Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Mutiara Hitam
Jilid 06
Yu Jin
Tianglo adalah ketua Khong-sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang
Tianglo, maka tentu saja semua anggota yang tahu akan hal ini menjadi terharu
dan juga gelisah. Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru
itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sendiri tidak berani
sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah
oleh pengeroyokan mereka berlima?
Namun Suling
Emas dengan langkah lebar dan tenang sudah berdiri di tengah-tengah lapangan
yang tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa si Juling
berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemudian si Juling bersama
empat orang kawannya meloncat dan sekaligus mengurung.
“Yu Kang
Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat
Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua
kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya malah kau hina! Sungguh kau mencari mati
sendiri.”
Suling Emas
tertawa di balik sapu tangannya. “Kalian ini pengemis-pengemis macam apa?
Pakaiannya saja berlomba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu
orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai-pang mencari
anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat riwayat kalian!”
“Manusia
sombong!”
Lima orang
itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa
memasang kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di
pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi lawan!
Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan pandang mata tidak acuh sama
sekali!
Diam-diam
Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir
sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka
terus bergerak mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba
si Mata Juling yang menjadi pimpinan mereka berteriak keras dan serentak lima
batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan
sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali!
Gak-lokai
dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis
baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari
serangan mereka yang seperti kilat cepatnya, dan amat berat sehingga terdengar
angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat
menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
“Singgggg...
Krak-krak-krak-krak-krak...!”
Semua orang
kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan
jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan, lima orang
pengemis baju kembang itu sudah roboh tak berkutik lagi, sedangkan Suling Emas
masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tongkatnya!
Sampai lama
keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar,
sebaliknya pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum.
Kemudian meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang
pengemis anggota Khong-sim Kai-pang yang setia, sedangkan para anggota
Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima
orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang
menjatuhkan diri berlutut.
"Yu
Kang Tianglo, kau terlalu sombong!” bentakan ini keras sekali.
Kiranya dua
orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas,
sedangkan yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan
mayat lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah panggung! Perbuatan
yang kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di
golongan anggota, baik yang kini sudah berpakaian bersih mau pun yang masih
berpakaian butut.
“Trakk!
Trakk! Trakk!”
Suara ini
nyaring sekali sehingga menyakitkan telinga. Melihat betapa kedua telapak
tangan pendeta yang menghampiri Suling Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara
nyaring itu, semua orang yang tadinya berisik menjadi diam dan memandang penuh
keheranan dan kekaguman. Betapa dua telapak tangan dari kulit dan daging dapat
mengeluarkan bunyi seperti itu?
“Sahabat-sahabat
pengemis dengarlah baik-baik! Pinto (aku) berdua hanyalah tamu-tamu dari kelima
pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang
mengaku Yu Kang Tianglo ini. Pinto berdua adalah orang-orang sebawahan
Locianpwe Bu-tek Siu-lam, bagaimana mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang
tanpa turun tangan? Telah kita ketahui semua betapa para anggota kai-pang di
bawah pimpinan orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara,
kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-kadang mengalami kelaparan.
Kemudian golongan kami sebagai pimpinan baru telah mengangkat nasib para jembel
sehingga mereka dapat memakai pakaian baik dan makan sekenyangnya setiap hari.
Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa yang lebih patut menjadi pemimpin
kai-pang. Sudah terbukti pula betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh ini
berjasa besar terhadap saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini
yang akan merampas kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam
lembah kesengsaraan!”
Mendengar
ini, terbangun semangat mereka yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat
betapa dahulu, semenjak dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta
Ciam-lokai, para anggota hidup di bawah tekanan peraturan-peraturan keras
sekali, bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan sederhana, sesuai
dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemudian setelah
Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang ketua
baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan sehingga mereka dapat hidup jauh
lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan! Maka ketika mendengar ucapan
tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.
Suling Emas
tercengang ketika melihat tosu yang membunyikan kedua telapak tangan tadi. Ia
maklum bahwa tosu itu bukan sembarang orang, telah memiliki kepandaian tinggi
dan tentu seorang ahli Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih
kedua telapak tangannya sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja. Apa lagi
mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi
tertarik. Memang selama perantauannya ia mendengar akan munculnya seorang tokoh
besar berjuluk Bu-tek Siu-lam ini.
Akan tetapi
sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak
keras. “Sungguh tamu-tamu yang tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim
Kai-pang!” Kemudian tubuh dua orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan
Ciam-lokai sudah melayang dan meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua
orang tosu itu.
Ciam-lokai
menghampiri Suling Emas dan berkata halus, “Mohon Pangcu sudi membiarkan kami
berdua memberi hajaran kepada tosu-tosu lancang ini.”
Suling Emas
cepat membisikkan nasehatnya. “Baiklah. Ciam-lokai, kau nanti hadapi si Hidung
Besar itu dan awaslah terhadap telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan
jangan sampai mengadu telapak tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di
belakang sikunya.” Karena bisikan ini dilakukan seperti tanpa menggerakkan
bibir, hanya dengan pengerahan, tenaga khikang yang sempurna, maka yang
mendengar hanya Ciam-lokai seorang. Kakek bertongkat butut ini
mengangguk-angguk. Ia percaya penuh akan kelihaian ketuanya yang sakti.
Sementara
ini, Gak-lokai si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok sudah melangkah maju,
mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya mengatasi suara
berisik para anggota Khong-sim Kai-pang yang seketika menjadi tenang dan
mendengarkan penuh perhatian.
“Sejak
kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasehat-penasehat segala macam hidung
kerbau? Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama sekali
dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah menjadi peraturan kai-pang sejak
dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang ada tamu-tamu tak
diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam, hal ini tak lain berarti
sebuah tantangan!”
Dua orang
tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih melangkah maju dan
membentak. “Jembel busuk! Tak tahukah kau siapa kami berdua? Kami adalah utusan
Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Berani kau menghina utusan beliau?”
Gak-lokai
menjura dan menjawab suaranya tegas dan nyaring. “Kami sama sekali tidak
menghina siapa pun juga, apa lagi seorang tokoh besar seperti Locianpwe Bu-tek
Siu-lam. Sebaliknya kalian inilah yang sudah menghina ketua kami! Kalian
sebagai orang luar mana tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang kami?
Perkumpulan kami bukanlah perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan
yang hanya memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka! Akan tetapi kai-pang
kami adalah perkumpulan orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan,
orang-orang yang bertugas membela kebenaran dan keadilan tanpa pamrih, cukup
dengan hidup sederhana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang lebih mampu.
Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap
penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan kami? Huh,
bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan dengan cara
yang keji dan dengan cara yang lebih jahat dari pada perampok-perampok hina!”
“Setan
kelaparan! Gak-lokai dan Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa kalianlah yang
menjadi penyakit dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandalkan apa berani
bicara seperti itu di depan pinto?” bentak tosu hidung besar dengan marah.
“Pergilah, kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan orang
yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami!”
“Heh-heh-heh!”
Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami
yang mulia? Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan melayaninya.
Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan tongkat bututku menghajar anjing hidung
besar ini!”
Gak-lokai
tertawa lalu meloncat ke pinggir. Tubuhnya kemudian melayang ke bawah dan
tahu-tahu ia telah menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebelum lain
orang berani mencegah, ia sudah meloncat kembali membawa tiga buah bangku. Ia
mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia sendiri duduk di
sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah diperuntukkan
Ciam-lokai.
“Ha-ha, Tosu
Alis Putih. Kami tidak tahu kau siapa, karena kau tamu tak diundang, silakan
kau berdiri saja di sudut situ!” kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini
marah sekali, mengepal tinju dan mendelik.
“Eh-eh,
sabar dulu. Giliran kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam membereskan
temanmu si Hidung Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok!” kata pula Gak-lokai.
Tosu Alis
Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke
tengah panggung di mana Ciam-lokai sudah berhadapan dengan kawannya.
Ciam-lokai
menghadapi tosu hidung besar dengan menggerak-gerakkan tongkat bambunya yang butut,
yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas. Ia tersenyum lebar dan berkata,
suaranya lantang. “Eh, tosu yang tak tahu diri! Engkau mengaku tamu, akan
tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berarti kalian ini bukan
sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki keadaan Khong-sim Kai-pang.
Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa sebenarnya
kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti roboh di tanganku!”
Ucapan ini
diucapkan halus dan sewajarnya, akan tetapi tetap saja membikin panas telinga
karena sifatnya takabur! Tosu yang hidungnya besar itu usianya sudah tua,
mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari pada Ciam-lokai, akan tetapi
wajahnya masih gagah dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia
menekan kemarahan hatinya dan tersenyum mengejek lalu berkata.
“Jembel tua
bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik! Pinto bernama Bu Keng Cu,
sedangkan dia itu adalah Suheng-ku bernama Bu Liang Cu. Kami berdua adalah anak
murid Im-yang-kauw di perbatasan dunia barat. Kedatangan kami di Khong-sim
Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu (Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek
Siu-lam untuk memenuhi undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan
Khong-sim Kai-pang yang menjadi sahabat kami dan tuan rumah telah tewas di
tangan Yu Kang Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam.
Kalau kau sudah bosan hidup hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan
tetapi jangan lupa bahwa pinto sudah menasehatimu supaya kau mundur saja karena
kau bukanlah lawan pinto, jembel tua!”
Wajah
Ciam-lokai menjadi pucat sekali. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang
aneh. Orang lain kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai
menjadi pucat! Ia marah karena merasa kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai
berdebat dan kini ia yang tadinya hendak menyombong, oleh tosu yang lemas lidah
itu seakan-akan diseret turun menjadi terbalik keadaannya! Selagi ia
memutar-mutar otak untuk mencari jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu
itu sudah tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha!
Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan
roboh pingsan dan tewas karena takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau
mundurlah dan biarkan Yu Kang Tianglo saja yang melayani pinto!”
Ciam-lokai
makin pucat, mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat mengeluarkan suara
saking marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang
dalam hal kepandaian berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pandai, maka ia hanya
dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar mata minta
bantuan.
“Heh-heh-heh,
Saudara Ciam yang baik. Mengapa kau terheran-heran mendengar tosu hidung kerbau
Bu Keng Cu itu bernyanyi semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak
sekali pun kalau hampir mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi si Hidung
Besar ini suaranya mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik lekas kau
usir dia pergi!”
Muka
Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu
sambil menyeringai lebar. “Nah, kau sudah mendengar sendiri. Masih tidak mau
pergi? Benar-benar muka tebal!”
Bu Keng Cu
marah sekali. Tanpa bicara lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak
tangannya dan terdengarlah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok.
Kemudian secara tiba-tiba dan dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang
maju, kedua tangannya terbuka, yang kanan memukul ke arah kepala, yang kiri
mencengkeram ke arah dada. Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan
ketika ia menerjang, sambaran angin pukulannya dahsyat sekali.
Ciam-lokai
terkejut dan cepat ia mengelak sambil meloncat ke kiri. Tongkat bututnya
bergerak secara aneh dan berkelebat cepat.
“Plak-plak!”
terdengarlah suara dua kali disusul seruan Bu Keng Cu yang tubuhnya
terhuyung-huyung ke depan.
Gak-lokai
bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu sekali
pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat dan
ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan
dalam gebrakan pertama saja tongkat bambunya sudah berhasil menggebuk punggung
lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang bahwa gebukan-gebukan itu
dilakukan terlalu cepat sehingga tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk
dapat merobohkan lawan sekuat tosu itu.
Memang ilmu
tongkat yang dipergunakan oleh Ciam-lokai tadi amat luar biasa. Itulah ilmu
tongkat Go-bwee-tung (Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo.
Gerakan-gerakannya aneh sekali dan ilmu tongkat ini sanggup untuk ‘mencuri’
beberapa gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi sekali pun,
karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang
tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu menciptakan
ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan menghajar anak buah yang dahulu
menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan pukulan maut. Dan karena Yu
Jin Tianglo melihat bakat baik pada Ciam-lokai untuk menjadi pimpinan pengemis
maka ia sengaja menurunkan ilmu ini kepadanya.
Karena
sifatnya hanya untuk menghukum, bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung
ini tentu saja tidak banyak manfaatnya kalau dipergunakan dalam pertandingan
sungguh-sungguh di mana kedua lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau
perlu saling membunuh. Betapa pun juga, melihat bahwa dalam gebrakan pertama
saja pengemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para pengemis yang pro
kepada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira.
Sebaliknya
Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang
ternyata memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan
menepuk-nepuk kedua telapak tangannya sehingga terdengar suara nyaring, dan
kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap! Itulah puncak kehebatan
penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Kemudian tosu itu kembali menyerang, kali
ini terjangannya jauh lebih hebat dari pada tadi, juga pukulannya cepat dengan
kedua tangan bergerak-gerak secara aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi
yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai
bukan seorang bodoh. Sudah banyak pengalamannya dalam bertempur, dan ia maklum
pula akan kelihaian tosu ini. Ia tidak berani lagi main-main dan mengandalkan
Go-bwee-tung. Maka ia cepat menggeser kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya,
menghindarkan. pukulan kiri lawan yang amat cepat datangnya itu. Akan tetapi
siapa kira, begitu tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan yang
tadinya bergerak lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya!
Ia kaget sekali dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil
mengerahkan kedua tangannya yang memegang kedua ujung tongkatnya.
“Krakk!”
Tongkat itu
patah menjadi dua! Ciam-lokai meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat.
Bukan saja ia menderita malu, juga ia merasa sayang sekali bahwa tongkat pusaka
pemberian mendiang Yu Jin Tianglo itu kini patah menjadi dua!
Segera
terdengar sorakan para pengemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu
ini, karena keadaan kini berubah untuk keuntungan si Tosu. Ciam-lokai menggigit
bibir dan ia menerjang maju dengan dua batang tongkat pendek di kedua tangan.
Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan siasat yang
dibisikkan ketuanya kepadanya. Maka kini begitu menerjang, ia segera
menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua siku tangan
lawan dengan totokan-totokan cepat.
“Aiihhh...!”
Bu Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk
menghindarkan totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana
kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja sudah dapat mengetahui kelemahan Ilmu
Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya?
Sampai tiga
puluh jurus lebih Ciam-lokai mendesak lawannya dengan totokan-totokan maut yang
dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan
tubuhnya untuk menghindarkan totokan-totokan itu, kemudian secara tiba-tiba
gerakannya berubah. Sejurus gerakannya kasar dan keras, pada jurus berikutnya
berubah halus lembek, kemudian berubah lagi.
Dalam lima
enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang
sekeras baja, dan untung ia masih sempat membuang tubuh ke belakang sehingga
hanya ujung bajunya yang bolong ketika tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari
menusuk ujung baju bisa bolong menyatakan bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk
menusuk bolong logam keras!
Ciam-lokai
menjadi terdesak hebat setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh yang
sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu
berubah. Kini sukar baginya untuk mengancam kedua siku lawan karena kedua
tangan lawan itu melakukan gerakan-gerakan yang selalu berubah sifatnya
sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas
yang menyaksikan jalannya pertandingan sejak tadi diam-diam harus mengakui
keunggulan tosu itu atas kepandaian Ciam-lokai. Apa lagi ketika tosu itu
mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai ilmu silat Im-yang-kun, ia tahu
bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas dalam
pertempuran ini. Maka ia lalu mengerahkan tenaga khikang-nya, mulutnya
berkemak-kemik tanpa mengeluarkan suara.
Akan tetapi
Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba
mendengar suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di pinggir telinganya.
“Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya!”
Mendengar
suara ketuanya, Ciam-lokai yang sedang terdesak hebat dan sibuk menyelamatkan
diri itu secara membuta lalu mentaati anjuran ini. Ia menggerakkan kedua tangan
secara beruntun, menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan
tongkat kanannya menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.
Bu Keng Cu
terkejut setengah mati. Memang pada saat itu, biar pun ia sedang mendesak
lawan, bagian lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedangkan
perubahan gerak jembel tua itu benar-benar aneh dan tidak terduga, begitu
langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut kanannya kena
dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang maju lagi dengan
kemarahan meluap.
“Hantam
pelipis kirinya dan totok lambung kanannya!”
Kembali
Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah melihat betapa
petunjuk pertama tadi hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati
dan hanya dengan susah payah ia mampu membebaskan diri dari bahaya maut. Ia
terheran-heran dan makin penasaran dan marah. Jelas bahwa ia menang unggul dan
ia sudah yakin akan memperoleh kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan
terdesak, jembel itu secara tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh,
kadang-kadang berlawanan dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang
bermain silat lagi, akan tetapi selalu tepat menyerang bagian-bagian tubuhnya
yang tak terjaga?
Apakah
jembel ini mempunyai ‘mata ke tiga’ yang dapat melihat bagian-bagian terbuka
itu? Hal seperti ini hanya dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah
mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun. Akan tetapi andai kata si Jembel Tua ini
mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakan-gerakannya
begitu tiba-tiba dan seperti dipaksakan?
“Injak kaki
kirinya dan tusuk perutnya, kalau ia membalik, tendang pantatnya!” kembali
bisikan itu diturut oleh Ciam-lokai dengan taat.
Pada saat
itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja
menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat
kakinya menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri tosu itu,
berbareng ia menusukkan tongkatnya ke arah pusar lawan.
“Hayaaaa...!”
Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan
berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah
tendangan tepat mengenai pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi,
tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Tepuk sorak
riuh-rendah menyambut kemenangan Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis
pengikut kaum sesat menjadi pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan
diri sebagai utusan Bu-tek Siu-lam itu ternyata hanya sebuah gentong kosong
belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering!
Pada saat
itu, di antara riuh-rendahnya para pengemis yang menjagoi Ciam-lokai bersorak-sorak,
berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia
langsung mengirim serangan bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus paling lihai
dari Im-yang-kun. Kiranya tosu yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga
menyaksikan keanehan terjadi dalam pertandingan itu.
Ia yakin
bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada
saat-saat tertentu jembel itu merubah gerakannya dan begitu tepat mengisi
lowongan yang melemahkan pertahanannya? Oleh karena inilah, dengan hati
penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yang-kun untuk
mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli ilmu silat Im-yang-kun.
Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada
sute-nya!
Karena
kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat
mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya, maka cepat ia memutar kedua tongkat dan
meloncat ke belakang. Akan tetapi karena perhatiannya dicurahkan untuk
menghindarkan serangan tangan kanan Bu Liang Cu, ia kurang cepat menghindar
ketika tangan kiri tosu itu bergerak cepat sekali menyambar pergelangan tangan
kanannya. Jari-jari tosu itu sudah menyentuh kulit lengannya.
Ciam-lokai
terkejut, cepat ia menarik tangannya. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah lagi
tongkatnya yang di tangan kanan terampas sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang! Keadaannya berbahaya sekali karena jika tosu itu melanjutkan
serangannya, celakalah ia!
“Heh, tosu
bau, jangan main curang kau!” Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju
menghadapi Bu Liang Cu. “Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah
mengalahkan kawanmu!”
Tosu itu
berdongak dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang? Sute-ku tidak
pernah kalah oleh jembel busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!”
“Benar! Mari
kita hadapi mereka, Suheng. Hayo majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar
kalian berdua dapat mengalahkan kami!” Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah
melompat lagi ke atas panggung, berdiri dekat suheng-nya. Ia memang tidak
terluka. Kini kedua orang tosu itu berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda
Im-yang-kun. Ilmu silat Im-yang-kun ini memang hebat, akan tetapi lebih ampuh
lagi kalau dimainkan oleh dua orang.
Gak-lokai
yang tidak tahu akan bantuan yang dilakukan diam-diam oleh Suling Emas kepada
Ciam-lokai menjadi marah sekali. “Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang
tosu kerbau ini!”
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara halus Suling Emas. “Tahan dulu Gak-lokai dan
Ciam-lokai, kalian mundurlah. Aku hendak bicara dengan mereka.”
Karena ketua
mereka yang memberi perintah, biar pun ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis
itu lalu mundur. Suling Emas lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan
tenang, menghadapi dua orang tosu yang sudah siap-siap untuk mengadu nyawa.
Biar pun ia menyamar sebagai ketua kai-pang, namun Suling Emas tak dapat
menyembunyikan sikapnya yang halus dan sopan terhadap golongan pendeta. Maka ia
segera menjura dengan hormat dan berkata.
“Ji-wi Toyu,
sudah lama sekali saya mendengar tentang Im-yang-kauw sebagai sebuah
perkumpulan agama yang besar di perbatasan barat, bahkan pernah saya mendapat
kehormatan beramah-tamah dengan Kauwcu (Ketua Agama) Sin-hong Locianpwe.
Menurut pendapat saya, jalan hidup yang ditempuh golongan Ji-wi (Tuan Berdua)
dan golongan kai-pang tidaklah banyak bedanya. Namun dalam urusan partai
masing-masing, tidak selayaknya kalau kedua pihak saling mencampuri. Harap
Ji-wi sudi mendengar alasanku ini dan persilakan Ji-wi menghentikan semua
kesalah-pahaman ini.”
Dua orang
tosu itu saling pandang, kemudian Bu Liang Cu yang beralis putih segera
berkata, lagaknya angkuh, “Yu Kang Tianglo, bagaimana pinto berdua dapat bicara
dengan orang yang hanya mengaku bernama Yu Kang Tianglo akan tetapi yang
menutupi mukanya?”
Suling Emas
menarik napas panjang. “Sesungguhnya saya sudah mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi mendengar betapa
kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya
turun tangan. Hanya karena kepentingan kai-pang saya turun tangan, bukan
kepentingan pribadi, maka apa perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi
Toyu suka memandang perkenalan saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari
Im-yang-kauw dan menghabiskan permusuhan yang tiada sebabnya ini.”
Tiba-tiba
kedua orang tosu itu tertawa mengejek dan kini Bu Keng Cu yang berkata dengan
suara nyaring, agaknya dengan maksud agar didengar oleh semua pengemis yang
hadir di situ.
“Ha-ha!
Perkenalanmu dengan Sinhong Locianpwe tak perlu kau sombongkan! Kakek itu sudah
tewas karena kesalahan terhadap Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Kini Locianpwe Bu-tek
Siu-lam yang memimpin kami, bahkan beliau pula yang akan memimpin semua
kai-pang di dunia. Engkau ini berani lancang tangan membunuh lima orang
pimpinan Khong-sim Kai-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi bengcu di sini
tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sungguh tak tahu diri!”
Suling Emas
adalah orang yang sudah matang jiwanya. Kesabarannya sudah sampai pada dasar
batinnya, maka ia pun tidak marah mendengar ucapan yang sombong ini. Namun ia
terkejut juga mendengar bahwa Ketua Im-yang-kauw yang memang pernah dikenalnya
itu tewas di tangan Bu-tek Siu-lam. Ia tahu bahwa ketua Im-yang-kauw itu
seorang pendeta yang suci, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Ketua
Im-yang-kauw itu sampai terbunuh oleh Bu-tek Siu-lam, terbuktilah berita bahwa
Bu-tek Siu-lam memiliki kepandaian yang hebat. Jelas bahwa tokoh ini merupakan
ancaman di dunia.
“Hemm, Ji-wi
Toyu tak dapat menerima kata-kata halus. Masa bodoh dan terserahlah, karena
saya sebagai orang Khong-sim Kai-pang, tetap hendak mempertahankan kai-pang
dari tangan-tangan jahat, juga menghukum mereka yang menyeleweng dari pada
peraturan kai-pang.”
“Bagus. Tadi
dengan Coam-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) kau telah membantu kakek jembel dan
mengalahkan Sute-ku secara curang. Sekarang lawanlah kami berdua secara berterang.
Hendak kami lihat apakah kau pantas menjadi ketua Khong-sim Kai-pang.”
Dengan sikap
tenang Suling Emas menjawab. “Ji-wi Toyu, silakan maju. Saya siap menerima
pengajaran!” Suling Emas maklum bahwa dua orang tosu ini pun merupakan
penyeleweng-penyeleweng dari pada agama mereka, maka ia menganggap perlu
memberi hajaran kepada mereka, selain demi kebaikan mereka sendiri, juga agar
menundukkan sikap para pengemis yang hendak menyeleweng mengandalkan pengaruh
luar.
Pernah ia
bertemu dengan Ketua Im-yang-kauw yang berjuluk Sin-hong (Angin Sakti), dan
mereka telah bertukar pendapat tentang ilmu silat. Ketua Im-yang-kauw itu
merasa tunduk akan pengertian Suling Emas, bahkan berterima kasih sekali karena
mendapat petunjuk-petunjuk berharga, maka sebagai balas kebaikan, ketua itu
telah memberikan dasar-dasar Im-yang-kun dan minta supaya ditunjuk
kesalahan-kesalahannya. Karena ini maka tentu Suling Emas sudah mengenal baik
dasar gerakan Im-yang-kun sehingga tadi ia dapat memberi petunjuk kepada
Ciam-lokai untuk mengatasi lawan.
Dua orang
tosu itu, apa lagi Bu Liang Cu, maklum bahwa ketua kai-pang ini amat lihai.
Seorang yang sudah dapat menguasai ilmu Coam-im-kang, yaitu mengirim suara dari
jarak jauh dengan kekuatan khikang, adalah seorang yang sudah memiliki tenaga
sakti yang hebat. Akan tetapi karena mereka berdua yakin akan kedahsyatan
Im-yang-kun yang dimainkan oleh mereka berdua maka mereka tidak menjadi gentar
dan ingin menebus kekalahan yang tadi.
Dari kiri
dan kanan, dua orang tosu itu lalu menyerang. Bu Liang Cu menggunakan Im-kang
(Tenaga Lemas) menyerang dari kiri, mengarah lambung dengan pukulan yang amat
perlahan dan lambat, sebaliknya dari kanan Bu Keng Cu sudah menerjang dengan
cepat dan kuat sekali, mempergunakan Yang-kang (Tenaga Kasar). Kehebatan
Im-yang-kun ini adalah perubahan dua macam tenaga yang berlawanan. Dua orang
tosu itu dapat sewaktu-waktu merobah tenaga mereka sehingga lawan yang
dikeroyok dua akan menjadi bingung menghadapi penyerangan-penyerangan tenaga
yang berlawanan dan selalu berubah itu.
Suling Emas
maklum akan hal ini, sebab itu tentu saja ia sama sekali tidak bingung
karenanya. Apa lagi baru dua orang tosu itu, biar ketuanya sendiri belum mampu
menandingi ilmu-ilmunya. Begitu melihat datangnya serangan dua orang tosu yang
berlawanan tenaganya dan dilakukan secara berbareng ini, Suling Emas sama
sekali tidak mengelak mau pun menangkis. Pukulan dari kiri ke arah lambung dan
dari kanan menuju leher itu diterimanya sambil mengerahkan Iweekang, kedua
tangannya bergerak dan mulutnya berseru, “Pergilah!”
“Desss...,
plakkk...! Wuuuuttt...!”
Dua pukulan
itu tepat mengenai lambung kiri dan leher kanan Suling Emas, akan tetapi tubuh
pendekar sakti itu bergoyang sedikit pun tidak, sebaliknya kedua tangannya
sudah menerkam baju kedua lawan bagian dada dan sekali ia menggerakkan kedua
lengan, tubuh dua orang tosu itu terlempar jauh ke bawah panggung!
Kedua tosu
itu kaget setengah mampus. Akan tetapi mereka bersyukur sekali bahwa lawan yang
sakti itu masih menaruh kasihan kepada mereka sehingga mereka terbanting ke
atas tanah dalam keadaan berdiri sehingga hanya terhuyung-huyung saja. Kalau
terbanting dengan kepala atau badan lebih dahulu, setidaknya mereka tentu akan
babak-belur! Tahulah mereka bahwa ‘Yu Kang Tianglo’ itu benar-benar amat lihai,
maka tanpa banyak cakap lagi mereka berdua lalu ngeloyor pergi secepatnya.
Semua
pengemis yang setia bersorak. Sebaliknya mereka yang menyeleweng menjadi pucat
dan berlutut ketakutan. Akan tetapi Suling Emas mengampuni mereka, hanya
menyuruh mereka itu mengaku terus terang akan penyelewengan mereka,
mengembalikan semua rampasan kepada yang berhak. Gak-lokai dan Ciam-lokai
membantu Suling Emas meneliti semua bekas penyeleweng, menurunkan kedudukan dan
bahkan membagi-bagi hukuman yang ringan namun cukup meyakinkan hati mereka.
Atas
permohonan Gak-lokai dan Ciam-lokai, Suling Emas tinggal di kuil itu sampai
beberapa lama untuk menjaga kalau-kalau golongan sesat datang lagi mengacau.
“Harap
Pangcu menaruh kasihan kepada kami semua,” demikian kata Gak-lokai. “Kekalahan
pihak sesat yang tadinya menguasai Khong-sim Kai-pang, tentu takkan diterima
begitu saja oleh kawan-kawan mereka. Di samping itu juga, kemenangan dan
kembalinya Pangcu di sini akan membangkitkan semangat bagi para anggota
kai-pang yang lain. Biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk mengundang
kai-pang-kai-pang lain sehingga terdapat kesatuan yang kuat untuk menghadapi
gangguan kaum sesat. Setelah Pangcu memimpin pertemuan itu dan keadaan kita
benar-benar kuat, barulah Pangcu dapat meninggalkan kami.”
Suling Emas
merasa kasihan dan menyatakan kesanggupannya. Semua pengemis menjadi gembira
sekali dan undangan lalu dikirim. Bendera Khong-sim Kai-pang kini berkibar
megah di atas kuil. Di waktu senggang, Suling Emas menurunkan beberapa ilmu
pukulan untuk menyempurnakan kepandaian Gak-lokai dan Ciam-lokai yang ia
harapkan akan memimpin Khong-sim Kai-pang kalau ia meninggalkan kai-pang itu.
Dua orang kakek itu menjadi girang sekali dan karena mereka itu memang dua
orang ahli yang sudah tahu akan dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dalam
beberapa hari saja mereka dapat menguasai rahasia ilmu pukulan yang diajarkan
Suling Emas.
Beberapa
hari kemudian, hari yang ditentukan untuk pertemuan para kaipang telah tiba.
Semenjak pagi kuil yang menjadi pusat Khong-sim Kai-pang dikunjungi banyak
sekali rombongan pengemis yang dipimpin ketua masing-masing. Mereka ini datang
dari segala penjuru, merupakan kai-pang-kai-pang yang membawa bendera
perkumpulan masing-masing. Ban-hwa Kai-pang dari Sin-yang, Hwa-i Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), Ang-tung Kai-pang (Tongkat Merah) dan
masih banyak lagi kai-pang lain yang hadir. Di antaranya malah tampak
wakil-wakil dari Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang yang tampak mencolok
dengan pakaian mereka yang bersih dan mentereng!
Tentu saja
Suling Emas yang berpandangan tajam itu dapat menduga kai-pang mana yang
menyeleweng dari jalan yang benar. Namun sebagai seorang yang bijaksana, ia
memerintahkan Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menerima semua kai-pang itu dengan
penghormatan yang sama. Semua bendera kai-pang yang menjadi tamu dipasang di
sekeliling panggung di mana berkibar bendera Khong-sim Kai-pang, dan para wakil
pimpinan kai-pang-kai-pang itu dipersilakan duduk di sebelah kanan panggung,
menduduki kursi-kursi yang berhadapan dengan kursi ketua yang diduduki oleh
Suling Emas sendiri. Semua anak buah partai-partai pengemis itu duduk
mengelilingi panggung, ada yang duduk, ada yang berjongkok, ada pula yang
berdiri.
Pada saat
itu, di sebelah luar kumpulan pengemis yang mengelilingi panggung itu, terdapat
seorang pengemis muda yang tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan
lain adalah Yu Siang Ki dan Kwi Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan sepasang
matanya terbelalak penuh ketegangan. Ia sama sekali tidak peduli ketika
beberapa orang pengemis yang duduknya paling belakang memandang kepadanya
dengan sinar mata penuh kemarahan. Mereka itu adalah pengemis-pengemis baju
butut yang tentu saja menjadi marah melihat Siang Ki yang berpakaian bersih,
mengira bahwa pengemis muda ini tentulah golongan para pengemis aliran baru,
yaitu pengemis-pengemis baju bersih yang dipimpin kaum sesat.
Hati Yu
Siang Ki terlampau tegang untuk memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke
atas panggung, sinar matanya berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek
pengemis bertopi lebar dengan muka ditutup sapu tangan duduk di atas kursi
ketua Khong-sim Kai-pang.
“Siang Ki,
kenapa kau tidak maju dan terjang badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika
menyaksikan sikap pemuda teman barunya ini.
Yu Siang Ki
menggeleng kepala, lalu menjawab sambil menggerakkan tangan kiri menunjuk ke
arah Suling Emas. “Tidak boleh aku berlaku lancang, Kwi Lan. Memang ketika
mendengar dari pengemis-pengemis di sepanjang jalan bahwa ada orang yang
mengaku sebagai ayahku datang merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang, aku
menjadi marah sekali dan berniat untuk membuka kedoknya dan menyerangnya. Akan
tetapi setelah tiba di sini, aku menjadi ragu-ragu. Demi menjaga nama baik
Khong-sim Kai-pang, aku harus bersabar. Menurut cerita mereka itu, orang yang
mengaku sebagai ayahku amat aneh dan tinggi ilmunya, bahkan telah membunuh
oknum-oknum jahat yang memegang pimpinan Khong-sim Kai-pang, bahkan menghukum
para anggota yang menyeleweng, juga ia dibantu oleh Gak-lokai dan Ciam-lokai,
dua tokoh Khong-sim Kai-pang yang dulu menjadi sahabat baik dan pembantu Kakek
Yu Jin Tianglo. Aku harus menyaksikan dulu sepak terjangnya, siapa tahu dia itu
seorang tokoh pengemis yang berusaha menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari
tangan oknum-oknum jahat dengan menggunakan nama ayah untuk mencari wibawa.”
Kwi Lan
mengangguk-angguk. Ia heran mengapa pemuda ini berpikir sedalam itu. Padahal
kalau menurut dia, orang yang memalsukan Yu Kang Tianglo yang sudah meninggal,
wajib dikutuk dan dihajar! Coba seandainya yang menghadapi urusan itu dia
sendiri, atau orang-orang seperti Tang Hauw Lam si Berandal atau Siangkoan Li,
tentu takkan menunggu-nunggu dan melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain
lagi sifatnya, hati-hati dan berpandangan luas. Betapa pun juga karena yang
dipalsukan namanya adalah ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal
diam saja menanti perkembangannya lebih lanjut.
“Orang
sesabar dan selemah engkau baru sekali ini kujumpai!” omelnya sambil memandang
wajah yang terlalu tampan untuk menjadi wajah seorang pengemis itu.
Yu Siang Ki
juga memandang. Pandang mata mereka bentrok, bertaut sejenak dan pemuda itu
tersenyum.
“Sebelum
tahu betul apa kehendak orang itu memalsukan nama ayah, bagaimana aku dapat
bertindak? Ayah sendiri memesan agar aku berusaha membela dan membersihkan
Khong-sim Kai-pang. Kalau orang aneh yang memalsukan nama ayah itu bermaksud
baik dan membela Khong-sim Kai-pang, andai kata ayah sendiri masih hidup dan
berada di sini, tentu beliau juga tidak akan menghalanginya.”
Kwi Lan tak
berkata apa-apa lagi dan hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih
tempat di belakang, dari mana mereka dapat memandang ke atas panggung cukup
jelas. Mereka berdua duduk dan menonton dengan penuh perhatian.
Makin lama
makin banyaklah pengemis yang datang memenuhi pekarangan depan kuil yang
menjadi markas Khong-sim Kai-pang itu. Kemudian tampak Gak-lokai dan Ciam-lokai
melangkah maju, memberi hormat kepada Suling Emas, kemudian mereka berdua
menjura ke arah belasan orang yang duduk di kursi kehormatan, yaitu para
pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang menjadi tamu. Sebagai wakil Khong-sim
Kai-pang yang menjadi tuan rumah, Gak-lokai lalu berkata, suaranya lantang dan
jelas.
“Saudara
sekalian yang kami undang telah sudi datang memenuhi undangan, hal ini amat
menggembirakan karena jelas ternyata bahwa persatuan di antara kai-pang masih
erat. Kami mengundang Saudara sekalian untuk mempererat persatuan ini dan
hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang telah puluhan tahun mengasingkan
diri dan kini berkenan kembali untuk memimpin kita sekalian, yaitu Yu Kang
Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim Kai-pang!”
Tepuk sorak
menyambut ucapan ini dan Suling Emas segera bangkit dari tempat duduknya,
berdiri dan menjura ke sekeliling panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang
tinggi besar dan tegap, sepasang mata di bawah topi lebar yang tajam berkilat,
muka yang bagian bawahnya ditutupi sapu tangan, semua pengemis memandang dengan
bermacam-macam perasaan. Ada yang heran, ada yang kagum, penuh harapan, curiga
dan sebagainya.
Puluhan
tahun yang lalu Yu Kang Tianglo muncul untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian
melenyapkan diri kembali. Tak seorang pun di antara para pengemis yang belum
mendengar namanya, namun tidak ada yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh
besar itu muncul lagi dengan muka tertutup sehingga bermacam dugaan yang
aneh-aneh timbul. Ketika Suling Emas berdiri, keadaan menjadi sunyi dan semua
orang menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan
oleh Yu Kang Tianglo, tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai orang namun
namanya amat terkenal itu.
Dua pasang
mata memandang ke arah Suling Emas dengan penuh perhatian dan juga dengan
terheran-heran betapa beraninya memalsukan nama orang yang sudah meninggal dunia.
Kwi Lan terheran bercampur marah sedangkan Yu Siang Ki terheran dan ingin
sekali tahu siapa orang itu dan apa kehendaknya.
“Saudara-saudara
para pimpinan dan anggota kai-pang!” Suara Suling Emas lantang dan nyaring,
akan tetapi halus. “Maafkan bahwa saya menutupi muka, karena memang
sesungguhnya bukan maksud saya mencari ketenaran diri dengan kehadiran saya di
sini. Sudah semenjak dahulu saya selalu berusaha menyembunyikan diri dan
menjauhkan diri dari urusan dunia. Akan tetapi dua kali saya terpaksa
menampilkan diri. Pertama kali dahulu di waktu It-gan Kai-ong mengotorkan dunia
pengemis dengan kejahatannya, dan sekarang, mendengar betapa dunia pengemis
diselundupi kaum sesat, mau tidak mau saya terpaksa kembali menampilkan diri
untuk menegakkan kembali kebenaran dan kebersihan di dunia pengemis. Terutama
sekali Khong-sim Kai-pang yang semenjak mendiang ayah saya dahulu merupakan
kai-pang yang bersih dan gagah ternyata telah diselundupi oknum-oknum jahat
yang mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke
jalan sesat. Terpaksa saya turun tangan membasmi mereka. Karena itu, dalam
kesempatan ini saya peringatkan kepada saudara-saudara pimpinan kai-pang lain
agar berhati-hati dan bersatu padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak
mencari tempat dan menguasai kai-pang.”
“Bagus,
bagus.”
“Akur...!
Akur...!”
Para
pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki mengangguk-angguk dan hatinya lega.
Kiranya benar seperti dugaannya. Orang aneh ini sengaja memalsukan nama
mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu hendak mengandalkan nama ayahnya
untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak mereka melawan kaum sesat. Ia menoleh
ke arah Kwi Lan yang juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak.
Pada saat
itu, Kwi Lan menyentuh tangannya. “Siang Ki, lihat...!”
Yu Siang Ki
cepat menengok dan matanya yang tajam masih sempat melihat sinar hitam melayang
ke arah leher dan lambung orang aneh yang memalsukan nama ayahnya itu. Jelas
bahwa sinar itu adalah senjata rahasia yang halus sekali, yaitu jarum-jarum
rahasia!
“Celaka!”
bisiknya khawatir.
Akan tetapi
ia dan Kwi Lan memandang dengan melongo ketika Suling Emas dengan tenang
menerima jarum-jarum itu dengan leher dan lambung, kemudian tangan kirinya
seperti mengusir lalat di leher dan lambungnya dan sekali tangannya bergerak,
sinar hitam melesat dan jarum-jarum itu sudah dilempar kembali kepada
pengirimnya, namun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat sekali. Terdengar
jerit-jerit kesakitan dan dua orang pengemis baju bersih yang berdiri di antara
banyak pengemis itu roboh dan tewas seketika karena leher dan lambung mereka termakan
jarum rahasia mereka sendiri!
Hanya para
pengemis yang sudah tinggi ilmunya saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan
maklum apa yang telah terjadi. Yang tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran
dan tidak tahu apa yang terjadi sehingga keadaan menjadi panik.
Suling Emas
mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada semua orang agar tidak
menjadi panik. Kemudian terdengar suaranya lantang. “Harap Saudara semua
tenang. Matinya dua orang itu menjadi peringatan bagi kita bahwa di mana-mana kaum
sesat sudah menyelundup sehingga perlu kita waspada karena mereka berdua itu
adalah orang-orang jahat yang berusaha untuk membunuh saya. Sebaliknya pihak
kaum sesat juga telah mendapat peringatan!” Suara ini tegas dan penuh wibawa.
“Mereka itu
pengemis baju bersih! Basmi para pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar
teriakan-teriakan marah.
Kembali
Suling Emas mengangkat tangannya. “Dengarlah baik-baik! Menilai orang bukan
dari pakaian bersih atau kotor! Menilai orang harus dari sepak terjangnya, dari
perbuatannya! Pengemis memang orang miskin. Sedapat mungkin orang harus
berpakaian bersih dan baik, akan tetapi kalau tidak ada, apa boleh buat, kotor
pakaiannya asal tidak kotor hati dan pikirannya. Orang-orang yang pernah
menyeleweng dari pada kebenaran bukan sekali-kali berarti bahwa mereka itu
selama hidupnya menjadi orang-orang jahat yang harus dikutuk! Karena itu kami
anjurkan kepada saudara-saudara kaum kai-pang yang pernah menyeleweng,
kembalilah ke jalan benar dan bertobatlah. Apa bila kalian tidak insyaf, kami
kaum kai-pang yang sudah bersatu akan membasmi kalian!”
Kembali
tepuk sorak menyambut ucapan yang lantang dan penuh semangat dari Suling Emas
ini, karena semua orang menyetujui pendiriannya. Akan tetapi tentu saja tidak
termasuk mereka yang memang hadir dengan maksud menentang, seperti rombongan
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dua kai-pang ini memang sudah
seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan dua kai-pang ini pula yang belum lama
ini mengadakan pertemuan di dunia kaum sesat untuk membicarakan soal pemilihan
bengcu golongan hitam.
Oleh karena
itu, kedatangan dua rombongan ini tentu saja bertujuan menyelidik dan juga
untuk menghalangi pergerakan kaum pengemis yang dipimpin oleh Yu Kang Tianglo.
Bahkan dua orang pengemis yang tewas karena senjata jarum mereka dikembalikan
oleh Suling Emas tadi adalah anggota-anggota Hek-coa Kai-pang.
Di antara
tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mengatasi
kegaduhan itu. “Siapa di antara kita yang mampu menandingi Locianpwe Bu-tek
Siu-lam?”
Pernyataan
nyaring yang entah dikeluarkan oleh siapa ini menusuk telinga semua orang dan
seketika kegaduhan terhenti, tak seorang pun berani mengeluarkan suara lagi.
Pada saat itu dua orang kakek pengemis sudah melompat bangun dari barisan kursi
pimpinan kai-pang yang menjadi tamu. Mereka ini lalu melangkah maju ke tengah
panggung, menghadapi semua pengemis yang hadir.
Keduanya
adalah kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, berpakaian sebagai pengemis
akan tetapi pakaian mereka bersih dan baru yang sengaja ditambal-tambal. Mereka
ini memegang tongkat panjang dan melihat betapa pada baju bagian dada mereka
terdapat gambar garuda dan ular, maka mudah diduga bahwa mereka tentulah
tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dan memang betul
sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda hitam adalah seorang tokoh
Hek-peng Kai-pang, sedangkan yang dadanya tergambar ular hitam adalah seorang
tokoh Hek-coa Kai-pang.
Sejak tadi,
kehadiran rombongan Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah merupakan hal
yang menimbulkan tegang di hati para pengemis karena mereka semua itu tahu
dengan jelas siapakah mereka ini. Boleh dibilang pada waktu itu pelopor para
kai-pang yang menggabung dengan kaum sesat adalah dua buah perkumpulan inilah.
Maka semua orang sudah dapat menduga bahwa munculnya tokoh-tokoh dua kai-pang
ini tentulah mengandung maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini
muncul di panggung, semua orang diam dan memandang penuh perhatian.
Kakek yang
dadanya bergambar ular hitam itu tubuhnya kecil tinggi, kepalanya besar.
Setelah memandang ke sekeliling ia lalu berkata, “Kami adalah wakil dari
Hek-coa Kai-pang. Mendengar uraian pangcu dari Khong-sim Kai-pang tadi, kami
setuju sekali. Memang di antara kai-pang harus diadakan persatuan erat untuk
menghadapi musuh-musuh kita! Dan untuk memperkuat para kai-pang kita harus
memilih seorang pemimpin yang cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga
saudara-saudara kita dari Hek-peng Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah
telah bersepakat untuk mengangkat Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai bengcu
kita.”
“Benar apa
yang diucapkan oleh Saudara dari Hek-coa Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang
dadanya bergambar garuda hitam. Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit
sampai hampir terpejam selalu, tapi mulutnya lebar dan bibirnya tebal sekali.
“Hanya di bawah bimbingan seorang Locianpwe yang sakti seperti Bu-tek Siu-lam
saja maka derajat golongan kita dapat terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari
Khong-sim Kai-pang cukup bijaksana untuk menyadari hal ini dan menyetujui
pengangkatan Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai pimpinan tertinggi semua
kai-pang!”
Para
pengemis menyambut ucapan dua orang kakek itu dengan berbisik. Dari rombongan
pimpinan kai-pang sudah meloncat maju lagi dua orang kakek pengemis berpakaian
butut. Seorang di antara mereka berteriak.
“Apa? Bu-tek
Siu-lam menjadi bengcu kita? Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang
golongan kita?”
Yang berteriak
ini adalah Ketua Ang-tung Kai-pang, seorang kakek bertubuh kecil pendek akan
tetapi bermata lebar. Ia memutar-mutar tongkat merahnya dengan sikap marah
sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam melakukan pembunuhan terhadap dua ratus orang
pengemis, belasan orang pengemis anak buahnya ikut terbunuh, maka tentu saja ia
marah-marah mendengar betapa dua orang kakek itu hendak mengangkat Bu-tek
Siu-lam menjadi bengcu.
“Cocok!
Tidak sudi kami menerima tokoh jahat itu menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis
ke dua yang sudah meloncat maju. Dia ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Laksaan Bunga).
“Hek-peng
Kai-pang dan Hek-coa Kaipang memang perkumpulan yang menyeleweng dan
bersekongkol dengan kaum sesat!” Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah
dan suasana menjadi berisik sekali melebihi pasar.
“Yang
dibunuh adalah pengemis-pengemis jahat!”
“Hek-peng
Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang menyenangkan hidup anak buahnya!”
“Hidup
Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
Demikianlah
sorakan-sorakan mereka yang pro kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.
“Basmi
penyeleweng-penyeleweng!”
“Basmi
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang!”
“Bu-tek
Siu-lam musuh besar kaipang!”
Demikianlah
sorakan-sorakan mereka yang anti sehingga keadaan menjadi ribut dan tegang
karena setiap saat dapat timbul perang saudara antara para pengemis ini.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai menjadi pucat wajahnya dan mereka sudah hendak bergerak, akan
tetapi Suling Emas mencegah dan berkata halus. “Biarkan saja. Malah lebih baik.
Dengan begini kita dapat melihat siapakah di antara mereka yang menyeleweng.
Kalau mereka sudah menyatakan pendapat, baru kita turun tangan melakukan
pembersihan.”
Sementara
itu, di atas panggung sudah terjadi perdebatan yang makin lama menjadi saling
maki antara tujuh orang pimpinan pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua
orang dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka
adalah sebelas orang pimpinan dari kai-pang-kai-pang lain yang rata-rata
berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk di atas kursi sambil menatap tajam,
meneliti mereka yang pro dan mereka yang anti terhadap Bu-tek Siu-lam.
Juga Kwi Lan
dan terutama sekali Yu Siang Ki, memandang dengan hati tegang dan tertarik.
Diam-diam Yu Siang Ki terheran menyaksikan orang aneh yang memalsukan nama
ayahnya. Ia masih belum dapat menyelami isi hati orang itu. Kalau benar
tindakannya itu demi perbaikan dan pembersihan kai-pang, kenapa kini ia diam
saja melihat keadaan kacau-balau itu? Pihak manakah yang dibelanya?
Suling Emas
yang duduk tak bergerak di atas kursinya dapat melihat betapa semua pengemis
yang pro kepada Bu-tek Siu-lam dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng Kai-pang
dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat dari sikap mereka, memang agaknya dua orang kakek
ini sudah mengaturnya terlebih dahulu, sengaja untuk mengacaukan pertemuan ini
dan bahkan kini tampak olehnya betapa rombongan pengemis yang duduk di sebelah
timur, yang jumlahnya banyak, adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap
untuk turun tangan jika terjadi perkelahian!
Yang
menyeleweng secara sadar hanya beberapa orang saja, pikirnya. Sebagian besar di
antara para pengemis itu hanya ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup
yang lebih baik dan kemewahan. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu akan
banyak roboh korban di kedua pihak. Suling Emas tidak menghendaki hal ini
terjadi, maka ia sudah siap untuk menegur mereka dan merobohkan para pimpinan
pengacau.
Orang-orang
yang melakukan penyelewengan secara ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali
pimpinannya roboh, tentu akan mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan
benar. Yang menjadi sumber penyelewengan para anggota kai-pang ini sebetulnya
adalah tokoh yang bernama Bu-tek Siu-lam. Karena munculnya tokoh sakti yang
sudah berhasil membunuh ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis yang lemah
batinnya mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka andalkan.
Akan tetapi
dalam keadaan ketegangan tengah memuncak itu, sebelum Suling Emas sempat turun
tangan atau membiarkan Gak-lokai dan Ciam-lokai mengurus keributan, tiba-tiba
terdengar suara tertawa bergelak. Suara ketawa ini datangnya dari... udara!
Begitu nyaring dan hebat sehingga seakan-akan menggetarkan papan panggung.
“Hua-ha-ha-ha!
Jembel-jembel busuk ini seperti sekumpulan anjing berebut tulang!”
“Heh-heh-heh!
Tidak usah berebut pangkat, kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian!
Heh-heh!”
“Hua-ha-ha!
Benar sekali! Aku ingin menjadi raja pengemis!”
Bagaikan dua
ekor burung rajawali, dari atas menyambar turun tubuh dua orang kakek yang
mengerikan keadaannya. Yang seorang bertubuh kurus bermuka putih seperti orang
kehabisan darah, kepalanya botak dan rambutnya jarang seperti sutera tua. Orang
ke dua bertubuh besar kuat dan mukanya merah sekali, muka yang ditumbuhi rambut
sehingga muka itu menyerupai muka singa.
Bukan main
hebatnya gerakan kedua orang kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya
turun ke atas papan panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua
tangan ke sekeliling dan... tubuh para pimpinan pengemis yang tadinya
berhadapan dan cekcok saling maki itu seperti layang-layang putus talinya,
terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak
pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki memenuhi panggung itu
mereka lemparkan turun.
Mereka itu
berjumlah belasan orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan
kai-pang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini
muncul dan menyergap, belasan orang itu sudah berusaha menerjang dan memukul
roboh dua orang kakek pengacau, bahkan banyak di antara mereka yang menggunakan
tongkat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika
tongkat-tongkat itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali
tidak dirasakannya, dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka
lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa mudahnya. Dalam waktu beberapa
menit saja, delapan belas orang pimpinan para pengemis baju bersih dan baju
butut itu telah dilempar turun dari atas panggung!
“Dua orang
iblis dari mana berani mengacau pertemuan Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini
keluar dari mulut Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan
menerjang dengan tongkat mereka.
Suling Emas
terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang kakek luar biasa itu
sehingga ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka
berubah Suling Emas bangkit dari kursinya, memandang dengan mata terbelalak.
Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang
muncul itu bukan lain adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang
kakek yang sakti itu tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya?
Benarkah mereka menghendaki menjadi raja pengemis?
Teringatlah
Suling Emas pada pertemuannya dengan kedua orang tokoh ini puluhan tahun yang
lalu. Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja
di Khitan. Hanya dengan susah payah, setelah dibantu Lin Lin (Ratu Yalina di
Khitan), Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cinjin tokoh Beng-kauw,
ia berhasil mengusir dua orang kakek itu.
Kini secara
tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu
muncul telah mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat
bahwa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik yang
berpakaian butut mau pun yang bersih, jelas bahwa mereka ini bukan penggerak
kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan kata hati
mereka sendiri yang aneh luar biasa!
Terjangan
Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang merupakan dua orang
tokoh Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, apa lagi
dalam beberapa hari ini mereka telah mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka
tentu saja terjangan mereka itu amat hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang
tenang sekali, dua orang kakek aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan
terjangan kedua lokai itu hanya mengenai angin belaka.
“Ha-ha-ha-ha!
Bagus sekali! Makin banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah,
keroyoklah kami, ha-haha!” seru Lam-kek Sian-ong si Muka Merah.
“Bagus
sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi
dengan enak!”
Dua orang
kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai
seenaknya saja, dengan tangan kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi
Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih menghadapi Gak-lokai. Mereka ini memang
merupakan dua orang tokoh yang berwatak luar biasa. Makin tua makin gila dan
sejak dahulu mereka amat doyan berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih
menggembirakan hati mereka melebihi perkelahian yang ramai.
Melihat
terjangan dua orang pengemis bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena
mengira tentu akan menghadapi lawan tangguh karena mereka pun maklum bahwa di
dunia pengemis terdapat banyak orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka
kecewa sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang tokoh Khong-sim
Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!
“Ho-ha-ha,
kiranya jembel busuk tidak ada harganya!” Lam-kek Sian-ong si Muka Merah
terbahak-bahak dan pada saat Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia
menyambut dengan kepalan tangannya.
“Krakkk!!”
tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap
kali pengemis tua itu menghantamkan tongkatnya selalu disambut kepalan dan
terpotong-potong lagi!
Sementara
itu Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa kecewa. Akan tetapi
berbeda dengan si Muka Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat
dan amat kuatnya itu, ia mengeluarkan keahliannya, yaitu tenaga Im yang lemas
dan halus. Ketika Gak lokai menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak
tangan dan... tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas.
Gak-lokai
terkejut. Namun karena ia pun seorang yang lihai, biar pun tubuhnya mencelat ke
atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek
Sian-ong. Kakek muka putih ini lagi-lagi menyambut dengan telapak tangan dan
sekali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi
sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.
“Iblis-iblis
tua, berani kau mempermainkan Khong-sim Kai-pang?!” bentakan halus ini keluar
dari mulut Yu Siang Ki.
Pemuda ini
menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan
pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apa lagi ketika melihat
betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang
tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia
sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun
melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya,
ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang
biasanya menghias topinya.
Lontaran itu
bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam
jalan darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek
muka merah karena melihat betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua
tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja
tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh
Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!
“Aihh...!”
kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget.
Lengannya
terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk
gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan tetapi tentu
saja ia memandang rendah. Siapa kira totokan gagang bunga itu cukup mengandung
tenaga Iweekang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan. Ia terheran-heran,
ini bukan sambitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh
menghadapi Yu Siang Ki.
Keheranannya
bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang
pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu Ciam-lokai yang merasa marah
dan penasaran menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah
lambung dan menusuk di bagian yang mematikan.
“Dukk!”
Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti
menusuk karet yang keras saja.
Ciam-lokai
kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah
melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek
Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak (menendang ke belakang) persis
seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang
Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini
benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki
maklum akan hal ini, maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun
menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan
lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini
pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh
menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan
gerakan yang mantap dan penuh tenaga sinkang.
“Hua-ha-ha,
bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kau lihat lawanku ini. Biar
pun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bicara sambil
menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa
ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah
kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.
“Eh, Kakek
tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”
Inilah suara
Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas
panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun
mengenal dua orang kakek itu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti. Tentu
Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju.
Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek
itu.
Biar pun ia
maklum bahwa dengan bantuannya sekali pun amat sukar untuk mendapat kemenangan,
namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka
ia pun lalu meloncat tinggi ke udara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang
dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan
membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan
tadi dan tahu-tahu di udara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan
melemparkan kakek itu ke bawah panggung!
Gerakan ini
tentu saja kelihatan hebat luar biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat,
juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai
sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan
ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi
terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek
Sian-ong, kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan
seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho,
Ang-bin Siauwte kau bilang lawanmu hebat? Kau lihat ini, Nona muda yang galak
ini apakah kalah hebatnya?” Pak-kek Sian-ong berkata demikian, akan tetapi
cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat.
Pertandingan
di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis
terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh
dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat
dan seorang gadis cantik yang memainkan pedang secara ganas.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting
hebat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa
orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang
sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka.
Suling Emas
sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertandingan,
menimbang dan menilainya. Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang
menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis
cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda
itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan
gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan. Diam-diam ia
menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang
dimainkan pemuda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur,
akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.
Namun
kekagumannya terhadap pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton
pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan
benar-benar ia terheran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat
apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang kayunya itu? Dalam hal
ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan
pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong.
Gerak
kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser
kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka
tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip
tendangan ilmu silat utara Gobi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau balau antara
ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau
namun justru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang
benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya membuat Suling
Emas mengerutkan kening.
Pantas saja
Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya
kakek yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil
memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau
mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga si Kakek merasa sayang kalau
cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah
meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan
orang sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar
biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuhan ilmu silat mereka. Ia
sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibandingkan dengan Lam-kek
Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk
mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek
Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan
kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kau bantulah gadis itu. Biarkan dia yang
menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”
“Dukkk...!”
dua lengan yang sama-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu.
Lam-kek
Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Siang Ki karena pemuda yang
cerdik itu maklum bahwa ia kalah tenaga. Kini melihat ada orang yang berani
menangkis, sengaja Lam-kek Sian-ong mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi
keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling Emas
terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir
roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan
seruan seperti seekor singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia
hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
Sementara
itu Yu Siang Ki yang melihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu,
seketika maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi
ia menerjang Pak-kek Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kau
seranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan.
Pertandingan
dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah
kini dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk
mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi
lawan Lam-kek Sian-ong ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian
tepatnya dengan membagi dua daya tempur mereka?
Memang sifat
ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serangannya kuat,
pendeknya letak kelihaian ilmu pedang ini berada pada daya serangnya. Ada pun
ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan pertahanannya sehingga amatlah tepat
apa bila dipergunakan untuk menjaga diri dan mempertahankan. Gembiralah hatinya
menghadapi serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya dan menghadapi
pertahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak,
dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding
dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat
mengimbangi kelihaian kakek muka putih.
Sementara
itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main
hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat
keduanya terdorong mundur, diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong
bersama Pak-kek Sian-ong selama ‘dalam hukuman’ di lereng Lu-liang-san
memperdalam ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Siansu yang
sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat dari pada dua
puluh tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan.
Di jaman itu
hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek
Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama
sekali kakek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan
lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena
selama ini pun ia memperhebat kepandaiannya, bahkan ia yakin akan kekuatan
sinkang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini,
ia hanya dapat mengimbangi kekuatannya.
Maka ia lalu
merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan ilmu silatnya
yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya dari pada ilmu silat
Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, mulai ‘menulis’
hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada
hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat
sehingga terdengar anginnya bersiutan, karena inilah Hong-In-bun-hoat (Silat
Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan
gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia mengeluarkan
seruan keras.
Saat
mendengar seruan kawannya, Pak-kek Sian-ong yang sedang gembira melayani dua
orang muda yang mengeroyoknya menjadi terheran-heran. Seruan-seruan itu
menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak
sembarang orang dapat membuat Lam-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan
seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah
kagetnya ketika ia melihat betapa kawannya terdesak hebat oleh pengemis
berkedok yang gerakannya luar biasa sekali.
Ia berseru
keras dan kedua lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu
Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan sekaligus
menyerang mereka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan
ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri dengan memutar pedangnya. Namun
hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua tapak tangan yang
terbuka itu. Betapa pun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja
mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah!
Kesempatan
yang memang dicari oleh si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya.
Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang
sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar
biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang
Pak-kek Sian-ong adalah seorang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya dari
pada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga
sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah
Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan
tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka
merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan
suara tahu-tahu lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya
mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah
leher!
“Kepandaianmu
boleh juga!” demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas
terkejut sekali. Menghadapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah
baginya untuk memperoleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main
beratnya. Cepat sekali ia menendang lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah
menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia
akan menyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras
melawan keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya
dan balas menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
“Plak-plak!”
Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini.
Tubuh
Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu
terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus...!” Di tangannya terdapat sehelai sapu
tangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas
kaget dan cepat ia berjungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara
sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu
akan hebat sekali karena posisi dirinya tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika
kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya
berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.
“Suling
Emas...!” dua orang kakek itu berseru heran.
Sungguh tak
mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking
heran, sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong merasa
penasaran sekali. Ia gagal dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut sapu
tangan penutup muka, akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang
membuat bagian tubuh itu terasa ngilu. Kini setelah mendapat kenyataan bahwa
lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, terganti
rasa heran.
Bukan hanya
kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas,
juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati
mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa pendekar sakti
yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang pendekar yang sejak dahulu
bersahabat dengan kaum kai-pang. Ada pula yang marah dan benci karena memang
sejak dahulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas
adalah putra tunggal iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang melakukan
banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya.
Yang paling
gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggota kai-pang. Mereka
maklum bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut
setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang
dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak
melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.
Sementara
itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya menarik napas panjang tiga kali,
memandang ke sekeliling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik
jubahnya. Sambil melintangkan suling emasnya di depan dada, ia menatap dua
orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah,
Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau
semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian
mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo
untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian,” suara ini jelas dikeluarkan
dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di
situ.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka
betul-betul telah salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang
Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan jagad
selama puluhan tahun!
Yu Siang Ki
berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaannya bahwa yang
memalsukan nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya,
pendekar yang selalu dihormati dan dijunjung tinggi oleh ayahnya. Tidaklah
salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang
dengan menggunakan nama ayahnya.
Akan tetapi
mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu
Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas
menggunakan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok
sapu tangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakan-akan hendak
menyembunyikan diri? Saking heran dan bingungnya, pemuda yang merasa girang di
hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan
memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terhadap Suling Emas. Kagum
menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu,
dan terutama kagum sekali setelah kini sapu tangan itu terbuka. Wajah laki-laki
yang amat gagah dan entah bagaimana, jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik
sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andai kata ibu kandungnya
itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hatinya untuk bicara dengan
Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini tentang Ratu Yalina di Khitan.
Pada saat
itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut sulingnya, melihat pula betapa dua
orang kakek itu sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka. Si
Kakek Muka Putih mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut
pedang merah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka timbullah
kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi
dua orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini
dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”
Tidak hanya
para pengemis yang kaget setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi
sudah kagum dan heran melihat ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat
betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua
orang kakek itu hanya tersenyum lebar dimaki-maki.
“Kalian ini
sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa
secara pengecut kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian
menangis dan menyesali perbuatan, betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan
beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?”
Pak-kek
Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong
dengan melotot lalu membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan
pesan Bu Kek Siansu?”
Sepasang
mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu tersenyum
mengejek, pedang kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong
ketika gadis itu berkata nyaring. “Tidak lupa mungkin sekali, akan tetapi
melanggar sudah jelas! Apa kau kira aku lupa akan pesan itu? Masih terbayang di
depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.”
Gadis itu
dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia
bersila seperti ini, hanya bedanya, setelah menerima pukulan curang dan
pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar.
Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan
meniru lagak dan suara Bu Kek Siansusedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada
pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya.
Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa
bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan
kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain
tidakkah penting lagi. Selamat berpisah.”
Kwi Lan
meloncat bangun dan kembali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua
orang kakek itu berganti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang
betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan
insyaf,” bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian
tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan
insyaf? Bukankah perbuatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu?
Bukankah kalian kembali menggunakan kepandaian untuk berbuat jahat dan
mengacau?”
“Tidak!
Jembel-jembel busuk ini jahat dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan,
sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para
jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?”
Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu
malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo
dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara
masing-masing, mereka hendak menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan
orang-orang sesat. Kalau kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu
barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim
Kai-pang, bukankah itu berarti kalian lebih sesat dari pada kaum sesat?
Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini,
minta bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak bagaimana
kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”
Lam-kek
Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis
itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau
sampai Bu Kek Siansu mendengar tentang sepak terjang mereka yang mengacau
Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat Suling Emas berada di situ.
Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang dikasihi Bu Kek
Siansu.
“Sudahlah,
kami mengaku salah, Nona. Jangan kau bilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang
tua itu. Akan tetapi kesalahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan
urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa
kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.
“Dasar
kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh. Andai kata
kalian mengejar juga, kalau kalian nanti bertemu dengan datuk mereka yang
bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu akan lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kau
lihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar
mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat
terbang mereka pergi.
Dari jauh
terdengar suara Lam-kek Sian-ong. “Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu
untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas
hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, setelah para pengacau
pergi, kembali Suling Emas yang menjadi pusat perhatian.
Keadaan
masih tetap tegang karena hal-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka
dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan dari pada tadi. Orang
yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini
sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu
muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan si Gadis jelita adalah
putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya
perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan
tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di atas panggung
itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang mereka
tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas
yang kini tidak menutupi muka dengan sapu tangannya lagi, berdiri di atas
panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang
untuk beberapa lamanya. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan
dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling Emas.
“Paman,
besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari,
dan lebih bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi
Khong-sim Kai-pang dari orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang
Tianglo adalah mendiang ayah saya. Sebelum meninggal dunia, ayah saya
meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang dari pada
pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan
menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon
pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman menerima
hormat saya.”
Suling Emas
tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi
putera Yu Kang Tianglo, akan terbebaslah ia dari tugas melindungi Khong-sim
Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini
sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pemuda ini secara gagah
berani turun tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti
untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan
mencinta perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh kakeknya, maka dapat
diharapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan
ini.
Untuk
menguji Iweekang Yu Siang Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak
pemuda itu sambil membentak. “Tak usah berlutut!” Pendekar sakti ini
mengerahkan sinkang yang disalurkan di kedua tengannya.
Yu Siang Ki
terkejut ketika merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung,
kemudian tenaga raksasa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat
wajah yang tersenyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang
mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biar pun
tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!
“Bagus!
Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil
melepaskan kedua tangannya.
Pemuda itu
melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir
menyeringai menahan sakit. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak
cepat dan....
“Brettt!”
baju Siang Ki sudah robek memperlihatkan pundak kirinya. Ternyata benar seperti
dugaannya, di situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau
terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan
melawan!”
Yu Siang Ki
tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iweekang untuk menahan ujian,
ia merasa betapa dada kirinya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia makin
terkejut ketika tiba-tiba Suling Emas merobek bajunya, akan tetapi kini ia
merasa bersyukur. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat
menduga bahwa kakek putih yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan
pukulan jarak jauh yang membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi.
Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu memutar tubuh membelakangi Suling Emas,
melepaskan seluruh urat dan tenaganya sedikit pun tidak melakukan perlawanan.
Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok, kemudian
telapak tangan yang amat panas seperti membara menempel di punggungnya.
“Sekarang
bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki
menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada kirinya sudah tidak
sakit lagi. Ia menggeleng kepala dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi,
Paman.”
Suling Emas
melepaskan tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong,
tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, hanya perlu memulihkan
tenaganya.”
“He, Nona,
ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi
Lan.
Kwi Lan
tercengang ketika tadi ia melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya
oleh Suling Emas dengan tenaga sinkang. Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya
kakek muka putih tadi lihai sekali sehingga dorongannya dari jarak jauh telah
melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka! Dan hal ini berarti bahwa
dia lebih kuat dari pada pemuda itu, lebih lihai! Ketika Suling Emas
memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri dan menyimpan pedangnya. Memang
ia pun ingin sekali bicara dengan Suling Emas yang ia kagumi. Ingin bicara
tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!
Begitu Kwi
Lan melangkah maju dengan mata bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum,
Suling Emas memandang seperti orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan
seketika teringatlah ia kepada Lin Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama
benar dengan kekasihnya itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka
dengan leher panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan
semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun
membayangkan kegagahan. Dan senyum itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari
suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!
Gadis itu
sudah berdiri dekat di depannya, namun Suling Emas masih memandang, merasa
seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali, menjadi gadis remaja!
Melihat
keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh.
Dilihat sikapnya, pendekar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya
dengan laki-laki biasa, yang selalu memandangnya dengan sikap tertarik seperti
itu. Akan tetapi sinar matanya lain dari pada laki-laki yang lain. Sinar mata
yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu tidak mengandung
nafsu seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh pertanyaan dan keheranan,
bukan kekaguman dan bukan pula gairah.
“Jadi engkau
inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak kudengar tentang dirimu
dari Yu Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa denganmu, banyak hal yang
hendak kutanyakan. Suling Emas, di manakah kita dapat bicara dengan enak dan
leluasa? Kuharap engkau tidak akan merasa keberatan...!”
“Engkau anak
siapa?! Siapa ibumu?!” Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara
otomatis seperti di luar kesadarannya dan terdengar keras seperti bentakan
sehingga semua orang yang mendengar mengira bahwa pendekar itu menjadi
marah-marah.
Kwi Lan
tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam. Apa maksud
pendekar ini? Mengapa begitu jumpa, terus saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan
adalah seorang gadis yang amat cerdik. Pertanyaan yang membingungkan semua
orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia
sudah mendengar bahwa orang ini, Suling Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina,
dan mungkin sekali, kalau tidak hisapan jempol belaka percakapan antara kaum
sesat, di antara kakak dan adik angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul
demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut melihat dia dan tentu saja hanya
satu hal yang menyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di
waktu masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa ibu
kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya
namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang
ibuku... aku sendiri tidak tahu....”
Mendengar
jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya pertanyaannya tadi.
Wajahnya menjadi merah sekali dan ia cepat berkata. “Nona, kau bukalah baju
bagian dadamu!”
Kini wajah
Kwi Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepasang matanya
memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan kanannya
bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding ke arah hidung Suling Emas sambil
mulutnya membentak.
“Apakah kau
kira setelah kau bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang
sakti, boleh saja engkau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar
tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, ia membanting kakinya dengan gemas
kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang turun dari atas panggung.
“Kwi Lan...!
Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana...?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
Kwi Lan tidak
menoleh, hanya menjawab dengan suara menyatakan kekesalan hatinya. “Aku pergi,
uruslah dunia pengemismu, sampai jumpa!”
“Kwi
Lan...!” Yu Siang masih berusaha menahan.
“Percuma,
gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah kehendaknya...!” Suling Emas
berkata lirih dan berkali-kali pendekar ini menarik napas panjang dan berkata.
“Aneh... benar aneh...,” Di dalam hatinya ia benar-benar makin heran
menyaksikan sikap gadis pemarah itu yang sama dengan watak Lin Lin.
Kemudian ia
bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah
datangnya? Ilmunya hebat....“
“Entahlah,
Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatang-kara namanya Kwi Lan dan
shenya Kam....”
“Heh...?”
Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh
selidik.
“Benar,
Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan melihat
kelihaiannya, saya mengira dia mempunyai hubungan keluarga dengan Paman. Akan
tetapi ternyata bukan dia... dia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. Kiranya,
semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas
berdiri tegak seperti arca. Penuturan singkat tentang gadis itu membuat
pikirannya melayang-layang dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis
yang sama benar wajah dan wataknya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang
dia mempunyai seorang ‘Bibi Sian’, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu kepandaian Sian
Eng memang hebat luar biasa, karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu
kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian!
Benarkah
sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia
hanya mendengar bahwa sampai kini Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di
Khitan tidak pernah menikah dan hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu
anak panglimanya sendiri yang setia, Kayabu.
Pada saat
itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah meloncat ke atas panggung. Tadi ketika
semua orang mendengar bahwa orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu
ternyata palsu dan Suling Emas adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka
mengeluarkan pendapat masing-masing.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya. Mereka kini
sudah mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka
tahu bahwa Suling Emas dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak
akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apa lagi di situ ada terdapat pemuda
lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih
dahulu kebenarannya.
Setelah
mendapat persetujuan rekan-rekan mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu
melompat ke atas panggung. Langsung mereka berdua menghadapi Suling Emas dan
memberi hormat. “Kiranya Taihiap (Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah
menjadi sahabat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi memaafkan kesalahan kami
yang menyangka Taihiap adalah Yu Kang Tianglo,” kata Gak-lokai.
Suling Emas
balas menjura dan menarik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun
bersalah, telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah kalian semua
percaya bahwa perbuatanku ini sama sekali bukan untuk merampas kedudukan,
melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan Khong-sim Kai-pang.
Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan sekali muncul putera Yu Kang
Tianglo yang bernama Yu Siang Ki ini. Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada
orang lain yang tepat untuk memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama
kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi ancaman kaum sesat.”
“Ucapan
Taihiap tepat sekali dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang
Kai-pangcu, sungguh pun merasa sedih mendengar berita kematiannya. Akan tetapi,
Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa orang muda ini benar-benar putera Yu
Kang Tianglo yang sudah puluhan tahun tiada berita?” kata Ciam-lokai.
“Pendapat
rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap,
hal ini masih tidak ada buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap
seorang pendekar sakti yang selalu membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai
dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan kai-pang seperti halnya lima
pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini akan menimbulkan
mala-petaka? Karena itu, kami minta bukti dari orang muda ini bahwa dia
betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”
“Bagus...!
Benar sekali...!” terdengar para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas
hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia percaya kepada pemuda
ini yang dapat ia nilai kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak
terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun tidak berani memastikan apakah pemuda ini
benar-benar putera Yu Kang Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis
itu dahulu, Yu Kang Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya.
Oleh karena inilah ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk
membuktikan kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu
dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil
berkata, “Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai
dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang Ji-wi
kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat membuktikan bahwa saya Yu Siang
Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Saya mempunyai tiga
macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara anggota Khong-sim Kai-pang mendengar
dan menyaksikannya!”
Yu Siang Ki
berhenti sejenak, kemudian ia berkata lagi dengan suara lantang sambil
menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menekan di dada kiri arah tempat
jantung dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari
dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang!
Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya
sekedar tanda, melainkan memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda
pengenal sesama anggota. Kedua mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai
dengan nama perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin tidak
memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai watak dan
pikiran kotor. Ada pun hati dimaksudkan bahwa setiap anggota harus memiliki
hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap perkumpulan. Kemudian arti ke
tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu
gerakan ini adalah jurus pembukaan dari pada ilmu silat yang harus dimiliki
oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang. Nama ilmu silatnya pun Khong-sim-kun
(Ilmu Silat Hati Kosong)!”
Mendengar
ini, berisiklah semua pengemis dan semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas
akan arti tanda rahasia mereka itu mengangguk-angguk membenarkan, yang belum
tahu kini menjadi tahu dan tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu
mempunyai arti yang begitu luas.
“Sekarang
bukti ke dua bahwa saya adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di
antara saudara anggota Khong-sim Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama
Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah di antara saudara yang mengetahui nama mereka
berdua?”
Yu Siang Ki
menanti sampai beberapa lama. Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga
keadaan di situ menjadi seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua
orang tokoh yang selalu hanya dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja.
Kemudian terdengar suara mereka. “Tidak ada yang tahu...!”
Yu Siang Ki
menjura kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai, untuk
menjadi bukti, terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian pemuda ini
menghadapi para pengemis dan berkata lantang. “Mendiang ayah pernah mengatakan
bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang, yang boleh saya percaya adalah
dua orang, yaitu Paman Gak Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”
Dua orang
lokai itu saling pandang dengan muka pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak
pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka.
Memang hanya Yu Kang Tianglo yang mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para
pengemis menjadi berisik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu
sama sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti kedua ini pun
cocok.
“Sekarang
bukti ke tiga. Seperti kukatakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu
diberi pelajaran ilmu silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada
masa ini, di antara semua anggota Khong-sim Kai-pang, hanya Gak-lokai dan
Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena dahulu ketika
ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara menghadapi Pouw Kai-ong,
sebelum pergi lagi ayah telah menurunkan ilmu itu kepada dua orang tua ini.
Benarkah, Ji-wi Lokai?”
Gak-lokai
dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak
ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu semua kejadian rahasia ini tentulah benar
putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka
selihai Suling Emas, hati mereka akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki
masih amat muda. Biar pun tadi kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh
Suling Emas, namun cukup kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini
menghadapi banyak musuh tangguh?
“Nah, kalau
benar demikian,” Siang Ki menyambung kata-katanya, “sekarang saya persilakan
Ji-wi untuk menguji aku dengan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan
Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang bisa
mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju!
Baik begitu!” Semua pengemis bersorak.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka kesempatan bagi mereka
untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu
Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah
putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura
dan berkata.
“Yu
Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang
tua berani kurang ajar!”
Yu Siang Ki
tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini.
“Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai
dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembukaan mereka telah
bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan
dada kiri sedangkan tangan kanan diangkat di atas kepala membentuk lingkaran
dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan gerak yang sama,
setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh,
namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus.
Diam-diam
Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan
kakek pemuda itu memang benar hebat, gerakannya halus dan indah, namun
mengandung kecepatan gerak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu
menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu silat ini, si Pemuda
jauh lebih matang dan sempurna gerakannya dari pada kedua orang lawannya. Hal
ini adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul
dengan Yu Kang Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar,
sebaliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja
gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang
kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir
ilmu silat Khong-sim-kun dan semua jurus yang mereka keluarkan untuk
menyerangnya, semua dapat dikembalikan, ditangkis atau dielakkan dengan baik
sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalankan dan belum pernah
mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis,
tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan
setengah lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam
beberapa jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!
Keduanya
lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak,
“Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah
yang patut menjadi ketua kita!”
Setelah
berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu
terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia
tersenyum dan mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara
sekalian jangan terlalu merendahkan diri. Aku tentu saja suka sekali memimpin
kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan
Ciam-lokai yang sudah lebih berpengalaman.”
Para
pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para
pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta
memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan
mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih kuat menghadapi
penyelundupan kaum sesat.
“Eh, ke mana
dia...?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling
Emas di belakangnya.
Gak-lokai
dan Ciam-lokai juga terkejut dan heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu
ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan
panggung di mana tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai mereka mendatangi
tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir, amat indahnya, agaknya diukir
dengan ujung sepatu!
Selamat
kepada pangcu baru,
Suling Emas
akan selalu mengamati
dan
melindungi dari jauh!
Mereka
menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun
menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada
pula di situ. Semua orang menjadi makin kagum. Di depan mata sekian banyaknya
orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan
yang diukir dengan ujung kaki.
Namun di
dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang karena di dalam
tulisan yang ditinggalkan Suling Emas itu, si Pendekar Sakti menjanjikan
pengamatan dan perlindungan, biar pun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam
menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan bantuan
pendekar sakti itu. Biar pun di dalam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena
ia kehilangan Kwi Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua
yang amat setia kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan perasaan pribadi
yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur segala usaha dan
perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.
***************
SULING EMAS
menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak
berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biar pun ia membalapkan
kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan.
Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia
mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras
sekali.
Dan ia
memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka
baju. Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya
karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat
pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap
kurang ajar!
“Hemm, patut
menjadi murid Sian Eng,” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip
dengan Lin-moi, juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali... siapakah bocah
itu?”
Karena dapat
menduga watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja
mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana
mungkin ia mencari dan menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi,
perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang. Rahasianya telah bocor karena munculnya
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi risau.
Untuk
menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya
sulingnya itu dan berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan.
Namun tetap saja pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi.
Orang-orang jahat bermunculan. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat
menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik
hatinya. Tak mungkin aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan
kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia mengisi hidupnya dengan
pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian dengan
urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia
menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu tangan yang tergantung
di leher ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinganya mendengar suara
makian dari jauh, dari arah belakangnya.
“Setan
biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”
“Iblis
Khitan, kalau bisa kau cari sendiri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani
menghina pengemis miskin?”
Itulah suara
Gak-lokai dan Ciam-lokai! Biar pun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun
telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi
dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira
tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan tetapi kalau
mereka, mengapa suara makian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan?
Suling Emas lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang
datang betul Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling
di tangan kanannya.
Akan tetapi
setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat
sekali adalah dua orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai
seperti orang menenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai
itu dicengkeram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini
saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih. sejak dulu saya suka kho ping hoo
ReplyDelete