Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 14
Sie Liong
berada di tengah-tengah dan dia pun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia
dikeroyok dengan pengepungan semacam ini, maka akan rugilah dia apa bila hanya
mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan
dirinya dari kepungan, dan sukar pula untuk membalas serangan lawan yang tentu
bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, dia pun mengambil keputusan untuk
mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda
bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena
dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja
serangannya itu hebat bukan main.
Thay Bo Lama
menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya
juga turut mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang
Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya
diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan
dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
“Tar-tar-tarrrr!”
Thay Si Lama
menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong
itu bagai seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa
hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk dia pun
melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga
menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suheng-nya dan membalas
serangan Sie Liong.
Ketika
pedang itu menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan
bergulingan ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya telah menyerang
dengan tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat
memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang
lagi untuk menyerang Thay Hok Lama!
Amukan Sie
Liong itu mengejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu begitu cepat,
membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat lagi menyusun kekuatan untuk
mengepung dan menghimpit.
Melihat ini,
dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring.
“Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!”
Mendengar
bentakan ini, para sute-nya lantas sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi
Sie Liong lalu membuat barisan segi lima! Dan mereka pun mulai bergerak
mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka
buat itu semakin sempit.
Sie Liong
tidak berani lagi menyerang seperti tadi. Dia sudah maklum bahwa begitu dia
menyerang salah seorang di antara mereka, maka yang empat orang akan menubruk
dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng!
Dia sudah
pernah mendengar dari Pek Sim Siansu tentang beberapa tin (barisan) dan
Ngo-heng-tin merupakan salah satu barisan yang berbahaya, apalagi karena lima
orang anggotanya menggunakan lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga
gerakan dan corak penyerangan mereka.
Akan tetapi
dia pun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek
Sim Siansu pernah menceritakan sifat dan kehebatan barisan Ngo-heng-tin itu.
“Dalam
Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula,” demikian kata kakek sakti itu. “Lima
unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggota diserang, selain dia
sendiri dapat membela diri, juga ada satu anggota lainnya yang melindunginya,
sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam
lawan. Memang kalau lima orang anggota Ngo-heng-tin itu mempunyai tenaga dan
kepandaian yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan
tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat
mempertahankan diri. Jika engkau dapat memecahkan unsur-unsur yang saling
membantu itu, baru engkau akan mampu mengacaukan pertahanan mereka. Maka
usahakan supaya engkau mengenal siapa di antara mereka itu yang saling
melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin.”
Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Siansu.
Terdengar
seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok di tangannya
itu mula-mula diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk
dengan perut gendut itu ditekuk hingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari dalam
perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang
gendut itu bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan dengan
jari terbuka tangan kirinya mendorong ke arah Sie Liong.
Uap hitam
disertai angin keras langsung datang menyambar ke arah Sie Liong. Itulah
pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang berbahaya
sekali.
Sie Liong
mengenal pukulan ampuh, maka dia pun melempar tubuh ke kiri sehingga angin
pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar,
dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu cepat membalas dengan
totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!
Menghadapi
jurus hebat dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh
totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk
melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain
berniat untuk melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit
tongkat untuk merampasnya!
Sie Liong
mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku
Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut
pula menyerangnya.
Sie Liong
meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok
Lama. Akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan
berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat
menubruk ke depan, menggerakkan tongkatnya yang mula-mula menusuk ke arah
sepasang mata Thay Pek Lama, kemudian ujung tongkat itu digetarkan untuk
beralih menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian.
Thay Pek
Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis. Pada saat itu, secara
otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay
Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini lalu bergabung dan menyerang Sie
Liong secara bersamaan.
Setelah
mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tahulah Sie Liong bahwa
benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya, lima orang itu saling
melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan
itu.
Tiba-tiba
dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama
yang akan bergerak melindungi suheng-nya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama
secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua
hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba
dan dia pun sudah menyerang Thay Bo Lama!
Dia sudah
memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda
dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, dia pun cepat menarik kembali
serangannya dan mendadak saja dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu!
Serangannya
sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan
beruntun yang amat dahsyat, juga dengan tenaga sinkang sepenuhnya tangan
kirinya melakukan hantaman dengan jurus Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung),
jurus ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.
Thay Hok
Lama terkejut bukan main dan segera memutar rantai melindungi dirinya. Dia
mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti yang sudah diatur menjadi bagian
masing-masing dalam barisan itu.
Akan tetapi
baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata
hanya serangan palsu itu. Maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melindungi diri
sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain.
Akan tetapi,
serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Thay Hok Lama dapat menangkis tongkat
itu, akan tetapi dia sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari tangan
kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis
dengan tangan kirinya.
“Desss...!”
Tubuh Thay
Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.
Tentu saja
para Lama yang lainnya menjadi terkejut bukan main. Tidak pernah mereka
bermimpi bahwa Ngo-heng-tin kebanggaan mereka akan dapat dipecahkan sedemikian
mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja
seorang dari mereka sudah roboh!
Tiba-tiba
nampak sesosok bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang
memegang sebatang tongkat pendeta sudah berada di tempat di mana tadi Thay Bo
Lama berdiri.
“Ngo-seng-tin
(Barisan Lima Bintang)!” serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.
Empat orang
Lama itu pun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk
barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang
berkedap-kedip karena senjata mereka selalu digerak-gerakkan hingga berkilauan
dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mereka berlima itu menyerang
dari lima penjuru!
Sie Liong cepat-cepat
memutar tongkatnya melindungi diri. Tangan kirinya mendorong dengan pukulan
yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya
membentuk benteng yang sangat kuat sehingga semua senjata terpental kalau
hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan
Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang
hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.
“Trakkk!”
Pertemuan
antara tongkat di tangan Sie Liong dengan tongkat pendeta berkepala naga yang
besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar,
juga Kim Sim Lama kelihatan tercengang. Jelas nampak betapa di wajahnya
terbayang kekaguman dan keheranan karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda
itu mampu menandingi kekuatan sinkang-nya!
Sie Liong
tidak membiarkan dirinya dilanda kekagetan lebih lama, akan tetapi cepat dia
menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk lurus ke arah
lehernya. Dia merendahkan dirinya sedangkan tangan kirinya lantas mendorong ke
arah penyerangnya itu, cepat sekali.
“Hyaaaattt...!”
Hawa yang
sangat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar
Bongkok sudah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang
dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, salah seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Pukulan ini memang mengandung sinkang yang berhawa dingin seakan-akan ada hawa
salju yang menyambar ganas.
Thay Bo Lama
terkejut dan menangkis dengan lengan kirinya pula.
“Plakkk!”
Dan
akibatnya, tubuhnya terguling dan dia pun menggigil kedinginan!
Saat itu
segera dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang
mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan
tongkat untuk menangkis.
Pada saat
yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong
yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan
tongkat yang tadi membalik ketika menangkis golok Thay Ku Lama, untuk
menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.
“Dukkk!”
Sekali ini,
sedemikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya. Lagi pula Sie Liong
baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga ketika menangkis tongkat Kim
Sim Lama, tenaganya pun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong terpelanting!
Kesempatan
itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala
Sie Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar!
Sie Liong
masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis, walau pun dia sudah
terpelanting. Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik
menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan
telapak tangan terbuka ke arah Thay Si Lama.
Thay Si Lama
yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja
mengandung tenaga sinkang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir
itu, tidak gentar dan dia pun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.
“Desss...!”
Hebat bukan
main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama
terjengkang dan dia pun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena
tadi kedudukannya tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan
Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi baru saja dalam keadaan
terpelanting dan terhuyung.
Pada saat
dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh
punggungnya. Sie Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si
Lama muntah darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah
menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok.
“Tahan!” Kim
Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong.
Lima orang
Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si
Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf,
susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah
selayaknya kalau dia dibunuh!” katanya dengan nada tidak senang.
“Hemm,
kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih
mudah dipengaruhi oleh kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah
langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha
kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan
tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia
seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak
pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan
sebesarnya.”
Lima orang
pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para
sute-nya bertanya, “Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah
bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha!
Nah, kalian lihatlah,” katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
“Tanpa
pimpinan pinceng, kalian ini sama seperti sekumpulan gajah yang kehilangan
pembimbing. Biar pun kalian kuat, kalau tidak pandai mempergunakan akal, tidak
akan ada gunanya dan tidak akan mencapai hasil jauh! Dengarlah. Kita semua
telah melihat bahwa bocah ini, walau pun masih muda dan tubuhnya bongkok, akan
tetapi dia sudah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng
seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan
satu, sama sekali bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan
baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan
kita.”
“Akan
tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim
Siansu. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?” Thay Si
Lama mencela.
“Bagaimana
kalau kita mempergunakan sihir supaya dia kehilangan ingatan dan suka membantu
kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama
menggelengkan kepalanya. “Memang benar bahwa kiranya tidak akan mungkin dia
membantu kita, dan penggunaan sihir pun tidak ada artinya bagi seorang yang
sudah memiliki sinkang sekuat itu.”
“Pinceng
dapat membuatkan racun perampas ingatan...” berkata pula Thay Hok Lama si ahli
racun.
Kim Sim Lama
tetap menggeleng kepalanya. “Biar pun dia sudah kehilangan ingatan, watak
dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang
kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan
karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu
perjuangan kita dengan tenaganya.”
“Lalu untuk
apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama
tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar
biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat
mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai
Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh
Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang
Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan mereka pun melihat manfaat itu. “Akan
tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar
para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja
satu-satunya jalan adalah supaya dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lhasa!”
kata Kim Sim Lama.
“Akan
tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo
Lama.
Kim Sim Lama
tersenyum lagi. “Tidak percuma pinceng sudah menyebar orang-orang ke dalam
Lhasa. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia
di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi,
hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di
dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos
dari dalam penjara?” Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha,
mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya
lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok
Lama.”
Thay Hok
Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir
pel hitam. “Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara,
susiok?”
“Maksudmu
bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng
mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka
dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir
sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya
sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan dia pun akan
kehilangan ingatan untuk selamanya.” Thay Hok Lama tertawa gembira karena
bangga dapat memamerkan keahliannya tentang racun.
“Berikan
sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah
sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok
Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga
dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke
dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu
memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha,
setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami
lempar dia di dalam kamar tahanan?” tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu!
Walau pun ingatannya hilang, apa bila tenaganya masih demikian kuat dan
nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan
khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya
sehingga kalau dia mengerahkan sinkang-nya dia akan roboh sendiri,” kata Thay
Hok Lama.
Kembali Thay
Hok Lama mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong
melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah
kamar tahanan yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha,
dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa
saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata
Thay Hok Lama.
Demikianlah,
Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di
atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar
itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan
senjata di tangan.
Tanpa perlu
dijaga pun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu tak akan mampu
membebaskan diri dari dalam kamar penjara…..
***************

Bayangan itu
berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong
sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang
berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu.
Dia adalah
seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang
alis yang hitam lebat. Hidungnya mancung dan matanya mencorong, bibirnya selalu
tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika
berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di
bagian tengah.
“Selamat
tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum.
Pemuda ini
adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama
suci-nya, Yauw Bi Sian ke Lhasa untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka memasuki kota Lhasa dan di
kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang
kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga
Yam-so.
Tentu saja
Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan
mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dahulu menyelidiki
Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan di mana pula adanya sarang
perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada
alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan suci-nya agar jangan hari itu juga
pergi meninggalkan Lhasa!
Tadi, di
rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis
sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat ia tergila-gila dan
mengobarkan birahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan
tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata!
Kerling dan
senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia
tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit birahinya, melainkan
wanita itu pun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik
kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!
Sebelum dia
dan suci-nya meninggalkan Lhasa, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk
mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar
dari rumah penginapan tanpa diketahui siapa pun, dan suci-nya tentu sudah tidur
di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke
mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat
menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba
hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok masuk ke hidungnya.
Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke
sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu
demikian keras dan semakin keras lagi.
Tiba-tiba ia
merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan... benar saja,
dalam jarak lima meter ia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi dalam
keremangan itu, jarak itu masih terlampau jauh untuk dapat mengenal mukanya.
Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itu pun meloncat dan berkelebat
pergi.
Seorang
wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita
itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus.
Wanita itu
melalui jalan-jalan yang sunyi. Setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat
sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lhasa,
dengan suara ketawa kecilnya yang masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan
meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia
bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila
tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit
muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!
“Hi-hik-hik,
mengapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.
“Karena aku
tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu sudah
membuat aku jatuh cinta kepadamu, nona!” jawab Bong Gan yang masih belum hilang
kekaguman dan keheranannya.
Sama sekali
tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang telah membuatnya
tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang
memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu
bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria
ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan
main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia
lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu.
Sayang
pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan
tetapi justru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada
saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai Yang
Suhu yang biar pun masih tampan dan gagah, namun sudah tua itu.
Setelah
siang tadi dia membayangi pemuda dan gadis itu sampai mengetahui rumah
penginapan mereka, maka malam itu dia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan
itu. Tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan
rumah penginapan. Tentu saja dia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi
keheranannya ketika dia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan
yang amat gesit itu.
Hatinya
menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihai! Dia semakin
tertarik, dan dia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke
tempat sunyi di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lhasa.
Kini,
mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku bahwa dia telah tergila-gila dan
jatuh cinta padanya, Pek Lan pun tertawa.
“Aihh,
benarkah engkau jatuh cinta kepadaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu
apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku
ini!”
Tiba-tiba
Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan
juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul
kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya wanita ini bukan hanya pandai berlari
cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk
dapat ‘berdekatan’ dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia pun
mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan dia pun segera membalas.
Ternyata
wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia
elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang
membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Apa bila tadinya dia masih
tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh
lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu
simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin.
Ilmu silat
ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun
pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi
Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul Iblis). Begitu dia memainkan ilmu silat ini,
dua tangannya seolah merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan mempunyai
gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum.
Namun, biar
pun agak terdesak, Pek Lan masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan
lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau
mengeluarkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan
Beracun Awan Hitam).
“Tahan
dulu...!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan
berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapa pun juga, dia tadi sudah
berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang
kini minta berhenti.
Akan tetapi
ternyata Pek Lan telah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan
dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.
“Aku sudah
melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum sekali. Akan tetapi aku
belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, kau keluarkan
senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin
mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih
ikut Koay Tojin, baik Bong Gan mau pun Bi Sian tidak pernah dibolehkan
menggunakan senjata tajam, walau pun mereka diajarkan bermain ilmu tongkat
Ta-kwi Tung-hoat yang dapat juga dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga
tidak pernah menggunakan pedang. Setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari
ayahnya gadis itu baru membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan, hampir
tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup
ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekali pun.
Sebenarnya
dia sama sekali tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan
kosong. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang telah banyak
mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya senang
disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong
tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Dan hal ini
sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu
mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya. Sambil melintangkan tongkat
sepanjang hampir dua meter itu dia pun berkata, “Maaf, nona. Aku tidak pernah
membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat
hubungan, bagaimana aku dapat tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu?
Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”
Pek Lan
mengerutkan alisnya. “Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan
menahan senyumnya. Tepat seperti yang sudah diduganya. Wanita ini tidak
menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan
ingin selalu dihargai. Maka dia pun cepat berkata,
“Aihhh,
siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong
tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apa lagi kalau kini engkau
berpedang, mana aku berani memandang rendah? Dan terus terang saja,
satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada
tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang
tongkat.”
Lenyap kerut
di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. “Bagus, kalau
begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan ia pun
menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan
memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat
dan lihai sekali, maka dia pun cepat menggerakkan tongkatnya dan segera
memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay
Tojin kepada dua orang muridnya.
Begitu ada
tongkat di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dengan ilmu Ta-kwi
Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor
naga bermain di angkasa, berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan
telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi.
Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu
yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan
dengan ilmu yang dikuasai Pek Lan.
Apa bila Pek
Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, yaitu dengan
menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat
mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin
melukai Bong Gan, apa lagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik
kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang
kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanan
dirinya harus melayani Thai Yang Suhu saja!
Bong Gan
juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya sangat hebat
sehingga andai kata dia tak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan
dengan tongkatnya pun, ditambah dengan ilmu tongkatnya, ia hanya bisa
mengimbangi permainan pedang lawannya, mampu melindungi diri dan juga membalas
dengan sama dahsyatnya.
Pertandingan
itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa
saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia
lalu menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan
berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak
mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan
terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, tetapi
ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya.
Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung
tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap
menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya!
Semenjak
tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah birahinya bangkit,
menyala dan berkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking yang panjang, Pek
Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sinkang
untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat!
Pek Lan
menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, namun pada saat
itu Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan
tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!”
Dua buah
tangan dengan jari-jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti
pedang dan tongkat! Mereka tidak bergerak, hanya saling pandang dalam jarak
kurang dari satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing
cukup jelas.
Bong Gan
tersenyum. “Nona, engkau sungguh cantik jelita...”
Pek Lan juga
tersenyum. “Dan engkau perayu besar!”
“Tidak,
nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan
ilmu kepandaianmu amat hebat, aku tergila-gila padamu, aku... aku tidak ingin
berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu
yang manis itu...”
Senyum Pek
Lan melebar. Gairah birahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena
sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu
birahinya.
Pek Lan
menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang
panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Dia menarik dan muka
pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh
nafsu, pedang dan tongkat mereka terjatuh dan dua pasang lengan itu saling
dekap. Keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka
bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu birahi mereka sendiri. Dua
orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi
hamba nafsu birahi. Mereka saling menumpahkan birahi mereka lewat kemesraan
yang panas.
Tiba-tiba,
masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas
masih terengah-engah serta keringat membasahi dahi dan leher. Mereka saling
tatap seperti orang terkejut.
Kau...
kau... Bong Gan...?”
“Kau... Pek
Lan...?”
Tadinya
mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu, akan tetapi keduanya sudah
saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat mereka dahulu
menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia
Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun!
Kini, Pek
Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi
seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak
seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini
keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya.
Akan tetapi,
setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja
keduanya terkejut bukan main, terheran, juga merasa girang sekali!
“Pek Lan,
ahhh kau Pek Lan, kekasihku...”
“Bong Gan,
betapa aku rindu kepadamu...!”
Keduanya
saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah
bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa
bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh
kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi
dari rumah gedung hartawan Coa sesudah tertangkap basah ketika mereka berdua
melakukan hubungan gelap, berjinah!
Kembali
mereka tenggelam dalam gelombang nafsu birahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan
menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga
keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah,
Pek Lan, kekasihku? Aku... sangat rindu kepadamu...” Bong Gan berbisik,
terengah-engah.
“Nanti dulu,
aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah dia?” tanya Pek Lan,
bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan
tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan pelukan. “Ia bernama
Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu?
Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah,
kenapa justru membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja...!” Bong Gan
merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh
nafsu birahi.
Semalam
suntuk, kedua orang ini membiarkan diri mereka dipermainkan gelombang birahi.
Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa segalanya, karena yang terasa hanyalah
gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang
tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat,
mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak
mereka berpisah.
“Sungguh
aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut
kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling
jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari
rumah keluarga Coa, kita saling serang hingga engkau diambil murid Hek-in
Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin.
Kemudian, begitu bertemu, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, dan
kemudian kita bertanding lagi sebelum akhirnya saling bermain cinta.”
“Engkau
memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu
pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di Lhasa ada keperluan apakah?”
“Aku diminta
suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm,
siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama
Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.”
Pek Lan
melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
“Pendekar
Bongkok? Dia...?”
Pada waktu
gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak
begitu indah menjadi berubah. Bong Gan tak lagi merasakan keindahan bentuk
tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, sudah tak seindah tadi. Apa
lagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau
sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya...?”
Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja dia sudah mengenal Pendekar Bongkok,
mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia.
Dia... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh
besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehhh?
Ceritakan kepadaku, kenapa begitu, Bong Gan,” kata Pek Lan dan karena hawa
mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meski
pun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan
juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bergairah lagi
setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai
teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lhasa.
“Suci adalah
keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...”
“Tapi
Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang
selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam
Lojin dan Pek Sim Siansu, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu
hari, Pendekar Bongkok telah... ehhh, dia membunuh ayah kandung suci-ku. Karena
itu, suci mendendam dan hendak mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena
tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua kemudian
mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lhasa.”
“Hemm, kalau
begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku pun dimusuhi oleh Pendekar
Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan
kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apa lagi, setelah kini
saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan
engkau!”
Bong Gan
mendekat dan mencium pipi wanita itu. “Engkau tahu perasaanku kepadamu, Pek
Lan, dan engkau tahu tak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan
bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana
dengan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi
penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa harus
menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pendekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung
dengan kami. Thai Yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula
bergabung dengan kalian.”
“Maksudmu
pendeta yang kulihat lagi bersamamu di rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan
teringat akan pendeta itu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat
subo Hek-in Kui-bo dan sekarang sedang mengajarkan ilmu sihir padaku, menjadi
guruku pula.”
“Dan kalian
hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lhasa?”
“Kami hendak
pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...”
“Ahhh! Sie
Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!”
“Akan tetapi
dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku,
Thai Yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk
menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita
bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.
“Menggulingkan
Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”
“Wah,
pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau kalau harus
menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan,
engkau bodoh. Kau kira aku pun senang membantu pemberontakan orang Tibet? Kita
bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai untuk mencapai
cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan
kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat
besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda
aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan
mengerutkan alisnya. “Jadi engkau dan Thai Yang Suhu hendak bersekutu dengan
Kim-sim-pai, lalu membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi
atau harta benda?”
“Tentu saja,
untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini jika tidak
mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan
mengangguk-angguk. “Hemm, sebenarnya aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan
tetapi... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kau ajak
saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau
tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka
kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet.
Ia... ia... hemm, ia condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik-hik,
kau maksudkan ia seorang pandekar wanita?”
Bong Gan
mengangguk. “Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk
kejahatan dan...”
“Dan kau
sendiri?”
Bong Gan
menyeringai. “Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau,
Pek Lan.”
“Kalau
begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dengan
kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”
“Ahh, tidak
bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ahhh, aku... aku...”
“Hemmm, aku
tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata
keranjang kau!”
“Tidak
banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau
begitu. Bujuk dan rayu dia agar suka bergabung dengan kami. Kalau dia begitu
lihai, kami pasti lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima
bantuannya.”
“Itulah
sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku padanya dan
ia... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku
dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan
berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja dia suka menerima cintaku
sekarang juga... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah
mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan
terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. “Huh, kalau bukan aku yang
mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu?
Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai Yang
Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya
dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau
harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja
Bong Gan merasa girang bukan main. “Baik, aku berjanji! Ia pun tentu akan
setuju karena bukankah dengan bekerja sama akan lebih mudah untuk menghadapi
Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap
saat aku menginginkan, engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan
tertawa. “Tentu saja, dengan segala senang hati!”
“Nah, kalau
begitu, sekarang aku menginginkan...”
Keduanya
tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan
memabokkan.
Mereka
memasuki kota Lhasa sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah
sekali. Sie Lan Hong memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno
yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh
dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di
lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, ia
pun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.
“Lie-toako,
di tempat besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?”
Lie Bouw Tek
tersenyum. Dia memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur.
“Jangan
khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan
begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini,
tentu ada yang melihat mereka.”
“Sekarang,
kita ke mana toako?”
“Kita
mencari tempat penginapan dahulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda
kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah
itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha supaya dapat diterima menghadap
Dalai Lama.”
“Menghadap
Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat
tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau.”
“Benar, akan
tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi,
karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak
membunuh beliau.”
“Akan
tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau
hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?”
“Begini,
Hong-moi. Aku sendiri sesungguhnya sedang menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk
menyelidiki kenapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula
Kun-lun-pai. Di sepanjang perjalanan kita sudah mendengar akan adanya
perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir
sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap
Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang
lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai
Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah menemukan kedua orang
itu kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan
mencari.”
Sie Lan Hong
mengangguk-angguk. Ia memang telah tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria
yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga amat berpengalaman. Ia merasa
lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan
terlindung.
Alangkah
bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa
tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga
sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apa pun
antara mereka telah bersikap demikian baiknya!
Begitukah
sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa di dalam
hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, sering kali Lan Hong tersipu
malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang
mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda!
Sedangkan
Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, seorang
tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin... ah, ia telah mengharapkan
terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu!
Lan Hong
menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka
menyewa dua buah kamar yang letaknya berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda
mereka kepada pelayan untuk diberi makan.
Setelah
mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka
yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu
menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja.
Lie Bouw Tek
sendiri biar pun dia seorang pendekar besar, tetapi dia tidak menonjolkan diri
dan pedang pusakanya selalu tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasehat Lie
Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak
terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah
diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan
gagangnya juga tidak nampak walau pun ada kalanya ujung itu menonjol keluar.
Setelah
makan, pada pagi hari itu juga, mereka pun pergi menuju ke istana Dalai Lama di
lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman
bunga yang amat indah, dengan suasana yang aman dan tenteram. Para pendeta Lama
yang kadang-kadang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi,
ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang
pendeta Lama menghadang mereka. Biar pun sikap mereka sangat hormat, akan
tetapi dengan tegas mereka mengatakan bahwa orang luar tak diperbolehkan
memasuki daerah itu tanpa ijin.
“Harap
kalian memaafkan kami,” kata kepala jaga dengan sikap hormat. “Kalau hendak
berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana.
Tidak seorang pun diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang tanpa
ijin.”
Lie Bouw Tek
tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Sie Lan Hong. “Harap
saudara sekalian suka memaafkan saya. Saya sengaja datang ke Lhasa untuk
menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan
bahwa kami berdua ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat
penting.”
“Omitohud...!”
Kepala jaga itu berseru. “Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian
mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat
diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu
beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.”
“Sahabat,
harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang
ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,” kata pula
Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar
disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga
memandang dengan sikap lebih hormat.
“Omitohud,
kiranya sicu adalah utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari
ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat
itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap.”
Akan tetapi
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama
bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, hendak mohon menghadap. Kalau
mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku.”
Pada saat
itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun
berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, dia pun cepat-cepat
menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.
“Omitohud...
kiranya Lie Taihiap yang sedang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada
keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lhasa?”
Lie Bouw Tek
tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu
seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada
Dalai Lama. Dia pun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.
“Selamat
bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada
sesuatu hal yang sangat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah,
harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang
juga.”
“Baik,
taihiap. Tunggulah sebentar di sini!” kata pendeta itu yang bergegas masuk ke
arah bangunan istana yang megah itu.
Kini para
pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan
Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.
Tidak lama
kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil
berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi
menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.
“Silakan,
taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap.”
“Akan
tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap supaya ia pun diperkenankan
menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.”
Pendeta itu
mengerutkan alisnya. “Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan
tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada
Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan
tamu, apakah toanio ini diperkenankan turut masuk ataukah dipersilakan menunggu
di luar ruangan.”
Lie Bouw Tek
mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang
mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak
seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong
memandang ke kanan kiri dengan bengong.
Ia terpesona
menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang
indah sekali, marmer, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti
memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmer, perak atau
emas yang ukirannya sangat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama
hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.
Ketika
mereka sampai di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta
pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka
memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana
yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.
“Taihiap dan
toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!”
Dengan wajah
gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong memasuki ruangan itu. Akan
tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk.
Ruangan itu
luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada
seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah,
mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.
“Selamat
datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!”
Lie Bouw Tek
cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan
membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi dia
merasa heran bukan main.
Tadinya ia
membayangkan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu
seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama
sekali tidak demikian!
Pendeta yang
duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw
Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang
terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya menyiratkan
kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.
Setelah Bouw
Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk
mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka berdua bahwa di
belakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera
itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca
mati saja. Bouw Tek maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri
di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi
sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama.
Dalai Lama
sendiri memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan
pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana
itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apa lagi di benteng yang
setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.
“Nah,
menurut laporan tadi engkau datang sebagai seorang utusan Kun-lun-pai, maka
katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap.”
Dari tempat
duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di
Tibet itu. “Mohon dimaafkan atas kelancangan saya. Karena para pimpinan
Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa
orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah
tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki
Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima
dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan
dan kebijaksanaan.”
Dalai Lama
masih tersenyum walau pun pandang matanya sejenak kehilangan cahaya
kelembutannya ketika mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.
“Tibet
Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?”
Jelas bagi
Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Semenjak dahulu
semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang
terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja
mereka kini pun berada di balik sutera putih di belakang Dalai Lama itu.
Mengapa Dalai Lama masih bertanya lagi?
“Ampunkan
saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan
Kun-lun-pai untuk menyelidiki kenapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san,
bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu
yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan
mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku sudah diutus
oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada
paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu.”
Dalai Lama
mengangguk-angguk, agaknya dia sama sekali tidak heran apa lagi terkejut
mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti
kepada diri sendiri. “Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama
kami?”
Dalai Lama
bertepuk tangan dua kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari balik kain
sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung
dan usianya sudah enam puluh tahun lebih. Mukanya berbentuk persegi seperti
muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya
sangat lembut. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.
“Lie-taihiap,
engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah,
dialah yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, sekarang tiba saatnya
bagi saya untuk melakukan meditasi, maka urusan selanjutnya, rundingkanlah
segalanya dengan Kong Ka Lama ini.” Setelah berkata demikian, Dalai Lama
bangkit berdiri.
Bouw Tek
cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk
kepada mereka, Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera
putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang
bernama Kong Ka Lama itu.
Setelah
Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera
tertutup kembali, Kong Ka Lama baru menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat
gerakan dengan tangan menunjuk pintu samping dan berkata, “Taihiap dan toanio,
mari kita bicara di ruangan sebelah.”
Mereka
bertiga keluar dari ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah
ruangan lain yang tidak begitu besar. Ruangan ini pun kosong dan hanya ada
sebuah meja dan beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu
itu untuk duduk dan dia sendiri pun duduk menghadapi mereka.
Tentu saja
Lie Bouw Tek masih ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya
Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai
Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lhasa dihadang
para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama ini yang mengepalai para
pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam
tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat
peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para
penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan.
Kong Ka Lama
adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan
dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka bisa dibayangkan kelihaiannya.
“Taihiap,
pinceng (saya) memenuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan
penjelasan kepada taihiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para
tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini telah mengungsi ke Kun-lun-san
itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Dalai Lama dahulunya
terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama
yang tua, maka para pendeta Lama yang ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai
Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal
ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya, dan terjadilah bentrokan ketika
pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu
sehingga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat
dibawa ke sini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat
menjadi Dalai Lama.”
Lie Bouw Tek
dan Sie Lan Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa
heran karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia
menolongnya beberapa tahun yang lalu, bahwa Dalai Lama ketika kecilnya pernah
menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet
sehingga timbul pertempuran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang
hendak mempertahankannya.
“Itulah yang
aneh, losuhu,” katanya. “Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa
membela Dalai Lama ketika masih kecil, mengapa sekarang Dalai Lama yang mulia
dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari
Himalaya, bahkan juga memusuhi para tosu Kun-lun-pai?”
Kong Ka Lama
menarik napas panjang. “Omitohud... memang demikianlah agaknya yang dikehendaki
mereka yang hendak merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkan, taihiap,
akan pinceng lanjutkan penjelasan itu….” Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu
melanjutkan ceritanya.
“Karena
ketika diangkat menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka
kekuasaan dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang
sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim
para pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya.
Tindakan itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang
pendeta Lama ketika terjadi pertempuran untuk memperebutkan Dalai Lama ketika
masih kecil. Perbuatan itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan
pertapa tewas, terluka dan lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan
Himalaya. Di antaranya banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san.”
Lie Bouw Tek
mengangguk-angguk. “Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pihak Kun-lun-pai, losuhu.”
“Omitohud,
memang tidak ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, dan nanti
taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi
dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama
yang menjadi wakil, juga pembimbingnya pada waktu beliau masih kecil. Beliau
terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup
suci, maka tentu saja beliau sangat tidak suka mendengar tentang permusuhan,
apa lagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apa lagi yang dikejar-kejar
adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara mereka pernah
membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan
paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim
Sim Lama tapi tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah
bentrokan!”
“Hemm,
terjadi pemberontakan, begitukah maksud losuhu?”
Pendeta Lama
itu mengangguk. “Semacam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa
itu, karena hanya akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat
ditundukkan dan dia pun meninggalkan Lhasa, tidak mau lagi membantu Dalai Lama.
Bahkan dia membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat
di sekitar Telaga Yam-so, di sebelah selatan Lhasa. Akan tetapi, karena sampai
sekarang mereka tak pernah melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama
mendiamkan saja, bahkan memesan kepada kami semua supaya tidak membuat
keributan dengan pihak Kim-sim-pai, apa lagi mengingat bahwa Kim Sim Lama
adalah seorang tokoh tua di sini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi
wakil Dalai Lama.”
“Akan
tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?”
“Omitohud...!
Benar-benar hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap.
Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya
sudah tiba waktunya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya
taihiap ketahui bahwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga
menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu
sengaja mereka lakukan, sekarang bukan lagi untuk membalas dendam, namun
terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu
domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, supaya memusuhi Dalai Lama.”
“Ah, betapa
liciknya!” Bouw Tek berseru. “Sekarang baru saya mengerti, losuhu. Untung bahwa
saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga mendapat keterangan yang
teramat penting ini.”
“Omitohud,
syukurlah kalau sekarang taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi
menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai, juga para tosu di daerah pegunungan
Kun-lun-san, dan suka memberi tahukan kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai
Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, semenjak
dahulu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama.”
“Akan
tetapi, apakah perbuatan itu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama
telah melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai
Lama...”
“Lie-taihiap,
hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Tentu saja Dalai Lama akan
mengambil kebijaksanaan, dan apa pun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak
ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap supaya taihiap
juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama
sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang
kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya
meninggalkan Lhasa supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”
Pendeta Lama
itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong juga ikut bangkit berdiri.
“Maaf,
losuhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja losuhu suka membantu
kami.”
“Hemm,
urusan apakah itu, taihiap?”
“Sie-toanio
ini datang ke Lhasa untuk mencari dua orang, losuhu. Yang pertama adalah
puterinya, seorang gadis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan
belas tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang bernama Sie Liong dan terkenal
dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan mereka pun datang ke Lhasa.
Kalau barangkali losuhu dapat memberi keterangan tentang mereka...”
Pendeta Lama
itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia
mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.
“Hemm, jadi
toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang
puteri toanio ini, kami memang tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau
Pendekar Bongkok... hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang
dia pernah berada di Lhasa, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han.
Dan kebetulan pula menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan
seorang anggota Kim-sim-pai.”
“Aihh,
terima kasih, losuhu. Dapatkah losuhu memberi tahu, di mana dia sekarang?”
tanya Lan Hong yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara.
“Menurut
penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk
menjaga keamanan Lhasa, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang
Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak buah kami itu dipesan dengan keras agar
jangan sampai terlibat dengan urusan Kim-sim-pai, dan karena tak ada sangkut
pautnya dengan kami, maka kami pun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah,
kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio.”
Lie Bouw Tek
tidak berani mengganggu lagi. Dia pun menghaturkan terima kasih, lalu
meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya,
dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara
yang mengandung kekhawatiran.
“Aihh,
toako. Apa yang hurus aku lakukan sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan
mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian
mendahuluiku. Aih, ngeri aku membayangkan mereka saling bertemu sebelum aku
menemui adikku...”
“Tenanglah,
Hong-moi. Biar aku yang akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so
untuk mencari Pendekar Bongkok, dan aku akan mengajaknya ke sini untuk
menemuimu.”
“Tidak! Aku
harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga.”
“Akan tetapi
hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar
keterangan Kong Ka Lama. Daerah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai
dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang
sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan
biarlah aku yang akan mencari adikmu di sana.”
“Toako,
tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, lalu bagaimana
mungkin engkau yang bersusah payah menempuh bahaya sedangkan aku enak-enak
menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut
menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!”
“Akan
tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagai
mana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi
dirimu? Aihh, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi...”
Suara
pendekar perkasa itu tiba-tiba agak gemetar. “... tidak, aku tak dapat
membiarkan engkau terancam bahaya. Aku... aku akan merasa menyesal selama
hidupku!”
Melihat
pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka
rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan ia pun tersipu.
Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan
semakin tersipu malu, walau pun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam
hatinya.
“Toako,
banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya,
toako. Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku,
kemudian terjadi sesuatu dengan dirimu, maka aku pun akan merasa menyesal
selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini
seorang diri saja...”
Keduanya
menunduk dan dalam saat seperti itu, biar pun mereka tidak secara langsung
mengucapkan pengakuan, akan tetapi keduanya merasa benar betapa keduanya saling
membutuhkan, saling menyayang, saling mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau
saling kehilangan!
“Baiklah,
Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berhati-hati dan membuat
persiapan. Aku akan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru
kita berangkat ke Telaga Yam-so.”
“Terima
kasih, toako. Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan semua budi
kebaikanmu ini,” kata Lan Hong lirih dengan suara mengandung isak haru.
Keduanya
lalu terdiam, terbenam dalam lamunan masing-masing….
Telaga
Yam-so adalah sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet
menyebut danau ini dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yam-so).
Letaknya di sebelah selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang.
Sungai
Brahmaputra mengalir di sepanjang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan
berakhir di selatan negara Bangladesh, di sebelah timur laut India. Daerah
inilah, mulai dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah
yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat
sunyi, penuh dengan hutan-hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung
sampai ke selatan, hingga ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni
orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa
orang peranakan India.
Namun mereka
adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak
mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya
mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada
pula yang menjadi penangkap-penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau
Telaga Yamso.
Akan tetapi,
akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah
terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari
para penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak-anak buah
dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai.
Pangeran
itu, Janghar Singh, sudah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk
membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama.
Sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah
menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak
memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan
para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu
kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat
diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Tetapi ada kalanya,
orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda
yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari
daerah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang
menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu
pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang
kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
“Sute,
berhenti dulu!” kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan
kudanya dan menoleh, lalu menghampiri suci-nya.
“Ada apakah,
suci?” tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
“Lihat,
sute, betapa indahnya pemandangan di sini. Lihatlah telaga di bawah itu, airnya
seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!”
Bong Gan
menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut
rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya,
ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau suci-nya itu mencurigai
sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
“Memang
indah sekali tempat ini, suci. Hawanya pun nyaman dan sejuk sekali. Ahhh,
alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah
ini!”
Bi Sian
menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil
menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
“Ihhh, sute.
Apakah engkau lupa bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan
untuk mencari musuh besarku?”
“Wah, memang
kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku.
Siapa tahu, kita dapat lebih cepat lagi menemukan musuhmu dan membereskan
perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah
ini.”
Mendadak sepasang
mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya
banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya sudah menangkap
gerakan banyak orang di sekitar tempat itu.
“Ada
orang...!” bisiknya.
“Mereka
mengepung kita!” Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut.
Padahal, di
dalam hatinya dia bersyukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang
dijalankan oleh Pek Lan. Maka, dia pun hanya berpura-pura ketika kelihatan
kaget, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar terkejut karena melihat
bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang.
Mereka bukan
orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh. Orang-orang
itu rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan
sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang
tebal.
“Mereka
orang-orang asing...,” kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek
Lan yang mengatur siasat itu, bahwa yang akan mengepung mereka adalah
orang-orang Nepal.
Melihat
banyak orang mengepung dan maju mendekat, kedua ekor kuda yang mereka tunggangi
menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan
berkata kepada Bong Gan, “Sute, turun saja dari atas kuda agar kita dapat
membela diri lebih leluasa!”
Keduanya
sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang akan
tetapi penuh kesiap siagaan, kakak adik seperguruan ini lalu berdiri dengan
saling membelakangi.
“Sute,
biarkan aku yang bicara dengan mereka,” bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan
tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang
pasti akan terdengar sumbang.
Kini, tiga
puluh orang lebih prajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara
mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi
Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus,
matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak membengkok ke kiri
sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
“Hei, kalian
dengarlah baik-baik!” Bi Sian berseru dengan suara lantang. “Kami dua orang
pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa
kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?”
Orang tinggi
kurus itu memandang tajam, kemudian menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa
Han, walau pun logatnya aneh dan lucu.
“Kami biasa
menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak
diundang, tapi telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami
membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di
antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda,
menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada
pemimpin kami!”
Bi Sian
menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak mirip gerombolan
perampok atau penjahat yang kejam. Maka, dia pun berkata lantang. “Maafkan apa
bila tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak
bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk
ditawan.”
Pemimpin
tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu dia mencabut sebatang
golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, “Di
wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah
untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!”
“Kalau kami
tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian yang mulai marah dan penasaran.
“Terpaksa
kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!”
“Singgg...!”
Nampak sinar putih berkilauan ketika dia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang
Teratai Putih).
“Bagus!
Andai kata aku mau menyerah pun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena
tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian
hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian
menjadi korban pedangku!”
Bong Gan
juga telah menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan
daunnya sehingga kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
“Kalau
kalian memaksa, kami akan melawan!” Dia pun membentak dan sambil berdiri saling
membelakangi dengan suci-nya, ia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan
perlawanan.
“Kami tidak
akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!” bentak
pemimpin rombongan itu dan dia pun lalu mengeluarkan aba-aba dalam bahasa
Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan
perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
“Sute,
sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian.
Dara itu
menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak
membunuh. Oleh karena itu ia pun tak ingin sute-nya melakukan pembunuhan
sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.
“Baik,
suci,” kata Bong Gan.
Pada saat
kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak
menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring suara
seorang wanita.
“Tahan...!
Jangan bertempur!”
Para
pengepung itu menahan senjata mereka dan segera mundur. Bi Sian dan Bong Gan
menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia
dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih
mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh
tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di
dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh yang tinggi
besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja
Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang baru beberapa hari yang lalu, semalam
suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak
muda itu adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak
mengenalnya.
Melihat para
pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa kini ia berhadapan dengan pemimpin
gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dua
orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk
menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang digunakan
untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil
memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, pedang Pek-lian-kiam
masih melintang di depan dadanya, Bi Sian berkata, “Hemm, kiranya kalian
berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini.
Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan kenapa orang-orangmu yang
mengepung kami ini hendak menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda
bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar.
Diam-diam
Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin
memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai Yang Suhu
mengamati pedang di tangan gadis itu.
Pedang itu
bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh
merupakan pedang yang cocok sekali apa bila menjadi miliknya, bahkan kalau
menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih),
sekiranya bila pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa
saja.
Pek Lan
tersenyum dan memang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga
nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan
penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu.
Memang, biar
pun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga
daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimana pun juga, kalau harus memilih
keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian.
Bi Sian
seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan
adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan
dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk
bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
“Adik yang
baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti,
kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terjadi karena kalian sudah
melanggar wilayah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat menghargai
orang-orang gagah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi
pengepungan orang-orang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Jika memang kalian pantas
menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang
Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik
manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini,” katanya kepada Thai Yang Suhu.
Memang Pek
Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian
bahkan lebih tinggi bila dibandingkan pemuda itu, padahal baginya, menghadapi
Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian
kemudian sampai kalah!
Maka ia
sengaja menyuruh Thai Yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan
menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main, tidak bertanding
sungguh-sungguh. Biar pun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itu
pun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya
pendeta itu mempunyai kekuatan sihir untuk melindungi diri.
Thai Yang
Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan
terutama sekali tertarik melihat pedang di tangan gadis itu. Sekarang dia
memperoleh kesempatan untuk menguji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah
pedang pusaka ampuh ataukah pedang biasa saja.
Dia tidak
menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pedangnya merupakan pedang yang
baik dan dia khawatir bila pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di tangan
gadis itu benar pedang pusaka yang ampuh. Maka dia pun meminjam sebatang pedang
yang dipegang oleh seorang prajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.
“Siancai...
harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya ingin menguji, sebab hanya
melalui pertandingan silat maka perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!”
Melihat
sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak
kalau ia bersikap keras. Biar pun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka
belum melakukan penyerangan.
“Aku tidak
ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapa pun juga, dan aku pun tidak
sengaja melanggar wilayah siapa pun juga. Wilayah ini bukan pekarangan, juga
tidak dipagari, melainkan pegunungan dan telaga. Bagaimana aku tahu bahwa
tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan tetapi, biar pun tidak mau
bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!”
“Siancai...!
Nona memang seorang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji
kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!” kata Thai
Yang Suhu sambil menggerakkan pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan ke
arah kepala gadis itu.
Dengan cepat
Bi Sian mengelak. Dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah
lantas menyambar ke depan, menusuk ke arah dada lawan sehingga merupakan sinar
putih berkelebat.
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete