Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 15
Thai Yang
Suhu terkejut. Cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri,
kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati sebab biar pun pertarungan ini
hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin
saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat
membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.
Sementara
itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan dia pun
menyerang Pek Lan yang menyambut pula dengan pedangnya. Mereka pun bertanding
dengan seru, tapi tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang
tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertanding.
Thai Yang
Suhu segera mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi
Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah
lehernya, dia memutar tubuhnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan
pedang pinjaman itu untuk menangkis.
“Trangggg...!”
Terdengar
bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan... pedang di tangan pendeta dari
Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal
pedang prajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan
tajam.
Thai Yang
Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan dia pun melempar gagang pedangnya dan memberi
hormat kepada Bi Sian. “Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”
Pada saat
itu pula, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan ia pun melompat ke
belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. “Saudara sungguh gagah, membuat
kami kagum luar biasa. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik
dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai daerah lembah ini. Namaku Pek Lan dan
suhu ini adalah Thai Yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi
(anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar
melancong saja?”
Sebelum Bi
Sian sempat menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan telah
menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini
bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, tetapi
hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan mempunyai
julukan Pendekar Bongkok...!”
Bi Sian
memberi isyarat kepada sute-nya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena
sute-nya telah memperkenalkan nama mereka, bahkan juga menyebut nama Pendekar Bongkok.
Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan
tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.
“Aih,
kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat
ikatan yang amat kuat karena kami pun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh
besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk
bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”
Akan tetapi
Bi Sian mengerutkan alisnya. Biar pun Pek Lan dan Thai Yang Suhu telah
memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia
merasa tidak suka kepada mereka.
“Enci Pek
Lan,” kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut
adik kepadanya dan kepada Bi Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan
kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberi tahu
kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?”
Pertanyaan
ini berkenan di hati Bi Sian dan dia pun mengangguk, menyatakan setuju dengan
pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi
Pek Lan tersenyum manis sekali. “Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa,
mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama,
tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan.
Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi
untuk membagi semua rahasia, juga termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok
sekarang. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.”
Bong Gan
menoleh kepada suci-nya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia
berkata, “Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini
sudah berbaik hati hendak menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa
tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana
pendapatmu?”
Bi Sian
tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia lalu menyarungkan pedangnya
kembali.
Thai Yang
Suhu segera memberi hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh
sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, apa nama pedang pusaka itu, nona?”
Bi Sian
merasa sangat bangga dengan pedangnya. Ia pun menepuk gagang pedang di
pinggangnya dan menjawab, “Totiang, pedangku ini adalah Pek-lian-kiam
peninggalan ayahku.”
Makin
giranglah rasa hati Thai Yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut
menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu
Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya
saja. Bagaimana pun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!
Bong Gan dan
Bi Sian merasa kagum sekali pada saat memasuki gedung besar yang didirikan di
antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar
dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja saja layaknya.
Di
sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang
dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran
Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya karena sudah
memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu
sisa-sisa para prajurit anggota pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan
telah gagal itu.
Bong Gan dan
Bi Sian dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan amat ramah dan
hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa
gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.
“Harap ji-wi
jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil
tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman,
dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara.
“Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya.
Daerah ini sudah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang
saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya.”
“Apa yang
diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,” berkata Pek
Lan. “Betapa pun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim
Sim Lama, apa lagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah,
mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!”
Mereka makan
minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong
Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari
Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang
pemerintah Dalai Lama di Tibet.
Apa bila
diam-diam Bong Gan merasa sangat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang
dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu mau pun Thai Yang Suhu
dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin
melibatkan diri di dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah
menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
“Nona,
cicipilah masakan ini!” kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum
mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi
gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu.
“Ini adalah
masakan asli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi
tamu yang diagungkan!”
Bi Sian
tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan
bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
“Pangeran,
masakan ini terbuat dari apakah?” tanyanya, masih merasa ragu-ragu untuk
mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walau pun baunya sedap
dan masih mengepul panas.
“Bahan
masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di
dalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena
merupakan sumber kekuatan dari seekor binatang raksasa, maka masakan ini selain
lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan.
Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!”
Pangeran itu
mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan
menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan engkau juga, saudara Coa
Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”
Bong Gan
tersenyum. “Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci.
Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap
bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”
Bi Sian
semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan
hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
“Adik Yauw
Bi Sian, harap jangan sungkan atau pun ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta
Sing ini adalah seorang ahli obat sekaligus ahli memasak! Masakan sumsum tulang
punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiri pun sudah merasakan
khasiatnya!” kata Pek Lan.
“Siancai, memang
tepat sekali,” kata pula Thai Yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa
bagaikan muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang,
dan dapat memperkuat tenaga sinkang!”
Mendengar
ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan sekarang ia pun tidak
berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena dia dan Bong Gan
yang sedang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu
diperuntukkan bagi mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis!
Bi Sian
mulai merasa gembira. Ia merasa mendapat teman-teman yang menyenangkan. Maka ia
pun minum arak lebih banyak dari biasanya. Apa lagi arak yang disuguhkan itu
manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah
makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu sudah berubah
kemerahan dan bibirnya pun hampir tak pernah berhenti tersenyum manis. Akan
tetapi, ketika dia memegang kepalanya, kepala itu langsung terkulai ke atas meja.
Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.
“Suci, kau
kenapa...?” katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.
Bi Sian
mengangkat muka sambil tersenyum. Dari pandang matanya saja sudah jelas
menunjukkan bahwa dia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan
penuh gairah.
“Sute...
aku... ahhh, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...”
Pek Lan
memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik
Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar
kalian ke kamar kalian.”
Pek Lan
bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam
gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan
Thai Yang Suhu yang mengangguk-angguk puas. Tak percuma saja ia merupakan
seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius
yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan
Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan
membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah
tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada
Bong Gan dan pemuda ini mengerti.
“Nah, inilah
kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti
peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkau pun
telah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”
“Tapi, enci
Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci
saja, akan tetapi di mana kamarku?”
“Pangeran
hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, namun kurasa kamar ini
pun cukup besar, tempat tidurnya pun cukup luas untuk kalian berdua. Nah,
selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil
tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian
hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu
pening sehingga tidak peduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sute-nya.
“Aku... aku
pening... mau tidur...!” katanya.
Bi Sian
hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan
jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
“Marilah,
suci, mari kubantu engkau... aku pun agak pening... mari kita beristirahat...!”
Bong Gan
memapah tubuh suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu suci-nya berbaring.
Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya untuk melepaskan sepasang
sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan
sepatunya dilepaskan.
“Sute...
kenapa... kau di sini...? Aku mau tidur, pergilah...”
Akan tetapi
Bong Gan tidak mau tidur, bahkan dia lalu duduk di tepi pembaringan sambil
menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.
“Suci, kita
hanya mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”
Dengan mata
sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar sudah membakar
dirinya sehingga wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
“... kenapa
begitu... ahhh... sudahlah, aku mau tidur...”
Tiba-tiba Bi
Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai oleh tangan
orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dan membelai kedua pipi dan
dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.
“Sute...
jangan begitu...”
“Suci,
alangkah cantiknya engkau. Aihhh, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan
Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian
dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang sudah semakin dalam
menguasai dirinya. “Jangan, sute... jangan...” mulutnya mendesah, akan tetapi
kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.
Dan
terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan oleh Bong Gan. Dia
berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa
gadis itu menolak atau memberontak, bahkan di luar kesadarannya, gadis yang
diidamkan itu sudah membalas semua kemesraannya dengan penuh gairah. Akhirnya,
jauh lewat tengah malam, kedua saudara seperguruan ini tidur pulas kelelahan,
masih saling rangkul.
Pada
keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan
kepala dan tubuh Bi Sian, dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, bisa
dibayangkan betapa kagetnya Bi Sian melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur
berangkulan dengan sute-nya yang juga berbugil! Seketika terasalah olehnya
kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi!
Ia telah
melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar
merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, lalu meloncat turun dari
atas pembaringan.
Sekali
tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat
suci-nya sudah berpakaian dan kini sedang berdiri membelakanginya, dengan
pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
“Sute,
kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara suci-nya membentak dan dari nadanya jelas
bahwa suci-nya marah bukan main.
“Ehh...
kenapa kita... kenapa aku di sini... kenapa tidur di sini dan... ehh, apa yang
telah kita lakukan ini...?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan
gelisah.
“Cepat pakai
pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi.
Bong Gan
segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. “Sudah... sudah
kupakai, suci...”
Bi Sian
membalik dan sekali pedangnya menyambar, tahu-tahu telah menempel di leher Bong
Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
“Suci...
kenapa... kau hendak membunuhku...?”
“Coa Bong
Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang sudah kau lakukan terhadap diriku
selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kau lakukan? Keparat engkau!”
“Suci!
Apa... apa yang telah kulakukan...? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang
kita lakukan! Aku... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa
hal ini bisa terjadi pada kita...,” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “...
suci, sayup-sayup aku teringat... bukankah engkau pun... ehh, mendukung
terjadinya peristiwa itu semalam...?”
Wajah yang
cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari sepasang matanya mengalir
beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong
Gan.
“Aku... aku
berada di dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin
sekali. Dan kau... kau menggunakan kesempatan itu untuk... untuk...”
“Suci,
engkau sungguh-sungguh tidak adil! Apa bila aku sejahat itu, tanpa perlu
menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau
engkau bisa terbius, kenapa aku tidak? Aku pun sama saja seperti keadaanmu,
suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dan dalam keadaan setengah sadar seperti
dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku bila
keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku... ehhh,
cinta padamu, suci...”
“Jangan
sentuh aku!” Bi Sian membentak ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh
lengannya.
Ia pun kini
menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sute-nya tidak bersalah.
Sute-nya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua
gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
“Hemm,
perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan dia pun melompat ke arah pintu,
mendorong daun pintu dan berlari keluar.
“Suci...!”
Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang.
Akan tetapi
Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia
melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu,
Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik sekali, sudah mandi dan mengenakan pakaian
bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan
wajahnya berseri.
“Ah, ji-wi
(kalian) sudah bangun? Selamat pagi...!” katanya dengan suara merdu dan
gembira.
“Manusia
jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian dengan pedang
melintang di depan dada.
Pek Lan
terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?”
Bi Sian
menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi.
Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”
“Tapi...
tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini
terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik
terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi
keterangan.
Bong Gan
segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin
kami kau undang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua... kemudian
kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga... kami melakukan
pelanggaran...”
Bi Sian
memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Pek Lan, engkau sudah menipu
kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia
sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.
“Nanti dulu,
kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang
bukan-bukan padaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai Yang Suhu juga hanya
merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan
itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan
hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar
kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang ke
dalam makanan dan minuman kalian bukan kami.”
“Maranta
Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin,
Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian
termenung, lalu dia pun mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek
Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya
dan...”
Pek Lan
menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam
kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingatlah, bahwa kita sekarang sedang
berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang prajurit Nepal! Mari,
mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia
mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ.
Terpaksa Bi
Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan dia pun mengikuti Pek Lan masuk
ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga
mewah dan perabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi
Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah
mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan,
menghadapi mereka. “Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan
makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia
sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu
agung yang dihormati.”
Dua orang
kakak beradik seperguruan itu terbelalak, kemudian mereka saling pandang dengan
penuh keheranan. “Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan.
“Bagaimana
mungkin kami dapat percaya soal itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada
kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu
penghormatan? Mustahil...”
“Aku tidak
percaya!” Bi Sian juga berseru.
Pek Lan
tersenyum. “Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula
kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis.
Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan
langka yang luar biasa, dan memang makanan itu mengandung daya rangsangan yang
kuat. Biasanya hidangan ini hanya diberikan kepada sepasang pengantin keluarga
raja saja! Dan anggur merah itu pun amat keras, hanya bekerjanya amat halus
seperti obat bius. Akan tetapi keduanya juga merupakan hidangan-hidangan yang
mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”
“Akan
tetapi, kalau pangeran itu sudah tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu,
mengapa dia tetap menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa
maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”
Pek Lan
menggelengkan kepalanya. “Sama sekali dia tak bermaksud menghina kalian. Karena
kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia
menganggap bahwa tentu kalian berdua memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian
dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran,
sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”
“Akan tetapi
dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru.
“Kami belum menikah...!”
“Itu menurut
pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau
ada seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama
berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah
sepasang suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Oleh karena itu,
adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk.
Pula semua itu sudah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk
menjadi jodoh masing-masing. Apa bila memang kalian saling mencinta, apa
salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”
“Tidak!
Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat dicuci
dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau
mencarinya!” Bi Sian berteriak. Ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang
pedangnya.
“Sabar dan
ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak memiliki niat jahat menurut
pendapatnya, bahkan ingin berbuat untuk menyenangkan tamu, juga kita berada di
sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang
prajurit Nepal? Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”
“Aku tidak
peduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting dari pada nyawa!” Bi
Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan
nasibnya yang telah menderita aib.
“Suci...
ahhh, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di
tengah-tengah benteng mereka, kita tak mungkin mampu melawan mereka...” Bong
Gan berkata.
Tiba-tiba Bi
Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. “Sute!
Engkau masih berani berkata demikian? Engkau takut mati?! Huh, enak saja
engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak akan dapat merasakan
penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau
engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”
Melihat
sikap suci-nya itu, mendadak saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan
suci-nya sambil menangis!
“Suci, semua
ini akulah yang bersalah! Aku sudah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu.
Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku
sudah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali.
Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, juga satu-satunya orang yang
sudah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta
sepenuh jiwa ragaku dan sekarang... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci,
kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat
penderitaanmu.”
“Sute,
cukup...!” Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
Melihat ini,
Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil dengan baik, maka dia pun lalu
memperkuat tangisnya. “Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup jika melihat
engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar
aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku supaya rasa penaaaran di hatimu
berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci...!”
Bong Gan
menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, kemudian mencabutnya dan
menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua hal ini sudah
diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka.
Pek Lan
diam-diam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andai kata Bi
Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur
sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri
itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi,
permainan sandiwara itu ternyata berhasil pula mengelabui mata Bi Sian. Melihat
kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius
dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sute-nya
yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi
mukanya sambil menangis.
“Suci, kalau
engkau tak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku
membunuh diri?” ratapnya.
Bi Sian
tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya bagaikan ditusuk-tusuk
rasanya. Ia memang suka sekali pada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada
peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati.
Ia pun tahu
bahwa sute-nya amat mencintanya dan kini, sute-nya telah memperlihatkan
perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah
kemarahannya.
Bagaimana
pun juga, yang menodai dirinya adalah sute-nya sendiri, orang yang amat
mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini,
setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti bahwa pemuda ini
akan menjadi suaminya kelak.
“Aih, betapa
mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta di
antara kalian, terutama sekali apa yang sudah dibuktikan oleh adik Bong Gan.
Sungguh, dia mencintamu dan biar pun dia itu sute-mu, akan tetapi aku melihat
bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok sekali untuk menjadi suami
isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama.
Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam
waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”
Bong Gan
sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari para anak
buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan
seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
“Jangan
main-main, enci!” berkata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau
bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu apa bila benar kalian dapat menemukan
Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”
Pek Lan
tersenyum manis. Tentu saja dia berani bertanggung jawab karena dia sudah
mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok sudah menjadi tawanan Kim
Sim Lama!
“Aku
tanggung. Bahkan aku pun berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan
Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”
Bi Sian
memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. “Sute,
bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tak
dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah lalu. Baiklah,
kini tidak mungkin lagi aku dapat menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku
bersedia menjadl isterimu...”
“Suci!
Terima kasih...!” Bong Gan berseru gembira walau pun mukanya masih basah air
mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
“Hemm, sudah
sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak,
bila kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita melangsungkan
pernikahan. Akan tetapi sebelum itu, engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”
“Baik...
baik...” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan
pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu
Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”
Wajah Bi
Sian menjadi kemerahan, akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak
diperpanjang, ia pun mengangguk.
Melihat ini,
Pek Lan girang bukan main. Ia pun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian
sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”
Biar pun
wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu
sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan
juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan hanya sebagai
basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada
Pek Lan.
Pek lan yang
telah mengatur semuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian. Dia
pun berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan
semesra mungkin.
“Nah,
marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi
(kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan
nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”
Bi Sian
merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit lagi dari Pangeran Maranta Sing,
karena biar pun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu
dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, tetapi tetap saja kalau ia
bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya.
Mereka
berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai Yang Suhu datang
menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di
lereng bukit dekat telaga Yam-so.
Mereka
menunggang empat ekor kuda. Di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat
indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang
dianggapnya sebagai mala petaka. Dia mulai dapat menerima kenyataan itu dan
menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan
maka terjadi peristiwa memalukan itu.
Tak sedikit
pun pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil
rencana siasat yang sudah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai
Yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing….
Sie Liong
duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena
naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti
itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.
Sudah hampir
satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya.
Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya
menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sinkang-nya, atau kalau dia mencoba
untuk mengerahkan tenaga, dadanya terasa seperti ditusuk. Pernah dia mencoba
untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang
penjaga langsung datang menghadangnya.
“Hei, engkau
tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk
kembali. Makanan dan minuman untukmu akan kami antar dari luar, dan kalau
engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga
kami kawal!”
Sie Liong
tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya
dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar
yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang,
menjaga di luar pintu kamar itu.
Dia sudah
mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar,
seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau
keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada
penjaga.
“Tidak
boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”
Sie Liong
tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia
adalah seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak
lembut dan tidak suka berkelahi, maka biar pun dia merasa tidak senang dengan
cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku
tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku pun tidak mempunyai urusan
dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,”
katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
“Tidak boleh
keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat
hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.
Biar pun Sie
Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan
otomatis tenaga sinkang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan
tetapi, begitu tenaga sinkang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa
sangat nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu
mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, dia pun terjengkang dan
jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha,
jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi aku bukan hanya
mendorong, melainkan memukulmu!”
Sie Liong
tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada
dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak
mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri.
Maka, dia pun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan
hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat
penghilang ingatan yang sudah dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok
Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong
akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya?
Selain racun
penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang
membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sinkang, dan
kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan!
Sambil duduk
bersila, otak Sie Liong bekerja. Dia berusaha mengingat segala sesuatu.
Pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar
Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya
Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama.
Hanya itu
yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun
penghilang ingatan itu sudah hilang, barulah dia akan dapat mengingat
seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi,
pada hari itu, datanglah Thai Yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang
hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu.
Bi Sian dan
Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa,
kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang untuk bersembahyang. Ketika
mereka diajak masuk ke belakang kuil, melewati pintu yang terjaga oleh para
pendeta Lama, baru mereka tahu bahwa ternyata pusat Kim-sim-pang berada di
belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama
gembira sekali manerima dua orang tamunya, apa lagi ketika mendengar laporan
Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki
kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah terlebih dahulu menggabungkan diri
dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai Yang Suhu.
“Omitohud...”
Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian),
dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak
akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim
Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai Yang
Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar
ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. “Maaf, losuhu. Kami berdua datang dan
menerima penawaran dari enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan
imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan
cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya losuhu ketahui bahwa
adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh
besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan pada mereka bahwa kita
akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai imbalannya, mereka
akan membantu perjuangan kita.”
Kim Sim Lama
tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang
di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang sangat baik untuk
ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberi tahukan kepada ji-wi mengenai Pendekar
Bongkok?”
Bi Sian
menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala.
Pek Lan
tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang
tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar
Bongkok sudah tertawan oleh losuhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”
Mendengar
ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ahh, benarkah itu? Kalau begitu, mari
kita menemuinya, Sian-moi!”
“Nanti dulu,
aku masih belum percaya benar bahwa dia sudah tertawan di sini. Bagai mana
demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Dia masih belum
percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
“Omitohud...
Nona terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan
Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan
Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai Yang Suhu menuju ke bagian
belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim
Lama tersenyum.
“Nah, kalian
berdua lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan
Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh
beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang pria bongkok
yang bukan lain adalah Sie Liong!
“Tidak
mungkin...” Bi Sian berkata lirih ketika melihat Sie Liong yang katanya ditahan
itu hanya ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang
pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu... begitu... jinak?”
“Ha-ha-ha,
tak perlu heran, nona. Dia telah kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan
tenaganya. Dia kini menjadi seorang yang lemah, ha-ha-ha!” Kim Sim Lama
tertawa.
Mendengar
ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada
Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu.
Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau
Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw
Sun Kok, bukan Sie Liong.
Kini,
mendengar bahwa pendekar itu sudah kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, ia
melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang
golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik
seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie
Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang
dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar
tahanan melalui pintu terbuka.
Mendengar
teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong membuka mata. Dia amat terkejut
melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak
diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya!
Gerakan
orang itu demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk
menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong lalu mengangkat lengan
kirinya untuk menangkis.
“Jangan
bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.
Namun
terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan
bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
“Crokkkk!”
Lengan kiri
yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sinkang, mana mungkin
kuat menahan golok besar yang sangat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di
atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai...
Sie Liong
terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya
yang buntung dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya dia pun roboh pingsan di atas
pembaringan.
Bong Gan
hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik
itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah
lengan kanan Bong Gan.
“Tranggg...!”
Golok yang
berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri
lengannya dan terkejut sekali.
“Aih, adik
Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan
dia hidup-hidup!” tegur Pek Lan.
Sementara
itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah
pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak
melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini
nampak gelisah.
Di dalam
hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong
Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan
tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat
perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama
menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran
keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil
seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah
petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar
matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimana
pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak
menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan
ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan
saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika
melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak
dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama
menyeringai. “Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu
sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus
dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya
dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena
Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi
banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.
“Untung
bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng
untuk memaafkannya.”
Penjaga yang
diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi
dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan
pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa
terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
“Camundi
Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin
melihat dia cepat-cepat mati.”
Pendeta tua
itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya.
Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
“Dia sudah
kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia
membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar
ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah
itu supaya dibersihkan.”
Kim Sim Lama
mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi
Lama, tabib kita yang pandai.”
Dan kepada
para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan
percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi
meninggalkan kamar itu.
Pek Lan
memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai
Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke
dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.
Di dalam
kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli.
Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai
kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan,
mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi
dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil
menemukan Pendekar Bongkok.
“Adik Bong
Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka
bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama
tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi
keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong
Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena
merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan
kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan
pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa
hatinya tidak senang.
“Demikian
lihaikah Kim Sim Lama itu?” Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan
memandang rendah.
Pek Lan
tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya
itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia
pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm,
biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan
menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri
pun kita akan kalah.”
“Ahh,
demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian
melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak
lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau
yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh,
Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi
engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”
Bi Sian
bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang.
Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam,
tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”
“Sian-moi,
engkau tidak adil...”
“Sudahlah,
untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan
bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim
Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”
“Kenapa,
enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.
Ia mulai
merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa
lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya
bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih
sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
“Kim Sim
Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar
Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan
bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.”
“Kenapa
begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa
tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan
tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang
kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini.
Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama
masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani
oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin
besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai
Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya.
Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya
tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim
Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang
kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu
perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau
begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai
Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan
perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi,
apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama
menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh
Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar
Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang
pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar
Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka
dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa
Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama
yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk
bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi
dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan
main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan.
Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu,
maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini.
Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”
Mendengar
keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas
baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah
guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan
seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala
petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu
dendamnya kepada pamannya itu.
“Aihhh,
paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek
Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana
pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?” tanya Bong Gan.
Kali ini
suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu
terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum
yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul
kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat
bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena
dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan
yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin
sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu.
Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam
keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan
main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya
dan ingin sekali membunuhnya!
“Hal itu
masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan
ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka
aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita
harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran
yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan.”
Akan tetapi
Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu
terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap
dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.
Akan tetapi,
diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin
tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati
dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap
Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya,
yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan
mendongkol juga.
Memang sejak
terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan
perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani
menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian
biasa dan baik, tidak seperti malam ini.
Kalau siang
tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang
menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya
dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring
menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya
menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh
Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh
kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian
menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius
sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati
perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah
dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi
Sian.
“Sian-moi...”
panggilnya lirih.
Tubuh itu
tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi...”
kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan,
menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini
Bi Sian melirik. “Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi,
masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku,
Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung
hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
“Sudahlah,
jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi,
jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi...
perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja,
Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian
bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji?
Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan
terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku
memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang
khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku
setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak
akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita
menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita
melangsungkan pernikahan.”
“Tapi,
Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan
bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...” Pemuda itu masih
memohon.
“Sudahlah,
kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan
menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan
telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong
belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah
soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh
wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh
mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.
Sambil
menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal,
“Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih
baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari
kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi
Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia
mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan
suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu
menimbulkan kecurigaan hatinya.
Dia khawatir
kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong.
Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia
akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh
ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie
Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie
Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan
dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas
pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu
dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu
untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan
lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik
tikungan itu.
Bi Sian
menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam
perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak
marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan
kini.
Namun dia
mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon
suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu
orang berani berjinah dengan wanita lain!
Tadinya, ada
dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera
timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu
kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya,
melamun.
Tidak! Tidak
mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi
suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia
telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun
membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia
menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali
ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan
menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia
mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata.
Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi.
Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini
memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.
Dan
peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun
yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri
kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada
pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.
Agaknya ada
sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah
berjalan lama di luar pengetahuannya!
Bagaimana
juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan!
Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa
malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh
alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air
mata.
Sungguh
aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun
menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata
yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini,
sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa
ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas,
dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi
dengan mulut tersenyum manis….
“Omitohud...!
Orang muda yang malang...,” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia
mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.
Camundi Lama
adalah seorang pendeta yang umurnya kurang lebih enam puluh lima tahun,
bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang
amat pandai di Tibet dan dia sama sekali tidak termasuk seorang pendeta yang
ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada
di sana adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk
bekerja di situ.
Oleh karena
dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanyalah menjadi tabib
untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan
menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan
keras dan jahat yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, akan tetapi
dia tidak mau ikut-ikutan dan pura-pura tidak tahu saja.
Akan tetapi,
ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam
hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat,
bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat
yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri!
Dia merasa
kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak
berdaya. Selain darahnya keracunan sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga,
juga dia sudah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung
lengan kirinya!
“Kasihan,
sungguh orang muda yang malang...,” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu
berbisik.
Sie Liong
membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh
racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Biar pun dia belum bisa
mengingat semua peristiwa yang lalu, akan tetapi dia mulai dapat mengingat apa
yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
“Ling
Ling... di mana Ling Ling...”
Camundi Lama
membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata
itu sudah agak jernih, pikirnya.
“Siapakah
Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie
Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang
mengobatinya.
“Ahh, Ling
Ling...? Dia... dia… aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya
dan... ahhh, sudahlah, aku tidak ingat lagi...”
Pendeta Lama
itu semakin iba. “Omitohud... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib
malang.”
Sie Liong
yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman
untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan ia juga teringat bahwa
buntungnya lengan kirinya itu adalah diakibatkan dia menangkis bacokan golok
seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak
bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah dia pun bangkit duduk
bersila.
“Ah? Tidak?
Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata
Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja,
seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak
berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong
memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung, kemudian dia pun
tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan,
losuhu? Lengan itu tak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya
merupakan satu di antara perabot-perabot perlengkapan badan saja.”
“Omitohud...!
Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku)
mendengarnya, akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori
belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan
engkau masih dapat bersikap setenang dan senyaman ini! Orang muda, engkau bukan
hanya kehilangan lengan kirimu, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga
kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau kini tidak berdaya
sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang
tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong
menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua
penderitaan yang sudah dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan
baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa
sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat
pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini mati pun tidak perlu
disesalkan, kenapa baru kehilangan yang sedikit itu mesti dibuat berduka?
Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian
menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud...
semoga Sang Buddha memberikan penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda,
ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau bisa menerima
segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada
ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih,
menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apa pun yang terjadi atas
diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tiada penyesalan apa pun, yang ada
hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala
kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba
kakek itu tersedu dan tangannya merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air
mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang
muda, pinceng harus banyak belajar darimu... jangan khawatir, pinceng akan
mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan
lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi yang sangat berbahaya adalah racun di
dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan
sinkang. Namun akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini
dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk
mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar
racun di tubuhmu.”
Dengan taat
Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek
itu mulai sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang
berada dalam darah Sie Liong.
Mendadak
terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para
pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan
ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet
Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak
pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari
luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie
Liong tempo hari.
Melihat
munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang
yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim
Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim
Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang memang pantas dia hormati.
“Bagaimana
keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.
Kim Sim Lama
melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak
memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh
tabib itu.
“Sudah
hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba
tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong.
Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada,
dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu pundaknya terkena totokan jari tangan
Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh?
Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie
Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi
Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan
kecurigaan kalau membawa jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa.
Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di
Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Engkau tidak
perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan
tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama
menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu!
Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya,
maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua
ini demi berhasilnya perjuangan kita!”
Melihat
sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya
dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani
menentang kehendak Kim Sim Lama.
Dia sama
sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak!
Akan tetapi, dia dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh
seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai
dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tak
berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai
Lama itu.
Empat orang
pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim
Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu
ditutup.
“Supaya
tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata
Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.
Kim Sim Lama
memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti
itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga
peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan pula belasan orang
pendeta yang membaca doa.
Di antara
mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi
Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai,
maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan
ada seorang pun yang menaruh curiga.
Karena
orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang
anggota Kim-sim-pang, maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat
pun tidak berani. Biar pun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa
Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan
terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa
Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan
perkumpulan ini menentang pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.
Peti mati
itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada
yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam
merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok
itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.
Tadi dia
hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih
pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama
bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau
sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak
dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi,
lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan
itu.
Camundi Lama
memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti
mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara
tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.
“Tabung ini
untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang
dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang
mengerjakan penguburan itu.
Mereka semua
tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang
selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal,
Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong
mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman
maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu
sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera
teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah
menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa
anehnya?
Tidak ada
yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau
kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang
timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bekerja adalah
kekuasaan-Nya!
Teringat
akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh
harapan.
Para pendeta
Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan
baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai
beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para
pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian,
Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan
pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara
bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim
Lama…..
**********
Sebelum peti
mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong
Gan.
“Dia sudah
mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek
Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.
Akan tetapi
Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak
malam hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya
itu.
“Pendekar
Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa...?!”
Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak
pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan
suara agak gemetar.
Melihat ini,
teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,
”Sian-moi? Kalau dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat
dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup
mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas
di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini
kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi...!”
Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan
dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia
pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini,
perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan
tertawa dan balas merangkul.
Sementara
itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu
berada di dalam ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat
ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama
sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima orang
pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.
Dengan sikap
gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di
situ, maka ia pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu,
maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa
losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap
tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet
Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para
pembantunya untuk tetap tenang.
Kim Sim Lama
pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita
bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari
kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan
semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya
bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw,
jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya
hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja
ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah
sedemikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh
ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku
yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin
membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona,
dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi
musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami
juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar
Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang
kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona
membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima
kasih sekali pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas
jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau
membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu
hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada Pendekar Bongkok,
melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia
memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh
sendiri dengan tanganku...”
Pada saat
itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci
Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok
ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata
mencorong sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya
lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet
Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Dia tidak tahu bahwa
sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan
tenaga dan kini mulai menguasainya.
“Aku... aku
membenci Pendekar Bongkok...”
Jawaban Bi
Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan
tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara
hatinya! Dia sendiri memang percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa
tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya! Dia memaksa diri sendiri untuk
membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau
begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan
membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi
juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama
memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan
dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia
mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih...”
“Nona Yauw
Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti
menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima
kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan
membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.
“Nona,
engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar
suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian
menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta
Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju
sekali dan ia pun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan
mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu
tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat,
karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama,
Tibet Ngo-houw, dan Thai Yang suhu.
“Nah,
sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian
mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke
kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang
menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati
Kim Sim Lama...”
Bi Sian
menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan
pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak
peduli. Dia masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan
mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan
membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bong Gan dan
Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng
tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu
dengan kembalinya Bi Sian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment