Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 11
Telaga Nam
berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lhasa, ibu kota di
Tibet. Meski pun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang
berkunjung, karena letak tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang
tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya
orang-orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang
berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang
Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah kaum pedagang, dan yang mereka kunjungi
hanya kota-kota besar seperti Lhasa. Yang berkunjung ke telaga Nam hanyalah
orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi,
pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis
mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok
sekali. Senang orang memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang
usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang
berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya berbentuk
bulat dengan kulit muka putih bersih. Sepasang alisnya berbentuk golok dan
hitam sekali, dengan kedua mata yang tajam mencorong, tapi kadang-kadang ada
kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Hidungnya besar mancung dan mulutnya
selalu tersenyum mengejek.
Ada pun yang
wanita adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas atau sembilan
belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata
yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena
selalu cerah, penuh dengan senyuman dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir
selalu berseri-seri.
Anehnya,
gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali
dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukanlah kain buntut. Agaknya memang
sengaja dibuat tambal-tambalan dari bahan kain yang baru! Di punggungnya
tergantung sebatang pedang. Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sute-nya, Coa
Bong Gan. Biar pun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute
(adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid
Koay Tojin.
Seperti kita
ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang
dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa
yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat
dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnya.
Dan ia minta bantuan sute-nya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie
Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai
murid supek-nya, yaitu Pek-sim Siansu.
Karena dua
orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong
merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi
Sian dan Bong Gan dapat mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di
sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok.
Tentu mudah bagi mereka untuk menduga bahwa Pendekar Bongkok adalah julukan
yang diberikan orang-orang kepada Sie Liong, maka mereka terus melakukan
pengejaran.
Akan tetapi
setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini
merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka
harus melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja betapa sukarnya
mencari seseorang di daerah itu, biar pun orang itu mempunyai cacat bongkok
sekali pun.
“Semua orang
yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lhasa,”
kata Bong Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau pun kita tidak dapat
menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan
tentang dia.”
Bi Sian
menyetujui pendapat sute-nya dan pergilah mereka menuju ke Lhasa. Pada pagi
hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka
berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak
peduli akan pandangan orang saat melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan
namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan
biar pun sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, tetapi ia
tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Dia sendiri tidak tahu
apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah
memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang
tidak wajar itu justru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan
yang ditonjolkan dan disengaja, bukan kesederhanaan lagi namanya, melainkan
kesombongan terselubung! Kesederhanan yang mempunyai arti adalah kalau orang
itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran,
tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan
terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di
sebelah dalam dirinya.
Berbeda
dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang pada masa kecilnya menjadi anak angkat
seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya
segera meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan
pakaian yang selalu rapi, walau pun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal
karena suci-nya tentu akan menegurnya.
Padahal,
kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah.
Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga
yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau
mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!
Semenjak
melakukan perjalanan bersama Bi Sian, selalu terjadi perang di dalam batin Bong
Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan
suci-nya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di
sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong
mereka yang tertindas.
Akan tetapi
sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus
menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut
kepada suci-nya, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena
dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan
hatinya.
Di lain
pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih
sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang
terkandung di dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia
selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga
mencinta sute-nya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah
tidak.
Dia suka
kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang
pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan
tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini. Dia telah mengambil keputusan bahwa
sebelum dia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, dia tidak akan
memikirkan urusan cinta!
Setelah dua
orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh
tahun, baru pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu birahinya berkobar lagi.
Dia berani mencari wanita untuk memuaskan gairah nafsu birahinya, baik secara
suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli mau pun dengan paksaan
mengandalkan kepandaiannya.
Tetapi hal
ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia mendapat kesempatan
karena biar pun sudah berpisah dari suhu-nya yang dia takuti, kini dia masih
bersama suci-nya (kakak seperguruan). Sama sekali bukan dikarenakan dia takut
pada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu.
Dia tidak ingin
kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis
itu mengetahui kesesatannya, tentu harapan dirinya untuk mempersunting bunga
yang harum itu akan lenyap.
Pada saat
berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan
karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu birahinya dengan
berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Tapi celakanya, di situ dia bertemu
dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian!
Tentu saja
dia tidak ingin melihat orang ini memberi tahu mengenai keberadaannya di rumah
pelesir itu kepada Bi Sian, maka tak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya!
Dia pun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi
Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya, lalu dibunuhnya Yauw Sun
Kok. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang
didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja
dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong
yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong
telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti yang telah dipercaya oleh semua orang.
Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan
gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk mendapatkan balas jasa.
Kalau mereka
maju berdua, betapa pun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua
akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia
pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi,
setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa.
Gadis yang dicintanya itu sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat
segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh
menyentuhnya dan tidak boleh membelainya.
Yang lebih
membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat
menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya
untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia
menjaga dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu
memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua
orang muda itu sedang mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil
menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang
amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya.
Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur,
gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.
Setelah
perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil
dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah
sekali, Bi Sian berkata, “Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu.
Alangkah indahnya di sana, sute.”
Gadis itu
memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang
nampak galak.
Mereka
mendekatkan perahu ke pantai, lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan
gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan.
Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput
hijau tebal yang lunak.
Melihat
wajah suci-nya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik
sekali, melihat betapa suci-nya duduk di atas rumput tebal di dekatnya,
terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya apa bila
mereka sudah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput
hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang
biru dan luas, tidak ada seorang lain pun yang mengusik mereka. Bayangan
pikiran ini membuat jantungnya berdebar-debar serta gairah nafsunya timbul dan
berkobar.
Namun, Bong
Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biar pun gairah nafsu sudah
mencengkeram dirinya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu pasti bahwa apa
bila dia menggunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan
suci-nya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian
hancur sama sekali.
Gadis itu
tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta pada Bi Sian,
bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai
suami isteri.
“Hai, sute!
Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang
mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.
Gadis ini
merasa heran melihat betapa sute-nya memandang kepadanya tidak seperti biasa,
tetapi dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu
mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur
secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai
khayal indah itu menjadi terkejut sehingga dia tersipu. “Suci, aku sedang
gembira sekali!” jawabnya. Kecerdikan dan ketenangan pemuda ini menolongnya
sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat
sikap sute-nya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan ia pun memandang ke
sekeliling, lalu menghela napas panjang.
“Yahhhh...
aku pun gembira sekali, sute. Memang sangat indah pemandangan di sini, indah
menyenangkan dan hawanya pun nyaman bukan main!”
“Aku merasa
seperti di sorga, suci!”
Bi Sian
memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu
sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa
udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram... akan
tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...”
“Bukan
tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian
kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya?
Lalu karena apa?”
“Karena ada
engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi
Sian meloncat bangkit, kini berdiri sambil bertolak pinggang, ke dua pipinya
berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
Bong Gan
masih tetap duduk. Dia mengangkat muka dan memandang wajah gadis itu dengan
sikap tenang. “Maafkan aku, suci, tadi aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah
mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa
berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di
pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di
sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang
tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya
berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sute-nya
itu.
“Sute,
kau... barusan bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama
hidupmu...”
“Kenapa
tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...”
“Sute...!”
Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena dia menganggap sute-nya terlalu
berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci.
Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap
menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul
sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka
yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah
kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang
memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci.
Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa... biarlah aku mengaku terus terang
saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci,
dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan
denganmu selama hidupku.”
Mendengar
pengakuan sute-nya itu, wajah Bi Sian sebentar pucat dan sebentar merah. Memang
dia sudah menduga bahwa sute-nya jatuh cinta kepadanya, akan tetapi begitu
pengakuan itu keluar dari mulut sute-nya sendiri, bermacam perasaan
mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena dia
menganggap sute-nya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu
teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak atau pun mengeluarkan kata-kata.
Sejenak
mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh
membelakangi sute-nya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute...!”
“Ya, suci?”
jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai
sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, aku melarang membicarakan
tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci,
jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah
engkau membalasnya? Agar supaya ada kepastian dan tidak lagi membuat aku
bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku...”
“Cukup! Aku
tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang
itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau
tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku pun tidak
membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang
Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka
kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan
tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh
Sie Liong, si bongkok!
Hal ini
meyakinkan hatinya bahwa suci-nya itu pun ‘ada hati’ padanya. Andaikan tidak,
tak mungkin menunda waktu untuk menjawabnya. Bila gadis itu tahu bahwa
jawabannya kelak akan ‘tidak’, tentu ia tak akan menunda waktu. Jawabannya
jelas ‘ya’, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah,
suci. Mulai saat ini nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada
dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian
menarik napas lega. Ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan
wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah
kehilangan kegembiraannya di pulau itu.
“Mari kita
kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lhasa,” katanya.
“Baik,
suci,” kata Bong Gan.
Bong Gan
tidak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia
tidak boleh membuat suci-nya marah atau jengkel…..
***************
Sejak
puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie
Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru
berusia tiga puluh tiga tahun, tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak
penderitaan batin yang amat berat.
Pada waktu
berusia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus
menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan
matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.
Penderitaan
batin hebat ini menjadi ringan setelah akhirnya dia pun jatuh cinta kepada pria
itu. Bahkan dia melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami
dan ayah anaknya itu.
Kemudian,
hatinya kembali tersiksa karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya
membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali
dia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apa lagi puterinya juga pergi
dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan
sejenak kembali dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang
pendekar walau pun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga
pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, alangkah
pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong!
Dia tidak
terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin dia menyalahkan adiknya jika
dia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong?
Ia sendiri, andai kata dulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi
diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!
Akan tetapi,
puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari
dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Dia tidak dapat
menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi
Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
“Aihh, apa
yang dapat dan harus kulakukan...?” Berulang kali Sie Lan Hong mengeluh dalam
tangisnya.
Selama
belasan hari dia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan
mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun
dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa
sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang!
Malam tadi
ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong di
dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa
pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia pun dapat mengerti
mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi,
yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut
mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan
hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya?
Sungguh
tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau
memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah
ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh
aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.
Pada pagi
hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Dia
hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati
suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah
bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari
puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang sangat
disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di
tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.
Ia hidup
dalam kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa
puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian
ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat
menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu
mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.
Akan tetapi
sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat
penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan lebih dulu. Satu-satunya
tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di
mana dahulu suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan
dan mabok-mabokan!
Tanpa
mempedulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir
itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi
seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang. Dengan pengaruh uang
ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan mengenai
suaminya pada kunjungan terakhir.
Dua orang
pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu. Mereka juga
mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada waktu
kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak
bermalam di sini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan
minum arak sampai mabok, lalu pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong
mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di
sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia juga membicarakan
sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang
terjadi, dan kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua
buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian
mau menceritakan semua hal dengan terus terang...”
Dua pasang
mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang
tebal dan terukir indah itu.
“Setelah dia
minum agak banyak, dia memang mengomel dan mengatakan bahwa dia mengenal pemuda
yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tak suka melihat
pemuda itu pelesir di sini, juga tentang kebenciannya terhadap seorang yang
bongkok...”
Lan Hong
tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di
sini?”
“Pada saat
dia masuk, dia bertemu dengan seorang kongcu (tuan muda) yang sedang makan
minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling
menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakah
pemuda itu? Apakah dia... bongkok?”
Dua orang
pelacur itu tertawa.
“Bongkok?
Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami
berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia
langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru
sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia
masih muda, tampan sekali, dan royal...”
“Siapa
namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
“Nanti dulu,
akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu.
Tidak lama
kemudian dua orang pelacur lainnya ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di
antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang lagi mereka
bicarakan.
“Dia tidak
menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan
Coa) di kota Ye-ceng, maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia
seorang langganan yang... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia
datang.”
Para pelacur
itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan
Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong
kalian gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!”
tanya Lan Hong, berusaha menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan
pertanyaan yang lirih.
“Aku masih
ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” berkata seorang pelacur berbaju
hijau yang genit.
“Wajahnya
tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali,
hidungnya mancung dan dia suka... suka mencium, hi-hi-hik. Dia nakal dan
matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti... kuda jantan!
Pakaiannya pesolek...”
Lan Hong
sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur
pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian,
tanpa mengeluarkan kata apa pun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari
esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga
tahun itu, meninggalkan rumahnya. Dia membawa buntalan pakaian dan tidak lupa
membawa pedangnya.
Dia pernah
bercakap-cakap dengan Sie Liong dan pada waktu itu adiknya membuat pengakuan
bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di
Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut
adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.
Maka, kalau hendak
mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota
Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat dari Propinsi Sin-kiang, maka
untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, lalu memasuki
daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu
hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah bukan main.
Perjalanan itu benar-benar tidak mudah. Bagaimana pun juga, ia seorang wanita
yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu
ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.
Banyak
godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat dia merasa
kesal, di samping tubuhnya juga merasa lelah. Untunglah bahwa ketika kecil, ia
sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi
kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, ia pun menerima latihan ilmu silat
dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk
sekedar menjaga diri.
Dengan
sikapnya yang pendiam dan anggun, juga dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya
hendak berkurang ajar menjadi jeri. Sampai hampir sebulan dalam perjalanan,
nyonya muda ini masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba
di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di
dusun terakhir tadi, di depan tidak ada dusun lagi sebelum ia melewati bukit
itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Apa lagi
matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya dia akan kemalaman di bukit itu
dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh
mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak
kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Dia sudah memasuki daerah
Tibet, dan dia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan
tetapi, ia akan pergi ke Lhasa dan di sana ia mengharapkan akan mendapat
keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut
keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lhasa masih membutuhkan
waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa tadi
aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau
dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan
tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.
Dengan hati
kecut ia pun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua
kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit
dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi
gelap.
Baru saja ia
tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, mendadak dari dalam hutan
bermunculan sepuluh orang lelaki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka
mengenakan pakaian serba hitam dengan lukisan seekor kala putih yang
menyeramkan pada bagian dada.
“Heiii, ada
seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi
manisnya!”
“Lihat
pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya...
waw sexi banget!”
Sepuluh
orang itu sudah mengepung dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama
melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah
bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di
punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan.
Walau pun ia
puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini,
jantung dalam dadanya berdebar-debar penuh rasa tegang dan gelisah. Akan
tetapi, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi
suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak
menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!”
“Tentu saja
kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tak akan
membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di
antara mereka. “Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak
tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan
kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.
Semua orang
tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlomba untuk
menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia pun cepat mencabut pedang dari
buntalan pakaiannya.
“Harap
kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.
Melihat
betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan
tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan
kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.
“Wah, pandai
bermain pedang juga, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali
mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat
ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil
membalikkan tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya terkejut ketika ada
sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja
menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan
juga marah.
“Hemm, galak
juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan lebih dulu wanita manis dan galak
ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai dia terluka!”
Mereka
mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan.
Lan Hong segera memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika
nyonya muda ini kembali menerjang dengan pedangnya, mereka pun menangkis sambil
mengerahkan tenaga.
“Trangggg...!”
Pedang itu
terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang
itu tertawa bergelak dan kesempatan ini segera digunakan oleh Lan Hong untuk
menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh
orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira, lalu berlari mengejar sambil
berteriak-teriak. Mereka bagaikan segerombolan serigala yang sedang mengejar
dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu tidak akan
terlepas dari terkaman mereka.
Mereka
mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia
dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh
orang-orang biadab itu. Lebih baik dia mati dari pada membiarkan dirinya
diperkosa dan dihina. Tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga
untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para
pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya
berlari di belakangnya, tidak cepat-cepat menangkap wanita itu. Lan Hong
berlari terus, menuruti jalan setapak hingga ia melihat sebuah kuil tua di
depan.
Karena tidak
tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah,
Lan Hong kemudian berlari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil itu
dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.
Sepuluh
orang pria itu masih terus mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha,
engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Memang tempat yang enak untuk
bersenang-senang!”
Lan Hong
tidak mempedulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut
ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak
dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan
tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara
dari dalam.
“Jangan
takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak
dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam.
Mereka
adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh
tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan
sikapnya gagah. Orang kedua bertubuh sedang saja, akan tetapi mukanya yang
bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan
mereka masing-masing nampak sebatang pedang.
Melihat
mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap
(dua pendekar perkasa), tolonglah saya...”
“Nona,
jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang
tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita
hadapi mereka, di depan kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar.
Lan Hong
cepat menyelinap di balik dinding dan dia mengintai keluar dengan jantung
berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu
dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Dia hanya dapat berharap
agar kedua orang gagah itu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk dapat
melawan pengeroyokan sepuluh orang yang buas itu.
Sepuluh
orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada,
tercengang ketika melihat ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil
dengan pedang di tangan, menghadang mereka.
“Heii, siapa
kalian yang berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!”
bentak salah seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
Pemuda yang
tinggi besar itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah mereka sambil
melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang.
“Hemm, sudah
lama kami mendengar mengenai gerombolan Kala Putih yang jahat dan ternyata
kabar itu benar. Gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan kumpulan
penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan dan malu untuk mengganggu wanita.
Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!”
Sepuluh
orang itu terbelalak penuh kemarahan ketika mendengar kata-kata yang amat menghina
itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju.
Agaknya dia hendak mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi
dia pun membentak.
“Kalian ini
dua orang bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian
lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!”
Pemuda
tinggi besar itu dengan lantang menjawab, “Kami tak pernah menyembunyikan nama!
Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan.
Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!”
Memang dua
orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang
murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai,
yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet dan mencari susiok (paman
guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek
adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu.
Oleh karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek
terhitung susiok mereka.
Mereka
berdua mencari-cari Lie Bouw Tek sambil membawa sepucuk surat dari ketua
Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam
perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong saat Sie
Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si
gadis yang mata duitan.
Mendengar
bahwa dua orang pemuda itu adalah para murid Kun-lun-pai, sepuluh orang
berpakaian hitam itu menjadi semakin marah. “Aha, kiranya orang-orang
Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang
Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu
bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak
menentang kami?”
Ciang Sun
tersenyum mengejek. “Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari
Kun-lun-pai tidak peduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan
yang dilakukan oleh siapa pun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan
niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!”
“Keparat,
sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih
memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian
yang lancang ini!”
“Persetan
dengan Kala Putih yang jahat!” bentak Ciang Sun.
Sepuluh
orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih
meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai
adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam
permusuhan dengan perkumpulan itu.
Akan tetapi,
para anggota Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka
untuk melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka. Maka melihat sikap
kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, mereka pun segera mulai
menyerang!
Ciang Sun
dan sute-nya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka untuk menyambut serangan
golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebat dan
sinarnya menyilaukan mata ketika tertimpa matahari sore.
Akan tetapi,
gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah. Kedua orang ini merupakan
murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulungan
sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar
pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh
orang anggota Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!
Lan Hong
yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok
oleh sepuluh orang buas itu. Dia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi
pedangnya sudah hilang ketika dia dikeroyok tadi.
Ia
mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa
potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya
sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu amat
kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata.
Lan Hong
sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan
terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diri pun tidak ada
gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik
membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka!
Dia meloncat
keluar dan langsung menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya
memukul seorang pengeroyok dari belakang.
“Bukkk!”
Orang itu
terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian
Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, dia membantu dua orang murid Kun-lun-pai
itu.
Melihat
tindakan Lan Hong ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga
khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong
itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi dia hanya bersenjata sebatang kayu,
sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semuanya memegang
golok.
“Nona,
masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan
khawatir.
“Tidak, aku
harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang
terus mengamuk dengan tongkatnya.
Akan tetapi,
dua orang mengeroyoknya dengan golok membuat Lan Hong terhimpit, lalu sebuah
tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling
roboh!
“Hati-hati...!”
teriak Ciang Sun.
Pemuda
bertubuh tinggi besar itu cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari
para pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat ke kiri, merobek pangkal lengan
seorang pengeroyok, kemudian melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran
pedangnya.
Akan tetapi
Lan Hong bangkit dan mengamuk lagi, tidak mempedulikan pahanya yang terasa
nyeri. Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka
harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk bagaikan seekor harimau betina
itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita
yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, “Tahan
semua senjata!”
Mendengar
suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu cepat-cepat berloncatan ke
belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan
Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, “Toako datang...!”
Melihat para
pengeroyoknya berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang
baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga telah meloncat ke
belakang.
Wanita ini
menahan rasa nyeri di pahanya. Wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah,
dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut. Akan tetapi dia nampak
semakin manis, menarik dan gagah ketika dia berdiri tidak jauh dari dua orang
pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak
karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang
tajam.
Orang yang
baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima
sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar
dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak
wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule.
Rambut di
kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu
di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba
hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di
bajunya lebih besar dari pada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga
bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara
yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa
yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku?
Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?”
Sebelum dua
orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat
melaporkan, “Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang
sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di
sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil
keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari
tangan kami!”
Raksasa bule
itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang
saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! setelah
menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, kemudian raksasa itu
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
kiranya kalian memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa
orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!”
“Kami tidak
memperebutkan wanita!” bentak Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini
karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang
semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!”
“Ha-ha-ha-ha,
tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada
seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak
suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kun-lun-pai dan
Kala Putih. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala
Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.”
“Kami tak
akan membiarkan siapa saja mengganggu wanita ini!” bentak pula Ciang Sun.
“Ho-ho-ha-ha,
kiranya kalian mengajak bertanding? Baiklah, memang wanita ini cukup berharga
untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku,
Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan
tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil,
bukan?”
Lan Hong
yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, “Iblis
jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari
pada menyerah kepadamu!”
“Konga
Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah, “jika engkau memang laki-laki sejati,
biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu.
Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut
tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita, melainkan nyawa kita!”
“Kalian
orang-orang muda sombong!” Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya
bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya.
Rantai itu
sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan
baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya
di atas kepala lalu membentak, “Kalau kalian berani, majulah!”
Ciang Sun
dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka
mereka pun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong,
“Nona, engkau mundurlah!”
Lan Hong
tahu diri. Ia pun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan
dengan anak buahnya, tentu lihai bukan main, dan ia tahu bahwa tingkat
kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar
Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi
penghalang bagi dua orang penolongnya.
Maka ia pun
melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Dia mengeraskan
hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apa pun juga.
Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan
mempertahankan diri sampai mati!
“Haiiiiiitt...!”
Kakek
raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah
dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han menggunakan kelincahan tubuh mereka
untuk mengelak dan mereka pun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun,
semua serangan pedang bisa ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung.
Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api
berpijar.
Terjadilah
perkelahian yang hebat. Pertarungan sekali ini lebih seru dari pada tadi ketika
dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi,
lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam
mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh sangat
lihai. Permainan rantai orang itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya,
juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga
setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka pun merasa betapa telapak
tangan mereka menjadi nyeri dan panas sekali. Bahkan beberapa kali hampir saja
mereka melepaskan pedang karena tidak tahan oleh getaran hebat yang menyerang
telapak tangan mereka.
“Ha-ha-ha,
mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule itu membentak, rantainya menyambar dengan
tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun.
Pendekar ini
melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher
bajunya.
“Bretttt...!”
Baju itu pun
terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit
tubuh Ciang Sun tidak terluka!
Pada saat
itu, Kok Han sudah maju sambil menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak
seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia
melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan
tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan
Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat
dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan dia pun
terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu
lihai pula dalam ilmu gulat!
Ciang Sun
cepat memutar pedangnya dan menyerang untuk melindungi sute-nya yang cepat
menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali kedua orang murid
Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai. Sekarang mereka hanya mampu
mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.
“Ha-ha-ha,
kalian jaga baik-baik supaya pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor
domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada
anak buahnya. Dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat
merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.
Sambil
menyeringai, anak buah Konga Sang mendekati Lan Hong. Dengan wajah pucat wanita
ini memandang. Ia pun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan
berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi
dan untuk melawan para anak buah gerombolan itu pun ia tidak akan menang.
Oleh karena
itu, ia pun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan
kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru,
“Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!”
Akan tetapi,
dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, yaitu dua orang yang
bertubuh tinggi besar, terus melangkah maju sambil menyeringai.
“Manis,
jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini,
ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!”
Akan tetapi
Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali,
sudah hampir kehabisan tenaga, namun dia masih bersemangat dan pukulannya masih
kuat.
Akan tetapi,
dua orang anak buah gerombolan itu merupakan dua orang yang terkuat di antara
mereka. Yang dihantam tongkat itu memiringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu
lewat, orang kedua telah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat,
sedangkan orang pertama sudah merangkulkan dua lengannya yang panjang dan besar
melingkari pinggang ramping Lan Hong.
“Lepaskan!
Keparat busuk, lepaskan aku...!” Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun
dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
Pada saat
itu, terdengar bentakan, “Kalian serigala-serigala yang jahat!”
Bentakan ini
disusul berkelebatnya sesosok bayangan, dan dua orang raksasa yang sedang
menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu mendadak saja terlempar dan
terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya
dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga
patah-patah.
Kiranya yang
muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi
begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah
gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.
Lan Hong
terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang lelaki yang tinggi besar
dan gagah perkasa. Usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya
terpelihara rapi. Pakaiannya warna biru dan di punggungnya nampak gagang
sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat
pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.
“Lie susiok
(paman guru Lie)!” seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.
“Mundurlah
kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga
Sang!” kata pria gagah perkasa itu.
Dia bernama
Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua
orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat untuk menggantikan dua orang murid
keponakannya, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar
kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang
menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu
berwarna merah!
“Hemm, siapa
kau?” Konga Sang membentak saat melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang
laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan
sinar mata yang tajam dan mencorong.
“Konga Sang,
sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat.
Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tak akan membiarkan engkau
merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, dan aku
adalah murid Kun-lun-pai!”
“Aha,
lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai
terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”
“Tak perlu
banyak cakap lagi, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi
seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”
“Manusia
sombong!” Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah
kepala Lie Bouw Tek.
Pendekar ini
merendahkan tubuhnya dan ketika rantai itu melewati atas kepalanya, dia
melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya
mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah
yang didahului angin dan suara mendesing!
Terkejutlah
Konga Sang dan dia pun terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk
menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke
arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil
mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik
sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.
“Tranggg...!”
Terdengar
suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang pada saat melihat betapa
ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu adalah
pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya bagian ujung
sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang
berbahaya walau pun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan
dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan
bertubi-tubi.
Namun Lie
Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat
tinggi dan dia pun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadilah
pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini.
Ternyata
tenaga mereka seimbang, juga sekarang mereka bertanding dengan hati-hati. Konga
Sang jeri terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani
sembarangan menangkis. Sekali pedangnya kena terlibat rantai, dia akan
menghadapi bahaya karena dia pun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah
seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan
itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya
maut mengancam dirinya!
Sementara
itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini
tinggal tersisa tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi
terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, meski pun sudah siuman akan
tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, Agaknya gegar otak!
Lan Hong
juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat
yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan
memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek
yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang
gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih memiliki banyak sekali
anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala
gerombolan bersama sepuluh orang anak buahnya saja. Dia khawatir kalau-kalau
akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih.
Karena itu,
sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan
benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun!
Kok Han! Kalian ajaklah pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun
dan Kok Han mengerutkan alis. Mengapa susiok mereka menyuruh mereka untuk
melarikan diri? Padahal jelas bahwa susiok-nya tidak kalah oleh Konga Sang,
juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di
antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi,
dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani
membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan
kalau susiok-nya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan
yang kuat.
“Mari,
enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi
sedangkan Kok Han melindungi mereka.
Ketika tiga
orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar.
Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka
tentu akan roboh semua. Karena itu, sebaliknya dari pada mengejar tiga orang
itu, mereka kini malah membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek
mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah
menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan
rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat
disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.
Lie Bouw Tek
sebetulnya mempunyai ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan
tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jeri. Dia pun tahu akan hal
ini. Dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan
dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.
Karena itu,
dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri
bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, dia pun meloncat jauh
dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti
kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang
merasa penasaran dan marah sekali. “Kejar!” teriaknya.
Mereka pun
melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jeri
menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar
saat mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak bisa cepat. Apa lagi
mereka terhalang oleh kegelapan malam. Akhirnya mereka terpaksa menghentikan
pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas.
Konga Sang
mengepal tinju dan berkata dengan geram. “Orang-orang Kun-lun-pai telah
menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”
Ucapan ini
lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena dia pun
tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan
pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya
sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya
hancur…..
***************
Mereka duduk
mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana
mereka dapat melihat ke empat penjuru dan merupakan tempat yang aman dan baik
sekali untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh yang datang, maka dari jauh pun
sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan
merupakan padang rumput.
Tadi Lie
Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong
melarikan diri. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan
berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima
kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.
Lan Hong
juga ikut berlutut sambil berkata, “Aku pun mengucapkan terima kasih atas
pertolongan taihiap.”
“Bangkitlah
kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, dan tak perlu dengan segala macam
kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tak akan mengejar ke
sini. Andai kata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat.
Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan
kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”
Demikianlah,
mereka sekarang duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala
indah, terang dan hangat.
Lan Hong
memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, hanya terhalang api unggun
itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan
ia pun merasa kagum.
Seorang pria
yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan
tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan
wajahnya demikian tenang, penuh wibawa serta gagah perkasa. Wajah yang jantan
sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa.
Sikapnya
seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor
harimau karena tadi pada saat mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya
langsung mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.
Tanpa ia
ketahui, pria di depannya itu pun sejak tadi memperhatikannya, walau pun tidak
kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum.
Wanita itu
sungguh jelita! Tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala
Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah
matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan
gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti
seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya
tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar
membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang putih mulus dan mulut yang
membayangkan kealiman. Tapi sepasang mata itulah yang amat menarik
perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan
derita.
“Ciang Sun
dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan
sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw
Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati
Lan Hong.
Ketika
pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada
wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran
sekali kenapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak
dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai
sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada
seorang wanita.
Bukan
berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita
yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik
menginginkan dia sebagai mantu mereka, akan tetapi dia selalu menolak. Dan
sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya,
bahkan sama sekali belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua
memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh
supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm,
toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang telah mengutus
kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek.
Dia menerima
sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari
dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat,
kedua orang suheng-nya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya,
Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima
orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau
Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay
Bo Lama.
Para
pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh
Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir
terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak
dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan
bersahabat dengan Kun-lun-pai.
Oleh karena
itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw
Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan
tak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka
para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan
itu.
Membaca
surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua
suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah
pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian
sampai bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Hal itu
terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil
tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari
sedang dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar
akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok
muncul dan menyelamatkan kami semua.”
Lie Bouw Tek
mengerutkan alisnya saat mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci’ (kakak perempuan)
kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru?
Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah
sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau
boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka,
Nona? Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di
tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama
kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin Nona
sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw
Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
Lan Hong
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan
suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku
datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan
tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona padaku. Aku bukan seorang gadis
yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari
puteriku...”
Lie Bouw Tek
membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan telah mempunyai
seorang puteri pula! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid
keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untung
baginya bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya
merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.
“Ahhh,
maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya?
Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak
dengan suamimu... maaf...”
Lan Hong
menundukkan wajah, bukan karena sedih melainkan karena malu sehingga ucapannya
lirih sekali. “Dia sudah meninggal...”
“Ah, maafkan
aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek.
Ingin dia
memukul kepalanya sendiri, mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam
hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh
kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri.
Sementara
itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa amat heran dan geli melihat betapa
susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu sekarang sudah
beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun
tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat
jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
“Tidak
mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,” kata Lan Hong.
Kalau saja
wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar
mengeluarkan ucapan lagi, apa lagi untuk bertanya. Akan tetapi kini, setelah
Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.
“Kalau boleh
aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”
“Aku tidak
tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lhasa.”
Lie Bouw Tek
mengangguk-angguk, kemudian dia berkata kepada kedua orang murid keponakannya.
“Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi.
Sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lhasa dan
karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lhasa, maka biarlah aku
menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lhasa,
hal itu amat berbahaya karena Lhasa masih cukup jauh dari sini.”
Dua orang
pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan
berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau enci ini ada
temannya ke Lhasa. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan
pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”
“Aku
mengerti. Bagaimana, toanio, apakah engkau setuju apa bila aku menemanimu
melakukan perjalanan ke Lhasa? Kebetulan sekali aku pun hendak pergi ke sana.”
“Tentu saja,
ahhh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa
melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa berbahayanya perjalanan ini.
Aku berterima kasih sekali kepadamu, taihiap.”
“Sungguh
engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat
menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku pun belum dapat
memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lhasa. Di sana banyak
terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang
besar...”
“Adikku
mudah dicari. Dia... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia
bongkok...”
Tiba-tiba
Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu,
enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?”
Kini Lan
Hong yang terkejut dan memandang heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa
tahu?”
“Ahhh,
ternyata Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah
engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar
Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!”
Hampir Lan
Hong bersorak. Ia merasa gembira bukan main. “Di mana dia? Bagaimana
keadaannya?”
Juga Lie
Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu
disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
“Kok Han,
ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum
pernah aku mendengar namanya.”
Kini Ciang
Sun yang menjawab. “Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw.
Dia masih sangat muda, akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal.
Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama
hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main,
susiok, sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja
kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana
sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah
dusun di mana dia melakukan hal yang membuat gempar dan mengagumkan. Bahkan
dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kami pun pernah bertemu
dengan dia. Baiklah, kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan
adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui
siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.”
Ciang Sun
dan Kok Han lalu menceritakan tentang pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman
mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang
diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah.
Mereka baru
pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh
satu tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main
sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok.
Mereka
hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu. Akan tetapi tosu itu, yang tadi
diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek In Tosu,
lalu berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan
dua orang pendeta Lama itu.
“Nanti dulu,
bukankah Pek In Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw
Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.
“Benar,
susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama
itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek In Tosu
kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, ketika itu muncul Pendekar Bongkok, pada
waktu itu hanyalah seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas
tahun yang bongkok, dan Pek In Tosu tortolonglah.”
“Apa? Dalam
usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan
kagum.
“Tidak,
susiok. Pada saat itu, nampaknya dia belum pernah mempelajari silat, atau pun
kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan sangat
cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung
ilmu sihir sehingga Pek In Tosu kewalahan, anak itu kemudian menggunakan bambu
memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya
mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu hingga mereka kalah oleh Pek
In Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar
Bongkok.”
“Sungguh
menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek kagum.
“Ahh,
kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena
mereka diganggu oleh Sie Liong?” kata Lan Hong.
“Dua orang
pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan
tetapi Pek In Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya
dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu.”
“Dan
bagaimana pula perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar
Bongkok?”
“Pertemuan
kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun
dekat perbatasan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang
merayakan pesta pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu akhirnya gagal
oleh karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar
karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui
duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pendekar Bongkok yang menggagalkan
pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia kembali mengenali kami
berdua. Ternyata dia kini telah menjadi seorang pendekar yang sakti!”
Lan Hong
menarik napas panjang mendengar cerita kedua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya,
memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam
Lojin dan Pek-sim Siansu.”
“Ahhhh...!”
Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak penuh kagum. “Pantas saja adikmu
itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang
yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apa lagi juga menjadi
murid Pek-sim Siansu! Ahh, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!”
Mendengar
pujian-pujian pendekar Kun-lun-pai itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi
gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali saat mengingat akan nasib
adiknya. Semenjak kecil adiknya sudah mengalami kesengsaraan. Bahkan
dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir
batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!
Karena
melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan
mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong
rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia
sudah lelah sekali.
Lie Bouw Tek
masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak
lama kemudian mereka pun mengaso dengan duduk bersila…..
***************
Mereka
berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka jalan perlahan
menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka
tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong amat berterima kasih dan ketika ia hendak
membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong
makin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.
Lie Bouw Tek
bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi
ternyata juga bersikap lembut dan sopan santun terhadap dirinya. Belum pernah pendekar
itu menunjukkan sikap kasar atau pun melanggar kesopanan terhadap dirinya
sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan pada saat memandangnya pun,
pendekar itu selalu membatasi diri.
Karena senja
sudah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa
menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka lalu memilih sebuah goa di
daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka
membuat api unggun di mulut goa dan setelah makan roti dan daging kering, minum
anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap dalam goa. Api
unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk.
Mereka duduk
berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada
orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.
Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Padahal,
diam-diam mereka itu saling memikirkan.
Bagi Lan
Hong, perasaannya yang sangat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan
pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan
badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalau pun
akhirnya timbul perasaan cinta terhadap Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena
keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya,
maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan
mencinta suaminya.
Akan tetapi
betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap
suaminya, pertama sikap suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika
mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan
mulai memaki dan memukulnya.
Dan selama
itu, sama sekali ia tak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka
memandang pun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas,
mendadak saja, tanpa disangkanya, dia kini melakukan perjalanan berdua saja
dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya sangat jauh berbeda dengan
mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria,
yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali
atau seekor naga jantan.
Di lain
pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi
dalam hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul
dengan wanita. Bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat
dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan,
dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.
Akan tetapi
mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini,
yang biar pun tergolong cantik akan tetapi tidaklah luar biasa, bahkan
kecantikannya sederhana? Kenapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga
perasaan kagum kepada wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan
melindunginya, kalau mungkin untuk selama hidupnya?
“Toanio,
engkau mengasolah, biarlah aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek
berkata kepada wanita itu.
“Aku belum
mengantuk, taihiap. Engkau mengasolah dan biar aku yang berjaga. Masa setiap
kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan
aku yang disuruh tidur.”
Lie Bouw Tek
tersenyum. “Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang
lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”
“Akan tetapi
aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.”
Lie Bouw Tek
mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi
sinarnya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.
“Toanio, ada
sedikit permintaan dariku, dan kuharap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi
permintaanku itu.”
Lan Hong
balas memandang dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Bagaimana pun
percayanya dia kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam
perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.
“Taihiap,
permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku
bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”
“Setiap kali
engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita telah
melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi
segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai
itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”
“Ahh,
sungguh aneh. Aku sendiri pun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut
toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”
Mereka
saling pandang, lalu keduanya tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita
saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggota keluarga?
Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau mulai kini engkau menyebut aku
toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”
Walau pun
wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong
tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah,
toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”
“Dan aku
akan menyebutmu siaw-moi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong)
saja, bagaimana?”
Kembali
mereka saling pandang dan Lan Hong pun mengangguk. Lalu keduanya diam,
seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh sesudah ada sedikit keakraban tadi.
Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.
“Hong-moi,
aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi.
Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”
Lan Hong
menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja
mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.
“Dia pergi
sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”
“Hemmm,
sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang
anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”
Tiba-tiba
Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak saat melihat betapa wanita yang
duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan
punggung tangannya.
“Ehhh?
Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”
“Habis,
engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah
berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”
“Ahh, tidak
mungkin! Aku tidak percaya!”
Kini Lan
Hong yang terbelalak dan memandang heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak
percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?” Dalam suaranya terkandung
penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh
pendekar itu.
“Aku tidak
mengatakan bahwa engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya
bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu
sendiri ataukah anak tiri, atau anak angkat?”
“Ehhh?
Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”
“Itulah yang
tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk
akal. Akan tetapi delapan belas tahun?”
Kini
mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk
sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.
“Lie-toako,
berapa kau kira usiaku sekarang?”
“Paling
banyak dua puluh lima tahun.”
Kembali Lan
Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu,
toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”
“Apa?! Tidak
mungkin sama sekali! Engkau... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!”
Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli.
Wanita mana
yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apa lagi kalau orang
itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda dari pada
usianya yang sebenarnya?
“Lie-toako,
aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”
“Aihhh...
maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh
tiga tahun, Hong-moi.”
“Bahkan
sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, dan mungkin malah lebih tua dari
padamu.”
“Ahh, tidak,
tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”
“Tentu
engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako. Berapa jumlah
anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”
Lie Bouw Tek
menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah
menikah, Hong-moi.”
“Ahhh...!”
Lan Hong
menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan dia memaki dirinya
sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar
itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri,
engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih
perjaka, seorang pendekar besar yang budiman pula. Janganlah mengharapkan yang
bukan-bukan!
Kembali
keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi.
Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan
kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana
yang tadinya bagaikan mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.
“Hong-moi,
berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”
“Dia masih
muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”
“Hemm, sudah
sedemikian lihainya walau pun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan
seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa
namanya tadi?”
“Bi Sian,
Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi
Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya baginya
melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah
amat berbahaya, apa lagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong
tersenyum, senyum penuh kebanggaan. "Kurasa tidak, toako. Walau pun
usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang
jauh lebih tinggi dari pada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula,
kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong."
“Apa?”
Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang
amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini.
"Selihai
Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?" Di
dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang
puterinya itu.
"Menurut
pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjulukan Koay
Tojin."
"Benarkah?"
Kembali pendekar itu terkejut. "Nama besar Koay Tojin sangat terkenal di
daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan
nama basar Pek-sim Siansu."
"Memang
benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang merupakan sute
dari Pek-sim Siansu, guru Sie Liong."
Pendekar itu
tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. "Sungguh hebat sekali! Engkau
memiliki keluarga yang luar biasa, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk
mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Jika boleh aku bertanya, kenapa
suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?"
Sejenak Lan
Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak
mengeluarkan suara.
"Maafkan
aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak
menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya." Di dalam
suara itu terkandung keluhan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete