Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 10
TUBUHNYA
terasa aneh sekali, sebentar rasa panas yang selama ini memenuhi tubuhnya
menjadi makin panas seperti terbakar, akan tetapi di lain saat menjadi dingin
sampai giginya atas bawah saling beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di
dalam dada dan seluruh tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga
raksasa yang membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han
Ki dalam keadaan pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!
Apakah yang
terjadi pada anak ini? Dia menjadi korban pengaruh dua macam obat yang
bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan yang mengandung hawa panas luar
biasa, yang membuat darahnya seolah-olah mendidih dan tubuhnya menjadi panas
sekali. Kemudian tanpa ia ketahui, ia minum obat dalam cawan emas, obat yang
disangkanya arak biasa. Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat
yang mengandung hawa dingin luar biasa karena terbuat dari pada darah ular
salju. Dengan demikian dua macam obat berbahaya yang memiliki daya kekuatan
luar biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, diserap oleh darahnya
yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darahnya keracunan secara
hebat sekali.
Ketika akan
roboh pingsan, dari mulut anak ini keluar bisikan. “Aku harus menolong kedua
enciku (kakak perempuanku) ... harus kutolong mereka...!”
Seperti kita
ketahui atau dapat menduga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam
Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan antara
Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan
senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang gadis itu secara
tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan heran sekali karena tidaklah
sembarang orang mampu merobohkan mereka begitu mudah dengan serangan gelap dari
belakang.
Akan tetapi
ketika mereka melihat bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan
adalah searang pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahulah mereka
bahwa nyawa mereka terancam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar
mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek
mereka!
Ketika kakek
itu tidak segera membunuh mereka dan menjebloskan mereka ke dalam kamar
tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis
itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri yang
tengah menanti mereka. Namun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil
keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan
mengadu nyawa.
“Ke sini
jalannya,” Po Leng In berbisik sambil menarik tangan Kiang Liong yang
digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah merunduk
dan mendaki naik lereng gunung itu.
“Sekeliling
puncak terjaga kuat, hanya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar
dilewati.” Setelah berbisik demikian, karena muka mereka saling berdekatan, Po
Leng In merangkul leher dan mencium.
“Sudah,
bukan saatnya bersenang-senang!” Kiang Liong mencela sambil menjauhkan mukanya.
Po Leng In
menarik napas panjang. “Liong-koko...,” bisiknya dengan suara mesra dan manja,
“Aku... aku cinta padamu..., selamanya aku tak ingin berpisah dari
sampingmu...”
“Huh,
cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau berjanji untuk
membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita
bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”
“Tapi....”
“Cukup
sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup.
Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing-masing,
hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?”
Wajah yang
cantik itu menjadi muram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini
menjadi pahit. “Aku tahu... aku harus tahu diri....“ Po Leng In menahan isak
yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat
lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediaman mereka. Lihat
itu sungai Nu-kiang sudah tampak.”
Kiang Liong
memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai
yang berliku-liku berwarna putih, dan di sebelah depan, masih remang-remang di
senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi markas para pendeta
jubah merah. Di sanalah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam
Kiang Liong berdoa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.
Tiba-tiba Po
Leng In memegang lengannya. “Sst, Koko, lihat...!”
Tempat
mereka berdiri merupakan lereng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat
pemandangan terbuka di sebelah timur gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat
melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas
dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang
didorong-dorong naik.
Po Leng In
mengeluarkan suara melengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu
memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku memberi
peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas.”
“Eh, apa
maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyukarkan aku
menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?”
Po Leng In
menggeleng kepalanya. “Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan
orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan
terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apa lagi di waktu malam, penjagaan
di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa.”
Kiang Liong
mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan
perjalanan ke atas.”
Po Leng In
menggeleng kepalanya. “Jangan, kau menanti di sini sampai gelap. Aku harus
pergi dulu.”
Kembali
tangan pemuda ini memegang lengannya. “Leng In, apa sebetulnya kehendakmu?”
pertanyaan ini disertai pandang mata penuh selidik dan curiga.
“Aih,
Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku? Kepada orang lain, mungkin aku
akan melakukan pengkhianatan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan
tetapi tidak mungkin terhadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku
tadi, guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah datang. Kalau aku
tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kau kira mereka takkan menjadi curiga?
Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun
puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus,
melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat bangunan-bangunan di
puncak, carilah bangunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang
gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan dalam bangunan di samping
kanannya, tempat tinggal guruku. Kurasa hanya penjaga-penjaga lemah saja yang
akan menghalangimu.”
“Maafkanlah
kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu.”
Po Leng In
tiba-tiba merangkulnya. “Koko, kau... kau takkan melupakan Po Leng In,
bukan...?”
Kiang Liong
menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih. “Aku akan tetap
mengenangmu sebagai sahabat, kecuali... kecuali kalau kelak kita saling jumpa
dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku menentang kau dan
gurumu.”
Po Leng In
terisak, melepaskan rangkulannya lalu lari ke depan menuju ke puncak.
“Gadis yang
hebat,” Kiang Liong berkata seorang diri. “Sayang terjerumus menjadi murid
iblis betina itu.”
Ia duduk
terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat memandang ke
bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa
adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang
berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang
kurus, yang berjalan di depan rombongan itu.
Kakek itu
menggendong bambu di punggung, pinggangnya dilingkari dompet-dompet tempat
senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo!
Teringat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang
matanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas
siapa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu. Tidak tampak jelas, namun
hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu.
Kiang Liong
tak dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu, yang
seorang adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di
dalam kereta kerangkeng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang
yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang
Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah
diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo, ke gunung Kao-likung-san. Di kaki gunung
ini Siauw-bin Lomo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan
adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.
“Yang
seorang ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka
Bu-tek Siu-lam si banci melihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini
merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi dari padanya,
memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini?
Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar Bouw Lek Couwsu paling suka gadis
cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah
seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia.
Ha-ha-ha-ha!”
Demikianlah,
dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang
pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi
pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu, karena ia sudah mendengar
akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membasmi Beng-kauw dan ingin
bersahabat untuk memperkuat kedudukannya.
Tokoh yang
sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau dapat ditarik
untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi
kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para
kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andai kata
Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Siauw-bin
Lo-mo yang belum mengenal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah
dari Tibet juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni,
orang terakhir Thian-te Liok-kwi. Dengan hati besar ia memimpin rombongannya
mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ketika rombongan tiba di
padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak
mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintahkan rombongannya berhenti.
“Besok kita
lanjutkan pendakian ke puncak,” katanya.
Akan tetapi
keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi
yang datangnya dari bawah puncak, lengking aneh yang mengingatkan Siauw-bin
Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di
puncak Cheng-liong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid
Siang-mou Sin-ni. Salahkah pendengarannya? Akan tetapi kakek ini tidak sempat memikirkan
hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak
buahnya. Di antara sinar obor yang dipasang anak buahnya, ia melihat beberapa
orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang
mereka.
Siauw-bin
Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak-anak panah yang
menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras. “Tahan anak panah!
Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin
Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai,
bermaksud mengunjungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasukan Hsi-hsia!”
Suara
Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah
hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi
tempat itu. Muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin
oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah kereng. Tempat itu sudah
terkurung! Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan
berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.
“Nama
Siauw-bin Lo-mo sudah terkenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang
datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang
dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?”
“Ha-ha-heh-heh,
bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami
datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku
datang dengan hati terbuka, ingin bersahabat dengan Bouw Lek Couwsu dan membawa
hadiah dara jelita untuk Couwsu!”
“Tidak ada
perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah boleh serahkan
kepada kami, dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka
meninggalkan gunung sebagai sahabat.”
“Ha-ha-ha-ha!
Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-bin Lo-mo.
Akan tetapi karena kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian
boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk
dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan
bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi.”
Pendeta
jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapa pun juga, ia tidak berani memandang
ringan Siauw-bin Lo-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh
sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau
ia pergi menghadap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang
gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon
persetujuannya menerima permintaan Siauw-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri
untuk menghadap, agaknya ketuanya takkan marah.
“Hemm, asal
cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan
dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan dapat menerima permintaan
yang layak ini,” katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin
Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu sebagai seorang sakti.
Lega hati
Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik
dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta
Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat
itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan
lengkingan tinggi.
“Tidak
mungkin! Para Lo-suhu jangan kena dikelabui oleh kakek kurus kering yang jahat
ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya
busuk dan palsu!”
Siauw-bin
Lo-mo terbelalak memandang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah
gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak
cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan
rambutnya yang hanya tinggal separuh itu tergantung di depan dada.
“Po-kouwnio
(Nona Po), apakah yang kau maksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi
besar muka merah.
“Maksudku,
dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik,
masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan
mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.” Setelah berkata demikian, Po Leng In
melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah
hidung kakek itu.
“Heh, Siauw
bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud
kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan
sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”
“Benar,
pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san,” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun
tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan
Bouw Lek Couwsu.
“Bagus,
engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau
bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang
tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”
Siauw-bin
Lo-mo mengangguk-angguk bangga. “Memang benar dan akulah orang pertamanya!”
“Bagus!
Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili guruku untuk menghadiri
pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku,
menghina nama baik guruku dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama
sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, betul?”
Siauw-bin
Lo-mo masih tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw
Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik,
kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat
menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.
“Yang
menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Bagus,
tidak ada sangkut-pautnya kau bilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek
Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau
melihat guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir
dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani bilang kau datang
dengan maksud baik?”
“Eh-eh, apa
sangkut-pautnya dirimu atau gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu?
Aku....”
“Tutup
mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!” Setelah berkata
demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo
dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar.
Namun dengan
mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya
diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat
dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur. Sementara itu, para
hwesio jubah merah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik
Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju
menerjang dengan senjata mereka.
“Ha-ha-ha!
Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo
tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu
silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat
dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.
Ada pun
Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang
melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan
menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para
pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan
teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah
perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.
Di bawah
pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan
banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu
kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring. “Hajar
kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”
Inilah
sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah
merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebatnya sepak
terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti
terbang cepatnya, membuat pelaporan kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang
dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar
ditemani Siang-mou Sin-ni.
Kwi Lan yang
terkurung dalam kerangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai
lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya
terbelenggu, demikian pula pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam
kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki
yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang
mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh
Cap-ji-liong.
Sekarang
tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu
ternyata benar. Kalau ia menurut nasehatnya dan membebaskan diri, biar pun
Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat
mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur,
kini ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan
keselamatannya sendiri terancam mala-petaka hebat.
Kwi Lan
meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya,
kalau ia mau dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama
sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada
harapan baginya untuk meloloskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi
Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman
ini membuat ia bertambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau
mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini
akan percuma saja.
Pedang
Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di
sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala
bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan
diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget
dan kecewa hatinya ketika di kaki gunung Kao-likung-san, rombongan orang
Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah
menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat
membebaskan diri!
Kwi Lan
tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak
malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan
gembira hatinya ketika ia melihat munculnya kesempatan yang baik sekali, yaitu
pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang
Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.
Kwi Lan
segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia
mengerahkan sinkangnya. Setelah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah
belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak kesukaran ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang di
antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng berseru kaget dan
cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan
menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram
lengannya, ditarik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak,
nyawanya sudah meninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat
dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.
Penjaga
kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat betapa temannya
tewas, cepat maju mengurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biar
pun Kwi Lan berkepandaian tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman
tombak dari enam penjuru ini, sedangkan dirinya masih dikurung di dalam
kerangkeng, amat berbahaya juga.
Pada saat
itu enam orang perampok ini tiba-tiba menjerit kesakitan dan tahu-tahu roboh
bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi
alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara
perampok yang diterangi sinar obor menjadi hijau ketika orang ini roboh. Itulah
tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau,
seperti senjata rahasianya yang kantungnya bersama pedang Siang-bhok-kiam kini
dipegang seorang di antara para perampok. Kini ia akan melihat orang yang telah
membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau!
Kwi Lan
terkejut ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng. Yang seorang
adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam
puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut,
punggungnya membawa pundi-pundi.
Orang ke dua
adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung ke atas,
usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di
pinggang gadis itu terdapat sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah yang
tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan
mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras
dan jebollah kerangkeng itu.
“Engkau
hebat sekali, Adik manis!” kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol
kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya
untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.
“Jangan
ganggu dia!” Kwi Lan menyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah
gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari
belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu
serangannya akan mengenai sasaran.
“Desss...!”
Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang
menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru,
“Ihhh...! Inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali...!”
Akan tetapi
Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada
keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu.
Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini
gadis itu telah membabat putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu
tangan Yu Siang Ki.
“Siapa
kalian? Mau apa...?” tanyanya gagap.
“Nona, kami
datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apa
lagi? Goat-ji (Anak Goat) kau jaga dibelakangku, biar kugendong dia!”
Tanpa
pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng
Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak
lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di
belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.
Kwi Lan
cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah
menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat.
Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biar pun gadis ini mengeroyok
Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah.
Timbul
keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya
Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk
membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda
ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali
tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir
demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar
bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
***************
“Tahan,
senjata...!”
Bentakan ini
keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan gunung Kao-likung-san. Apa lagi bagi
anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan
gerakan mendorong sehingga empat orang anggota Cap-ji-liong terpental dan
terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari
dorongannya tadi.
Para hwesio
jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan
melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya
untuk menghentikan pertandingan.
Mereka
berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak.
Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu memegang
sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan kepala tongkat
berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang
wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang.
Wanita ini
sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi
matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji
dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya
karena biar pun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang
ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara
Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu.
Ia memang
mendengar kabar bahwa hanya Siang-mou Sin-ni seorang yang masih hidup di antara
Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah
mengasingkan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin
Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya
berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!
“Ha-ha-ho-ho-ho!
Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh
merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang
perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah
berani?” Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mendekati Bouw Lek Couwsu.
Bouw Lek
Couwsu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di
sekeliling tempat itu. Ia melihat beberapa orang anak buahnya terluka dan
dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang pun tewas. Ia mengangguk-angguk
dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil menggerakkan tongkat kuningan itu
di depan dada, lalu berkata,
“Pinceng
pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan
kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja
hendak mencoba kepandaianku?”
“Ho-ho-ha-ha-ha!
Sama sekali tidak. Salah mengerti... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak
tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah.
Aku sengaja datang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan
baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar. Bukan
sembarangan dara tapi gadis berjuluk Mutiara Hitam untuk dipersembahkan kepada
Bouw Lek Couwsu...“
Pada saat
itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup.
“Locianpwe..., dalam keributan... dua orang tawanan telah lolos...!”
“Apa?!”
Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali.
“Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!” Ia lalu menjura kepada Bouw Lek
Couwsu setelah melihat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan
yang lolos, menjura dan berkata, “Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali
tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku
naik untuk menghadap.” Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat
pergi menyusul anak buahnya.
“Hemm, iblis
tua itu mencurigakan!” kata Siang-mou Sin-ni.
“Dia, memang
jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!” kata Po Leng In. “Sudah teecu
(murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngosian yang
membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san.”
“Hemm, harus
diberi hajaran!” Siang-mou Sin-ni sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba
terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan
oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.
“Agaknya di
puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas.
Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya
besok.”
Ketika dua
orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak,
wajah Po Leng In menjadi pucat. Ia dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang
ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya
ketahuan penjaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula
menyusul gurunya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang
juga berlari-lari naik.
Dugaan Po
Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung
itu menanti sampai cuaca menjadi gelap. Dan tepat seperti yang dipesankan Po
Leng In, ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat
sekali akan tetapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.
Begitu tiba
di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah
berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang
Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula
pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok
bersama seorang wanita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu
mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni.
Biar pun
hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat gerakan mereka
berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah
hatinya ketika melihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang
pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke
atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang
terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum
bahwa andai kata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andai kata Po Leng In
tidak sengaja memancing keributan dan memancing keluar dua orang sakti itu
serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat
melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.
Gerakan
Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata
orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menyelinap di antara
bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja.
Betapa pun juga, ia menghadapi kesulitan ketika ia tiba di bangunan terbesar di
tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjukkan oleh Po Leng In.
Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang mau pun atas!
Dengan
hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan mengatur siasat. Agaknya bangunan
besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga
termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di
depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang
dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya
penjaga di atas genteng merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena mereka
adalah dua orang pendeta jubah merah. Ada pun penjaga lain adalah orang-orang
Hsi-hsia tinggi besar.
Kiang Liong
lalu mengumpulkan beberapa buah batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri
bangunan itu. Beberapa detik kemudian, tiga orang penjaga di sebelah kiri rumah
besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk
mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa
mengetahui sebabnya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat ke
luar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap,
ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang.
Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang
sehingga dalam waktu beberapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga
rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.
Tepat
seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang
pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian,
tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya,
sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio
jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng.
Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang
naik ke atas genteng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih
kagetnya menyambutnya dengan usaha perlawanan.
Namun
sia-sia, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda
sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok
lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tubuh para
penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.
Akan tetapi
Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan
para penjaga dan dua orang pendeta itu karena betapa pun dipaksa dan
diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan,
mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri,
menyelinap ke dalam bangunan besar itu.
Ketika empat
orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata terbelalak ketakutan,
Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak akan menyusahkan
kalian, aku datang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang
ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa
pergi mereka dari sini dengan segera.”
Dengan tubuh
gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun
dari mereka dapat menjawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita
pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam
hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega
karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!
“Hayo lekas
beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa
aku bunuh kalian!” ia sengaja mengancam.
“Ampun...
mereka... mereka di sana... di kamar belakang...!” Seorang pelayan akhirnya
dapat menjawab.
“Lekas bawa
aku ke sana!”
Pelayan itu
terhuyung-huyung ketakutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang
belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan
sebuah kamar yang pintunya bercat merah, daun pintunya tertutup. Dengan
pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan... Kiang
Liong mengeluarkan suara mengutuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui,
dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas
pembaringan dalam keadaan telanjang! Melihat tumpukan pakaian mereka di atas
pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu
yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.
“Lekas pakai
pakaian kalian!” bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak
beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali
cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.
“Untung kau
datang tepat pada waktunya, Liong-twako,” kata Siang Kui dengan suara terharu.
“Terima
kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-monyet gundul itu!”
seru Siang Hui penuh kemarahan.
Kiang Liong
menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, melihat sikap dan keadaan
mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.
“Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka banyak
sekali, yang paling penting sekarang, di mana adanya Han Ki adik kalian?”
Barulah enci
adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. “Begitu terculik, kami berdua
selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada
yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari,”
kata Siang Kui penuh semangat.
Kiang Liong
menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari dalam kamar itu,
terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak
beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang
dan begitu tangan mereka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan
bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa
dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik dan
nyaris membunuh mereka.
Melihat
sikap ini, Kiang Liong berbisik. “Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari
kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok
melalui pohon itu dan melarikan diri ke luar. Aku akan mencari Han Ki baru
menyusul kemudian...“
“Mana bisa
begini?” Siang Hui mencela. “Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan
monyet-monyet gundul itu!”
“Biarkan
kami berdua membantumu, Twako.” Siang Kui juga berkata, nadanya mendesak.
“Ji-wi
Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan
amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di
sini terpancing ke luar, aku sendiri agaknya belum tentu dapat menolong kalian
dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut melarikan diri
bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”
“Justru
untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata
Siang Hui.
Kiang Liong
habis sabar. “Kalian harus mengerti, kepandaian mereka hebat, aku sendiri belum
tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti
kita semua berempat akan binasa semua.”
“Kami tidak
takut mati!” Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.
Kiang Liong
melotot. “Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong
adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati
sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian ayah bunda kalian? Masih
tidak cepat-cepat pergi?”
Dua orang
gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua
ekor ayam digebah, mereka meloncat ke luar dan menghilang di dalam gelap. Hanya
terdengar mereka meninggalkan isak tertahan.
Kiang Liong
tersenyum geli. “Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani
mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan isterinya
yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia
menyelinap ke luar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita
yang berkumpul di sebuah ruangan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“Aku tidak
akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam
Han Ki, anak laki-laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”
Setelah
ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. “Kami tidak tahu orang
gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni...“
“Di mana
kamar Siang-mou Sin-ni?”
Pelayan itu
hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar
itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap
dari depan mata mereka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh
rasa takut. Akan tetapi dua orang di antara mereka lalu berlari ke luar. Biar
pun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga.
Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan
pemuda pakaian putih.
Ributlah
para penjaga, dan para pendeta jubah merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk
untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan.
Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan
yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.
Kiang Liong
yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara
tiupan tanduk itu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu
merupakan tanda bahaya dan persiapan pihak lawan. Ia harus segera menemukan Han
Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari ke luar. Ia cepat menuju
ke belakang. Biasanya tempat tawanan adalah di bagian belakang. Kamar-kamar di
belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat
menemukan anak itu.
“Han Ki...!
Kam Han Ki...!”
Teriakan
panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena suara Kiang Liong
didorong oleh khikang yang amat kuat. Namun tidak ada jawaban. Tentu saja Han
Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar
Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!
Suara tapak
kaki banyak orang menyatakan bahwa rumah itu telah terkurung. Ia lalu melayang
ke luar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah
senjata tajam menyambutnya seperti hujan.
“Trang-trang-trang...!”
Suara pertemuan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok
sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut keluar sepasang
senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh masih melayang ia
dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat
dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.
Akan tetapi
jumlah pengeroyok makin bertambah. Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak
memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan
yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak
mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang
puluhan orang banyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah
yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini adalah kaki tangan
sekaligus juga murid Bouw Lek Couwsu.
Hebat sekali
amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh
orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah
merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri sebelum dapat menolong Han
Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar
memanjang, seperti dua ekor ular sakti saling belit dan melayang-layang di
angkasa.
“Tahan
senjata, mundur semua...!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring
berpengaruh.
Kiang Liong
tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur
sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi
dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul
tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang
kesaktiannya pernah ia dengar dari suhu-nya, maka Kiang Liong memegang sepasang
senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya
siap menghadapi lawan tangguh.
Di bawah
sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini
seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biar pun kaki kirinya
buntung, namun dengan bantuan tongkat ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat
sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut
panjang.
“Bagus!
Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina
yang amat keji!” Kiang Liong membentak marah sekali.
Bouw Lek
Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo
yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagaimana ada seorang pemuda
seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan
pengeroyokan tadi, melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia
roboh, benar-benar pemuda ini luar biasa sekali. Keheranannya melampaui
kemarahannya ketika ia bertanya.
“Orang muda
yang tak takut mati, engkau siapakah?”
Dengan sikap
tenang pemuda itu menjawab, “Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau
melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak,
maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kau bebaskan Kam Han
Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!”
Bouw Lek
Couwsu mengangguk-anggukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.
“Aih-aih... pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama
Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?”
Tiba-tiba
Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa. Suara ketawanya melengking
tinggi menyeramkan, sungguh pun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa,
karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah.
Cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinarkan api. “Hi-hi-hik!
Inikah murid Suling Emas? Bagus, kau wakili gurumu mampus di tanganku!” Berkata
demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar
bayangan hitam.
“Siuuuuttt!”
Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar
Kiang Liong.
Pemuda ini
sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata,
namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal
rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi
mengerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum
bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apa lagi kalau sampai
terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya,
menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sinkang.
“Plak-plak...
aiihhh...!” Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara
kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil
itu tidak memungkinkan rambutnya untuk melibat.
Rasa kaget
ini berbalik menjadi kemarahan. Kembali kepalanya bergerak dan kini dua
gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya
seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung
menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut
ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan
jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau
yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti
mengeluarkan darah.
Kiang Liong
yang tahu bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya,
tidak mau bersikap sembrono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua
pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah
dengan gerakan indah pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat
gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut.
Siang-mou
Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak
tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret
selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut
pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin-ni dengan totokan-totokan pada jalan
darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebelum telapak tangan menyentuh baju Kiang
Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan
menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga
tak tersangka dan membingungkan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras
dan menarik kedua tangannya sambil menggeser kaki mundur selangkah sehingga ia
pun berhasil membebaskan diri dari pada totokan kedua pensil.
“Kiang
Liong, kau masih tidak mau menyerah? Lihat siapa mereka ini!” Tiba-tiba Bouw
Lek Couwsu yang tadi memberi tanda kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya
kepada dua orang gadis di sampingnya.
Kiang Liong
memandang dan matanya terbelalak. Wajahnya pucat karena dua orang gadis itu
adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbelenggu,
memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.
“Liong-twako,
maaf, kami tertangkap kembali,” kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan
kekecewaan yang membayang di mata Kiang Liong.
“Liong-twako,
jangan hiraukan kami!” kata Siang Hui dengan suara lantang.
“Ha-ha-ha-ha,
Kiang-kongcu. Dua orang cucu ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis.
Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan kubebaskan!”
“Liong-twako,
kami tidak takut mati!” teriak Siang Hui.
“Benar
Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat
larilah!” teriak pula Siang Kui.
Kiang Liong
berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan
tongkatnya, mengancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa
sekali ia bergerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri
belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apa
lagi dibantu banyak sekali pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru
Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong
seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat
mengambil keputusan.
“Bouw Lek
Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka,
kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk
mengalahkan dan membunuhku!” Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga
kembali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara kagum.
“Seperti
Suling Emas benar...! Beginilah Suling Emas di waktu mudanya!”
Akan tetapi
Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Orang muda sombong! Gurumu sendiri si Suling
Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apa lagi engkau muridnya! Kau
lepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng
memerlukan bantuanmu. Pinceng berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini.
Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni.”
“Bagaimana
aku dapat percaya omonganmu, Bouw Lek Couwsu?”
Pendeta
jubah merah itu marah sekali. “Kiang Liong, kau benar-benar memandang rendah
kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah
ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala,
sekali pinceng mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kembali!”
Kiang Liong
tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas
hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata-katanya. “Hemm,
siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan kepala gundul sebagai
kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak
hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta
palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan
barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa!” Suara Kiang Liong diucapkan
nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di
situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.
Diam-diam
Bouw Lek Couwsu mengutuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh
pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan
kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan
merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di
samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah
putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik
pemuda ini menjadi sekutu! Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya
menyerbu Sung.
“Baiklah,
aku berjanji sebagai pimpinan Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini
setelah kau melepaskan senjata dan menyerah.”
Kiang Liong
tersenyum lalu memandang sepasang pensilnya.
“Twako,
jangan menyerah!”
“Twako, mari
kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!”
Namun Kiang
Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil berkata.
“Kalian harus menurut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan
jangan hiraukan aku lagi!” Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan
sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu
menunduk sambil terisak menangis.
Kiang Liong
mendongak ke atas, melihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ.
Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata, “Biarlah
sepasang pensilku kusimpan di atas sana!”
Kedua
tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar
menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu
telah manancap berjajar di puncak tiang bendera! Semua orang terbelalak
memandang penuh keheranan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou
Sin-ni sendiri menjadi kagum.
“Ha-ha-ha,
engkau benar seorang muda gagah perkasa,” kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian
menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya. “Bebaskan dua orang nona ini
dan jangan halangi mereka turun gunung!”
Belenggu
kedua orang nona ini dilepaskan. Mereka sejenak meragu, memandang ke arah Kiang
Liong dengan sepasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya
dan berkata. “Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah.”
Dua orang
nona itu sedih sekali. Tadi pun mereka menangis kecewa ketika dipaksa oleh
Kiang Liong untuk pergi dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari Han Ki.
Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka
melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di
lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni
yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan
berarti mereka telah ditangkap kembali!
Dan sekarang
karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu
saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil
menangis mereka pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji akan
cepat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak
Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk
menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlambat dan dua orang itu sudah
terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.
Setelah dua
orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata, “Orang muda, pinceng sudah
berjanji membebaskan mereka dan sekarang mereka sudah bebas. Engkau menjadi
tawananku, dan pinceng juga tidak bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak
menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja
kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding!“
Kiang Liong
bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya
sekali pun belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini
bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah mengurung tempat itu.
Kini sepasang senjata sudah ia simpan di atas tiang bendera, dan ia sudah
berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia
menyerah, kecuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat
mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.
“Silakan
Bouw Lek Ciouwsu.” Ia memasang kedua tangan dengan merangkap pergelangan
tangannya.
Seorang
pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju.
Ia sudah membawa sebuah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia
segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemudian mengaitkan
ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua
tangan Kiang Liong sedikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka
bangga pendeta jubah merah itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya
mengharapkan pujian.
“Goblok kau!
Goblok dan tolol!”
Pendeta
jubah merah itu kaget setengah mati. Takut, mendongkol dan heran terbayang di
mukanya. “Tapi... Suhu....“
“Kau kira
belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?” bentak Bouw Lek Ciouwsu.
Kiang Liong
kagum akan kecerdikan dan ketajaman mata pendeta kepala itu. Ia tersenyum dan
tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat,
terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggunya itu patah-patah!
Kemudian ia menyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak
buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau
sekali pun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini
mematahkannya sedemikian mudah.
“Biar
kubelenggu dia untukmu!” terdengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel
menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat
bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya
karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw. Sambil berkata
demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah
kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit
pergelangan tangan!
Kiang Liong
dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga
yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal
karena rambutnya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia
berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil.
Maka ia diam saja dan bahkan memuji.
“Rambutmu
memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!”
Untuk kedua
kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa
tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai
mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih
kuat dari pada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan
lidah saking heran!
Setelah
kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak menghantam ke
depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang.
Ia tak dapat menangkis mau pun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan
menerima pukulan itu.
“Bukkk...!”
Lambungnya
terkena pukulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh
tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan
hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa
pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang
amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana
akibatnya.
Tentu saja
Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu
menggunakan rambut yang amat hebat, di waktu mudanya Siang-mou Sin-ni
menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu
ketika ia sering menghadapi Suling Emas, dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek
pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar
dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit
lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya!
Akan tetapi
makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya. Kini ia dapat menggunakan
Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang
dikumpulkannya itu dapat ia rubah menjadi hawa beracun yang jika mengenal lawan
akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena
pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai
keracunan.
“Kim Bwe,
jangan bunuh dia!” bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju menghadang.
Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.
“Hi-hi-hik,
tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukulnya!”
Bouw Lek
Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah terlepas dari
ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. “Kiang Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku
ini yang dulu disakitkan hatinya oleh gurumu. Percayalah, kami berniat baik dan
ingin bersahabat dengan kau yang muda dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan
melawan dan menyerah baik-baik, pinceng tidak berani membelenggumu. Marilah,
engkau kini menjadi tamuku yang terhormat.”
Kiang Liong
hanya tersenyum dingin dan tanpa bicara ia mengikuti pendeta ini naik ke
puncak. Siang-mou Sin-ni tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak
buah ikut pula naik kembali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.
***************
Dapat
dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika
ia berlutut bersama panglima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu
bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.
Begitu
datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam
keadaan menyamar sebagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas
memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya,
juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun
yang lalu!
Masih cantik
jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu
bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini
pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil ini dahulu
tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik
seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan
keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah
mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu bergerak
membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat menundukkan
mukanya dengan sikap amat menghormat.
Suling Emas
berlutut sambil menundukkan kepala dengan jantung berdebar dan pikiran melamun
jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya
terdengar sebagian saja olehnya. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu
Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu
terngiang di telinganya dalam mimpi.
“Kami amat
berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul kedua panglima kami
untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapa pun juga, hati
kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cianpwe.”
Di dalam
hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biar pun sudah menjadi ratu selama
puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun
Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia
yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya
menunduk dan menjawab, merubah suaranya dibesarkan.
“Silakan apa
yang akan Paduka lakukan, hamba hanya menurut.”
“Lihat
serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya menyambar ke
arah dada Suling Emas.
Suling Emas
kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar
ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan
mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu ilmu Cap-sha
Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan
terjatuh ke tangan Lin Lin.
Tentu saja
dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memunahkan pukulan dahsyat ini, akan
tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan
mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerahkan sinkang di pundaknya,
lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini,
pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya
mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut
seperti tadi.
“Aiihhh...!
Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!” teriak Yalina dan memberi isyarat
supaya Suling Emas maju lagi.
Dari tempat
ia berlutut, Suling Emas mengerahkan ginkang dan... dalam keadaan masih
berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak
merubah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan
seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut.
Hebat ilmu orang ini, pikirnya. Dengan ginkang seperti itu, dia sendiri takkan
mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya
mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena
hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak
apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.
“Ah, maafkan
percobaan kami, Cianpwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan kedua
panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?”
“Hamba tidak
ingat lagi nama hamba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak
Bernama).”
Ratu Yalina
mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempunyai saudara muda
atau keponakan atau putera?”
Hati Suling
Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan
muka penyamarannya. Cepat ia menggelengkan kepala. ”Hamba hidup sebatang kara
di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?”
Ratu Yalina
menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan
seseorang...“ Ia berhenti termenung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan,
kemudian menyambung. “Mulai sekarang kau kuangkat menjadi pengawal dalam
istana. Keselamatan kami sekeluarga kuserahkan ke dalam penjagaanmu.”
Suling Emas
menunduk, hatinya terharu. “Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia
Paduka”
Demikianlah,
mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan tinggal pula di
lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya. Seperangkat
pakaian yang indah dan gagah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di
dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima
pengawal. Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi
panglima yang tinggi.
Dalam
beberapa hari setelah bertugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas
mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan dengan Pangeran
Mahkota Talibu yang masih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan
tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di
hati Suling Emas, apa lagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah
putera Panglima Kayabu, bekas sahabatnya yang gagah perkasa. Ia bertemu pula
dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima
Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah seperti dulu, juga sikapnya amat
ramah terhadap bawahannya, namun penuh disiplin keras. Pantas saja bangsa
Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Panglima Kayabu ini.
Terutama
sekali keadaan Ratu Yalina, sering kali membuat Suling Emas hampir tidak kuat
menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan
berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung
seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya
merah bekas menangis!
Kalau sudah
melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan
kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia
merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari
berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan.
Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati
bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin?
Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?
Beberapa
hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang perwira Khitan
yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa
Hsi-hsia dan tentang kematian ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya
termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.
Mendengar
ini Ratu Yalina mengeluarkan teriakan aneh. Wajahnya menjadi pucat sekali,
tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang
mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat
membubarkan persidangan, lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada
seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis
tersedu-sedu!
Sibuklah
para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu
yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan
para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih
menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu
Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri
Tentu saja
berita tentang mala-petaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga
membuat Suling Emas terkejut, marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak
kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya,
seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw.
Akan tetapi dasar dia seorang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat
batinnya oleh gemblengan pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap
tenang.
Sekarang ia
harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki
keadaan Beng-kauw yang tertimpa mala-petaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan
karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga
sehat. Akan tetapi tak mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu
dengan Yalina, memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara
rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.
Sebagai
seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua
ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar
pekarangan di mana Yalina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi
lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.
Tampak oleh
Suling Emas betapa Ratu Yalina masih menangis, duduk di atas kursi dan
menyandarkan kepala di atas lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat
sekali dan air mata bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang
pelayan muda yang membawa tempat hidangan berdiri di belakangnya dengan
bingung. Baru saja hidangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada
Sang Ratu ditolak dengan bentakan marah.
Dari
belakang datang seorang dayang lain membawa teng (lampu). Mereka berdua saling
memberi tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian si Pembawa hidangan
mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang
dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang terdengar
hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.
Suling Emas
belum berani memperlihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang
akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan
gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk
menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan
berpamitan.
Sambil
menanti saat yang baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang melaporkan
tentang malapetaka yang menimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di
antara petugas-petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik
keadaan di luar Khitan. Memang Panglima Kayabu amat cerdik. Biar pun pada waktu
itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu menyebar mata-mata, baik ke
negara Sung, ke Nan-cao dan lain-lain tempat untuk mengetahui keadaan dan
perubahan negara-negara lain itu.
Perwira ini
menceritakan kepada Suling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke
Nan-cao. “Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba menyerbu ke selatan, akan tetapi
berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi, pimpinan
Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah merah, dikepalai oleh
pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga seorang wanita rambut
panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang hamba peroleh, ketua
Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan
wanita rambut panjang itu.”
“Dan
bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah
di sana dan mereka itu bersikap baik sekali kepadaku,” tanya Suling Emas.
“Menurut
kabar, juga puteri dan menantu ketua Beng-kauw tewas, dan anak-anak mereka
terculik...”
“Aihhh...!”
Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang
ke Nan-cao.
Sementara
itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas
kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya.
“Ibu, jangan
terlalu berduka...”
Suara
Pangeran Talibu yang menghibur ibunya ini membuat tangis Ratu Yalina
menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika ia masih
menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu Sin kakak
angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan perantauan dengan Kam
Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya, sampai bertemu dengan
Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya,
ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal
dialah sendiri yang melahirkan anak ini.
“Ah,
anakku...!” Ia membalik dan merangkul Talibu sambil menangis.
Pangeran
Talibu sungguh pun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat
anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat
ini amat besar.
“Ibu,
perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biar pun aku belum pernah
bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah
dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu menyayangnya. Memang
kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk
disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi
menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan
menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau
di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. “Ah, Puteraku, engkau belum tahu
tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang
sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah
memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih
banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita
itu saja sudah jauh lebih lihai dari pada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu
kepandaian ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup
tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Mereka adalah
orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di
tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh,
apakah yang akan dapat kau lakukan, biar pun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun
dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biar pun
begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai,
biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh
semangat.
Ratu Yalina
menggeleng-geleng kepalanya. “Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang
yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya ada satu-satunya
orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw
dan Paman serta Bibimu.”
Pangeran
Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam. “Siapakah dia,
Ibu?”
“...Suling
Emas...”
“Ohh...!”
Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk
mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah
kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin. “Begitu saktikah Paman Suling
Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”
Panas rasa
kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan
turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya
menjerit. “Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!”
Akan tetapi
mulutnya hanya berkata lirih, “Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya
akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak
tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya,
menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air
matanya membasahi bantal.
Sejenak
Pangeran Talibu berdiri bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya
ikut sedih sekali menyaksikan kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam
ini tidur di sini menemani Ibu.”
Dengan suara
serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas
memperlihatkan kasih sayang kepadanya, ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu
lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan
berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak
dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun
menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak
itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang
yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik
jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa girang mendapat
kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguh pun hanya putera angkat Ratu Yalina,
namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya,
Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu
dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang
halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar
peraduan. Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi
melihatnya di bagian pedalaman istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah
kepala pengawal dalam memang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena
itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada
yang tahu atau menduga.
Kini ia
berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah
berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di
dalam kamar di mana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing
baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia
berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin,
menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu!
Maka kini ia
merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut
kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, membuat ia merasa
canggung. Betapa pun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan
apa-apa. Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan mala-petaka yang
menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah
berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan
memperkenalkan diri kepada Lin Lin.
Suling Emas
lalu menanggalkan penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu
yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran
Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu
menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya
sendiri yang sederhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian
ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera
tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai
pinggang, tidurnya miring memeluk guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi...!”
Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak,
menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh
tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu Yalina,
biar pun seorang ratu adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.
Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat
syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu,
biar pun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apa bila tersentuh atau
terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri.
Ketika
Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya
mencelat ke luar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya
sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar
berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya
setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya menggigil.
“...Song-koko
(Kanda Song)...?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi,
sudah lama sekali...”
“Song-ko...!”
Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan
mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak.
“Song-koko... ah, Song-koko...!”
Suling Emas
menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua
matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua
dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun
getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya
terlepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata
basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah..., tak
mungkin... ini tentu hanya mimpi... hanya mimpi...!” Ia tersedu dan....
“Plakkk!”
ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya
terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan
mimpi.
“Ahhh...
Song-koko... kau benar-benar datang...?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin
menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan
muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan
kembali.
Suling Emas
amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya,
ia hanya meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi
dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya
yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya
dapat memeluk wanita ini. Namun dalam keadaan demikian telinganya masih dapat
menangkap gerakan di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika
tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia
tidak bergerak, hanya mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss...!”
“Auuuhhh...!”
Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa
sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina
terkejut dan cepat melepaskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang
membalikkan tubuh menghadap Pangeran Talibu. Biar pun tangannya terasa sakit
dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan
kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap
untuk menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya.
“Keparat,
berani kau...!” Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas
yang sekali lagi tidak bergerak, hanya tersenyum.
“Plakk...
traanggg...!” pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan
menepuk lengannya.
“Ibu...?”
Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan,
Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran
Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama
yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua
panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini seorang pendekar
sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa
malu dan canggung sungguh pun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu
menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi
berpelukan begitu mesra!
Talibu
segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurang-ajaranku,
karena saya tidak tahu....“
“Paman apa?
Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah... A...
Ayahmu...!”
“Ibu!”
“Lin-moi...!”
Entah siapa
lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini. Wajah
Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya
pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya
menjadi berubah ingatan!
Melihat
keadaan dua orang yang dicintanya itu, Ratu Yalina tersenyum di antara air
matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil
berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi
sebagai Ibu, kalian dua orang yang paling kucinta di dunia ini harus
mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah
ceritaku.”
Seperti
dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Yalina menuju meja
di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di
sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin.
Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan
aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau begini kejam menggodaku, tidak langsung
menemuiku yang sudah dua puluh tahun mengharap-harapmu?”
Suling Emas
menjatuhkan diri di atas kursi sambil menarik napas panjang. Pangeran Talibu
memandang wajah Suling Emas dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Tentu
saja pemuda ini menjadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui
adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia
lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia
mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas! Bagaimana ini?
“Lin-moi,
semenjak... pertemuan antara kita dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa
sekali dan dengan hati luka aku terpaksa meninggalkan Khitan, meninggalkan
engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan merusak namamu
di mata rakyatmu hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan
selama dua puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi,
mengapa kau sekarang mengatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya
semua ini?”
“Betul
sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran
Kayabu yang Ibu angkat sebagai putera?”
Ratu Yalina
kembali memegang tangan kedua orang itu di atas meja seakan-akan ia mencari
kekuatan dari mereka untuk bercerita, “Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau
adalah anak kandungku sendiri. Akulah yang mengandungmu dan melahirkanmu,
Talibu. Dan Ayahmu adalah dia inilah!” Ia berhenti sebentar, merasa betapa dua
pasang mata di depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan
betapa dua tangan yang dipegangnya itu gemetar.
“Bu Song
Koko, ketahuilah bahwa sepeninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung!
Tentu saja aku menjadi bingung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi
mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasiaku tidak diketahui
siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang
dukun dan Kayabu sendiri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih
seorang gadis untuk dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan
kulahirkan itu akan diakui sebagai anak isterinya....”
Sampai di
sini ia berhenti dan dari kedua mata Pangeran Talibu bertitik air mata,
sedangkan tangan pemuda itu kini menggenggam tangan ibunya dengan erat.
Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling Emas mendengarkan dengan muka
pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia menoleh kepada Talibu, pandang
matanya mesra dan penuh kasih.
Setelah
gelora perasaan harunya mereda, Yalina melanjutkan, “Rencana Kayabu berjalan
baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam
dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahwa isterinya melahirkan engkau. Baru
setelah engkau berusia lima tahun, kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu
kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang sejati.”
Talibu tak
dapat menahan perasaannya lagi. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu
memeluk ibunya. “Ibu... Ibu...!” Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu
berlutut di depan Suling Emas sambil berkata dengan suara menggetar, “Ayah...!”
Dua titik
air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia memeluk puteranya
dan mengangkat bangun. “Terima kasih kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang
putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan gagah, sungguh aku merasa
bangga sekali!”
Akan tetapi
tiba-tiba Yalina menangis tersedu-sedu, tangis yang amat sedih. Suling Emas dan
Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina berduka? Padahal bukankah
pertemuan antara ibu, anak, dan ayah ini suatu peristiwa yang amat
menggembirakan? Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan
tetapi tangisnya amat menyedihkan.
“Lin-moi, ke
mana perginya kegagahan dan ketabahanmu? Bukankah menggirangkan sekali
pertemuan di antara kita bertiga ini?”
“Ibu...,
kenapa Ibu begini berduka?”
Ratu Yalina
mengangkat muka, menahan isaknya lalu berkata, “Song-ko, anakku Talibu, ada hal
yang selama kau terlahir menjadi derita batin hebat bagiku. Talibu, ketika
engkau terlahir, lahir pula seorang Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”
“Ibu...!”
Talibu terkejut dan menangkap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang
seperti orang dalam mimpi.
“Adik
kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada nenek dukun untuk
dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri
dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan tetapi... ah... pada keesokan paginya,
nenek dukun itu kedapatan mati di dalam taman istana!”
“Ahhh...!”
kini Suling Emas yang berseru.
“Dan anak
itu... Adikku itu, bagaimana, Ibu?”
“Itulah yang
menyusahkan hatiku. Adikmu itu telah lenyap tak meninggalkan jejak sama sekali.
Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani ribut-ribut tentang hilangnya anak itu
karena takut rahasiaku akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa
selama ini aku berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat
aku menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak
perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku... dan kini... mendengar
akan mala-petaka yang menimpa Kanda Bu Sin... ah...!” Kembali Ratu Yalina
menangis sedih.
Dua orang
laki-laki itu, ayah dan anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat
bicara. Hati mereka tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghantam batin mereka
mendengar semua kenyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.
Tiba-tiba
Suling Emas menampar pahanya sendiri. “Ah! Dia... tentu dia... tak salah lagi...!”
Yalina
mengangkat muka memandang, “Apa maksudmu, Song-ko?”
Suling Emas
memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar.
“Lin-moi, aku telah bertemu dengan anak perempuan kita! Dia seorang gadis
jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya
Mutiara Hitam dan namanya... kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian
Eng!”
Yalina
meloncat bangun, matanya terbelalak. “Ah... betul juga! Mayat nenek dukun itu
mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan
membawa pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku? Mengapa ia
berbuat begitu aneh?”
“Hemm, kau
tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi...!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam
Sian Eng yang menjadi gila.
“Song-ko,
ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana
kau bertemu dengannya? Bagaimana dia?”
“Benar,
ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku...,“ kata pula
Pangeran Talibu dengan suara tersendat karena terharu. Mengingat bahwa ia
mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan aneh bergejolak di dalam
hatinya.
Maka
berceritalah Suling Emas tentang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan.
Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang menegurnya mengapa
meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu
menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.
Mendengar
penuturan ini, Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya
karena mendapat kenyataan bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu
ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.
“Dia cantik
dan gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia
murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya
secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani
tak mengenal takut, persis seperti... seperti Ibunya!” Suling Emas teringat
akan ini tertawa dan Yalina dalam tangisnya juga ikut tertawa.
Melihat
betapa ayah dan ibunya saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama
dua puluh tahun mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang
dewasa dan yang hatinya masih terguncang menghadapi kenyatan luar biasa tentang
dirinya, lalu berkata,
“Harap Ayah
dan Ibu maafkan aku..., aku... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang
hebat dan membahagiakan hati ini... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban
pemuda ini segera lari ke luar dari kamar ibunya sambil menutupkan daun pintu.
Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan menjaga di ruangan
luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andai kata malam
itu ada yang akan memasuki kamar ibunya!
Sampai lama
Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi
semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih
yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi
mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra dan menceritakan pengalaman
masing-masing.
Akhirnya,
ketika malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata,
“Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapa pun juga mala-petaka yang menimpa
Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja.”
“Engkau
benar, Koko. Akan tetapi... betapa aku akan kehilangan dan kesepian lagi... ah,
betapa inginku selamanya tinggal di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya
aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai Ratu....”
“Lin-moi,
tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya. Engkau harus ingat akan nasib
bangsamu dan kulihat putera kita Talibu amat cakap menjadi calon raja. Apa bila
ia sudah cukup masak dan kau angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya,
barulah tepat rasanya kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku.
Aku pun sudah bosan menghadapi segala macam urusan dunia ramai. Setelah putera
kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gunung berdua dan
menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita berdua masih
menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyatmu, dan aku akan
pergi ke Nan-cao sekalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam.”
Mendengar
kalimat terakhir ini, berserilah wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hitam... alangkah
seramnya julukan Anakku..., Song-ko, jahatkah dia?”
“Kurasa
tidak jahat, hanya aneh seperti gurunya.”
Tak lama
kemudian berangkatlah Suling Emas, berangkat dengan diam-diam meninggalkan
istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang Ratu Yalina dan
pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya lenyap di balik kesuraman
fajar. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk
pergi tanpa diketahui seorang pun penjaga.
Pada
keesokan harinya, Pangeran Talibu memberi tahu para panglima bahwa kepala
pengawal Bu Beng Lojin semalam berpamit dan pergi. Karena semua panglima
mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh, mereka tidak menjadi heran,
hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh
seorang pun penjaga. Di antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun
dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetulnya adalah Suling
Emas, kakak angkat Sang Ratu.
***************
Ruangan itu
lebar dan indah. Dindingnya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno.
Mereka duduk menghadapi sebuah meja bundar yang lebar, masing-masing duduk di
atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguh pun
diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat
akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia
sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan
untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah
depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Bouw
Lek Couwsu juga nampak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya
tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan. Ada pun
Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya memandang Kiang Liong dengan bibir
tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan
kemudaan pemuda itu, akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian
kalau ia teringat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan
yang dibencinya.
“Kiang-kongcu,
kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, berarti engkau adalah
seorang pemuda bangsawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti
kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak
mau bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan.
Kiang-kongcu, sebagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak
bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”
Kiang Liong
memandang tajam penuh selidik. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang.
“Heh-heh-heh,
Kiang-kongcu yang cerdik pandai masa belum dapat menduga maksud pinceng?
Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah
jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao
yang kecil saja tidak mampu melawan.”
“Bukan tidak
mampu melawan, melainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,”
Kiang Liong membantah sungguh pun diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan
pendeta itu.
“Ha-ha-ha!
Mana bisa bersahabat dengan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil
dan mengganggu? Kerajaan Sung sering kali dipaksa membayar upeti kepada
Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi
lawan dengan sogokan. Dan untuk memperoleh harta benda sogokan itu tentu saja
caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas
berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”
“Andai kata
benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kau kehendaki?”
Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar
keras. Inilah merupakan inti dari pada tugasnya diutus Kaisar, menyelidiki
keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia bahkan berhadapan muka dengan pemimpin
Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!
“Pinceng
harap Kiang-kongcu bijaksana dan dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu.
Pinceng menawarkan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung!
Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari dalam!”
Kiang Liong
mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum
mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di dalam kerajaan dan
hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan
suara tenang ia bertanya, “Dan balas jasaku...?”
“Ha-ha-ha-ha!
Engkau benar-benar seorang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini
harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan
Sung, Kiang-kongcu?”
Sikap Kiang
Liong masih tenang, namun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya
mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat
menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak.
Melihat
sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apakah balas
jasa itu kurang besar, Kongcu?”
Kiang Liong
dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar. “Cukup hebat dan muluk,
Couwsu. Seorang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau
jangan main-main.”
“Mengapa
tidak? Raja Sung yang sekarang ini bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai, lebih
gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu.
Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil menundukkan
Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagaimana?”
Kiang Liong
mengangguk-angguk. “Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan
begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan
Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat
menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsiannya akan hasil
persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!
Kembali
pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya. “Mari kita minum
dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan
hati, Kongcu!”
Kiang-kongcu
dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya.
Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi
sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak
menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia memandang kagum,
membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat ‘bersahabat’ dengan
pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan
pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang
seperti singa!
“Kiang-kongcu,
jangan kau kira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan
Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila
kesenangan dan kesenian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di
perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu
mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan
sebagian kecil tersebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan
bajak laut. Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil
karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan
kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang
ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari
barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah
akan dapat kami hancurkan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus
menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya
dari utara dan selatan kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak
dari dalam dengan pasukan yang dapat kau kumpulkan. Dengan begini, apa susahnya
menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”
Diam-diam
Kiang Liong terkejut sekali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah
mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang
dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek
Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi.
Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar
bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya.
Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan tempat ini,
kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat
untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara
lain kecuali menerima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!
“Hebat!
Rencana yang kau atur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu
dijalankan, apa lagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mudahlah merebut
singgasana!” Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepasang matanya
berkilat penuh harapan.
“Akan tetapi...
bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan rencanaku, tentu akan
ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa
untukku? Apakah engkau kelak tidak akan melanggar janjimu tadi?”
Bouw Lek
Couwsu menenggak araknya lalu tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah
pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti
akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan
menduduki singgasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di
Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi
keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah kerajaan bagian barat kepada
bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”
Bukan main
gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya
tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. “Aku menerima usulmu, Bouw Lek
Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa
tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di antara para panglima adalah
sahabat baik ayahku, Pangeran Kiang.”
“Ha-ha-ha,
mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”
Mereka
bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan wanita datang
berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup.
“Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan tetapi hamba melaporkan bahwa bocah
yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan
pingsan, sedangkan penjaganya kedapatan tewas di kamar tahanan.”
Siang-mou
Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah
mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena ditendang, sedang tubuh
Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan
itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita
yang pingsan itu, membawanya ke ruangan belakang.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah
lagi, pikirnya, bocah yang dimaksudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil
menemukan anak itu, kiranya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!
“Bouw Lek
Couwsu,” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita
menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau memandang mukaku
membebaskan Kam Han Ki itu? Betapa pun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku
sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan
mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu.”
Bouw Lek
Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini.
Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku
membujuknya. Harap Kongcu menunggu di sini.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek
Couwsu lalu meninggalkannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah
lebar.
Kiang Liong
terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia melirik, ternyata
bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah
menerima perintah untuk menjaga dan mencegah dia melarikan diri! Ia menghela
napas dengan perasaan tegang. Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau
berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan
dan janjinya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan
sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali
untuk menyelamatkan Kerajaan Sung. Karena andai kata ia berkeras menolak sampai
tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa
sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi mala-petaka hebat?
Tiba-tiba ia
menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa
nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya,
mengerahkan sinkangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa
nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah
terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di
bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sinkang rasa nyeri
itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni
darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi
terpukul.
Tak lama
kemudian dari ruangan dalam muncul keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni.
Jantung Kiang Liong serasa berhenti berdetik ketika melihat Siang-mou Sin-ni
mendukung seorang anak laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia
mengunjungi pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat
menduga bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah
sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong
maklum anak itu tentu tertotok.
Menurutkan
kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa
lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau
ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong. Yang lebih
hebat lagi, Kerajaan Sung akan terancam bencana hebat! Biar pun hatinya seperti
ditusuk ia tetap bersikap tenang dan ketika mereka berdua sudah datang dekat,
ia bertanya.
“Bagaimanakah,
Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian)
mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?”
Tiba-tiba
Bouw Lek Couwsu membentak keras, “Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau
tidak menghargai perjanjian kita?” Sikap kakek ini jelas mencurigai dan
menentang.
Kiang Liong
terkejut. Ia harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik. “Eh, apa
alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?”
“Kalau
engkau memang jujur, mengapa kau ingin benar menolong anak ini? Sepatutnya
sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada Sin-ni. Urusan kita
amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya. Apa artinya nyawa seorang
bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana pikiranmu? Kalau kau mementingkan
anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!”
Kiang Liong
terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini sedemikian cerdik. Ia
memutar otak mencari siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali
berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.
“Aku hanya
ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan
berarti aku melupakan persekutuan kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan
anak ini, Couwsu? Beritahulah dan aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan
demi kebaikan kita bersama, terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha
besar kita.” Sengaja Kiang Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa
kepala gundul ini amat membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan
bergerak dari dalam kota raja.
“Hi-hi-hik,
alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu mementingkan
persekutuan di antara kita mengapa kau hendak merampas anak ini dari tanganku?
Susah payah anak ini kupelihara, kubebaskan dari kematiannya di rumahnya,
kemudian kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting,
menyempurnakan ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau
menyerahkan anak ini kepadamu, kau mau apa, Kiang-kongcu? Apakah kau akan
membatalkan persekutuan kita hanya karena anak ini?”
Dapat
dibayangkan betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi
jalan buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan
Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban
secara mengerikan? Dari Po Leng In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini
hendak melakukan I-kin-hoan-jwe, untuk kesempurnaan ilmunya Hun-beng Toh-wat,
dan untuk keperluan inilah Han Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas
bagaimana orang melakukan I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam
urat, akan tetapi dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam
sekali.
“Jadi engkau
akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?”
Melihat
keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam. Pendeta ini adalah
seorang yang cerdik. Kalau tidak, tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa
Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan,
saling siap untuk bertanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar
mengharapkan bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan
raja. Maka cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.
“Antara
orang sendiri tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua beritikad baik.”
Ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan. “Kiang-kongcu,
pinceng telah bicara panjang lebar dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan
anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi pinceng yang menanggung
bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak
engkau dapat memegang janjimu dan mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota
raja, pinceng berjanji akan menyerahkan anak ini dalam keadaan hidup kepadamu!”
Diam-diam
Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia
mengerti bahwa Han Ki dijadikan ‘barang tanggungan’ untuk menguji kesetiaannya
dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak pasukan Hsi-hsia
menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang menghancurkan barisan
musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga, bahkan gurunya sendiri tentu
akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, dan
kalau tidak terlambat akan menolong Han Ki.
“Akan tetapi
awaslah kalian,” kutuknya dalam hati, “kalau anak ini kalian bunuh, jangan
harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”
Ia
mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. “Apa boleh buat, kalau kau tidak
percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kau tahan, Bouw Lek Couwsu. Betapa
pun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih penting.”
“Bagus! Mari
kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!” Kembali mereka
mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Siang-mou
Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. “Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia? Memang
aku tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi aku harus mengambil sedikit
darahnya, sedikit-sedikit tiap hari dan kuganti dengan obat agar darahnya
pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu
lagi!”
Setelah
berkata demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar
yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar memandang
Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ketika melirik ke arah Kiang
Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang
agaknya tidak sepenuh hatihendak menolongnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment