Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 03
USUL ini
diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki masing-masing
berjanji untuk menculik anak pembesar yang paling tinggi kekuasaannya, kalau
mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu! Kesanggupan kedua orang sakti
ini tentu saja disambut gembira. Di antara mereka yang hadir dan membicarakan
semua rencana perlawanan dengan bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya
Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka tetap bersemedhi
sambil melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka tahu amatlah
lihainya.
Akan tetapi,
sehari itu mereka menanti-nanti, Setan Botak belum juga tampak muncul.
Menjelang senja, tiba-tiba dari luar menyambar sebatang piauw beronce merah ke
arah Khu Cen Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat mengulurkan tangan dan
menyambar piauw itu sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai
senjata rahasia sumoinya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari
Kang-lam Sam-eng ini tubuhnya sudah melesat ke luar dari kuil tua dan terdengar
suaranya di luar kuil.
“Sumoi...!”
Akan tetapi,
tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah muram dan
pandang mata heran. “Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh,” ucapan ini
ia tujukan kepada suhengnya.
Khu Cen Tiam
menarik napas panjang. “Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini,
buktinya ini dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapa pun juga, dia selamat,
Sute, dan kita boleh bersyukur karenanya.”
Akan tetapi
setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi, keningnya
berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih bersemedhi.
“Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,” bisik Khu Cen Tiam kepada Song
Kai Sin.
Kakek ini
membuka mata memandang, lalu dengan tenang mengulur tangan menerima surat dan
dibacanya. Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat,
lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di sebelahnya, orang ke dua
dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan bibirnya
bergerak, “Omitohud...!” lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga.
Sebentar
saja surat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca semua. Yang
terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus
bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara mendesis
seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia
membuka kembali tangannya! Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan
kekuatan yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras
bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seperti
kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh
sembarang ahli!
“Chit-te
(Adik ke Tujuh), simpan tenagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar
dan habis dihisap kemarahan,” kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang
ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera
meramkan mata kembali.
Apakah bunyi
surat yang dikirim secara aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun
isinya dipahami oleh dua orang suheng-nya dan tujuh orang susioknya.
Kedua
Suheng,
Perbuatan
keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka untuk bertemu dengan
orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam ‘kamar siksa diri’ di
kuil. Kalau Suheng berdua dapat menewaskannya, syukurlah. Kalau tidak, aku akan
memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan kepalanya.
Bhok Khim.
Tujuh orang
tokoh Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu
bahwa murid wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak
Liat dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam ‘kamar siksa diri’ merupakan
perbuatan nekat seperti orang membunuh diri.
“Siauw-lim
Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi...!” Tiba-tiba Song Kai Sin
berseru keras ke arah luar kuil.
Semua orang
terkejut dan ketika mereka memandang ke luar, ternyata Kang-thouw-kwi Gak Liat
sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang lain yang kelihatan amat
menarik karena perbedaan muka mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar
bermuka hitam seperti pantat kuali, ada pun yang seorang lagi bertubuh pendek
kurus bermuka putih seperti kapur!
Akan tetapi
mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si
Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat
terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong
(Raja Maut Hitam Putih)! Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih
ada seorang lagi murid Si Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama
Ma Su Nio, berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya
malah lebih lihai dari pada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam dari pada gurunya.
Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir.
“Hah-ha-ha-ha-ha!”
Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata,
hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka mulut bicara adalah
Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam. Hek-giam-ong melangkah maju dan
berkata, suaranya nyaring sekali.
“Bukankah
Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak kapankah murid-murid
Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?”
“Sejak
iblis-iblis macam kalian membantu penjajah Mancu!” bentak Ban-kin Hek-gu Giam
Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si Muka Hitam. “Kalau kalian
berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega dan memang sudah disediakan untuk
kita bertanding mengadu ilmu!” Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan
sekedar karena wataknya yang keras dan kasar, melainkan menurut rencana
Ho-han-hwe untuk memancing musuh yang tangguh ke dalam kuil.
“Hah-ha-ha-ha-ha!”
Si Setan Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh
dua orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum
betapa berbahaya memasuki ‘sarang’ musuh, akan tetapi karena di situ ada guru
mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu saja mereka berbesar
hati dan melangkah masuk sambil mengangkat dada.
Suara ketawa
Si Setan Botak makin nyaring dan biar pun mereka bertiga sudah tiba di ruangan
kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa terus, makin lama makin keras dan
terkejutlah mereka semua yang hadir karena tubuh mereka tergetar hebat oleh
suara ketawa yang mengandung tenaga khikang amat luar biasa ini. Hanya mereka
yang sudah tinggi tingkat sinkang-nya saja yang tidak terpengaruh, hanya
tergetar dan masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam,
kedua Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih
dapat bertahan, sungguh pun mereka ini diam-diam harus mengerahkan sinkang
untuk melawan suara ketawa itu.
Beberapa
orang anggota Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila,
akan tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sinkang mereka masih kurang
kuat sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari menjauhi ruangan
itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga mereka! Kalau mereka tidak
cepat pergi dan menutupi telinga, mereka akan mati oleh suara ketawa yang
mengguncang jantung itu!
Melihat ini,
Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan menjadi marah sekali. Ia
seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum bahwa Setan Botak itu memiliki
ilmu kepandaian yang luar biasa, mengerti bahwa orang yang telah pandai
menggunakan khikang dalam suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang
seperti auman suara harimau adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan
tetapi, selain kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah
takut menghadapi siapa pun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya
bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru.
“Setan
Botak! Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu!”
Ban-kin
Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh kemarahan, maka pukulan
tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah
dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya sudah menyambar hebat. Akan tetapi
kakek botak itu tenang-tenang saja, masih tertawa lebar sungguh pun sudah tidak
mengeluarkan suara lagi. Setelah kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat,
hanya tinggal sepuluh sentimeter lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan
kirinya dan menerima kepalan tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan.
“Plakkk!”
Si Kerbau
Hitam itu terkejut bukan main karena merasa betapa telapak tangan Setan Botak
itu lunak dan panas seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam.
Cepat ia menarik tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada telapak tangan
Setan Botak yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa
panas dari telapak tangan itu menerobos lengannya, membuat tubuhnya mandi
keringat dan mukanya yang hitam berubah makin hitam.
“Ha-ha-ha,
siapa yang berlagak?” Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa. “Pergilah, kau tidak
berharga untuk bertanding melawan aku!” Sekali kakek botak itu mendorongkan
lengannya, Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan.
Akan tetapi
dia memang bandel dan berani. Cepat ia meloncat bangun lagi dan memaki.
“Siluman botak! Hayo bertanding menggunakan ilmu silat, jangan menggunakan ilmu
siluman! Aku masih dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku
kalah terhadapmu!”
“Phuahhh,
sombongnya!” Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama tinggi besarnya
dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak pinggang. “Engkau ini berjuluk
Kerbau Hitam, memang otakmu seperti otak kerbau! Suhu-ku telah berlaku lunak
terhadapmu, akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak
perlu Suhu yang melayaninya, cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa
kerbaumu!”
“Bagus!
Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru mau pun murid harus
dibasmi agar jangan mengotori dunia!” Ban-kin Hek-gu Giam Ki sudah menerjang
maju dengan kepalannya yang besar.
Akan tetapi
sekali ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka
mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api
Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat lihai. Melihat
datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan
lengannya.
“Dukkk!” Dua
buah lengan yang besar dan kuat bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang.
Tenaga
mereka seimbang, akan tetapi Hek-giam-ong menang dalam hal ‘isi’ lengannya yang
mengandung hawa panas. Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan tetapi ia
maju terus dan ternyata bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat dari pada gerakan
Hek-giam-ong. Dengan kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu
pukulan Hwi-ciang.
Segera
terdengar suara bak bik buk dan dak duk dak duk ketika dua orang raksasa ini
saling gebuk. Mereka ini selain bertenaga besar, juga memiliki kekebalan
sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup merobohkan mereka. Akan
tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat
teman-temannya yang tentu saja menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini
raksasa tinggi besar hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk
menyerang lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya!
Karena
diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau karena
ternyata gerakan-gerakan menggaruk ini malah membingungkan Hek-giam-ong. Raja
Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke arah dada lawan.
Ketika melihat tangan kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong
menarik kembali pukulannya karena takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata
bahwa Giam Ki menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan,
melainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru aneh
dan membawa tangan kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari bagian atas.
Melihat ini
Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan
yang bergerak ke atas itu kini menggaruk-garuk kepala! Kejadian-kejadian ini
aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan mendatangkan kekecewaan bagi para
teman kedua pihak. Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia
dipermainkan, maka ia menerjang lagi dengan gerakan dahsyat.
Giam Ki yang
diam-diam mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang
penyakit gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua
lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat maju
lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu. Tangan itu
hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk?
Akan tetapi
ia tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan kedua tangan ke atas,
maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan menangkap lengan itu dan
akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan mencengkeram kepala lawan.
Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya menggaruk kepala, akan
tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak
tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga dadanya tertonjok.
“Bukkk!”
Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek,
napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan
menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan
masih terus garuk-garuk.
“Kau masih
belum mampus?” bentaknya dan kembali ia menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih
cekatan dari pada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas.
Hek-giam-ong
mengejek dengan dengusan marah. Ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa
lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan
untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat
melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.
“Bukkk!
Desssss...!”
Dua tubuh
yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger
(pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi
di lain pihak Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki
mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga
dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher
Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak
bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong
sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka
parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain pihak, para anggota
Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu.
Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang, tubuh Giam Ki
yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela
napas panjang.
“Untung...,”
kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding
terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika
beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya pukulan Hek-giam-ong tadi pun
mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di
tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.”
Pek-giam-ong
yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap
menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya, “Mundurlah!”
Bagaikan
seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya.
Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggota Ho-han-hwe
dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil
tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.
“Aku sudah
datang, siapa di antara anggota Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan
pemberontak ingin menyusul para anggota Pek-lian Kai-pang?” Suaranya penuh
ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya
tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk
menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo
Tan Sun biar pun tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian
kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah
atau mati sekali pun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh
hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan tangguh.
“Kang-thouw-kwi!
Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi
pengkhianat bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah
seranganku ini!”
Gerakan
It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada gerakan Ban-kin
Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk
menyerang dengan totokan-totokan maut. Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya
tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci
Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya.
“Sut sut sut
cet cet...!”
Cepat sekali
It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi,
tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu
mengenai tubuh lawan biar pun kecepatan gerakannya membuat ia berada di
belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah
mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang,
akan tetapi entah bagai mana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan
orang anggota Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan
sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini
Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia
menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit kesakitan dan robohnya
beberapa orang anggota Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.
“Krek-krekkk...!”
Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci
Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tangannya tergantung lumpuh karena
tulang-tulang lengannya telah patah-patah!
“Huah-ha-ha-ha!
Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi!”
Pek-giam-ong
yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid
yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para
lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu
sekali melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara
Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk
dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam
kuil.
“Ha-ha-ha,
Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main denganku. Majulah!”
Lima orang
anggota Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang
roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata mereka. Akan
tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan
dan... lima orang itu roboh dengan tubuh hangus dan mati seketika! Itulah
kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh
Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan.
Memang semua
anggota Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian
kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi
gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali.
“Kang-thouw-kwi,
engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami
Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa denganmu! Beranikah engkau menghadapi
gabungan Siauw-lim Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar
matanya membayangkan kemarahan.
“Huah-ha-ha-ha!
Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng
San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Walau pun dia datang membantu kalian, aku masih
akan kurang puas. Ha-ha!”
“Omitohud...
engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong
Hwesio, orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya,
bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.
Kemudian
secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila,
menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai
Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si
Bhok dan Liong Ki Tek. Sebetulnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan
orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika
dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi dari pada
tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun.
Akan tetapi,
sekali ini, menghadapi seorang di antara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi
Gak Liat yang amat terkenal di antara golongan sesat sebagai seorang yang
memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak
berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka
lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu
Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio
ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya.
Chit-seng-sin-kiam
(Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah
merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan
menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh
orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan
sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi
Gak Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan
ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian
Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin ini, berarti bahwa ia
berhadapan dengan Ceng San Hwesio yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang
darinya. Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan
Ceng San Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu
sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan
menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya,
menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha,
bagus sekali! Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya
Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!” Sambil tertawa, kakek botak ini lalu
duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai.
Jarak di
antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter
jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan
pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan
kedua tangan kosong! Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya
tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biar pun kakek botak ini
menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam
bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam
pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim
Chit-kiam!
Song Kai Sin
dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek
botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya
dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan
berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai
Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding
mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga
untuk mempertahankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.
“Sudah
siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?”
“Ha-ha,
sudah, sudah! Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil
menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.
“Lihat
pedang!” Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukkan ke depan.
Menurut
pendapat dan pandangan umum, biar pun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya
pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa
dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat
sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit
yang aneh.
Kang-thouw-kwi
mengangkat lengan kiri-nya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja
tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas
tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari
Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat
kehebatan tenaga sinkang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh
Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka
serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk,
ada pula yang membabat.
Tampak sinar
pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding
ruangan yang luas itu. Apa lagi setelah beberapa orang anggota Ho-han-hwe tadi
menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di
kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa
terasa senja telah berganti malam dan kini para anggota Ho-han-hwe menonton
pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama
hidupnya.
Betapa
mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu? Baik
ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu mau pun Setan Botak, hanya duduk
berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh
sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi kini mereka
‘bertanding’ dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan
serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan.
Sebaliknya,
Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang menangkis, ada kalanya
mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan
tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti
api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas!
Kalau
dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam
sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan
sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan
dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin.
Hanya
beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam
Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang
maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh
ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding
melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sinkang
tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu
mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa
pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Akan tetapi
mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini menjadi amat
penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan
Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini
membuka kesempatan baik untuk membinasakannya?
Mereka yang
merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang
dan menewaskan lima puluh orang lebih anggota perkumpulan itu yang merupakan
kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam. Tujuh orang
anggota Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan
diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak
yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan
menyerang secara berbareng.
“Celaka...!”
It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya
mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah.
Segera
terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggota
Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang
roboh dengan tubuh hangus! Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang
api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan
berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya
api. Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih
dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang
membakar!
Melihat ini,
Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh
tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai
sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang
dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka
kalah kuat jauh sekali. Karena itu gerakan pedang mereka makin lama makin lemah
dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggota Ho-han-hwe tadi maju, biar pun
mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar
pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu.
Maka begitu
Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan
siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang
bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah
menyatukan tenaga. Getaran sinkang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang
mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang
mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat dari pada tenaga perorangan.
Ketika Si
Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar
pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah
dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan
kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah!
“Keparat!
Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua
tangannya menahan.
Hebat bukan
main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang saling
menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman
seperguruan sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua
tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras! Mereka tidak
bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah
Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua
telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya.
Wajah
Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain pihak, wajah
Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas!
Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim
Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang
melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem
Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andai
kata mereka tidak terluka sekali pun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu
rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik
dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka
atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat
dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam! Memang siasat ini
kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam
sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si
Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.
Dengan
isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka
membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan
ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman
guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggota Ho-han-hwe
demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga
mereka tidak tahu betapa di antara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil
menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini
bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian
tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi,
anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan
teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggota
Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali
membantu! Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka
diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul
ayahnya.
Bocah ini
amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang
sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil
itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena
melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak
melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka
ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang
belum dicium api.
Ruangan
dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat
musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak
seperti sebuah arca batu yang menyeramkan. Kedua lengannya dilonjorkan ke depan
dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap kereng
dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak
seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh
mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.
Melihat
musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang
dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya. Akan tetapi melihat
musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik
untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat
ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.
“Dukkk...!”
Sin Lian
terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit,
akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi
merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas
seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang
kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya,
tidak seperti tujuh orang anggota Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol.
Kalau
Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi,
serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sinkang dan pukulan jarak
jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan
Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena
Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam!
Akan tetapi
kebetulan sekali pada saat itu, kedua pihak sedang mengadu tenaga sehingga
kedua pihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke
mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena
pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh
kakek botak itu.
Betapa pun
juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada
dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu
takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim
Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang
terdesak hebat, bagai mana mereka akan dapat menolong bocah ini?
Mereka
tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama
tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti
bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa
para anggota Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati
dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar
hidup-hidup!
Kang-thouw-kwi
Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan
tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi perhatian, apa lagi membagi
tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa
bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan
tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam bahaya pula. Kalau saja tidak ada
gangguan ini, tentu ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan
masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Dalam
usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu
tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali,
karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh
tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan itu
menjadi makin panas. Kekuatan mukjizat yang amat dahsyat kini menerjang maju
bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam! Getaran
gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa
pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan
mereka yang menudingkan pedang gemetar keras.
“Werrrrr...
cringgg... krak-krak...!”
Pertahanan
Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui
Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, patah dan terlepas dari tangan
mereka yang menjadi pucat wajahnya. Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat
dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu
patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk
me-nahan gelombang tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah
kuat setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar
hebat, muka mereka pucat dan napas terengah.
Ui Swan dan
Ui Kiong yang sudah bertangan kosong tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu
saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak. Mereka ini lalu
menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan
jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada
di sebelahnya seperti tadi. Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka
tadi tidak dapat bertahan, apa lagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong
dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup
kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan
dan tubuh mereka rebah miring!
Melihat ini,
lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka
akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api
menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar.
Pada saat mereka terhimpit dan terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak
Liat berteriak marah dan bajunya sudah termakan api! Bagaimanakah baju Setan
Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ?
Bukan lain
adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena tubuhnya terjengkang dan terbanting
sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran dan marah
sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat,
anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia
memukul. Maka ia lalu mencari akal dan barulah ia sadar bahwa tempat itu telah
terkurung api yang mulai membakar ruangan! Dalam kaget dan paniknya, timbul
akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang
terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den membakar pakaian
musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha membakar rambut di kepala
botak itu pula!
Kang-thouw-kwi
Gak Liat adalah seorang ahli Yang-kang, bahkan kedua lengannya sudah memiliki
Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh jadi kedua
lengannya itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya tidak, apa lagi rambut
di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya terbakar, bahkan sebagian rambutnya
dimakan api, ia terkejut dan marah sekali.
Sambil
berteriak dan menggereng seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke kiri.
Pertama untuk memadamkan api yang berkobar pada bajunya, dan ke dua untuk
menyingkirkan diri dari pada gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam.
Kemudian, setelah bergulingan dan keluar dari sasaran lawan, ia membalikkan
tubuhnya dan memukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia
menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak perempuan itu.
Kelima orang
Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di cengkeraman maut.
Mereka juga maklum bahwa bocah perempuan itulah yang telah menyelamatkan nyawa
mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu saja sebagai pendekar-pendekar
gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja menyaksikan
penolong mereka terancam.
Tanpa komando,
lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini menodongkan pedang mereka dan
mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh Setan Botak yang ditujukan
kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis oleh sinar pedang, akan tetapi
biar pun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian hawa pukulan menerobos dan
sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling roboh dan pingsan dengan
muka gosong!
Karena
ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa dan
tubuhnya sudah melesat ke luar menerjang api, lalu lenyap di dalam kegelapan
malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak mengejar, karena
selain mereka harus menyelamatkan dua orang saudara yang terluka dan gadis
cilik yang pingsan, juga mengejar keluar kuil apa gunanya? Mereka takkan mampu
mengalahkan Setan Botak yang lihai itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga
tubuh Sin Lian dan mereka pun cepat-cepat menerjang api menerobos ke luar
sebelum ruangan itu ambruk.
Para anggota
Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan
Botak itu gagal sama sekali, juga mereka harus cepat-cepat angkat kaki dari
Tiong-kwan karena kini tentu kaki tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk
membasmi mereka. Terutama sekali Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih
anggota Pek-lian Kai-pang, menjadi berduka sekali.
Akan tetapi
di samping kedukaan ini, ada sinar terang yang membahagiakan hati ketua
kai-pang ini, yaitu bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian
sebagai murid mereka! Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian
sembuh, anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk mendapat
gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.
Ada pun
Lauw-pangcu sendiri lalu pergi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja
Muda Bu Sam Kwi dan membantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir
penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua anggota Ho-han-hwe yang mengunjungi
pertemuan itu cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun
di antara mereka menghentikan atau mengurangi semangat perjuangan mereka yang
anti penjajah.
**************
Kurang lebih
setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota
Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan Botak bersama muridnya Ouwyang Seng.
Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ?
Sesungguhnya
hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak
ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau
meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan
Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan
murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air
panas bercampur racun!
Mula-mula ia
tidak berani. Akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas
menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat
luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan
saja ia sudah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai
semalam suntuk!
Apa yang
dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya
dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah
jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan untuk merendam kedua
lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal latihan merendam lengan di
air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan
Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini!
Guru dan
murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang
juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam
dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia,
sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau
tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan
alat-alat dan keperluan berlatih.
Apa lagi
Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu
telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya,
Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel itu
ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga
sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan
tempat terlarang bagi semua orang! Dia tidak pernah menduga bahwa semua ajaran
teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh
Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apa bila
Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan
tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya
malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar
kenakalannya. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia
dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah
ia diam-diam memasuki daerah tertarang!
Mula-mula
jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak
lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah
kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia
bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan
Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta
tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu!
Benar-benar
bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat
seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada
Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang
sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan
di atas api bernyala!
“Bukan api
sembarang api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak
kepada Ouwyang Seng. “Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia
yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah
merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke
dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat
ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.”
Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.
Entah
mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab.
Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak
suka, bahkan benci berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran
inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri!
Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai
dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya.
Mula-mula ia
memanaskan kuali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia,
merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagai mana ia
dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia
melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar
kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang berserakan di tempat itu.
Sampai setengah
tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini
dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai
hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi! Kini sudah lebih
dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia
merasa bosan.
Memang ia
melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini
setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api
itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa
apa yang dicarinya sudah dapat. Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia
telah membuang waktu dengan sia-sia.
Kalau ia
renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih
ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang
dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama
sekali! Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai
dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat! Tidak tahu bahwa bakatnya
jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih
pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang
tidak ada tandingannya di dunia ini.
Sayang bahwa
Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih
silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang
kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih
belum suka akan ilmu silat. Bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apa lagi
kalau ia terkenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang
Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang
dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain!
Kalau
dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya
ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah
memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan
hitam atau ilmu sesat yang amat keji! Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini,
yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak
akan dipelajari oleh orang gagah di mana pun juga kecuali oleh kaum sesat.
Untuk
memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya
menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang
pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat
mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan
beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Han sama sekali tidak tahu akan
hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun
diam-diam menjadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi
kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya
ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum
kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu
Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.
“Han Han,
lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari
sini ke kota raja!”
“Kota raja?”
Han Han bengong. Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja
karena selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja.
“Ya, kota
raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja,
dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas,
kalau terlambat, suhu akan marah.”
“Aku... aku
diajak, Kongcu?” Han Han menyembunyikan debar jantungnya.
Kalau ia
minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi ia akan bebas
dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapa
pun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu
ketidaksukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus melihatnya!
“Tentu saja
kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan
mengurus keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah.
“Siapa saja
yang pergi, Kongcu?”
“Siapa lagi
kalau bukan suhu, aku dan engkau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas
dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!”
“Dan aku
sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?”
Han Han membantah, penasaran.
“Huh, mana
ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan
cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau
mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”
Han Han
berkemas dan diam-diam mengomel. Biar pun menjadi pelayan, namun tidak pernah
ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap
hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan. Namun ia
mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang
menaruh kasihan kepadanya. Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan
adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai,
yang satu dicuci. Biar pun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah
selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han
Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi
Han Han karena, berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing
menunggang kuda, Han Han berjalan kaki.
Akan tetapi
biar pun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam
hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di
Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan
alam dan melalui bermacam kota dan dusun. Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi
menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng
Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di
sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dengan
kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat
menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia
memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu
berkeliaran dengan lagak sombong. Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia
akan keluarganya yang terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang
pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam
rumahnya. Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah
yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia
lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu
pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat
menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti dan mengaso di sini!” kata Setan
Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya.
Han Han
cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan
Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan
Ouwyang Seng pula. Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua
ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain
kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda
yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan
telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih.
“Kongcu,
lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang
daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.”
Ouwyang Seng
memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhu-nya memperlihatkan dan
memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang. “Suhu, siapakah
kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan
kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata, “Namanya Siangkoan Lee,
julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi
sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm... lebih lima tahun aku
tidak pernah bertemu dengannya. Entah bagai mana sekarang tingkat ilmunya yang
paling diandalkan.”
“Ah, jadi di
sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia
seorang di antara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?”
“Benar
dialah orangnya...” Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun. Teringat ia akan
masa dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw
dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh.
“Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu,
kemudian mengundurkan diri. Entah bagai mana kedudukannya di jalan kerajaan baru
ini.”
“Ilmu apakah
yang paling ia andalkan, suhu?”
Setan Botak
itu menghela napas panjang. “Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi
Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti
Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai di mana sekarang tingkat
ilmunya itu...”
“Suhu,
kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin
suhu tidak akan kalah!”
“Hemmm,
Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama
bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan?
Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apa bila
menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat
itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih menjulang
tinggi tak pernah runtuh.”
Ouwyang Seng
mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang
julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa
ada orang yang akan dapat menandingi gurunya.
Ada pun Han
Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia
sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut
dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan
wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapa pun kuatnya lawan, kalau jahat
harus ditentang, sebaliknya, biar pun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya
ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru
dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki
Iblis Tua Muka Kuda itu.
“Han Han,
lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk Suhu!
Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!” Ouwyang
Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah
karena betapa pun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa
suhu-nya seolah-olah jeri terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang
juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang
berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya.
Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa
seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang
beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera
yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian.
Ah, betapa
ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi ia
ingin menyaksikan kota raja. Ia juga tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu
akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan
mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang.
Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia
melarikan diri.
Untung
baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan
tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang
akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan
nyaring.
“...
heiiiiit... siaaat... heiiiiittt!”
Han Han
tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya
suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan,
usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. Bocah itu sedang berlatih
ilmu silat, memukul, menangkis, menendang, berloncatan dan sekali-kali
mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan.
Anak
perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil.
Gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri
Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis
sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada
wajah Sin Lian. Ada pun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada gerakan
Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak
perempuan ini lebih tinggi dari pada puteri Lauw-pangcu.
Selain
cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan
amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan,
berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan
indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit
anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan
berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat
gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima
kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali
gerakannya.
“Bagus
sekali...!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak
perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah
berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian,
tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya
terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah
pula tertawa.
Akan tetapi
ia kecelik! Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan
sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian
tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling
berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Han, membuat Han
Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh
dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum
sempat berganti pakaian.
Gadis cilik
itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga.
Tanpa berkata-kata ia menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga
itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa ia
bertanya.
“Untuk apa
ini...?”
“Sedekah
seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui
dusun, akan percuma mencari sumbangan...”
“Aku bukan
pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang
penasaran.
Gadis cilik
itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han
Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya,
meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa
menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama
sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang
membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa
diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk,
pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang
miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis.
Maafkan penolakanku.”
Kembali anak
itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan
susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apa lagi
pengemis!
“Kau...
siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama
Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan
majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di
hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kau katakan di sini tidak ada dusun,
bagai mana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu,
she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau
lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah
ini. Daerah ini milik suhuku dan siapa pun juga tidak boleh berada di sini.
Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa
kalian.”
“Nona Kim
Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik
bagaimana?”
“Aku lancang
memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak
sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak
perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat
aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis.
Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak
terpelajar. Dan kau agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han
cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat...”
“Kalau tidak
bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena
memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai
sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya,
menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau
dengan dia?”
Tiba-tiba
wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang
lengan Han Han. “Wah, celaka...! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati
menyebut-nyebut nama suhu...?”
Melihat
gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han
Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir.
Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi...”
“Ihhhh...?”
Pada saat
itu terdengar bentakan. “Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan
malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han
cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada
Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah
mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang
begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan
dia?
“Ouwyang-kongcu,
jangan bicara sembarangan...!”
Kim Cu sudah
melepaskan tangannya, dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi
Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan
memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han,
mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia
sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih
belum patut!”
“Budak hina,
jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang
Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang
berani menghinanya seperti itu.
“Kau yang
membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan
serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali
sudah menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng!
Akan tetapi
murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk
menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan
membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya
besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali
cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun
segera dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat
mundur. Terlambat! Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia
terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biar pun tidak
mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika.
Dengan
kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.
Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin
kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang,
gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ouwyang Seng sehingga dialah yang
lebih banyak menghujankan serangan dari pada murid Setan Botak itu.
“Rebahlah,
manusia sombong!” Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar
sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak
saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk...!
Aduuuhhhhh...!”
Kembali
Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di
dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang
Seng yang terlatih sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biar pun ilmu
silatnya lebih unggul dan ginkangnya lebih tinggi dari pada Ouwyang Seng, namun
agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan
lawan dengan beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina,
engkau sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah,
mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah.
Ia meloncat
bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim
pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke
arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali.
Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng dengan tenaga inti api sebagai
hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu...!”
Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan
pesan suhunya bahwa tidak boleh ia sembarangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu
Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang
tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang
rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk...!
Augghhhh...!”
Tubuh Kim Cu
terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh
sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa
pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting
keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang
masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk
kedua kalinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan
membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan...!”
Han Han cepat loncat mendekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut
pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss...!”
“Aiiihhhhh...!”
Kini tubuh
Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh
bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya
seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han
Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia
sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan
Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang
tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan,
dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh
kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng
menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia
menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke
depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan
tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika ranting itu
jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut...!”
Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah
tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga
ranting itu terlepas di atas tanah.
Ouwyang Seng
sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan
dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja
ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.
Kim Cu
menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak
kembali dan kini ia bangkit duduk. Biar pun totokan Setan Botak itu amat lihai,
akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya
sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah
hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan
itu buyar.
“Budak hina,
kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang
Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.
“Engkau
bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam
Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki
seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia
meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu
untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi
perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara
ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia
memandang, kiranya suhu-nya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian
hitam yang aneh sekali.
Kakek itu
mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya
riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias
pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga
aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda
itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan
hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan
Botak!
Ouwyang Seng
belum pernah melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan
Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang
kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya
menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andai kata didiamkan
saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi
pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat
ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!”
Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis.
Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang
bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan
tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena
untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im
Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!
“Darrr...!”
Pertemuan
dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar
berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan
kilat halilintar! Tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing
mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh...!
Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk...!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi
Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja
ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat
menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang
Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan
mukanya merah oleh ejekan lawan.
“Siangkoan
Lee, kau sambutlah ini...!”
Kini dari
tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang
Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari
sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar.
Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil
meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya
tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam
lengan bajunya.
Biar pun
sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi
sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan
Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda
adalah uap dingin.
Bentakan
Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah
menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si
Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini sudah melesat pula ke atas
untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula.
Kalau
gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya
ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh
tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang
berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.
Ledakan
keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke
belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh
setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka
Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah
dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal ginkang (ilmu meringankan
tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.
“Suhu...
suhu... tolong...!”
Mendengar
seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng
sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang
Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng
menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di
tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan
tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah
lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda
tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke
arah Si Muka Kuda sambil berkata.
“Siangkoan
Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan
di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu
itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam
lamanya!”
Si Muka Kuda
meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan
tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini
kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk
menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”
Mendengar
ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang
yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi
pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han,
hayo kita kembali!”
Pada saat
itu Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah
tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang
tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka
kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia
pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti
mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu
berkata dengan suara lantang.
“Saya tidak
mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang
jahat dan kejam!”
Sepasang
mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu
terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang
engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!”
Setelah
berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya,
Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak
itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa
sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han maklum akan
datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh
kemampuannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang
ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.
“Desssss...!”
Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan
seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke
belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan!
Kim Cu lari
menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang
memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia...!”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main
menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak
roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat
merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas dari
pada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin
dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih,
maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam
daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan
rahasia!
“Bocah
setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa
pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han
Han.
“Desssss...!”
Hawa yang
amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan
Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang
sambil berkata, “Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai
orang setingkat, bahkan lebih tinggi dari padamu? Di daerahku ini tidak boleh
engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”
“Siangkoan
Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak,
apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo
tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan
membunuh muridmu itu.”
Gak Liat
makin marah. “Mengapa?”
“Hemmm,
engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang
menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja?
Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun
tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang
mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah
mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia
bukan muridmu, dia kacungku!”
“Kau keliru.
Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh!
Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku...”
“Itu bukan
alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau
engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”
Setan Botak
itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi
murid In-kok-san. Apa lagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu
yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguh pun ia tidak mengerti mengapa
hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.
“Baiklah,
lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas
kebaikanmu ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan
Botak itu bersama muridnya.
“Panggil
saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia
pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Kim Cu lalu
memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit
keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dan dari
sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua
orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai
tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah
anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan
hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan
di atas tanah.
“Nanti saja
kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya
ke puncak.”
Beramai-ramai
lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka
menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan
peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama
mereka dengar namanya itu.
Siapakah
sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah
diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan
julukannya adalah Ma-bin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang
pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalahgunakan
kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan
terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di
dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan
Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul
sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam
perbuatan kejam dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Namanya makin meningkat
dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil
mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang
seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan
Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia
mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang
diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang
mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang.
Biar pun
puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar
hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung
menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci
bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san,
di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang
bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok.
Ia sudah
mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan
cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang
dan menggulingkan pemerintah penjajah, memimpin rakyat yang berniat memberontak
terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak
berperikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin
murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek
terhadap cucu-cucunya. Namun di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan
disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk
memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san
(Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan
datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan
murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke
sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan
hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah
sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim
Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit
dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada
Kim Cu.
Anak
perempuan ini tertawa lalu berkata, “Han Han, engkau berada di In-kok-san dan
engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid Suhu.”
Mendengar
ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda.
“Aku... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa,
Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau
engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang
dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”
Dengan keras
kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia
belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu
silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang
pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”
“Wah,
seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat
lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah
senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?”
Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh
tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang
merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan
membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan
engkaulah! Engkau...!”
Di luar
kesadarannya, dalam kemarahannya Han Han kembali telah memandang anak itu
dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung
getaran hebat.
Anak
laki-laki itu menjadi pucat. Tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya
berbisik-bisik, “Ya... aku... akulah yang pengecut...”
“Heiii,
Sute! Mengapa kau ini...?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu.
Han Han
menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah
kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya,
menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang
menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang
lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah
bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi...? Ahhh...
apakah aku mimpi...?”
“Ehhh... tak
mungkin...!”
Seruan ini
keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua
pundak Han Han, memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah
diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka
sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga
batinnya berada dalam keadaan ‘kosong’. Maka ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh
kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah
dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.
“Hemmm, aneh
sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi
di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku
kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak
taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan
berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus!
Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi
pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Di lubuk
hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia
melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata
anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia
tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya dari pada Setan Botak.
Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya
lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk
kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila,
dan karena ia tidak melihat jalan ke luar lagi, terpaksa ia lalu menekuk
lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.
“Teecu Sie
Han menerima kebaikan Suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh...!
Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim
Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han
mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah
tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok
seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling
tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga
tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring
beberapa kali.
Terdengar
suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah
berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar
sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han,
ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya
sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang
laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang
buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun
gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun
dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo
duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik
tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus
kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya
ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan
perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang
mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah
dapat menguasai keharuan hatinya.
“Nah,
berceritalah, muridku.”
“Jangan
sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han Sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim
Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar!
Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran
kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.
Timbul
kegembiraan di hati Han Han. Agaknya guru dan murid-muridnya ini merupakan
orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan
ia pun mulai bercerita.
“Namaku Sie
Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu
yang kejam...”
“Aaahhh, aku
juga begitu...!”
“Orang tuaku
juga!”
“Keluargaku
juga terbunuh orang Mancu...!”
Han Han
tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya termasuk Kim Cu,
berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi
oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu
memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang
Mancu? Betapa pun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa
bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga
yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di
In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.
“Seorang
diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan
Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kau
maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba
bertanya.
“Benar,
suhu.”
“Hemmm, apa
saja yang ia ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu
lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah
kaki saja, di samping belajar bersemedhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba
kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han
mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru
ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya
untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak
langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin
Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk
kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apa bila murid-murid yang lain
akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim
Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi
ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian.
Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat
gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik
sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan
engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian
muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut
pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di
Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang
berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka,
lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya
bertemu dengan Suhu di sini...”
“Nanti dulu,
Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar
silat kepadamu?”
“Sama sekali
tidak, suhu.”
“Hemmm,
kalau tidak sama sekali, bagai mana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang
Sin-ciang?”
“Pukulan
Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan.
“Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa...”
“Perlihatkan
lenganmu!”
Han Han
mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan
menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya
menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa
ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas
yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan
Botak merayap ke luar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi
hangat kembali.
Ma-bin Lo-mo
melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut. “Han Han, awas
jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika
kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan
itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama
sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa
kepada teecu.”
“Dari mana
engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah
yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda
marah.
Wajah Han
Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya
kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa
mereka ketahui.”
Anak-anak
itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena
terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik
sekali, Han Han!”
Han Han
memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan
girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah
dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya
Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan
hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala
jalan dapat ditempuh, bahkan mencuri pun baik saja. Demi tercapainya cita-cita,
segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah
perbuatan Han Han yang cerdik!”
Di dalam
hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya
tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan
kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk,
maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin
Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini?
Betapa pun
juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri,
mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua
lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang
manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan
tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa
ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
“Coba
ceritakan bagai mana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin
Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau
mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama
teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri
obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang
terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan
sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat
bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu
bintang...” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia
ceritakan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu
bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu
saja akan hilang keampuhannya.
“Batu
bintang? Benar-benarkah Si Botak menggunakannya? Di mana ia mengumpulkan batu
bintang itu?” Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han
tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja,
pikirnya. “Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di
sebelah timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagai
mana? Teruskan...!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang
agaknya ingin sekali tahu bagai mana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu
Pukulan Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam
teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang
mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan,
akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah
yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi, sesungguhnya teecu tidak
pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah yang
dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali
sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan
engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan
nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan
membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri.
Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau
mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama
dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang engkau harus melakukan kewajiban
bersembahyang dan bersumpah, muridku.”
“Bersumpah...?”
Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah
telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid
harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik
ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara
kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat
kubuatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang
paling kau sukai?”
“Putih...”
jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan
tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk
menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah
menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia
memakai pakaian seperti pengemis?
“Lekas kau
pakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara
pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air...”
Tanpa menanti
jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke
belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan
jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri
agak kehijauan saking jernihnya.
“Lekas kau
mandi dan tukar pakaian, Sute.”
Mendengar
sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian
yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam
merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari
padanya, akan tetapi keduanya adalah suci-nya (kakak perempuan seperguruan)!
“Eh, kenapa
kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han
tertawa. “Engkau... engkau baik sekali, Suci.”
“Tentu saja!
Bagaimana seorang Suci tidak baik kepada Sute-nya? Kau pun harus baik dan taat
kepada Suci mu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han
mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu
masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi
baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.
“Eh, Suci.
Harap jangan memandang ke sini...”
“Mengapa
sih?”
“Malu ah...”
Kim Cu
mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh,
menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han.
“Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka
kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana.
Jangan lama-lama karena Suhu sudah menunggu!”
Gadis cilik
itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian, kemudian
membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi
anak-anak di situ bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang
membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat
ia mandi.
Air itu
dingin sekali, membuatnya menggigil. Akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan
kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan
rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan
segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih
baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa
seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita
rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat
rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok,
semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apa lagi
Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.
“Sute, engkau
benar-benar tampan dan gagah!”
Dipuji
secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah.
Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.
“Han Han,
muridku yang baik. Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan
bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah
menirukan semua kata-kataku.”
“Baik,
Suhu.”
Han Han
menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan
sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu
terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya kereng,
hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan
tetapi membayangkan kekejaman.
“Arca
siapakah itu...?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan
sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan
banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)...”
Hemmm, arca
itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat
itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala
itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat
dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada.
Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid baru
Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah,
Suhu. Teecu siap,” jawab Han Han.
Bulu
tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, apa lagi dengan
asap hio yang mengepul dan berbau harum, dan ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang
terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han
Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia
bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie
Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi
murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin,
mematuhi segala perintah dan larangan Suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun
juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa
raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari
Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat
tinggi nama besar Couwsu dan nama besar Suhu, untuk mengusir penjajah dari
tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah Suhu.”
Di dalam
hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan
dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar,
cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa
tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan
mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan
menentang pihak yang sewenang-wenang?
Akan tetapi
agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian
pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar
pondok kemudian berkata.
“Han Han dan
semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang
menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian
berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena jahat
dan baik atau benar itu merupakan pendapat pribadi yang sering kali
menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap
tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah
mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau
kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting
adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir
penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh
pimpinan!”
Kembali
timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang
syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid
mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting
di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak
mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau
dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan
sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagai mana ia
akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira
terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi
semua keluarganya?
“Han Han,
sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakanlah
apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala
pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo.
Sampai lama
Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang
bermuka kuda ini karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan.
Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah
baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapa pun juga, ia tahu bahwa gurunya ini
amat lihai, dan pribadi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui
riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada
sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah Suhu ini, bagai mana riwayat Suhu dan
siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?”
Terdengar
seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid
ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua
menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang
datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat
dihormati itu!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment