Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 07
SULING EMAS
diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihaian mereka karena ia pun
maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena
melihat bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang yang
berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat
dari pakaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar
di dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar,
berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin
sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak
main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!
Setelah dua
orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling
Emas, “Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami
dibawa dengan paksa oleh dua ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas
berkata dari balik sapu tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun
berpengaruh, “Sepanjang pengetahuanku, panglima-panglima Khitan adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi dan juga menjunjung keadilan dan
kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan
sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?”
Muka kedua
orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk
hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri
pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menutupi mukanya itu adalah
orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan
bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pengemis dan berada di antara
para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus
kering, hilang keraguan mereka.
Seorang di
antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel
ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah
memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap,
menempuh perjalanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan.
Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya
dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara
kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak
saling mengenal. Mengapa kalian bersusah payah mencariku?”
Panglima
yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata, “Kami datang
sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap
sudi menerimanya!”. Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu
bergerak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah
Suling Emas.
Suling Emas
mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah
merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan
tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri,
dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak
bergoyang dari atas panggung kudanya.
Dua orang
panglima itu memandang penuh kekaguman dan panglima yang menyambitkan gulungan
surat berkata, “Ternyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan
tugas kami. Maafkan kami, sobat-sobat yang bandel dan selamat tinggal, Taihiap!”
Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek
pengemis itu, kemudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi meninggalkan
tempat itu.
“Berbahaya
sekali! Mereka itu memiliki kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu
diganggu orang-orang Khitan?” tanya Ciam-lokai terheran-heran. Ini adalah
pengalamannya yang dua kali melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan.
Suling Emas
tersenyum. “Urusan pribadi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sampai terbawa-bawa.”
“Adakah sesuatu
yang dapat kami lakukan untuk membantumu, Taihiap?” tanya Gak-lokai ketika
melihat wajah pendekar itu agak pucat.
Suling Emas
mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini
ia berkata. “Memang kalian dapat membantuku. Harap kalian sampaikan kepada
Pangcu kalian agar suka mengutus anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan
mencari kemana perginya gadis yang berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil,
harap memberi kabar kepadaku. Aku akan berada di kota raja.”
Dua orang kakek
pengemis itu menyanggupi dan mereka lalu berpisah. Setelah Gak-lokai dan
Ciam-lokai pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil melepas
tali pengikat gulungan kertas. Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa
kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar ketika ia membentangkan kertas
itu di depannya, sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya.
Surat itu ternyata singkat namun mengandung gambaran hati yang penuh rindu dan
risau.
Kakanda Kam
Bu Song,
Terlalu lama
saya menanggung derita batin. Terlalu lama menyimpan rahasia besar. Tak
tertahankan lagi. Lekas datang berkunjung.
YALINA
Suling Emas
menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam.
Apakah yang dikehendaki Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya?
Bukankah sudah tepat kalau ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia
meninggalkan Suma Ceng?”
Ah, hidupnya
yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak merasa rindu kepada Lin
Lin, hanya ia sengaja hendak menghapus perasaan itu mengingat akan kedudukan
Lin Lin sebagai Ratu Yalina di Khitan. Untuk apa dia mengganggu dan merusak
nama baik seorang ratu besar? Inilah yang meragukan hatinya sehingga ia tidak
berani berkunjung ke Khitan. Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan
hendak pergi ke kota raja Sung, untuk menemui Liong-ji (Anak Liong).
Ya, kini
hanya pemuda putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong
adalah pemuda puteranya, anak Suma Ceng. Pemuda ini menggunakan she Kiang
menurut nama keluarga Pangeran Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong
adalah puteranya! Dan semenjak kecil, ia sering kali berkunjung secara
diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang menganggapnya sebagai
gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk berkunjung kepada
murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa rindu. Akan tetapi surat Lin
Ling yang baru saja diterimanya membuat hatinya bimbang.
Ah, betapa
pahit semua kenyataan itu. Lin Lin adalah seorang wanita yang dicintanya,
bahkan bukan hanya menjadi kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama
sebulan, isteri yang tidak sah! Terpaksa ia harus merenggutkan cinta kasih,
merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu!
Dan terhadap
Kiang Liong, biar pun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak
berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru! Hal ini
ia lakukan demi menjaga nama baik Suma Ceng, juga nama baik anak itu sendiri
sebagai putera pangeran! Benar-benar ia banyak menderita batin, namun
pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi orang-orang yang ia cinta!
***************
Senja hari
di malam tahun baru. Untuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak
Cheng-liong-san yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan
tetapi tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan
pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik ke
puncak, melainkan bergerombol dan berkumpul menjadi beberapa kelompok di lereng
gunung. Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke
puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari
penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh golongan
masing-masing untuk menentukan siapa di antara mereka yang patut dipilih
menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.
Datuk
pertama yang muncul di puncak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan
seorang diri, mendaki puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula,
dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali sehingga
suaranya yang bergema di seluruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat
membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suaranya tinggi kecil
seperti suara perempuan.
Kalau tidak
melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita.
Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap,
dengan tubuh berotot dan sepatutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh
gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata
yang warna hitamnya tercampur biru. Kulitnya putih halus seperti kulit wanita,
rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya,
lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat
besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang
pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak
makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka
warna yang halus, lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku
jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah!
Inilah dia
Bu-tek Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu. Julukan
Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu
membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti perempuan dan
tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang wadam (banci). Sebuah gunting
besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.
Setelah tiba
di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, memandang ke kanan kiri
lalu berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang
keras sekali sehingga mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan
panjang ini disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.
“Heiiii!
Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi?
Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya sebagai
bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Bu-tek
Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh
digerak-gerakan kemayu!
Mendengar
suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang
dan Hek-coa Kai-pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun
hanya berkumpul di bawah puncak dari mana mereka dapat memandang datuk mereka
dengan penuh harapan. Di antara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan
Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik
hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali
orang mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani,
beberapa orang pelancong dan ada juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi
ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai mendaki bukit, orang-orang yang
tidak tahu akan bahaya ini, dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang
aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.
Kedatangan
rombongan bukan pengemis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam
yang tajam. Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin
menonton itu, lalu berkata, suaranya manis sekali terdengarnya, sungguh pun
dengan dialek asing.
“Siapakah
jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik ke sini!”
Akan tetapi
tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya
karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago.
Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah,
menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak menghormatinya. Tiba-tiba ia
tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari
puncak, tiba di antara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak
menyangka buruk, bahkan menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat.
Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan
genit ini pun tertawa-tawa.
Akan tetapi
secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap
seorang di antara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu,
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat.
Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijambak rambutnya dan
digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.
“Hi-hik,
inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?” Bu-tek Siu-lam bertanya sambil
tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya
itu.
Orang itu
menjadi marah sekali karena kesakitan. Betapa pun juga dia adalah seorang
laki-laki yang kuat dan pernah belajar silat, maka tentu saja tidak mau dihina
oleh orang aneh ini. “Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan kirinya
menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.
“Crakkk!”
Laki-laki
itu menjerit dan darah menyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas
siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilakukan oleh tangan
kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya
laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan
kedua kakinya menghantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang
aneh itu.
“Crak-crak-crak!”
Sungguh
hebat pemandangan itu. Mengerikan sekali! Laki-laki yang tergantung itu kini
buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan laki-laki itu matanya
mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi, agaknya sudah tewas di saat itu
juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat para penonton menjadi panik, ada yang
lari, ada yang jatuh bangun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat
lari saking takutnya.
“Hayo mana
jagomu. Inikah?”
“Crak-crak!”
“Atau ini?”
“Crak-crak-crak!”
Sambil
tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerjakan guntingnya setelah melemparkan korban
pertama ke atas tanah. Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki
dan tangan sehingga sebentar saja belasan orang sudah bergelimpangan dengan
kaki tangan buntung! Darah membanjir dan mereka yang menjadi korban kebiadaban
ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!
“Heeii,
anak-anakku semua kaum kai-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap
musuh-musuh kita kalau aku menjadi Bengcu!”
Para
pengemis itu biar pun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar
biasa itu, namun karena mereka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak
kejam dan senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak
girang.
“Hidup
Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
“Tidak ada
yang dapat melawan kegagahan Locianpwe!”
Demikianlah
teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan
puas. Sementara itu sisa para penonton yang panik dan ketakutan itu kini
melarikan diri ke sebelah barat, menjauhi rombongan pengemis yang mendaki
puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak
mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk
mendemonstrasikan kepandaian dan kekejamannya telah puas.
Di antara
rombongan pengemis itu terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan
julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut
Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan semenjak dahulu
menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah
mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan orang baik-baik sampai
pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli,
selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang.
Hal ini adalah
karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan.
Pendeknya ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang
didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh dan tidak normal pikiran
Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah perkumpulannya berada di
tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya
untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih
perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau
rombongannya bergerak.
Akan tetapi,
begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas
peri-kemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarahannya membuat mukanya
merah dan matanya melotot. Apa lagi ketika melihat betapa para pengemis yang
menjadi anggota-anggota perkumpulannya kini sambil tersenyum-senyum memuji
orang kejam aneh itu, dan mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan dan
melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia
menjadi makin penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia
masih tidak peduli karena betapa pun juga yang dirampok dan diperas tentulah
orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan
terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus
kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.
“Hei, kau
ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke
depan Bu-tek Siu-lam.
“Hoan-lokai,
jangan sembrono...!”
“Hoan-lokai,
jangan kurang ajar terhadap calon bengcu...!”
Teriakan-teriakan
peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai
yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas
dari puncak itu, berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang
dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka
terkejut dan mengeluarkan teriakan kaget.
Warna hijau
pada kedua tangan ini menjadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah
mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu
menggunakan ilmunya dan biar pun semua orang tahu akan keampuhan kedua
tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga
Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau!
Kini tak
seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka
pucat dan mata terbelalak. Betapa pun juga, kejadian ini menegangkan hati dan
menyenangkan, karena mereka mendapat kesempatan untuk menyaksikan kelihaian
orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang keselamatan
Hoan-lokai, siapa peduli? Kakek ini biar pun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh
dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun takkan merugikan siapa-siapa.
Sementara
itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek
yang kedua tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di
pinggang. Ia tahu akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa
kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam
agaknya sama sekali tidak memandang mata.
“Kau mau
apa?” tanya Bu-tek Siulam dengan sikap angkuh sambil memandang pengemis itu
dengan kepala dimiringkan.
“Kau ini
manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu
tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata melotot.
Bu-tek
Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali
tidak peduli lagi bahwa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap
mengancam sekali. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya
melihat sikap orang aneh yang amat sombong itu, Hoan-lokai sudah menggerakkan
tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siulam. Pukulan ini keras
sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan
seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul hancur sepotong batu, karena
tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.
Namun bagi
seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepandaian seperti ini
tidak ada artinya sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu
Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah ilmu gwakang atau ilmu luar yang
dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergunakan kekuatan
kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu
hanya keras dan kuat saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh
dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah
tidak lagi membutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakan, kepandaiannya.
Seseorang
yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga
kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk
dipergunakan secara tepat. Seorang ahli ilmu silat tinggi mendasarkan tenaga
dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air,
atau lunak ulet seperti karet.
Kalau
seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi
sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu? Besi
dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena keras bertemu keras, akan
tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan memukul diri
sendiri, kalau dihantamkan pasir, tanah atau air yang tak melawan, akan lenyap
dan tenaga pukulannya akan tersedot tanpa guna.
“Wuuuuttt...
desss!” pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali
mengenai perut Bu-tek Siu-lam.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa
tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui
perlawanan seperti orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai adalah seorang ahli
silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam
seperti iblis ini adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga dalam), maka ia
cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
“Wuuuuttt...
dukkk!” kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan
kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan membalik.
Untung bahwa
Hoan-lokai tadi menggunakan siasat, hanya menggunakan setengah tenaganya,
sedangkan tenaga setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan
yang ‘menancap’ ke dalam perut. Ia berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-hi-hi-he-hehh...!”
Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit sekali, berirama dan berlagu
seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak?
Teman-temanmu mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan
aku?”
“Manusia
iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang
ke dalam neraka!”
Dengan
kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya
tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis
dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek
Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan
kirinya menyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting
kedua buah jari tangannya tadi!
Hoan-lokai
melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu
bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama
perkumpulan Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak
dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua
kegunaan. Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur
dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai
sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah
dipeliharanya bertahun-tahun itu demikian mudah terbunuh! Sambil memekik keras
Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara
berbareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya menghantam perut.
“Wuuuttt...
ceppp...!”
Dua buah
kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan
oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis itu meronta-ronta dan
mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang
berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya
yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas
menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta,
mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut ke luar kedua tangannya, namun
sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ketawanya lucu menyeramkan.
“Pergilah!”
bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek
Siu-lam mengerahkan tenaga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari
‘cengkeraman’ perut, terlebih dahulu terdengar suara....
“Pletok-pletok!”
suara itu dua kali dan ketika kedua tangan itu sudah bebas, ternyata
tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu
tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.
Muka
Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat penuh keringat,
dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya
menyeringai. Dia memang seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan
dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebatnya rasa sakit yang
dideritanya, ia menjadi makin marah dan nekat.
Dengan pekik
yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya bergantungan
lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Serudukan seperti
ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepalanya, Hoan-lokai
sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat! Akan tetapi Bu-tek
Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi, memasang
perutnya yang sengaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan
lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.
“Suppp!”
kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya
membusung itu serentak mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke
rongga perut!
Aneh sekali
kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung
Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti
menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak
seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di
bawahnya. Biar pun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang
sehebat itu, yaitu menggunakan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah
dapat menduga betapa kepala Hoan-lokai akan menjadi remuk tergencet seperti
kedua tangannya tadi!
Pada saat
itu dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya
keras sekali dan terbahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu
melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua
pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan berdiri bulu tengkuk
mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa
dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling
pandang dengan melongo.
Belum lenyap
suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara
ketawanya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema,
sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orangnya ternyata biasa saja,
bahkan kurang dari pada ukuran biasa. Kecil kurus, sedemikian kurusnya seperti
cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua
sehingga sukar ditaksir berapa usianya.
Rambutnya
hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi
matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang
melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari
sabuk yang aneh dan lucu pula karena sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil
berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang
panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali.
Bajunya
berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya panjang dan kakinya
telanjang. Benar-benar seorang yang aneh dan lucu sekali. Apa lagi kalau orang
melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah
sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar
dari mulutnya, sedangkan mulut itu sendiri tidak tertawa!
Berbareng
dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan
orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera
yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang
dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan
perkumpulan Thian-liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang
diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang
terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga!
Melihat
rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang
aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)!
Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan. Sebetulnya,
julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat karena biar pun suaranya kalau
tertawa seperti orang terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak
pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apa lagi ketawa!
Kedua kaki
orang aneh ini tidak tampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di
depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih
‘menancap’ dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini,
Bu-tek Siu-lam sama sekali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum
bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya
membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti
akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi saking hebatnya.
“Huah-hah-heh-heh-heh!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa menggerakkan bibir atau membuka mulut.
Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di
barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat
hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau
yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!” Setelah
berkata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah
pantat Hoan-lokai.
“Bukkk!”
Tendangan
ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang
mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung
tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu
tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya
dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai
maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas
itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencetan
perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.
Kaget sekali
Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat
dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut
merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi
perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko
berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh
Hoan-lokai bagaikan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.
Sambil
tertawa-tawa Siauw-bin Lomo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini
bergerak entah bagaimana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu
tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur
dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa
si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi
melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepandaian si Iblis Banci!
Kasihan sekali
nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian
tinggi di antara para anggota Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang
aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau
buas! Sama sekali tidak berdaya. Kepalanya pening dan pandang matanya
berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi
datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, hanya
dengan dorongan tangan dari jauh, dua orang aneh itu dapat membuat tubuhnya
terlempar ke sana ke mari! Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang
beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap
seenaknya!
“Heh manusia
kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang
tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu
rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam
bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.
“Hoh-hoh-huh-huh,
manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan
ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku si Tua Bangka yang sudah
terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh
muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin
Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan
kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah
Bu-tek Siulam.
“He-he-hi-hi-hik!
Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali! Orangnya
ternyata lebih buruk dari pada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai
tubuh Hoan-lokai menyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil
mengerahkan tenaga.
Dua tenaga
sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan... tubuh
kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka
seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara! Kini
setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah
seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi.
Dengan berdiri tegak, tangan kanan mereka diulur ke depan dengan jari tangan
terbuka dari mana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang ‘menahan’ bahkan
mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekanan
makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.
Celaka
sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan
ke sana ke mari sehingga kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan kini
ia merasa tubuhnya terjepit dan sukar bernapas akibat tertahan oleh gencetan
dua tenaga dahsyat itu. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia mengeluarkan
teriakan menyeramkan, tubuhnya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan
telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di
tengah udara!
Melihat ini,
kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting
berdebuk ke atas tanah.
Bu-tek
Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering
benar-benar mengagumkan!”
Siauw-bin
Lo-mo tertawa juga. “Engkau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai
ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk
mereka, orang-orang Thian-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai,
akan tetapi Siauw-bin Lo-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. “Tak
usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bangkai ini?”
Anak buah
Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil
mengeluarkan suara tertawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya,
mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menuangkannya beberapa
tetes cairan berwarna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan
bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka
membelalakkan mata saking kaget dan herannya.
Bahkan
Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap,
melumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek
Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun
seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan
merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.
Dalam waktu
singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke
dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek
Siu-lam sambil berkata.
“Bagaimana,
bocah tampan? Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”
Bu-tek
Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan
dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku
menyerahkannya kepadamu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu
untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biar pun kau mempunyai racun neraka
itu!”
“Huah-hah-hah,
bocah muda omongannya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku?
Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju
semua agar tidak kepalang tanggung aku turun tangan membuang keringat
menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil ini membuat Bu-tek Siu-lam mendongkol.
Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki
ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum
Bu-tek Siu-lam sempat menjawab, dari utara terdengar bunyi pekik seperti lolong
serigala. Lolong ini hebat bukan main, menggetarkan tanah dan pohon-pohon di
puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong
mengerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama anehnya
dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya.
Tubuhnya
tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang
tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga
tak tampak biji matanya. Tangan kanannya memegang sebuah senjata yang aneh,
berbentuk seperti pedang, ujungnya berkait dan bergigi seperti gergaji! Tangan
kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing
bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah
mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam.
Berbareng
dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar
yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang
Khitan dan Mongol, orang-orang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja
diduga siapa tokoh aneh itu.
“Heh-heh-hik-hik!
Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata
Bu-tek Siu-lam.
Mendengar
ini, Siauw-bin Lo-mo memandang penuh perhatian dan amat tertarik, kemudian
sambil tertawa-tawa ia pun berkata, “Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong
yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan
orang-orang yang bernama besar!”
Bu-tek
Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguh pun hanya mengukur kekuatan
sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum
bahwa betapa pun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul
lagi seorang saingan yang namanya telah terkenal sekali, maka ia pun tak mau
menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan
kedudukan bengcu. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau
Jin-cam Khoa-ong dan berkata.
“Pak-sin-ong
terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya
tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas
untuk menggorok leher. Hi-hi-hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan
tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum benangku!”
Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang
di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum
besar dengan gulungan benangnya!
Pak-sin-ong
mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi
sikapnya sama sekali tidak ramah apa lagi lucu. Ia seorang yang sikapnya
angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan
Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada
dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang
itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia
mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh
anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan
Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina, akan tetapi juga terang-terangan
menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang
matanya menyambar sinar berapi.
Mulut yang
seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar
suaranya, “Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau
pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!”
Begitu
kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke
depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan
menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang
didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena
disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan terbelah dan
isi perutnya akan cerai-berai!
“Traanggg...!”
Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke
belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan si
Tokoh Genit. Mereka memandang kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan
kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh
dipandang ringan.
“Siuuuuutttt...!”
Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini
melengkung dan melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek
Siu-lam.
“Cringgg...!”
Sinar kecil
putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang
meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat
sebuah pancing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali
kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki
tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali
itu.
Melihat
betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pandang dan
kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa
menggerakkan mulutnya. Melihat ini, diam-diam bulu tengkuk Pak-sin-ong
meremang. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.
“Huah-ha-ha-ha,
belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita
datang, hayo kita putuskan siapa di antara kita bertiga yang patut menjadi
Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua
orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya
yang maklum bahwa kakek kecil ini biar pun bertangan kosong namun amat
berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk menjaga diri.
Pada saat
itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat
itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin taufan mengamuk dan di antara
angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar
berat seperti langkah kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan karena
mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya
seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh
kewaspadaan.
Tak lama
kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul
dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian
seperti hwesio, mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali.
Mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya
membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan
hingga berbunyi nyaring dan berisik.
“Tak salah
lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang
penuh perhatian.
“Ha-ha,
bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?” tanya Siauw-bin
Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah
menjulang tinggi di dunia kang-ouw.
“Hi-hik!
Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet,
dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”
“Bagus, kebetulan
sekali!” kata Pak-sin-ong yang biar pun di dalam hatinya terkejut menyaksikan
kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap
bersikap angkuh dan memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap empat tokoh besar
yang dicalonkan menjadi Bengcu. Kita menanti apa lagi? Mari mengeluarkan
kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul!”
Mendengar
ini Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah
meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya,
sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya. Ada pun Siauw-bin
Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua tangannya dekat dengan
dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun raksasa gundul yang baru datang,
setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng
kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan
tetapi sampai lama baru keluar suara dari mulutnya.
“Tidak
bertempur!”
Kakek gundul
ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguh pun
banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagoinya karena kakek ini muncul dari
pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai
anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya tertarik mendengar nama
besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan
ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu.
Thai-lek
Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak
peduli lagi tentang kebaikan mau pun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya
sendiri, tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi umum
dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut
anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak
berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja.
Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan
secara kejam melebihi iblis, membunuh-bunuhi orang-orang yang sama sekali tidak
salah. Kalau hatinya lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia
akan tertawa saja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.
Mendengar
ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah
kau tidak ingin menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.
“Tidak ada
Bengcu” jawab si Kakek Gundul singkat.
“Huah-ha-ha-ha!
Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini
datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas
menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”
“Tidak
bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi
(Empat Iblis Tak Terlawan)?”
Ucapan itu
singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan
bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa
menjadi bengcu dan keenam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi
sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak
saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia
hitam?
Namun tiga
orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu
adalah karena mereka bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang
mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja
oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat
lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.
Demikian
pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian
orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di
Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu.
Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan
mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan tentu akan lebih mudah
baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan.
Orang ke
tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan
semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar
dari Beng-kauw, maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan
tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang
kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa tiga orang aneh itu tidak
setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.
“Pemilihan
Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.
“Setelah
jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula
Pak-sin-ong penasaran.
“Terpilih
menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin
Lo-mo juga berkata.
“Bodoh!”
Thai-lek Kauw-ong membentak. “Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau
bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang
menjadi kakak tertua. Mari main-main!” Setelah berkata demikian, kakek gundul
ini mengadukan gembrengnya.
“Brenggg!”
terdengar bunyi yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga
rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul menjadi terkejut, menutupi telinga
dan cepat-cepat mereka itu lenyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya
beberapa orang yang menjadi pimpinan mereka saja berani menonton pertemuan
empat orang aneh itu dari tempat yang agak jauh dan aman.
Tiga orang
aneh itu segera bergerak. Karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi
bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula, dan menentang usul Thai-lek
Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga
menujukan serangan mereka kepada Thai-lek Kauw-ong seorang! Padahal menurut
kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau
lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan
ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat.
Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini
mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!
Gergaji di
tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan
dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga
menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah mendahului menggerakkan
sepasang gembrengnya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat,
sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba
dan tidak terduga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan
menyerangnya dengan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong
tentu saja jauh lebih panjang dari pada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek
gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan
tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Sekaligus kakek gundul ini
telah melayani serangan tiga orang lawannya!
Bu-tek
Siu-Iam terkejut. Biar pun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat,
namun melihat betapa sepasang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa
khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya. Akan tetapi
melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan
kanannya.
“Wiirr...!”
Jarum besar yang diikat benang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan
Kauw-ong.
“Tranggg...!”
Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum,
maka terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya menjepit gunting
menjadi gagal.
Siauw-bin
Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan tendangan kakek gundul
itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa si Gundul itu tidak percuma mempunyai
julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia
miringkan tubuh mengelak.
Dari keadaan
diserang, dalam segebrakan saja Thai-lek Kauw-ong mampu merubah menjadi keadaan
menyerang. Hal ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya
kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih
menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan
kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka
bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
“Hemm,
kalian seperti bajingan-bajingan kecil hendak mengeroyok? Boleh!” Biar pun ia
tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek
gundul itu cukup menusuk perasaan.
Tiga orang
tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biar pun di dalam hati
mereka itu diam-diam bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di
luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini
membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.
“Siapa
mengeroyokmu? Sombong! Lihat kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau
Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih
mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan
kecepatan seperti kilat menyambar, sinar putih dari tangan kirinya sudah
meluncur cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar ke arah muka Thai-lek
Kauw-ong.
Kakek gundul
ini cepat mengelak karena ia belum mengenal senjata ini, akan tetapi pancing itu
dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil
mendengus marah Thai-lek Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis.
“Cringgg!”
terdengar suara keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan
menyerang Pak-sin-ong sendiri!
Pak-sin-ong
kaget dan cepat menghentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu
berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika
kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong
sudah menerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait
ke arah perut dan lambung kiri lawan!
Apa yang
dilakukan Pak-sin-ong ini sama sekali bukan serangan ringan karena selain
gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga
gerakan gergaji ini melengkung membentuk setengah lingkaran yang merupakan
pintu penutup bagi jalan ke luar lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan
juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis
sambil mengerahkan tenaganya.
“Brenggg...!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji.
Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang
untuk mematahkan tenaga tangkisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia
mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu,
Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil berseru keras.
“Klik-klik!”
guntingnya yang besar berbunyi dua kali.
Dengan amat
cepatnya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai
sasaran, sungguh pun hanya sedikit selisihnya dari leher dan pundaknya. Karena
melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia
tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena
ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapa pun juga harus diakui
bahwa si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.
“Klik...
brenggg!” kembali seperti keadaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek
Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu
berbunyi susul-menyusul nyaring sekali.
Wajah Bu-tek
Siu-lam sampai menjadi pucat. Ia dapat menangkis dan mengelak sambaran dan
gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat
itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan
perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera terdesak hebat!
“Breng...
brenggg...!” Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit, masih
untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya
menyambar sinar kecil kuning tepat pada saat ia membuang diri ke belakang ini.
“Hehh...!”
Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam
keadaan terdesak dan membuang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan
senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan gembrengnya
sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyeleweng oleh angin yang
menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar.
Akan tetapi
di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluarkan keringat dingin.
Kalau ia tidak berlaku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang
gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu.
Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah
mundur sambil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji
kepandaian si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong, kau terimalah senjataku!”
bentaknya dan ketika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke
arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya.
Melihat ini
Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke
atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong
terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata rahasia yang
dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda
itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke
sekelilingnya. Andai kata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas,
tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!
Thai-lek
Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya menyambar turun ke arah Siauw-bin
Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan
main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan sebagai senjata,
malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini
seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah
menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut!
Namun biar
Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata
tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap
dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang
menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek
Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyambut sepasang
gembrengnya dengan mudah.
Empat orang
sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong
dengan sepasang gembrengan siap menghadapi tiga orang itu. Dalam
gebrakan-gebrakan perorangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat
ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul
kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu
lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek, kedua
gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia menghadapi tiga
orang lawan yang akan merupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru
kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring
memekakkan telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar
dan ini saja sudah menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan
pengerahan khikang yang tinggi. Tentu saja empat orang itu terkejut dan
seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding.
Ketika
Thai-lek Kauw-ong memutar tubuh dan tiga orang lainnya juga memandang, mereka
melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu
berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang itu saja sudah
membuktikan ginkang yang luar biasa, apa lagi wanita itu duduk di atas ranting
yang kecil dan kiranya akan patah kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi
wanita itu duduk dengan enak, membelakangi mereka dengan tubuh diputar dan
kepala dipalingkan ke arah mereka.
Melihat muka
wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat
dan indah bentuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup
kerudung! Biar pun kerudung itu tipis dan membayangkan sebuah muka yang cantik,
namun tetap saja menyeramkan dan menimbulkan bayang-bayang gelap pada muka,
terutama pada kedua matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya
kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit
putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi
semua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap!
Empat orang
laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum
pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat
percaya akan ketangguhan sendiri sehingga mereka menjadi angkuh dan sombong.
Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka
mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini.
Sebagai
orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh
itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak
boleh dipandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama
sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia menjadi marah sekali melihat
datangnya orang tak ternama yang berani mengganggu mereka berempat.
“Hemm, biar
kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani bersikap kurang ajar!”
Tangan kirinya bergerak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang
berkerudung itu.
Pak-sin-ong
atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan!
Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang memancing ikan merupakan kesenangan
banyak orang sejak jaman dahulu sampai sekarang, terutama sekali orang-orang
tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pancing dan talinya bukan hanya untuk
memancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amat ampuh. Ia
menciptakan ilmu silat yang khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping
gergajinya, senjata pancing ini amat berbahaya karena dapat dipergunakan untuk
menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.
Ketika
Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar
putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat
diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang hanya dapat melihat
datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit,
agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan merenggut
kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya
ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia
menggerakkan telunjuknya menyentil dengan kuku telunjuk.
“Cringg...!”
Sinar putih
itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya.
Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia
dapat menghindarkan diri dengan mudah.
“Huh,
tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah
aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan di puncak ini!” terdengar suara
wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin.
Kedua
tangannya bergerak ke depan mencengkeram daun-daun pohon. Daun-daun kecil
memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara melengking
panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun
seperti tawon-tawon kecil menyambar ke arah empat orang itu. Bahkan sebagian
terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pimpinan rombongan
pengemis, rombongan Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang
tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka
yang sedang mengadu ilmu.
Melihat
datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga
sinkang yang sudah tinggi sekali!
Dapat
mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau
patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan. Akan tetapi dapat
melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak
bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilakukan oleh
ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya.
Karena
maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apa lagi mereka sebagai orang-orang
pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya,
keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang
memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu
menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat
orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan
dengan tenaga sinkang yang amat kuat.
Jerit-jerit
mengerikan membuat empat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka
berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh
berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam. Beberapa helai daun
menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggota
Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun
terbang dan berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Setelah
kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik
para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita
aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah
seperti tadi.
Thai-lek
Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum,
segera berkata, “Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!” Sambil berkata
demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil
mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya
terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti
hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula
bajunya. Kalau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia
mengeluarkan suara di kerongkongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua
tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.
“Siuuuuutttt...
krakkk... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh
ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi
wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga
tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,
Melihat
kehebatan ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat
kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan
dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita berkerudung itu
diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa si Gundul yang wajahnya buruk
seperti monyet ini benar-benar amat lihai.
Jarak antara
kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi
tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu
merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum
bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk
sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki
itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara
setan dari balik kubur saja.
“Namaku Sian
dari Istana Bawah Tanah. Baru sekarang keluar dari bumi memasuki dunia ramai,
tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri
menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi
Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!”
Sambil
berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu menyambar ke kanan
kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya!
Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui
bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir
usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang
gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik pakaian sutera
putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang
gadis remaja!
Tentu saja
empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling
bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu
atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng.
Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai
sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apa lagi karena ilmu silat yang dimiliki
Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari
kitab-kitab peninggalan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak
perutnya sendiri.
Seperti tadi
saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan tenaga sinkang
yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani menerima sambaran hawa
pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh
itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkang-nya biar pun
cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah
lebih tinggi dari pada tingkat mereka!
“Huah-hah-hah!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng
memandang dengan hati terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih
pura-pura bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar
semua persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”
Kam Sian Eng
mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan
memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang
sembarangan, aku bersedia untuk berkenalan. Aku setuju dengan usul Thai-lek
Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada
Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya
senang karena wanita ini cocok dengan usulnya.
“Memang tak
perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang
dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima
Dewa Tanpa Tanding)?” Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka
ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga
sama dengan namanya!
Wanita ini
di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh
karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman
jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan
cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh
orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak
menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau
begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa
bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng.
Biar pun
wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran
hati di waktu mudanya, ditambah dengan latihan-latihan semedhi dan lweekang
yang menyeleweng, namun ia tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin
cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biar pun ia
tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah
mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha,
betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang
diam-diam merasa jeri terhadap Thai-lek Kauw-ong, apa lagi setelah muncul
wanita yang aneh ini dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul!
Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang
cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya
melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan Khitan.
“Segolongan?”
Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik,
sahabatku yang manis. Golongan apa lagi? Tentu saja golongan kaum sesat,
hi-hik!” kata Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng
sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki
gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik
kerudungnya, senyum geli.
Senyum ini oleh
Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek
gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak
orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku
begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau
tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah
Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah
golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian
berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang
lihai sekali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal
kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat.
Mengapa
Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara
sepupu Hek-giam-lo, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh
besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas
sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini. Selain menaruh dendam
karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur
ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada
di Khitan.
Sejenak
wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu
mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah
mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu
Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara
saudara, apa lagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak
tirinya itu. Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia
menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak
tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha,
memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan
orang lain kotor! Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya
adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah
datangnya Toksiauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri
Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan
yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku
menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti
tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak
mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam
sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku
setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian
Eng.
Dia pernah
mendengar dahulu betapa antara Bengkauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang
bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara. Karena ia
mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia
mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka
kepada Beng-kauw, sungguh pun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua
Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan
pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa
memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau
semua setuju dengan pendapat Sian-toanio, biarlah kita tidak saling bertanding.
Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari
dalam setahun sejak saat ini kita berlomba, berbanyak-banyak membasmi
orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi
di sini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita,
dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai-lek Kauw-ong berkata.
Tiga orang
kakek yang lain mengangguk-angguk. Biar pun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia
sudah menjawab cepat-cepat. “Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!” Baru
saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan
cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai
bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian
terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku
tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan
bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk
tubuhnya... hemm...!” ia terkekeh genit.
“Ilmu
kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka pada Sian
Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw.
Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan
berharga.
“Biar pun
tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah
berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apa bila aku
membutuhkan bantuan, Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun
tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi,” kata Pak-sin-ong.
“Tentu saja Sam-wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apa
bila Sam-wi sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda
dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar,
yaitu merampas kerajaan. Oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah
kuatnya pasukan untuk melaksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan
pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat
itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arah selatan
karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus
dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya
kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun.
Wanita ini
memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk
tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong manis. Apa lagi
sepasang matanya amat indah, bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat.
Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah
tersenyum.
Yang amat
menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan
panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke
pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul gagangnya dari balik
rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah dari pada
cantik, sungguh pun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh
setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya
mewakili guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan
Bengcu baru!” kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan
ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Hi-hik,
kalau gurumu secantik engkau, mengapa tidak kau ajak sekalian datang ke sini,
manis?” kata Bu-tek Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak
menelan wanita berpakaian merah itu.
Tiga orang
kakek yang lain hanya tersenyum mengejek, dan wanita itu mulai merah kedua
pipinya yang putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar
itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah
Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya
tidak keliru sangka, Locianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam,
bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!”
Sambil berkata demikian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan
ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam
yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek, lalu berkata, “Ah,
kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya
cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan.
Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama
yang indah, seindah orangnya dan seperti juga gurumu, engkau tentu suka
bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan
tangannya menyambar ke depan.
Wanita yang
bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah
cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap. Sejenak wanita itu menyambarkan
sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek,
bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan... suaranya adalah
suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
Wanita
adalah bunga harum,
alangkah
sayang kalau tidak dicium!
Wanita
adalah intan gemilang,
alangkah
sayang kalau tidak ditimang!
Baru saja
berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan....
“Ngokk!”
pipi kiri Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In
adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di
antara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian
yang paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena
kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah ada
orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh
secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Sekarang ia
mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika
mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti
mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas...!”
jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya
menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt...
plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak
terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang
memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek
Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena
ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan
lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya
yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecutan ujung rambut
sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat
mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu
sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan menarik tangannya
sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk
menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In
kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya
tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung
di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah
memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga
mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarahan, dan
biar pun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat
tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan
nekat.
Bu-tek
Siu-lam hanya terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau
berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mou Sin-ni cantik manis dan berhati
baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat dari pada baja!”
Tiga orang
kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain
mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah ‘bersaudara’ atau bersahabat
dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mou Sin-ni
yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah ‘jatuh’ itu. Kini
yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak
Terlawan), bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)!
Di samping
itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa
sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat
atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! Kalau Bu-tek Siu-lam suka
kepada wanita dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkannya dan
memperlakukannya sesuka hati, apa lagi wanita itu tiada sangkut pautnya dengan
mereka bertiga!
Bahkan
Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari
puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol.
Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan
meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah
mereka janjikan.
Thai-lek
Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk
di atas batu hitam menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang
tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apa
lagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin
menyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu.
Ada pun para
pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam masih belum hilang kagetnya
karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun
secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar,
tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk
mereka muncul.
Po Leng In
adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak
pengalaman. Sebagai ‘orang muda’, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun
tangan lebih dulu melakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya
dengan singkat dan tenang. “Saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan
tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap
Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.”
Sebagai
murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit
banyak mewarisi watak gurunya. Dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang
menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini
sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu
memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan
gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng
In.
Tiba-tiba
wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beringas. Matanya
seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang
kini menjadi menyeramkan itu berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia
memberi perintah. “Buka bajumu!”
Muka Po Leng
In menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang sejenak. Ia tak bergerak
seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak,
kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama
Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka
bajumu!”
Po Leng In
menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Rasa ketakutan
mencekik lehernya.
“Hemm...
hemm...!” terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan
permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah
dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar memandang dan hatinya bertanya-tanya
maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan
muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa
dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu
yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku
suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.”
Mungkin
karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut
di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya. “Bu-tek
Siu-lam engkau terlalu menghina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi
hajaran kepadamu!”
Kata-kata
itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga
tak tampak bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar kehijauan yang dibarengi
hawa dingin meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam. Itulah tanda bahwa
pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh
dipandang ringan!
Bu-tek
Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara
terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan
tetapi sebelum ia sempat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang
kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena
memang merupakan kelanjutan dari pada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan
kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah
serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatangkan maut!
Memang hebat
dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi si Iblis
Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu
memang pernah bersahabat dengan Tok-siuw-kwi dan menerima pelajaran beberapa
macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah penggunaan rambut panjang sebagai
senjata.
Akibat
serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak.
Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena
dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seperti
laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu saat itu sudah
tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek
Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah
menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat menarik
tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan
menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari
kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan
sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh
juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu
memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan
penasaran. Kalau ia sebagai seorang di antara lima ‘dewa’ yang menggantikan
kedudukan enam ‘iblis’ kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang di
antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya?
Kini melihat
serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat
kaki, ia mengeluarkan suara ketawa. Ia membiarkan gumpalan rambut kiri menotok
iganya yang sudah ia ‘tutup’ jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar
kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu
mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In
hanya setinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In
kaget dan mengenali bahaya. “Lepaskan!” Sambil berseru kedua kakinya bergantian
menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar
pinggang menggencet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu
seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah
pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik!
Kau lihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak
ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik,
siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium
rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat
apakah jantungnya terbuat dari pada baja!” Pedang di tangan kanannya bergerak
dan....
“Brettt!”
pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan
di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah,
membuat tubuh bagian atas sebatas pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam
Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga si Banci ini.
Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam
tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In
sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang
menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa
mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami
penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah
sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya
memandang penuh kebencian dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut.
Hal ini
membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan
orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu
menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ketika tadi
membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher,
melainkan menggunting kaki tangan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali
dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Ketika melihat betapa Po
Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan
kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa terhina!”
“Hendak
kulihat sampai di mana ketabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia
telah membabat putus rambut yang panjang itu!
Po Leng In
adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya,
maka tanpa disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya
terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
“Hi-hik!
Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil berkata
demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri
Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika
melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu
masih memandangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa
takut biar pun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik,
akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan
kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali
Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai
perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang
tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam sudah melakukan
latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat
maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan
nyaring. “Makhluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena
tidak mempunyai peri-kemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah
itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat
binatang hanya membunuh untuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang
hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, si
Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja dari pada hidup tidak tahu
malu!”
Selama hidupnya,
baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apa lagi makian demikian hebatnya.
Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia
mengira bahwa tentu guru wanita ini yang datang, akan tetapi ketika ia
memandang ke kanan kiri dari mana suara itu datang, ia melihat bahwa yang
datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang
memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat
yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar
hebat sehingga secara terpaksa ia harus melepaskan pedang itu yang jatuh ke
tanah didekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan,
gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan
Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar
sebuah batu kerikil, dan mengira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena
gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan
kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan.
Sayang ia
datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan
bibi dan gurunya, si Wanita Berkerudung. Biar pun sejak masih kanak-kanak ia
dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak pernah
mendapat gemblengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala sepak
terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena Kwi Lan
adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga tidak suka melihat si lemah
tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan kagum
melihat kegagahan. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang sama
sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia menjadi kagum dan tanpa
mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siangmou Sin-ni yang ia pernah
dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, ia segera
melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek
Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan.
Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan
membelakanginya, sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya tadi.
Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar
terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang
itu.
“Hei,
bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriakannya
karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu
gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di
bawah pohon.
“Klik-klik!”
hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis!
Akan tetapi
Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak
bayangan manusia. Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyambit kerikil
ke arah lengannya bersembunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu
dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras.
Kwi Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan
ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang
pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan
Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan
gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menudingkan telunjuknya ke arah
Bu-tek Siu-lam.
“Huh,
kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita.
Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.
“Eh kau
Berandal...!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda
itu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Pemuda itu
mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. “Heiii, kau... Mutiara
Hitam...?” Kiranya pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa
Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling pandang.
“Awas...!”
tiba-tiba Kwi Lan berseru.
Akan tetapi
Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguh pun ia suka berkelakar.
Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke
kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang
gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting leher pemuda itu, kini
melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku dan
guntingnya segera membalik menyambut golok.
“Traaanggg...!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati
Bu-tek Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah, juga tidak terlepas dari
pegangan tangan pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang
sanggup menahan senjata yang terpukul, apa lagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda
ini bukan orang sembarangan!
“Bocah,
engkau siapa dan murid siapa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan
menyerang secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan guntingnya dan bertanya
marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani
menandinginya, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu
kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga
untuk ditanya.
Hauw Lam
menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan
dan membuat bahunya terasa akan patah itu telah mengagetkan hatinya. Namun ia
masih tertawa-tawa untuk mengelabui lawan. “Heh-heh, siapa tidak mengenal
Bu-tek Siu-lam? Biar pun belum melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua
orang termasuk aku. Siapa aku? Kau tanyalah kepada Nona itu, namaku Berandal
karena aku suka berandalan! Kau tanya guruku? Ada ratusan orang, terlalu
panjang kalau disebut satu demi satu!”
“Bocah
ingusan! Tak kau sebut juga apa kau kira aku tidak bisa mengenal ilmu silat
ceker ayammu? Kau bergeraklah...!” Setelah berkata demikian, sambil terkekeh
genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju lagi, kini ia menyerang dengan
gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar yang
melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua jalan ke luar!
“Aiihhh,
hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biar pun sudah tua bangka! Kau ini
laki-laki atau wanita?” Tang Hauw Lam biar pun harus cepat mengelak dengan
repot karena gunting itu menyambar-nyambar dari segala jurusan, namun masih
sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan.
Di samping
ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejekannya
tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu tokoh aneh
ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang
dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya untuk dikenal. Ia
dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membunuhnya sebelum berhasil
mengenal ilmu silatnya.
Karena
inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia
peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar
biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Karena itu,
gerakan-gerakannya amat aneh dan betapa pun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam
menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri dari pada
lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya
bagi tokoh barat itu.
Sementara
itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gembira dan ia
cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan
menotok atau mengusap, jalan darah di tubuh Po Leng In pulih kembali. Wanita
murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal
segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri memegang rambut berusaha
menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya mengambil pedangnya, lalu
sejenak ia memandang wajah Kwi Lan. Kemudian ia membungkuk dan berbisik.
“Terima kasih banyak, mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai
sekali dengan kerikil kecil sanggup memukul runtuh pedangku dari tangan Bu-tek
Siu-lam.”
“Kerikil?
Meruntuhkan pedang? Aku tidak... ah, agaknya si Berandal yang melakukannya.”
“Si
Berandal?”
“Yang
bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”
Wanita itu
menengok dan mengerutkan keningnya. Biar pun pemuda yang disebut Berandal oleh
penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam.
Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan
putih, dan seorang pemuda pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak
berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam, dan pada saat itu terdengar
suara pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar pun terdesak masih
tertawa-tawa.
“Eh, eh, aku
dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa
kau sudah mengenal ilmu silatku?”
Bu-tek
Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu
melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar
gerakannya pun belum dapat menduganya dari cabang persilatan mana. Aneh, namun
begitu cepat dan bertenaga! Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan
senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi
lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya,
akan tetapi karena ia ingin memaksa si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan
agar dapat ia kenal asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum
besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap
dipergunakan bila perlu.
“Heh-heh,
memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan
gunting. Eh, kau sendiri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa
kau tuduh aku yang bukan-bukan menyerangmu secara menggelap?”
“Bocah
setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, setelah
mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian
menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”
“Heh-heh,
tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau
akan menjahit tubuhku lalu kau jadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu.
Jika laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah
nenek-nenek. Siapa sudi... aiiiihhh...!” Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia
melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi
diri.
Gerakan
memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan
tetapi gerakannya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke
kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan
ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyelamatkan diri dari
sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
“Aihhh,
bukan berandal yang menyambitkan kerikil!” Kwi Lan berkata.
Akan tetapi
Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, kemudian
sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat meninggalkan
tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat malu, kemudian tertolong oleh
orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada ilmu
kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya berada di situ
lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk melapor kepada gurunya!
Kwi Lan
belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena
perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh
itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan meloncat membantu Hauw
Lam, tiba-tiba berkelebat bayangan putih di depannya dan tahu-tahu seorang
pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan telunjuk
kanannya menuding ke arah pertempuran.
“Tahan,
Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apakah tidak sejak
tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum
dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat
merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Kalau Nona maju membantu,
menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan membahayakan keselamatannya dan
keselamatanmu sendiri.”
Kwi Lan
terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan mencegahnya membantu
Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya
membayangkan kematangan jiwa sehingga tampak guratan-guratan nyata. Wajah yang
tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat
berwibawa. Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan
topinya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua
puluh enam tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang
ini. Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
“Justru
karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!” bentaknya penasaran
karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah
melarangnya membantu? “Apa kau kira aku tidak mampu menandingi tua bangka genit
itu?”
Tanpa
menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh
kesungguhan. “Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah
lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!” Sebelum Kwi Lan sempat membantah
laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali sehingga mau
tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apa lagi ketika pemuda itu menyerbu
ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat
mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu
telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu
dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil,
juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil
meloncat mundur? Ia tidak tahu bahwa tadi dalam segebrakan saja pemuda itu
telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan sepasang senjatanya,
dan kalau mengenai sasarannya akan cukup kuat merobohkan lawan sekuat Bu-tek
Siu-lam! Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur
menghindarkan diri.
Selagi Kwi
Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua
orang pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada
angin dahsyat menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat
membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis
ini tidak menduga dan tidak tahu siapa yang menyerangnya, maka ia yang amat percaya
akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang
menyerangnya dari belakang adalah Thai-lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di
antara kelima ‘dewa’, jadi lebih lihai dari pada gurunya sendiri!
Tangkisannya
tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari
bahaya, akan tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat
pundaknya sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga,
bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong
mengempit tubuh gadis itu di lengan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat
sekali meninggalkan puncak.
“Heh-heh,
biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan membuatnya sibuk. Kalau
aku membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang
sama sekali tidak mempedulikan kesetia-kawanan.
Sementara
itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu
lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang
pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini
karena mendatangkan dua macam angin pukulan yang berlawanan, juga gerakannya
amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam
kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dahsyat. Tahulah ia bahwa
pemuda baju putih ini bukan orang sembarangan pula.
Diam-diam ia
mengeluh. Pemuda berandalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat
kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu
silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang
demikian dahsyat ilmunya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda yang amat
hebat!
“Hi-hi-hik,
bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau
sahabat dia... eh, si Berandal mentah ini?”
Sebelum
pemuda baju putih yang pendiam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang
dimaki berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci
yang tak tahu malu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak
bergenit! Ataukah engkau hendak menggunakan lagak perempuan lacur untuk merayu
dan menyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku
dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek
Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak
bermalu dan patut dibasmi...”
“Siuuutt...
klik-klik...!” gunting besar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke
arah leher dan pinggang Hauw Lam.
“Haya...
sayang tidak kena...!” Hauw Lam berhasil menangkis guntingan pertama ke arah
lehernya dengan goloknya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang
terasa panas. Karena itu, pada saat guntingan ke dua ke arah pinggangnya mengancam,
jalan satu-satunya baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke
belakang dan bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena
berarti ia kalah. Mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih itu
menolongnya, menangkis gunting sehingga pemuda nakal yang biar pun mukanya
pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment