Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 06
Pada saat
gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walau pun pakaiannya amat
sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong,
tolonglah aku...!”
Gadis itu
meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang
dia dapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat
cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa
takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak
berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap,
dia marah sekali.
“Lepaskan
cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan
Siu Si...!” teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk
membebaskan cucunya.
Akan tetapi,
kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun
terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha,
apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin
melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia kemudian
memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan
pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang
meronta-ronta dan terus menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan,
perlahan dulu!”
Tiba-tiba
saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan
tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung
besar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang
punggungnya bongkok ini.
“Siapa
engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat,
urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka,
kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si
hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah
hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan
gadis ini, engkau mau apa?!”
Sie Liong
mengerutkan alisnya. “Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh
karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu
membebaskannya.”
“Hah?!” Si
hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar
lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.
“Kau...
kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang
kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Kedua orang
temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa
orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi
menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat
memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari
pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka
yang kejam.
Selain itu,
mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari
kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi
harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah,
pikir mereka.
Dengan lagak
bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong
sambil menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak
menunjukkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan hanya seorang
pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali
pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” salah seorang di antara mereka
mengejek.
“Tidak, biar
kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta
dari Mongol!” Orang ke dua memperoloknya.
Namun Sie
Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu
bahwa dua orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun
tidak ada isinya.
Dua orang
itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu
merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri,
yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah
dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong
melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat
datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu
dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran,
tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan dua orang itu terlempar ke
kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai
berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke
atas tanah.
Dua orang
itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi
perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka
sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari
pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan
cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan...
jangan membunuh orang...!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda
bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu.
“Orang muda, pergilah, larilah...!”
Akan tetapi,
tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin
mempedulikannya.
Sie Liong
menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, “Lopek, jangan khawatir. Mereka ini
adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang,
karena itu mereka patut dihajar...”
Baru saja
Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari
kanan kiri, mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan
bicara kepada Kwan Sun!
Kwan Sun dan
cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat
betapa tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh
mandi darah.
Akan tetapi,
dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput!
Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali
Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak!
Plakkk!”
Kini dua
tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka
terpental dan terbanting keras.
“Ngek!
Ngek!”
Mereka kini
tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan
menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk
bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si
hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai!
Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan
Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis
itu!
“Setan
bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong
menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak
akan membunuh gadis itu!” katanya.
Tiba-tiba
tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada
dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung
besar. Tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena
tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga.
Dia
terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong
sudah melangkah ke depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan
kanannya, menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap
pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh...
aduhhh... aughhhhh!”
Si hidung
besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada
pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang
dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mendorongnya
sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat
bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini,
dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh
lagi, mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang
pingsan.
Melihat
kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie
Liong.
“Taihiap...
mata kami buta, harap maafkan...” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap
memiliki kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap
taihiap cepat pergi dari sini... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama
banyak anggota gerombolannya...”
Sie Liong
tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan
cucunya sedang terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan
tadi pun menganjurkan agar dia melarikan diri supaya tidak sampai celaka di
tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah,
lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun.
“Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini,
terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka.
Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!”
Tidak sukar
pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang
tukang pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya.
Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu
mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa perlu diperintah lagi, mereka sudah
mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah
kakek Kwan Sun.
Maka, ketika
kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok
itu hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan
para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua
pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu.
Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,”
katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat
dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang
saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
“Mana kami
berani?” akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
“Andai kata
Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu
di dusun ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang
tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar
ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika
Sie Kauwsu masih hidup!”
“Nah,
ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie
Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan
kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!”
“Kami...
kami tidak berani...” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai
banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm,
kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali
tidak lihai. Apa lagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun
tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!” berkata Sie Liong tanpa nada
sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun orang
tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang
jahat?
Meski pun
pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya,
tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi
sudah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah
pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu dengan para jagoannya yang cukup
banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda
bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang
kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan
mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang
menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani
melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang
itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk
membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan
kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.
Tidak lama
kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera
bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan
dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya.
Nampak lurah
Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang
bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh
Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin
dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di
dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat
menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan
orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ,
dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.
Ketika
mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang
seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang
pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli
silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah
lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong
menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda
itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan
berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw
mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama
sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan
tetapi, tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang
membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu!
Maka begitu
berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok
seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan
membentak marah.
“Engkau ini
orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong
mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong
mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.
“Namaku Sie
Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang
untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada
dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan
penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi
lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan
membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang
berkeliaran di sini!”
Wajah lurah
Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari
dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di
situ.
“Jahanam
keparat, setan bongkok yang sombong!” Dan dia menoleh kepada para anak buahnya.
“Pukul dia sampai mati!”
Lima belas
orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando
ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata
tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie
Liong.
Orang-orang
dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri.
Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di
rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi,
Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup
menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua
tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa
batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang
dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan mereka menjadi
seperti lumpuh!
Akan tetapi
mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus
menyerang. Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali
senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini,
melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan
senjata, lurah Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan
bentakan nyaring, dia pun maju menyerang dengan mengangkat goloknya
tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan
miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat
pundaknya. Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia
merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku!
Di lain
saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai
perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini,
tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan
senjata mereka!
Sie Liong
terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa
orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh
dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba saja
datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang
memukuli ini adalah orang-orang dusun!
Kiranya
ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat
mengatasi lurah Bouw dan para anak buahnya, mereka menjadi bersemangat. Pada
waktu melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar,
mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja
tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening akibat
terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok serta dipukuli
oleh para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, semakin keras
pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan
tubuh mereka pun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong
tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil
membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka lenyap
selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka dia
pun segera melempar tubuh kepala dusun Bouw yang langsung jatuh berdebuk,
kemudian terguling-guling.
Kepala dusun
itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya
diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya
dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan dia pun terkejut ketika kini
orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei...!
Keparat... ini aku, lurahmu...!” teriaknya.
Akan tetapi
teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah
melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini
banyak pula wanita dusun yang keluar dari rumah dan mereka pun ikut pula
memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong
mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas
orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun
Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang
dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai
seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai
beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan
kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga supaya mereka tidak
sampai melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw
dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
“Cukup,
saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan
yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh
semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru,
“Hidup putera mendiang Sie Kauwsu...!”
Sie Liong
mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar mereka tenang, lalu dia
memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh amat
menyedihkan, keadaannya lebih dari setengah mati.
Muka mereka
bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai
hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah
tulang dan sebagainya.
Akan tetapi
Sie Liong merasa bersyukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang
tewas. Dia lalu menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu
mengeluh dan merintih, berusaha keras untuk membuka kedua matanya yang
bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she
Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak
mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw
sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli oleh rakyat, dia yang
tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun...
ampunkan saya... saya tidak berani lagi... saya berjanji akan menjadi lurah
yang baik...”
Akan tetapi
mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak
mau dia menjadi lurah kami!”
Sie Liong
tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar
sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus
sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu
itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan
engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri kami sendiri. Aku akan
melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa
engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah,
sekarang cepat engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan
tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat
yang kau peras!”
Semua
penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong karena mereka
semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw
Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah
dia bersama anak buahnya, lalu kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga
mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan
dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam
belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek,
yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di
depan Sie Liong. Sekarang mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita
sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,”
kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin
menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang sudah membebaskan kami dari
tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon supaya taihiap suka menjadi kepala
dusun kami.”
“Hidup
Sie-taihiap...!”
“Kami
setuju!”
“Akur!
Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat
mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan
hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya
dengan ejekan, dengan olok-olok, ada pula yang dengan pandang mata kasihan.
Dia seorang
bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi
sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti
dipuja-puja!
“Terima
kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih memiliki
tugas yang sangat penting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena
itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apa lagi mengingat bahwa aku
tidak mempunyai pengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun.
Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang
benar-benar dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali
terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi
ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie
Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian
telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang sangat tepat untuk menjadi lurah
kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara
ini!”
Kwan Sun
bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani
biasa, kini diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan
tetapi bagaimana mungkin saya bisa menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar
yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang
menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang
benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena dia pun baru tahu akan hal itu
sekarang.
“Harap lopek
jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui
pejabat yang berwenang untuk itu. Akan kuceritakan pula tentang keadaan di
Tiong-cin ini, juga tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para
penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang
bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang
muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika
dia menumpas lurah Bouw dan anak-anak buahnya.
“Akan
tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan
setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan
membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda.
Kembali
semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas
dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian
mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, langsung membuat
mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Janganlah
kalian takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan
gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi
banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku
dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapa di antara cu-wi
yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada
tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tak pernah
berlatih, akan tetapi pada saat Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan
gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan
melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian
mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau
bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.”
Semua orang
setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas
rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan
tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan, terlebih dahulu dia
minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti
lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini.
Sekarang lebih dulu saya ingin pergi berkunjung ke makam itu. Di manakah makam
mereka, lopek?”
“Ahh, mari
kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur,
tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju
ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama
kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berjejer.
Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah
dan ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi
hormat, dia pun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh
lurah Kwan.
“Ini makam
Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri turut mengubur jenazah mereka,
dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong
terkejut dan heran. “Apakah suheng Kim Cu An ini pun tewas karena penyakit
menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah
Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa
maksudmu, taihiap?”
“Bukankah...
bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ahh, dari
mana taihiap mendengar berita itu? Sama sekali tidak begitu! Di sini memang
pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang
jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak
pula!”
Sie Liong
terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak
nampak di wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan
makam ayah ibunya dan suheng-nya, lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek,
sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah
terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun
mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di
dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia memiliki dua
orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia
lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru
kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak
itu, lopek.”
Kakek itu
mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walau pun tadinya kami
ragu-ragu...” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu
memiliki beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang
Kim Cu An yang pada saat itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah
ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada satu hari, pagi-pagi
sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh
mengerikan dan menyedihkan sekali...” Kakek itu berhenti bercerita dan
termenung.
“Kemudian
bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong
mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang
sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
Kwan Sun
menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama
kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu
An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami
mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam
dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa
yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu
menggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa
pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Enci-mu, Sie Lan Hong dan
engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang
terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie
Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Akan tetapi barang-barang
itu, rumah itu, telah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong
mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan
menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Walau pun dia amat jahat, akan
tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya
kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi
ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi enci-mu, Sie Lan Hong...”
“Lopek,” Sie
Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang
kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu
menggeleng kepala lagi.
“Tidak ada.
Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie
Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong
mengerutkan alisnya, sejenak ia termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas
keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata
demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya,
bersemedhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi
perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa enci-nya bercerita lain? Mengapa
enci-nya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa
ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah enci-nya tidak tahu akan
peristiwa itu? Ataukah enci-nya sengaja membohonginya? Tetapi, bagaimana
mungkin enci-nya berbohong kepadanya?
Dia yakin
benar betapa besar kasih sayang enci-nya kepadanya. Tadi dia tidak mau lagi
membicarakan urusan itu dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau-kalau
orang-orang mencurigai enci-nya. Tetapi betapa pun juga, memang segalanya
menunjukkan bahwa enci-nya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa
pembunuh ayah ibunya! Hanya enci-nya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya
dari enci-nya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, enci-nya.
Setelah
merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti
Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia
harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus
kepada bekas murid-murid ayahnya supaya para penduduk itu dapat menyusun
kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh
semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang dulu pernah belajar
silat pada Sie Kauwsu, berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu
minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah
lurah Kwan sambil merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari
pada manisnya.
Sejak kecil
dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid
orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan
berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya
yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama
sekali bukan karena penyakit.
Ayah ibunya
dan seisi rumah dibunuh, kecuali enci-nya dan dia! Apa artinya ini semua dan
mengapa enci-nya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari
enci-nya.
Pada
keesokan harinya ia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya
itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan
dusun mereka.
“Sie
Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap
menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap
yang sudah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang
jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk
diselesaikan dengan taihiap.”
Sie Liong
tersenyum. Ia memang memiliki rasa persaudaraan yang dekat sekali dengan para
penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Apa bila para penduduk hendak
menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia
tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa hari pun apa salahnya?
Biar pun hatinya ingin sekali segera mendengar dari enci-nya tentang kematian
orang tuanya, namun dia tidak perlu tergesa-gesa.
“Baiklah,
Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi
jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya
maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi
bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie
Taihiap?”
Sie Liong
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kalau saja dia belum menerima
penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari
para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang
yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang
mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin,
dan bongkok pula!
“Tidak,
lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba
wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini
kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha,
sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap
tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan
merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si.
Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie
Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama
sekali belum pernah berpikir mengenai jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang
manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah
baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis
dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana,
Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami
akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apa bila
dibandingkan dengan taihiap.”
“Ahh, jangan
berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu.
Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak
mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan.
Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang.
Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi...
tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong
menggelengkan kepala.
Lurah Kwan
menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberi tahu kepada
kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke
rumah enci-mu!”
Pada
keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk
menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun
itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si
sendiri.
Gadis ini
nampak malu-malu, karena ia sudah diberi tahu oleh kakeknya tentang usaha
kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis
yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie
Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan
oleh tangis, dan bahwa sikap ramah serta senyum pada bibir yang mungil itu
tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan
bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat
pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong!
Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka
lantas menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan.
Lurah Kwan
mengangkat kedua lengan ke atas dan mereka pun diam. Wajah mereka berseri-seri
dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala
dusun baru itu.
“Kemarin,
perjodohan ini sudah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan dia pun tidak
berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusan darinya akan diberikan setelah
dia menyampaikan hal itu kepada enci-nya yang kini tinggal di kota Sung-jan.
Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan
pulang dahulu ke Sung-jan untuk minta persetujuan enci-nya.”
Kembali
orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa
Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka, bahkan diajak makan bersama oleh
kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu.
Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan
cucuku. Maklum, dia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata
sesuatu.
Malam itu,
di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga
Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia sudah akan pergi
meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat
tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana
bila ternyata enci-nya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau
enci-nya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau enci-nya tak
setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi.
Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apa lagi gadis sedusun dengannya.
Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan
cinta antara pria dan wanita.
Akan tetapi,
bagaimana kalau enci-nya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu
apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai
pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai
laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya? Ini pun
tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang
tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada enci-nya.
Dan Bi
Sian... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian!
Terbayanglah
wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar.
Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat pada Bi Sian? Uhhh,
anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak
kawin!
Tiba-tiba
saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul
lurah Kwan? Sekarang dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa
menyakiti hati keluarga Kwan.
Mendadak Sie
Liong bangkit duduk. Dia pun memejamkan mata sambil mengerahkan pendengarannya
yang sudah sangat terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena
mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak beres, apa lagi dia menduga bahwa
tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie
Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar
kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar
gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja.
Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu
menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita
setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu,
kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau
menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat
akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling
mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Biar pun tidak
secara resmi, bahkan kong-kong telah menyetujui jika Siu-koko kelak menjadi
suamiku. Akan tetapi mengapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan...
Si Bongkok itu?”
“Hushh,
jangan berkata demikian, Siu Si. Sie Liong adalah seorang pendekar sakti yang
budiman...”
“Aku tidak
peduli! Biar dia sakti seperti dewa sekali pun, aku tidak sudi, aku tidak suka
padanya. Siapa yang mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu
Si menangis lagi.
“Hushh, kau
tidak boleh berkata demikian, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi
dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau!
Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia
menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi
saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi... tidak sudi menjadi
isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Sui-koko...”
“Hushhh...!”
Wajah Sie
Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapa pun, dia
sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk
rasanya.
Dia
menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur,
menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi
kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya
Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat
membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh
lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat,
pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan
kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan
saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik
bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu
juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun
Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai
nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah
bukit.
Dia duduk
menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua
lutut, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok.
Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang
yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...”
Senyum yang
menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya
merah. Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis.
Mengapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa?
Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya.
Bongkok dan
buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang
gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan
berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apabila
kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda
lain, mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk
membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus
tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang
jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek Kwan
tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia
malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis
lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’,
bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan
merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan
hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima
kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu
indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan
sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima
kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali
berbisik sambil memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar
matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata.
Sie Liong
membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi
pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima
kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah
tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah
anugerah yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak
menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan
berkecil hati.
Memang dia
bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak.
Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan
seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang
tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada.
Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah
seorang pemuda yang berbahagia….
***************
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong
menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu
merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya
hatiku melihatmu...!”
Sie Liong
membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta
rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu
sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah
kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu...
dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di
dalam.”
Sambil
bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang
nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat
enci-nya nampak tua. Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti
enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu
selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah
ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang
berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu
kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup
berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.
Pakaian yang
dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak
perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot
yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir
sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk
berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu
berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan
tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya
nampak sehat.
“Liong-te,
selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku
mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.”
Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika
belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh,
syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang
pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong
merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan
ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong,
kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau
tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu
terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar
matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau
tanyakan, adikku?”
“Apa yang
telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu
nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu
membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah
mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang
pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam.
Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong
menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te.
Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan
diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu
musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah
dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai
kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi
korban pembunuhan pula...”
Sie Liong
memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita
itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah
engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong
menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak
tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu
siapa pembunuh itu...”
Melihat
enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka
yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya,
suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang
tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka
melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia
teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Enci-nya
kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia
bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh
gurunya itu.”
“Ahhh...!”
Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar
silat pada seorang sakti!
“Siapakah
nama gurunya, enci?”
“Namanya
Koay Tojin...”
Sie Liong
menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat
sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia
pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah,
menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang
baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat
perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan
menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya
demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan
menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja
enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong
memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci,
engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan
ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban
penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu
menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau
pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama
sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa
tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan.
Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi
dan pelesir saja...”
Sie Liong
mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan
terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga
enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu
ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong
teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa
diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak
enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu
untukmu.”
“Biar
kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te,
jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di
hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini,
Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan
sendiri.”
“Baiklah,
enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam
dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu
dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh
malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok!
Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya
karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit
lamanya.
Ia merasa
bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah
pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak
pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya
untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah
beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan
memukulinya.
Melihat
enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari
dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu
didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam
dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir
jatuh.
“Dasar
perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk
suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai
seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan
terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Oleh karena
diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya
hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan
kemarahannya.
“Sungguh
bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang
sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau
malah memaki-maki aku!”
Sie Liong
hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi
juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan
pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya
pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu
seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?!
Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan
sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok
mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu
terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau
terkena pukulan itu.
Sekali
berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan
tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok
menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya,
kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus!
Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar
menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan
aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok
maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri
menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan
memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”
“Engkau
pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok!
Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat
melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...?
Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu.
Aku Sie Liong.”
“Sie
Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda
bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat.
Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan
bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi
murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu
kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika
Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata
terbelalak.
“Apa?!
Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau
mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar
sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan
sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak
pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”
“Hemm, jadi
cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah
Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri
tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong
mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga
cihu-nya tidak suka kepadanya, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang
sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan
tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak
sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak
bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan
sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau
anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa
pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau
mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan
rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk
berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam
lumpur...”
“Tutup
mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba
Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah
dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena
memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya
dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat
menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi,
yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat,
punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin
dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah
saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk
mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku
tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat
betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok
menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang
pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu
pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan...!
Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak
ketakutan.
Akan tetapi
suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan
pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong
menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas
kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik
dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu,
engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari
samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu
terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun
dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini
maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa
yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia
sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
Keras sekali
tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda
itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan
terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu
itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat,
sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm,
sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo,
mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah
suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun
mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang
membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga
malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik
kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja
ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di
dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama
kemudian dia sudah tidur mendengkur…..
***************
Kakek gembel
itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk
berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas
itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar
batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel
ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut
penuh tambalan.
Kedua
matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia
tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang
yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua
yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw
lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah
mati.
Kakek tua
renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin,
seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh
dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia
ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal
ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan
celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek
itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di
depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas
tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.
Gadis itu
cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong,
sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun
mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar
pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat
dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih
licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu
pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias
senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda
yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti
telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda
itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah
Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan
tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik
seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak
seperguruan pria).
“Suhu, ini
teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta
bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil
menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu
bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira
menyerahkan seguci arak.
Kakek itu
membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang
muridnya.
“Heh-heh,
kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua.
Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim.
Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan
mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini
memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang
murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena
baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan
mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang
amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang
yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat
menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan
minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya.
Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa
senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang
ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah
perkasa dan baik.
Sebaliknya,
kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan
amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang
berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.
Akan tetapi
ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu
kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa
pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang
biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke
seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh
seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya.
Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia
sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai
terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia
ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati
terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi
gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng
seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah
makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut.
“Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada
keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja
sekali.
Kakek itu
tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa
mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya
ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan
hal seperti ini!
Akan tetapi
kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu
baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi
muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari
hidupnya!
Kesenangan
dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan
datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah
darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah
tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan
ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah
hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada
derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan
ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian,
dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling
memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan
berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu
nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak
senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa
dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi,
suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu
silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat
kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa
beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang
sudah tua itu!
Koay Tojin
tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji
tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku,
akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh
kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa
yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal
terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah
dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian
silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi
juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan
pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari
hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan
ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga
berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu,
selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang
kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu
akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak
menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan
hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang
pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin
tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku,
pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik,
tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi
nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau
akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga
menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi
nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin
tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh
keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya
sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau
berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling
lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum
engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan
tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah
kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan
kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat,
tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang
muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang
muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main
cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang
sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat
itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi
tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi
Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan
kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata
dengan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu,
selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha,
selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu
di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan
juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat
mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu
nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu,
lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan
melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang
berlawanan dengan dua orang muridnya…..
***************
Dua orang
itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari
kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya.
Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus
berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah
dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya
sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga
mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang
tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja,
tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain
yang baru.
“Suheng,
sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan
menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan.
Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah
yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya
penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?
Membayangkan
perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara
seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah
dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak
diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi
Sian.
“Suheng,
engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak
memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai
tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena
aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru
pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk
menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku
sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama
sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian
memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya
telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga
bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah
memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang
kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi
kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada
saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci,
ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah
berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi
tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi
Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa
iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa
mendapat jawaban!
“Suheng,
engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan
bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku
hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau...
kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian
tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang
dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau
engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang
tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal
dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu
mencari pekerjaan.”
Wajah yang
diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar
dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh,
sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu,
sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian
membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah
suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita
saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila
kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah,
suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya
Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak
gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak
timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan
melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi
sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk
mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian
sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si
pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika
mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju
ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya
berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan
tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak
suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang
yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian,
wanita itu menjerit.
“Bi
Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang
wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan
sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan
puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak
menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan
kasih sayang.
Ia diam-diam
merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak
disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara
itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan
menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama
enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri
sedikit canggung.
Tentu saja
hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain
yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita
dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang
pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling
pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum
diperkenalkan.
“Ibu...
ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
Sie Lan Hong
dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu.
“Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau
temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang
melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya
tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong
juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik
dan gagah!”
Bi Sian
melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah
menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda
dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
“Paman
Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh,
engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan...
hemm...”
Gadis itu
melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah
sekali mukanya.
“Dan...
bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu
aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi
Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka
menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian,
engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa
dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan
baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu,
paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong
Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi
Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat
keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan
tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti
paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang
itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan
bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana
ayah?”
“Sudah
kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu
itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong
mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah
tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi
agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata
kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia
memang pemalu.”
Sejak tadi
Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang
tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak
dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi,
ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya,
mungkin pandang matanya.
“Saudara
Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima
kasih, terima kasih...!”
Mereka
berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie
Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam
rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut,
tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun,
dan toko mereka sudah ditutup!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment