Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 10
Akan tetapi
Thai Yang Suhu memberi isyarat agar supaya para pembantunya itu jangan bergerak
dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda
sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih
dulu dengan suara parau.
“Orang she
Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!”
Sungguh
hebat! Benda yang dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari
dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya
juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah
tubuh Sie Liong.
Namun,
Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas dan
mengerahkan tenaga khikang. Dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas, dan dengan
pengerahan sinkang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri itu mengeluarkan
uap putih, mendorong ke arah naga api.
Terdengar
suara keras dan naga itu pun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke
depan kaki Thai Yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia
yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja!
Thai Yang
Suhu terbelalak, menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada
saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu lantas hancur
berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat
menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak, maka ketika
dipungut oleh pemiliknya, langsung menjadi hancur berantakan.
Thai Yang
Suhu mengeluarkan teriakan marah dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya,
menyerang dahsyat ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu Pek Lan juga
menggerakkan pedangnya, berbarengan dengan Tibet Sam Sin-to yang sudah pula
ikut menggerakkan golok mereka.
Sie Liong
mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali
ia memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang
ke arah lima orang pengeroyoknya!
Lima orang
yang sudah siap menyerang itu, bahkan sudah menggerakkan senjata, amat terkejut
ketika tiba-tiba saja melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat
mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis. Mereka
mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia.
Ketika
sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah daun-daun
yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal
sebatang tongkat.
Melihat
betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia
yang mereka rasakan sangat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan
makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar pun masih muda dan cacat
tubuhnya, ternyata benar-benar mempunyai kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap
lagi mereka pun segera mengepung dan mengeroyok!
Menghadapi
pengeroyokan lima orang yang semuanya memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong
lalu memutar tongkatnya dan ia pun telah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat
Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajarinya dari
Pek-sim Siansu. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main.
Ketika
senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar
oleh Sie Liong, maka angin pun menyambar-nyambar begitu dahsyat bagaikan badai,
sehingga nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar
hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang cepat bagaikan kilat
menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang
tahulah Thai Yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini.
Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang sangat hebat!
Walau pun dia sendiri maju, dibantu pula oleh Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam
Sin-to, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan
mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan secara luar
biasa itu.
Tongkat di
tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga
kasar dan halus yang bekerja secara bergantian. Setiap gerakan ujung tongkat
itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.
Thai Yang
suhu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia
memiliki ilmu pedang yang sangat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama
ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini,
karena mengeroyok, tentu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya
dengan leluasa. Maka, dia pun membentak agar para pembantunya minggir.
“Minggir
semua, biar pinceng sendiri yang menghadapi Pendekar Bongkok!” bentaknya.
Mendengar
ini, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to lalu berloncatan keluar dari gelanggang
pertempuran sehingga pendeta gundul tinggi besar itu kini sendirian saja
berhadapan dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan
berdiri tegak menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.
“Thai Yang
Suhu, tadi sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun
juga. Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu,
jika kalian membebaskan gadis-gadis yang sudah kalian tawan dan mereka dalam
keadaan selamat dan tidak terganggu, maka aku pun akan menyuruh mereka pulang
ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian juga
tidak mengulang perbuatan jahat itu.”
“Pendekar
Bongkok, apa kau kira pinceng takut kepadamu? Pinceng sengaja menyuruh
kawan-kawan pinceng minggir supaya pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa.
Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang
pinceng lawan!”
“Hemmm, Thai
Yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim
Siansu,” jawab Sie Liong sejujurnya.
“Wah!
Kiranya murid para tosu pelarian dari Himalaya!” seorang di antara Tibet Sam
Sin-to berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal
itu.
Juga Thai
Yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama
Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek
dari Himalaya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya
Pek-sim Siansu membuat dia terkejut.
Pantas saja
pemuda bongkok ini tidak hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu
menangkis ilmu sihirnya, bahkan sudah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak
kecil tadi. Bagaimana pun juga, Thai Yang Suhu yang terlalu mengandalkan
kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jeri.
“Bagus,
sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!” Sambil berkata demikian, tokoh
Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong.
Pendekar
Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh
Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang
lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya sehingga semua jarum hitam yang
meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
“Pendeta
palsu yang licik dan curang!” bentak Sie Liong.
Dia pun
membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyat dari kanan ke
kiri, mengarah pada pinggang lawan. Thai Yang Suhu meloncat ke belakang, pedang
kanannya menyambar dari atas ke kepala Sie Liong sedangkan pedang kirinya
menangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas
dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Maka
terjadilah perkelahian yang sangat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang
dimainkan oleh Thai Yang Suhu menyambar-nyambar, berubah menjadi dua gulungan
sinar putih yang menyilaukan mata. Akan tetapi dua gulungan sinar itu sering
kali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang
bagaikan seekor naga hijau yang bermain di angkasa.
Ilmu tongkat
Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok adalah ilmu tingkat tinggi
yang tidak mampu dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta
Pek-lian-kauw itu. Lagi pula, gerakan pendeta itu kalah cepat dibandingkan Sie
Liong, bahkan dalam hal tenaga sinkang, pendeta itu juga kalah kuat.
Kelebihan Thai
Yang Suhu hanyalah pada pengalaman bertanding saja. Di samping itu, Sie Liong
bersikap hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat
celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang
membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak sehingga membuat lawannya mampu
mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan
ramai.
Betapa pun
juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang
cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan. Mereka tahu bahwa kalau
tidak dibantu, akan sulit sekali bagi Thai Yang Suhu untuk bisa mengalahkan
Pendekar Bongkok.
Oleh karena
itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka
berempat langsung berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok
lagi. Sekali ini, Thai Yang Suhu diam saja karena dia pun mengerti bahwa kalau
dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan
Pendekar Bongkok.
Di lain
pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima
orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu
bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai Yang Suhu dan
Pek Lan.
Akan tetapi
karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sin-to, maka permainan kedua orang
lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang. Mereka berdua itu tak dapat menyerang
sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu.
Hal ini
membuat gerakan Sie Liong semakin hebat. Dia pun tidak takut lagi bahwa dua
orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat
bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sin-to yang ikut mengeroyok sehingga
kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan
sendiri.
Akan tetapi
hal ini, hal yang sama sekali tak disangkanya, ternyata memang benar telah
terjadi. Dan kesalahannya memperkirakan ini akhirnya harus makan korban!
Ketika itu,
ia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu
adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman
merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh
dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang
sehingga dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam.
Oleh karena
itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia
memutar tongkatnya secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya
kepada Pek Lan.
“Trang...!
Trangggg...!”
Bunga api
berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat
yang mendesaknya.
“Ihhhhh...!”
Pek Lan
mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu
sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang
pedang tergetar hebat, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung
bahwa Thai Yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangannya sehingga
dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek
Lan marah sekali.
Tiba-tiba ia
mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak,
belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar
Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan
pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja luar
biasa berbahaya bagi Pendekar Bongkok!
Akan tetapi,
dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, dia pun
maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar
tongkatnya sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang
melindungi tubuhnya.
Ketika
jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, akan
tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar
teriakan-teriakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sin-to roboh!
Tentu saja
hal ini sangat mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam
beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun
yang dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah
berkelojotan sekarat!
Tentu saja
Pek Lan tak mungkin sempat melakukan pemeriksaan untuk dapat memberi
pengobatannya, bahkan dia pun sama sekali tidak memusingkan keadaan kedua orang
rekan ini. Hal itu bahkan membuat ia menjadi makin marah kepada Pendekar
Bongkok sehingga kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya. Namun,
mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok, apa lagi kini
berkurang dua.
Gerakan
tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat. Ketika salah
seorang di antara Tibet Sam Sin-to yang masih hidup serta merasa berduka dan
marah karena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya
dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan
tongkatnya, juga sambil mengerahkan tenaganya.
“Trakkk...!”
Golok itu
patah dan terlepas. Sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat
dielakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia
hindarkan.
“Bukkk!”
Orang itu
terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan
dan Thai Yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jeri. Pada saat itu
terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu
mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah
bawah.
Nampaklah
puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang
segala macam senjata, sedang berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap penuh
ancaman!
Melihat
keberanian para penduduk ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia
sudah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang sekarang agaknya
berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk membasmi siluman! Sebaliknya, Thai
Yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.
“Pek Lan,
mari kita pergi!” kata Thai Yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan
meloncat bersama Thai Yang Suhu.
“Hemm,
kalian hendak lari ke mana?” Pendekar Bongkok membentak dan dia pun cepat
meloncat untuk melakukan pengejaran.
Akan tetapi,
tiba-tiba Thai Yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar
ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau
asap itu beracun, tentu saja Sie Liong segera menjauhkan diri, bermaksud
mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di
belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu
kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to
telah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh.
Melihat
Pendekar Bongkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi
sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar
itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap
(pendekar besar), ampunilah aku...”
Pendekar
Bongkok adalah seorang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang,
betapa pun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan
orangnya. Dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Siansu, ia tahu bahwa
orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya.
Batin yang sakit itulah yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat. Jika
batinnya telah sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat.
Maka,
melihat betapa salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to itu minta ampun, dia
mengangguk. “Siapa namamu?”
“Namaku Coa
Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, maka ijinkanlah aku membawa
mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu,
aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan kenapa
mereka diculik?”
“Itu adalah
kehendak Thai Yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk
dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu
semua dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena
memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar
Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak akan berani
berbohong.
“Ada satu
pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sin-to, tentu merupakan tokoh
Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima
Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di mana mereka
sekarang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar
disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan.
“Tidak, taihiap... aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan mereka. Sama
sekali tidak mempunyai hubungan...!”
Pendekar
Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.
“Aku tidak
menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang
diri mereka.”
Barulah Coa
Kiu kelihatan lega. “Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan
kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta
tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak?
Ahh, di mana kini mereka itu?”
“Mereka di
sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi
pendukung. Bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor
karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar
Bongkok mengangguk-angguk. Pada waktu itu, para penduduk dusun sudah datang
semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu
membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa
Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi
dari situ sambil terhuyung.
Pendekar
Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke
arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai Yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan
orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu
dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan,
semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan
kami... jangan... jangan ganggu kami...!” kata seorang di antara mereka.
Melihat
betapa semua gadis yang berada di ruangan itu cantik-cantik dan masih amat
muda, dan kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, dan mata mereka
terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau,
Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Dia teringat akan bongkoknya, dan dia maklum
bahwa tentu mereka mengira bahwa dia adalah seorang jahat!
“Tenanglah,
nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para
penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke
sini.”
Namun, para
gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda
berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di
situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba
di ruangan yang daun pintunya sudah dijebol Sie Liong. Mereka melihat Sie Liong
masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu sedang memandang ketakutan.
“Ayah...!”
teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali,
akan tetapi juga dari para gadis lain.
Ternyata
para ayah dari gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para
penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu segera
dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega
dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan
Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan
baik.
“Semua ini
karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!” Gumo Cali
menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang.
Para gadis
yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu
memang benar menjadi penolong mereka. Maka mereka pun ikut berlutut di samping
ayah masing-masing.
Salah
seorang di antara para gadis itu menjatuhkan diri berlutut paling dekat di
depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadi pun Sie Liong melihat
bahwa berbeda dengan para gadis lain, tak ada seorang pun yang memeluk gadis
ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut.
Dia seorang
gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali,
dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak
memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan
belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga
yang mulai mekar.
“Nona, kau
kenapa?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian
suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali
bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie
Liong. Sie Liong segera menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
“Nona,
bangkitlah, tak perlu berlutut. Kenapa engkau menangis? Bukankah seharusnya
engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?” Mendadak
dia merasa curiga jangan-jangan gadis ini telah mengalami nasib yang buruk di
tangan para penjahat. “Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu
menggelengkan kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara
bercampur tangis, dia berkata, “Aku... aku tidak mau pulang... ke rumah
mereka...”
“Kenapa,
nona? Di mana rumahmu?” tanya Sie Liong.
Seorang di
antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, kemudian
mendekat dan berkata, “Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?”
Gadis itu
tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala sambil menangis.
“Siapakah
nona ini, paman, dan di mana rumahnya?” tanya Sie Liong.
Orang itu
lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling
Ling. Ia adalah seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun,
ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh
keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang
pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik padanya. Mereka
tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling
Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu
mengharapkan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu
mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan
menggeleng kepala keras-keras sambil berkata, “Tidak..., tidak... aku tidak mau
pulang ke sana... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke
sana...!” Dan ia pun menangis lagi.
Sie Liong
mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan yang kuat sekali
sehingga gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah,
nona. Kita berbicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang.
“Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja supaya jangan menjadi
sarang penjahat lainnya! Semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan
seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti
ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.”
Berkata
demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu
untuk keluar. Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas
sebuah batu besar.
“Nah, Ling
Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati dari pada pulang
ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah
mereka berada di tempat sepi, hanya berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali
mpnjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap,
engkau telah menyelamatkan aku bersama teman-teman, harap taihiap jangan
kepalang tanggung untuk menolongku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolong
diriku, dan aku akan menceritakan keadaanku.”
“Baiklah,
dan duduklah supaya engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang
terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak
berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit...”
Ling Ling
mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih
dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah
walau pun ia sudah tidak menangis lagi.
“Aku
diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak memiliki
anak. Sekarang mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang
sikap mereka itu baik sekali walau pun aku tidak menguntungkan mereka karena
aku seorang anak perempuan. Aku pun bekerja keras di rumah mereka, seperti
seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir
ini...” Ling Ling menutupi mukanya, hatinya merasa sedih dan berat untuk
menceritakan peristiwa yang membuat dirinya merasa sengsara itu.
Sie Liong
membiarkan gadis itu sejenak, dan setelah kelihatan agak tenang, ia berkata,
“Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongmu bila aku sudah
mengetahui persoalannya.”
Gadis itu
menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang
mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
“Taihiap,
aku akan kelihatan sebagai orang yang tak mengenal budi kalau sekarang aku
seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku
harus berterus terang. Harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk
memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap.
Akhir-akhir ini, sejak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha
untuk... untuk menodaiku...”
Sie Liong
mengerutkan alis. Dia mengamati wajah itu dengan sinar matanya yang tajam
menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.
“Apa
maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia... dia
mula-mula merayuku... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku
menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku...! Karena aku
selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Ibu angkatku
agaknya melihat pula gejala itu dan ia pun menjadi cemburu dan membenci aku...”
“Hemmm...!”
Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini
mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak
mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
“Ling Ling,
engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah
angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau
kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal
yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa
engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan
mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling
mengerutkan alisnya. Ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lama. Sinar
matanya penuh kegelisahan dan keraguan, lalu ia pun menggelengkan kepalanya.
“Tidak
mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau
memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang
matanya. Dan ibu angkatku... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku
tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika
wanita cantik yang menyamar sebagai siluman merah itu menculikku, membawaku ke
sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan
baik, aku merasa girang untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali
ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi...
kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi?
Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu
sendiri?”
Diam-diam
Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu
saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling
Ling kelak tak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang bagai setangkai
bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin
karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau
bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan
gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau
nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak
akan menjadi buta akan kebenaran?
Dan dia
dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya
seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan
membunuh diri!
Gadis itu
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Aku
sebatang kara...,” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau
begitu, lalu engkau hendak pergi ke mana, Ling Ling? Jika engkau tidak memiliki
keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu
bagai mana?”
Mendengar
pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, “Aku
ingin turut denganmu, taihiap...”
“Ehhh?” Sie
Liong terkejut dan heran bukan main.
Tadinya
timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang
kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambut pun
dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.
“Apa
maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku
tak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku...
aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan...
aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu...”
Tiba-tiba
Sie Liong tertawa. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya
bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak
karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga
dahsyat itu. Ia pun kini yang memandang bengong.
Pendekar itu
tertawa bergelak dan alangkah gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak
olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang selalu
menimbulkan perasaan iba kepada siapa pun yang memandang, kini nampak cerah dan
berseri!
“Aihh, Ling
Ling... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Liong setelah menghentikan
ketawanya.
“Taihiap,
apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana
mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap
seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan
banyak gadis di sini, yang pantas kupuja dan kubalas budinya...”
“Cukup semua
itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai
tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau malah hendak ikut dengan aku.
Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa
tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke mana pun
engkau pergi. Aku tidak peduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan
kebetulan sekali kalau engkau pun sebatang kara seperti aku, karena tidak akan
ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu,
membantumu dalam segala hal. Taihiap, kasihanilah aku...”
“Tapi, Ling
Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh
bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para
penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau bersamaku.”
“Aku tidak
takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya maut pun tak akan membuat aku
gentar, taihiap. Aku pun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam
Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak
ikut dengan dia?
“Ling Ling,
aku kadang-kadang tidur di hutan... di atas rumput...”
“Hemm, tentu
menyenangkan sekali, taihiap. Apa lagi di waktu terang bulan, dengan api unggun
menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan amat nyaman untuk tidur...”
“Kadang-kadang
harus di atas pohon besar...”
“Ahh, aku
belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu
aman dari gangguan binatang buas...”
“Ling
Ling...” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang
kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
Wajah itu
menjadi pucat seketika, matanya terbelalak dan tubuhnya jelas nampak menggigil,
pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang-orang dusun di daerah
itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat
tebal rasa ketahyulan mereka.
Melihat ini,
Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. “Akan tetapi
selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng
kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling
menarik napas lega. “Aku juga... ti... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi,
membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang
dan menggelengkan kepalanya.
“Ling Ling,
maafkan aku. Bagaimana pun juga, rasanya tidak mungkin jika engkau ikut
denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis
muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka akan menyangka yang
bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap,
apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata-kata dan pendapat orang
lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Apa bila kita tidak melakukan
sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang? Taihiap, aku akan
menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu padamu. Aku akan
menjadi pelayan yang baik...”
“Sekali lagi
maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajak engkau
berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba
wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama
tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya
lirih dan mengandung rintihan.
“Baiklah,
taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat...
tinggal...” Dan gadis itu pun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah
satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
“Nanti dulu,
Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa
iba.
Gadis itu
berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat. Matanya tidak
ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat
perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya.
“Ke mana
saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Aku pun tidak tahu...” dan
ia pun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu.
Dari
belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, kemudian sedikit
bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu
terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong
marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang
berlutut sambil menangis itu.
“Ling
Ling...” katanya lirih.
“Biarkan aku
mati saja... ahhh, biarkan aku mati saja...” gadis itu berbisik-bisik dan
tangisnya mengguguk.
Dengan dua
tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri.
“Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani
menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan
itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih
menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan
senyum. “Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih...! Aku tidak akan sengsara. Aku
akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran
tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam
indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita
sehari-hari! Ahh, aku bahagia sekali, terima kasih, taihiap... terima kasih...”
Pada saat
itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu
sudah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira.
Lalu mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali. Mereka
kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima
kasih.
“Saudara
sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang
saudara sekalian bisa mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun
sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar
Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang
memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok,
namun tidak ada seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa
pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya
itu ke dusunnya sendiri.
Mereka pun
bubar dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan
selamat. Di dusun itu nama Pendekar Bongkok lebih dikenal dari pada nama Sie
Liong. Mereka tidak akan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar
itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai siluman merah, penculik
gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling,
aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,”
demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta,
jauh dari para penduduk dusun.
Wajah yang
manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah
tidak mempedulikan gadis yang berjalan di belakangnya itu, bahkan kadang-kadang
dia sengaja melangkah lebar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari
untuk mengikutinya.
Sie Liong
mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan dia mendengar pula betapa
pernapasan gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikit pun Sie Liong tidak
pernah mendengar gadis itu mengeluh.
Kini, dia
berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh
keringat, dan napas gadis itu agak memburu, akan tetapi wajahnya sama sekali
tidak memperlihatkan sedikit pun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri-seri
dan penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap,
tanpa ragu.
“Tentu saja,
taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biar pun untuk itu aku harus
berkorban nyawa...” tiba-tiba dia cepat menyambung kalimat yang sebenarnya
sudah berakhir itu, “... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi
meninggalkanmu!”
Sie Liong
tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, tapi dalam kesederhanaan,
ternyata ia cerdik juga.
“Nah, kalau
begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie
Liong dan mengingat bahwa engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai
kakakmu.”
“Baiklah,
Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling Ling gembira.
“Dan ke dua,
sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat
wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, “Bagaimana pun juga, aku ingin
menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan
ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik
pergi begitu saja tanpa pamit.”
Ling Ling
mengangguk, nampak hilang kagetnya. “Baiklah, Liong-ko.”
Mereka pun
pergi menuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika tiba di
rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang pada Ling
Ling dengan mulut cemberut. Apa lagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang
bersama seorang pemuda bongkok.
Ayah
angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya kepada
Ling Ling dan mulutnya langsung mengeluarkan makian.
“Perempuan
tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat
bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!”
“Dasar anak
tak tahu diri, tidak mengenal budi!” bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami
memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, sekarang tidak
membalas budi malah melempar kotoran ke rumah kami!”
Sejak tadi
Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat
seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mulutnya lebar
dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir.
Matanya membayangkan wataknya yang kurang baik.
Ada pun
wanita itu beberapa tahun lebih muda. Tubuhnya gendut dan hidungnya pesek,
dengan muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh ia merasa
heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat
seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai
orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
“Ayah, ibu,
aku tidak minggat, memang benar diculik...”
“Diculik
setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!” habis berkata demikian,
laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke
arah kepala Sie Liong.
Apa bila
menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul
menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Namun dia tidak
menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, lalu
memuntirnya dan mendorongnya.
Pria itu
mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, berteriak
mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar telah
siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan.
Akan tetapi,
sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya
ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu
terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak
mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.
“Berani kamu
memukul orang...?”
Ayah angkat
Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin
marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi
menyerang.
Pada saat
itu juga, beberapa orang dusun yang tadi turut menyerbu ke bukit Onta, datang
mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat
betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka
terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.
“Engkau
setan bongkok, kunyuk bongkok, beraninya melarikan gadis orang!” teriak ayah
angkat gadis itu yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian
datang.
“Heiii!
Gumalung... tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak beberapa orang. Mendengar
ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
“Sungguh
engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie
Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis
itu! Malah anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang
dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!”
Mendengar
ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya. “Ahhh... ohhh... maafkan
kami... maafkan kami... sungguh kami tidak tahu…” kata Gumalung, diikuti oleh
isterinya dan mereka membungkuk-bungkuk.
“Sudahlah!”
kata Sie Liong membentak. Melihat banyak orang di sana, dia menganggap
kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling.
“Kalian
memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun,
dengan dalih tidak memiliki anak, kalian kemudian mengangkat dia sebagai anak.
Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. Akan
tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap
tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi
memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau lalu membencinya. Dan isterinya
yang tidak tahu diri ini bukannya menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci
Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, betul tidak apa yang
kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terus terang, baru akan kumaafkan.
Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!”
Suami isteri
itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi
mereka juga merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini
sudah berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah,
akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.
“Memang
engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau rakus, engkau suami mata
keranjang! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan
tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta
besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti
mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!”
Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak
mencakar-cakar.
Suaminya
cepat-cepat menangkap kedua pergelangan tangan isterinya dan mereka pun mulai
bersitegang. Agaknya si suami yang kerempeng ini kalah tenaga sehingga justru
dialah yang terbawa terhuyung ke kanan kiri.
“Engkau
perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati dan
cemburu melihat ia cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!”
“Apa kau
bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”
Kedua suami
isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka
berkelahi. Tidak ada seorang pun yang berusaha untuk memisahkan pasangan suami
isteri itu.
Sie Liong
dengan gerakan tidak sabar segera maju. Sekali dia menggerakkan tangan, kedua
suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya lalu terpelanting,
untuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya sangat terkejut,
kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar
Bongkok.
“Taihiap,
ampunkan saya...” Wanita itu merengek.
“Taihiap,
ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling...” kata
sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia pun menyambung, “Ling
Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini...”
“Aku tidak
mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan
pergi meninggalkan kalian!”
“Ehhh...?
Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?” Gumalung berseru kaget,
juga isterinya kaget mendengar ucapan ini.
Mereka
memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu
merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot apa
bila ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
“Tapi, kau
tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!” kata pula Nyonya gendut
itu.
Sie Liong
sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan
pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang pun
sudah mendengarnya. Maka, dia pun lalu berkata dengan suara tegas.
“Ling Ling
akan meninggalkan rumah ini, dan dia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa
berkeberatan?”
“Tapi...
tapi... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling... pakaian
tidak tercuci bersih, masakan pun tidak enak rasanya...”
“Anjing
kurus, engkau mencela aku lagi, ya?” bentak isterinya. “Kalau kurang bersih,
kau cuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tak menyukai masakanku, pergi sana
makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi
karena... karena...”
“Karena
apa?” Sie Liong mendesak.
Wanita
gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya dia takut untuk bicara. Akan
tetapi dengan memaksa diri akhirnya dia berkata juga, “... anak itu sudah
delapan tahun tinggal bersama kami... dan entah sudah berapa banyak kami
mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya... pakaiannya...”
Sie Liong
menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu. “Hemmmm, jadi engkau merasa
rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?”
“Sedikitnya
seratus tail perak...”
Terdengar
suara orang-orang yang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa
sikap orang tua angkat Ling Ling itu keterlaluan sekali.
Pada saat
itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul
adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lainnya yang tadi memimpin penyerbuan
ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia
menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.
“Sie
Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta,
kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua sudah bersepakat
untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!”
Sie Liong
tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana caranya dia akan
dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu. Dan sekarang
mereka datang hendak menyerahkan uang, bukan hanya seratus tail, bahkan tiga
ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!
“Terima
kasih!” katanya. “Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.”
Gumo Cali
membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung.
Gumpalan perak senilai lima tail itu besar dan berkilauan, jumlahnya ada
sebanyak dua puluh buah.
“Lihat,
inilah uang yang pernah kau keluarkan untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie
Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding.
Potongan
potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke
dalam, berjajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja tadi gumpalan perak
itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala
mereka!
“Paman,
harap sisanya ini paman bagi-bagikan kepada para gadis yang sudah menjadi
korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!”
Bersama Ling
Ling yang sudah berlari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan
bekal pakaian itu ke dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat
itu…..
**************
Mereka duduk
menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya
walau pun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang
dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan
Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil.
Melihat
keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan. Dia membuka baju luarnya yang agak
tebal, kemudian diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat hal ini,
Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti
lehernya.
“Terima
kasih...” katanya lirih.
Ling Ling
termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa
kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena seharian itu mereka hampir terus
menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walau pun kakinya
terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas
sekali.
Kelelahan
membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka
tidak pernah makan apa pun. Minum pun hanya dari sumber air yang mereka lewati
di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu semenjak tadi
mencuri pandang dan mengamati wajahnya.
Ia merasa
berbahagia! Biar pun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah
meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tidak pernah meredup, dan wajahnya
berseri-seri. Apa lagi karena sepanjang hari itu dia banyak bergerak jalan,
kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata
bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong
duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah
gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang
kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali
kepada Ling Ling.
Sudah
sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling
Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan.
Namun, gadis itu selalu tersenyum, tidak pernah mengeluh.
Dia sengaja
menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut bersama
dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Tetapi selama sepekan ini dia
mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat bukan main!
Seorang
gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi
yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur!
Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka
dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling
Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Dia mengangkat muka dan pada saat itu,
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu
pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan lebih dahulu
pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh
perhatian.
“Liong-ko,
ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong
memandang padanya sambil tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya, apakah engkau
masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling
merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar. “Tadi aku memang
kedinginan, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam
sejenak.
“Lelah...?”
terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu
mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. “Akan
tetapi, alangkah nyamannya dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa
kelelahan!”
“Kakimu
terasa nyeri?”
Sejenak Ling
Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang ke
kakinya, kemudian menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan
ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia sama sekali tidak
mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin
kuat. Akan tetapi ia menggelengkan kepala.
“Tidak,
tidak nyeri...”
Hening lagi
sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat
peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya
sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar...?”
tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling
mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Kembali gadis itu tersenyum
dan menggelengkan kepalanya, sekali ini sambil menambahkan kayu kering pada
perapian di depannya.
“Ling Ling,
aku melihat engkau adalah seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi
mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu
nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang sedang dipegangnya terlepas dan
matanya terbelalak ketika dia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya
berkerut dan suaranya terdengar heran, “Aku? Bohong?”
Sie Liong
menganguk dan tersenyum. “Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu
pasti nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga
mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?”
Wajah yang
tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu pun berseri
kembali. “Aih, Liong-ko, engkau benar-benar mengejutkan aku. Kiranya itu yang
kau namakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan
untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa
pula maksudnya itu?”
“Sebelum
kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan
perutku lapar?”
“Kita sudah
berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan pada
saat engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau
menahan rasa nyeri. Juga sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya
kalau perutmu lapar, dan tadi, aku sempat mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling
tertawa sambil menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga sangat malu. “Ihhh,
engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan
bunyi perut orang! Sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku terasa
nyeri, habis mengapa? Andai kata aku mengaku nyeri pun, pengakuan itu tak akan
mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri
saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian
pula tentang perutku yang lapar. Jika aku mengaku lapar juga tidak akan ada
sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar supaya rasa laparnya
berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku
menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat untuk menghilangkan lelah
dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohong, ya koko?”
Kalimat
terakhir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong
memandang dengan senyum dan hatinya terharu. Dia teringat kepada Yauw Bi Sian.
Teringat dia
betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia,
juga sering merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti
juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya
itu sedang merengek, kini pun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia
mengangguk.
“Engkau
memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku hendak membuat pengakuan.”
Kini gadis
itu yang memandang heran dan penuh selidik. “Engkau hendak membuat pengakuan?
Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah
bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling...”
“Aihhh! Sama
sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Bagiku engkaulah
satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini. Engkau bagiku menjadi
pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat
dan juga guruku...”
“Jangan
terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan
ini engkau sudah kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu
berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu
kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku juga membiarkan engkau
mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus?
Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak,
tidak! Aku tidak pernah menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena
memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa,
tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini,
atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang
seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita
bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu,
burung...”
Mau tak mau
Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki
ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan
hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan
nelangsa di dalam hatinya tersapu bersih, membuat dia pun ikut gembira.
Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau
tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu
menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu
memandang heran. “Kau sengaja? Aku... aku tak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang
hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau
benar-benar sudah nekat untuk tetap ikut denganku. Apa bila engkau tidak kuat,
aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga yang dapat
kupercaya dan...”
“Liong-ko,
kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan
hidup ini, ialah ikut denganmu ke mana pun engkau pergi. Jangankan hanya
kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan,
biar pun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong
menundukkan mukanya agar jangan nampak oleh gadis ini betapa wajahnya merasa
terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah
gadis ini mencintanya? Ahhh, bagaimana mungkin?
Semua orang,
terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan
tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan
seorang gadis yang buruk rupa atau pun cacat, melainkan seorang gadis yang
sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati
pria yang mana pun.
“Maafkan
aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah
lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, kini hanya tinggal mencari daging
segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi...”
“Ssstttt, di
sana ada daging...!”
Sie Liong
yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, secara tiba-tiba
menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu pun meluncur bagaikan anak
panah ke dalam semak-semak tidak jauh dari situ dan seekor kelinci putih
terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat hal
ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat,
engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali... ahhh, akan kubuatkan daging
kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.” Mendadak ia kelihatan bimbang
dan kemudian mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat
wajah gadis yang tadinya sangat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong
tersenyum. “Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kau butuhkan? Katakan
saja!”
Gadis itu
memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dia butuhkan itu hanya dapat
dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa mendapatkan bumbu untuk
memanggang daging kelinci tadi?
Dengan lesu
dia pun menjawab, “Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih
untuk penyedap, garam... dan gula agar terasa gurih dan manis...”
Akan tetapi,
Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia
butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak
gembira.
“Seorang
pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi
gadis itu kini sudah bekerja keras, apa lagi ketika Sie Liong menyerahkan
sebatang pisau yang sangat tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk
keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil
bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan
mengambil dagingnya.
Kegembiraan
gadis itu menular kepada Sie Liong. Dia pun merasa gembira dan lincah, merasa
seolah-olah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan
ranting penusuk daging, lalu membantu Ling Ling dan tidak lama kemudian, bau
daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka makin
keras berkeruyuk saling bersahutan.
Sie Liong
lalu mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak
keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian mereka pun makan roti tawar dengan
daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Pada waktu
mereka makan ini pun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin
termenung dan hatinya berdebar aneh. Kenapa mereka berdua berebut saling
memilihkan daging terbaik? Kenapa mereka saling mementingkan kawannya dan
saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu.
Pernah dia
mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian,
keponakannya! Hanya bedanya, jika dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian
lainnya kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang
sejak kecil menjadi temannya bermain.
Sebaliknya,
dari Ling Ling dia dapat merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan
membuat dirinya merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah
dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk
dapat menduga sejauh itu.
Kini perut
mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tidak jauh dari situ.
Sesudah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun.
Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan
nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.
“Ling
Ling...” Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu
dia menyatakan isi hatinya.
Gadis itu
memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar,
tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya
tadi.
“Ya,
Liong-ko?”
Aku heran
sekali...”
Melihat
pemuda itu jadi meragu, Ling Ling menjadi penasaran. “Apa yang kau herankan,
Liong-ko?”
“Engkau...”
“Ehhh? Aku
kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya
yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang
gadis seperti engkau... mengapa nekat hendak ikut dengan aku? Aku seorang
laki-laki yang sebatang kara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa...”
“Sama dengan
aku!” Ling Ling menyambung cepat.
“Akan tetapi
engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku...”
“Engkau
adalah seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang mengagumkan dan hebat
sekali, dan...”
“Bukan itu
maksudku, Ling Ling. Aku adalah seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan
menjijikkan...”
“Cukup,
Liong-ko!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya
bersinar-sinar seperti orang marah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan
diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan
melihatmu dan mengira engkau adalah seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku
melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku
tidak dapat melupakan pandang matamu pada waktu itu dan di saat itu pula aku...
aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke mana pun engkau pergi...” Kini sepasang
mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti
redup.
“Kenapa,
Ling Ling? Justru itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau
berani mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak
engkau kenal sama sekali?”
“Pada saat
itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku... aku merasa hatiku
tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau
betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku
tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus
kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan
kepadamu!”
Sie Liong
menatap tajam wajah gadis itu. “Engkau kasihan kepadaku karena... tubuhku
bongkok? Karena cacat tubuhku?”
Dengan tegas
Ling Ling menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu
harus dikasihani? Walau pun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama
sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak,
aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu
menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri.
Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci
kepadamu...”
“Memang
kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak,
tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang
memandang rendah kepada seorang pria yang cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal
yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua
perempuan benci kepadamu, setidaknya... aku kagum kepadamu, aku menganggap
engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah...”
“... dan
paling buruk?” Sie Liong menambahkan sambil tersenyum pahit.
Ling Ling
mengerutkan alisnya. “Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah cara
engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau
melihat dunia kiamat dan engkau tidak peduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau
paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong
membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, dan jantungnya berdebar keras.
Dan dia pun lalu bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam
pandangannya.
Dia melihat
seorang gadis yang sangat cantik manis, yang menimbulkan rasa iba dan suka,
seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia. Pandang mata yang bening itu
seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti
tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun mendadak
tertawa bergelak.
Suara
ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor
burung yang bertengger di pepohonan yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi
kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut sekali dan terbang
pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling
juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara tawa pemuda
itu mula-mula perlahan, semakin lama semakin kuat dan anehnya, dia seperti
mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu.
Bagaikan
terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan
berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya
pundak pemuda itu, diguncangnya dan dia pun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko...!
Liong-ko... Kau... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika
merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi pada
waktu tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya
terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan
gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan
dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling
Ling...!”
“Liong-ko...
ahhh, Liong-koko...!”
Keduanya
saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuat seolah-olah ingin menjadi
satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan
rasa syukur, tidak mengandung nafsu birahi sama sekali.
Sie Liong
yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut
dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan
rangkulannya, akan tetapi dia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh
kedua tangan Sie Liong.
Mereka duduk
berhadapan, saling berpegang tangan. Dengan suara menggetar karena keharuan Sie
Liong berkata lirih.
“Ling Ling,
terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau
telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi kehidupan yang kejam ini,
Liong-ko.”
“Nah,
sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup
tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling
bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai
selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi
engkau bagaimana, Liong-ko? Engkau pun harus mengaso!”
Pemuda itu
tersenyum. “Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak
perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga supaya api unggun tidak padam.
Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah,
Liong-ko.”
Gadis itu
menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena dia merasa lelah
sekali dan mengantuk. Begitu dia merebahkan diri miring, dia pun pulas
tertidur.
Dia miring
menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh
rasa haru dan rasa sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum
membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air untuk
mandi. Hawa sangat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka
mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap
putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu.
Dia merasa
segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia
mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini
tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut
masih basah, gadis itu tertawa kecil.
“Aih, sepagi
ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hi-hik-hik, aku tidak
berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu amat dingin pula seperti
salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan
bertukar pakaian dan mencuci pakaian yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang
kotor, Liong-ko, akan aku cucikan sekalian!”
Sie Liong
memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. “Sudah kucuci
tadi!” katanya.
Gadis itu
cemberut. “Aihh, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apa kau
kira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain
kali jangan kau cuci sendiri!”
Sie Liong
mengangguk dan tertawa. “Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu
berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter
dari tempat itu, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak
dari belakang sambil tersenyum. Sesudah gadis itu menghilang di balik semak dan
batang pohon, dia pun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar
semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong
merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup
baru. Suasana nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut
pagi, menggugah burung-burung yang kini mulai sibuk membuat persiapan untuk
melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan.
Rumput dan
daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihiasi butir-butir embun
yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah.
Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong
tersenyum-senyum seorang diri.
Tiba-tiba
dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi.
Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biar pun dengan mencuci
pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi.
Dia bangkit
berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tak
nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber
air itu agak menurun.
“Ling
Ling...!” Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai
ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling,
rotinya sudah masak...” Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar
jawaban.
Dia
mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andai kata
gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia
pasti akan bisa mendengarnya.
Memang tidak
pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi
dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah
sumber air.
Setelah tiba
di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber
bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi,
bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling
Ling...!” Dia memanggil lagi.
Sekarang
tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu
berada dekat di bawahnya, biar pun belum nampak dari situ karena terhalang
batu-batu besar. Tidak ada jawaban!
Sie Liong
tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke
sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling sama sekali.
“Ling
Ling...!” Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Ketika dia
mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di
situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi mau pun pakaian kering untuk
ganti. Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian!
Wajahnya
seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu
berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain?
Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah,
mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak
kaki!
Jejak banyak
sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu!
Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu sudah
diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat!
Dengan hati
tidak karuan rasanya, dipenuhi oleh kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu
dengan cepat. Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat
mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti
mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam.
Cepat dia
meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat
apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam
keadaan telanjang bulat sedang menggeliat-geliat dan meronta-ronta, melawan
mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat
orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang
brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya!
Ling Ling
meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biar pun
demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam
dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang
itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan
kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar nyala api. Matanya mencorong,
napasnya seperti mengeluarkan uap panas.
Begitu
tubuhnya menerjang ke depan dan tangannya menyambar, maka rambut kepala si
brewok itu telah dijambaknya. Dengan sekali angkat, tubuh si brewok yang
setengah telanjang itu sudah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya
seakan-akan tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja.
Si brewok
berteriak-teriak, dia ketakutan setengah mati. Akan tetapi, dengan kemarahan
meluap-luap Sie Liong membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!”
kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat
betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu
terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah,
mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar
sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing lantas serentak mereka
menyerang Sie Liong dengan golok mereka.
Akan tetapi,
kembali Sie Liong mengeluarkan suara melengking, menyambut mereka dengan kaki
kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengarlah
teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan
empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanannya dengan tangan
kiri karena pergelangan tangan kanan mereka telah patah disambar tendangan
memutar tadi!
Sekarang
mereka memandang dengan kedua mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda
bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Dan saking
takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun...
ampunkan kami...”
Akan tetapi,
lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak
menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan
mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling
yang berlutut di atas tanah, memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
Biar pun ia merasa marah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri
melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu
tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk,
laksana iblis maut sendiri!
Sie Liong
meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas
tanah, dia pun lalu menghampirinya.
“Ling
Ling..., kau tidak apa-apa...?” tanyanya lembut.
“Liong-ko...!”
Ling Ling menjerit dan ia pun pingsan dalam dekapan Sie Liong.
Pemuda itu
lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan
membawa gadis itu kembali ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Sambil
memaksa matanya supaya jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu,
dia lalu merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang
telanjang itu. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya.
Ling Ling
siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan
menjerit karena teringat kembali akan peristiwa tadi. Jerit melengking
ketakutan sambil bangkit duduk.
Sie Liong
merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling
bahkan meronta-ronta dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan
aku...! Lepaskan! Keparat jahanam kalian... lepaskan akuuuu...!”
Sie Liong
mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling,
lihat siapa aku...!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang
dilanda ketakutan dan kengerian itu.
Ling Ling
terbelalak memandang, sadar dan merangkul. “Liong-ko... ahhh, Liong-ko...!”
Dan dia pun
menangis di dada Sie Liong, tanpa sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya
menjadi terbuka.
“Tenanglah,
Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari kelima orang anjing itu!
Tenanglah, dan pakailah pakaian ini...” Sie Liong menutupkan lagi selimut yang
tadinya menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling
baru sadar bahwa kini ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan
pengalaman tadi dan ia pun bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia
cepat mengenakan pakaiannya di balik selimut.
Sie Liong
duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali
dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu
dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh
kekhawatiran. “Liong-ko, engkau kenapakah...? Liong-ko, kenapa kau diam saja?
Tadi... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan
diri, ketika hendak berganti pakaian, mendadak mereka itu datang menyergapku.
Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian.
Pada waktu engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke
hutan itu dan di sana... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya,
Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi...”
Tiba-tiba
Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat
ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang amat
panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut.
Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko,
engkau kenapa? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu
parau dan penuh penyesalan. “Aku telah membunuh mereka...”
Gadis itu
memandang heran. “Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau
bunuh! Mereka itu jahat sekali!”
Sie Liong
menghela napas panjang. “Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang
terpaksa kita harus membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi,
Ling Ling. Aku tadi membunuh karena rasa benci! Membunuh dengan hati dipenuhi
dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu.
Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada
bedanya dengan mereka...!”
“Tentu saja
engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang
budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat
yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andai kata
tidak ada engkau, Liong-ko, aihh... aku akan tertimpa mala petaka yang bagiku
bahkan lebih mengerikan dan menyedihkan dari pada maut sendiri. Engkau sudah
benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong
memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak segembira malam
tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau
tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang-barang kita untuk
melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan lebih
dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan
mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, ia
pun menunduk. “Baiklah, Liong-ko... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar
jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyum Sie Liong melebar dan tak
begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya.
Dia tadi
merasa amat terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah
dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dia tahu bahwa
kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal,
kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu
dipesankan oleh Pek-sim Siansu kepadanya. Tidak lama kemudian, Sie Liong sudah
membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah
dikenalnya itu. Orang-orang yang kini menjadi jenazah karena sudah dibunuhnya
secara kejam.
Ling Ling
hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam
gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman,
gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah
orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya? Setelah selesai mengubur jenazah
lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu
mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment