya pun luar biasa dan kadang-kadang ia
dapat melakukan hal dengan sinkang yang takkan dapat dilakukan oleh ahli
lweekeh yang sudah lebih tinggi tingkatnya! Inilah sebabnya mengapa dalam
berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja Kwi Lan sudah mampu
membebaskan diri. Menurut perhitungan Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan
melumpuhkan lawan selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia
lari turun gunung, gadis itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan sekaligus
menyerangnya dengan pukulan maut!
“Hemm, kau
boleh juga, patut menjadi murid Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak
pandai bicara itu berkata sambil mengangguk-angguk.
Selain
pemberani, Kwi Lan juga amat cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah
orang lain. Sudah terlalu banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya
luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong, Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi
pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini
tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian mudahnya.
Setelah kini mendengar bahwa kakek itu menawannya dengan niat mengambilnya
sebagai murid, Kwi Lan menjadi lega hati dan tersenyum mengejek.
“Kakek
gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau ingin menjadi guruku? Sungguh
lamunan kosong! Sampai di manakah tingginya ilmu kepandaianmu maka kau
mempunyai keinginan seperti itu? Apakah kau mampu menandingi... Bu Kek Siansu?”
Thai-lek
Kauw-ong membelalakkan kedua matanya dan mulutnya terbuka. Sejenak ia tidak
mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar Bu Kek
Siansuyang disebut oleh segala macam golongan dengan sikap hormat dan kagum,
bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa orang-orang pandai demikian
menghormat, biar pun ia sendiri belum pernah jumpa, sedikit banyak ia merasa
segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan gadis ini yang mengandung
tantangan ia segera menjawab. “Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia
gurumu?”
“Bukan.
Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah
menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup pandai untuk menjadi guruku kalau
kau belum mampu menandingi Bu Kek Siansu!”
Panas hati
kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang
sanggup mengalahkannya. Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di
laut timur telah menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping
himpunan tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu
silat tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan
dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di
pulau-pulau kosong.
Di samping
Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat hebat. Suaranya
saja sudah dapat merobohkan seorang lawan tangguh. Tidak mengherankan apa bila
kakek ini tidak pernah bertemu tanding dan kemenangan-kemenangan itu membuatnya
haus, haus akan pertandingan-pertandingan baru dan kemenangan-kemenangan baru.
“Boleh coba!
Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?” seru kakek itu sambil berdiri tegak,
agak membungkuk seperti seekor monyet besar.
Kwi Lan
tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya! Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada
siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan besar dan bersumbar! Sekarang begini saja,
eh... siapa namamu tadi?”
Thai-lek
Kauw-ong menyipitkan matanya, memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia
akan Bu-tek Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia
membayangkan bahwa gadis di depannya ini jauh lebih cantik, jauh lebih indah
bentuk tubuhnya dari pada Po Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan seorang bermata
keranjang, bahkan sudah puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita.
Namun, perbuatan Bu-tek Siu-lam tadi membuat hatinya bergerak dan nafsu yang
sudah lama tidur kini ikut bergerak hendak bangkit kembali.
“Orang
menyebutku Thai-lek Kauw-ong,” jawabnya singkat.
“Wah, cocok.
Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukanmu, tentu engkau
memiliki tenaga besar. Nah, sekarang coba kau perlihatkan kepandaianmu agar
dapat kubandingkan dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu.”
Thai-lek Kauw-ong
berpikir sejenak. Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya
untuk menundukkan gadis yang berani ini. Ia melihat sebatang pohon tak jauh
dari tempat itu, maka ia mendapat pikiran baik. Ia menudingkan telunjuknya ke
arah pohon sambil berkata, “Kau lihat, dari tempat ini aku sanggup sekali
pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”
Kwi Lan
memandang dan ia tercengang. Betulkah itu? Seorang yang memiliki sinkang amat
hebat sekali pun, sekali memukul dari jarak jauh paling-paling hanya akan
membikin rontok puluhan helai daun. Pohon itu daunnya amat lebat, tidak hanya
puluhan, bahkan ratusan dan ribuan helai daunnya! Mungkinkah kakek ini akan
mampu memukul rontok semua daun itu hanya dengan sekali pukul? Ia tidak percaya
dan menggeleng kepala, tersenyum lebar dan berkata.
“Kakek
sombong, bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan
tetapi kau harus merontokkan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”
“Hemm, kau
lihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan
digoda oleh nona yang pandai bicara itu.
Thai-lek
Kauw-ong lalu menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya
merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang. Kedua tangannya, dengan
jari-jari terbuka dan agak ditekuk, ujung menempel di kedua pangkal paha,
matanya mencorong memandang ke arah pohon itu, kemudian dari kerongkongannya
keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya
didorong ke depan, agak ke atas mengarah pohon. Hebat bukan main akibatnya.
Dari kedua lengan tangan raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke
arah pohon, membuat batang pohon seperti didorong tenaga raksasa sehingga
miring dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang sehingga semua daunnya rontok dan
melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang
luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
Kwi Lan
terkejut sekali. Sekilas pandang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu
benar-benar telah berhasil merontokkan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia
melihat daun-daun rontok berhamburan sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis
ini cepat mengerahkan tenaga, menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar
dan menangkap beberapa helai daun, lalu mengerahkan tenaga sinkang menyambitkan
daun-daun itu ke arah dahan pohon. Daun itu masih melayang-layang akan tetapi
melayang ke atas dan dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting
pohon!
“Hi-hik,
Thai-lek Kauw-ong, masih ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok
semua!” Kwi Lan mengejek. Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan
perbuatannya atau tidak karena ia memang hanya berniat menggangu sambil
memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun bukan tidak
memiliki kepandaian.
Dan sebetulnyalah
bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Napas
raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali itu agak terengah karena tadi
ia telah mempergunakan tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun
pohon akan rontok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah
heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan
gerakan Sian-twanio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
“Eh, Nona...
apa hubunganmu dengan Sian-twanio...?”
Kini Kwi Lan
yang menjadi tercengang. Ia cukup cerdik untuk menghubung-hubungkan sesuatu
persoalan. Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai
senjata rahasia maka menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
“Bibi Sian
adalah guruku. Apakah kau kenal dengan guruku?”
Kakek gundul
itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi
berseri gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngosian. Aku yang
paling tua. Kau sebut aku Twa-supek (Uwa Guru Tertua)!”
Kwi Lan
mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan ini? Siapa dan apakah Bu-tek
Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku,“ bantahnya
meragu.
Thai-lek
Kauw-ong mengangguk. “Tentu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama.
Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke
lima gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”
Kwi Lan
tidak puas. Biar pun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia
akui kadang-kadang tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan
watak angkuh gurunya. Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang
jahat macam ini? Betapa pun juga, hal itu merupakan pertolongan baginya, karena
setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan
diganggunya.
“Nah,
biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid
Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat menjadi muridmu.”
Sejenak
kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena
ingin mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah
melihat Bu-tek Siu-lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab, “Bukan
murid. Kita orang sendiri. Kau temani aku beberapa hari. Keponakan harus
bersikap manis kepada Supek-nya.” Sambil berkata demikian, sepasang mata itu
memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan
pandang matanya.
Kwi Lan
bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini.
Akan tetapi biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau
hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata si
Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri,
sungguh pun hal ini belum menimbulkan rasa takut.
Pada saat
itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan
karena seolah-olah membebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua
menengok dan tampaklah dua orang penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang
laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan.
Pakaian dua orang panglima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan
bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah.
Melihat
sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang
panglima asing ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa lagi gagang dan
sarung senjata yang tergantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi
Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi
ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena
inilah, otaknya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek
Kauw-ong.
“Twa-supek!
Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa
mengalahkan dua orang penunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau
memang gagah perkasa!”
Thai-lek
Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan
tetapi karena terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya
menjadi amat sederhana dan tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam
hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan
hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang
penuh nafsu birahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio
besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera
menjawab.
“Baik, kau
lihatlah!”
Sambil
berkata demikian tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat
loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang
dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu sudah menyambar ke
depan dan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak dua orang panglima itu
sambil berseru keras.
“Turun
kalian...!” Suaranya keras, sambarannya cepat.
Akan tetapi
biar pun merasa ngeri, dua orang panglima itu ternyata benar-benar bukan orang
sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka
sudah bergerak dengan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda
dengan loncatan miring. Terdengar suara keras dari patahnya tulang-tulang
punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua
ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat!
Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek
Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan
tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang
Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama dengan bentuk Thai-lek
Kauw-ong itu sesungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya
adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan. Yang
mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan
dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju
depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti Ciangkun. Ada pun orang ke dua yang
bermuka bengis adalah Loan Ti Ciangkun, panglima barisan penjaga benteng,
seperti dapat dikenal pada lukisan pilar benteng di depan dadanya.
Hoan Ti
Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun inilah adanya dua orang panglima yang belum lama
ini telah menyampaikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas.
Selain ilmu kepandaian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua
merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khitan mengadakan hubungan
dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu keduanya amat mahir berbahasa
selatan dan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun memakai nama Hoan Ti
Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun. Mereka merupakan panglima-panglima Kerajaan
Khitan yang setia karena semenjak muda mereka sudah menjadi prajurit yang
kemudian makin menanjak kedudukan mereka berkat ilmu kepandaian mereka yang
tinggi.
Kini mereka
dalam perjalanan pulang ke Khitan, tanpa sebab sama sekali telah diserang
Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja
mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai
orang-orang berpengalaman, mereka maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di
dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti Ciangkun yang
jenggotnya panjang dan halus menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan,
mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.
“Kasihan,
kalian menderita tanpa dosa.” Setelah berkata demikian, Hoan Ti Ciangkun
melangkah maju setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua
kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua
ekor kuda itu berhenti berkelojotan akibat pukulan yang tepat mengarah kepala
itu membuat dua ekor binatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti Ciangkun
bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.
“Maaf, kami
berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum pernah kenal dengan
Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu
menyerang kami? Siapakah Lo-suhu?”
Ucapan ini
benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji
dari dua orang panglima itu sehingga tidak mengherankan apa bila Ratu Khitan
mengangkat mereka sebagai utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan
Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan
dengan rakyat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat
Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan,
padahal kerajaan-kerajaan lain telah ditaklukkannya.
Siapa kira,
ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah.
Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu,
sebutan bagi seorang hwesio. Agaknya karena ia berkepala gundul maka orang
Khitan itu menyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa gundulnya adalah gundul asli,
bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan
Thai-lek-kang!
“Aku
Thai-lek Kauw-ong bukan pendeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada
permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!”
Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut,
menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.
Dua orang
panglima Khitan itu mendongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul
yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara
membabi buta hanya karena ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu
dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang mentaati pesan ratu tentu akan
suka mengakui keunggulan si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang,
maka keduanya cepat mengelak dan bahkan kini balas menyerang.
“Ji-wi
Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalahkan dia!”
Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga
sebabnya mengapa si Gundul ini bertindak secara edan-edanan.
Kiranya
karena gadis cantik itu. Tentu saja si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian
kepada si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti monyet,
masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja! Pikiran ini membuat kedua
orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu bergerak dan menyerang
sungguh-sungguh.
Dua orang
panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka
melakukan penyerangan. Biar pun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata
tajam, namun melihat bahwa lawan mereka tidak memegang senjata, mereka juga
tidak mencabut senjata, melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat
gerakan mereka, jelas bahwa biar pun mereka berdua adalah panglima-panglima
Khitan, namun mereka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama
mereka amat kuat dalam daya tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh
dipandang ringan.
Thai-lek
Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang sembarangan,
akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lweekang demikian kuatnya. Maka
karena ia merasa khawatir kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang
lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera
mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya lalu bergerak berpusingan dengan
kedua lengan dikembangkan.
Hebat bukan
main akibat gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin
menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh
kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan.
Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Jarang sekali
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan ilmunya yang ampuh ini. Sekarang karena dalam
hatinya timbul dorongan nafsu dan ingin sekali ia membuat Kwi Lan kagum akan
kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu
sesingkat-singkatnya!
Dua orang
panglima itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek
gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki
mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai mendoyong dan
akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin
berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan
terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu.
Terlambat
mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka berdua
mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas
kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana, dibawa angin yang
timbul dari ilmu pukulan Soan-hongsin-ciang yang hebat itu. Hoan Ti Ciangkun
dan Loan Ti Ciangkun berusaha mencabut senjata mereka, namun terlambat. Pada
saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar,
dua tamparan mengenai pundak Hoan Ti Ciangkun dan dada Loan Ti Ciangkun. Dua
orang panglima itu mengeluh dan terlempar ke belakang, masih berputar karena
kini mereka terbawa angin, kemudian roboh terguling-guling!
Pada saat
itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara
suling yang ditiup dengan indahnya. Namun ketika dua orang panglima itu roboh
pingsan, suara suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan
mengandung pula pengaruh yang membuat jantung Kwi Lan berdetak keras. Seketika
tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut
sekali gadis ini.
Sebagai
murid Kam Sian Eng, tentu saja ia maklum bahwa suara melengking yang merupakan
nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah
mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan suara ini, akan
tetapi selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini hebat
sehingga secara langsung merampas tenaganya! Gurunya sendiri tidak akan mampu
mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat
berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk melindungi jantungnya.
Juga
Thai-lek Kauw-ong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara
melengking tinggi sehingga tubuhnya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung.
Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk
membunuh dua orang panglima Khitan itu dan menghentikan gerakannya sambil
mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan suara itu.
Tiba-tiba
suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai sapu tangan.
Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung
sebuah topi lebar yang pinggirannya yang sudah butut.
Thai-lek
Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah
seorang lawan yang tangguh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih,
pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan yang tiada guna
itu.
“Eh,
permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”
“Thai-lek
Kauw-ong, sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar
dengan perbuatan-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu
di sini dan kembali engkau telah berlaku sewenang-wenang mengandalkan
kepandaianmu. Andai kata aku tidak mengambil pusing, sulingku ini tentu saja
takkan membiarkan engkau melakukan segala macam keganasan sekehendak hatimu
sendiri!” Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan sulingnya di depan
dada dan tampak sinar kuning emas berkelebatan menyilaukan mata.
“Ahhh...
engkau... Suling Emas?” Thai-lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang
berubah menjadi sinar kuning emas itu.
Sebelum
Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, “Thai-lek Kauw-ong, engkau
mengalahkan dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan
Suling Emas, barulah kau boleh menyebut orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.”
Suling Emas
mengerutkan keningnya. Bocah itu benar-benar bersikap berandalan dan nakal. Ia
tahu bahwa gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang
berusaha mengadu kakek gundul ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan
nakal, dan teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di waktu
mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng?
Kalau gadis
ini murid Sian Eng, agaknya dia adalah puteri adik tirinya itu. Ia tahu bahwa
Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya kepada Suma Boan, putera pangeran
yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian
Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah gila dan secara aneh dan mendadak
telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat! Puteri Sian Eng-kah gadis cantik
yang liar dan nakal ini?
“Hemm,
kebetulan sekali. Pak-sin-ong mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya.
Suling Emas, kau sambutlah seranganku ini!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba
tubuh kakek gundul itu kembali berputar-putar amat cepatnya, seperti ketika ia
menyerang dua orang Panglima Khitan tadi. Makin lama makin cepat gerakannya dan
mulai terdengar angin berdesing menyambar ke luar dari kedua lengan tangannya
yang dipentang lebar. Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka
begitu menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
Soan-hong-sin-ciang!
“Aahhh,
sayang sekali ilmu yang begini hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan
kemenangan,” kata Suling Emas sambil menarik napas panjang.
Menghadapi
angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali,
menyelipkan sulingnya di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang
kini sudah berpusingan amat cepatnya itu. Makin cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong
berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat kuat. Dengan
angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat dua orang Panglima
Khitan terhuyung-huyung. Kini melihat sikap Suling Emas yang berdiri tenang dan
biar pun pakaian pendekar sakti ini berkibar tertiup angin yang berpusing,
namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak bergeming.
Thai-lek
Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang berputar itu mulailah bergerak
menyerang. Inilah ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya.
Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking cepatnya, bagaikan
telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap berpusingan ini
secara tak tersangka-sangka melayang ke luar dua buah lengan tangan yang
melakukan pukulan-pukulan dahsyat.
“Hebat...!”
Suling Emas memuji. Ia kagum sekali.
Kecuali
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia
ketahui memang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya
Thian-te Liok-kwi, belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu
kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek
gundul ini lain dari pada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing
itu saja sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan
mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki
sinkang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan kuda-kuda goyah,
berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari
serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar ke luar dari
awan tebal itu.
Memang lihai
sekali Thai-kek Kauw-ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek
Ngo-sian. Ilmu silatnya Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi
sekali ini ia bertemu dengan Suling Emas, seorang pendekar sakti yang sudah
matang ilmunya. Tadi pun ketika Thai-lek Kauw-ong merobohkan dua orang Panglima
Khitan dan mengirim pukulan maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas
sudah mampu ‘menangkis’ atau mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan
suling tadi pun bukan sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat
tinggi, yang diperoleh Suling Emas yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini
menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh serta
disertai tenaga dalam amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya dengan tenang.
Ia maklum akan lihainya kakek ini dan ia juga merasa sayang. Biar pun belum
jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan tetapi sepanjang pendengarannya,
kakek ini semenjak muncul dari pulau di lautan timur, selalu mencari perkara
dan suka sekali berkelahi, namun tidak ia dengar kakek ini mempunyai anak buah
penjahat. Maka ia pun tidak ingin membunuhnya, merasa sayang melihat ilmu
kepandaian yang amat tinggi itu.
Dengan
tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya.
Jari-jarinya terbuka dan telunjuk kedua tangannya membuat gerakan
mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja mencoret-coret menulis
huruf dengan telunjuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in
Bun-hoat dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek
Kauw-ong terkejut setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret,
namun semua pukulannya terpental membalik, dan dua buah telunjuk itu sedemikian
kuatnya sehingga menembus pusaran angin, langsung melakukan totokan-totokan
pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja kakek gundul ini menjadi
sibuk sekali, menangkis dan mengelak. Biar pun ia menangkis dengan kedua
tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua tangan dan elakannya masih
belum cukup untuk melindungi tubuhnya karena yang menyerangnya bukan lagi dua
buah telunjuk, melainkan puluhan buah telunjuk!
Demikian
cepatnya gerakan Suling Emas. Selain terkejut, juga kakek gundul ini kagum
sekali. Timbul kegembiraan hatinya karena baru kali ini ia bertemu tanding yang
hebat. Ia segera menghentikan pusingan tubuhnya dan melayani gerakan Suling
Emas dengan sama cepatnya. Setelah tubuhnya tidak berpusing lagi, ia tidaklah
begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya ke satu
jurusan saja, yaitu ke depan.
Ia masih
mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil
mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut
beradu tangan. Setiap kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental
mundur dua langkah, akan tetapi biar pun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak
terpental mundur, ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini
berarti bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang
seusap dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi
besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
“Suling
Emas, kau hebat!” Kakek gundul itu biar pun merasa penasaran, namun ia tidak
marah melainkan kagum dan gembira. “Kau sambutlah ini!” Sambil berkata
demikian, tubuhnya yang sudah mencelat mundur itu kini berjongkok dan dari
kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua tangannya yang
terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!
Suling Emas
belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong, maka tadi ia
kagum dan mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu
yang diandalkan kakek gundul itu. Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan
berjongkok, ia sudah menduga bahwa kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam
lagi, maka ia waspada dan memasang kuda-kuda.
Ketika
mendengar suara seperti burung gagak keluar dari kerangkongan kakek itu, ia
terkejut bukan main. Ia pernah mendengar... tentang ilmu yang amat dahsyat dan
yang sukar dimiliki orang, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai kesempurnaan
dalam ilmu lweekang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam ilmu yang dimiliki seekor
katak. Dengan ilmu ini, katak yang demikian kecil dapat mempunyai tenaga yang
dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang Hoa-mo-kang dan si
pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan suara dari kerongkongannya
seperti suara katak.
Kini kakek
gundul ini berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara
dari kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang
cerdik itu segera teringat akan julukan kakek gundul itu. Tak salah lagi,
tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan inilah yang
membuat kakek itu dijuluki Thai-lek.
Setelah
dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati
Suling Emas untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas
kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan membahayakan diri sendiri, maka
ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga perempat bagian saja, sedangkan
sisa tenaganya ia persiapkan untuk dipakai meringankan tubuhnya dan meloncat
menghindarkan diri.
Kakek itu
menjadi girang melihat Suling Emas berani menyambut Thai-lek-kang dengan
dorongan kedua tangan dari atas ke bawah. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia
akan menang. Boleh jadi ia tidak mampu menandingi ilmu silat Suling Emas yang
demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu tenaga, tak mungkin
ia kalah kuat. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan
Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan
pukulan Thai-lek-kang, maka sambil mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan
seluruh tenaganya. Hawa panas mengalir bagaikan banjir keluar dari pusarnya
melalui kedua lengan.
Bagi
pandangan orang lain, pertemuan dua tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan
dan seakan-akan tidak ada apa-apa. Namun bagi kedua orang sakti ini,
seakan-akan halilintar menyambar dan meledak di atas kepala mereka. Akibatnya
hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya
mendorong ke depan, namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling
Emas terdorong dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah waspada, ia
segera menggunakan sisa tenaganya untuk meringankan tubuh sehingga ia berhasil
‘mematahkan’ tenaga dorongan dari kedua tangan lawan dengan cara membiarkan
tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter tingginya!
Tidak
demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa gundul ini menggunakan
seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di atas tanah, biar pun ia menang
posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan tetapi ia seperti tergencet dan
begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai
ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan
seakan-akan dadanya hendak meledak.
Thai-lek
Kauw-ong terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai
sehingga kalau ia terus menggunakan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan
terancam bahaya dan bisa menderita luka parah di dalam tubuh. Sebagai seorang
ahli ia tidak bodoh dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan
Thai-lek-kang yang biasanya amat dia andalkan itu. Sekali ia mengeluarkan
seruan keras, tubuhnya sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke
tanah sudah tercabut ke luar dan di kedua tangannya tampak senjatanya yang
ampuh, yaitu sepasang gembreng.
“Aha,
kiranya kepandaianmu hanya sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet
kulitmu belum patah tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya
sebegitu kepandaianmu, mana boleh engkau mengangkat dirimu sebagai orang
pertama Bu-tek Ngo-sian? Melawan guruku saja kau belum tentu menang!”
Panas rasa
perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga
mengerutkan kening. Benar-benar seorang gadis yang bermulut tajam dan
berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di atas pangkuannya dan
dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa kakek
gundul ini merupakan lawan yang tangguh dan sudah merupakan ahli tingkat atasan
yang sukar dicari tandingnya.
“Suling
Emas, coba kau sambut senjataku ini!” Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi
penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju, sepasang gembrengnya
mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia adu-adukan. Tubuh Suling Emas
berkelebat dan di depan tubuhnya tampak bergulung sinar kuning emas, yaitu
sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut dan gerakkan untuk menangkis
datangnya senjata lawan yang hebat.
“Trangg...
trangggg...!”
Mata Kwi Lan
menjadi silau karena bunga api yang berpijar ke luar amat terang, kemudian
disambung oleh suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya
tergetar. Gadis ini menjadi kagum dan kaget, apa lagi ketika dari suling yang
digerakkan tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang
menandingi bunyl nyaring sepasang gembreng. Riuh-rendah suara suling dan
gembreng ini dan Kwi Lan segera menjatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatukan
semangat dan mengatur pernapasan sambil memandang penuh perhatian.
Dua orang
itu tampak bergerak makin lama makin cepat. sehingga sukar dibedakan lagi mana
Suling Emas mana Thai-lek Kauw-ong. Ada pun suara gembreng dan suling amat
aneh. Makin lama makin terasa oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang
kini digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk irama tertentu seakan-akan
dua orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!
Akan tetapi,
makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula
pengaruhnya sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang
pertempuran itu. Ia makin mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan
telinganya saja untuk mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia
mengakui kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi
apakah gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu.
Makin besar
pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti dari
pada Thai-lek Kauw-ong. Biar pun tingkat kedua orang ini lebih tinggi dari
padanya, namun pertandingan tangan kosong disusul pertandingan adu tenaga dalam
tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua pertandingan
terdahulu itu Suling Emas berada di pihak unggul.
Makin lama
suara suling dan gembreng saling serang dengan irama yang cocok,
jalin-menjalin, seling-menyeling, dan kadang malah ganas dan marah saling
menghimpit, akan tetapi ada kalanya merdu merayu seperti sepasang orang muda
bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian, suara suling
makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan
menyeleweng dari pada irama, bahkan terdengar parau tidak keras lagi.
Mendengar
ini Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka
memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw-ong mulai kacau-balau,
sepasang gembrengnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar kebiruan menjadi
makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar kuning emas menjadi makin besar dan
panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit dua gulungan sinar kebiruan.
Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup oleh
gulungan sinar senjata.
“Cukuplah!”
tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik
kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan hampir tak dapat
menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata bersinar dan mulut di balik
sapu tangan ia berkata, “Thai-lek Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau
akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”
Thai-lek
Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak
ternganga dan napasnya terengah-engah. Mukanya agak pucat penuh peluh, juga
pakaiannya basah semua, tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan
main. Setelah mengatur napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.
“Suling Emas
memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian,
kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya, lalu pergi dari
situ dengan langkah lebar.
“Heeei!
Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan
mengejek. Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melangkah pergi.
“Eh,
Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil
murid kepadaku? Heeei...!”
Akan tetapi
Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya
lenyap di sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan
baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.
Suling Emas
berdiri tegak, mengerutkan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu
mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepalanya. Gadis ini
mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara
ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke
arat watak yang liar dan tidak baik.
“Nona,
apakah dia itu Twa-supek-mu (Uwa Gurumu)?” ia bertanya ketika gadis itu
menghentikan tawanya dan kini berdiri di depannya, memandangnya penuh
perhatian.
Kekaguman
memancar dari mata gadis itu, dan entah bagaimana, rasa hati Suling Emas
berdebar dan ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!
“Dia?
Twa-supek-ku? Ah, hanya menurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah
terbentuk Bu-tek Ngo-sian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan guruku
menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku menyebutnya Twa-supek-ku. Mana
aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu dengan dia?”
Suling Emas
mengerutkan keningnya lebih ke bawah. “Bukankah gurumu yang bernama Kam Sian
Eng?”
Kini Kwi Lan
yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia
sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan namanya, yaitu ketika
gurunya bicara dengan anggota partai pengemis yang berani mendatangi tempat
tinggal gurunya dan menerima hajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.
“Eh,
bagaimana kau bisa tahu namanya?”
Kini Suling
Emas tersenyum di balik sapu tangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang
seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! “Tentu
saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah kakak gurumu! Karena itu, akulah
yang sebetulnya harus kau panggil Twa-supek!”
Kwi Lan
kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Gurunya
adik Suling Emas? Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi
kekasih Ratu Khitan, kekasih ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan?
“Harap...
harap kau suka membuka sapu tangan itu!”
“He? Apa...
mengapa?”
“Kalau
memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supek-ku, bukan
hanya orang berkedok sapu tangan.”
Suling Emas
tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut sapu tangan yang menutupi bagian
bawah mukanya. “Bukankah kau pernah melihat wajahku di Kang-hu?”
“Benar, akan
tetapi hanya sebentar saja,” jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan
penuh garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai
Twa-supek yang kurang ajar!”
Kata-kata
terakhir ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan
penyesalan. Pada saat itu Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap
Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju, juga
bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih ibu
kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu
Khitan?
Suling Emas
terkejut, akan tetapi segera tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka agaknya.
Engkau menganggap aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh
engkau membuka bajumu? Ah, anak nakal. Jangankan kini mengetahui bahwa engkau
murid Sian Eng dan masih murid keponakanku sendiri. Andai kata tidak tahu
sekali pun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar
kepada seorang gadis remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi
kata-kataku belum selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja
maksudku agar engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak
mengalami luka seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai
dari Pak-kek Sian-ong.”
Merah wajah
Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia
mengenang kembali peristiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh
pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui
begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.
“Huh, kakek
gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan
kurang waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”
Suling Emas
mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia mengangguk-angguk.
“Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka
engkau dapat terhindar dari pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah
mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi sayang kurang memperhatikan
pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang
hormat.” Biar pun mulut Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya
memandang penuh teguran.
Sepasang
mata yang bening tajam tiba-tiba memandang Suling Emas dengan penuh selidik,
kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar
perasaan. “Suling Emas... ada hubungan apakah antara engkau dan... Ratu
Khitan...?”
Seketika
wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat. Sepasang mata
pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut, alisnya yang tebal hampir
bersambung setelah dikerutkan seperti itu. Pertanyaan yang tak
disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih
mengagetkan dari pada tusukan sebuah pedang yang tajam.
“Apa...?
Apa... maksudmu...?” Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini
membayangkan kekerasan dan kesungguhan.
“Adakah Ratu
Khitan itu dahulu pernah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan
langsung dan tajam.
Kalamenjing
di leher Suling Emas bergerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti
menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Tak kuasa ia
menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk sungguh pun hatinya mulai dikuasai
kemarahan mendengar akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah
kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti
orang marah sekali dan suara gadis itu bercampur isak. “Kalau kau sudah
merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau berada di sini
dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam menusuk
melebihi sepasang pedang pusaka sehingga Suling Emas melangkah mundur setindak.
Akan tetapi
pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan
membuat wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya
memancarkan sinar berpengaruh, kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu
lancang, terlalu kurang ajar. Biar pun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian
Eng sekali pun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak
bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian
kurang ajar!
“Bocah
kurang ajar tak tahu kesopanan!” bentaknya marah, melangkah maju setindak,
telunjuknya ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh
tantangan. “Lancang benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan
urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?”
Suling Emas
yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apa lagi pada saat itu setelah
kemarahannya bangkit dan semua tenaga sinkang terkumpul di dadanya. Lawan yang
tangguh sekali pun akan tergetar. Tapi gadis ini sama sekali tidak keder atau
takut, malah kalau tadi ia melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah
maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini
gadis itu menudingkan telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.
“Huh, mau
tahu? Dia adalah ibu kandungku!” Setelah berkata demikian, sambil mendengus
seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari
tempat itu.
Jawaban ini
seperti halilintar menyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan
kekagetan hati Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong dengan muka pucat,
memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan
lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. “Heii,
tunggu jangan lari...!”
Akan tetapi
baru saja ia menggerakkan kaki hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua
orang Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang
kini sudah siuman kembali, “Tai-hiap...!”
Suling Emas
menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah
panglima-panglima Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat
mendengar keterangan tentang Lin Lin dan... gadis yang mengaku anaknya itu.
Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun
merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu
memberi penjelasan.
Hatinya
tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap
mereka, ia membuka sapu tangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka.
Begitu melihat wajah di balik sapu tangan, dua orang Panglima Khitan itu
menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu
mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka
menjatuhkan diri berlutut.
“Terima
kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini
membuktikan bahwa Taihiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan,”
kata Hoan Ti Ciangkun yang berjenggot panjang.
Suling Emas
cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap
bangun, aku ingin membicarakan hal penting.”
Setelah
mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh,
mulailah Suling Emas menceritakan maksud hatinya.
“Pertama-tama
kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapa
pun juga. Hanya kepada Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin
minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai
Suling Emas?”
Dua orang
panglima itu saling pandang, kemudian mengangguk. “Kami berjanji,” kata mereka
berbareng.
“Juga takkan
membuka rahasia kepada ratu kalian?”
Mereka
bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi,
mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan
permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu, mereka kembali menyatakan setuju.
Lega hati
Suling Emas. Ia ingat kembali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua
orang ini takkan mungkin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah
dari Khitan, jujur dan setia. “Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi
ini Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima
Kayabu?”
Kembali dua
orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka,
Panglima Besar Kayabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan
mereka pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena
itu kedudukan Suling Emas di mata mereka seperti seorang Pangeran Khitan yang
harus mereka hormati. Hanya saja mereka tidak menyebut pangeran karena maklum
bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut demikian.
“Ji-wi
Ciangkun,” katanya. “Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali
akan keadaan di istana. Sukakah kalian memberi penjelasan kepadaku tentang
keadaan ratu kalian? Tentu kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku.
Bagaimanakah keadaannya? Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?”
Dua pasang
mata itu berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang
berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini mempunyai seorang putera yang gagah
perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami hormati dan cinta.”
Rasa panas
menjalar ke dalam dada Suling Emas. Jantungnya seperti terbakar, kepalanya
pening, pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul
dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu
dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali
bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan
untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang
mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu
membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi
seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar
saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena
perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung
kedukaan dan rindu dendam, biar pun Suling Emas berhasil menguasai hatinya,
namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia
terbatuk-batuk dan menggunakan sapu tangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia
menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi
memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang
pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah
seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi
Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar
mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar
tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah
menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa?”
Kini tiba
giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang
dan kemudian kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata
Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah... tak pernah menikah!” Dalam
kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan menikah
karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan.
Akan tetapi Loan
Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga
demikian, maka ia juga cepat menyambung. “Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap
Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan ada pun putera beliau itu
adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera
dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh
ratu kami.”
Keterangan
ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar
yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya
sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha...!” Dan dua
titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang
Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka
tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka
tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi
Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang
bernama Pangeran Talibu. Dan... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua
orang panglima itu benar-benar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Taihiap?
Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee...? Ada
seorang gadis bernama Mutiara Hitam... dan... ah, sudahlah. Kalian tidak
mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang
panglima itu menggeleng kepala dan mulai meragukan kewarasan otak pendekar
besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia
aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu
tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu
itu kepadanya. Kemudian tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu
yang perkasa sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan.
Akan tetapi
gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang
mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu
muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya.
Bagaimana pula bunyi kalimat itu? Terlalu lama menyimpan rahasia besar. Rahasia
apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin?
Sampai lama
Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia
tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan
mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia
suka datang berkunjung ke Khitan? Kalau tidak ada urusan penting sekali,
mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah
hampir kering? Betapa pun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang
yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama
baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi
Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang
panglima itu mengangguk.
“Baiklah,
kalau begitu aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan
kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan
selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang
panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Taihiap,”
jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan tetapi..., bagaimana caranya?”
“Aku ingin
sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai
Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu
kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu
kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek
Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”
Dua orang
panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Dan untuk
menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai
pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti
Ciangkun mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa heran. Memang
aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik
angkat saja mengapa mesti menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa
ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas
bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal
ini sebagai lelucon.
Setelah
berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk
penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling
Emas sudah berubah menjadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang
berusia enam puluh tahun lebih.
***************
Kita
tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti
Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa
dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai
namun tak pernah pula ia lupakan itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua
orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang
membawa lari Kwi Lan.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak
melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak
Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong, pemuda perkasa murid Suling Emas
itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis
remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar
gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai
tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci
itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat
musik yang-khim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.
Kiranya
Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka
meniup suling, dia lebih suka bermain yang-khim. Yang-khim itu buatannya
sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa
yang-khim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat
mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biar pun
Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di
kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan
seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan
perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang
Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari mana muncul
ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan
pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan
Kerajaan Sung didirikan oleh Cao Kuang Yin, seorang panglima besar yang pandai
akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat
sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil.
Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di
Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara.
Selama
Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih
memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan
mulai masa pemerintahan kaisar ke dua, yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang
hari tuanya, Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan
tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam,
kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan
tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau
politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan
sedemikian lemahnya sehingga kerajaan ini tidak lagi mempergunakan senjata
untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk
‘menyogok’ dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan
untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada
kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu
cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu
Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan
terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha
mempengaruhi dan merubah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntungan
pribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan
Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam
kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur
pemerintahan, apa lagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara dari ancaman
dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya
tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang
timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke
tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang
selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan
yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau
tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa
Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul
dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji.
Mereka
melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung
yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan
petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini
terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai
memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara
penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena
desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan
yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh
perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan
penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan keluar kota
raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan
yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang
Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa
lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat
menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga
mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang
Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan
Hauw Lam akhirnya menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat,
tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu
pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke
barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke
mana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku
akan turun tangan membantu... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara
Hitam.”
“Mutiara
Hitam..., tentu dia bukan sembarang orang dan biar pun dia sudah tertawan,
kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul,
Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas
bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu
lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan
hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi
Mutiara Hitam menyebutku si Berandal!” Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat
dan melanjutkan pengejaran ke utara.
Kiang Liong
berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada
diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan
gagal, dia anak baik...” Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu
melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke
sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat
di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil
melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat
akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut
keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin
oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta
berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Ada pun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah
campuran.
Setelah
melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan
jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan
bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang
lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan.
Tak seorang
pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak
dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas, tampak bekas
amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan
wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui
tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang,
perampokan, perkosaan dan penculikan.
Kiang Liong
menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan
bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur
jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan,
ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa
pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga
mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang
bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap
madunya dan dinikmati harumnya.
Karena
banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun
yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang
terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk
mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang
itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai
berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat
mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang
dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang
perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah.
Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang
tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk,
ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing,
dan ada kalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara
paksa.
Namun tidak
ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam
tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa
semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah
dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta,
sebaliknya para anggota barisan juga taat kepada pimpinan para perwira.
Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh
ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir
hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa
barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke
dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia
sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua
kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri
perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan
Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.
Begitu
memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar
berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan
Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh
di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan
tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita
yang didengarnya.
Pada hari
itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang
tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia
merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu
tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan
tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara
tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah.
Ia
mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu
besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing
mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu
melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata
hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar
itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua
orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai
untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan
menolong.
Dua orang
gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di
antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih
dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung
ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba
merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah
sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang
kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing
Hsi-hsia, kalian sudah terusir ke luar dari negeri kami, tapi masih berani
berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan sekali, sebelum membasmi seribu
ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
“Betul,
Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua
kita,” kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan
sudah mencabut pedang masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha,
bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami,
jago-jago dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang
berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa
bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan,
seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak
dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba
tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit
kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang di antaranya adalah si
Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun tangan. Gerakan
pedang mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja dua orang laki-laki
kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa.
Hal ini sama
sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga
mereka menjadi kaget sekali. Kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu
dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika
mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong
yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak. Ia maklum bahwa
menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak
akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum.
Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu
masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain
cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan
kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun
yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya
dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa
sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang
gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin,
mantu ketua Beng-kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua
tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa
sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia
dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui,
sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang
Kui.
Akan tetapi,
ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar
gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik
itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua
mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia
menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian
tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri
tunggal ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi.
Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh
memiliki orang-orang yang sakti.
Betapa pun
cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu
Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa
membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan
kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton,
walau pun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam
bahaya.
Dua orang
gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang
berwarna putih berkilauan seperti perak menyambar-nyambar dan para pengeroyok
yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai
roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi
darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak
melarikan diri.
“Cici,
jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pedang
mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari.
Siang Kui
mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang
sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak
panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil
berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada
gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka.
Dua puluh
satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang
seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini
mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan
berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi!
Biar pun
Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah
bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka
kini ia melompat keluar dan berseru, “Adik-adik...! Cukuplah...!”
Siang Kui dan
Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas membalikkan tubuh dengan
sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang
pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan
pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman
tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik
yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang
pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako
(Kakak Liong)...!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri
Kiang Liong. Wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut,
bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka
cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.
“Ji-wi
Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini?
Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya
begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang
Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru
berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia
kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang
menepuk-nepuk pundaknya.
Melihat
adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi gadis yang
lebih tua ini hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata, “Ah,
engkau tidak tahu, Liong-twako...! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao,
mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao... dan... dan...
dalam pertempuran... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong
mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau
tidak, tentu ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat
mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
“Ah,
Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan
tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha
Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara
adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguh pun kehilangan ini
amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku
sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul
mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan
pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan
semangat, apa lagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan
sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu
ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Kiang Liong.
Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh
semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu.
Kemudian
Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka, “Liong-twako, mala-petaka
itu lebih hebat dari pada yang kau duga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang
gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan...
Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan
musuh....“
“Apa...?!”
Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat.
“Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu
(Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”
“Di antara
barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang
menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka
tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan
penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah
tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang
kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang
berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda
kami. Liong-twako, kau tolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan
menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku
suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula
kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya
kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.”
jawab Siang Kui.
Wajah Kiang
Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak
berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan
Beng-kauw?”
Siang Kui
menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga
tahun lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di puncak Tai-liang-san,
maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan
untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biar pun
tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih
berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan
anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para
penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah
bersembunyi di pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba
Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu
sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada
apa, Twako...?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi
Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya
menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah
tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa
buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang
mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata
terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka
ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata
rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh!
Orang muda, kau tangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah
seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun
lagi.
Kakek ini
amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput. Bajunya tak
berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari
bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung dan
runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya
memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong
bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan
menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan
terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak
membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong
bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu
tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya,
“Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cianpwe. Selamanya belum pernah saya,
Kiang Liong, dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cianpwe, mengapakah
begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha,
heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama
sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus!
Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda,
apakah kau orang Beng-kauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan
Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan
lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
Kiang Liong
mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang
berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm,
Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek
Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan
Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk
menjadi anggota Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah
orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah
saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini
setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha,
heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil
terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju.
Gerakan
Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku
tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap
kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah
senjata yang amat berbahaya! Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana
burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia
akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda.
Akan tetapi
perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat
kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya
mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo
membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan
kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan
aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya
memegang pensil kayu!
Sebetulnya
kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang,
melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan
kosong pula. Akan tetapi serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena
kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis,
maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian
tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut ke luar sepasang
pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini
benar-benar seorang lawan yang amat tangguh, tidak di sebelah bawah tingkat
Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain
pihak, Siauw-bin Lo-mo juga terkejut bukan main ketika melihat betapa gerakan
pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan
si Pemuda. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar
bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya
saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan
serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin
Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia
terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena
kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada
Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada
tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih
muda, sungguh pun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha,
sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kau lihat
kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak
asal tubruk lagi seperti tadi.
Ternyata
ilmu silat tangan kosongnya dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan
dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan
menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek
ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia
sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan
bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya
ini.
Akan tetapi
kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan
sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsekan
serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut
serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan,
telapak tangan, dan dekat siku.
Dengan cara
ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum
setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan
totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk
mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang
terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung
pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh,
kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merubah
gerakan.
Kini
kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan
berusaha mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau
bagian tubuh terdekat apa bila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir
terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan
kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak.
Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan
tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya.
Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara
tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan
berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari
kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari
kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah
pensil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya
dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan.
Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh
pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan
dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong.
Pemuda ini
tidak membiarkan dirinya dicengkeram. Cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga
tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak
tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke arah perut. Tendangan
yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan menggerakkan
pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil
kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.
“Breettt...!
Takkk...!”
Siauw-bin
Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat
memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya
tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan
pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sinkang dan tangan
kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini
kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis
totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja
diterima dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena
tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sinkang murni dan
kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan
muka berubah.
Kiang Liong
juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka
tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merubah gerakan. Kini ia menerjang maju
dan sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian
mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara,
mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan
pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.
Silau
rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi
bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya, bahkan
berusaha merampas sepasang pensil yang amat lihai itu, namun hasilnya sia-sia,
malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan
mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan
maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi
tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan
sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang
ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah
kewalahan, apa lagi hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar
biasa itu.
Hal ini
tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu
adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah
ilmu silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek
Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah
gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang
yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf
indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat.
Tentu saja
ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biar pun
Kiang Liong adalah seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah
digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu menguasai
delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini
sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun
seperti Suling Emas. Betapa pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat
seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum.
Menyaksikan kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan
tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian
mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal
ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat
Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin
Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung
dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara
aneh itu. Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang
menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya, membuat ia sibuk dan
akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri.
Siauw-bin
Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia
bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan
malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan bergulingan
itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar
telur angsa, kemudian ia membanting dua ‘telur’ itu ke atas tanah di sebelah depannya.
Terdengar suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti
sekelilingnya.
Kiang Liong
terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu
mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas
dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan
ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap
putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu
lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi kakek aneh ini sekarang
sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia
membuka sumbat bambu itu, dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk
baunya.
Kiang Liong
terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya.
Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat
menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya
yang dikebutkan dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga asap itu buyar tidak
jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya
dikurung asap-asap beracun.
Kiang Liong
cepat mengerahkan ginkangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat
lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat ke luar dari kurungan asap.
Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah
lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang
gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi...!
Hui-moi...!” Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban
sehingga hatinya menjadi khawatir sekali.
Mungkinkan
si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula
untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun
lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik
dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apa lagi kalau
diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu
akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong
menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di
mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda
atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan
dipermainkan lawan.
“Siauw-bin
Lo-mo kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju
dan lanjutkan pertandingan. Tak ada gunanya bersikap pengecut dan melarikan
gadis-gadis itu!” Betapa pun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali
tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan
pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari
cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah sungai
Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu
para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada
permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin
seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan
terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang
tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang
menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw.
Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat
menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa
akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang mala-petaka
ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping
semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh,
apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat
akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong
Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas
ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah
lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah
membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali ketua Beng-kauw
yang amat sakti sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang
diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapa pun juga Kiang
Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong
anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan
juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin
Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang
selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke pegunungan Kao-likung-san!
Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa
kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah
perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang
menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan
seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki pegunungan
Kao-likung-san.
Sampai di
kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang
dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk, dan ia tidak dapat
menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas
para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang
gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di pegunungan Kao-likung-san di
lembah sungai Nu-kiang.
Mulailah ia
pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran, akhirnya
ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia
melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna
biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba
terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa
batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat
bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar
dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh
orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan
Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang
Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin
barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa
disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang
ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah
kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan
Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan
matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya
yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda,
engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada
keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she
Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak
aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan
pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama
Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat!
Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak
berubah sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu
serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka
menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah
Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang
Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam
karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang
Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan
gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui.
Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biar pun sama ganas dan kasar, namun lebih
dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan
dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong
tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya
menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga
orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak
kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena
buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok
mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya
lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih. salam penggemar Kho Ping Hoo saat masih SMA
ReplyDelete