Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 13
MELIHAT
tanda ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat
bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau
mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat.
Bi Sian yang
sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung
menuju ke kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar
dari si pelayan bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu
bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok.
Sekarang,
melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan
pandang mata penuh perhatian. Sejak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu
mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik
angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar
Bongkok.
“Apa yang
dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian berdua)?” tanyanya ramah.
Bi Sian yang
sudah tak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera
langsung berkata, “Kami ingin mengetahui mengenai seorang pemuda bongkok yang
bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau
tahu banyak tentang dia, karena itu kami harap engkau suka menceritakan di mana
dia sekarang!”
Bagaimana
pun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang
pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan
bahkan adik angkat Pendekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi
Cili. Maka, dia pun merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar
Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maksud
mereka mencari Pendekar Bongkok.
“Maaf, kalau
boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apa antara ji-wi dengan
Sie Taihiap?”
Sekarang Bi
Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie
Liong dan tahu di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Dia ingin segera
mengetahui di mana adanya musuh besarnya itu!
Ketika
melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya
mengambil segenggam sumpit, lalu ia pun mengerahkan tenaganya pada jari-jari
tangan yang menggenggam sumpit.
“Krekk!
Krekkk!”
Sumpit-sumpit
itu patah-patah dan remuk di dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus
lunak itu!
“Sobat,
katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!” kata
Bi Sian, lirih.
Wajah
pemilik rumah makan itu berubah menjadi pucat. Hampir dia tidak percaya akan
penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki
tenaga yang demikian dahsyatnya!
“Saya...
saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya
dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk...”
Bi Sian dan
Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya
betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bongkok itu pernah
makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik
angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan
seorang anggota Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si
bongkok itu adalah seorang sakti.
“Setelah
terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat
pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik
angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke
mana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.”
“Apakah adik
angkatnya itu masih tinggal di sini?” tanya Bi Sian.
Pemilik
rumah makan itu menggerakkan pundaknya. “Sejak tinggal di sana, baru satu kali
saya pernah menengok. Dua minggu setelah dia tinggal di sana dan sejak itu,
saya tidak pernah lagi ke sana karena repotnya pekerjaan.”
“Hayo cepat
antar kami ke sana, sekarang juga!” kata Bi Sian dan pandang matanya penuh
kepastian.
Pemilik
rumah makan itu tak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa
dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu,
diikuti Bi Sian dan Bong Gan.
Ketika
hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik
itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan
penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu berkedip kepadanya.
Bong Gan
tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat
kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu pun
‘ada hati’ padanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam
suasana yang lebih bebas, berdua saja!
Pemilik
rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi
pada waktu mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili
disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi di situ!
“Kurang
lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!” kata
bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. “Aku
sendiri tidak tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pamit.”
Tentu saja
Bi Sian marasa kecewa sekali. “Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?”
Bibi Cili
menggeleng kepalanya. “Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie
Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia selalu menanti
datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku
bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di
sini. Kemudian, seminggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu
setengah bulan, ia pergi tanpa pamit.”
Bi Sian
mengerutkan alisnya. “Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak
pernah datang menjenguk?”
“Pendekar
Bongkok...? Ahh, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tak pernah lagi. Sejak
meninggalkan adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.”
“Apakah
gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?”
Bi Sian mendesak terus.
Wanita
setengah tua itu mengerutkan alis seolah mengingat-ingat. “Pernah ia bercerita
bahwa kakak angkatnya itu ialah seorang pendekar yang akan melakukan
penyelidikan terhadap Kim-sim-pai...”
Ketika
menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut. Juga pemilik
rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah,
seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan
Kim-sim-pai.
“Apa itu
Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?”
Wanita itu
semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu... ahhh, aku tidak
tahu...”
Pemilik
rumah makan itu segera membantu bibinya. “Nona, sebetulnya kami semua merasa
takut untuk menyebut nama itu, nama yang sangat ditakuti seluruh penduduk
Lhasa. Kami hanya dapat memberi tahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada
di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lhasa... Sudahlah, kami tidak
berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak
mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana...”
Bi Sian
mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara
sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita mengenai
para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta
Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para
pertapa dan tosu yang melarikan diri ke sana.
Juga
gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para
tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada
hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong
adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki
Pendekar Bongkok itu!
Sementara
itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu. “Bibi, coba
gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu
dengannya, kami akan mudah mengenalnya.”
Bi Sian
menyetujui pertanyaan sute-nya, karena jika mereka mengenal Ling Ling, siapa
tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian
juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang
adik angkat!
“Ia seorang
gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis. Kulitnya agak gelap,
sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai
merasa cinta kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa dia
melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan
menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya...”
Diam-diam
hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu birahinya itu sudah tertarik bukan main.
Seorang gadis yang hitam manis!
“Apakah ia
seorang gadis Tibet?” tanyanya.
“Ia
peranakan Tibet Han,” jawab bibi Cili.
Bi Sian dan
Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu.
“Kita harus
cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!” kata Bi Sian penuh semangat.
Akan tetapi
Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah
makan itu masih terus membayanginya.
“Suci,
kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa
sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan juga di mana letak
Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tidak
menguntungkan kalau kita meninggalkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang
asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita
berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Baiklah,
kita mencari rumah penginapan,” kata Bi Sian singkat.
Dia sudah
ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh
mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa ‘adik angkat’ pamannya itu,
dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka…..
***************
Di sebelah
selatan kota Lhasa terdapat sebuah telaga yang terkurung pegunungan yang amat
luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju
ke telaga itu melalui bukit dan jurang.
Apa lagi
semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada
orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan
iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang
berpangkal di daerah itu. Semakin takutlah orang untuk melewati daerah itu.
Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) memang amat
ditakuti.
Menurut
kabar angin, Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang dulu
pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena
terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lhasa,
kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, lepas dari
kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet.
Karena tak
ada bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apa lagi pemberontakan, maka
pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apa pun. Hal ini adalah karena Dalai
Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai
Lama dahulu.
Bahkan, Kim
Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan
jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama adalah seorang pendeta Lama yang tertua, dan
Dalai Lama sendiri pun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim
Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama pula!
Kim Sim Lama
merupakan orang kedua paling berkuasa dan berpengaruh setelah Dalai Lama. Oleh
karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang
meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena
itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih.
Dalai Lama
yang baru itu hanya seorang anak dusun saja, akan tetapi memiliki ciri-ciri
sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan menggunakan
kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para
penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang
dianggapnya memberontak.
Peristiwa
ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek
Thian Siansu, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau juga suheng dari Pek-sim
Siansu, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti
ini kemudian bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang
pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian
Siansu berhasil merobohkan bahkan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan
tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama.
Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Siansu sudah berusia hampir
delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama
kemudian.
Beberapa
tahun lamanya tak lagi terjadi keributan. Akan tetapi setelah anak itu dewasa
dan dijadikan Dalai Lama, dan telah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi
penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya.
Banyak
korban yang jatuh sehingga para tosu itu segera pergi meninggalkan Himalaya dan
mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa lalu menganggap bahwa Dalai Lama
sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu,
dan setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!
Para tosu
itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat Kim Sim Lama memilih
Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang akan berkuasa di
Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya.
Mula-mula
memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan,
dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan
kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama
yang dianggapnya tidak bijaksana!
Dan mulailah
terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah
kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama
yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri, kemudian membentuk
Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah
dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan
Kim Sim Lama, dengan maksud untuk menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan
memancing supaya para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama
menjadi semakin lemah.
Sementara
itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran
pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu bersama
pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan mereka
merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan
Nepal.
Di sebuah
bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum
bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu
untuk menyerbu Lhasa, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan
yang sangat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para
pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka,
dia pun tidak tergesa-gesa.
Di samping
usaha yang dilakukan oleh anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan
dalih diutus oleh Dalai Lama, juga Kim Sim Lama mulai menyusupkan pengaruh ke
dalam istana dan kuil di Lhasa untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di
pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba, dengan amat tekun dan sabar Kim
Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet.
Pangeran
Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama
dengan janji bahwa kelak, apa bila Kim Sim Lama telah berhasil menguasai Tibet,
maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan
pemberontakan di Nepal!
Kim Sim Lama
mempunyai banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan
lain adalah Lima Harimau Tibet! Dan seperti sudah kita ketahui, para pembantu
utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan
pertapa Himalaya yang telah melarikan diri dan mengungsi ke pegunungan Kun-lun.
Pengejaran
dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan
semata-mata karena mereka membenci para tosu, tetapi terutama sekali, dengan
dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama baik Dalai Lama
agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat bagaikan terbang cepatnya,
datang dari arah telaga Yam-so dan menuju ke bukit yang menjadi markas
Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah
diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki ginkang dan ilmu berlari cepat
yang hebat.
Orang akan
merasa terkejut dan terheran-heran kalau sudah melihat orangnya. Setelah dia
berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah
puncak bukit itu, barulah nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya
bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Sesudah
meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan
mulailah dia melakukan penyelidikan di Lhasa tentang Kim-sim-pang. Ketika dia
melihat munculnya pemungut derma di rumah makan dengan membawa bendera
Kim-sim-pai, teringatlah ia akan nama Kim Sim Lama yang dulu pernah didengarnya
dari pengakuan salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to. Tentu ada hubungan
antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya.
Agaknya
pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu, orang
ke tiga Tibet Sam Sin-to itu, tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang
dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibantu oleh Lima Harimau Tibet yang harus
diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanya
tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab.
Yang berani
menjawab hanya mengatakan dengan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan
orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit di dekat Telaga Yam-so. Makin
jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya sudah benar. Memang di
tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para
pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki
bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih,
panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera ia melihat
beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju
ke atas bukit!
Kini
terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang
menunggang keledai atau kuda. Tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan
sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa. Nampak pula bahwa
mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja
dia merasa heran, akan tetapi diam-diam dia pun lalu mendaki bukit, agak jauh
di belakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana
duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja
mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat, agaknya ke
sebuah kuil untuk bersembahyang.
Dugaannya
benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan
dinding tembok sebuah benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil
yang amat luas. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan
itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup
megah. Di depan pintu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas
berbunyi: ‘KUIL HATI EMAS’.
Kim-sim-tang?
Apakah di sini pusatnya Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin
pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Benar-benar di luar dugaan sama
sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti seharusnya tempat yang
menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil yang besar dan di mana
datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi
dia segera teringat bahwa andai kata pun benar mereka itu pemberontak, mereka
tetap saja adalah para pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh
dan beribadat, menjauhi kejahatan dan selalu mendekatkan diri dengan kebajikan.
Mereka pun
bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama,
seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para
pemberontak biasa yang umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah terbiasa
menggunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai
memperhatikan keadaan di luar kuil. Setelah dia melalui pintu gerbang dinding
tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang
lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat
bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang
tertutup.
Agaknya itu
merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang
luas, penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat
pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga
pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di
tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu
depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong
melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri
pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas,
akan tetapi kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu
menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji.
Ketika Sie
Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda
itu nampak memejamkan mata. Mereka itu kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu
penuh tamu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak
adanya seorang pun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang
selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia
teringat bahwa kehidupan seorang pendeta Lama memang sangat keras dan satu di
antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh
para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk!
Teringat dia akan kuil Siauw-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apa lagi
wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah
dalam kuil terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua
kebutuhan mereka yang datang untuk bersembahyang. Mereka semua rata-rata
bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak
sikap keras dan liar sehingga orang tidak akan mau percaya kalau mendengar
bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja
sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar
bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga sangat luas. Akan tetapi hanya
merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu.
Di kanan
kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan
besar, akan tetapi kedua pintu itu dalam keadaan tertutup dan terkunci. Memang
pintu itu tidak ada hubungannya dengan keperluan sembahyang.
Dan di
sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika dia mendekati pintu
yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di sana terdapat sedikitnya
tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula
yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata
mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan
masuk, karena jalan masuk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini.
Sie Liong
melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok
ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil
itu.
“Apakah
kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat
membantumu.” Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.
Sie Liong
membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun
telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada.
Sudah
mendaki bukit dan berkunjung ke kuil namun tidak sembahyang, tentu saja tidak
masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya
untuk bertemu dengan Tibet Ngo-houw.
“Saya ingin
bertanya tentang nasib diri saya,” jawabnya tenang.
Memang dia
tidak bermaksud untuk bersembahyang. Tadi dia sempat melihat di bagian kiri
ruangan itu, dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang
bertanya tentang nasib mereka.
“Ahh, mari
kami bantu, kongcu. Bertanya nasib pun harus melakukan sembahyang dan kalau
kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih
mahal dari pada kalau membeli di toko,” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima
kasih,” kata Sie Liong.
Dia pun
mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa
lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie
Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para
tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu
sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor.
Batang-batang
bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada dalam tabung bambu besar dan mereka
yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan
tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, harus memegang tabung bambu
sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu.
Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang yang meloncat
atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban atas
pertanyaannya.
Sie Liong
mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan
tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula
melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda.
Kalau dua
potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan
yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah
sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andai kata dua potong bambu itu terletak
dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali
lagi dan kembali memilih. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan
tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.
Setelah
mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta
Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan
nomornya, pendeta itu kemudian memberinya sehelai kertas yang telah ada
tulisannya.
Biasanya,
kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang
yang bersembahyang dan minta sesuatu. Karena sajak itu selalu mengandung
perumpamaan dan maksud yang tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas
memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong
walau pun baru kini dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan
nasibnya.
Akan tetapi,
ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ
tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU
PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK PINTU SELATAN PAGAR
BELAKANG.
Sie Liong
mengangkat muka memandang pada pendeta yang melayaninya. Akan tetapi pendeta
itu hanya merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan mukanya.
Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini mempunyai
perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sekali sehingga dia yang
ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan
dan sekarang keinginannya sudah diketahui oleh mereka!
Dia pun
segera keluar dari kuil itu, keluar lewat pintu gerbang pagar tembok kemudian
mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan
dirinya, bahkan mungkin sudah tahu pula akan maksud kedatangannya, dia pun
tidak perlu lagi berpura-pura. Memang lebih baik kalau bicara dengan
sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan
pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, dari pada melakukan
penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan
pihak yang diselidiki.
Dengan sikap
tenang dan hati tabah Sie Liong lalu menuju ke arah belakang. Ternyata, memang
tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, bagaikan sebuah
perkampungan saja.
Ketika dia
memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah
pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk
para pendeta anggota perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Liong
disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usianya sekitar lima puluh tahun.
“Sie
Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu sudah menanti di dalam,”
kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.
Kembali Sie
Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya
dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia,
karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat
persiapan-persiapan. Bagaimana pun juga, dia telah tiba di situ dan tidak
mungkin dapat mundur kembali.
Maka, sambil
mengucapkan terima kasih, dia pun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui
sebuah taman yang indah. Ketika melewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia
mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan dia
pun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya.
Agaknya,
sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat
para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama
lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan
menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara
ketawa wanita! Tidak mungkin dia salah dengar.
Dua orang
pendeta Lama itu membawa Sie Liong ke sebuah ruangan yang luas sekali. Paling
sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu.
Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa
buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang. Di situ dia melihat belasan
orang pendeta Lama sedang duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata
mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya.
Dua orang
pendeta yang mengantarnya itu lalu memberi hormat dengan menyembah kepada
belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri
berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong
juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang
di antara mereka yang duduk berjajar. Biar pun usia mereka kini sudah enam
puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu
dengan mereka, akan tetapi dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu.
Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) yang pernah datang
ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu!
Dan karena
mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta
kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama
ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan masih
mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan
Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya.
Akan tetapi,
melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi
kurus dengan muka merah kekanak-kanakan, berjubah merah serta memegang sebatang
tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan,
juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading
gajah, dia pun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjulukan Kim Sim
Lama!
“Orang muda,
apakah engkau yang bernama Sie Liong dan memiliki julukan Pendekar Bongkok?”
kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut.
Pada saat
pendeta itu berbicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat
jantungnya tergetar. Wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar dan
matanya mengandung wibawa yang sangat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini
bukanlah orang sembarangan dan akan menjadi lawan yang sangat berat. Akan
tetapi dia kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat
kepada belasan orang itu.
“Benar,
losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan ada pun julukan itu mungkin hanya
kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong,
engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang
ke tempat kami.”
Hemm, kakek
ini demikian terus terang, maka dia pun tidak perlu menyembunyikan lagi
keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk
di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.
“Losuhu,
sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dan bicara dengan Tibet
Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya
memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan
dengan Kim-sim-pai.”
Sambil
berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima
orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap
duduk tanpa bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya,
seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang
mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
“Hemm, orang
muda. Jika engkau tak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa
engkau telah menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lhasa?”
Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan
lengkingan suara itu makin meninggi.
Sekarang Sie
Liong merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa
menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia
melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan
itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya
pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta
Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia
tetap bersikap tenang. “Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapa
pun juga, apa lagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan
pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu terjadi karena saya ditekan
dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah cara pengumpulan
sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari
mana pun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi
kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan
harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet
Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, saya
harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di
Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!”
Karena dia
tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie
Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
Mendadak
terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti
arca. “Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita
terhadap Himalaya Sam Lojin!” Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berlima
yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima
Harimau Tibet itu.
Mendengar
seruannya ini, keempat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa
heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan
gagah!
“Benar
sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku
datang mencari kalian sebagai utusan para tosu dan pertapa dari Himalaya yang
kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung
jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi
sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.”
“Omitohud...
alangkah lancang dan sombongnya anak ini!” Tiba-tiba seorang di antara para
pendeta yang hadir di situ berseru.
Dia bukan
seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah
Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun.
Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun.
Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
“Susiok
(paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama
sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak cukup pantas dilayani oleh
para suheng berlima!”
Kakek tua
renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena mereka pun merasa
malu kalau harus melayani seorang pemuda, yang bongkok pula. Hanya akan
menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama
yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan dia pun merupakan
seorang di antara ‘dua belas besar’ yang menjadi para pembantu utama Kim Sim
Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki
tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Dua belas
orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama
sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw, juga merupakan murid keponakannya,
sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak
berselisih.
Hanya Tibet
Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak
sebagai kelompok yang bekerja sama, maka mereka yang dianggap menjadi
pembantu-pembantu utama. Karena itu kedudukan mereka berlima sedikit lebih
tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.
Pada saat Ki
Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya
sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia
tahu bahwa dia sudah terjebak, memasuki goa harimau yang berbahaya sekali.
Bagaimana
mungkin dia yang hanya seorang diri bisa menandingi lawan yang demikian
banyaknya! Akan tetapi, untuk mundur pun tidak mungkin. Tempat itu telah
terkepung. Jalan keluar sudah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu
akan dikepung dan dikeroyok.
“Sie Liong!”
Ki Tok Lama membentak, “Engkau masih bocah ingusan tapi sudah berani memakai
julukan pendekar, dan engkau sudah berani menghina para suheng-ku Tibet
Ngo-houw pula! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng
(saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!”
Setelah
berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang
aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan
miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan
bentuk cakar.
Melihat ini,
diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan
berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak orang
yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti
sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada,
namun diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar.
Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya
batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan.
Tentu saja
bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa
disadarinya sudah menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong
memberi hormat, kemudian berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. “Losuhu,
maafkan saya. Kedatangan saya ini untuk berbicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan
untuk bertanding dengan siapa pun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak
mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai...”
“Pengecut!
Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak
berani menyambut tantangan pinceng?”
“Bukan tidak
berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apa pun untuk
menyambut tantangan ini.”
“Ada alasan
atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah,
sambutlah!”
Ki Tok Lama
tak mempedulikan semua alasan Sie Liong. Tubuhnya sudah bergerak dan dengan
kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan. Tangan kirinya
yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan
oleh karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram tepat
ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
“Hyaaaaattt...!”
Dia mengeluarkan pekik melengking.
Diserang
seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan
itu merupakan serangan maut! Dia pun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan
lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki ginkang yang tinggi.
Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah dia pun
menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput.
Ki Tok Lama
menjadi semakin marah. Begitu tubuhnya turun, dia sudah membalik dan kembali
dia sudah menyerang, kali ini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari
kanan dan kiri. Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur.
“Losuhu, aku
tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut, akan tetapi tidak
begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama
tidak peduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja
sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
“Haiiiiiitttt...!”
Dia
menyerang lagi, sekarang dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang
ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai yang melompat-lompat, dan
setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
“Losuhu,
sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sie Liong berkata, suaranya
semakin keras.
Namun
jawabannya adalah serangan yang lebih ganas. Sie Liong merasa serba salah. Apa
bila dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tidak
mungkin jika dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah
terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan. Padahal sekarang dia berada di
dalam sarang Kim-sim-pai.
“Engkau
sungguh memaksaku!” kata Sie Liong.
Pada waktu
kedua lengan lawannya menghantam dengan pengerahan sinkang, dia pun menyambut
dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau,
tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.
“Dukkk!”
Sie Liong
membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, tetapi akibatnya tubuh
si cebol terpelanting dan dia sendiri terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol
mengeluarkan teriakan melengking nyaring dikarenakan marahnya, dan ketika dia
melompat ke depan, dia sudah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang
selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.
“Hemm,
losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang senjata tajam? Apa lagi
sepasang!” Sie Liong memperingatkan.
Sebenarnya,
menggunakan senjata untuk membunuh orang merupakan pantangan bagi seorang
pendeta, apa lagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan yang tak
bersenjata!
Agaknya Ki
Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. “Jangan
banyak mulut! Cepat kau keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding dengan
menggunakan senjata!” tantangnya.
“Losuhu, aku
tidak pernah memegang senjata!” kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu
merasa malu dan mundur. “Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada
gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.”
“Tidak! Kau
kalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan lima orang
suheng Tibet Ngo-houw!” si cebol berkeras.
Sie Liong
menarik napas panjang. Pada waktu dia memandang kepada para pimpinan
Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca.
Dia melihat
sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, lalu
mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang
tombaknya saja yang berada di tangannya dan dia pun berkata,
“Baiklah,
kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar
tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.”
Sie Liong
menggunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan,
melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok,
dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di
dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie
Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas
memandang rendah kepadanya.
“Lihat
pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak mau menyerang lawan tanpa
memberi peringatan lebih dahulu.
Dua gulungan
sinar berkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara amat
cepat dan kuat sekali. Akan tetapi, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan
mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan.
Tongkat di
tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa
sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung
tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki
Tok Lama!
Pendeta Lama
itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk
melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu! Akan tetapi, di antara
ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung
saja, namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak
menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang
memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan
darah tubuh Ki Tok Lama.
Tentu saja
pendeta ini menjadi semakin terkejut dan bingung. Dia lebih condong untuk
melindungi tubuhnya yang akan tertotok, karena itu tanpa dapat dihindarkan
lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali
dan kedua tangan itu tiba-tiba terasa lumpuh dan sepasang pedangnya pun terlepas
dari tangannya.
Akan tetapi
Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama
dan berkata, “Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.”
Dengan muka
agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama
bergerak cepat. Dia segera menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai,
kemudian memutar sepasang pedang itu, bersiap untuk melakukan penyerangan yang
lebih dahsyat dan nekat lagi.
“Tahan
senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”
Ki Tok Lama
sejenak hanya memandang melotot ke arah Sie Liong. Akan tetapi ia tidak berani
membantah perintah susiok-nya dan dia pun mundur sambil menyimpan kembali
sepasang pedangnya ke balik jubah merah.
Kiranya pada
waktu Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang
penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku
Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama
untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama
untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama
bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena
sekarang yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka
saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut
itu menarik napas panjang.
“Omitohud,
sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya
engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi
adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Siansu?”
Sie Liong
terkejut bukan main. Sungguh tajam pandangan mata Thai Ku Lama ini, dan
pengetahuannya tentang ilmu silat sangat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa
lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.
“Sesungguhnya,
losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Siansu,” jawabnya
jujur.
“Hemm,
begitukah? Nah, sekarang lekas katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet
Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir di sini bukanlah
orang-orang lain bagi kami.”
Sie Liong
memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara
lantang. “Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan
para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian,
apakah sesungguhnya alasan yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka?
Jawab sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para
tosu dan pertapa asal Himalaya?”
Thay Ku Lama
tertawa bergelak. Perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara
ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak
besar.
Pendeta Lama
ini memang mempunyai ilmu yang luar biasa hebat, yang disebut Hek-in
Tai-hong-ciang, yaitu suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang
kalau dia gunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua
kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu
mengeluarkan uap hitam.
“Ha-ha-ha,
tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya
yang dianggap pemberontak!”
“Pemberontakan
apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, atau para pertapa itu terhadap
Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang dulu sudah pernah
diperbincangkan para gurunya itu.
“Hemm, para
tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti
pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.
“Nanti dulu,
losuhu. Memang pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu,
yaitu seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta
Lama. Lalu terjadilah perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama
dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka
para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?” Sie Liong
pernah mendengar cerita itu dari tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin
tentang guru mereka itu.
“Ha, kiranya
engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan
kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.”
“Akan
tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang
mempertahankan seorang anak laki-laki yang ketika itu hendak diculik oleh para
para pendeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimana
mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para
pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya!
Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagaimana pula ngo-wi
(anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?”
Mendengar
ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan Thay Ku Lama sendiri
mengerutkan alisnya dengan wajah berubah merah. Tidak disangkanya bahwa pemuda
bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka!
Akan tetapi
Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara
ketawa.
“Ha-ha-ha-ha!
Omitohud...! Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan
memberi penjelasan kepadamu. Memang, dulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid
keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba
untuk mencegah perintah itu karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai
Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim, dan karena itulah maka
kami semua meninggalkan Dalai Lama lalu berdiri sendiri di sini. Kami memang
bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itu pula sebabnya maka
kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai. Kami mempersilakan
engkau untuk bekerja sama dengan kami juga, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai
Lama karena dia adalah seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami
untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah
melepas budi kepada Dalai Lama, akan tetapi malah dibalasnya dengan pengejaran
dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama.
Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!”
Sejak tadi
Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak
dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa
Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia
memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percaya begitu saja, pula dia
pun tidak ingin melibatkan dirinya dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet
yang bukan negaranya.
“Terima
kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw
mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang,
setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, maka biarlah
saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas
budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Nah, selamat
tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.”
Akan tetapi,
agaknya sudah ada isyarat dari Kim Sim Lama. Begitu dia malangkah ke arah pintu
ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan
berbagai macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap
mengancam. Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di
sana pun sudah rapat tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga.
Jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.
“Nanti dulu,
orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi
walau pun masih lembut.
Sie Liong
menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. “Ada apa lagi, losuhu?”
“Orang muda,
engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang,
menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, jika engkau mau
bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya.
Akan tetapi, apa bila engkau menolak dan hendak pergi begitu saja dengan
membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!”
Sie Liong
maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia
sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia
dipaksa untuk bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan
tempat itu!
“Losuhu,
saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya
tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk
menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”
“Sie Liong!”
Kim Sim Lama membentak, kini terdengar sangat marah. “Dengar baik-baik! Pinceng
pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang kedua setelah Dalai Lama yang
berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah seorang calon Dalai Lama
atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”
“Losuhu,
mati hidup bukan di tangan siapa pun, melainkan di tangan Thian Yang Maha
Kuasa! Apa bila Thian sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, namun sebaliknya,
kalau Thian menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu
membunuhku. Mati hidup di tangan Thian, akan tetapi baik buruknya langkah hidup
berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah
melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Thian. Aku tetap
menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apa pun yang akan menjadi
akibatnya!”
Semua
pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama
juga merasa kagum sekali. Pemuda ini, biar pun bongkok ternyata jiwanya tidak
bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapa pun kagum rasa
hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia
akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat
benar.
“Sie Liong,
engkau masih amat muda, akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga
kesombongan yang berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu
sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan
mampu mengalahkanmu. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat
kepandaianmu maka engkau berani menentang kami! Thay Ku Lama, pinceng ingin
melihat seorang di antara kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.
Biasanya,
apa bila menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi
kini yang mereka hadapi hanya seorang pemuda bongkok. Betapa pun lihainya,
kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja
amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim
Lama!
Bahkan Thay
Ku Lama sendiri pun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda
bongkok itu. Karena itu, dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara
termuda di antara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama
bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima
isyarat dari suheng-nya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong.
Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombak karena tadi dia sudah menyambar
tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja.
Kini, dengan
tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, lalu
telunjuknya menuding ke arah muka Sie Liong.
“Orang muda
sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang
setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah kehendak
Thian bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, sekarang engkau majulah,
perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!”
Sie Liong
bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat
karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Thian saja dia akan dapat
lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.
“Thay Bo Lama,
sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapa
pun juga di sini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapa pun, dan hanya
akan membela diri kalau aku diserang.”
“Sombong!
Sambutlah serangan tombakku ini!”
Thay Bo Lama
segera menggerakkan tombaknya. Terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu
bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Pada saat menyerang dengan tusukan,
tombak itu meluncur bagaikan anak panah saja, menusuk ke arah dada Sie Liong!
Melihat
gerakan Lama ini, Sie Liong dapat menduga bahwa lawannya yang kurus kering
bagaikan cecak mati kering itu agaknya mempunyai tenaga yang sangat besar.
Untuk meyakinkan dugaannya, dia pun segera mengerahkan tenaganya pada tongkat
yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.
“Traanggg...!”
Dugaan Sie
Liong memang tepat. Walau pun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah,
namun ternyata di dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu
terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan.
Untung bahwa
dia sudah menduga hal itu sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak
sampai terpental karena dia pun sudah mengerahkan tenaganya pada waktu
menyambut dengan tangkisan tadi.
Di lain
pihak, Thay Bo Lama terkejut bukan main. Bocah bongkok itu mampu menangkis
tombaknya, dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental, apa lagi
patah. Bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa
seolah-olah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!
“Bagus!
Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Siansu
dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di
tangan pinceng!” bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya di depan
dada.
“Thay Bo Lama,
ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari
permusuhan!” jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.
“Hyeeeehhhh...
haittt...!”
Thay Bo Lama
mengeluarkan teriakan keras, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan
dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan pada kedua lengan. Kakek
yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat
kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan
kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.
“Wuuuuuuutt...
singgggg...!”
Ketika
dielakkan, senjata itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi
yang selain mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara
bersiutan dan berdesing.
Akan tetapi,
tanpa terlalu sulit Sie Liong selalu dapat menghindarkan diri, menggunakan
gerakan dua kakinya yang amat lincah untuk membuat tubuhnya selalu meliuk-liuk
dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak. Kadang-kadang tongkatnya menolak
tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng
dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!
Sie Liong
maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau
dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di
situ masih terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu.
Sebaliknya, apa bila terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya
akan membuat mereka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya!
Jalan lari
sudah tidak mungkin lagi sebab dia telah terperosok ke dalam sarang mereka.
Tetapi bagaimana pun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan
gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te
Sin-tung pada bagian yang menekan dan menyerang.
Begitu Sie
Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia
melihat betapa tongkat di tangan lawannya seperti berubah menjadi banyak
sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian lagi menyerangnya seperti
gelombang lautan yang menyerbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul
dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya sambil terdesak mundur.
Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan!
Cepat dia
mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Sebagai jalan terakhir,
dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda
itu.
“Hyaaaahh,
orang muda berlututlah engkau!”
Namun, biar
masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim
Siansu, maka tentu saja dirinya sudah ‘berisi’ dan segala macam kekuatan sihir
tak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran
ilmu sihir itu, akan tetapi cepat Sie Liong mengerahkan sinkang melindungi
dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium
ujung tongkatnya.
Thay Bo Lama
mengeluarkan seruan kaget pada saat dua kakinya mendadak menjadi lumpuh dan
tanpa dapat dicegah lagi, dia pun sudah jatuh berlutut! Ternyata jeritannya
yang mengandung perintah tadi langsung disusul dengan dirinya sendiri yang
berlutut, bukan lawannya.
“Thay Bo
Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!” kata Sie Liong sambil
melangkah mundur dan menghadap ke samping.
Sikap Sie
Liong wajar dan sedikit pun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang
membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa kesemutan
yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, dia pun bangkit berdiri dengan
muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.
“Hyaaattttt…
ahhhh...!”
Tiba-tiba
Thay Hok Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan
senjatanya yang amat ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat
sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah kepala Sie Liong.
Semenjak
dahulu Pendekar Bongkok sudah mengenal akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini. Maka,
melihat rantai menyambar ganas, dia pun merendahkan tubuhnya dan rantai itu
lewat di atas kepalanya, kemudian dia pun melangkah maju mendekat.
Rantai itu
panjangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi.
Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu
setengah meter panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan.
Akan tetapi,
Thay Hok Lama sudah cepat menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang
terbuka. Ada angin yang berbau amis menyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini
meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun.
Memang,
pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai
bajanya yang panjang dan berat, juga terkenal mempunyai pukulan beracun, juga
pandai mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan
lawannya.
Sambil
melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut
lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan
ternyata pendeta Lama itu sekarang memegang rantai di bagian tengah dan rantai
yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena
dipegang bagian tengahnya!
Dua batang
rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan dengan membalas serangan dari
kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali
Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari guntingan
sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut ke arah
kepalanya dari belakang.
Cepat Sie
Liong merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut orang yang
menyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang telah menyerangnya
secara curang sekali.
Thay Bo Lama
yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, malah kini berbalik
diancam tongkat yang menusuk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia
melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan dia pun
terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga
tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka.
Pada saat
itu, Thay Hok Lama sudah pula menyerang dengan rantai bajanya. Ketika Sie Liong
menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat!
Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras
untuk membuat tongkat di tangan pemuda itu terlepas.
Akan tetapi
Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia pun membalas,
menarik dan akibatnya, tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu,
melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama melepaskan belitan rantainya
dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.
Melihat
betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku
Lama memberi isyarat kepada dua orang sute-nya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek
Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun ke gelanggang dan mereka pun
sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan.
Thay Ku Lama
yang bermuka codet dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si
Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek
Lama yang bermuka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet
Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong
tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang silam ketika dia masih
kecil. Pada saat itu, dia pun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan
tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suheng-nya, yaitu Himalaya Sam
Lojin.
Mereka
adalah gurunya sebab dia menerima gemblengan silat pertama kali dari mereka
bertiga. Akan tetapi mereka pun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah
murid Pek Sim Siansu yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam
Lojin.
Masih
terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam
Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan
dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet
Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Siansu dan juga sute
dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh sehingga Tibet Ngo-houw dapat
dikalahkan dan diusir.
Dan kini,
dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai
itu! Namun, dia sudah menerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Siansu dan
dia tidak merasa gentar sedikit pun juga.
“Hemm, aku
datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa
mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi. Ternyata sekarang Tibet Ngo-houw bahkan
juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah ini pun termasuk perintah dari
Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk
menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam
pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!” Sie Liong
berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan
lolos, maka dia pun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini
membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa
betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka saat itu. Lima orang datuk besar
persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang
usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan
mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok
dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula!
Betapa
memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada
orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ
hanyalah para rekan mereka, yaitu Kim Sim Lama, yang tentunya maklum bahwa
mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meski pun
masih amat muda dan bongkok pula.
Betapa pun
juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan kini
mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan atas
isyarat Thay Ku Lama, orang pertama di antara mereka.
Mereka
hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga
tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok pemuda itu! Mereka
berdiri berjajar sambil bergandeng tangan. Thay Ku Lama menempatkan dirinya di
ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri paling ujung
sebagai ekor.
Mereka
membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini
adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau ‘tin’ ini amat
mirip dengan gerakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima sambil
bergandengan tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan
meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor
yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang utama hanya Thay Ku Lama
dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang lain, karena kedua tangan
mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan
tendangan-tendangan saja.
Menghadapi
lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng
tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah
lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik bukan main.
Oleh karena
itu, dia pun menduga bahwa mereka tentu akan menggunakan suatu cara penyerangan
yang istimewa. Melihat cara mereka bergandengan tangan, dia pun dapat menduga
bahwa ini tentulah semacam tin (barisan) dan cara bergandengan tangan itu
menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sinkang mereka.
Ini
berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih
dapat menandingi kekuatan sinkang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi
kalau tenaga sinkang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali,
terutama kalau hendak mengadu tangan!
“Sie Liong,
bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!”
teriak Thay Ku Lama.
Barisan lima
orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan bagaikan ular berjalan
mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan
Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat kelima orang pendeta Lama
ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan
penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil
bermain-main saja.
Akan tetapi
Sie Liong sama sekali tidak menganggapnya demikian. Dia tetap waspada, tetap
melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pendengaran
telinganya, tidak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu.
Pada waktu
lima orang itu bergerak mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh,
hanya lehernya saja yang bergerak perlahan mengikuti mereka. Setelah mereka
tiba di belakang tubuhnya, dia pun memutar leher dari arah lain dan mengikuti
gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tidak pernah dia menggeser
kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan
pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan
Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula
berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari makin cepat
mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah
arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran dalam lingkaran mereka tentu
akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi,
Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka
dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang
menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan
Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah. Mereka masih mengitari Sie Liong, akan
tetapi sekarang berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala
menjadi ekor. Perubahan arah gerakan semacam ini dilakukan lagi beberapa kali.
Kemudian,
atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tetap
tenang saja, Thay Si Lama lalu melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya
bergandengan dengan tangan Thay Pek Lama, maka kini dia mempergunakan tangan
kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt...!”
Sie Liong
cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan
yang amat dahsyat. Pada waktu pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba
barisan itu membalik dan kini ‘ekornya’, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti
kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini
tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong!
Cepat dan
tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia pun cepat
membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt...!”
Ujung baju
di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah
lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan itu menjadi hangus!
Sambil
melompat menjauhi, Sie Liong makin yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu
sedang menyatukan tenaga sinkang sehingga dia seolah menghadapi seorang lawan
yang memiliki kekuatan sinkang yang amat hebat.
Akan tetapi
dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu pula,
Siang-thouw Coa-tin sudah bergerak lagi, dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan
cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan
hantaman-hantaman tangan yang mengandung sinkang amat kuat. Sukar diduga siapa
yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama.
Namun Sie
Liong sudah cepat-cepat menggunakan langkah-langkah ajaib yang dahulu pernah
dilatihnya dari Pek Sim Siansu. Langkah-langkah yang menjadi dasar Thian-te
Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja.
Biar pun dia terdesak hebat, akan tetapi sampai belasan jurus lamanya, belum
pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua
puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang
itu, akhirnya dia pun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah
karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara
bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula
menjadi kepala dan sebaliknya. Justru perubahan tiba-tiba inilah yang
membingungkan lawan.
Dan dia pun
melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan
penyalur tenaga sinkang yang disatukan, tidak mampu banyak berbuat sebagai
penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja
tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki. Akan tetapi karena tubuh mereka
tidak bebas, sebab dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti
terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tidak banyak artinya bagi
Sie Liong.
Dan pemuda
yang cerdik ini pun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa
pada bagian ‘tubuh’ atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan
itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt...!”
Thay Ku Lama
sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie
Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main
kerasnya angin pukulan itu.
Sie Liong
yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula
untuk menyambut pukulan itu dari jarak sekitar dua meter. Tentu saja dia tak
berani menyambut secara langsung, maklum betapa hebat tenaga sinkang yang
mendorong pukulan itu.
Akan tetapi
dalam jarak dua meter, dia pun berani mengambil resiko karena tidak terlalu
berbahaya. Dia juga mengerahkan sinkang yang lemas, tak mau mengadu keras lawan
keras karena tenaga sinkangnya jelas kalah jauh kalau dibandingkan tenaga lawan
yang disatukan itu.
“Desss...!”
Dua pasang
tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga
sinkang yang menyambar bagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan
saling bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main.
Sie Liong
merasa seperti didorong oleh angin taupan dan dia pun terlempar! Namun, dia
telah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah
lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini
hingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan.
Seperti yang
diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka.
Mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan
lenggak-lenggok seperti seekor ular.
Tiba-tiba
Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya melambat, dan setelah cukup dekat, dia
meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tongkatnya bergerak-gerak
sehingga ujungnya nampak menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada
di tengah-tengah!
Serangan
yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang
berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama
yang menjadi kepala dan ekor barisan itu sangat terkejut. Mereka tadi salah
perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka.
Sungguh tak
mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian
barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya dapat membantu dengan
penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena
mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan
pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te
Sin-tung!
“Lepaskan
ikatan!” bentak Thay Ku Lama pada saat melihat betapa tiga orang sute-nya
terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah
tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang
itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Mereka pun segera
bergerak, ada yang mengelak dan ada juga yang menangkis. Namun, gerakan mereka
melepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit.
Akibatnya,
Thay Pek Lama terjengkang dengan pundaknya tertotok ujung tongkat. Thay Hok
Lama juga terpelanting akibat kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung
tongkat singgah di lutut kirinya. Sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang,
dada kirinya kena didorong tangan kanan Sie Liong sehingga terasa napasnya
sesak dan dadanya nyeri.
Masih untung
bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat untuk
menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga
baik tongkat mau pun tangan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas.
Bagaimana pun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima
orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah.
Tiga orang
pendeta Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga.
Mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay
Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini,
Sie Liong menjura. “Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi?
Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, mengapa kalian malah
mengeluarkan senjata?”
“Pendekar
Bongkok, apakah engkau takut?” Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek,
juga empat orang sute-nya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja
untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa
malu, penasaran dan marah.
Mendengar
ini, mendadak saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok itu ke belakang.
Dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan dia pun
mengeluarkan suara tawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang.
Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan
bergemuruh bagai gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan
meruntuhkan bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim
Sim Lama sendiri memandang dengan kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu
dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali!
Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah
dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya, bahkan menyambut tantangan
Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya!
Kehebatan
Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya. Betapa
akan senangnya jika dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti
pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha!”
Sie Liong menghentikan tawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, kemudian
menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak
seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan.
“Tibet
Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok
aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatang kara yang
tidak memiliki apa-apa, tubuh pun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke
tempat yang jauh lebih baik dari pada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia
busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran
dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, mati pun tidak apa-apa! Kematian
hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya,
kalian ini walau pun berpakaian pendeta, tapi selalu menuruti nafsu angkara
murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan
menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga
suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa
panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang.
Akan tetapi,
Tibet Ngo-houw yang sudah merasa sangat malu dan penasaran, tidak mempedulikan
semua itu. Atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah kembali bergerak mengepung
dengan senjata masing-masing di tangan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment