Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 04
“Trakkk!”
Tombak itu
terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak
mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek gembel yang mampu membuat tombaknya
terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia mempunyai tenaga gajah
yang sukar dilawan.
Pada saat
itu pula, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek
gembel. Kakek gembel itu terkekeh keras sehingga kembali kepala Sie Liong
kehujanan dan begitu kakek gembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai
baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada
tenaga dahsyat membetotnya sehingga dia tertarik mendekat dan tongkat butut itu
menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!”
Kepala Thay
Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala
yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan
tangan kiri dan dia pun terbelalak keheranan.
Kepalanya
sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Mengapa kini
dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol
sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat
nyeri karena dia merasa dihina.
Thay Bo Lama
yang melihat rekannya dikemplang, menjadi sangat marah. Biar pun tadi dia
terkejut oleh tangkisan tongkat butut, sekarang dia menyerang lagi dengan
tusukan tombaknya ke arah perut kakek gembel.
“Waduh,
jebol perut ini...!” teriak kakek gembel dan tombak itu benar-benar mengenai
perutnya dan tembus!
Akan tetapi,
tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama
kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!”
Dan seperti
juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula
sebuah telur ayam! Pada waktu Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya
memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek gembel
itu, melainkan menembus baju gembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan
suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat
dipermainkan seperti itu?
Sementara
itu, tiga orang pendeta Lama yang sekarang menghadapi tiga orang kakek
Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua
orang rekannya sedang meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek gembel!
“Si-sute dan
Ngo-sute, hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama.
Dua orang
itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol. Akan
tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang gembel yang amat
sakti, maka mereka pun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya
kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu,
terdengar seruan yang halus.
“Siancai...!
Tidak malukah kalian sebagai lima orang pendeta yang mestinya menjauhi
kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?”
Lima orang
pendeta Lama itu terkejut. Suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat
besar, bahkan mengandung getaran tenaga khikang yang terasa menggetarkan
jantung, maka mereka pun berloncatan mundur untuk memandang siapa yang muncul
itu.
Kiranya dia
adalah seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun.
Rambutnya putih semua, riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih. Tubuhnya
tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar. Pakaiannya berwarna kuning yang hanya
dilibatkan dan dililitkan pada tubuhnya, tangan kanannya memegang sebatang
tongkat butut.
“Supek...!”
Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek yang baru datang itu.
“Heh-heh-heh,
kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!”
Kakek gembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan!
Himalaya San
Lojin juga memberi hormat kepada kakek gembel itu.
“Terima
kasih atas bantuan susiok!”
“Heh-heh,
siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, dan
ternyata ada Lama Jubah Merah yang berani melanggar, tentu saja kukemplang
kepalanya, heh-heh-heh!”
Lima Harimau
Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Siansu, kakek
berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek gembel yang
aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa
perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja
mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang
sukar dirobohkan, apa lagi muncul paman guru dan uwa gurunya!
Apa lagi
Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada
kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu!
“Kalian ini
para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah,
akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
“Siancai...!”
Pek In Tosu yang terluka pundaknya, mengeluarkan sedikit darah, berkata sambil
menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kau putar
balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang datang menyerang,
lalu membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apa pun di Himalaya? Kami sudah
mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang ke
sini untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di
sini pula?”
“Kami hanya
menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama.
“Kami harus
menangkap dan membawa Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung jawabkan
pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”
“Siancai...!”
Pek-sim Siansu berkata, suaranya tetap halus sekali.
Namun
kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat.
Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi
diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.
“Sungguh
aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak
dusun yang akan diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa
anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentulah dia yang tewas! Dan anak yang
dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin
dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute?
Sungguh janggal sekali!”
Mendengar
ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami
adalah utusan Dalai Lama, akan tetapi sudah gagal. Biarlah kami akan melapor
kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!” Setelah berkata
demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik
seperguruannya.
“Heh-heh-heh,
suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing
itu gila dan amat membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar
dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.
Kakek ini
adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Siansu. Akan tetapi kalau Pek Sim
Siansu hidup sebagai orang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai
seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari
keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran. Memang ada kelainan
pada diri Koay Tojin. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting!
Padahal
dalam ilmu kepandaian silat mau pun kekuatan sihir, ia tak kalah dibandingkan
dengan suheng-nya itu. Mungkin justru karena dia terlampau banyak mempelajari
ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan
batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu.
Hidupnya
berkeliaran seperti gembel dan kadang-kadang dia melakukan hal aneh-aneh yang tidak
lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh
ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita terlebih dulu.
Akan tetapi dia pun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang
mengenalnya sebagai seorang sakti, malah dia lebih dikenal sebagai seorang
sinting.
“Sute,
engkau pun sampai kini masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan.
Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah
engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”
“Heh-heh-heh,
heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh
sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak
pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan
yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Tetapi sekarang, coba
dengar, dia berceramah menguliahi aku supaya aku tidak membunuh lima orang Lama
itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”
Biar pun
gembel tua itu nampak ugal-ugalan, tetapi diam-diam Sie Liong membenarkan
pendapatnya. Maka dia pun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek
berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu
jahat bukan main, dan lebih jahat lagi karena mereka itu berjuluk pendeta.
Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman
kejahatan mereka. Andai kata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”
“Siancai...
Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Siansu kepada Himalaya Sam Lojin.
Pek In Tosu
lalu menceritakan mengenai Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah
menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang
Lama. Kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan
mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul
Tibet Ngo-houw tadi.
“Kebetulan
supek sudah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In
Tosu kepada supeknya.
Memang aneh
hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh
tahun, sedangkan Pek-sim Siansu lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah
menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena pada waktu mempelajari ilmu
di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru
mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Siansu, berusia hanya tiga tahun lebih
tua dari mereka.
Pek-sim
Siansu memang mempunyai berbagai macam kepandaian, di antaranya ilmu
pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek In
Tosu, dan kini menderita luka pukulan beracun, dia pun lalu mendekati Sie Liong
dan memeriksa punggung dan dadanya.
Pek-sim
Siansu mengerutkan alisnya dan berkata. “Ahh, biar pun hawa beracun sudah
bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun
tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati, tetapi akan memakan waktu yang
cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto akan
sembuhkan dia.”
“Lihat, anak
bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar
perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.
Biar pun di
dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek
berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas
juga.
“Locianpwe,
maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang
kakek gembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau
ikut dengan locianpwe untuk diobati.”
“Hushh! Anak
baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.
“Heh-heh-heh,
engkau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biarlah engkau
ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan
ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”
Pek-sim
Siansu menarik napas panjang. “Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu
hal yang baik sekali walau pun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan
pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”
“Namaku Sie
Liong, locianpwe.”
“Sie Liong?
Nama yang baik. Nah, dengarlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua
perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan,
berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa
kita tersesat jauh bila kita berkelahi dengan orang lain hanya karena
kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi sudah melihat sendiri betapa tiga
orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan lima orang Lama hanya untuk
membela diri saja, tanpa sedikit pun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau
keinginan untuk membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk
mempertahankan diri dan melindungi dirinya bila terancam kesakitan atau
kematian. Sebaliknya, engkau pun melihat sendiri bagaimana keadaan batin
lawan-lawan itu dalam perkelahian tadi. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu
dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar
mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itu pun
didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat
dari pamrihnya atau dari sebab-sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu,
karena biar pun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya
berbeda, seperti bumi dan langit.”
Koay Tojin
terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam telah mengakui kebenaran pendapat
Pek-sim Siansu. Walau pun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki
kecerdasan. Melihat betapa sute-nya masih hahah-heheh, Pek-sim Siansu lalu
tersenyum.
“Sute, sudah
belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku
dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah,
selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua
isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang
murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini
berkesempatan mendengarnya.”
Koay Tojin
bertepuk tangan tanda gembira. “Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum
puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama
bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku
sedih...” Dan tiba-tiba kakek itu pun menangis terisak-isak seperti anak kecil!
Tentu saja
Sie Liong terkejut sekali melihat hal ini dan dia memandang dengan mata
terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah
duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka
saja, sedang Pek-sim Siansu memandang sute-nya sambil tersenyum.
“Lanjutkan,
sute.”
Sambil
menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan lagi. “Aku melihat semua orang
mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati
penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang
indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor!
Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang
berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah
kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua
pantangan. Heh-heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh-heh. Suheng
sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng barani
mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”
“Siancai...!
Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari
benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”
“Coba jawab,
suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng
tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!”
“Siancai...,
munafik lebih keji dari pada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat
disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam
air jernih itu terdapat makhluk-makhluk hidup yang bergerak dan bernyawa dan
yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan
tumbuh-tumbuhan yang hidup.”
“Nah-nah-nah...!”
Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suheng-nya.
“Kalau begitu suheng juga membunuh!”
“Memang, hal
itu pinto akui, sute. Akan tetapi, biar pun sama-sama membunuh namun
perbedaannya bumi-langit. Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya
dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan
satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti
nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biar
pun semua itu mengandung makhluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka
kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andai kata pinto melihat
ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan
supaya tidak termasuk dan termakan. Semua makhluk hidup kecil tak nampak yang
ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan
daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera,
sedangkan orang yang makan sayur, biar pun membunuh makhluk kecil-kecil, hal
itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati
dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walau pun sayuran itu pun hidup, namun
sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya
binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan harus dilihat dasar dan
pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama makhluk hidup hanya karena ingin
memuaskan nafsu kesenangan, atau pun karena kebencian, sungguh hal itu
merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”
“Bagaimana
kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...”
“Sute,
mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang
menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik.
Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk semakin merajalela menguasai
batin. Juga, bermabok-mabokan bisa merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini
tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri
sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa.
Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak
dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dan dalam.”
“Suheng,
keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku
minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”
Koay Tojin
meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini,
Pek-sim Siansu tertawa.
“Ha-ha-ha,
sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua
bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu?
Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat
hebat, maka pinto pun ingin pula menyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah,
perlihatkan kepada pinto!”
Pek-sim
Siansu juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting
itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu
sungguh amat berbeda.
Pek-sim
Siansu demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh
kelembutan dan keramahan, sinar matanya dan senyumnya penuh kasih sayang. Akan
tetapi sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor,
berdirinya juga sembarangan saja. Hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu
bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang
sebatang tongkat butut.
Melihat
betapa supek dan susiok mereka itu sudah saling berhadapan dengan tongkat di
tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gembira. Sungguh
beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka.
Sementara
itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya
nonton dengan hati ingin tahu. Akan tetapi tentu saja dia tidak begitu
mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para
pendeta Lama dan Sam Lojin dia pun tidak mampu mengikutinya dengan baik.
Dia hanya
merasa heran kenapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini.
Akan tetapi dia pun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang amat
berwibawa itu. Dia merasa heran, mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua
yang disebut sute-nya.
“Suheng,
coba kau sambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru, kemudian
tongkatnya bergerak.
Anehnya, gerakan
itu lambat saja, bahkan seperti main-main. Akan tetapi ujung tongkat itu
mengeluarkan angin menderu-deru dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah
tulang-tulang iga Pek-sim Siansu, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan
jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana pun lawan akan mengelak!
Semua
gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan
pandang matanya.
“Bagus
sekali!” seru Pek-sim Siansu memuji, bukan sekedar untuk menyenangkan hati
sute-nya, melainkan memuji karena kagum.
Dia melihat
betapa dahsyatnya serangan sute-nya itu yang memang amat sukar untuk dilawan,
sukar dielakkan mau pun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka
tenaga tangkisan itu justru akan memperkuat getaran tongkat sute-nya untuk
melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan
ke arah tulang iga.
Dia lalu
mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan
menyambut tongkat sute-nya. Dua batang tongkat butut lalu bertemu. Akan tetapi
Pek-sim Siansu tidak menangkis, melainkan menggunakan sinkang sehingga membuat
tongkatnya menempel pada tongkat sute-nya dan dengan demikian, tongkatnya terus
mengikuti gerakan tongkat sute-nya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali
sehingga ujung tongkat sute-nya itu hanya mampu mencium kain kuning yang
melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
“Hemmm,
sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang
dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” bertanya sang suheng.
“Heh-heh-heh,
matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan
jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak
membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”
“Dan
membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban
menjaga tubuh tua ini, sute.”
“Sekarang
lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay
Tojin sudah menyerang lagi.
Kini
tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang
tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Siansu, dari kanan, kiri, depan,
belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang
menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu
mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang
berturut-turut tanpa jeda. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!
Untung Sie
Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang
menyambar ke atas itu tak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan
sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah akibat
terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar
rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek
gembel gila itu.
“Siancai...!
Sungguh dahsyat...!” kata Pek-sim Siansu.
Kakek ini
pun menggerakkan tongkat bututnya. Ke mana pun bayangan tongkat Koay Tojin
menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya,
seolah-olah tubuh Pek-sim Siansu sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.
Berulang
kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang
menggetarkan jantung, bagai dua buah benda yang amat kuat dan berat saling
bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur dan menghentikan
serangannya.
“Engkau
memang hebat, suheng. Masih saja engkau mempunyai ilmu Benteng Tongkat Baja
yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau
hanya menangkis saja dan tidak membalas?”
“Siancai...,
sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri
saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tak kuat bertahan terhadap
seranganmu yang mengerikan tadi.”
“Biarlah
sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala
Setan ini!”
Koay Tojin
pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung
menghantamkan ke arah kepala suheng-nya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini
amat sederhana, bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa
menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali
karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak terduga-duga andai kata yang
dipukul mengelak.
Menghadapi
pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya
Pek-sim Siansu justru tidak mengelak, melainkan mengangkat kedua tangan yang
memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini,
dan tahu pula bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat
berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak, malah menangkis supaya jurus itu dengan
tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya sambil diam-diam dia mengerahkan tenaga
saktinya.
Sie Liong
sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan
hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan
terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun,
amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Siansu.
Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang
tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak
ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda
yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya
telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu.
Dua potong
tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter
lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
“Heh-heh,
engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!”
Mendadak dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya.
Tiba-tiba
Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke
arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas
dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat
tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada dua
kakinya yang terjepit.
Ternyata dua
potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya
demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika
Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena
takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga
kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Seketika Sie Liong
muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan
perutnya. Darah yang cukup banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin
lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di
atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia
melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan
tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap
dari situ.
“Siancai...
siancai... siancai...!” Pek-sim Siansu memuji dengan kedua tangan dirangkap di
depan dadanya. “Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar
diukur tingginya. Hebat.”
Hek Bin
Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah
oleh supek. Buktinya tadi tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu
dengan tongkat supek!”
“Hemmm,
begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...” kata Pek-sim Siansu lirih.
Tiga orang
kakek itu melihat dan... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka
runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin
terkejut bukan main.
Kiranya
tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara kedua tongkat
itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Siansu hancur. Hanya berkat ilmu yang
tinggi dari Pek-sim Siansu, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam
keadaan yang utuh.
“Siancai...
Bukan main hebatnya susiok...” berkata Pek In Tosu sambil menarik napas
panjang. “Dan berbahaya sekali...!”
Pek-sim
Siansu dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau benar, memang
berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang
manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan
memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga
lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimana pun juga, segala sesuatu
memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi dan manusia hanya dapat
memilih akan berpihak pada yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah
yang salah.”
“Supek,
kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih
berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah
yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim
Siansu tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan
masih ada langit! Betapa pun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan
lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tak perlu
dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat
mempunyai murid, kita pun bisa saja memilih seorang murid yang baik, supaya kelak
dia dapat menahan kejahatan yang datang dari mana pun juga.”
Pada saat
itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe... harap suka tolong saya...”
Pek In Tosu
bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan
tetapi Pek-sim Siansu mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu
habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”
Sie Liong
marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kakinya terjepit tongkat,
kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti
sedang kebanjiran darah dan mulai merasa pening. Juga isi perutnya seperti
masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tiada
rasanya lagi, mukanya pun terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian
kuning tadi, dia pun merasa mendongkol.
“Locianpwe,
kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim
Siansu mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa
sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang
aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk
menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya, tergantung dengan
kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya,
ditambah dengan tepukan pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung
muntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus
bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari
tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya
memulihkan tenagamu saja.”
Mendengar
penjelasan ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ahh, kalau begitu, maafkan
saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya
akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim
Siansu mengangguk-angguk dan dia pun kembali duduk bersila di depan tiga orang
murid keponakannya.
“Supek tadi
menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah
supek maksudkan dia itu?” Pek In Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok
yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu.
Pek-sim
Siansu tersenyum. Diam-diam dia memuji pandangan murid keponakannya yang tajam
dan telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar,
dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,”
jawabnya.
“Akan
tetapi..., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apa
lagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm,
agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Siansu.
“Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga
dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek
benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali.
Cacatnya itu tak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak
bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu
bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan
pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya
puluhan tahun yang lalu.
“Supek,
kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di
Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus
mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apa lagi mengutus mereka
untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimana pun juga tentu Dalai
Lama tahu bahwa dulu mendiang suhu adalah pembela dan pelindungnya,
menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang
akan menculiknya,” kata Pek In Tosu.
“Memang
nampaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga
bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang
tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas.
Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu
di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang
dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu
kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dulu
menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan
tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian
antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan
kita.”
“Memang
mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata
Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya
tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau sudah berapa usiamu? Orang-orang setua
kita ini tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan
besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukan pekerjaan yang
ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak,
sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk
kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah,
supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan semua
ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai
di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka. Selanjutnya dia tak
mendengar apa-apa lagi, karena sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung
seperti kelelawar…..
***************
Gadis cilik
itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara
sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli
dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia
menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini.
Kudanya juga
seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak
perempuan itu seperti berlomba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat,
padahal jalan itu tidak rata dan mendaki.
Akan tetapi,
agaknya dia memang sudah biasa dengan daerah ini. Kudanya pun bukan baru sekali
itu saja membalap ke arah puncak bukit, di mana terdapat banyak rumput hijau
segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah bila mereka sudah
tiba di puncak.
Akhirnya
tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput
yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat,
dan keduanya nampak gembira. Apa lagi setelah anak perempuan itu melepaskan
kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan
diri duduk di atas rumput yang tebal.
Keduanya
sungguh menikmati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah
dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa
lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan
memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih
nikmat dari pada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang
paling halus.
Akan tetapi
seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Dia bangkit
dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.
“Semut jahil
kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya.
Ketika ia
melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan
mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan
perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.
Anak
perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal
bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi
Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk asli Suku Bangsa
Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda.
Oleh karena
keadaan lingkungan ini, sejak kecil pun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apa
lagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda
merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang sayang
sekali kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah
biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri menyusuri padang-padang
rumput dan lembah-lembah.
Kepergian
Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka. Berhari-hari dia menangis dan
mendesak ayah ibunya supaya mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya
pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping paman
kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua
hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal
menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia mampu juga melupakan
Sie Liong.
Pada hari
itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri
menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat. Ketika melihat kudanya
makan rumput, tiba-tiba Bi Sian merasa perutnya menjadi lapar sekali.
Dia pun
bangkit berdiri dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu
dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya pada kepala gadis cilik
itu.
“Hayo kita
pulang, hari sudah sore,” bisik Bi Sian dan dia pun memasangkan kembali kendali
kudanya.
Pada saat
itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh
tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak
mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak mempedulikan mereka.
Akan tetapi
ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba
seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan
Bi Sian.
“Perlahan
dulu, nona. Berikan kuda ini kepada kami!” katanya.
Bi Sian
terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat
bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan
orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.
“Siapa
kalian? Berani kalian mengambil kudaku?!” bentaknya.
“Ha-ha-ha,
bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo
lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.”
Bi Sian
terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia
tidak mengeluarkan kata-kata lagi, tetapi ia sudah meloncat ke depan dan
memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang
agaknya menjadi pemimpin mereka.
Serangannya
cepat sekali datangnya. Maklum, biar pun usianya baru hampir dua belas tahun,
akan tetapi semenjak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang
pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah mempunyai ilmu silat yang
lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walau pun dalam hal tenaga, ia masih
belum kuat benar.
Sambil
tertawa-tawa si brewok itu mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah
cepat.
“Bukkk!”
Perutnya
kena dihantam tangan yang kecil itu dan dia pun terjengkang. Biar pun tidak
terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya
segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka
itu sudah meringkusnya.
“Lepaskan
dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Seorang
pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian
segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera
Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan. Pemuda yang pernah berkelahi
dengan dia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya!
Lima orang
itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi
Sian yang mereka telikung ke belakang.
“Hemmm,
bocah lancang, siapa kau?!” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan
sikap mengancam.
Tapi pemuda
remaja itu tidak menjadi gentar. Ia pun melangkah maju, membusungkan dada dan
menjawab dengan lantang, “Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun, komandan
keamanan di Sung-jan!”
“Ahhh...!”
Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga
terkejut dan memandang ketakutan.
“Maaf...
maafkan kami... kongcu...” Si brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong
melangkah maju lagi. “Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Yauw
Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”
“Maaf...
maaf...” Sekarang lima orang itu cepat-cepat melepaskan Bi Sian dan mereka
menggigil ketakutan.
“Kalian
patut dihajar!”
Ki Cong lalu
melangkah maju. Tangan kakinya bergerak, menampar serta menendang. Lima orang
itu jatuh bangun, kemudian mereka melarikan diri tunggang langgang, pergi
meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.
Sejenak dua
orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar
kagum. Tidak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan
kegagahan!
“Terima
kasih...” katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu sudah
memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.
Ki Cong
tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. “Sian-moi, perlu apa
berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau
perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?”
Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian
dengan mesranya.
Merasa
betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian.
Dia pun segera menarik tangannya dengan renggutan, lalu melangkah mundur.
Alisnya berkerut.
“Aku tidak
minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.
“Aihh,
jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, di antara
orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...”
“Aku tidak
peduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.
“Sian-moi,
jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang
segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”
Mendadak
sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang bagaikan
bernyala. “Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh
kali lebih baik dari padamu!”
Karena
pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan
bersyukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan
kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tadi tidak ada aku, apa
yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga
engkau sudah diperkosa! Dan engkau sedikit pun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah
kukatakan bahwa aku tidak pernah minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang
terima kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya
engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba
menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul serta mencium. Akan
tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!”
Pipi pemuda
remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang
tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian.
Gadis cilik
itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong telah berhasil
merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya.
Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman
yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba
nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda
remaja itu.
“Tokkk!”
Seketika
kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong pun berteriak mengaduh
sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Ia melepaskan
rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel
yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
“Kau... kau
berani memukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta
itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang
rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay
Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang
terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia
tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku!
Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Gembel tua
busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”
“Siapa
bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,
“Tongkat, ada orang yang menghinamu, dikatakannya engkau tak bisa memukul
sendiri. Sekarang tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang
ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh
sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara
lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!”
Ki Cong
berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia
dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan
setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia pun lari tunggang langgang ke
bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini,
Bi Sian tertawa senang sekali. Dia pun terheran-heran melihat betapa ada
tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke
tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.
“Kakek yang
aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka atau
tongkat wasiat?”
“Heh?
Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”
Bi Sian
makin mendekat, sedikit pun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel
yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
“Kakek,
maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat
ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...”
Bi Sian
gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia
meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah
potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia lalu mencoba untuk
menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
“Kek, maukah
engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini dapat terbang dan memukuli
orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu
tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak
sekali kegunaannya, kek. Pertama, tentu untuk melindungi diriku sendiri. Kedua,
dapat kupergunakan pula untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil
bongkok?”
“Ya, pamanku
Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si
kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”
“Sie
Liong... anak... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti
mengingat-ingat.
“Benar, kek!
Apakah engkau pernah melihatnya? Sudah berbulan-bulan ia melarikan diri dari
rumah ayah, kini entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah
aku belajar ilmu itu?”
Koay Tojin
mengelus jenggotnya, lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan
bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya. “Engkau sungguh mau menjadi
muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu
lain yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?”
“Mau, kek!
Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang.
Bi Sian
mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang
pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini
terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa
saja.
Untuk
beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya. Sepasang matanya
yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik.
Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
“Kau
benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke mana
pun aku pergi. Aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apa pun, dan kau
harus bersedia hidup seperti anak gembel seperti aku!”
“Apa
sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian dengan penuh semangat.
Dia teringat
kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin
akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti
pengemis tua ini.
“Dan untuk
waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku,
atau sampai aku mati!”
“Aku
setuju!”
“Dan
mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha...”
Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perutnya yang terguncang,
kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga.
Melihat ini,
Bi Sian ikut tertawa. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek
yang tadinya menengadah itu kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas
rumput lalu menangis.
“Hu-hu-huuhhh...”
Tentu saja
Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput. Dia
sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena
kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang
lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, dia mulai curiga, akan
tetapi dia tidak merasa takut, melainkan geli.
“Kek, kenapa
menangis?”
Tiba-tiba
kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan mata
kemerahan dan muka yang basah air mata, kemudian dia mewek lagi dan menangis
terisak-isak.
Tangis,
seperti juga tawa, memang memiliki daya tular yang ampuh. Biar pun tadinya Bi
Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak
dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh, tanpa disadarinya lagi air
matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.
Bi Sian
terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata
dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
“Hei, kakek,
kenapa kau menangis? Mengapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu lebih
dulu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada
sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap sebagai orang gila!”
Tiba-tiba
saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan
itu memandangnya dengan mata terbelalak, dia pun berkata sambil mencela.
“Mengapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau
menangis dengan menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang
lain, apa peduli pendapat orang lain?”
“Tapi kau
tertawa dan menangis tanpa memberi tahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi
bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya
orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.”
“Ha-ha-ha-ha,
kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak
sinting? Aku tertawa karena hatiku sedang gembira mendapatkan seorang murid
yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena harus mewariskan ilmu-ilmu
kepadamu. Hu-hu-huuhhh...” Kembali dia menangis.
Bi Sian
mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak
rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”
“Apa?!”
Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Aku
bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orang pun tak
akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku
akan mati! Dan aku takut... aku takut mati...”
“Hemm,
engkau takut mati, kek?”
Kakek itu
berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia
memandang wajah Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”
Anak
perempuan itu menggelengkan kepala, pandang matanya jujur terbuka dan tidak
pura-pura.
“Kenapa aku
harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau urusan
kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya
mati. Lalu kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak
takut mati, kek!”
Kakek itu
terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum.
Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi
guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi
muridmu...”
Bi Sian
melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian sangat
tinggi ini agaknya memang benar-benar sinting!
“Wah, jangan
begitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sudah sepatutnya aku yang
berlutut? Bangkitlah dan biar aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.”
“Tidak!
Tidak!” Koay Tojin bersikeras. “Sebelum engkau mau mengajari aku bagaimana
caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di
depanmu sampai dunia kiamat!”
Bi Sian
seorang anak yang baru berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat
memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Dia seorang anak
yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justru kepolosannya itu yang
membuat dia memiliki pemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang
dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan
berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut
akan kematian.
“Gampang
saja, kek. Jangan pikirkan mengenai mati karena kita tidak mengerti. Jangan
pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!”
Jawaban itu
memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan. Akan tetapi dasar kakek itu
sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya’ di dalam benaknya.
“Jangan
pikirkan... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran
tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsan pun tidak pernah
takut, apa lagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan...!
Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!”
Dia pun
bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas.
Ketika tubuh itu turun, ditangkap dan dilemparkan kembali, makin lama semakin
tinggi.
Pada mulanya
Bi Sian agak merasa ngeri juga. Akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun
tubuhnya lalu disambut dengan cekatan dan lunak, ia pun tidak lagi merasa
ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Ketika tubuhnya dilempar ke atas,
dia merasa seperti menjadi seekor burung yang sedang terbang tinggi. Maka mulailah
ia mengatur keseimbangan tubuhnya supaya ketika dilempar ke atas, kepalanya
berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga
terjun dengan kepala dan tangan di bawah.
“Lebih
tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak dengan gembira.
Kakek itu
agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali
tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Muridnya
itu benar-benar tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka dia pun melemparkan
tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi.
Bi Sian
memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Semakin tinggi
lemparan itu, maka membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir
balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan
cekatan.
Akan tetapi,
betapa pun saktinya, Koay Tojin tetap merupakan seorang kakek tua renta yang
usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, karena itu permainan yang membutuhkan
pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Mendadak dia melemparkan tubuh
murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu
meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke
bawah.
“Heiii...!”
Bi Sian berteriak kaget.
Akan tetapi
tubuhnya sudah terlanjur masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan
ranting-ranting pohon sehingga mengeluarkan suara berkeresakan keras. Dengan
ngawur Bi Sian mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang
pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga
kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin
sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan
tetapi tubuh itu tidak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas,
tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.
“Heiiiiii!
Guruku... ehh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”
“Kakek
nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”
Mendengar
suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking gembira dan lega
hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau
menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!”
Kakek itu
lalu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang
pohon, kemudian membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan
erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.
“Suhu
nakal.”
“Suhu...?
Siapa suhu (guru)?”
Bi Sian
memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah
menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua
atau Kakek?”
“O ya benar!
Engkau muridku, aku suhu-mu. Kenapa kau bilang aku nakal?”
“Lihat saja
muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan
daun pohon.”
Koay Tojin
memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ahh, itu tidak
apa-apa. Engkau harus terbiasa hidup di atas pohon, karena sering kali kalau
berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman kalau tidur di
atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”
Mau tidak
mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium oleh
harimau?”
“Wah, sudah
sering!”
“Bagaimana
rasanya, suhu?”
“Wah, geli!
Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher, dan pada waktu aku
terbangun... wah, di depan mukaku sudah nampak moncong dengan gigi yang runcing
dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!”
“Kenapa dia
tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”
“Ha-ha-ha,
mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia
mencium untuk menikmati dulu bau harum dan sedap calon mangsanya. Untunglah
bauku agak tidak enak, apek, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya
menyedot bauku yang apek, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau
dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguannya itu membuka kesempatan bagiku untuk
menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”
Kakek itu
tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat
sesuatu. “Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa
sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”
Tentu saja
Bi Sian menjadi bingung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”
Koay Tojin
lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkir balikkan
tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon,
bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
“Pertahankan
keadaan seperti ini sekuatmu. Kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan
napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”
“Bagaimana
kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”
“Bodoh!
Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan masih ada aku di sini! Nah, sambil
bergantung begini kita bercakap-cakap!”
Dan Koay
Tojin sendiri pun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada
dahan yang lebih tinggi sehingga kini kepalanya berhadapan persis dengan kepala
muridnya itu, dalam jarak sekitar dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali
berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
“Nah,
sekarang katakan siapa namamu!”
“Namaku Yaw
Bi Sian, suhu.”
“Bagus,
sungguh nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari
Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal
tertentu.”
“Sekarang
aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut memberi hormat
kepada suhu-nya.”
“Benar, hayo
lekas berlutut di depanku!”
“Bagaimana
mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”
“Ahh, benar.
Aku lupa, mari kita turun dulu!”
Dan sebelum
Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek
itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu
menjatuhkan diri dan berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai
delapan kali. Koay Tojin girang bukan main. Dia tertawa bergelak sambil dua
tangannya bertolak pinggang.
“Bagus,
sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”
Akan tetapi
Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut
sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”
Kakek itu
memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku
tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”
“Engkau lupa
bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru oleh murid kalau bukan
gurunya?”
“Wah, wah,
repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”
“Ada tiga
permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku
akan berlutut...”
“...sampai
dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh.
Bi Sian
tersenyum juga. Alangkah lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan
suhu-nya sudah mulai menular padanya?
“Katakan apa
tuntutanmu!”
“Pertama,
sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”
“Hemm,
setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu
bahwa engkau pergi dengan aku.”
“Ke dua, aku
akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku
akan pulang ke rumah orang tuaku.”
“Setuju! Tujuh
tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati...! Ehh, apa yang
kukatakan ini? Mati... hih, aku takut... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut.
Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”
“Dan ke
tiga...”
“Banyak
amat!”
“Cuma tiga,
suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup
kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”
“Waah,
heh-heh-heh, aku memang gelandangan dan gembel, akan tetapi aku pun tidak
pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak
pernah minta. Apa pun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa
mengemis?”
“Benarkah?
Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”
“Tentu
saja?”
“Hemm, mana
mungkin? Seperti sekarang ini, aku butuh sekali minum karena merasa haus,
dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?”
“Heh-heh-heh,
apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”
Bi Sian
terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang
memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Dia menerima mangkuk itu
dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu
ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.
“Suhu, dari
mana suhu bisa memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, sekarang
keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih
asli!
Sambil
terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan
bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itu pun dia
lontarkan ke udara dan lenyap!
“Kuambil
dari udara... heh-heh-heh!”
Bi Sian
terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan,
minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari
aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!”
“Hushhh! Kau
sudah gila? Tidak boleh begitu!”
“Mengapa
tidak boleh?”
“Tidak perlu
kuberi tahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti
permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau
dapat berpamit dari mereka.”
“Itu kudaku
di sana, suhu. Kita menunggang kuda saja!”
“Wah, aku
tidak pernah menunggang kuda. Jika engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh
menunggang kuda.”
“Tapi sayang
sekali jika kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa
pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”
“Engkau
naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya
tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.”
“Mana
mungkin, suhu?”
“Sudahlah,
jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”
Mendongkol
juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti,
pikirnya. Ingin berlomba dengan kudaku yang larinya cepat bagaikan angin?
Bagaimana pun juga, ia tidak percaya suhu-nya akan mampu menandingi kecepatan
kudanya.
Ia pun lalu
meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk
bersila di atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepatlah, suhu. Hari sudah
mulai sore!”
Berkata
demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda itu berlari
menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh
untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh.
Tentu saja
ia akan berhenti kalau melihat suhu-nya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa
kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu sedang berjalan tepat
berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!
Ia merasa
penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah
beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya matanya
terbelalak melihat suhu-nya tetap berada di belakang kudanya, bahkan kini
memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya!
Kini Bi Sian
tidak ragu-ragu lagi. Suhu-nya memang seorang sakti seperti yang pernah ia
dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena
ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek
aneh ini.
Akan tetapi
suhu-nya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini
ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak
terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi
Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada
enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang
perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong!
Tentu saja
Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ
bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan sama
sekali? Bukankah tadi lima orang ‘perampok’ itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki
Cong?
“Heh-heh-heh,
sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”
Bi Sian
terkejut. “Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang
tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”
“Heh-heh-heh,
dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”
“Kalian mau
apa menghadang perjalananku?” Bi Sian membentak kepada lima orang itu.
“Minggir!”
Akan tetapi,
betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan
tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu
dan tangkap gadis itu untukku!”
Lima orang
itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian
karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sudah
terjadi. Dia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke
arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
“Tikus busuk
Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah
antek-antekmu yang sengaja kau suruh menggangguku tadi, kemudian engkau muncul
sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk bisa menarik hatiku! Engkau
memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!”
Lu Ki Cong
tak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi
Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam.
Koay Tojin
hanya tersenyum lebar, lalu dia berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah
engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, sekarang hajarlah mereka, jangan
beri ampun seorang pun, terutama tikus cilik di belakang itu!”
Tentu saja
Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu
mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadi pun ia tak berdaya, bahkan
menghadapi Lu Ki Cong pun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar
enam orang itu?
“Tapi, suhu,
bagaimana aku mampu...”
“Hushh!
Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat
bututku ini agar tanganmu tidak kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya.
Besarlah
hati Bi Sian. Dia merasa percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang
kadang-kadang seperti sinting itu. Gurunya memerintahkan supaya ia menyerang,
tentu gurunya sudah siap sedia membantunya.
Dan tongkat
itu agaknya sebuah tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu bisa
menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhu-nya. Kini tongkat itu berada di
tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat
ketika tongkat itu berada di tangannya.
Tanpa
mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian langsung
menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimana pun juga,
Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki
gerakan yang gesit serta langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi
serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul
itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang
sudah biasa menggunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup
hebat, dan tenaga yang kuat.
Kalau tadi
mereka ‘dihajar’ oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur
sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menaklukkan hati Bi Sian yang
keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.
Tadi Lu Ki
Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar
serta membunuh kakek gembel yang sudah menghina dirinya, juga sekalian
menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu
tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil
tersenyum mengejek, menyeringai lebar, salah seorang di antara mereka yang
brewokan maju dan mengulur tangannya. Orang ini hendak menangkis, lalu
menangkap dan merampas tongkat butut ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke
arah mukanya.
Akan tetapi
tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak
bisa digerakkan seperti bertemu dengan suatu benda yang tak nampak. Sementara
itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking
herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat
lagi mengelak.
“Plakkk!”
Tongkat itu
menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya
yang seketika ‘mimisan’.
Melihat ini,
dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak
meringkus Bi Sian. Akan tetapi kembali terjadi keanehan ketika mendadak dua
orang itu terhenti gerakan mereka, dan seperti patung tak mampu lagi
melanjutkan gerakan mereka.
Bi Sian
sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang ke arah kepala.
“Tukkk!
Tukkk!”
Dua buah
kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika
kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!
“Heh-heh-heh,
bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”
Bi Sian
sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau
mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan
kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Ia pun terus mendesak
ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya,
disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang
terjadi pada teman-teman mereka, serangan dua orang itu juga tertahan dan
mereka tidak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke
arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul
dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat
itu.
Tentu saja
lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang
jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang.
Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena
hajaran tongkat seorang demi seorang? Biar pun tidak sampai terluka parah akan
tetapi pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi
rasa nyeri di bagian yang terpukul.
“Bocah
setan, berani kau memukul kami?” bentak si brewok.
“Heh-heh-heh,
muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja
berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu
sampai mereka melolong-lolong!”
Dan Bi Sian
yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biar pun
lima orang itu kini sudah marah, bahkan mereka telah mencabut golok, namun apa
artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara?
Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di
tangan Bi Sian.
Meski pun
yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan
itu sudah berlatih silat dan mempunyai tenaga cukup kuat, sedangkan yang
dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya
tubuh mereka pun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini,
bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu
Ki Cong terbelalak matanya. Ia pun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan
berlari pergi.
“Heh-heh,
kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan
diri!” teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya.
Anehnya,
kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti
menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang
marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan
tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang sudah dapat bergerak
kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin
hebat.
“Heh-heh-heh,
pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya. Biar tahu rasa monyet
itu, heh-heh-heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya.
Bi Sian
terus menghajar Ki Cong hingga pemuda itu berdarah hidungnya, babak bundas
penuh balur dan bengkak-bengkak membiru. Akhirnya pemuda itu pun menjatuhkan
diri bergulingan di atas tanah sambil menangis!
Melihat ini,
lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan
tetapi biar pun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan
mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik serta menghujankan pukulan
tongkatnya kepada mereka!
Lima orang
tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walau pun tadinya mereka merasa penasaran
dikalahkan oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa
sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek
gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan,
jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang
galak itu!
Mereka lalu
menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ
sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara tawa gelak Koay Tojin mengikuti
mereka, membuat mereka semakin takut dan berusaha berlari secepatnya sampai
jatuh bangun!
Bi Sian
tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah. Napasnya
terengah-engah dan tubuhnya mandi peluh, akan tetapi wajahnya berseri dan
mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu
tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah
dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat.
Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walau pun memang
sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap
sinting oleh orang lain.
Akan tetapi
ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhu-nya ini seorang manusia luar biasa! Ia
pun tahu benar bahwa suhu-nya yang tadi sudah membantunya, maka dengan begitu
mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kali pun mendapat balasan
pukulan dari mereka.
“Sudahlah,
suhu. Apa sih yang sedang kau tertawakan begitu hebatnya?” katanya untuk
menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan dia
pun bangkit berdiri.
“Wah, kau
hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau sudah menghajar anjing-anjing itu
sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”
Bi Sian lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku
berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak membuat
susah suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.”
Bi Sian lalu
menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi
Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek
itu, maka ia pun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang
tua itu menjadi kelelahan.
Karena itu,
hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas
petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia
pun menurut saja petunjuk suhu-nya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
“Kalau kita
masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin
sekali akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut
aku saja. Mari!”
Yaw Sun Kok
dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah
dan beberapa kali dia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri
mereka yang belum juga pulang.
“Aku mulai
khawatir, mengapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum pulang juga.
Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
“Ia pergi
membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat
yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini.
Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan
bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar lagi. Tidak perlu
khawatir.”
“Akan
tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...”
“Aihh,
mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Walau pun perempuan dan masih
kecil, akan tetapi Bi Sian sudah mempunyai kepandaian yang cukup untuk dapat
melindungi diri sendiri. Dan ia pun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi
sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya?
Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”
Mendengar
ucapan suaminya itu, Si Lan Hong jadi terdiam. Akan tetapi ia masih terus
memandang ke arah pintu dengan penuh harapan.
Pada saat itu,
tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu.
Suami isteri itu cepat menengok dan... di balik jendela kaca itu nampaklah
wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh
kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Bi
Sian...!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka
jendela itu.
“Jangan
dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkanlah baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku
sudah mendapatkan seorang guru. Guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini
hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh
tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak
akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”
“Bi
Sian...!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela
itu.
Akan tetapi,
wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa
sangat penasaran dan cepat melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat
keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan
tetapi tidak nampak bayangan anak itu.
Mendadak
terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam
kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”
Ketika
mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka. Tentu
saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan dia pun cepat molompat naik ke atas
genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya
itu pun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat
ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang
seperti setan.
Akan tetapi
semua usahanya untuk mencari Bi Sian sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam
hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan,
seperti seorang yang lemah. Dia pun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara
guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin.
Tahulah dia
bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi
muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak
tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa!
Tentu saja
dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw
Sun Kok hanya bisa menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka
sekali.
“Aku akan
mencarinya..., aku akan mencarinya sampai jumpa kemudian membawanya pulang...”
Dia menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi,
hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun
Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang, namun tidak ada yang
berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak
berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada
keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil
membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli
dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu
saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.
Mendengar
ini, semakin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang sudah dipilih
sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan
Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel serta
bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Dia pun minta maaf
kepada Lu-ciangkun, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa
oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment