Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 07
Apa yang
telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ
terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya
kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka
berempat lalu duduk menghadapi meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera
menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin. Ia juga
menceritakan mengenai perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di Sung-jan itu.
“Coba ibu
bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan anak buahnya yang
menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai
penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung
muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan
mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku
pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”
Sie Lan Hong
menahan senyumnya.
“Hussssh,
jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal
itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan
itu....”
Bi Sian
bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan
ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia
minta ampun!”
“Jangan, Bi
Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana
pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya
besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu,
bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa
yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak
baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran
padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku,
maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang
berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah,
Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat
akan keadaan suaminya.
Baru
menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka
sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi
Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru
pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan
mendatangkan keributan dan kekacauan.”
Bi Sian
masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba
pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki
Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih
boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap
diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong
tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam
kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu
mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah
katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu?
Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan
perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya.
Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk
menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah
begitu?”
Gadis itu
memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh?
Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan?
Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu,
suheng?”
Song Gan
mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang
berkerut.
“Kalau
begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku
pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay
Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman
Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong
tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan
beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu
terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu,
engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan
pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini
gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan
dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi
Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya
kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh
seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia
itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian
mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!”
gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah
gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang
katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah...
Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong
mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang
cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya
banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku
tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus
mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana
aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!”
kata Sie Liong.
Dan suasana
menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan
suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan
yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda
bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian!
Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi
dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang
tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja
bengkok?
Dia merasa
tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda
bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk
isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok
itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang
saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian
jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang
setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak
menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini!
Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat
dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu,
bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa!
Adik jagoan dan anak tukang pukul?”
Mereka
tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu
pula, terdengar teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana
dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan
tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”
Laki-laki
itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi
keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!”
Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan
ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi
sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Memang orang
itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai
dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia
memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri
dirinya itu.
“Bi Sian...
kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!”
Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya
merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya
menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah
perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
“Ayah,
tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk
di kursi menghadapi meja.
Hanya
sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya
dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha,
engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay
Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat
mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm,
engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu
suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok
tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu,
kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran
dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat
bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil
menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh
ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan
menegangkan.
“Paman
Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi
terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar
telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong
mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah
Bong Gan.
Bi Sian
mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga
sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya
sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya
dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong
mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan
tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin
dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam
keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan
dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok,
dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah!
Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya
berubah...!”
Kembali dia
melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara
lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah
merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit
berdiri.
“Maafkan
aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku
akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian
hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang
ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau
suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan
pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk
di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa
pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia
terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul
ayahnya.
“Nah,
sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong
menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan
tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu.
Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali.
Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu
mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia
bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan
ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih
lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”
“Ahh, mana
mungkin itu?”
“Aku sendiri
pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak
tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan
hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang,
bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri,
sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu
bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh,
ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu
meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat
ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di
belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan
dia.
Diam-diam
dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi
seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah
jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya
tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi
emosi.
Dan dia
teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu
mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja
mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada
pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di
atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu
suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian
mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau
benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi
Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah,
tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat
dan sadar lagi, duduk kembali.
Ihhh, engkau
ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik
manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama
dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya
harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang
bongkok?
“Yang tahu
dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie
Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
***************
Seorang
pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera
menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu.
Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima
orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta
mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka
mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak
wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain
adalah Bong Gan!
Sebetulnya
tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran,
walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia
melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah
menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi,
sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali
menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak
pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu
ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau
memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan
birahinya yang berkobar-kobar.
Di luar
dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali
mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan
paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun
selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang
mengenalnya.
Wanita yang
dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu
saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran
bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban,
maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua
dorongan nafsu birahinya.
Kini dia
berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari
Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia
pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang
besar di kota Sung-jan.
Bong Gan
tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah
menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam
rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang
cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu
mudah saja dia lakukan.
Tidak lama
kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis
pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan
bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan
berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar
digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa
orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan
uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja
kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar
suara seorang pria menegurnya.
“Heiii,
bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan
menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang
menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar
kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian
di rumah pelacuran!
Celaka,
pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah
sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan
sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya
di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
Dia cepat
dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan
melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil
berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah
lihat!”
Yaw Sun Kok
belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau
dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur,
atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang
pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya
kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi
langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah
kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok
adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga
jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang
sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya
isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia
memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh
besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa
gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas
permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena
cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan
hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah
dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir.
Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong
Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan
tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat
tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun
Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan,
tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan
kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang
keras.
Bagaimana
pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan
tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan
cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan
kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun,
penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu
menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu
dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati
penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang
berpunggung bongkok!
“Sie
Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang
semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu
mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat
isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini,
apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih
berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas
dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa
dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun
menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya
lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok
telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan
tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya,
menyerang dengan gesit.
Akan tetapi,
sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan
yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi
serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat
bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia
membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya,
tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah
tangan!
Sebelum Sun
Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus
dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada
ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan
berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu,
menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke
atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya.
Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang
rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu,
kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa
itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu
tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia
kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian
masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok
menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman
Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi
bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat
keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi
bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh
menggeletak di atas tanah.
Pada waktu
itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam,
terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup
terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
“A...
ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya,
benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang
dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi
Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari
keluar.
“Bi Sian,
apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...!
Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun
melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat
menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati
rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda
itu.
Sebuah
topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian,
ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar
suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam
bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia
melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
“Paman
Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil
memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar
apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong
di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman
Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu
tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih
tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti
melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba
di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan
melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia
terkejut bukan main.
“Enci Hong,
apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah
lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada.
Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat
suaminya.
“Liong-te...
bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!”
Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak
tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya.
Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih
meragukan kenyataan itu?
Tadi dia
telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu
berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng
hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah
pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong.
Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di
tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu
terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku,
Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa
kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah
membunuh suamimu?”
Akan tetapi
anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang,
di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah
membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te,
kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian,
dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar
ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar
geledek di hari terang!
Akan tetapi,
Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking
panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie
Liong yang cepat menangkapnya.
Melihat
bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak
tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah
menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu
hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa
disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya
lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat
menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua
lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu
menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan,
melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main
cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan
loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri,
agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri
dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan
melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang
amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah
dipertontonkan Koay Tojin.
“Kalian
salah sangka...!” katanya.
Ketika
tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong
melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian
dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan
itu menyambar keras.
Bi Sian
terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie
Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia
pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh,
hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi,
Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak.
Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke
dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak
berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan
mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah,
Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong
yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu,
yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm,
bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah
kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu
membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi
Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari
kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan,
ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis
itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para
tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun
Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa
pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah
perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan
serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong
menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan
terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan,
ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan
Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu
perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar
sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya
telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
“Mau apa...
engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan?
Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci,
dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu
menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun
tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya
kalau aku atau engkau membunuhnya...”
“Enci...
apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau
tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena
dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang
menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang
pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”
Sedikit
banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu
dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh
ayah ibu mereka?
“Tapi...
tapi mengapa, enci?”
“Mendiang
ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan
perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan
mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada
malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi...
tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci
menjadi isterinya...?”
“Itulah
selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan
membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk
menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku
sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau
tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai
terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku
jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah
ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.
Sie Liong
mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan
tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah,
siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah
sepatutnya engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba
pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan
mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam
yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh
keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat
kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie
Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking
cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan
cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai.
Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi
tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
“Bi Sian,
engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia
meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam,
jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan
memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan,
anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian
mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang
pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung
ibu...”
Ia
melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya,
melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah
ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya
melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk
merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia
tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar
gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia
tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita!
Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia
bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai
menderita kehancuran.
Pada
keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan
sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia
kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian
menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa
yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan
penuh kekhawatiran.
“Yang
meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!”
Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau
masih segar bugar...!”
“Malam
tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak
menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini,
Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi
hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri
sumoi-nya.
“Sumoi,
kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita
masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan
mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis
itu mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng,
ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!”
Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh
orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya
adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda
berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian
mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau
begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan
berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku
sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh
dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat.
Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian
yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap
engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita
kalahkan.”
“Aku siap
siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk
membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima
kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat
kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie
Liong!”
“Ehh?
Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak,
kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah,
ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat
sekarang juga!”
Pemuda itu
masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa
girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan
perjalanan!
“Kau... aku
tidak berpamit kepada ibumu?”
Gadis itu
menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih
baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada
pembunuh ayahku!”
Berkata
demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu
dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang
berlayat.
Ketika Sie
Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa
pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang
bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah
karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini
hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia
pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja
sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah
menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya
itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!
Setelah
suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam
keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia
berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk
melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh
Sie Liong. Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan
berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai
puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong
sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia
telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga,
Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di
dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.
Wanita itu
berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai
daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih
mulus kemerahan. Matanya jeli serta kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya
bisa menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis
sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan.
Tubuhnya
bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah dan amat
menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan
jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya
ramping dan pinggulnya besar, langkahnya bagaikan seekor singa kelaparan. Pada
lengan, kaki dan lehernya nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya
tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika
wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihat
wanita ini memandang hingga melotot. Bahkan ada yang seolah matanya sampai mau
meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang
kehausan melihat buah yang segar. Ada yang lidahnya terjulur ke luar
menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus
yang montok.
Pendeknya,
jarang ada pria yang mau melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan
di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, sudah memasang senyum
menyeringai, ada pula yang berdehem, juga ada yang memuji dengan suara.
Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita
yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak
panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu
bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasyikkan. Ia sadar
sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan merasa bangga dan
gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Oleh karena itu ia sengaja
membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti
menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin,
matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut akan tetapi tajam, dan bibirnya
yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang
bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita
penduduk biasa dari kota Ho-tan kiranya tak mungkin, sebab melihat pakaiannya
yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri
bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya
berjalan kaki saja? Tidak naik kereta?
Wanita
cantik itu penuh teka-teki, dan kalau dia lebih lama berada di kota itu, tentu
segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan
memperkenalkan diri. Terlalu cantik untuk dibiarkan sendirian saja di tempat
ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di
hutan tanpa ada yang melindungi. Seperti setangkai buah yang segar dan matang,
tentu tidak akan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang
memetiknya.
Sudah mulai
banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan
malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika
melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal
kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua
yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat
tinggal siluman-siluman!
Setelah hari
mulai gelap, hampir tak ada orang berani memasuki tempat itu. Jangankan
memasuki kuil itu, bahkan masuk ke halamannya pun jarang ada yang berani.
Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, sering kali terdengar
suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika
mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang
lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam
menahan kaki mereka, kemudian membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk
meremang. Sebagian lagi masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang
cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu?
Ketika
mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap,
kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang!
Tidak salah lagi, yang mereka bayangi itu sudah pasti siluman! Siluman yang
suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi
wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya
ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan
mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja
di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu
masuk ke dalam kuil, tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah
tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah
mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan
yang menuju ke kuil.
Dari atas
itu, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, dia dapat melihat mereka yang tadi
membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari
pontang panting kembali ke dalam kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang
menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah
ia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutinya masuk ke dalam
kuil.
“Hi-hik-hik,”
dia tertawa lirih dan berbisik-bisik, “biarkan mereka mengira aku siluman.
Memang aku siluman... hi-hik-hik, siluman asli...!”
Ia lalu
melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh
karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Kalau saat
itu ada orang lain yang mengikuti wanita ini masuk, ketika ia tiba di ruangan
belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan
dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu
merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas
berada di dalam kuil tua yang kotor itu!
Kamar ini
cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur
enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain
kapas yang berwarna merah, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya
bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya
yang merah dan tebal.
Di kamar itu
terdapat pula lima buah kursi serta sebuah meja, dan di atas meja itu ada guci
arak lengkap dengan cawannya, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan
makanan-makanan kering!
Sebuah kamar
yang amat menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu
adalah keberadaan tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh hingga dua
puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga
orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus. Mereka segera
menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah birahi,
dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Pada waktu
wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan
rangkulan, lalu ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita
cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda
itu. Ia tertawa cekikikan, lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi,
memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan.
Ketiga
pemuda yang sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan
tetapi, setelah bermain-main dengan mereka, berenang dalam lautan kemesraan
hingga lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai
bosan!
Siapakah
wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain
adalah Pek Lan!
Tujuh tahun
yang lalu, ketika berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang
dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang
ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota
Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah
panas dan nafsu birahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang
suami yang usianya sudah setengah abad.
Maka,
melihat betapa putera angkat hartawan itu, biar pun baru berusia tiga belas
tahun akan tetapi sudah cukup besar, ia lalu merayu anak itu yang bukan lain
adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir
dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, mengetahui
hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu
tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita
ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang kemudian
mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat
yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat,
kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan
apa pun!
Maka, bagi
Pek Lan tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya. Dia tumbuh semakin dewasa
dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu birahinya
semakin menjadi-jadi!
Untuk
memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa
untuk melayaninya sampai ia merasa puas. Kalau ia sudah merasa bosan, pria itu
lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi
perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subo-nya.
Subo-nya
memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Co-sa dan mereka hidup sebagai
orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung
Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan. Selama tujuh tahun terakhir ini, kalau
mereka mulai kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali
gudang harta mereka.
Seluruh
tokoh sesat dari dunia hitam berlomba untuk menyerahkan sebagian dari hasil
mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain
itu, sangat mudah bagi Pek Lan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi
untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau
bangsawan.
Setelah
lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang amat
hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah
keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subo-nya
dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang
pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya!
Ketika dia
tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam
perjalanan. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera
tercurah pada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng,
sibuk memikat tiga orang pemuda itu.
Tidak sukar
baginya untuk menjatuhkan hati tiga pemuda itu dengan kecantikannya dan
kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di
mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam
ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia
merasa agak bosan. Dan setelah merasa bosan, barulah ia teringat kembali akan
maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga
orang pemuda yang sudah tergila-gila pada wanita cantik itu membelai dan
menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di
atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
“Sudahlah,
malam ini aku tak bisa main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan
penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti,
larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian
harus sudah bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...” Ia tertawa cekikikan
seperti siluman.
Tiga orang
pemuda itu pun ikut tertawa gembira. Mereka tidak peduli apakah Pek Lan seorang
manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita
itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup
mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah
bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai
gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, kemudian sekali
berkelebat ia pun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu
hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya
baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik
yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara
itu.
Tubuh Pek
Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam
waktu singkat, bayangannya telah berada di atas genteng gedung keluarga Coa.
Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia
sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu.
Di bawah
sebuah lampu dinding di dekat taman ia berhenti, kemudian memandang ke
sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini tidak banyak perubahan,
nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya.
Lalu ia
mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya
dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu,
juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama
ia merencanakan cara dia membalas dendam, dan kini dia tersenyum sendiri.
Senyum itu
membuka sepasang bibir yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya
yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena
sepasang matanya mencorong. Wajah yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah
seorang siluman tulen!
Dia masih
ingat di mana adanya kamar-kamar para selir dan para pelayan itu. Dengan amat
mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja,
ia melompat ke dalam kamar. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan
melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai,
tidur nyenyak seorang diri memeluk guling.
Ia
mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak saat
melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
“Apa...
siapa kau...?” tanyanya gagap.
Pek Lan
tersenyum manis. “Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang
lalu...”
“Pek Lan...!
Kau... Pek Lan...?” selir itu berseru kaget.
Akan tetapi,
pada saat itu Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan
tak mampu lagi mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan
menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui
jendela yang daunnya ia tutupkan kembali.
Ia membawa
tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah
taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan
melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang
diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak digunakan, maka pintunya
dikunci dari luar. Akan tetapi, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan
ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu, kemudian melemparkan
tubuh itu ke atas pembaringan.
Selir itu
hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan
tetapi dia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata
manusia biasa itu!
Selir ke dua
juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu
mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam
pondok.
Ketika ia
memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur
dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini
telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak peduli. Ia menotok selir ini dan
juga menotok anak kecil itu supaya jangan menangis dan menggagalkan rencananya,
kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok
itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di
dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan
menuju ke deretan kamar para pelayan. Ia pun masih ingat di mana letak kamar
dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah
mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tak peduli,
dan seperti yang dilakukan pada para selir tadi, ia pun dengan mudah, seperti
setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka
menuju ke pondok di taman bunga.
Isteri salah
seorang di antara tiga pelayan pria itu pun ditotoknya sehingga tidak mampu
berkutik mau pun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan pria
itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka tergeletak tumpang
tindih di atas pembaringan tanpa dapat berteriak, juga mereka hanya terbelalak
saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang
di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah
membiarkan tiga pasang manusia itu tumpang tindih di atas pembaringan dalam
keadaan tanpa pakaian, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya
yang cantik manis itu nampak sungguh menyeramkan, menyeringai laksana iblis
betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan.
Kemudian ia
menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah,
lalu dipukulnya kentongan bambu untuk membuat gaduh. Sebentar saja semua
penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendengar suara kentongan
bertalu-talu dari belakang itu. Mereka segera memasuki taman dan menjadi
semakin geger melihat pondok di taman itu.
“Pondok
Merah kebakaran!” demikian teriakan mereka.
Semua orang
lalu berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan
siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja
mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya
menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api
itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan
pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih
di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali!
Tentu saja
keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir
Coa-wangwe secara tidak tahu malu sekali sudah mengadakan perjinahan dengan
tiga orang pelayan pria. Agaknya mereka demikian asyik sehingga mereka tidak
tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian
belakangnya!
Ketika tiga
pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan wajah ketakutan,
Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu hanya pura-pura atau tidak mampu
bergerak karena ketakutan. Dia tetap tidak peduli dan menyuruh para pelayan
menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih
telanjang bulat mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan
bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit
punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka
diusir, hanya boleh membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah
memiliki anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah
melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya berani
menyeleweng dengan para pelayan, melainkan akibat nama baiknya tercemar karena
seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang memalukan
sekali itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya
atau selir lain menemaninya sebab ia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah
mereda.
Akan tetapi,
ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia
tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia
terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu sedang rebah
seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih
mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang
mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
“Kau...
kau... Pek Lan?” Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut.
Biar pun
wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang
matang, jauh lebih menarik dari pada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika
masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring
menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan
tersenyum. Manis!
“Aihh,
Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!”
“Tentu saja
aku masih ingat!” Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi
pembaringan. “Siang malam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang
dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu
betapa besar cintaku kepadamu...”
Tangan
hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak.
“Hemm, kalau
memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku?
Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Dulu aku dipaksanya dan
karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah.
Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang
selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjinah, bahkan dengan
para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan
kehormatanmu!”
Hartawan Coa
menghela napas panjang. “Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah
kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan... engkau begini cantik jelita... aih,
kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis dari pada dahulu. Engkau
kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, tapi akan kuangkat
menjadi isteri yang sah!”
Kembali
tangan hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu
menyentuh lengan yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera
dirangsang nafsu birahi. Akan tetapi ketika dia mulai hendak merangkul, Pek Lan
melompat turun dari tempat tidur.
Melihat
wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu kini
demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
“Pek
Lan...!”
“Cukup!
Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak
butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut
gendut berkepala botak itu!”
“Pek
Lan...!”
“Dengar! Aku
datang untuk menagih hutang! Dahulu engkau pernah mengusirku, tanpa memberi
bekal sedikit pun. Padahal aku telah menyerahkan diri padamu, menyerahkan
kegadisanku dan mandah saja menjadi barang mainanmu, menjadi pemuas nafsumu.
Sekarang engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua harta
milikmu yang kau simpan di dalam almari tebal ini!” Ia sudah hafal akan hal itu
dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut.
Melihat dan
mendengar ini, Coa-wangwe menjadi sangat terkejut dan lenyaplah sudah nafsu
birahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
“Pek Lan,
apa yang kau lakukan itu?!” bentaknya marah.
Tentu saja
dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Dia pun melangkah lebar
menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tangan untuk menangkap lengan wanita itu
agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
“Plakk!
Dukk!”
Dan hartawan
Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang
ditendang menjadi mulas.
“Aku datang
hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!” kata Pek Lan. “Akan
tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!”
Sekarang
hartawan itu ketakutan dan dia berlari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak
mempedulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walau pun
almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi
perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang
berkilauan.
“Tolong...!
Perampok..., pembunuh...!” Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu
menjerit-jerit.
Pek Lan
tidak peduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam
sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang
jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga
hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke
kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh
kepada Coa-wangwe.
Di dalam
kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada
perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam
sebuah kantung.
“Maaf, loya,
di mana perampoknya?”
“Mana ada
pembunuh?”
Coa-wangwe
menuding ke arah Pek Lan. “Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua
hartaku, dan ia sudah memukulku!” Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya
yang masih mulas.
Lima orang
penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan
kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek
Lan.
“Bukankah...
bukankah engkau nona Pek Lan...?”
Pek Lan yang
masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan
tersenyum manis. “Hemm, engkau masih mengenaliku? Bagus, untuk itu aku tidak
akan membunuhmu!”
Coa-wangwe
menjadi marah. “Untuk apa kau bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap
ia dan belenggu kaki tangannya!”
Lima orang
jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
“Nona Pek
Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tak perlu
kami mempergunakan kekerasan,” kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia
merasa sayang sekali jika harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang
luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu
sudah penuh dan biar pun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian
besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut
kantong itu dan dengan kain sutera yang telah dibawanya, digendongnya kantung
yang cukup berat itu di punggung, kemudian ia menghadapi lima orang penjaga
sambil tersenyum.
“Majulah dan
turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!”
Tentu saja
lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang
wanita cantik yang dulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda
cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja sama
sekali tidak menakutkan!
Empat orang
penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap
dan merangkul wanita cantik itu. Maka mereka pun menyerbu dan seperti hendak
berebut saling mendahului, mereka serentak menerkam Pek Lan.
Wanita ini
tersenyum. Tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan kelima orang
penjaga itu pun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak bisa dilihat oleh
lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima
orang itu merasakan dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras
sekali, membuat tubuh mereka terjengkang.
Coa-wangwe
dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat
betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
“Tangkap
dia! Bunuh!” Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang
sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua
hartanya diambil oleh Pek Lan.
Lima orang
penjaga itu menjadi malu sekali. Hanya dalam segebrakan mereka sudah dirobohkan
oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari
pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini,
Pek Lan tersenyum. “Apa bila kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian
akan mampus!”
Akan tetapi,
lima orang penjaga itu sudah terlalu marah. Dan karena mereka memegang senjata,
pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang
bertangan kosong, biar mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan
bentakan keras, mereka pun maju menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa
sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi,
dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan
yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan anehnya, tak pernah ada
golok yang mampu menyentuhnya.
Tiba-tiba,
penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan dia pun roboh, goloknya sudah
berpindah ke tangan Pek Lan! Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan
serangan mereka.
Akan tetapi
Pek Lan cepat menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak
sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya. Terdengar
mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher
hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai.
Pek Lan
memandang pada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya hanya dengan
tendangan dan dirampas goloknya. Dia pun tersenyum.
“Aku sudah
berjanji tidak akan membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi
goloknya bergerak dan orang itu pun menjerit karena pundaknya terbacok golok
sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapa pun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan
meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga
melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
“Engkau
hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!”
Goloknya
menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan dua
tangan. Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa,
membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang di dalam kegelapan malam.
Peristiwa
itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir
seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa
keluarga Coa.
Bukan hanya
orang suka sekali membicarakan mala petaka yang menimpa keluarga Coa, juga
membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, tapi yang
paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi
seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga
berwatak amat kejam.
Peristiwa
lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang
sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang
amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa
pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras.
Tidak
seorang pun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan itu, ternyata
juga tewas di tangan Pek Lan, bahkan tangan lembut halus itulah yang telah
membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang sangat ampuh! Pek Lan membunuh
tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan
rahasianya!
Maka
muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan
lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biar
pun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu
jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit.
Pek Lan, di
samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua
orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik.
Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria
yang akan dijadikan korbannya…..
***************
Wanita itu
memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa
bekerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan
sehat kuat. Pinggangnya ramping, pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biar pun
kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari,
namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus.
Wajahnya
yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena
mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua
puluh lima tahun.
Wanita
petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara
tanaman gandum. Ia menggunakan cangkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan
ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan.
Wanita itu
kadang-kadang membungkuk, dan dua tangannya bergerak dengan cekatan. Bentuk
tubuhnya indah pada waktu membungkuk, dan kadang juga berdiri tegak untuk
membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke
lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit
kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh
yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu
bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga ia pun sama sekali tidak melihat
bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya,
kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria
itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya
bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie
Liong!
Setelah
beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya
kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar
belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa sungguh tidak sopan
kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat
indahnya sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat
sunyi itu.
Latar
belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang
wanita itu amat luas, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya nampak
di kejauhan beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang
mereka seperti yang dilakukan wanita itu.
Hawa udara
sangat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu
sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan
kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang
menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang
dia akan kunjungannya kepada enci-nya, pertemuannya dengan enci-nya, cihu-nya,
kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama
sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia!
Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu!
Bahkan
enci-nya sendiri pun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam
kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan
ibunya, juga suheng-nya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan
orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat
membenci orang tuanya. Dia sendiri pun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau
tidak ada enci-nya, Sie Lan Hong.
“Enci Hong,
sungguh kasihan engkau...” Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hati.
Dia dapat
membayangkan betapa sengsara keadaan enci-nya ketika pembunuhan atas keluarga
mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu
masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka enci-nya itu telah mengorbankan
dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi untuk
menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, enci-nya itu bahkan menjadi isteri
pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan dia pun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah
aneh apa bila enci-nya menuduh dia yang sudah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah
sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang
tuanya itu? Apa lagi di sana masih ada Bi Sian yang dengan sungguh-sungguh
mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi.
Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudian topeng itu ditemukan pula oleh
Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh
sekali! Siapa yang telah membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu
agaknya menyamar sebagai dirinya untuk menjatuhkan fitnah padanya? Padahal, dia
tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali... cihu-nya, tentu saja.
Tadinya dia
merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia
pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi
kemudian ketika dia menemui enci-nya, Sie Lan Hong, enci-nya itu membuka
rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang
sudah membunuh ayah dan ibunya.
Tentu saja
dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, dia pun
kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang,
memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan dia pun tahu bahwa kini Bi Sian
amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan
diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia
sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.
Dia cinta Bi
Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri!
Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan
inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka dia
pun cepat melarikan diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong
menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah
yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum.
Segala yang ada pada Bi Sian amat menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan
gembira.
Dia harus
pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu
melakukan penyelidikan mengenai Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan
Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para
tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi
gurunya, juga Pek-sim Siansu, supek yang juga menjadi gurunya sendiri.
Dia harus
mampu menunaikan kewajiban ini dengan berhasil. Dia juga harus mampu
menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di
Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.
Memang
merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia
sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia
boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tiada artinya kalau dibandingkan
dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada
mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada
manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan
belaka.
Alangkah
cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang
menjadi suaminya. Pasti ia sudah memiliki suami, pikirnya. Mengapa wanita itu
bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau
suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ahh, betapa
bahagianya wanita itu dan suaminya!
Sie Liong
merasa heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa
kebahagiaan sesungguhnya berada di dalam diri siapa saja. Setiap orang dapat
menikmati kebahagiaan hidupnya apa bila dia tidak memikirkan hal-hal lain,
tidak menginginkan hal-hal lain.
Apa bila
orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apa bila
dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan nampak bahwa hidup ini
sebetulnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan
besarnya. Bahkan bernapas pun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum
lagi makan, minum dan segala kegiatan lain.
Duduk
melamun di bawah pohon itu pun mengandung kenikmatan tersendiri, seperti yang
sedang dirasakan oleh Sie Liong!
“Ya Tuhan,
terima kasih atas segala rahmat-Mu...” Sie Liong berbisik.
Wajahnya
kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan
segala hal, akan enci-nya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia
pun lupa akan bongkoknya!
Semua begitu
indah apa bila pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap
tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku’.
Akan tetapi,
tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju
ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke
dusun para petani. Melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu
jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka,
bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka, jelas
bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah
ada orang-orang kang-ouw yang tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu
pendatang dari luar?
Kekhawatirannya
terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan,
melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja
di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu, kecuali
wanita yang tadi membangkitkan rasa kekaguman di hati Sie Liong. Ia sedang
asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tak
melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong
siap siaga, akan tetapi ia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti
itu, ia memang agak tersembunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi
selokan dekat ladang. Namun ia memandang penuh perhatian. Kini tidak ada lagi
petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat
seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika
tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih terus bekerja. Wanita itu
menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri
dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak
tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pemandangan yang mengagumkan
mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya
menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!”
Dia
mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur
dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori pakaian wanita itu yang
agaknya baru sadar dan ia pun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala
memandang.
Matanya
terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh
ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi
bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya
mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci yang sering ditangkapnya.
Liar ketakutan!
“Ha-ha-ha,
cantik! Manis sekali! Perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!” Si
brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi
sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
“Manis, ke
sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Marilah engkau ikut saja dengan kami,
ha-ha-ha!”
Wanita itu
agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang
laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggelengkan
kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang
gemetar itu.
“Ahh, manis,
jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari
dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang
besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian
ini, manis. Ha-ha-ha!”
Enam orang
lainnya yang menunggu di pinggir jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang
sekali melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment