Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 12
LAN HONG
mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, dia tidak perlu
menyembunyikannya. Bahkan dia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang
yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan
membantunya sampai dia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Dia merasa
bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi. Dia
sudah merasa demikian akrab, apa lagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah
mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong pun menarik napas
panjang.
“Akulah yang
minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan
kepadamu. Suamiku itu... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie
Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali.
“Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat
itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu serta puterimu
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong
menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan
menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi!
Lalu... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu
sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan
pembunuhan itu?”
Lan Hong
menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan
puterinya, maka akhirnya ia pun tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu
sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
“Mereka
berdua tahu, toako. Justru karena pembunuhan itulah mereka kemudian pergi
meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu menuduh bahwa adikku Sie Liong yang
telah membunuh ayahnya. Karena tuduhan inilah Sie Liong melarikan diri dan
anakku itu lalu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuhnya, untuk
membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ahh...
ahhh...!”
Bouw Tek
kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga
janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus
berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh.
“Hong-moi...
sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu amat hebat, akan tetapi juga tertimpa
mala petaka yang lebih hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran,
Hong-moi. Adikmu demikian lihainya, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat
dibunuh orang, dan kini puterimu bahkan mengejar-ngejar pamannya yang dituduh
melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi?
Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat
mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut
keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang
pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya...
aku sendiri percaya bahwa dialah yang membunuh suamiku, tetapi... tetapi
sekarang tidak lagi...”
“Lebih aneh
lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari oleh banyak
rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut
mendengar keteranganmu.”
Sudah
kepalang basah, pikir Lan Hong. Dia harus menceritakan segalanya. Terserah
kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Dia
tertarik kepada pendekar ini dan kalau dia menghendaki pergaulan yang jujur,
dia pun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal
riwayatnya dan dia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekali pun!
Ia sudah
nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaan
dirinya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap
dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala
resikonya.
“Lie-toako,
terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu
seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu.
Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh
besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru
silat bayaran di kota Tiong-cin. Oleh karena ayah kami suka menentang
kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang
penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan
ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong,
berusia sepuluh bulan….” Ia berhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan
peristiwa itu.
Lie Bouw Tek
yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh
orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja
sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.
“Sungguh
keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong
tersenyum, senyum yang pahit sekali.
“Lebih dari
pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk
melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan
itu bila aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi
itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku
menyerah, toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang
jantan itu berubah menjadi kemerahan, pandang matanya mengeluarkan sinar
mencorong, dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu
dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”
Melihat
kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit
sekali. “Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi
meninggalkan kota kami, dan dia lalu memaksa aku menjadi isterinya dengan
ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aihh,
toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi dan terancam maut mengerikan,
aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati dari pada harus
menyerah. Percayakah engkau, toako?”
“Aku
percaya, aku percaya... aihh, si keparat!” kata Bouw Tek.
“Setelah aku
menjadi isterinya, dia lalu meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota
Sung-jan. Harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang.
Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia sampai mengganggu adikku, tentu aku
akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...”
“Hemm...”
Bouw Tek mengerutkan alisnya.
Dia tidak
lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki lelaki yang telah
menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi
semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita
di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia lalu berkata
lirih, “Hemm, ternyata dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...”
Lan Hong
menggelengkan kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap
seorang yang sangat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong,
adikku itu, akan tahu tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang tua
kami. Dia takut kalau Sie Liong kelak akan membalas dendam. Maka, kalau dia
mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong ikut belajar silat.
Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi
bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa
Sie Liong jatuh sakit keras dan sesudah sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh...!
Hemm...!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang
akan dimaki adalah suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng
kepalanya.
“Agaknya,
Sie Liong juga menyadari bahwa dia dibenci oleh kakak iparnya, maka ketika dia
berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak
lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa
pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah
kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang
menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan mulai suka
mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh... kalau
saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...”
Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis.
Lie Bouw Tek
memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi
harus bersikap bagaimana dan berkata apa. Tidak lama kemudian, Lan Hong
menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi
dia tidak menangis. Ketika dia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam
seperti patung, dia melanjutkan.
“Selama
tujuh tahun aku menderita. Harta kami pun dihamburkan oleh suamiku itu dan aku
pun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan
adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong
yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”
“Dan menjadi
seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan
melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi
dengan mudah Sie Liong bisa mengalahkannya tanpa melukainya. Suamiku sama
sekali tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi amat sakti itu.”
“Dan adikmu
masih tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”
Lan Hong
menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh
bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, dia pun masih kecil. Dia sama sekali
tidak tahu, dan aku pun tentu saja terus merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie
Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapat perlakuan
buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie
Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, mendadak puteriku, Bi Sian
pulang!” Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
“Dan ia
telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin,” kata Bouw Tek,
mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
“Benar,
toako. Dia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun gembira sekali bertemu
dengan pamannya. Kau tahu, toako, antara adikku dan puteriku yang usianya hanya
selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu
saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang
ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan….”
Wanita itu berhenti lagi.
Bouw Tek
dengan tenang menunggu kelanjutan cerita itu karena dia dapat merasakan
datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
“Kemudian,
tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat
membaca pikiran pendekar itu dan lantas menjawabnya. “Siang hari itu suamiku
pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.”
Kembali Lan
Hong diam, akan tetapi kini ia nampak demikian berduka. “Dan engkau tentu
sangat berduka, Hong-moi.”
Lan Hong
mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan
alisnya. “Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus
terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia
mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun
itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang
melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas
dendam!”
“Hemm,
sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang
tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.
“Gadis itu
puteriku, toako...”
“Ahh,
maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa
diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”
“Ketika
diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi
Sian juga pergi melakukan pengejaran.”
“Dan
puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan
pamannya?”
Lan Hong
menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu padanya, toako?
Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, sebab bagaimana pun juga, suamiku itu
adalah ayah kandungnya.”
Lie Bouw Tek
termenung. Memang keadaan serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang
ini, pikirnya.
“Akan
tetapi, tentunya Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu, dan karena itu
dia membunuh musuh besarnya.”
Lan Hong
menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadinya
pembunuhan, aku pun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia
itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mengetahuinya! Dia menyangkal bahwa
dia telah membunuh kakak iparnya, dan dia pun baru tahu akan rahasia itu
setelah aku bercerita kepadanya.”
“Lalu
bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”
“Karena
sebelumnya ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan
mabok dia minta supaya Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat
terjadinya pembunuhan itu, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di
taman, orang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia
menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako.
Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak
membunuh pamannya? Oleh karena itu, maka aku nekat melakukan perjalanan ini,
untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong
sebab sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.”
“Ehhh?
Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”
Lan Hong
kemudian menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang
segala keterangan yang telah diperolehnya dari para pelacur yang pada hari
terakhir itu melayani suaminya.
Lie Bouw Tek
mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik,
pikirnya.
“Dari
keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Jika
dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia
berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum
mendengarnya dariku. Apa bila bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh
sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak
sulit menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan
sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya supaya
jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunuh
dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu
membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute
dari Bi Sian.”
“Hemmm...”
Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu
memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal
yang meragukan. Kalau benar seperti yang kau sangka bahwa yang membunuh suamimu
adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia harus membunuh
suamimu yang baru dijumpainya?”
“Aku pun
sudah memikirkan hal itu dan juga telah menemukan jawabannya. Aku dapat melihat
bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang
usianya lebih tua dari puteriku walau pun dia sute-nya, agaknya jatuh cinta
kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya
terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik,
bukan?”
Bouw Tek
mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat
tertarik.
“Nah, dalam
penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah
pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walau pun Bong Gan
pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa
pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan
mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun
memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia
dapat melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan
memakai kedok sambil mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia
menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?”
Lie Bouw Tek
masih terus memandang dengan kagum, dan mendengar pertanyaan itu dia pun
mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau
melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan
puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?”
“Coa Bong
Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong.
Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya
untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk
apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku lalu mencari
ke daerah ini dan hendak pergi ke Lhasa.”
Lie Bouw Tok
diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas
dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari
Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang tiba-tiba
memusuhi Kun-lun-pai!
Dalam
perantauannya di daerah ini, dia pun pernah mendengar bahwa para pendeta Lama
di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga
banyak tosu yang menyelamatkan diri dan pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya.
Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pendeta Lama itu masih ada
hubungannya dengan hal itu.
“Setelah
mendengar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri
mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Engkau
jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Syukurlah
kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dengan puterimu. Akan tetapi menurut
pengetahuanmu, siapa di antara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”
“Kukira Sie
Liong lebih lihai, akan tetapi aku pun yakin bahwa dia tidak mungkin mau
melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”
“Kalau
begitu, yang lebih penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi.
Engkau harus segera menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang
pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sute-nya sendiri, bukan oleh
pamannya.”
Lan Hong
mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walau pun hal itu pasti akan sangat
menyedihkan hatinya.”
Malam telah
larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga
di depan goa, dekat api unggun. Bouw Tek semakin tertarik kepada Lan Hong. Dia
tidak dapat menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan dirinya
kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya.
Sungguh
terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu. Akan tetapi dia sudah mati dan memang
sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dia pun menjadi
semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan
untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi
juga untuk... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat
Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!
***************
Semua mata
memandang serta semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki
kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk
dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang
pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk
memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada
di sebelah barat kota besar Lhasa pada tengah hari itu untuk makan siang.
Seorang
pelayan kedai itu menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di
sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di
kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras
diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang
tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi...
manisnya...!”
“Lihat
bentuk tubuhnya... seperti kijang emas...!”
“Matanya...
ahhh, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku,
yang paling menarik adalah mulutnya. Lihatlah, bibirnya tipis merah segar,
seperti buah masak dan membikin gemes!”
“Sayang ya,
gadis semolek itu ditemani seorang... ha-ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan
monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha-ha!”
“Siapa tahu,
dia hanya pelayannya saja!”
“Atau
saudaranya!”
“Tidak
mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin
berpasangan bidadari?”
Sie Liong
diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia
tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah
yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat.
Ia pun tidak
iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling.
Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok
itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia
tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apa lagi mencintanya!
Sungguh dia
tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar, apa lagi
suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka sudah tepat dalam olok-olok
mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan
bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat
Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling
hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya
menjadi merah sekali. Ingin rasanya dia memaki-maki para tamu itu. Mereka
berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok!
Ingin dia
membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa
adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi dia
sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya tak akan
berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.
Ketika ia
melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh semua
ejekan itu, seolah-olah pemuda itu tidak pernah mendengarnya. Diam-diam Ling
Ling merasa penasaran, walau pun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran
hatinya, ia pun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko,
kedai ini cukup enak tempatnya, ya? Akan tetapi, entah bagaimana dengan hidangannya,
dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong
memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih,
akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling. Dia
mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu
itu.
Di antara
para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dari dua puluh lima tahun yang
duduk di meja sebelah mereka. Jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga
mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dengan sikap yang berani dan
berandalan.
Mendengar
ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh. “Wah, kita dianggap lalat
kotor! Ha-ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di
pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!”
Kawan-kawannya
tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko,
yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suara
mereka. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling
Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha-ha,
kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur...!”
seru teman-temannya pula.
Ling Ling
tidak dapat menahan lagi kemarahannya walau pun Sie Liong memberi isyarat
dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil
pelayan.
“Hei, bung
pelayan, ke sinilah!”
Ketika
pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di
mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, jika engkau tidak mau
mengusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor
sakali, menjijikkan!”
Sie Liong
hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan sekarang
terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot pada pemuda berpakaian
kuning, seorang di antara mereka bertiga itu.
Tentu saja
si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si
baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri
meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan.
Si baju
kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata,
“Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau,
kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu
yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada waktu
itu, Sie Liong sudah bangkit berdiri karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu
benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali
tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan
marah dan berani itu.
“Harap
sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian
bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kami pun tak akan berani menyinggung
sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai
di sini saja.”
Sikap dan
ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda
berandal itu. “Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja? Nona ini
harus minta maaf pada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta
maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong
mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia
disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
“Harap
sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari
permusuhan.”
“Onta
bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami
yang mencari permusuhan denganmu! Hayo ke sini dan rasakan hajaran kami!” kata
si baju kuning.
Pada saat
itu, terdengar suara yang parau dan dalam, akan tetapi nyaring sehingga
terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho,
siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang
pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria
berusia lima puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta
akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang
sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang
sebatang tongkat butut.
Melihat
pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta
derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta
dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang
dikumpulkan olehnya.
Melihat
seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, ketiga orang
pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main.
Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini
pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku
melawanmu, nih, makan pukulanku!”
Si baju
kuning langsung mengayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang
itu melihat mukanya dipukul, tapi tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan
menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban,
di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!”
Pukulan itu
keras sekali datangnya dan akibatnya, yang kesakitan bukan yang punya kepala,
melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang
dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan
yang memukul tadi, seperti memukul besi dan semua buku tulang jari tangannya
seperti remuk rasanya.
Hal ini
membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan
mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik
baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan mereka, ketiga orang
pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi,
penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih
berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang
pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga
jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan
tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton
dengan hati penuh ketegangan.
Tiga batang
golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biar pun gerakan
mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda
dan tenaga mereka sangat kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi
menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut...!”
Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg...!”
Tiga batang
golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar serta
lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar
dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang
menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir.
Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu. Sekarang
pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah
hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai...!”
terdengar orang berbisik-bisik.
Mendengar
disebutkannya Kim-sim-pang (Perkumpulan Hati Emas), semua orang amat terkejut.
Semua orang telah mengetahui bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para
pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa
anggota pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang
berilmu tinggi.
Pada saat
mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil
menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, sekarang
memandang dengan muka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.
“Ha-ha-ha,
kalian tiga cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai
sumbangan untuk menebus dosa kalian, ataukah kalian masih ingin berkenalan
dengan tongkatku?”
“Baik...
baik...”
Ketiga orang
pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka,
menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke
dalam hio-louw yang besar itu.
Melihat
betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tak lebih dari
sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.
“Huh, nyawa
kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harga nyawa
kalian!”
“Maafkan
kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat,
diikuti oleh dua orang kawannya.
“Sudahlah,”
berkata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka
memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian
yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”
Para tamu
saling pandang. Mereka semua telah mendengar bahwa apa bila permintaan derma
orang-orang Kim-sim-pai tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang
tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk
menghajarnya.
Maka,
bangkitlah para tamu itu dan mereka pun mengeluarkan isi saku mereka dan
memasukkan uang ke dalam hio-louw. Meski tidak semua orang menyerahkan seluruh
isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga
belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, menghasilkan derma yang
cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.
Akan tetapi,
Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan terus melanjutkan makan
hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang tadi
telah mendapatkan malu besar di depan para tamu, dan terutama sekali penghinaan
yang barusan dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis
itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
“Heiii, onta
bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau
sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan derma, bolehkah
kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?”
Untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul
dana dan hendak melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.
Mendengar
permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena
hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si
baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi
terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie
Liong dan Ling Ling yang sedang makan.
Sementara
itu, walau pun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling
seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, akan
tetapi sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan
terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria
tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, Sie
Liong sudah tertarik sekali.
Nama Kim Sim
Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to yang
membantu Thai Yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis
dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu dulu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta
Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun,
adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!
Dan orang
ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di
antara anak buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang
terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan
memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah maka dia akan dapat
memperoleh keterangan yang sangat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi
para pertapa dan tosu di Himalaya.
Tiga orang
pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si
pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka
pada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda
Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada yang
dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju
kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.
“Brakkk…!”
“Hei, onta
bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?”
Sie Liong
adalah seorang penyabar. Akan tetapi sekarang dia, dan terutama sekali Ling
Ling, diganggu orang selagi makan. Dia lalu menoleh dan memandang kepada si
baju kuning.
“Hemm,
sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga
belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu
kami!”
“Keparat,
kau berani melawanku?”
Si baju
kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya
jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.
Melihat ini,
Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanannya yang memegangi sumpit
bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
“Tukkk!”
Golok itu
terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah
dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia
terlempar dan terjengkang, lalu terguling-guling!
Melihat ini,
dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok.
Tapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing
tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itu
pun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan
lemas seketika.
Seperti
tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai
beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya,
lalu melanjutkan makan minum.
Melihat ini,
Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa
laki-laki yang bersama dengannya! Biar pun hatinya menjadi besar sekali, terasa
mekar saking gembira dan bangganya, akan tetapi Ling Ling yang melihat Sie
Liong kembali melanjutkan makan minum, dia pun ikut melanjutkan makan dengan
sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sampai tidak dapat ditahannya dan ia
melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum.
Sie Liong
tentu saja melihat sikap gadis itu. Diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga
senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba
Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia
berbisik, “Liong-ko, awas... dia datang...!”
Sie Liong
memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu
sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah
yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seakan-akan ada seekor beruang
besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan
agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong
hanya sejenak saja memandang, kemudian dia membalikkan tubuhnya lagi dan
melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling
juga menenang-nenangkan dirinya walau pun ia merasa betapa jantungnya berdebar
tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma
itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.
Sementara
itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran
Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut
dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang
ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di
seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh
bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si
bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik!
Kini,
melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si
bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka bisa membalas
penghinaan tadi, terhadap si bongkok mau pun terhadap si gadls manis!
“Orang muda
bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan
karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian
harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”
Mendengar
perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma
itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona
manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan mereka, juga si bongkok!
Akan tetapi
kalau wajah Ling Ling berubah menjadi merah sekali mendengar ucapan orang
Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi
dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksasa yang berdiri jangkung
di depannya itu.
“Losuhu,
engkau adalah seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak
sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”
Orang tinggi
besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu
terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.
“Ha-ha-ha!
Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si
Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Apa bila
kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan
menelanjangi kalian dengan paksa di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi
lurus!”
“Ha-ha-ha!”
Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Losuhu, jika
bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan
mampus!”
“Kebetulan kalau
begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.
Dua pipi Sie
Liong mulai berubah merah. Dia pun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok
dan lemah di depan anggota Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu,
seperti seekor domba berhadapan dengan seekor beruang.
Semua tamu
memandang gelisah, bahkan wajah Ling Ling juga agak pucat. Ia khawatir
kalau-kalau ‘jagonya’ sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu
memang menyeramkan sekali.
“Losuhu,
sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau
berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini
berarti bahwa seharusnya engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri
dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui
pengaruh nafsu, serta mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan
kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu malah seperti ini? Sebenarnya
engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”
Sepasang
mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggota Kim-sim-pang itu amat
terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, yang bertubuh
cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau
yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang
pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa,
dia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi
seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, tapi berani mengucapkan
kata-kata seperti itu, dan di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main
dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
“Demi semua
dewa dan iblis! Siapakah engkau yang berani berkata seperti itu kepada Beruang
Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi
mayat tanpa nama!”
Berkata
demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari
tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan
tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong
bersikap tenang saja. Dia sudah tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada
buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang mempunyai tenaga yang amat kuat
dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak
berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
“Namaku Sie
Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku
akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun
juga.”
“Bagus! Aku
akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona manis ini kepada tiga
orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk
ke depan.
Gerakan
pendeta ini memang mirip seekor beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie
Liong sudah siap siaga sehingga dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya
menyelinap ke kiri dan tubrukan itu pun luput.
“Hyaaaaahhhhh...!”
Pendeta itu
semakin marah ketika tubrukannya luput. Dengan bentakan nyaring, kedua
lengannya yang tadi terjulur ke depan segera dibabatkan ke kanan mengejar
bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke
arah dada dan muka Pendekar Bongkok.
Karena
serangan susulan ini sangat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong lalu
menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke
kanan atas.
“Dessss...!”
Kedua lengan
pendeta itu sekaligus tertangkis hanya oleh lengan kanan Sie Liong yang
mengerahkan sinkang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting kemudian
jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah
dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang
masih terisi masakan! Bagaikan harimau terjebak, dia menggereng marah dan
ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat,
nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat
itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh,
ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlomba hendak menelanjangi dan
menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar
sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut
busuk!” Sie Liong membentak marah.
Tangannya
meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu
bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.
Tiga orang
pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil
berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat
pundak sudah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas
dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan
menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling
yang marah bukan main pada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas
meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa
isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya
mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin
kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini
perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung tambah
seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan
main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawannya, bahkan setiap kali
ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat.
Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggota
Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh mempunyai tenaga sinkang yang
amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda
bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu.
Dia
menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw
yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi.
Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang
rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal, bahkan sudah tiga
kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar
tongkat bututnya dan sambil menggereng dia pun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu
terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya
selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, ketika
digunakan menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi
gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat
gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan
itu cukup berbahaya. Maka, dia pun tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Dia
mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya lantas mengepulkan uap putih ketika dia
bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani
dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil
mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!”
Tongkat itu
patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggota Kim-sim-pai itu terkejut,
tangan kiri Sie Liong sudah bergerak mendorong dengan pengerahan
Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!”
Nampaknya
tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada di dekat pundak
lawan, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang
menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat
dan tubuhnya menggigil kedinginan!
Demikian
hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sinkang yang sangat
dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak
berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Jika dia menggunakan seluruh
tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya tidak akan mampu bangkit kembali,
darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.
Orang yang
mempunyai julukan Beruang Hitam itu bangkit dan memandang kepada Sie Liong
dengan mata terbelalak. “Kau... kaukah... yang berjuluk Pendekar Bongkok...?”
Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong
tidak menjawab, hanya mengangguk.
Kembali
orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang. “Pendekar
Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi
urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!” Kalimat terakhir itu
mengandung ancaman dan dia pun menghampiri hio-louw di atas meja dan
mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Beruang
Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak perabot rumah makan ini dan
hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi
hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi
patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.
Beruang
Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba
dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu
ke arah Sie Liong!
Ling Ling
terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong.
Juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Akan tetapi,
dengan tangan kirinya Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu dia menuangkan
seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke
arah Beruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah
pulang hio-louw mu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu
melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua
tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran
yang amat kuat dari Sie Liong.
Beruang
Ritam terhuyung dan biar pun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia
dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir
darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw
kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi dia pun
melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar
Bongkok...!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka
memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan
juga gentar.
Tiga orang
pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit, kemudian dihajar kepala mereka
dengan mangkok piring oleh Ling Ling, sekarang merangkak dan dengan tubuh
gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap,
harap, ampunkan kami...,” kata pemuda baju kuning.
“Ampun,
taihiap, mata kami seperti buta, tidak melihat seorang pendekar sakti...,” kata
yang ke dua.
“Taihiap...
Siocia (nona)... kami tidak berani lagi...,” berkata pula pemuda yang ke tiga.
Melihat
sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek,
muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk
sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling
pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko,
biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan
main karena kemenangan Sie Liong ini menimbulkan kekaguman kepada semua orang.
Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh,
kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong
lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo
terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang
pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari
rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu
rumah makan.
Sie Liong
memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena
kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Uang selebihnya,
kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”
Ia lalu
mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian memegang
tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari kedai itu. Dengan bangga
sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan
keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi
ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling
Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya, dan terutama
sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Lagi pula, tadi di rumah makan sudah
terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar
ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya.
Gadis yang
semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia!
Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik
kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan
tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul
penyesalan di dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang
cacat!
Siapa tahu
kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak
cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau pun terjadi demikian, dia tidak akan
dapat menyalahkan Ling Ling, walau pun hal itu akan menghancurkan hatinya.
Dari pada
menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan
satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling. Hal itu sudah sejak lama dia
pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang.
Ling Ling
adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah
jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik,
yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.
Dia tahu
bahwa diam-diam dia amat tertarik pada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku
bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali
kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri.
Dan dia pun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu
cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan
cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku
tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil
keputusan sebelum mereka memasuki Lhasa.
Dan begitu
masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan
yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andai kata Ling Ling
memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang
tampan dan gagah, tidak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada
yang mengejek.
Peristiwa
itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling
Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang sangat berbahaya. Banyak lawan yang
lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan
mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.
“Kita
sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.
“Kita ke
rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan
pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya
kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena
seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang
jahat.”
Mereka memilih
sebuah rumah penginapan, kemudian menyewa dua buah kamar yang berdampingan.
Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling
Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
“Baik,
Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini
sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau,
lalu disambungnya cepat. “Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama,
ya?”
Sie Liong
mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling
menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan
tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
“Ahhh,
taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” pemilik
rumah makan itu bertanya.
“Dapatkah
aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah
makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.
Pemilik
rumah makan itu memandang heran, tapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie
Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang kedai
itu merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.
“Begini,
toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang
kukenal di Lhasa ini, walau pun baru sekali kita bertemu, yaitu ketika terjadi
keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka untuk
membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?”
Pemilik
rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.
“Ia adalah
seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatang kara,
juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan
tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti
yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”
Pemilik
rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak
mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
“Sebelum aku
melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku
Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar
Bongkok. Ada pun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia
yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku hendak mencarikan
sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat
kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku
menyelesaikan tugasku, entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan
membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga
itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”
Pemilik
rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia
menarik napas panjang.
“Taihiap,
semua orang di Lhasa tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini
sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan
dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya
tidak terjadi peristiwa tadi, pasti dengan senang hati aku suka menerima nona
Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi... setelah
peristiwa tadi terjadi, sangatlah berbahaya kalau dia tinggal bersama kami,
taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa dia mondok bersama kami dan kalau
hal ini terdengar oleh ketiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar
oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki
kami sekeluarga celaka, bukan?”
Sie Liong
menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemilik rumah makan
itu.
“Tentu saja
kami pun tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat
menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara
waktu...”
Sejenak
pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu
dengan senyum cerah. “Ahh, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku
yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung
yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka sekali menerima nona Ling
Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap, dan boleh
dipercaya!”
Wajah Sie
Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali padamu, toako.
Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”
Pemilik
rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili
dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan
senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya karena berarti ia
mempunyai seorang teman.
Janda
berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak
terlalu besar akan tetapi bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari
tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.
Malam itu
juga Sie Liong mengajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
“Akan tetapi
kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling
ketika berkemas.
“Bukan kita,
Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”
Tangan yang
tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling
terbelalak menatap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau...?”
“Aku harus
melakukan penyelidikan dan melaksanakan tugasku, Ling-moi. Engkau akan tinggal
bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...”
“Tidak,
Liong-ko, tidak.... Aku tidak mau berpisah... aku tidak mau kau tinggalkan! Aku
ikut bersamamu, Liong-ko, ke mana pun engkau pergi...!” Gadis itu memandang
dengan wajah membayangkan kegelisahan.
Sie Liong
tersenyum dan memegang tangan gadis itu, tangan yang dingin dan gemetar, tangan
seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.
“Tenanglah,
Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan
penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, ancaman
bahaya sudah muncul. Apa lagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu
dengan banyak lawan yang tangguh...”
“Aku tidak
takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekali pun aku rela asal dekat
denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apa pun juga, asalkan kita
jangan saling berpisah...”
“Aku percaya
bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau
sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan menyesal selamanya. Karena itu,
biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda
yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimana pun,
engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya
berkumpul...”
“Liong-koko...
Aku ingin selamanya berkumpul denganmu... ahhh, aku... aku... jangan tinggalkan
aku, koko...” Dan Ling Ling menangis!
Sie Liong
mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis
itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Semua demi kebahagiaan Ling
Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.
“Ling-moi!
Apakah sekarang engkau mulai membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat
aku bingung dan susah?”
Tangis itu
seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong
dengan muka amat pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu
kemerahan dan masih berlinang air mata.
“Maaf...
maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah... aku taat...
aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa
bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu... ahhh, mana dapat aku
membayangkan itu...” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi tetapi
seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan
menyedihkan.
Sie Liong
membiarkan hingga gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga
sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan
diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu.
Setelah dia
melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong
tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh
pengertian.
“Ling-moi,
kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam
peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja,
karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan
akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan
menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau
aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu
hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak
terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.”
“Tapi...
tapi... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu,
engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan membolehkan aku hidup di sampingmu?”
Sie Liong
menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang
kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa
gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya,
akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain.
Kelak saja,
kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberi tahu isi hatinya.
Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara
sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan
pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.
“Aku
berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu
di rumah bibi Cili.”
Mendengar
janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan
cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari sesudah awan gelap tercurah
menjadi hujan.
“Liong-ko,
katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”
Pertanyaan
ini tak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena
tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya
mendengar dari pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to bahwa
Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang yang harus diselidikinya itu, merupakan
tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang
menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet!
Dia tidak
tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin satu minggu,
sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum
selesai! Apa lagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!
Melihat
pemuda pujaan hatinya itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa
khawatir sekali. “Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menunggu engkau datang
menjemputku? Seminggu?”
“Aih,
Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih
lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...”
“Kalau
begitu, satu bulan? Satu bulan sudah sangat lama, koko. Tentu paling lama
sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”
Mendengar
betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa
tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andai kata selama sebulan dia belum
dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah
bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa
tugasnya belum selesai. Maka dia pun mengangguk.
“Akan kucoba
untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”
Wajah itu
nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie
Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana
mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya sudah menyerahkan seluruh
harapan hidupnya kepadanya itu?
“Aku akan
sabar menanti, koko.”
Hati Sie
Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu,
dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama,
dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling
yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat
merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk
sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan
bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi
pendamping gadis itu.
Diam-diam
dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik
angkatnya’ itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin
agar adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa
kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan
datang untuk membuat perhitungan. Sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling
dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak.
Pada hari
itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan
keberangkatannya diantarkan oleh pandang mata sayu namun dengan senyum penuh
kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali…..
***************
Bi Sian
memasuki kota Lhasa dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar
megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada
yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan
raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang
berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang
merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet.
Ia tidak
tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya
karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang
tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal tetapi tidak butut,
bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya
kota Lhasa saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari
samping dan dia pun kagum dan bangga.
Melihat
gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu
bersinar dan bibirnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan seperti
menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat
besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini.
Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!
Dia telah
jatuh cinta kepada gadis ini dan walau pun Bi Sian belum menjawab secara
meyakinkan, akan tetapi gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta.
Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih
dari cukup untuk sementara ini.
Hanya,
kadang dia merasa tersiksa sekali, apa lagi kalau mereka terpaksa bermalam di
hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu
birahinya membakar dirinya, akan tetapi dia tidak berani apa-apa, menyentuh pun
tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat
di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi,
melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu
memasuki kota Lhasa, Bong Gan mengerutkan alis, teringat akan kemungkinan
adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika
gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya,
menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak
nampak dari jalan raya.
“Ada apakah,
sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak
oleh orang lain.
“Aku baru
saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah
lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di
sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian
menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena dia mengira bahwa ucapan
pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Tadi dia pun melihat
betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum
dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
“Hemm,
mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran
Bong Gan
tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang.
“Aih, suci.
Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum
kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau
ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri saat kau serang dan
agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin
menghindarkan diri darimu. Nah, andai kata dia sudah tiba di sini lalu dia
mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri
khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia
akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”
Bi Sian
menarik napas panjang. “Ahhh, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar
sekali. Kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan
tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok
seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita
sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi
Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sute-nya. Dengan
berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan
memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak
dari pintu depan karena terhalang tiang. Tanpa banyak cakap mereka memesan
makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah
makan itu.
Siang hari
itu, tidak banyak orang makan di situ. Oleh karena Bi Sian sengaja duduk
membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai
mata-mata dan menyelidiki keadaan ruang itu, juga beberapa orang tamu yang
makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat
orang, sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang
makan minum.
Karena Bi
Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak
menarik banyak perhatian. Tetapi sebaliknya, dia pun tidak dapat memperhatikan
isi ruangan itu dan keadaan di luar.
Bong Gan
tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik.
Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, lalu pandang
matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.
Jantungnya
seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras
sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar
seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka
dia pun cepat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya.
Hanya ada
satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda
ini, yaitu wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah
makan itu lebih dari pada cantik!
Gadis itu
usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun
usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan
dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian,
juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.
Wajah itu
manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah
seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat berisi dan lemah
gemulai. Pinggangnya yang ramping itu bagai pohon yang-liu sedang tertiup
angin. Lenggangnya mempesona, bagai lenggang seekor harimau kelaparan, dengan
buah pinggulnya yang menari-nari setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam
saling bersentuhan.
Pakaiannya
ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi serta denok itu
membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang
terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika
memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya
sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya
sudah enam puluh tahun tetapi masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang
lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria
yang duduk di rumah makan itu.
Gadis itu
pun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia
melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itu pun balas
menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh. Wajahnya yang berkulit putih
mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar
dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar
bagaikan kilat!
Kemudian,
gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan
sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu
dengan sikap acuh saja lalu duduk di hadapannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang
tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan,
kini menghampiri dua orang tamu baru itu. Bong Gan dapat melihat dengan jelas
bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu
ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian
dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar
suara wanita yang merdu memesan makanan. Dia pun tertarik dan memutar sedikit
tubuhnya agar miring dan ia pun mengerling ke arah meja itu.
Melihat
wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, juga dengan pedang di
punggung, tentu saja ia pun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu
seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan
perantauan. Apa lagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka
tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat
betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan dia pun
menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik
manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena
ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz dan Han yang memang
mempunyai kecantikan istimewa.
Yang berada
di sampingnya adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah
sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya
pula, yang telah mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan
menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak
muda dan amat tampan gagah itu.
Seperti
telah diceritakan pada bagian depan, Thai Yang Suhu mendapatkan tugas dari
Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk
dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia
dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah’ dan menculik
gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet
Sam Sin-to.
Akan tetapi,
ketika gerombolan ini sedang mengumpulkan gadis-gadis dan bersembunyi di Bukit
Onta, muncullah Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka,
bahkan membuat Pek Lan dan Thai Yang Suhu terpaksa harus melarikan diri,
sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sin-to tewas di tangan Pendekar
Bongkok.
Thai Yang Suhu
bersama Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar, tidak mampu menghadapi
Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka
berdua melanjutkan perjalanan menuju Lhasa karena Thai Yang Suhu hendak
mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu
pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.
Dan dalam
rumah makan ini, di mana Thai Yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka
melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main
melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah!
Gairahnya
segera bangkit. Pek Lan sudah menentukan pilihan untuk bersenang-senang malam
nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Meski ia melakukan
perjalanan bersama Thai Yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, akan
tetapi setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu
akan berusaha keras untuk menundukkannya.
Thai Yang
Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan dia pun tidak mampu mencegah, bahkan tosu
ini acuh saja karena dia sendiri pun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan
dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan menunjukkan kekagumannya kepada
pemuda yang duduk di meja sebelah, Thai Yang Suhu mengambil sikap tidak peduli.
Setelah
selesai makan, Bong Gan menggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga
makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu
dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata
dan senyumnya bahwa ia pun menanggapi perasaan hati Bong Gan!
Tentu saja
Bong Gan menjadi semakin terpikat. Dia mengambil keputusan untuk malam nanti
mencari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar
lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang sangat
mempesona ini.
Pada waktu
pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda yang ingin mempercepat
penyelidikan yang dilakukan Bi Sian ini, segera bertanya, “Kami mencari seorang
pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah barangkali engkau pernah melihat atau
mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau
melihatnya di jalan?”
Bi Sian
tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, maka dia pun
memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimana pun juga, pertanyaan
itu takkan mendatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau
mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi,
mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Dua matanya
terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab
agak gugup.
“Kongcu...
ehh, apakah dia... ehh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja
Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak
salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada
orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia!
Di manakah dia?”
“Dia...?
Ahhh, saya tidak tahu, kongcu...” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik
rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi
majikan saya mungkin tahu...” Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu
cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang diberikan Bong
Gan.
Tentu saja
Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan.
“Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...”
Bong Gan
mengangguk dan mengikuti sucinya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong
Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh
arti...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment