Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 03
Akan tetapi,
dia sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah utara kota itu. Dia sengaja
melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi
melalui pintu gerbang kota sebelah utara.
Begitu tiba
di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan
mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu
dan baru melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tak ada seorang pun yang
melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan
hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan
anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat
Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan
pengejaran, tentu saja ke utara! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar
keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong pada malam hari itu,
membawa sebuah buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga
di pintu gerbang pun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam
lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok
melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi
sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie
Liong!
Tadinya dia
mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah
sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada
orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan
menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia
pun pulang dengan wajah lesu.
Hatinya
tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal
yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang
kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau
kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan
tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!
Seperti
sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk
menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk
bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi
karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya
pergi.
Demikianlah,
Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu
menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya
tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian
melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan
pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.
Kurang lebih
sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk,
dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan
perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas
kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual
beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah
pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk
sekedar menahan lapar.
Malam tadi,
ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu
petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan
malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi,
keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan
sayur asin kering!
Maka, pagi
itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena
semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia
ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya
membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.
Tiba-tiba
dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik
batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja
mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu
binatang-binatang sebangsa kera besar.
Tubuh dan
pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan
tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan
tersenyum kepada mereka.
“Aihh, paman
sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan
di punggungnya.
“Huh,
kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing
cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie
Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot
penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina
anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan
kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”
“Wah, anjing
cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya
penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.
Dia adalah
pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar
di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah
menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.
Terasa oleh
Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit
saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak
merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia
tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.
“Anjing
galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok.
“Hayo jawab!”
Betapa pun
marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau
dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan
disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan
karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar
menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”
“Ha-ha-ha!
Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu
itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala
gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari
punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya
terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.
Sie Liong
merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara
yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu,
pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”
Seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak
menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar
rupanya!”
Tangannya
meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel
di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini
telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”
Sie Liong
yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan
dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
“Bukkk!”
Tendangan
itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan
kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.
Saat dia
siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di
dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut
nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya
tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada.
Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.
Dia bangkit
duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.
Ahh, betapa
jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan
pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa
betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti
keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja
kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Hidup di
dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit
dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak
kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.
Sie Liong
teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun
pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada
pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan
yang lebat!
Sie Liong
mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus
menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar,
dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu.
Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia
melangkahkan kakinya.
Dia merasa
aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara
berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan
kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang
muncul dan melihat ketelanjangannya.
Akan tetapi
yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet
itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua
tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.
Monyet-monyet
itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia
merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya,
melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa
telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu
tidak menjadi malu.
Sie Liong
berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan
perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan
orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia
bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap
gila!
Benar
seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar
sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas
dinding putih.
Sie Liong
merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan
telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya
sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja
di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.
Nampak
olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu
gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring
kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca
menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang
baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani
seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.
Senja tiba
dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki
dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat
sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.
Sampai lama
dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam
keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah
menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk
keluar dari balik pohon dan menegur.
Akan tetapi,
pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis
remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di
atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu
setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie
Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya
menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.
“Siapa itu?”
Gadis itu menegur.
Sie Liong
tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh
tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
“Hayo
katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau
tidak mau keluar dari balik pohon itu!”
Celaka,
pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia
akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon,
sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.
“Aku... aku
bukan maling...” katanya lirih.
Gadis itu
terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh
yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
“Eiiiiihhh...!”
Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh
dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun
berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.
“Setaaan...!
Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.
Sie Liong
kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa
dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis
remaja. Setan bongkok telanjang!
“Sungguh
sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak lama
kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama
seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh
tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan
setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling
berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.
“Mana dia?
Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas
suaranya agak gemetar.
“Tadi di
sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu
lalu merangkul ibunya.
Dua orang
laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang
pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang
aman.
“Setan!
Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.
“Kalau
engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang
baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.
Sie Liong
merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia
melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa
keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah
perutnya.
“Maaf,
paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang
mengharapkan pertolongan kalian.”
Dua orang pria
itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau
benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila
dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
“Engkau
seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat?
Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.
“Maafkan,
paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena
dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok,
bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”
Untuk
membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk
memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol
di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula
pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
“Iiihhh...!”
Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi
masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!
Kini pria
setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu
memang terluka.
“Ambilkan
satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis
remaja tadi.
“Baik,
ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.
Ayah, ibu
beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali.
Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka
dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon,
menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
“Maafkan
aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja
menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta
pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku
lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak
orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang
budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk
bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”
Mendengar
kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga
bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota
yang terpelajar.
“Siapakah
namamu, orang muda?” tanya si ayah.
“Namaku
Liong, she Sie.”
Ketika itu,
pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu
pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja
itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.
Dengan
perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu
memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang
dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki
pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran,
maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.
Sie Liong
mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci,
aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku
aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”
Laki-laki
setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan
setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya
untuk diajak masuk ke rumah.
“Anak yang
malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut
makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua
pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”
Sie Liong
mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan
jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis
sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya
gadis-gadis dusun.
Mereka
bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan
sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu
dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah
bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik,
hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan
lapar sekali.
Sesudah
makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu
bercerita.
“Aku adalah
seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit
menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu
hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja
sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu
berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan
itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam
buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku
bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi
sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”
Empat orang
itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun,
kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang
kasar.
“Jika engkau
sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong.
Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan
seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata
sang ayah.
“Benar kata
ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis
manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.
Sie Liong
memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh
aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani
yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia
sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya
bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit
ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.
Pandangannya
bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan,
melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari
lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa
baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang,
memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar
dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari
pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.
Dia bangkit
dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat
kepada mereka.
“Sungguh
paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian
ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman
sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku
Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih
ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu.
Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman,
karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga
paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”
Pada malam
itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama
putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan
memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong
monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima
juga.
Malam itu,
sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak
memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia
mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota
Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan
jiwanya.
Maklumlah
dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula
orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia
harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak
mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.
Agaknya, dia
perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk
mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan
untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi
Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai
timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru
yang pandai.
Pada
keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun
kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi
hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah
mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang
aneh.
Sie Liong
tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada
seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta
berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk
tak jauh dari situ.
Dia memegang
sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam
senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak
tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek
itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu,
telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk
rasanya.
Maka, tanpa
disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah
batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia
pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama
nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti
ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok
dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi
karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.
Akan tetapi,
kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu
mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun
mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau
balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!
Melihat
betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah
dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama
itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya
membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.
“Tak-tok
tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu
itu seperti ketukan bambu peronda malam!
Melihat
bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga
belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan
terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah
ketahuan dan telah menjadi kacau balau!
Memang
rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan
mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama
lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu
itu pun tidak ada gunanya lagi.
“Bocah
setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka
codet.
Tiba-tiba
tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda
melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat
sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!
Bukan main
kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah
pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang
dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!
“Siancai...!
Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah
meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan
dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu
Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.
“Desss...!”
Thay Ku Lama
terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha
menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya
sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang
dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting
dan terbanting keras!
Thay Ku Lama
terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah
mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat
tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia
marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan
muka merah.
“Tunggu
saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”
Setelah
berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang
pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Siancai...!
Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In
Tosu.
Tosu ini
segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya
bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi
hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah
terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.
Mereka tahu
pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya
lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera
mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.
“Sudahlah,
harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan
para Lama itu.”
Dua orang
itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan
tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang
murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang
menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.
“Thian Yang
Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa
napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.
Tahulah dia
bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh
hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat
meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan
dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya
melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan
ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan
Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi
terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia
tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus
mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Anak itu
menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi
tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek
itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang
aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya
yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!
Dan sebagai
akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga,
dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan
ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu
bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak
itu masih sesak.
Ketika Sie
Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan
tetapi, dia tetap tidak mengeluh!
“Sakitkah
dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.
Sie Liong
membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan
napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”
Pek In Tosu
menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok
itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa
tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”
Sie Liong
yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan
terbayanglah semua yang tadi terjadi.
“Totiang,
ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun
tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan
dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi
suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa
telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak
suara yang tidak enak itu.”
“Siancai...!
Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka.
Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian
mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”
Sie Liong
terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya
terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In
Tosu.
“Jangan
banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut
denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”
Karena
terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa
tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu
sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..
***************
Bukit itu
puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua
dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu,
orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat
bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup
awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.
Mereka duduk
bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak
bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek
yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.
Orang ke dua
juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang
terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun,
seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya
sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba
putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa
Cinjin.
Orang ketiga
bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan
tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga
putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.
Mereka
bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek
Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula
mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para
Lama di Tibet.
Tidak mereka
sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima
Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke
Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru
saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman
membunuhnya kalau tidak mau menyerah.
“Siancai...!
Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi
kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.
Mereka
bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari
sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai
tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar
yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja
dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.
“Tidak
tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya
dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap
bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai
Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka
masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk
membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”
“Benar
seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana
orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi
budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara
mereka.
“Pinto hanya
ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum
jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di
Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita
bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.
Pek In Tosu
menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan
itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga
tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama,
biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”
Swat Hwa
Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok
yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia
harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya
terasa nyeri.
Tadi,
pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan
tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya
dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum
lenyap sama sekali.
“Ketika itu,
kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di
sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki
dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang
menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet.
Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera
mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha
Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa.
Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran.
Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan
itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada
waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan
sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu
melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet
dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya.
Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah
meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang
menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di
Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di
Tibet dan hendak memberontak.”
“Akan
tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran.
“Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka
lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”
“Siancai,
sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi
hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan
akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan
mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai
perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu
adalah Dalai Lama yang sekarang!”
“Ahh…” Swat
Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama,
lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah
mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama
hendak menculiknya?”
“Ini pun
suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti
bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama.
Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi
dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka
permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak
dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar
mau pun dalam.”
Tiga orang
tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak
mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus
menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.
“Suheng,
lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima
Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa
Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.
“Siancai...!
Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia
telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama
itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi
keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu,
namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan
yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka
sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang
ahli untuk menolongnya.”
Kembali tiga
orang tosu itu berdiam diri.
Sie Liong
sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa
yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa
disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu
sehingga mereka berusaha membunuhnya.
Dia sudah
tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang
kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan
mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh
para tosu ini.
Ketika
mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang
sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.
“Harap
sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para
pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah
melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja
dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi
repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk
meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi
begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk
kembali.
“Duduk
sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu,
bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan
memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In
Tosu.
Bagaimana
pun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi
kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya. Apa lagi mereka bertiga tadi
sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang
menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata
terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!
Sie Liong
terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini sebab dia memang merasa pening
begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam,
bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.
Tiba-tiba
muncul angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang
pendeta Lama di tempat itu. Sie Liong hanya melihat bayangan merah berkelebatan
dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya
menyeramkan.
Dua di
antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng
yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri
yang mudah dibedakan satu antara yang lain.
Orang ke
tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini
berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang
kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk
Thay Bo Lama, kurus kering bagai tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet
yang lengkap dan amat terkenal, yang belakangan mengamuk di Kun-lun-san itu.
Melihat
munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lantas menggeser duduk mereka.
Sekarang mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima
orang pendeta Lama itu dengan sikap yang tenang sekali.
Sie Liong
membuka matanya lebar-lebar. Hatinya merasa tegang, akan tetapi dia pun tidak
merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat
jahat dan sombong itu.
Melihat
betapa tiga orang calon lawan itu telah duduk bersila dan berjajar menghadapi
mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi
Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka
itu agaknya tadi memberi isyarat melalui gerakan tangan dan tubuh.
Mereka
berlima tidak berani memandang rendah pada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya
karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan
beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian
Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati sekali.
Jarak antara
dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka.
Bila Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau
Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh
mereka jelas membayangkan kesiap siagaan untuk berkelahi.
Kedua pihak
sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah
hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.
“Sam Lojin,
sekali lagi kami menegaskan bahwa pimpinan kami, yaitu yang mulia Dalai Lama,
memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay
Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung
perintah dan ancaman.
“Siancai!
Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh
karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”
“Kalian
tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami,
yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin
berbicara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biar pun kata-katanya halus
dan sopan, akan tetapi mengandung ejekan.
“Maafkan
kami. Kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu.
Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan
saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”
Marahlah
Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah
kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.
“Siancai...!
Terserah pada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, akan
tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan
sikap tenang.
Lima orang
pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang
menyembah. Kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti sudah pulas dalam
semedhi.
Sie Liong
yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek
tua renta, diam-diam merasa amat mendongkol kepada lima orang pendeta Lama itu.
Biar pun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu,
namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama
itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka
kepada orang lain.
Sebaliknya,
sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang membuat hatinya
tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian,
mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian
tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang
baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau
diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak
mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.
Tiba-tiba
Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua
matanya, kemudian menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja
nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu.
Dia melihat
betapa tubuh kelima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah
yang menjadi tempat mereka bersila, dan masih dalam keadaan masih bersila, lima
sosok tubuh pendeta Lama itu terus naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari
atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh
mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat
ringan!
“Sam-wi
Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama
yang sudah membuka matanya, berseru.
Tiga orang
tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat
lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot
seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari semedhi!
Akan tetapi,
tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan
tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri kemudian dikalahkan,
berseru dengan suara nyaring.
“Uhhhh!
Kalian ini lima orang pendeta Lama yang sangat congkak! Apa sih artinya
mengapung di udara seperti itu saja? Kecoa-kecoa yang kotor, lalat-lalat yang
kotor itu pun mampu mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian!
Kepandaian kalian itu bila dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada
seperseratusnya! Andai kata kalian pandai terbang sekali pun, masih belum
menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian
sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh,
batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga
tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang
tidak lucu!”
Tiga orang
tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena walau pun dia
mendongkol dan tidak suka terhadap lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi
semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar
begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang
bicara seperti itu, namun orang lain yang hanya ‘meminjam’ mulut dan suaranya!
Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan
hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu
kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!
Lima orang
pendeta Lama itu demikian terkejut, marah dan malu mendengar teguran yang
keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan
itu membuat mereka goyah dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh mereka pun
meluncur turun.
Terdengar
suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas
tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit. Mata mereka sudah
melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah-olah keluar api
yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup
nyaring. “Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet
bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat
menakut-nakuti anak-anak saja!”
Dari
belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas
orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai
sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa
dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan
jujur.
Lima orang
pendeta Lama itu cepat memandang. Ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai
itu, kemarahan mereka pun memuncak dan untuk sementara mereka tidak
mempedulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin, melainkan mereka memandang kepada
orang-orang Kun-lun-pai itu.
“Hemm,
kiranya orang-orang Kun-lun-pai sudah berani lancang untuk menentang kami Lima
Harimau Tibet?”
“Siancai...”
Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju dan menghadapi lima orang pendeta Lama yang
sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang
murid utama Kun-lun-pai.
Thian Hwat
Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang,
memberi hormat dengan kedua tangannya di dada dan berkata dengan penuh hormat.
“Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami jika kami mengganggu, karena kami
mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”
Pek In Tosu
tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari
Kun-lun-pai.”
Kini Thian
Hwat Tosu kembali menghadapi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut
dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi losuhu adalah lima orang terhormat dari
Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan
daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami
tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, setelah mendengar
laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil
keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkan saja urusan ini. Kalau
dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi
bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi losuhu, demi kedamaian, kami
mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak
melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kami pun akan melupakan apa yang telah
terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”
Ucapan ketua
Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap
menyalahkan atau menegur, tapi mengkhawatirkan bila terjadi kesalah pahaman.
Oleh karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu
agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan
dia pun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
“Pai-cu
(ketua), kami mengerti apa yang kau maksudkan. Kami pun menerima tugas untuk
mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa
lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami.
Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa telah memberi hajaran kepada dua
orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri
urusan kami yang tak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih
memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah
kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”
Dalam
kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka
dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga terkandung pandangannya yang
congkak.
“Lama yang
sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu
bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih
hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami
sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”
“Omitohud...!
Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kami pun ingin
melihat apakah benar Kun-lun-pai demikian tangguh dan lihainya sehingga berani
mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”
Thian Khi
Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suaranya yang
keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan
mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapa pun juga akan kami
hadapi!”
“Omitohud...!”
Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu
majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
“Manusia
sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak
melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari
Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh
tahun, sudah serentak berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata
kepada Thian Khi Tosu,
“Harap suhu
jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah,
pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah
ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong
ini!”
Thian Khi
Tosu hendak membantah, akan tetapi suheng-nya, Thian Hwat Tosu ketua
Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu
membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid
utama itu maju bersama, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau
suheng-nya sekali pun.
Lima belas
orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan
tinggi, apa lagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu
ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan
yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).
Dengan
barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang luar biasa kuat
sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri
terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah
sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sute-nya turun tangan sendiri. Para
murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur
sampai di mana kepandaian musuh!
Lima belas
orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di
atas padang rumput yang lapang. Di situ mereka membentuk barisan berjajar
dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan amat rapi.
“Lima
Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang berniat untuk
memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya telah hampir lima puluh
tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.
Melihat ini,
lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek. Dengan berjajar mereka pun
melangkah maju menghadapi lima belas orang itu.
Setelah
mereka saling berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu
bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka
pun sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika
melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka sudah
berlatih sampai matang.
Melihat ini,
lima orang pandeta Lama itu pun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan
berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk
pembelaan diri. Mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan
dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang,
bahkan serangan dari samping dapat pula mereka hadapi bersama rekan yang berada
di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu
berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas
orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak
berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau
bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu
menandingi pendeta-pendeta Lama itu, yang memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu
kepandaian guru-guru mereka, kalau melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan
tadi.
Namun,
mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin. Begitu pimpinan mereka
memberi aba-aba, maka lima belas orang itu langsung bergerak, mulai dengan
penyerangan mereka yang serentak!
Memang hebat
gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan bagai kilat
menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal amat hebat, dan kini
mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat
pula oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan
mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan
dahsyatnya!
Lima orang
pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti
pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang
senjata masing-masing.
Thay Ku Lama
si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya dia
sembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama
si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala
lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis
dan mengeluarkan cahaya kehijauan.
Thay Hok
Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai
sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering
ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian
kemudian diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan
menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.
Serangan
pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai terhadap lima orang
lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang
lawan. Mereka berlima sama sekali tak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan
senjata mereka menangkis.
Terdengar
bunyi nyaring berdenting-denting, kemudian disusul bunga-bunga api berpijar
menyilaukan mata pada saat lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata
lima orang pendeta Lama. Karena memang tenaga sinkang dari para pendeta Lama
itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu langsung
terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!
Namun,
pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai
bergelombang beberapa kali, akan tetapi selalu dapat ditangkis oleh lima orang
pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu
mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke
belakang, bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.
Kesempatan
ini digunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan
yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang
merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya dan golok itu
seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan
terdekat.
Thay Si
Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu
meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama juga memutar
sepasang pedangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang.
Thay Hok
Lama juga memutar rantai baja di tangannya sehingga senjata istimewa ini segera
menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay
Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya sehingga terdengarlah
suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini ternyata memiliki tenaga
raksasa.
Biar pun
cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dapat pula dihindari oleh
lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu dengan cara saling melindungi dan
saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan
diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu
datangnya. Jelas nampak bahwa pertempuran ini tidak seimbang sama sekali.
Lewat dua
puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu hanya
sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal
roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini lantas mempertahankan
diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa mereka pun akan roboh
seperti yang dialami lima orang saudara mereka.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dua orang disertai terdengarnya suara bentakan nyaring.
“Tahan
senjata!”
Ketika
sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua
orang guru mereka, maka mereka pun berloncatan ke belakang dan sebagian segera
menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama
juga menahan senjata mereka dan sekarang mereka memandang dengan senyum
mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
“Pinto Thian
Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu ilmu
kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar
itu dengan garang.
Mendengar
ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu Thay Ku Lama tertawa
sambil melangkah maju. “Omitohud...! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai
sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Baru mereka membiarkan lima belas
orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, dan kini bicara tentang mengadu
kepandaian seorang lawan seorang!”
Wajah Thian
Khi Tosu menjadi marah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut
menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”
“Sute, harap
tenangkan hatimu!” Thian Hwat Tosu menegur sute-nya, kemudian ketua Kun-lun-pai
ini melangkah ke depan dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet
itu. “Siancai... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami
yang tadi lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka
itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas
pelajaran yang Ngo-wi berikan pada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan
menjadi pimpinan Kun-lun-pai bertanggung jawab terhadap semua urusan
Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak terus
berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili
perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan
kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu
menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami
akan mundur dan selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak akan menghalangi semua
sepak terjang Ngo-wi lagi.”
Ucapan yang
panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, di
samping janji.
“Omitohud...
Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup
adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa
yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau ternyata kami kalah oleh
ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau di antara
kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, engkau
temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”
Thay Si
Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum lalu melangkah maju mendampingi
suheng-nya, yaitu Thay Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada.
Thay Ku Lama sendiri sudah semenjak tadi mempersiapkan golok yang dipegang
terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
“Ha-ha-ha!”
Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru
pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”
Thian Khi
Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat bahwa wakil ketua
Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meledakkan cambuknya di atas kepala
dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”
Akan tetapi,
sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk
bersila bersama dua orang kawannya, sekarang sudah bangkit berdiri dan sekali
tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang
tosu dan dua orang Lama itu. Dengan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi
dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
“Toyu, pinto
harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa
Kun-lun-pai adalah perkumpulan para orang gagah yang tak pernah mencampuri
mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan
para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri.
Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama
sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu
disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini
untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Kun-lun-pai. Jika sekarang
Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan
membahayakan nama baiknya sendiri? Oleh karena itulah kami bertiga minta supaya
Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya
mencampuri urusan orang luar.”
Mendengar
ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang pimpinan
Kun-lun-pai itu saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang
murid tingkat tiga mereka memang bentrok dengan dua orang dari Lima Harimau
Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan
para pendeta Lama.
Jika
sekarang pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat
boleh jadi mengingat saktinya kelima orang pendeta Lama itu, nama besar
Kun-lun-pai akan jatuh!
Dan
sebaliknya andai kata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan
dengan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali!
Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin
agama yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan
negara itu sendiri!
Bermusuhan
dengan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dengan seluruh rakyat Tibet!
Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan
yang sama-sama sangat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya
amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dengan sebabnya, yang
pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
“Siancai...!”
berkata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang bijaksana sekali.
Kami akan menjadi orang-orang yang tak mengenal budi bila tidak mentaatinya.
Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf
dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak
semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah.
Meski pun
mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah
perintah suheng-nya. Dia pun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua
mereka, dan membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan
selanjutnya pintu benteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!
Setelah
semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu
tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami
sehingga pekerjaan kami menjadi jauh lebih ringan, tak perlu menyingkirkan
penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kami pun bukan orang-orang yang
tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, dengan
menyadarkan ketua Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kami
pun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dengan kami,
sebagai tamu undangan untuk kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di
Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu
undangan. Bagaimana?”
Kini tiga
orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum
ramah ketika menjawab, “Siancai...! Terima kasih atas niat baik itu. Akan
tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, terpaksa sekali kami tidak
dapat menerima undangan terhormat itu.”
Wajah Thay
Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut,
perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang
telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang
membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam
kandungan itu, sesungguhnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu,
yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi berkokok
seperti seekor katak besar!
“Hmm, apakah
yang memaksa kalian menolak undangan kami yang telah kami lakukan dengan
merendahkan diri?” tanyanya dengan suara membentak.
Pek In Tosu
masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua
dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang
sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak
sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak
memiliki urusan apa pun dengan Dalai Lama, sehingga andai kata beliau yang
mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini
menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimana pun juga, kami
bukanlah anggotanya mau pun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak
dapat menerima undangan itu.”
“Mau atau
tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke
Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus
kering dan wataknya memang keras. “Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!”
Pek In Tosu
mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
“Siancai...
memang sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang untuk membunuh
kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”
“Benar! Kami
memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama.
Dia sudah
menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang
mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam
Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan
tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biar pun mereka
adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian
tinggi, pandai menggunakan segala macam senjata, namun sudah sejak belasan
tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apa lagi membawa senjata.
Memikirkan tentang perkelahian saja pun tidak pernah. Selain itu, juga bagi
seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah
tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling
ampuh.
Tiga orang
kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik
ilmu silatnya, mau pun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga
mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan
sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi,
mereka telah puluhan tahun tak pernah berkelahi, tak pernah menggunakan
ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain.
Selama ini bahkan mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam
kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada
‘sumbernya’, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.
Maka, kini
menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan
kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri
saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walau pun andai kata
ada nafsu itu pun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain
pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itu pun merupakan orang-orang yang
sudah matang ilmu kepandaiannya. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi
yang mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sinkang mereka amat kuat dan di
samping itu, mereka pun pandai ilmu sihir.
Thay Ku Lama
mempunyai pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat
dasar perutnya yang gendut. Pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat dan
mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.
Ada pun
orang ke dua, Thay Si Lama, di samping permainan cambuknya yang dahsyat, juga
memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir.
Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki
ginkang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.
Thay Hok
Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain permainan senjata rantai
bajanya berbahaya sekali, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan.
Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biar pun kurus kering, akan tetapi
tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya.
Dan yang
lebih dari pada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat,
penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya
sekali.
Sebetulnya
jika dibuat perbandingan, tingkat kepandaian mereka masing-masing hampir
seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andai kata mereka
itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorang pun dari para Lama
itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi,
kini mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam
Lojin dikeroyok. Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah
jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan.
Oleh karena
itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek
Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya
hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat,
membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari
Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka,
tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie
Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang sangat hebat ini. Anak berusia
tiga belas tahun ini semenjak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan
bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.
Matanya yang
tidak terlatih itu sukar untuk bisa mengikuti gerakan delapan orang kakek yang
sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh
delapan bayangan, tiga bayangan putih serta lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang
gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna
putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka
lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, dia pun tidak tahu siapa yang unggul
dan siapa pula yang terdesak.
Akan tetapi
satu hal yang dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu
adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian
merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada
tiga orang kakek berpakaian putih, walau pun dia tidak tahu bagaimana dia akan
dapat membantu mereka.
Saking
tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau ketiga orang
kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan
dirinya sendiri. Meski tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha
untuk mengobatinya, akan tetapi dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri
dan napasnya kadang-kadang sesak.
Pukulan yang
mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, sangatlah hebat.
Menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu, dia mengerti
bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari salah seorang
di antara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran
itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela
diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi
Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang berkelebatan, kini
dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia
pun terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri,
karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung,
masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie
Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan dia pun terjungkal dan
terguling-guling!
Tubuhnya
berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk
memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia
berhenti terguling-guling akibat tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang
tongkat butut!
Dia
membelalakkan matanya agar bisa memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang
kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya
jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas,
semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang
dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan
penuh tambalan pula.
Ketika
menengadah, Sie Liong melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang
kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang
sudah tidak bergigi lagi. Rambutnya riap-riapan berwarna putih, dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar aneh sekali.
Sie Liong
terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan
roboh. Maka dia pun lalu duduk saja bersila, tidak mempedulikan lagi apakah dia
akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh...!”
Kakek itu terkekeh geli.
Tongkat
bututnya lalu bergerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas
tanah mengelilingi Sie Liong. Lalu nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran
dengan garis tengah dua meter lebih.
“Engkau
tinggal saja di dalam ruangan ini. Siapa pun tak akan mampu mengganggumu, anak
bongkok!”
Sie Liong
mendongkol. Agaknya ia baru bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan
tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling
tadi dan dia pun tidak menjawab, hanya membuka mata menonton pertempuran yang
masih berjalan terus.
Agaknya
kakek gembel itu pun sekarang tidak mempedulikan dia, melainkan ikut pula
menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri
pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu
terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba saja Sie Liong merasa
kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah,
hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah. Akan tetapi sungguh sial, pada
saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong pun
basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu
tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludah pun memercik
keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong
makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan
bajunya, dan walau pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan
untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya
diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan dia pun
jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa
nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat
dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun
setiap kali pula kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar pun dia marah dan
mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apa lagi karena pertempuran
itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis
itu.
Memang telah
terjadi perubahan pada pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam
Lojin kewalahan juga dalam menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang
menggunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan
mereka.
Mereka
bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis
dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang sudah
kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring
keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang
kakek berpakaian putih itu terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang
putih. Darah!
Tiga orang
kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini
pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan mendadak seorang di antara
kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba
tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang
‘melanggar’ lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itu pun tordorong
keluar!
Pada saat
para anggota Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus,
tiga orang kakek berpakaian putih itu terus berlompatan. Agaknya mereka tidak
berani menginjak lingkaran!
Tidak
demikian dengan para pendeta Lama. Pada suatu ketika, ada dua orang yang tanpa
sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama.
Begitu
melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksasa itu memasuki
lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi
mendorong dan tubuh pendeta Lama itu pun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay
Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia pun terdorong keluar oleh
tongkat butut.
Keduanya
menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia
mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah
Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke
arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment