Sunday, May 20, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Bongkok Jilid 15



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Pendekar Bongkok
                  Jilid 15


Thai Yang Suhu terkejut. Cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati sebab biar pun pertarungan ini hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.

Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan dia pun menyerang Pek Lan yang menyambut pula dengan pedangnya. Mereka pun bertanding dengan seru, tapi tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertanding.

Thai Yang Suhu segera mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.

“Trangggg...!”

Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan... pedang di tangan pendeta dari Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang prajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.

Thai Yang Suhu berseru. “Lihai sekali!” dan dia pun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. “Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!”

Pada saat itu pula, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan ia pun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. “Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum luar biasa. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai daerah lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai Yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?”

Sebelum Bi Sian sempat menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan telah menjawab, “Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, tetapi hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan mempunyai julukan Pendekar Bongkok...!”

Bi Sian memberi isyarat kepada sute-nya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sute-nya telah memperkenalkan nama mereka, bahkan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.

“Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang amat kuat karena kami pun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!”

Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biar pun Pek Lan dan Thai Yang Suhu telah memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.

“Enci Pek Lan,” kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, “Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberi tahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?”

Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan dia pun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.

Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. “Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, juga termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok sekarang. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi.”

Bong Gan menoleh kepada suci-nya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, “Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati hendak menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?”

Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia lalu menyarungkan pedangnya kembali.

Thai Yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. “Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, apa nama pedang pusaka itu, nona?”

Bi Sian merasa sangat bangga dengan pedangnya. Ia pun menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, “Totiang, pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku.”

Makin giranglah rasa hati Thai Yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimana pun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!

Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali pada saat memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja saja layaknya.

Di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya karena sudah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para prajurit anggota pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.

Bong Gan dan Bi Sian dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan amat ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya.

“Harap ji-wi jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok,” kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman, dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. “Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini sudah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya.”

“Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik,” berkata Pek Lan. “Betapa pun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apa lagi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!”

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemerintah Dalai Lama di Tibet.

Apa bila diam-diam Bong Gan merasa sangat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu mau pun Thai Yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri di dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!

“Nona, cicipilah masakan ini!” kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu.

“Ini adalah masakan asli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!”

Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!

“Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?” tanyanya, masih merasa ragu-ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walau pun baunya sedap dan masih mengepul panas.

“Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan dari seekor binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!”

Pangeran itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian. “Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini.”

Bong Gan tersenyum. “Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!”

Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!

“Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan atau pun ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat sekaligus ahli memasak! Masakan sumsum tulang punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiri pun sudah merasakan khasiatnya!” kata Pek Lan.

“Siancai, memang tepat sekali,” kata pula Thai Yang Suhu. “Pinto yang makan masakan itu merasa bagaikan muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sinkang!”

Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan sekarang ia pun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena dia dan Bong Gan yang sedang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan bagi mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis!

Bi Sian mulai merasa gembira. Ia merasa mendapat teman-teman yang menyenangkan. Maka ia pun minum arak lebih banyak dari biasanya. Apa lagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.

Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu sudah berubah kemerahan dan bibirnya pun hampir tak pernah berhenti tersenyum manis. Akan tetapi, ketika dia memegang kepalanya, kepala itu langsung terkulai ke atas meja. Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.

“Suci, kau kenapa...?” katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.

Bi Sian mengangkat muka sambil tersenyum. Dari pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.

“Sute... aku... ahhh, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...”

Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, “Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”

Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai Yang Suhu yang mengangguk-angguk puas. Tak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!

Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.

“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkau pun telah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”

“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”

“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, namun kurasa kamar ini pun cukup besar, tempat tidurnya pun cukup luas untuk kalian berdua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.

Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak peduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sute-nya.

“Aku... aku pening... mau tidur...!” katanya.

Bi Sian hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.

“Marilah, suci, mari kubantu engkau... aku pun agak pening... mari kita beristirahat...!”

Bong Gan memapah tubuh suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu suci-nya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya untuk melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.

“Sute... kenapa... kau di sini...? Aku mau tidur, pergilah...”

Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan dia lalu duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.

“Suci, kita hanya mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”

Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar sudah membakar dirinya sehingga wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.

“... kenapa begitu... ahhh... sudahlah, aku mau tidur...”

Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai oleh tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dan membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.

“Sute... jangan begitu...”

“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aihhh, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.

Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang sudah semakin dalam menguasai dirinya. “Jangan, sute... jangan...” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.

Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan oleh Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan di luar kesadarannya, gadis yang diidamkan itu sudah membalas semua kemesraannya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, kedua saudara seperguruan ini tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.

Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian, dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, bisa dibayangkan betapa kagetnya Bi Sian melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sute-nya yang juga berbugil! Seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi!

Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, lalu meloncat turun dari atas pembaringan.

Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat suci-nya sudah berpakaian dan kini sedang berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.

“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara suci-nya membentak dan dari nadanya jelas bahwa suci-nya marah bukan main.

“Ehh... kenapa kita... kenapa aku di sini... kenapa tidur di sini dan... ehh, apa yang telah kita lakukan ini...?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.

“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi.

Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. “Sudah... sudah kupakai, suci...”

Bi Sian membalik dan sekali pedangnya menyambar, tahu-tahu telah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.

“Suci... kenapa... kau hendak membunuhku...?”

“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang sudah kau lakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kau lakukan? Keparat engkau!”

“Suci! Apa... apa yang telah kulakukan...? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita...,” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “... suci, sayup-sayup aku teringat... bukankah engkau pun... ehh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam...?”

Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari sepasang matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.

“Aku... aku berada di dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau... kau menggunakan kesempatan itu untuk... untuk...”

“Suci, engkau sungguh-sungguh tidak adil! Apa bila aku sejahat itu, tanpa perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau bisa terbius, kenapa aku tidak? Aku pun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dan dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku bila keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku... ehhh, cinta padamu, suci...”

“Jangan sentuh aku!” Bi Sian membentak ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya.

Ia pun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sute-nya tidak bersalah. Sute-nya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!

“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan dia pun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.

“Suci...!” Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang.

Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik sekali, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.

“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi...!” katanya dengan suara merdu dan gembira.

“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.

Pek Lan terbelalak. “Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?”

Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. “Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”

“Tapi... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.

Bong Gan segera berkata, “Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kau undang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua... kemudian kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga... kami melakukan pelanggaran...”

Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Pek Lan, engkau sudah menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.

“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan padaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai Yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang ke dalam makanan dan minuman kalian bukan kami.”

“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.

Bi Sian termenung, lalu dia pun mengangguk-angguk, dan berkata, “Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan...”

Pek Lan menggeleng kepala. “Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingatlah, bahwa kita sekarang sedang berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang prajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ.

Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan dia pun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan perabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.

Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. “Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”

Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, kemudian mereka saling pandang dengan penuh keheranan. “Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan.

“Bagaimana mungkin kami dapat percaya soal itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil...”

“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.

Pek Lan tersenyum. “Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung beruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan memang makanan itu mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini hanya diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itu pun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya juga merupakan hidangan-hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”


“Akan tetapi, kalau pangeran itu sudah tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia tetap menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”

Pek Lan menggelengkan kepalanya. “Sama sekali dia tak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian berdua memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”

“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah...!”

“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau ada seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Oleh karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk. Pula semua itu sudah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Apa bila memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”

“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat dicuci dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak. Ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.

“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak memiliki niat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat untuk menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang prajurit Nepal? Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”

“Aku tidak peduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting dari pada nyawa!” Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.

“Suci... ahhh, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah-tengah benteng mereka, kita tak mungkin mampu melawan mereka...” Bong Gan berkata.

Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. “Sute! Engkau masih berani berkata demikian? Engkau takut mati?! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak akan dapat merasakan penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”

Melihat sikap suci-nya itu, mendadak saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis!

“Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku sudah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku sudah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, juga satu-satunya orang yang sudah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.”

“Sute, cukup...!” Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil dengan baik, maka dia pun lalu memperkuat tangisnya. “Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup jika melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku supaya rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci...!”

Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, kemudian mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua hal ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka.

Pek Lan diam-diam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andai kata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.

Akan tetapi, permainan sandiwara itu ternyata berhasil pula mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sute-nya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.

“Suci, kalau engkau tak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya.

Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali pada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati.

Ia pun tahu bahwa sute-nya amat mencintanya dan kini, sute-nya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya.

Bagaimana pun juga, yang menodai dirinya adalah sute-nya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti bahwa pemuda ini akan menjadi suaminya kelak.

“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta di antara kalian, terutama sekali apa yang sudah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biar pun dia itu sute-mu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok sekali untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”

Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari para anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!

“Jangan main-main, enci!” berkata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu apa bila benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”

Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja dia berani bertanggung jawab karena dia sudah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok sudah menjadi tawanan Kim Sim Lama!

“Aku tanggung. Bahkan aku pun berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”

Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. “Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Thian. Aku tak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku dapat menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu...”

“Suci! Terima kasih...!” Bong Gan berseru gembira walau pun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.

“Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, bila kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita melangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itu, engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”

“Baik... baik...” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”

Wajah Bi Sian menjadi kemerahan, akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, ia pun mengangguk.

Melihat ini, Pek Lan girang bukan main. Ia pun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, “Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”

Biar pun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan hanya sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan.

Pek lan yang telah mengatur semuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian. Dia pun berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.

“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”

Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit lagi dari Pangeran Maranta Sing, karena biar pun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, tetapi tetap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya.

Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai Yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so.

Mereka menunggang empat ekor kuda. Di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai mala petaka. Dia mulai dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu.

Tak sedikit pun pernah terlintas di dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang sudah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai Yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing….


Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.

Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sinkang-nya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya terasa seperti ditusuk. Pernah dia mencoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga langsung datang menghadangnya.

“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman untukmu akan kami antar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”

Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menjaga di luar pintu kamar itu.

Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.

“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.

“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”

Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biar pun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.

“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku pun tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.

“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.

Biar pun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sinkang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sinkang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa sangat nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, dia pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.

“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi aku bukan hanya mendorong, melainkan memukulmu!”

Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, dia pun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.

Obat penghilang ingatan yang sudah dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya?

Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sinkang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan!

Sambil duduk bersila, otak Sie Liong bekerja. Dia berusaha mengingat segala sesuatu. Pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama.

Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, barulah dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.

Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai Yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu.

Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang untuk bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melewati pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, baru mereka tahu bahwa ternyata pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.

Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apa lagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai Yang Suhu.

“Omitohud...” Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai Yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.

Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. “Maaf, losuhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran dari enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”

Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya losuhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan pada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai imbalannya, mereka akan membantu perjuangan kita.”

Kim Sim Lama tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang sangat baik untuk ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberi tahukan kepada ji-wi mengenai Pendekar Bongkok?”

Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala.

Pek Lan tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh losuhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”

Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ahh, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!”

“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia sudah tertawan di sini. Bagai mana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Dia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.

“Omitohud... Nona terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”

Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai Yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.

“Nah, kalian berdua lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”

Bong Gan dan Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang pria bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!

“Tidak mungkin...” Bi Sian berkata lirih ketika melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu hanya ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu... begitu... jinak?”

“Ha-ha-ha, tak perlu heran, nona. Dia telah kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia kini menjadi seorang yang lemah, ha-ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.

Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong.

Kini, mendengar bahwa pendekar itu sudah kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, ia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.

“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.

Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong membuka mata. Dia amat terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya!

Gerakan orang itu demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong lalu mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.

“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.

Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.

“Crokkkk!”

Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sinkang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang sangat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai...

Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya dia pun roboh pingsan di atas pembaringan.

Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.

“Tranggg...!”

Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.

“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup-hidup!” tegur Pek Lan.


                  
cerita silat karya kho ping hoo


Sementara itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah.

Di dalam hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.

Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.

Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”

“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”

Kim Sim Lama menyeringai. “Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”

Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.

“Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”

Penjaga yang diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.

“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin melihat dia cepat-cepat mati.”

Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.

“Dia sudah kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah itu supaya dibersihkan.”

Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.”

Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi meninggalkan kamar itu.

Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.

Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.

“Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”

Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.

“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan memandang rendah.

Pek Lan tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri pun kita akan kalah.”

“Ahh, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.

Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”

“Aihh, Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”

Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”

“Sian-moi, engkau tidak adil...”

“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”

“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.

Ia mulai merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!

“Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.”

“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.

Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu perjuangan Kim Sim Lama.”

“Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.

“Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.”

“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.

“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”

Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.

“Aihhh, paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”

“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?” tanya Bong Gan.

Kali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!

Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!

“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan.”

Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.

Akan tetapi, diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.

Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini.

Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.

Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi Sian.

“Sian-moi...” panggilnya lirih.

Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.

“Sian-moi...” kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.

Sekali ini Bi Sian melirik. “Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”

“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...”

“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”

“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”

Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!”

Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”

“Aku tidak akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita melangsungkan pernikahan.”

“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...” Pemuda itu masih memohon.

“Sudahlah, kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”

Bong Gan telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.

Sambil menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal, “Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.

Tadinya Bi Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu menimbulkan kecurigaan hatinya.

Dia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.

Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.

Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan kini.

Namun dia mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjinah dengan wanita lain!

Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya, melamun.

Tidak! Tidak mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.

“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”

Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!

Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.

Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.

Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya!

Bagaimana juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air mata.

Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!

Kini, sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi dengan mulut tersenyum manis….

“Omitohud...! Orang muda yang malang...,” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.

Camundi Lama adalah seorang pendeta yang umurnya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali tidak termasuk seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di sana adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.

Oleh karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanyalah menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan keras dan jahat yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, akan tetapi dia tidak mau ikut-ikutan dan pura-pura tidak tahu saja.

Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri!

Dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain darahnya keracunan sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia sudah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!

“Kasihan, sungguh orang muda yang malang...,” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.

Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Biar pun dia belum bisa mengingat semua peristiwa yang lalu, akan tetapi dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.

“Ling Ling... di mana Ling Ling...”

Camundi Lama membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.

“Siapakah Ling Ling, orang muda?”

Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya.

“Ahh, Ling Ling...? Dia... dia… aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan... ahhh, sudahlah, aku tidak ingat lagi...”

Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”

Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan ia juga teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah diakibatkan dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah dia pun bangkit duduk bersila.

“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!

Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung, kemudian dia pun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara perabot-perabot perlengkapan badan saja.”

“Omitohud...! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya, akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan senyaman ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kirimu, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau kini tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”

Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang sudah dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.

“Kenapa sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini mati pun tidak perlu disesalkan, kenapa baru kehilangan yang sedikit itu mesti dibuat berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”

“Omitohud... semoga Sang Buddha memberikan penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau bisa menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.

“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apa pun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tiada penyesalan apa pun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”

Tiba-tiba kakek itu tersedu dan tangannya merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.

“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi yang sangat berbahaya adalah racun di dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sinkang. Namun akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”

Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu mulai sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.

Mendadak terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.

Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang memang pantas dia hormati.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.

Kim Sim Lama melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.

“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.

Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.

“Ehh? Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.

Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Engkau tidak perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”

“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.

Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.

“Dia itu! Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”

Melihat sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama.

Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.

Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.

“Supaya tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.

Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan pula belasan orang pendeta yang membaca doa.

Di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan ada seorang pun yang menaruh curiga.

Karena orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang anggota Kim-sim-pang, maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat pun tidak berani. Biar pun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.

Peti mati itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.

Tadi dia hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.

Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.

“Tabung ini untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu.

Mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?

Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya?

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bekerja adalah kekuasaan-Nya!

Teringat akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.

Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.

Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama…..

**********

Sebelum peti mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.

“Dia sudah mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.

“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.

Akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.

“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.

“Apa...?!” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan suara agak gemetar.

Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur, ”Sian-moi? Kalau dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”

“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.

“Sian-moi...!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.

“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”

Bong Gan tertawa dan balas merangkul.

Sementara itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.

Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka ia pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.

“Losuhu, maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”

Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang.

Kim Sim Lama pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”

Bi Sian menyadari kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.

“Nona Yauw, jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.

“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah sedemikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”

“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”

“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...”

Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”

Bi Sian menengok ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan kini mulai menguasainya.

“Aku... aku membenci Pendekar Bongkok...”

Jawaban Bi Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara hatinya! Dia sendiri memang percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya! Dia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.

“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.

Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih...”

“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”

“Aku akan membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.

“Nona, engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.

Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan ia pun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.

“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”

Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai Yang suhu.

“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.

Bi Sian mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”

Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak peduli. Dia masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang kedua kalimat itu,

“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”

Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
























Terima kasih telah membaca Serial ini



                              

                 



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12