Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 05
Demikianlah,
akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh
kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung
menyelimuti kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seakan-akan
menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, sekarang menghilang.
Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan
berat baginya.
Baru saja ia
kehilangan adik kandungnya. Dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa
disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun.
Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam
sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya
adalah kitab sajak para penyair jaman dulu. Suara itu merdu dan cara membacanya
pun amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang
tepat.
Kalau orang
mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan,
ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik,
mau pun pakaiannya. Jelas ia adalah seorang anak terpelajar dari keluarga
bangsawan atau hartawan! Cara ia duduk menghadapi kitab di atas meja itu pun
telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan
santun.
Memang anak
laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan
pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah
pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno di mana
terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang
berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja
hanya sedikit yang dapat meresapi benar akan isinya. Sebagian besar hanya mampu
menghafal saja dengan lancar, akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang
dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu
bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari
Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang hartawan yang kaya raya di kota Ye-ceng,
sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan
Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan
negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih
delapan tahun yang lalu, saat terjadi keributan karena adanya gerombolan
perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat,
rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki
berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para
pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorang pun
mengakuinya sebagai anggota keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang.
Semenjak
itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya
mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong
Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena
Coa-wangwe sendiri tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki beberapa anak
perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya saja Coa-wangwe
tidak merahasiakan bahwa anak itu merupakan anak angkat, bukan anak kandung
karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak
laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang
masih muda dan sehat. Coa Hun sendiri baru berusia empat puluh dua tahun ketika
membawa Bong Gan pulang.
Oleh karena
itu, biar pun Bong Gan amat disayang, akan tetapi tetap saja semua orang
menganggap ia bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe. Sikap hormat para pelayan
terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan
juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan
suku bangsa Han.
Melihat
bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau
Kazak. Anak itu sendiri tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini,
yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tak dikenal asal-usulnya,
ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, sudah
mendatangkan rasa iri hati.
Banyak orang
tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu
ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin
nama aslinya Munggan atau Boangana!
Bong Gan
kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat
cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati
terhadap yang berada di atasnya, serta bersikap anggun dan berwibawa terhadap
yang tak suka kepadanya.
Pakaiannya
selalu baru dan rapi sekali. Tubuhnya juga selalu dirawat baik-baik, mulai dari
rambutnya sampai kuku kakinya. Di setiap penampilannya, ia hanya mendatangkan
rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara
berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan
dia mempertahankan kemuliaannya!
Biar pun
usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa
banyak di antara anggota keluarga ayah angkatnya yang hatinya merasa iri dan
tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya
selalu memata-matainya, menyebar mata-mata yang bekerja sebagai
pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat
dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati
sekali.
Malam itu,
biar pun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam
itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab
kuno dengan suara yang berirama dan merdu. Ini berarti bahwa meski ayah
angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia
selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia
menengok. Ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja
ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda
dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru
berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis.
Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus
seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah
daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir
tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh
hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia
amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan
perasaan iri kepada para selir lain, walau pun perasaan iri itu hanya mereka
simpan di hati saja. Pengaruh selir muda ini terhadap Coa-wangwe amat kuat
sehingga hartawan itu pasti akan membela sang selir termuda kalau sampai
terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan
antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara
mereka. Tanpa perasaan ini sudah pasti akan terjadi pertentangan dan
penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikit pun tidak terdapat rasa sayang
kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia
telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir
Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena
itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa
hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik
oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya
karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini
bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah
itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka
dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan.
Sudah lama
ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang
mata dan suaranya. Namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda
untuk menangkap isyarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya,
meski usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu.
Ia pun banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan
sehingga kini ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria
dan wanita ini.
Ketika Pek
Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan
wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata
dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan dia pun merasa amat suka
kepada wanita itu.
Hanya tentu
saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya. Dia
selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah
mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia
masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Pada malam
hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki
kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah
selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri.
Bong Gan
berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun, akan tetapi tinggi
badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu
cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ahh,
kiranya ibu yang datang malam-malam begini...”
“Hushh,
jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengar
sebutan itu...”
“Tapi, ibu
adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita
hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu.
Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, walau pun aku menjadi isteri
ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali... tentu saja di depan orang lain
boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan
tersenyum. Hatinya gembira sekali karena wanita cantik itu bersikap begitu
manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja
seperti sekarang ini. Ayahnya sedang tidak berada di rumah, dan hari sudah agak
larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang
lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah,
enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah
kursi yang tadi dia duduki.
“Terima
kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu.
Di atas meja
terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah
buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, ternyata Pek Lan hanya
dapat membaca sedikit saja.
“Kau
duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya
berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek
Lan bangkit berdiri, membawa bukunya, lalu ia duduk di atas pembaringan.
“Biarlah aku
duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan
duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik
itu duduk di atas pembaringannya.
Beberapa
kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi
serba salah tingkah.
“Bong Gan,
huruf apakah ini...?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang
dipegangnya.
Karena dari
tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa ia
bangkit dan menghampiri, kemudian membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan
tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya lagi untuk menanyakan huruf yang
tidak dia kenal sehingga beberapa kali pula pemuda itu menghampiri, membacakan
hurufnya dan duduk kembali.
“Ahh,
terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku saja. Kesinilah dan
duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja
Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di pembaringan itu.
Walau pun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita
itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya
duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aihh,
mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci...
aku... aku tidak berani... nanti dianggap tidak sopan...,” kata Bong Gan
gemetar, walau pun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aihh, siapa
bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan
adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini
Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan dia pun duduk di dekat Pek Lan. Tepi
pinggul dan paha mereka bersentuhan sehingga Bong Gan bisa merasakan kelembutan
yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia
membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apa lagi, ketika dia
merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang
hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama
suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau, dan akhirnya buku yang tadi dibaca
oleh Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan,
sedangkan di atas pembaringan itu Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan
seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang pandai
dan taat.
Keduanya
tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan
adalah seorang wanita muda yang dikecewakan karena perjodohannya dengan
Coa-wangwe dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa
penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang
menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan
menjadi lupa daratan.
Sebaliknya,
sejak kecil Bong Gan memang haus akan kasih sayang, dan kini bertemu dengan
seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya dan menjadi gurunya dalam
berenang di lautan kemesraan, dia pun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu
muda sehingga dia pun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya
itu amatlah berbahaya, juga sangat hina karena dia sudah berjinah dengan selir
ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah
pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, lalu ke sekian kali, ke sekian
puluh kali dan mereka berdua yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh
nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak
suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata
inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.
Tentu saja
hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi amat terkejut,
heran dan kemudian marah. Dia terkejut sekali mendengar bahwa selirnya yang
paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, kemudian dia
merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap
amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana
kini tiba-tiba saja ia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjinah dengan
selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih
remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi
biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.
Akan tetapi
dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan
para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang
dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur supaya
hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar. Dan pada waktu malam,
ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu
bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia di kamar sang putera
angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat
dibayangkan alangkah kaget dan takutnya perasaan Pek Lan serta Bong Gan. Mereka
hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena
dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biar pun
kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta
ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tak dapat diredakan, apa lagi di
sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang
amat menyakitkan hatinya, betapa putera angkat itu hampir setiap malam
mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara
mereka.
Diam-diam
Pek Lan melirik dan mencatat dalam otaknya siapa-siapa yang pada malam itu
hadir bersama suaminya. Dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi
mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe
demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan di
punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali, kemudian mengusir dua
orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar
meninggalkan rumahnya tanpa diberi bekal secuil pun pakaian pengganti atau
sepotong pun uang kecil.
Keduanya
meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama
merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit
akan tetapi hati lebih sakit lagi, Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan
gedung itu. Mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota
Ye-ceng.
Berita
mengenai diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih
cepat keluar dari gedung itu dibandingkan orangnya, tentu saja karena
disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek
Lan tidak berani mengangkat muka mereka, sebab semua orang memandang dengan
mata dan senyum mengejek.
Sampai di
luar kota, malam sudah menjelang pagi dan mereka berdua masih berjalan terus di
dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biar pun mereka tidak mempunyai tujuan
ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah,
seolah-olah khawatir bila ada orang-orang yang mengejar dan memperolokkan
mereka.
Barulah
mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali.
Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah sebuah pohon rindang. Suasananya
di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek
Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan
juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus
menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah,
enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darah pun
tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan
hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan
dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi,
tanpa diketahuinya, kata-kata hiburannya itu bahkan membuat wanita itu menjadi
lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di
samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua mala petaka yang kini
menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
“Engkau memang
anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan jari telunjuknya menuding ke
arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah yang menjadi
penyebab mala petaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu
masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahhh, engkau yang
mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu
malu...!”
Sepasang
mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah
perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam
kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tak tahu malu. Engkau
mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan!
Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu
malu!”
“Apa?! Kau
berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit berdiri.
Bong Gan
juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan
tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan dia pun membalas. Dua
orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan di dalam kamar mewah Bong
Gan, bukan bergulat untuk memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam
perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling
menyakiti!
Pek Lan
lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi
masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi
ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh Bong Gan terlempar dan
terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di
situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja
Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari
tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis
sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh
Bong Gan yang menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh
terguling-guling.
Hal ini
berarti bahwa nenek itu sudah membantunya. Maka, biar pun hatinya merasa ngeri,
ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan nenek itu sambil menangis!
Sementara
itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa seluruh tubuhnya
nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling tadi. Dia tidak berani
bangkit berdiri, hanya memandang pada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati
dipenuhi perasaan seram.
Nenek itu
berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari pada tujuh puluh tahun. Tubuhnya
demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah
usia tua sudah membuat tubuhnya mengkerut dan kering.
Muka yang
kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh dengan garis malang-melintang, dan
sepasang matanya sampai hampir tertutup karena kelebihan kulit pada pelupuknya.
Tulang-tulang pipinya menonjol, dan hidung serta mulutnya sangat kecil karena
mulut itu mengkerut ke dalam, tidak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum
mulut yang tidak bergigi lagi.
Rambutnya
tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti
tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu
ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi
oleh pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan
nenek itu, namun sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan
sinar mencorong yang amat mengejutkan hati orang.
Nenek itu
mengangguk-angguk pada saat melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil
menangis. Mendadak tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, dan tahu-tahu
Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa dia untuk menengadah. Kiranya
nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat
muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
“Ceritakan,
mengapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biar
pun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan
tidak bergerak!
Pek Lan
agaknya menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan seorang manusia luar biasa,
atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka dia pun menjawab
sambil menahan tangisnya.
“Nenek yang
mulia, saya bernama Pek Lan. Saya barusan diusir dari rumah suami saya hartawan
Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu.
Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya.
Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah,
malah menyalahkan saya.”
Nenek itu
mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah.
Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat
Bong Gan menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Huh-huh,
bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar supaya aku
membunuhnya?”
Bulu kuduk
Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimana pun marahnya
terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh.
Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa
kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan,
nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak
berani lagi menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu
terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan
yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biar pun
nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak
ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan
segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan
langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan. Ia
terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya bersiap-siap untuk
melawannya.
“He-he-heh,
bocah setan, bergulinglah engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya, kemudian
nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa
dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu
tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya masih
tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho...
sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan
tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara!
Bong Gan
menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia
merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke
atas, maka dia pun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke
bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah
kepalanya!
“Tolooooong!”
Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang
baik, harap jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak
berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu
akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho,
tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu.
Dan benar
saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada
sinar hitam panjang menyambutnya sehingga tubuh itu kini terlempar kembali ke
atas lebih tinggi dari pada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan
menjerit-jerit seperti seekor anjing sedang digebuki.
Melihat
kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya
menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan dia pun bertepuk tangan sambil
bersorak. Lupalah dia akan kedukaannya.
“Bagus!
Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau
minta ampun kepadaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini agar
supaya menghentikan permainannya!”
Bong Gan
boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik
dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan
menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup dua
matanya rapat-rapat.
Pada saat
tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu
berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Kemudian,
tubuh itu tidak lagi meluncur ke bawah, melainkan ke samping dan tahu-tahu
leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu
dipegang oleh seorang kakek gembel!
Kakek yang
muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu
bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat ada seorang anak
laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya sedang dilempar-lempar ke atas oleh
seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.
“Suhu,
tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar
gadis yang kejam itu!”
Mula-mula
Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar
nenek tua itu? Mana aku berani? Dia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan
Hitam)...! Hiiiih... aku ngeri melihatnya...” Dan kakek gembel itu bergidik
kengerian.
Melihat
sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jeri
terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu
tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata
demikian, Bi Sian lalu meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan
kedua tangan terkepal. “Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa
orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”
Nenek itu
menyeringai, lalu menoleh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku
harus menghajarnya juga?”
Pek Lan
marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena
mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nek, bocah
itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”
Di sini
telah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam
sekali terhadap orang yang tak disukainya, atau orang yang mendatangkan
kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh?
He-heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu
sambil terkekeh tanpa membuka mulut.
Tiba-tiba
dia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah
gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr...
takkkk!”
Tongkat ular
itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin.
Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek
Lan dan Bi Sian.
Nenek itu
mengeluarkan suara menggereng marah, kedua matanya yang bersembunyi di lipatan
kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho!
Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.
Koay Tojin
menyeringai pula. Dia tadi tidak berpura-pura ketika kepada muridnya dia mengatakan
takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis itu,
melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati
nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau
Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka
mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotong pun gigimu maka engkau
malu membuka mulutmu!”
Nenek itu
semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi’ bukan hanya dimaksudkan untuk
mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ejekan bahwa
nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi
lagi!
“Koay Tojin
keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu
sudah menyerang dengan cara yang sangat aneh. Dia melontarkan tongkat ularnya
ke atas, dan tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang
kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin
tertawa bergelak, melompat ke belakang dan dia pun lalu melempar tongkat bututnya
ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kini
pun ‘hidup’ dan melawan tongkat ular itu.
Terjadilah
pertandingan yang luar biasa aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya
‘bersilat’ tanpa ada yang memegangnya, tapi saling hantam dan saling tangkis
sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin
pukulan dahsyat.
Melihat
betapa tongkat ularnya itu tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui
kekuatan sihir, nenek itu kemudian mengangkat tangannya dan tongkat ularnya
terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil’ kembali tongkat
bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu,
menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah
perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat
betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali. Dia
melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, maka ia pun segera meloncat
ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan
pukulan dan tendangan!
Walau pun
Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun, sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas
tahun, akan tetapi Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat.
Sebaliknya, semenjak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat
oleh ayahnya sendiri.
Maka tentu
saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan
beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Dia mencoba untuk
melawan dengan cubitan, jambakan serta tamparan, akan tetapi dia tidak berhasil
dan semakin lama, serangan Bi Sian bahkan semakin ganas dan menyakitkan.
Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek,
tolong aku... tolooooonggg!”
Ia
terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara
itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan
seru dan ramai. Pada mulanya, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan
serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main.
Nenek itu
selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga
tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun. Selain itu, tenaga nenek keriputan
itu juga kuat, sedangkan kecepatan gerakannya juga membingungkan.
Akan tetapi
begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat
lihai, yang bahkan dipuji oleh suheng-nya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi
Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan
main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat
butut. Maka, ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan
untuk melarikan diri.
Ia meloncat
ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba
merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil
membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian
masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan
yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai
kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi
Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan
itu. Hihh...!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi...!”
Akan tetapi
pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati
penuh kagum terhadap anak perempuan dan kakek gembel itu, kini menjatuhkan diri
di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe
yang mulia... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai
murid...!”
Kakek itu
mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“He-he-heh,
aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha-ha! Mari
Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan
dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti
dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian
mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu kini menangis
sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.
“Siapa
namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya
Bong Gan...,” anak laki-laki itu menjawab sambil menahan tangisnya dan
memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa
engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah
seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota
Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat
tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah angkat telah
kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencuri
adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian
dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah
angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan
itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis
tadi yang membela perempuan jahat itu.”
Bong Gan
yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba. Hal ini
saja sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik bukan main.
Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon
belas kasihan nona dan guru nona... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya
mau bekerja apa saja... saya sudah tidak memiliki seorang keluarga pun, dan
saya takut kalau... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi dan
membunuh saya...”
“Sudahlah,
Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata
tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu,
suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia
merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia
ini!”
“Apa??” Koay
Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe,
mohon maaf sebanyaknya. Kalau memang perlu, saya dapat menjadi anak yang sama
sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar
menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama
sekali!”
Ucapan itu
bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini
tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan
menangis biar pun menghadapi ancaman maut?”
“Benar,
locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai
itu kini mau mempedulikannya.
“Aku ingin
melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan
tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli
dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak!
Plak! Bukk!”
Tongkat itu
mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu kaget bukan main,
dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan
pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apa lagi bila
pukulan itu mengenai kepalanya.
Dia menutupi
kepalanya dengan kedua tangannya. Sekarang punggungnya, pahanya, pinggul, kaki
dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak
kesakitan dan menjerit minta tolong.
Akan tetapi,
anak yang amat cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka dia pun
menggigit bibir. Biar pun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan
menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak
sedikit pun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya
sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pun
pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap
kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke
arah kakek itu.
Melihat
betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega.
“Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!”
Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke
tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji
dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam dia pun mulai suka kepada bocah itu.
“Mari kita
pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya
dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja
Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Tadi dia sudah membiarkan tubuhnya
dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tak kepalang dan sekarang
kakek gila itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia
memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan
bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!
Dia tahu
bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga
amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia
akan hidup sebatang kara dan selalu terancam bahaya. Ia ingin memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Ia harus berhasil menjadi murid
kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan
uji!
Dengan
pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat di mana kakek
tadi berdiri. Dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan
dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat
karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari
terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di
tempat itu!
Memang patut
dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh
tubuhnya terasa nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa
dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi
hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam
hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram.
Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya
yang akhirnya tidak kuat bertahan lagi dan dia terguling roboh. Pingsan.
Ketika Bong
Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di
pinggir sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi
dia melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manis sedang mengobati
luka-luka di sekujur punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar.
Terasa dingin dan nyaman sekali.
Agaknya anak
perempuan itu mengerjakan dengan penuh kelembutan. Dia melihat anak itu memilin
dan menggosok daun-daun baru di antara dua telapak tangannya sehingga daun itu
menjadi lemas dan mengeluarkan air yang kehijauan. Kemudian daun-daun itu
ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Sungguh anak
perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk
menerima dirinya sebagai murid!
“Terima
kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat
kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu
mengobatinya dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi
hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu
(murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan
suaranya mantap.
Melihat
suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini
bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat,
kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang
melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh,
kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan
tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau
akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau pasti akan kubunuh
dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati
yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai
delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua
perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada
anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi
kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu
itu...”
Bi Sian
terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan
tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan
begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat,
siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas
tahun.”
“Nah, itu!”
Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak
boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu
bagaimana?”
“Karena
engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu
suheng.”
Wajah Bong
Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa
kikuk.
“Baiklah
sumoi.”
“Nah, begitu
baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan
menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku
memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui
lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih
kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi
namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin
kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia
mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun
sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan
membawa diri.
Dia amat
rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki
dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun
dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau
mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap Bong Gan yang
amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak
mau mulai menyukainya.
Bahkan
dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu
untuk memegang salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini
tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan
makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan menjual hasil
buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan
hasil untuk biaya hidup mereka…..
**************
Pek Lan
menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek
menurunkannya dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil
yang sunyi dan sepi.
“Terima
kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk
nenek apa yang harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak
memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan,
engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau
engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah,
engkau pilih mana?”
Diam-diam
Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau
ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum
pernah mimpi akan berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari
nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek
itu atau mati.
“Tentu saja
saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh!
Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo
(ibu guru)!”
“Baik, subo.
Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus!
Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus
kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan
kubunuh!”
Pek Lan
bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu
timbul dalam benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti
nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan
dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apa pun
yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh,
bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting.
Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan
berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan
baik.”
“Bagaimana
kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut
dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar
pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran
Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak sekali
barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat
memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut
bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian
nenek itu. Ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan
baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat
mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun
Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah
seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu
Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan
pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan
dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan
tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan
mereka terhadap tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan
pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan
tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun
Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan
perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang
nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit
saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang
terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan
ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga,
patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan
dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang
pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota besar Ho-tan
seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang
malam dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya
penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di
istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa
memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apa lagi kalau ada
maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau
gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang
sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk
melaksanakan niatnya, yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di
antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam
istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik
dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek
yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu,
bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Akan
tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali
berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi
hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh
belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat
kepada pasukannya untuk berhenti. Semua prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana
panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah maklum apa yang
menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di
tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang
masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga
tidak mengherankan apa bila panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu
tertarik sekali.
Pangeran itu
turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah
gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena
sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya
sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya
menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah,
yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa
orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini
cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang
tinggal di dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk
rupa.
“Nona,
siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya
semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu
lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih
mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk sehingga dari atas dia dapat
melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang
menantang.
Gadis itu
tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan
menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di
dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona,
ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan
menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini,
nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf,
Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya
memang bukan orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota
Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya... saya, pengantin baru... baru satu bulan
menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di tengah jalan kami
dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan
dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua
kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena
itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu
bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu
bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam!
Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan
memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat
seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya,
seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu
adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah
dari suaminya!
Menurut
patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba
menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia
menolong dengan cara ‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan
nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh
kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu.
“Janganlah menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka
menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan
mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang
bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat.
Berkali-kali dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan
kerling memikat dan senyum kecil yang menantang, membuat hati pangeran itu
menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan kepergiannya ke benteng,
melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat
disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat
seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran
Cun sudah bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in
Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa
gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar pun masih muda
namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan
pemikat.
Pek Lan
memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran
Cun. Biar pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi
dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih. Mukanya yang
sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan
tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang
gendut luar biasa.
Pek Lan
terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan
meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia
mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya, untuk benar-benar
meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam
keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong
mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini
sehingga hanya dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan
hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh
jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah
berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang
menyamar sebagai pelayannya.
“Subo,
cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek
Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu
tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi,
pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal
saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku
akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi...,
tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali
nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo.
Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat
kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya
seperti babi, aku jijik...”
“Engkau
jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan
itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu
merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang
jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap
pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar
dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa
tersiksa ‘menderita’ di dalam pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu
sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti
dengkurnya babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari
pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang
karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah
untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya
gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan
mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri,
membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia
tak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia
berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi!
Dengan
memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak
Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat
itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak
bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya supaya tidak
sampai mati terhimpit!
Bagaikan
bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di
bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta
yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar
gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan
yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan
perondaan adalah para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang
penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera
minyak. Tiba-tiba saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu
terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah
tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja
yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas
lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan
seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama
kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang.
Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang
kawan itu berdiri di belakang gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat
lari menghampiri.
Akan tetapi
kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun
berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan
mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari
jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang
berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di
belakang gudang dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera
dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka
berdua bercuriga.
Mereka tidak
menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi
tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan
melapor, mendadak mereka pun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang
tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas sebelum terbanting
ke atas tanah.
Kini
bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera
terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh
empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun
membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja
empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu
terbakar! Mereka berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja
mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itu pun cepat-cepat
keluar dari kamar mereka.
Empat orang
yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya
menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke
sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian, yang
membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan
tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas
lebih dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian,
tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya
berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan
tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja
mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai
memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini
maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan
ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi
alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah mengetahui
rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah
berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun
yang dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak
panah itu, kemudian dia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas
murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan
permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang dapat
membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah
dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu
dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya
yang agak bungkuk.
Dengan
hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan
itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka
tadi berlarian menabrak sana-sini, sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran
pula.
Mempergunakan
kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula,
menutupkan lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau
ia mau, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar
tanpa diketahui.
Akan tetapi
ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus
memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia
sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii,
berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah
mengejar.
Memang betul
keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan
ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali
mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu.
Akan tetapi,
Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar
dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar
dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun
berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan
menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca
menjadi terang karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan
lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk
membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri dan lari
ke dalam kebun di samping gedung.
Kebun atau
taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para
perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap
dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa
orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan
saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas,
walau pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan
lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah
merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar
tembok dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan
dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu sebetulnya bersembunyi
dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo
mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun
sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari
luar kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata
sambil bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana
mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu
sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun
membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar
bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang
sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur
pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba
jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia
membalik tubuh dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa,
pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan,
mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun
masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi
selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan
dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet
kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu
telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok
oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo,
kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan
dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan
ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua
supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh,
jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu
menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para
penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung
itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di
kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Meski Pek
Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus
bersikap manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah
menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan
pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak
sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu
pula menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta
benda itu.
Beberapa
bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang
mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli
tanah yang sangat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai
seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama
muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai
orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan
para penghuni dusun.
Dan mulai
saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut,
mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata
gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat…..
***************
Ang-in-kok
atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara
puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok
ini berada di ujung barat. Mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja
amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di
ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini
lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke
timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok
ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak
mudah, orang harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang
tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat
ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Siansu
untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka
berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim
Siansu, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh
besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung
sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga
orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga
orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi
melakukan tugas-tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh,
dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang nantinya akan
menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh
kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan
masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu
mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan
Putih), pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau
pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap
putih.
Pukulan ini
bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan,
akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang
jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua
dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu,
mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti
Naga Salju). Pukulan ini pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan
kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan itu terkandung hawa yang amat
dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh orang yang
terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke
tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga
mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti
Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa
yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Ketika dilatih ilmu
ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai
yang besar.
Selama lima
tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun
rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang
suheng-nya dan seorang suhu-nya, tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu
melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat
menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat
kenyataan betapa Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh
bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi
otaknya. Luar biasa!
Selama lima
tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan
ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi
ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek
itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak,
antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang
berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di
tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima
tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk
bersemedhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia
keluar melihat kemajuan yang dicapai oleh murid barunya.
Setelah
lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga
orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu
sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah
menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat,
akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda
yang cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan
yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah
dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan
ilmu-ilmu yang sudah dikuasai oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan
latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi semakin kuat.
Juga
kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu
sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung
(Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia
tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga
orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat
pertapaan masing-masing.
Setelah
membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata
kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong,
sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula
ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih
ingat maksud pinto dan para suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu.
Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar
dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk
melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet
Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk
memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu membela dia ketika dia
hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau
mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan
segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap
permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu.
Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan
teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini
telah memberi bimbingan kepada teecu.”
Pek-sim
Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah
menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut
pergi meninggalkan tempat itu. Dia menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja
menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.
Dia sudah
mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di
mana menurut enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia
ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah
melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong
memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun
itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat
ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkan dirinya!
Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk
dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar
memasuki dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan
pemuda bongkok ini.
Sie Liong
juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti
sikap kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun
itu.
Ketika dia melihat
seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan
memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek
(paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun
pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan
kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya
dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek
itu pun menjawab.
“Hemm, tentu
saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf,
lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu
membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik.
“Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong
tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia
menjawab, “Saya masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan
saya kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam
mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang
wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya
mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu
seharusnya ditengok, namun kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada
yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang
tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti
kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian
anak?”
Sebelum Sie
Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo
Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong
menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan
melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan
nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk
mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram
ini.
Setelah
dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian
dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa
mereka adalah golongan petani.
Salah
seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja
disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada
kakek itu, tidak mempedulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek
Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah?
Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu
kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu
membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri?
Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang
hutang itu... ahhh, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali
ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi sehingga banyak
merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu
mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap
sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja
buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau
disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung
besar.
Muka kakek
yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi
karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan
tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua
dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok
uang yang saya hutang!”
“Tentu saja
kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek
moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam
enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir,
engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang, mengerti?”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai
uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya
tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung
besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan.
“Tidak bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah,
kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami
sita!”
Kakek itu
tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga
kepada Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi
sepotong pun benda yang berharga.”
“Hemm,
kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup
untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar
lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu
kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si!
Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang
malang itu...?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek,
siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh
pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku
Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun
yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok,
tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai
selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku
kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu
(Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan
rakyatnya...”
Ucapan
terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut
sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah
tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek
itu.
“Hayo,
lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan
membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk
diajak berjalan cepat.
Kakek itu
masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang
mengajaknya untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu.
Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari
dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang
jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan
jendela. Mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo
Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke
sana...”
“Hati-hatilah,
Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap
mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she
Kwan ini. Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara
terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing
melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya
mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati
rumahnya dan pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di
antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar
dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang
lagi mengobrak-abrik isi rumah...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment