Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 09
KIANG LIONG
kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para
pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, agaknya tidak peduli akan sesuatu.
Mereka ini benar-benar merupakan prajurit-prajurit yang tak kenal takut
sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang
Liong sudah siap. Begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah
yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar
dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat
memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan
tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu
pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok
ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu
terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh
ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah
kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus
ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam
Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam
cengkeraman maut, akan tetapi dalam usaha terakhir, hwesio itu bukan berteriak
minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan
teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja
dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari
ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka
itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan
memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk
melayani mereka semua, sungguh pun ia merasa sangsi apakah ia sendirian saja
akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Pada saat
itu dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka
bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati
lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan
dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata
adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong
kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu
dan membaca tulisan tangan halus indah.
‘Lekas
mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum
terlambat!’
Kiang Liong
merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa
pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat
buruk. Ada pun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu sudah jelas
berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan
mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk
ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk
merayap turun.
Ia menahan
napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke
bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan
dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah
dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan
seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas
kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di
dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi
Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia
khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang.
Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin
dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya
mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia
berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula
mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang
senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan
mengerikan dan sambarannya amat cepat.
Terpaksa
Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang
dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul
runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa
senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para
pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima
orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh
dipandang ringan. Apa lagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang
Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan
pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya
merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah.
Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai.
Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia
mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia
melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di
balik sebuah batu besar. Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang
sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur
dan longsor dari lereng gunung.
Ia tidak
tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima
di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar
saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap
turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh
batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari
dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Ke sini...
masuk ke goa ini...!”
Suara itu
datang dari sebuah goa yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya
bukan goa melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara
batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang
Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga
celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat
ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping,
memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang
mereka berhadapan dan Kiang Liong dapat melihat wajah wanita itu yang cantik
manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di
mana dan kapan.
“Nona
siapakah dan mengapa....”
“Ssstt...
belum waktunya bicara,” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian
untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga
Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan
lihai....“
Berdebar
jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi, bau yang amat
harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat,
bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai
panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang
pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan
si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia
mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In, wanita berpakaian merah yang
berambut panjang, murid dari Siang-mou Sin-ni!
“Kau...
kau... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt,
mereka tentu sudah dekat...!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang
hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita
itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong
teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang.
“Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita,” ia pun
berbisik dan siap untuk menerjang ke luar.
Dua buah
tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu.
Kau tetaplah di sini, aku yang akan menahan mereka. Kau lihat saja, jangan
khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah ke luar.
Karena
tadinya berada di sebelah dalam, untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong.
Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa
tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong
terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini
Po Leng In sudah menyelinap ke luar. Karena betapa pun juga ia belum mengenal
betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apa lagi kalau diingat bahwa
wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang
Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai ke luar.
Ia melihat
Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang
pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri
mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah
siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia
melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah,
gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan
suara nyaring menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu
(Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali,
lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang
bersikap garang dan jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang
menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya
Kouwnio (Nona) yang berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar
seorang pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan
sudah membunuh beberapa orang anggota pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun
ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang
kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada
orang lewat di sini, Twa-suhu,” kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh
dan kini ia sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang
jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang
itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi, “Akan tetapi, Kouwnio.
Ada di antara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan
ini....“
“Twa-suhu!
Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm!
Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala
dari guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi dari pada kalian yang hanya
menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku
bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah
kalian menghina murid guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan
pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan
mereka menundukkan muka.
Akan tetapi
pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa
penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu. Sungguh pun para
pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun
belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan
diam-diam sering kali mereka membicarakan wanita ini dalam senda gurau yang
kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya
bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka
mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi
lari ke sini!”
“Masa harus
membiarkan dia lari?”
“Dia sudah
membunuh banyak teman kita!”
Melihat
betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol
dan juga khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan
pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat
teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yang terjadi,
tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!”
bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku
berarti menghina guruku! Siapa menghina guruku berarti akan mampus di tanganku!
Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras dari pada batu ini?”
Setelah
berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan
halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan
terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu
dengan lecutan keras dan... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan
remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang
Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta
kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apa
lagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka
menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan
lidah.
Lima orang
pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andai kata mereka tidak merasa segan
terhadap tamu yang dihormati kepala mereka dan andai kata Po Leng In seorang
lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak
ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf,
Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke
mana gerangan larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah.
Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi
aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan
membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi
maaf, Kouwnio,” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya.
“Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu
saja!”
Setelah lima
orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan
lain, barulah Po Leng In berani memasuki goa kecil itu. Ia tersenyum kecil
ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang.
“Terpaksa
untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku
menjaga di luar goa ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar
atau diintai orang.” Sambil tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar
celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan
dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita
bercakap-cakap.”
Sambil
menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut goa, agak ke dalam. Dari
tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah
yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian
merah yang tipis.
“Nona,
mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau
tidak keliru dugaanku, mendengar percakapan tadi agaknya gurumu Siang-mou
Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah.
Bukankah gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah membasmi tokoh-tokoh
Beng-kauw?”
Po Leng In
mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar
dugaanmu, Kongcu.”
“Dan tahukah
engkau siapa aku?”
Po Leng In
menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau
bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda
bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang
pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa... bahwa, engkau telah
menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong
berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek
Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima
kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet
dan anak buahnya. Sungguh pun aku merasa bersyukur dan berterima kasih
kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kau lakukan karena aku
tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu
akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau
akan dapat pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang
cucu ketua Beng-kauw itu?”
Kiang Liong
terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya
bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana
kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In
tersenyum. Ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang
tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan
jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika
jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong
sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum.
Kiang Liong
adalah seorang pemuda tampan, putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah
amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga
terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik!
Dia bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apa lagi
menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak
pernah melakukan hal buruk ini.
Akan tetapi
ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka
setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan
tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka. Dan amat
banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal di
kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai
isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada
isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
“Aku tahu,
Kongcu, karena selama ini aku mengikutimu. Apa kau kira aku dapat melupakan
engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu
laki-laki ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang
terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan
harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk
menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat
kuat, belum lagi kalau diingat bahwa guruku juga berada di sana! Nah, apakah
kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit
itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh
kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil
menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi
pertolonganmu itu!”
“Betulkah
itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku
murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan
tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”
“Aku memang
merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku. Tak mungkin
kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang
Siang-mou Sin-ni. Biar pun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai
murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan
membelakangi gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus
terang, apa yang kau kehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang
Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In
tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik
sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan
sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu
berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak
dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang
halus dan harum itu.
“Kata-katamu
betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti guruku dan aku, kami sama sekali
tidak peduli tentang budi. Andai kata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku
pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku
tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan
kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh
seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta
kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan
membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!”
Dengan sikap
manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini
bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biar pun muka mereka
sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan
mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam.
Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga
muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang
menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan
hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya.
Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang
pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan
hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biar pun Kiang Liong seorang
pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan
seorang lemah.
“Betulkah
semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang
Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta
kasihmu?”
“Betul...
betul..., aku bersumpah...” Po Leng In terengah-engah, napasnya diburu nafsu
sendiri.
“Dan kau
benar-benar menghendaki aku...?”
Po Leng In
mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan
jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum
mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu
mereka berdua tidak keluar dari dalam goa yang lebarnya hanya satu meter itu.
Po Leng In yang mabuk cinta seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang
Liong sehingga ia menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya
orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah merah yang
dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu.
Pendeta
jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan
pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk
menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang
banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet
bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah.
Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia
yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang
kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari
kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia
menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu
mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud
menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam
usahanya ini Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas
kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni!
Kalau
Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka
Bouw Lek Couwsu biar pun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki
tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka
mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan
sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah
bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi
dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah.
Karena pada
dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan
julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong
di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya,
lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka
berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama
bertahun-tahun.
“Beng-kauw
boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi
serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh guruku, mana mereka mampu mempertahankan
diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian
tinggi. Itulah sebabnya mengapa ketua Beng-kauw dan beberapa orang pimpinan
Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh guruku, maka
diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena
sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul
Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”
Semua
diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang
Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang
pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil
bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta
untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh
dan menjelang pagi, ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti
seekor domba yang lemah.
“Koko...,
akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu... biar pun
untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa...,“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah
matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua
keluar dari dalam goa batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira,
rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini.
Sambil melangkah ke luar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih
tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko.
Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan kau pandang rendah
kepandaian Bouw Lek Couwsu, apa lagi kepandaian guruku.”
Kiang Liong
mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian gurumu dan aku tidak
takut.”
Po Leng In
menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan
kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai
sekali, Koko. Akan tetapi guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih
suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu tidak pernah mendengar bahwa guruku
kini telah dan sedang memperdalam ilmu mukjijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan
Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong
yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya
agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras.
“Apa kau bilang? Diculik untuk... kau maksudkan...?”
“Ya, Koko.
I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari
kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar
lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat
persembunyian Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu.
Kiang Liong
bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya,
seperti goa singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang
mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di
tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah
seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang
didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia mala-petaka hebat sekali
mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang
dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan
ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam
Hun-beng-to-hoat yang mukjijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang
bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah
lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki
menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia
mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.
Han Ki
adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka
Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.
Begitu melihat anak ini, Siang-mou Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia
lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang amat
mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu
akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati,
melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat
penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena
selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam
tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot ke luar dan pindah ke tubuh orang yang
melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong
yang sudah pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang pelbagai ilmu hitam
tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga
orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
***************
Kwi Lan lari
sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah,
kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas
dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin
banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan
hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justru hal
inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan,
kekecewaan, kemarahan dan penasaran.
Kalau
pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah?
Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan
mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri
Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah
akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah
Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan
bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan
menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput.
Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya
karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri.
Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa
begitu.
Dalam
pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur
uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah
perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik dari pada Yu Siang Ki si Pengemis
Muda yang halus, lebih menang dari pada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu,
lebih hebat dari pada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan
senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas, tentu akan terasa aman dan
tenteram di samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang
sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi
dia sudah menghina ibuku...! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang
menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih... hemmm, tentu
kekasih yang tidak setia, buktinya ibuku telah ditinggalkannya!”
Kwi Lan
meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi. Ia akan
mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat
akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira.
Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada si Berandal itu. Bagaimana Hauw
Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek
Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya si
Berandal itu?
Sambil
bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan
beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah
dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang
menurut keterangan adalah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia
pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas
jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi.
Hati Kwi Lan
tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias
mutiara. Seorang anggota Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas
Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini,
pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka tentu akan terjadi
keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari
perkara, melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui
sungai di dusun itu. Untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan
atau iblis yang menghadangnya!
Dusun itu
ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di
sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa
heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun.
Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan
melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak
bertanya-tanya tentang mereka.
Karena dusun
itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena
pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perbatasan, maka semua orang,
juga wanita-wanita membawa pedang. maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat
mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh
kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita
muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap
di dalam dusun ini langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam
perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf
Ban Hok Tong di depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk
melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak
akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik
kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia
akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk
ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang
jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli
amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan
kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak
perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan
membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki
dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya
bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik
seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang
seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap
orang untuk memandangnya.
Kwi Lan
tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan,
tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau... minggir!”
Dua orang
laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk
bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang
kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara nelayan yang kena dorong
hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya. Segera ia meloncat
bangun.
“Dari mana
datangnya dua ekor kerbau...?” Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat
membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah
mengayun kakinya dan... si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai!
Dua orang
laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak
pinggang dan berkata, “Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat
betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi
marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak
maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya,
terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan itu pun jatuh
tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat
gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka
tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada
lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar.
Seorang di
antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi
hormat. “Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda
Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan
kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang
laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum
menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu
berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat
merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah
perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di
antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru, agaknya
belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi
hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat
disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin...”
“Apa kau
bilang? Kami berani bayar sewanya dan siapa pun juga tidak boleh mendahului
kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak... kau yang
akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua
itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata,
“Baik..., baik... dan sewanya...“
“Berapa pun
akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu
diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah.
Mereka
melangkah masuk dan... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di
dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti
percekcokan menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia
lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa
kalian berdua longak-longok seperti monyet dan tanpa ijin memasuki perahu yang
sudah kusewa ini?” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua
orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam
perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian
seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu
menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlongong. “Eh, Paman tua, apakah
ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”
“Bu...
bukan, bukan dia... saya tidak mengenalnya..., Nona, siapakah kau dan mau apa
kau di sini?”
“Paman tua,
aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua
orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau...
mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada waktu
itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi
Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu,
mereka terkejut.
“Mu...
Mutiara Hitam...?” teriak mereka sambil mencabut golok.
“Hemm,
kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa
bangkit dari tempat duduknya.
Melihat
gerakan dua orang yang menerjangnya ini, Kwi Lan memandang rendah. Saat mereka
sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan,
secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan
kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan
tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut
dua orang lawan itu.
“Krekk!”
terdengar suara dan... sambungan lutut kanan mereka terlepas.
Tentu saja
mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu,
kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak dapat
dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke
dalam sungai!
Biar pun
bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal
yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah
kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat
duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang lawan kuat
ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka
bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah
payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa
harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi
Lan dirubung para nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu
mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi
Lan tersenyum dan berkata, “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang
kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian
pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat
itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa
dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong.
“Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya
banyak sekali dan galak-galak.”
“Tak perlu
melayani mereka.”
“Tapi...
harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata nelayan tua.
“Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap
kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban
untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa
peduliku!” Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang
lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi,
Lihiap... kami akan dibasmi... akan dipukuli, dibunuh...!” kata seorang nelayan
lain.
“Peduli apa?
Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh,
adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi...
semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” si Nelayan Tua
menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani
menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi
Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat,
malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah
berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para
nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut
penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan
para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka.
Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan
mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung
kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayani gadis ini dengan hidangan dan
minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.
Benar juga,
pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apa lagi jelas rombongan
Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Dari pada
menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas
dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu
siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam
nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun.
Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun
tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu
terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya
menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat di
antara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini
meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan
mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu
mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan.
Akan tetapi
ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di
atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada
genteng agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan
terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan ia
dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat
beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang
laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat
itu seorang demi seorang.
Kwi Lan
menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki
itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang
Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi
orang itu kalau bukan seorang di antara anggota dari Thian-liong-pang? Kwi Lan
mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke
arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi
Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga
jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget
lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata, “Kwi Lan Siauw-moi, kau
turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan
mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh
ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang
Ki...!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu
memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di
belakang punggung. Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak
terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan
sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa
mereka...?”
“Kwi Lan,
betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal
melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang
sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa
seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas
dan....”
“Ihhhh,
apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat
bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?” Kwi Lan memotong
dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke
arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi
Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi
Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat
mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang
menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau
membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio
pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti...!”
“Apa kau
bilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak
mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh
yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh
mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki
terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar
cahaya bulan, penuh selidik. “Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kau
bunuh...!”
“Siang Ki!
Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku
takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang
bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah
berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan
ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi
Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan
ragu-ragu. “Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada
buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kau pergunakan
untuk menyerangku tadi. Kau lihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena
jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi
Lan. Kemarahannya lenyap seketika terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu
meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok memeriksa. Alangkah heran
dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar
menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh
jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung
pedangnya, menusuk dan mengorek ke luar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh...
aneh sekali...!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya.
Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi
adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya.
Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah.
Melihat
wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya. “Kwi Lan, agaknya ada orang yang
mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini,”
katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan
menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin,” katanya kemudian penuh
keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di
saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi
buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau...“
“Benar, tak
dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku...“
“Maafkan
aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di sini. Karena curiga terhadap rombongan
orang-orang Thian-liong-pang, lalu mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan
perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai siang tadi, akan
tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini
aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang
Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini.”
“Hemm, tentu
ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki
mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka
yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih
tepat lagi... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar
mereka!”
Kwi Lan
mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah
cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil
menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka
sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah
wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak
berdosa?
“Hemm, bukan
urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini,” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di
kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihaian gadis
ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya. “Akan tetapi mereka telah
menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama
baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm,
justru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini
menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya.
Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan
melanjutkan perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu
Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm?
Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari
alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa
tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar
jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut
laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar
sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan
melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau
tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan
tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah
yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku
sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke
perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang
mereka di perahu!”
Namun Yu
Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya
hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andai kata
orang-orang Thian-liong-pang, apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara
lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat
ia mengejar dan sebentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang
disewa Kwi Lan.
“Aku mau
tidur,” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu
berbantal bungkusan pakaiannya.
Sejenak
Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya
oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah,
ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar
hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk
menjaga di luar,” katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan
melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang bermain-main di dalam
air sungai.
Sinar bulan
dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi
sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa
takut dan menghentikan kegiatan pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa tentu
akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat
yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang Ki
berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena
peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak
dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggota
perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para
pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki
berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan
babak-belur.
Mereka telah
bertemu dengan Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang
telah menyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini
berpakaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan
dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi sehingga
Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan
Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri
menandinginya!
Mendengar
ini panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan,
menemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kang Tianglo. Ia menjadi
bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang
pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang. Akan
tetapi nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena
inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas
pertama untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk
melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan yang di atas dan di dalam
air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingungkan hatinya.
Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak
pengemis, namun tak pernah terdengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai
berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri.
Agaknya asal dapat menang cukuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia
menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa
disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
Bulan
terapung di angkasa
bermain
dengan mega
tak mungkin
terbang menjangkaunya!
Bulan
tenggelam di air
bercanda
dengan gelombang
tak mungkin
menyelaminya!
Kembali
Siang Ki menarik napas panjang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan
ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu? Keduanya sakti dan
sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah...
kau... kau gagah...”
Siang Ki
terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu
berbisik-bisik. Hatinya berdebar. Tak salahkah pendengarannya bahwa gadis itu
dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa
gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa
disadarinya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur
telentang itu.
Sinar bulan
tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung dalam cuaca
remang-remang. Bergerak-gerakkah bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama
Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti
tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu.
Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan
kiri, ikut bergerak-gerak turun naik bersama dadanya.
Ada dorongan
hasrat yang amat kuat merangsang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia
membungkuk dan hampir saja ia mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan
keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang
hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini,
menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan
hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa.
Dua macam
perasaan berperang di hati Siang Ki, yang satu mendorong yang lain menahan.
Untung pada saat itu perasaannya yang tajam dapat merasa betapa perahu
bergoyang sedikit. Cepat ia menoleh dan tampaklah dua orang laki-laki meloncat
ke atas perahu. Gerakan mereka ringan bagai burung, membuktikan bahwa mereka
itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa
orang lagi tampak berloncatan di perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga
di pantai tak jauh dari situ. Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua
laki-laki yang sudah meloncat ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah
salah seorang di antara Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor
lihai!
“Kau gagah
Suling Emas...!” Kembali terdengar suara Kwi Lan barbisik dan Siang Ki yang
masih menoleh ke belakang itu seperti ditusuk jantungnya.
Kiranya
gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah, melainkan memuji Suling Emas di
dalam mimpi! Mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, dengan muka
merah saking malu Siang Ki meloncat bangun sambil menyambar tongkatnya.
“Kalian
siapa dan mau apa mengganggu kami?!” bentaknya sambil melintangkan tongkat di
depan dada.
Akan tetapi
sebagai jawaban, dua orang itu sudah mencabut golok masing-masing, menerjang
maju sambil berteriak, “Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!”
Siang Ki
marah sekali, tongkatnya berkelebat dan saking dahsyatnya serangan tongkatnya,
dua orang itu berseru kaget dan meloncat mundur, keluar dari perahu! Yu Siang
Ki menoleh dulu sebelum mengejar, dan melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit
duduk mengucek-ucek mata, ia berseru.
“Kwi Lan,
setan-setan itu sudah datang, hayo bantu aku basmi mereka!” Setelah berseru
demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit telah melayang ke luar dari perahu ke
darat.
Sebentar
saja ia sudah dikepung dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
yang mengepungnya adalah dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya. Kedua
belas orang Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap berada di situ!
Dan di samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya tiga puluh orang
laki-laki tinggi besar yang merupakan anak buah mereka dan kesemuanya sudah
siap dengan senjata di tangan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut.
Akan tetapi
karena keadaan mendesak, ia tidak mau banyak cakap lagi dan cepat ia
menggerakkan tongkatnya yang panjang sambil berteriak. ”Kiranya dua belas ekor
cacing dari Thian-liong-pang yang datang. Kalian mau apa?”
“Tranggg...!”
tongkatnya tertangkis oleh sepasang pedang panjang di tangan seorang yang
brewok, tinggi besar dan bermata lebar.
Inilah Ma
Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga merupakan orang
pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor. Siang Ki sudah pernah
mendengar tentang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu. Kini ia dapat
menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat, pikirnya. Makin tidak
enak hatinya karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi banyak lawan pandai.
“Orang muda,
siapa pun adanya engkau, jangan mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau
ingin selamat. Kami hanya membutuhkan Mutiara Hitam!” kata Ma Kiu yang marah
sekali mengingat akan semua perbuatan Mutiara Hitam yang pernah mengacaukan
Thian-liong-pang bersama seorang pemuda berandalan bernama Tang Hauw Lam.
Tadinya
ketika ia mendapat laporan, hatinya girang, menyangka bahwa Mutiara Hitam yang
dilaporkan bersama seorang pemuda di perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya
pemuda tampan itu hanya pengemis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai ketua
Thian-liong-pang yang merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu
tidak mau melayani pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.
Panas juga
hati Siang Ki mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa ketua Thian-liong-pang ini
memandang rendah kepadanya, maka sambil mengangkat dada ia menjawab. “Jika tak
salah dugaanku, engkau tentulah yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan
Cap-ji-liong dan juga menjadi ketua Thian-liong-pang.”
“Orang
jembel sudah mengenal tidak lekas pergi!” bentak seorang di antara
Cap-ji-liong.
“Thian-liong-pangcu!
Biar pun jalan kita bersimpangan, namun sudah lama aku mendengar tentang
Thian-liong-pang dan Cap-ji-liong. Ketahuilah, aku adalah pangcu dari Khong-sim
Kai-pang! Dan Mutiara Hitam adalah sahabatku. Kuharap, mengingat akan kedudukan
kita bersama, engkau suka melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau
berkeras, marilah kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa di
antara kita yang lebih unggul!”
Ma Kiu dan
sute-sute-nya terkejut dan memandang lebih teliti. Kiranya pengemis muda ini
adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan
sepak terjang pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan
pangcu muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya
menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu. Karena
para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu Thian-liong-pang, maka tentu
saja dua belas orang Cap-ji-liong ini menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.
“Ah, kiranya
engkau jembel muda pengacau itu? Bagus kau datang menyerahkan diri!” Ma Kiu
membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyambar.
Siang Ki yang
sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang pedang itu
dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusukan ke arah perut yang
gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan, dan pada saat itu sebelas orang sute-nya yang
menyaksikan gerakan cepat Siang Ki segera maju mengeroyok!
“Dua belas
ekor cacing Thian-liong-pang tak tahu malu!” terdengar bentakan Kwi Lan disusul
sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam.
Gadis ini
sudah melompat maju dan begitu ia memutar pedangnya, empat batang pedang lawan
telah dapat tertolak mundur berikut pemiliknya. Akan tetapi pada saat itu anak
buah yang bertubuh tinggi besar dan mereka ini adalah bekas-bekas bajak sungai
yang sudah takluk kepada Siauw-bin Lo-mo, kini maju mengepung Kwi Lan!
“Bagus,
makin banyak makin baik! Memang pedangku sudah haus darah!” teriak gadis itu
sambil membabat ke sekelilingnya.
Hebat bukan
main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para
bajak laut, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasaran saja, maka dalam
sekejap mata terdengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh mandi
darah!
Kalau Kwi
Lan dengan enaknya membabati para pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang
benar-benar menghadapi pengeroyokan berat. Cap-ji-liong terdiri dari
orang-orang pandai dan mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut
aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepandaian Yu
Siang Ki sudah tinggi. Andai kata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biar
pun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini.
Akan tetapi
begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung rapat,
Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang itu
menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi Siang Ki
amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah maka pemuda ini hanya dapat
memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata para pengeroyok yang
rata-rata memiliki tenaga lweekang cukup besar.
Biar pun ia
sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya terhadap Siang Ki yang
ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong yang lihai. Maka ia dapat melihat
betapa pun lihainya, pemuda itu repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman
senjata-senjata lawan. Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang
pengeroyok terdepan lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan
Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan
Cap-ji-liong dari belakang sehingga tiga orang anggota barisan terpaksa
membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur sekali mereka bergerak
diikuti teman-temannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula bersama
Siang Ki!
“Siang Ki,
mari kita basmi cacing-cacing yang menjemukan ini!” seru Kwi Lan marah sambil
memutar pedangnya menerjang kepungan.
Akan tetapi
barisan itu teratur rapi sekali dan betapa pun lihainya pedang Kwi Lan, karena
sekaligus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara berbareng, ia kalah
tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata!
“Kwi Lan,
kita berdua beradu punggung!” Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan
maksud temannya.
Segera ia
membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling membelakangi. Dengan
demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi
perhatian ke belakang karena bagian belakang masing-masing telah terlindung
sehingga perhatian dapat dicurahkan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga
oleh kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung dua
orang muda ini dapat melawan lebih ringan dan biar pun kadang-kadang para
pengepungnya berlari-lari memutari mereka, kedua orang muda ini tidak usah ikut
berlari-lari takut diserang dari belakang lagi.
Mereka
melayani dengan tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang,
sungguh pun serangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak
lawan. Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar
hebat. Andai kata dia dan Kwi Lan dapat bertahan mengandalkan kegesitan, tenaga
dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama
mereka mampu bertahan? Di luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini
masih terdapat puluhan orang anak buah mereka.
Ma Kiu yang
memimpin sute-sute-nya ketika melihat betapa barisannya tidak berdaya
menghadapi dua orang muda yang benar-benar lihai itu, menjadi penasaran dan
marah sekali. Tak disangkanya bahwa ketua Khong-sim Kai-pang yang masih muda
ini ternyata juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan
kepandaiannya sendiri, apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu
lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya.
Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari
mengelilingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi makin
jauh.
“Awas...!”
Siang Ki berseru keras.
Kwi Lan yang
sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran
senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang berbentuk bintang.
Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka
berdiri berserakan senjata rahasia musuh. Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw
yang menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak
buah bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata
rahasia ini.
“Kwi Lan...
kau larilah... lekas serbu sayap kiri... aku membantu dan melindungimu, kau
harus lari...!” Terdengar Siang Ki berkata dengan napas memburu.
Ketika Kwi
Lan melirik tanpa menghentikan putaran pedangnya, ia terkejut melihat pemuda
itu terluka pundak kirinya sehingga mengeluarkan darah. “Huh, enak kau bicara!
Kau kira aku pengecut yang takut mampus? Kau lihat!”
Sambil
berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan jarum-jarumnya ke
sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan
disusul robohnya lima anggota bajak yang menjadi korban sambaran jarum-jarum
hijau beracun. Akan tetapi gerakan ini hampir mencelakakan Kwi Lan juga karena
dengan gerak serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak
cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi korban sambaran sebuah di antara
puluhan senjata rahasia.
“Tiada
guna... mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada kesempatan
Kwi Lan.”
“Ih, kalau
kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mampus!”
“Aku tidak
takut, tapi aku ingin kau menyelamatkan diri, jangan pikirkan diriku...”
“Eh, orang
bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus
menjadi pengecut? Tidak, kalau kita lari, harus lari bersama, kalau melawan
terus juga harus berdua!” jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suaranya jelas bernada
kemarahan.
“Ah, kau
bodoh!” kata Siang Ki sambil memutar tongkat dan mengebutkan lengan baju, lalu
melompat tinggi. Biar pun sudah terluka ternyata ia masih gesit sekali. “Bukan
berani atau takut, melainkan kita harus gunakan otak! Kalau melawan terus dan
keduanya mati, siapa akan tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada
kau yang menolongku. Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu
kau melarikan diri!”
Kwi Lan
menjadi gemas sekali. Sambil memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia
berhasil menangkap sebuah peluru bintang dan cepat mengembalikannya dengan
sambitan kuat. Kembali terdengar jerit seorang anggota bajak roboh dan tewas.
“Aku punya
rencana. Hayo kau lindungi aku!” bentaknya kepada Siang Ki, kemudian tanpa
memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia sudah meloncat dan
menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan.
Yang
mengurung di sebelah kiri adalah anggota-anggota termuda Cap-ji-liong dan
ketika bertempur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri ini yang
paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu sayap kanan di mana
terdapat Ma Kiu, ketua Thian-liong-pang yang tentu saja paling kuat di antara
adik-adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu, tentu saja ia pun tak
dapat mencegah. Cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.
Ma Kiu
terkejut dan cepat ia bersama adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan
sekaligus tiga orang menangkis sedangkan tiga orang lain membalas dengan
serangan dari kanan kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini,
bahkan ia terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang
bertubi-tubi! Melihat ini, tiga orang anggota Cap-ji-liong menjadi girang dan
mengira bahwa serangan mereka tentu akan mengenai sasaran.
“Trang-trang-trang...!”
tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang
mengancam Kwi Lan itu sampai terpental dari tangan pemegangnya.
Akan tetapi
karena Siang Ki sudah terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu
banyak tenaga, maka ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar
punggung, ia tidak dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman
ruyung! Siang Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat.
Robohlah orang Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya
terkena sodokan tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang
matanya oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat
itu, dua buah peluru bintang yang mengandung racun telah menyambar dan mengenai
dada dan lehernya! Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang
erat-erat.
Pada saat
yang hampir berbareng, Kwi Lan yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil.
Dengan gerakan seperti burung walet terbang miring, gadis itu melompat
menghindarkan sambaran sepasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas
tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangannya yang
kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu
mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Sebelum
adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat turun,
menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu, menodongkan pedangnya
ke dada ketua Thian-liong-pang ini sambil membentak.
“Mundur
semua atau kurobek perut ketua Thian-liong-pang!”
Ancaman yang
dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini berhasil. Orang-orang
Thian-liong-pang yang tadinya sudah menggerakkan senjata hendak membunuh Siang
Ki yang sudah tak berdaya itu menarik kembali senjata masing-masing, juga
mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan kini terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi
sepuluh orang Cap-ji-liong yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki
yang sudah pingsan. Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh
di tangan gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.
“Bebaskan
kawanku itu, baru aku akan membebaskan ketua Thian-liong-pang!” kembali Kwi Lan
membentak dan pedangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.
Seorang di
antara sepuluh anggota Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat melangkah
maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang
roboh menjadi korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya
terancam bahaya maut! Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu
bergerak-gerak, tanda bahwa ketuanya itu tidak pingsan!
Memang dalam
hal ini Kwi Lan kurang menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu
berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memiliki gwakang yang bukan main
kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot
baja dan kulit besi! Tadi ketika terkena totokan, ketua Thian-liong-pang ini
hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya tidaklah terhenti seperti yang
disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan sebentar saja, dan kini ia sudah
sadar kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa
sedikit saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk
dadanya.
“Hemm,
Mutiara Hitam,” kata anggota Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi, “keadaanmu
tidak menguntungkan, akan tetapi kau masih membuka mulut besar! Kau boleh
mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan
kekasihmu ini. Ha-ha-ha!”
Wajah Kwi
Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia membentak, “Baik, kau
boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang
Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup!”
Tiba-tiba
anggota Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka
berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu menggerakkan tubuh bergulingan
menjauhi Kwi Lan!
Gadis itu
kaget sekali. Kalau ia menghadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua
Thian-liong-pang itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan
menyerang Ma Kiu yang bergulingan, tentu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh
orang Cap-ji-liong! Tentu saja yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya
sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi.
Dengan geram
ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang anggota Cap-ji-liong itu.
Demikian hebat gerakan pedangnya yang dirangsang kemarahan sehingga tubuhnya
berkelebat lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis
senjata yang mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang
pengeroyok. Sungguh pun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja
namun dua orang anggota Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.
Segera Kwi
Lan dikurung oleh sisa anggota Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang
amat banyak. Terdengar suara Ma Kiu marah sekali, “Seret ketua jembel itu dan
bawa pergi! Siapkan barisan Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini!”
Makin
bingung dan gelisah hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan ketua
Thian-liong-pang ini. Ia masih belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andai kata
ia menurut nasehat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu
sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan malam. Namun gadis
ini luar biasa beraninya dan juga tak dapat menahan kemarahannya. Melihat
betapa temannya terancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan
diri sendiri, terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.
Namun Ma Kiu
yang maklum akan kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan
dalam keadaan hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu mengeluarkan
tambang-tambang yang diayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di
samping itu hujan senjata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia
harus menghindarkan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan karena
kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari
depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andai kata ia
mempunyai maksud hati untuk melarikan diri sekali pun sudah tak mungkin lagi,
sudah terlambat.
Sementara
itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat diam-diam sudah mengambil jaring yang
berada di tepi sungai, jaring para nelayan yang dijemur di tepi sungai.
Diam-diam ketua Thian-liong-pang ini mengatur siasat dan alangkah kaget hati
Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring melayang dari atas
menyelimutinya. Ia berusaha memutar pedang membela diri. Banyak jaring yang
robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terasa sakit tertusuk
senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhuyung-huyung. Pada saat itu beberapa
buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat kakinya dan menjegalnya.
Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh
terguling.
Para anggota
Thian-liong-pang bersorak-sorak dan sebentar saja tubuh Kwi Lan sudah
dilibat-libat jaring. Ia tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya
mampu memaki-maki akan tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu
memimpin orang-orangnya membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang
tawanan penting. Masih untung bagi dua orang muda itu.
Kwi Lan
adalah gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku
sebagai utusan Pak-sin-ong yang mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa
dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini
hendak mengadakan hubungan dengan barisan Hsi-hsia. Ada pun Yu Siang Ki adalah
Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda
ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga merupakan orang
penting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan
nasibnya. Selain ini, juga Ma Kiu yang melihat kecantikan Kwi Lan merasa sayang
kalau membunuh gadis ini secara begitu saja!
Rombongan
orang Thian-liong-pang ini lalu pergi meninggalkan desa Ci-chung, sebagian naik
kuda dan ada yang berjalan kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta
tawanan yang bentuknya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu
Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.
***************
LEMBAH
SUNGAI Nu-kiang yang meluncur turun dari lereng Gunung Kao Likung San memang
merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan
tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia.
Lembah ini penuh dengan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak
tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat
binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegunungan yang amat sukar
didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk
datang menyerbu.
Karena
tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu, tokoh pendeta jubah merah
dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah
dibangun pondok-pondok darurat yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu
Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan
rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung.
Akan tetapi
Bouw Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan
atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di
markas baru ini, ditemani Siang-mou Sin-ni yang biar pun tua namun masih
kelihatan cantik dan menyenangkan hatinya, apa lagi kalau diingat bahwa
hadirnya iblis betina ini di sampingnya merupakan pembantu yang amat boleh
diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang
wajahnya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh
tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.
Biar pun
usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mundur, namun hati
Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin
menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah
berhasil membunuh ketua Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas
kekalahannya dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam
penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita
muda. Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok
belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik,
sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat
bersenang-senang sepuas hatinya.
Juga
Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas
kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera
bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat
tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga
terpenuhilah kebutuhannya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat!
Siang-mou Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil
ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secukupnya, bahkan
diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh
anak itu sebelum ia ‘pergunakan’ untuk keperluan ilmunya.
Akan tetapi
tidaklah mudah membujuk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik
dan dibawa ke dalam rimba, lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan selalu
memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah
menangis sejak ditangkap. Ia tidak mengenal takut dan selalu menolak apa bila
diberi makan. Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru
mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk
menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai.
Sebab itu tidaklah mengherankan, walau pun sudah diberi makanan dan minuman
yang lezat dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak
makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.
Setengah
bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki
kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat
masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang
mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah
bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang bersama pendeta
gundul berkaki buntung yang membunuh ayah bundanya, dan wanita inilah yang
telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang
cepatnya ke tempat ini.
Melihat
wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar
tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat
tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang
wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya,
ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik terhadap dirinya.
Sejenak
Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum,
menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis. “Anak baik,
namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau
makan dengan baik-baik sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa
dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki.”
“Kalau
sayang kenapa kau bunuh ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi
dari sini!” Sambil berkata demikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan
yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke
arah pintu untuk melarikan diri. Betapa pun juga ia adalah putera suami isteri
pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga
gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari ke luar menerobos pintu.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya terbetot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam
kamar. Han Ki meronta dan kaget sekali melihat betapa tubuhnya sudah terbelit
rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa
merdu yang amat dibencinya itu.
“Hi-hi-hik,
Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus!”
Han Ki
hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan
mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah
berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat. Kedua
tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala,
meraba-raba muka, dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih
sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati
Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang
menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak
mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbelalak.
Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas
keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa
wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan
yanci. Ia makin serem dan ngeri.
“Hi-hi-hik,
anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu
Sin, ayahmu. Hi-hik ayahmu dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak
baik? Dia amat cinta kepadaku... hi-hik”
“Bohong...!”
Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini, akan tetapi mendengar
bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya?
“Hi-hi-hik,
siapa bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem... kulitmu lebih halus, darahmu
lebih bersih dan murni... hemmm...!” Tiba-tiba wanita itu mencium dahinya,
pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!
Han Ki
gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggigiti dan seperti
seekor serigala akan memakannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama
sekali marah. Ketika Siang-mou Sin-ni mencium mulutnya seperti orang gila, atau
lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki
merasa betapa dada di mana tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa
mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit
tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan marahnya, ia menggunakan kesempatan
selagi rambut yang membelitnya itu mengendur, ia meronta sekuat tenaga sambil
menarik mukanya ke belakang
Gerakannya
yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak
dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan terdorong kemarahan
meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan... menggigit ternggorokan Siang-mou
Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan
giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak
akan melepaskan gigitannya biar pun ia dipukul sampai mati!
“Aiihhh...!”
Siang-mou Sin-ni menjerit lirih.
Dia adalah
seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh
kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi
(Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, dan bahkan dialah
satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya
amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya
mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu
menghadapinya, belum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam
pukulan darah beracun, bukan main kejinya.
Akan tetapi
karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu
binatang karena mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu,
maka ia berada dalam keadaan seorang mabok, dan pada detik-detik itu semua
tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai oleh nafsu
binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan
menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang
dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai
sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam
keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!
Betapa pun
juga, sebagai seorang berilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sin-ni terkejut.
Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam
kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membunuh anak itu.
Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak
menurunkan tangan maut, melainkan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk
Han Ki. Bocah itu mengeluh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas
pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.
Siang-mou
Sin-ni meraba tenggorokannya dan tersenyum memandang anak itu. “Hebat,”
bisiknya, “kulit leherku sampai pecah-pecah terluka.” Ia lalu melangkah ke luar
dan memanggil penjaga yang datang berlarian. “Jaga baik-baik anak ini dan mulai
sekarang, semua hidangan dariku untuknya harus dia makan, kalau perlu
dijejalkan ke dalam mulutnya secara paksa.”
Ketika malam
hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat
akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup. Semalaman itu
ia duduk termenung memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di
telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu
adalah kekasih iblis betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercayai hal ini, akan tetapi
entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.
Tentu saja
anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada
mendiang ayahnya, seorang pendekar dan menantu ketua Beng-kauw. Padahal apa
yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi
kekasih iblis betina ini dahulu, akan tetapi kekasih paksaan karena Kam Bu Sin
melayani semua kehendak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak
sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat.
Pada
keesokan harinya, seperti biasa pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan
lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan
adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.
“Kau makan
ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa,” hwesio itu
mengancam sambil menyeringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna
kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan
dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual
perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biar pun perutnya lapar. Apa
lagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis
itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.
“Aku tidak
sudi. Kau makan sendiri!” ia menjawab sambil membuang muka.
“Ha-ha-ha,
memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menjejalkan makanan ini di
mulutmu, bocah bandel!” bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang
penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak
ini mendekat.
Ia tidak
pedulikan Han Ki meronta-ronta, mendudukkan anak itu dipangkuannya dan
menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki
secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan
berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia
menjejalkan makanan itu dalam mulut Han Ki. Bocah ini tersedak-sedak,
terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan
menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya!
Percuma saja
Han Ki meronta-ronta, dan percuma saja ia berusaha untuk tidak menelan makanan,
karena hal ini tidak mungkin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu
terjejal ke mulut dan memasuki perutnya! Masakan ini memang lezat dan hal ini
sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal
seperti ini lenyaplah rasa lezatnya. Ketika hwesio itu selesai menjejalkan
makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang, dua butir air
mata meloncat ke luar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap di atas kedua
pipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh kebencian. Akan
tetapi hwesio itu mengebut-ngebutkan bajunya dan berkata.
“Aku masih
ingin sekali menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu
robek. Ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar.
Penjaga segera datang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.
Setelah
berada seorang diri, Han Ki duduk terlongong. Hampir ia menangis
menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak menahannya. Ia tidak mau menangis,
apa lagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau memberi kesenangan pada
musuh-musuhnya dengan tangisnya! Akan tetapi Han Ki seorang anak yang cerdik.
Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi
ancamannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan
agaknya hal itu menyenangkan hati si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai
saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakannya dengan
sukarela sampai habis.
Luar biasa
sekali hasilnya. Dalam waktu sepekan saja tubuh Han Ki menjadi gemuk, dagingnya
penuh, kedua pipinya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam!
Inilah hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni
sendiri. Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan
tulang, menambah sumsum.
Han Ki
merasa sehat dan kuat, hanya ia sering kali kepanasan sampai sering ia membuka
bajunya di waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah-olah terbakar.
Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio bengis. Agaknya karena
Han Ki tidak pernah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau
lagi menggunakan hwesio untuk mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh
penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia, biar pun cukup kuat dan galak,
akan tetapi tidak mempunyai watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu.
Malam itu si
Penjaga kembali datang membawa makanan untuk Han Ki. “Mungkin malam ini yang
terakhir kau di sini,” kata si Penjaga sambil lalu.
Berdebar
jantung Han Ki mendengar ini. “Mengapa? Aku hendak diapakan?” tanyanya.
Penjaga itu
tertawa mengejek. “Apa lagi? Kau anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah
untung! Ha-ha, agaknya Sin-ni suka kepadamu. Entah bagaimana aku tidak tahu...
heh-heh, menurut pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?”
Tentu saja
Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu akan
terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya. Harus sekarang kulaksanakan,
pikirnya. Untung atau buntung. Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.
“Paman yang
baik, apa pun yang akan terjadi, sampai mati aku tidak akan melupakan
kebaikanmu.” Han Ki sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis.
Belasan hari
lamanya, si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah berusia
sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh,
tak pernah ketakutan. Maka kini melihat Han Ki menangis di depannya dan
menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.
“Huh? Apa
maksudmu?”
“Selama ini
kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari
rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai kenang-kenangan dan balas
budi...“ Dari balik bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya
seperti sehelai tambang, akan tetapi sesungguhnya adalah baju dalamnya yang
terbuat dari pada sutera putih dan yang selama ini ia pilin-pilin menjadi
seperti tali. Tadinya ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas,
akan tetapi ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan
untuk menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.
“Huh? Apa
ini...?” Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik
orang kota memandang heran.
“Inilah
kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu ketua Beng-kauw,
aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku memakaikannya kepadamu,
Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar manfaatnya.” Tanpa menanti
jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu dan berdiri di belakangnya.
Orang
Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.
“Beginilah
pakainya, Paman.” Han Ki lalu menggunakan kedua tangan memegangi kedua ujung
tali sutera itu, mengalungkan secepatnya di leher penjaga, kemudian ia
membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan menarik sekuat tenaga!
Orang
Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat. Namun Han Ki sekarang sudah menempelkan
tubuh pada punggungnya seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang,
kedua tangan sekuat tenaganya menarik ujung tali. Semenjak kecil Han Ki telah
digembleng orang tuanya, maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam.
Namun, andai
kata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh
Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu
akan dapat mencekik si Penjaga yang kuat. Kebetulan sekali, pengaruh obat
Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah
kuat beberapa kali lipat! Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat
berteriak dan tak dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh
anak itu tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya
mendelik, lidahnya terjulur ke luar.
Setelah
penjaga itu tidak berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu
meloncat menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas
yang menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerahkan tenaga. Ia
memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran
mengapa tubuh penjaga itu demikian ringan. Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh si
Penjaga yang ringan, melainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat.
Diseretnya
mayat itu ke bawah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah
sehingga menutupi kolong pembaringannya. Kemudian ia mengatur letak guling
bantal, ditutupnya dengan selimut sehingga sepintas lalu tampak seolah-olah ia
tidur dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Setelah itu dengan cepat
namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya
dari luar.
Ia tidak
tahu sama sekali bahwa tempat ia ditahan itu merupakan kamar belakang dari
bangunan yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni!
Bangunan ini biar pun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw
Lek Couwsu tinggal ditemani gadis-gadis rampasan yang menempati beberapa buah
kamar-kamar besar ini, sedangkan Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.
Karena dari
kamar tahanan itu tidak ada jalan ke luar kecuali melalui ruangan belakang dan
yang pertama-tama menembus ke kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin
berdekatan dengan kamar tahanan calon korbannya, maka ketika Han Ki menyelinap
ke luar dan berjalan melalui lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar
Siang-mou Sin-ni seperti seekor kelinci mendekati sarang macan!
Tiba-tiba
suara ketawa cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya
seakan-akan copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou
Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya,
jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan jantung berdebar Han Ki lalu mengintai
dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia bertelanjang kaki
sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara. Sedikit saja ada suara tentu
takkan terlepas dari telinga Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada
di kamar itu.
“Hi-hi-hik,
kau bajul buntung tua bangka tak bermalu!” terdengar suara Siang-mou Sin-ni.
Han Ki yang
mengintai kini melihat kakek yang kaki kirinya buntung dan bertubuh tinggi
besar berjubah merah, sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah.
Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda
dan sehat. Tangan kanannya memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou
Sin-ni rebah dengan kepala di atas pangkuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang
panjang terurai sampai ke lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit
dan manja, lalu menyambung kata-katanya.
“Kau sudah
tua bangka akan tetapi hatimu lebih muda dari pada orang yang paling muda!
Masih kurangkah perempuan muda yang kau keram di sini? Masa kau menginginkan
pula dua orang dara itu?”
Bouw Lek
Couwsu yang sudah mendekatkan cawan emas pada bibirnya, menunda minumnya dan
memandang wajah yang menengadah di atas pangkuannya, tersenyum dan berkata,
“Kim Bwee, setua ini kau masih cemburu?” Ia tertawa bergelak.
Siang-mou
Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik. “Tua bangka menyebalkan! Aku
cemburu padamu? Huh, memalukan! Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli
kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan
peduli kalau aku mengumpulkan ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua
orang dara itu adalah puteri Kam Bu Sin, mereka itu adalah cucu-cucu ketua
Beng-kauw yang sudah berhasil kita bunuh. Mereka tadinya dapat lolos, sekarang
dapat tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh
mereka? Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan bagi
mereka untuk lolos. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari depan kita.”
“Hemmm,
omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan tetapi, aku merasa sayang untuk membunuh
mereka begitu saja. Seperti juga bocah laki-laki yang akan kau ambil darah dan
sumsumnya, dua orang dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki
tulang yang baik dan darah bersih, juga... hemm, amat cantik jelita. Malam ini,
aku janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih
belum terlambat untuk membunuh mereka.”
“Huh, dasar
mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri
yang akan turun tangan!”
Bouw Lek
Couwsu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni. Sambil tertawa ia
mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena
Siang-mou Sin-ni berkata mencela.
“Kau akan
mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu!”
“Ha-ha-ha,
mana bisa celaka? Darah ular salju amat besar khasiatnya, tentu saja terutama
sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk
memperkuat tenagaku, tidak seperti kau yang suka akan yang panas-panas,
ha-ha-ha!”
Pada saat
itu terdengar pintu terketok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan
mendengarkan dengan wajah pucat dan tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar
dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat
ia menarik kepalanya, mendekam di bawah jendela yang gelap. Ia hanya
mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi ternyata bahwa yang datang
memasuki kamar itu adalah seorang pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu
dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki.
Kemudian terdengar Bouw Lek Couwsu memaki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru
marah.
“Mari kita
lihat bagaimana macamnya iblis itu!” Terdengar mereka meninggalkan kamar.
Setelah
keadaan di situ sunyi, barulah Han Ki berani menggerakkan lehernya mengintai.
Kamar itu kosong. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di
mana? Dengan hati-hati ia lalu naik ke atas jendela, lalu memasuki kamar itu.
Tubuhnya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik,
amat kering dan haus. Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat
melarikan diri, akan tetapi ia mendengar bahwa dua orang kakaknya tertawan,
lenyaplah keinginan hatinya untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan
mencari di mana kedua orang kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolongnya!
Bau harum
sedap menarik perhatiannya. Cawan emas itu masih di atas meja dan isinya penuh.
Agaknya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, keburu datang pelapor yang
membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat
isi cawan yang kuning kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya.
Sebagai putera pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan
arak, karena sering kali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat
tulang-tulangnya dan membersihkan darahnya.
Dalam
keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali, melihat arak dalam cawan emas itu tak
dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar
cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis! Rasa enak membuat ia
minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia melempar kembali cawan ke atas
meja, ia mengeluh dan terhuyung-huyungke kanan kiri...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete