Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 04
Kim Cu
memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya
akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu
marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis
kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran,
akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang
gurunya ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.
"Pertanyaan
yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa
sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik,
murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang
bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan
pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main,
seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng ku
yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun
dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek mu (Uwa Gurumu) Suma
Hoat itu, aku masih kalah jauh!" Kakek itu menarik napas panjang
seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung
sejenak.
"Di
manakah Supek itu sekarang, suhu?" tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.
"Entahlah,
sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak
pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang
petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir
aku bersama Supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon
bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang
sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama
Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Ada pun Supek kalian itu mendapatkan lebih banyak
lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang
kepada Supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi
di antara semua tokoh kangouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan
sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kangouw, akan tetapi memang itulah sebuah di
antara kesukaannya, yaitu berkelahi!"
Semua murid
termasuk Han Han mendengarkan dengan kagum.
"Dan
suhu sendiri?" tanya Han Han.
"Aku
membantu Sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, Sukong
kalian banyak dimusuhi orang kangouw, termasuk aku sebagai muridnya yang setia.
Mungkin karena petualangan Supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan
kepandaian Sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan
memusuhinya. Namun Sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu
berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah Sukong
kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang
diri, apa lagi karena Supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau
entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagai pembesar tinggi,
merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apa lagi setelah Kerajaan
Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan
tetapi sendirian saja, mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar seperti
Gak Liat itu rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu
mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu
untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang
perkasa!”
Cerita itu
jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak
diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian
yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk
belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja
sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.
Mulai hari
itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula,
ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan
tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya
itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu
memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan
setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan
dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.
Hidup
menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia
telah dapat melihat bagai mana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di
situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk
oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka
dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan
bentukan Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!
Di antara
murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda. Bukan muda usia, tetapi muda
karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah
suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara
mereka hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan
sahabat-sihabatnya.
Pertama
tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Kedua adalah
seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin,
juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu.
Ketiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda
dari pada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh
keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering
kali bermain-main dan berlatih.
Akan tetapi
sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai dari pada mereka berlatih dengan
Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa
rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita
tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu,
tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia
akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi
hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!
Sering kali
ia termenung, dan kalau sudah demikian Kim Cu yang selalu mendekatinya dan
menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya
mengenal keadaannya.
“Kenapa kau
selalu murung, Sute?” Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu
bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi
leher dan dahinya.
“Tidak
apa-apa, Suci. Hanya... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan ke luar, turun
gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah
setahun lamanya...”
“Tunggulah
sebulan lagi, Sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal
dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun
gunung selama beberapa hari.”
“Syukurlah
kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”
Gadis cilik
yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua
setahun dari padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, Sute? Habis
ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku sudah tidak mempunyai keluarga seorang
pun.”
“Suci,
engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar
riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”
“Apakah yang
dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota
raja. Kami diserbu orang-orang Mancu. Ayah bundaku dan tiga orang kakakku
dibunuh semua. Aku ditolong Suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia
delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”
“Dan semua
Suci dan Suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”
“Benar.”
“Dan semua
ditolong Suhu?”
“Begitulah,
hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut
Suhu, kelak engkaulah yang paling hebat di antara kita.”
“Wah, jangan
memuji, Suci.”
“Sesungguhnyalah,
Sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han Han. “Ada sesuatu yang
aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti
Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai, akan tetapi engkau selalu
menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, Sute.”
Muka Han Han
menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci
diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk
mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.
“Tiga orang
suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”
“Ah, belum
tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”
“Hukuman?
Siapa yang menghukum mereka?”
“Siapa lagi
kalau bukan Suhu? Kumaksudkan, Suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja
murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya
buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar
larangan dan mendengarkan Suhu ketika Suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya
dengan seorang tamu, sahabat Suhu.”
“Wah...!”
Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau
sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”
“Aku.”
“Hah...?”
Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak.
Kim Cu
tersenyum geli. “Mengapa?”
“Kau... kau
tega melakukan itu...? Kau... mengapa begitu kejam...?”
Kim Cu
menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, Sute. Aku hanya mentaati perintah Suhu
dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan
hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai
pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi
kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”
“Dia...
tidak mendendam kepadamu?”
“Ah, tidak
sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”
“Dan... yang
lengannya buntung?”
“Kwi-suheng?
Dia telah mencuri baca kitab milik Suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri
dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”
“Yang
buntung kakinya?”
“Lai-suheng?
Ia hendak minggat, tetapi lalu tertangkap. Karena kakinya yang melarikan diri,
maka sebelah kakinya dibuntungkan.”
Han Han
bergidik.
Kim Cu
berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena Suhu
tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami
semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita.
Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu
memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”
“Hemmm...,
sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan Suhu di pondok, siapakah dia?
Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.”
Kini Kim Cu
memandang ke kanan kiri, kelihatannya jeri dan takut. “Tamu itu seorang manusia
yang hebat, dan kata Suhu ilmunya melampaui tingkat Suhu. Dia itu adalah Ibu
Guru dari Suhu...”
“Apa...?
Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu...?”
Kim Cu
mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk Suhu
bercerita bahwa Sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang
ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan Suhu amat takut
kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan
pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...”
“Kau
menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”
Kim Cu
mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu.
“Kita para murid Suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw.
Namanya tak pernah disebut Suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng
Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”
Han Han
bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”
“Ke
mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin
mabuk makin lihai dia. Sudahlah, Sute, tidak baik kita bicara tentang
Sian-kouw...”
“Kalau
begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, Suci. Ceritakanlah kepadaku
tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku
suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali Supek yang
disebut-sebut oleh Suhu, putera dari Sukong itu.”
“Banyak
sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai
tokoh-tokoh yang dikenal Suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai
ilmunya. Menurut Suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat Sukong. Akan tetapi
banyak sekali tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak
pernah dikenal Suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu.”
“Seperti
Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut Suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi
ilmu?”
Kim Cu
mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki
tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya
golongan bersih mau pun golongan yang disebut golongan sesat.”
“Kita ini
masuk golongan mana?”
Kim Cu
tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba
kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar
tidak sopan dan tidak patut!
“Kita ini
golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kangouw seperti yang
diceritakan Suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka
yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya
sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”
Han Han
menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, Suci.”
“Menurut suhu,
dia itu merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa
pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih
atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan
tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak
ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu
semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk Suhu sendiri. Namun tak
pernah ada yang berhasil.”
“Seperti
dongeng saja...” kata Han Han kagum.
“Memang
seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan
suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman Sukong masih muda, lebih seratus
tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng
karena, menurut Suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu
kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan
tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu
malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya
adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari
manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Manusia
Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”
“Entahlah.
Siapa tahu? Menurut dongeng Suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek
aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama
tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang
sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas
ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagai mana. Akan
tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan
orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu
pun masih ada hubungan keluarga dengan Pendekar sakti Suling Emas, tapi entah
bagai mana.”
Han Han
mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat
orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja,
mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi
tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?
“Heiiii,
Sute dan Sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar
seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok
Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri
duduk di atas rumput dengan muka berseri.
“Sie Han
Sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang
diceritakan Suhu,” kata Kim Cu.
Gu Lai Kwan
yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han.
“Eh, Sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong?
Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi
seorang sakti seperti Suma-sukong!”
“Agaknya
baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, Sute,” Kim
Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Ha-ha-ha!”
Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu
dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya Sute harus berangkat ke nirwana,
karena mereka kini tentu telah berada di sana.”
Han Han diam
saja. Akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan menarik tangannya dan berkata
menghibur, “Sudahlah, Sute. Jika kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan
Suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang
tak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya
tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...”
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.
“Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian
ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing
kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi
muridku!”
Empat orang
anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri
seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan
Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh
hormat sambil menyebut, “Sian-kouw...!”
Kim Cu
menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di
samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya,
dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian.
Nenek itu
benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh
keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik
sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke
belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut
yang tak bergigi lagi itu kelihatan selalu tersenyum, senyum mengejek dan
memikat.
Yang hebat
adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari
perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang
kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan
dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat
nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda,
memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguh pun potongannya
ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan
bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua
pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa
arak!
“Hi-hi-hik,
aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti
Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang
dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek
itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii,
Siangkoan Lee...! Ke sinilah kamu...!”
Ketika
berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil
hambanya. Kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak
dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak
tumpah dari ujung bibirnya.
“Teecu
datang menghadap...!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul
berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri
membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.
“Harap
Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu
terlambat menyambut.”
Sikap dan
kata-kata Si Muka Kuda benar-benar amat menghormat, seperti seorang murid
terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat
memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian
yang hebat, jauh lebih hebat dari pada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia
akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak
Pencabut Nyawa)!
“Siangkoan
Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih
dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai
saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka
menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”
Ma-bin Lo-mo
mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib
mereka ini amatlah baik.”
“Karena
mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini,
maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee,
engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah
mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka!
Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari
Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”
Ma-bin Lo-mo
mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak
dilakukan anjing-anjing penjajah itu?! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak
itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”
“Soal Gak
Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap
lagi? Yang penting, sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka.
Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat
pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu
besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling
lama dua bulan lagi.”
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk.
“Sudahlah,
kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat)
kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk
aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.
Ma-bin Lo-mo
kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke
arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang
dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan
tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila
tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang
agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua
dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik
seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.
“Kalian
semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas
pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di
atas lantai.
Empat orang
anak itu mengangguk.
“Syarat-syarat
dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula
yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biar pun
kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak
tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum
dengan pemenggalan kepala. Tahu?”
Empat orang
anak itu mengangguk-angguk kembali, akan tetapi di hatinya Han Han mengomel.
Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya?
Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek
itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh
seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun
menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.
“Gerak silat
boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee.
Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sinkang, karena dengan
kuatnya sinkang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu
silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia delapan puluh tahun paling
sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?”
Nenek itu
menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya
dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil
bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil
berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah,
inilah berkat kekuatan sinkang yang hebat!” Ia duduk kembali.
Han Han
tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biar pun lihai, kiranya guru
yang baru ini seorang yang miring otaknya!
“Golongan
kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu
pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian
memandang rendah sinkang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan
sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah
pukulan. Sekali pukul, biar pun tangan tidak mengenai tubuh lawan, cukup
membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu
dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”
Nenek itu
mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian
mulutnya menyemburkan ke atas dan berdetakanlah butir-butir es keluar dari
perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai!
“Im-kang
yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat
membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan
pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar
semedhi untuk menghimpun Im-kang.”
Setelah
memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan semedhi, nenek itu lalu
meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka
harus berlatih semedhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan
ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya
menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!
Dapat
dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu
biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang
tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga
orang temannya amat sengsara. Biar pun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak
ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi
pelanggar.
“Bagus,
kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara
gembira.
Dan
sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid
barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka
makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan semedhi
yang akan dapat menghimpun sinkang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan
‘mengisi’ mereka dengan sinkang-nya untuk membuka jalan darah mereka seorang
demi seorang.
Akan tetapi
ketika tiba giliran Han Han, nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga
orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan
tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke
dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang
berada di dalam pusar.
Harus
diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat
bagi tenaga dalam di tubuh manusia. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian
ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas
menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja diam-diam menciptakan segala macam
obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan semedhi dan
peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan
timbul dan dapat dikuasai.
Nenek itu
mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa
betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet’ dan berhenti
penyalurannya.
“Aihhhhh...!
Di mana kau belajar mengerahkan sinkang untuk melawanku?”
Han Han juga
kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar
kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar
dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”
“Hemmm, kau
jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan
melawan.”
Kim Cu dan
teman-teman lain pada dasarnya belum memiliki sinkang sehingga dapat menerima
Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar. Berbeda dengan Han Han yang
merasa tersiksa sekali, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang
seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan
akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti
di pusarnya bergerak dan menolak.
“Nah,
latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri,”
akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang
muridnya.
Cara nenek
ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya.
Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid
ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya
ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi
pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang, hawa
yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.
Dan cara
nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang
diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang
pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersemedhi dengan memusatkan
pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersemedhi
sambil menunggang naga sakti.
Yang
diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui
hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam
semedhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat
membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk
menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguh pun cara yang dipergunakan
Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun
tidaklah menyimpang.
Banyak cara
yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran semedhi, sesuai dengan
kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal semedhi. Kaum beragama To
menganjurkan agar dalam semedhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada
Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali: Gwan-si-thian-cun,
Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan
pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera: Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat,
Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian
dengan mantera: Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan,
Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan
melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.
Akan tetapi
yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar
murid-muridnya dalam bersemedhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya
melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus
memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.
“Kalau
engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati
bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada
seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat
dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian
pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat
menguasai pikiranmu.”
Memang cara
yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan dari pada
ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan.
Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran,
bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!
Tanpa
disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat
mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat
ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih
diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran
melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab
atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.
Sebulan
lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba.
Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana
mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang
untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk
mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum
kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li
tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang
mengetahui.
Han Han
tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan
tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke
utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun
yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang
pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir
rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan
tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han
kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri
dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan
hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.
Ia melakukan
perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah
utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup
besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk
dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apa lagi dusun itu
merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan
dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan
kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka
disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan
rejeki kepada mereka.
Menyaksikan
kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah
semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru,
kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka
terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa
main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.
Akan tetapi
betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang
berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis
ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking
herannya, apa lagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang
menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal
kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan
ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!
Begitu
memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik,
paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan
sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang
pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.
Seorang
laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau
seorang tukang pukul berdiri dengan muka merah di atas anak tangga. Tangan
kanannya bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di
pinggang, tangan kirinya menuding-nuding dengan marahnya sambil
membentak-bentak.
“Maling
cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”
Anak itu
menggigil seluruh tubuhnya. “Aku... tidak mencuri apa-apa...”
“Tidak
mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak
mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”
“Aku... aku
ingin makan buahnya... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”
“Setan alas!
Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram
baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram,
tubuh anak itu terangkat ke atas.
Anak itu
terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat
dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan
tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.
Tiba-tiba
laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu
halus putih...! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...” Kini
tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara
kurang ajar.
“Ah, masih
terlalu kecil... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm... hebat juga...!”
“Lepaskan
aku...! Lepaskan...!” Anak itu meronta-ronta.
“Ha-ha,
tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu
ke arah pintu gerbang.
Han Han
cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu
menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu,
kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar
mata penuh kebencian.
“Kau manusia
berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!”
Han Han memaki.
Laki-laki
itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu
tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu,
laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira
bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.
“Kongcu
siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”
“Keparat!
Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak
itu.
Merah muka
si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”
“Aku seorang
pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”
“Wah-wah,
lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu
mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang
rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.
“Kalau tidak
mau, aku akan memaksamu!”
“Ha-ha-ha!
Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”
Tukang pukul
yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan
sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih
amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan
tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia
hantamkan ke arah kaki yang menendang.
“Krakkk...!
Aauggghhh...!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan
karena tulang betisnya telah patah!
“Tidak lekas
minta ampun?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas.
Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka
kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cici-nya
dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.
“Setan
kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biar pun kakinya
terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya.
Sambil
menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan
goloknya membacok. Biar pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya
hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han, biar pun tidak
pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu
tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah,
tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.
“Prokkk...!”
Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah!
Di luar
kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul
karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak
seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala
pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.
Tiba-tiba ia
mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak
perempuan jembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak
menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar
bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat
meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak
itu berlari.
“Hayo kita
cepat pergi dari sini!” bisiknya
Berlari-larianlah
kedua orang anak itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang
berpesta-ria merayakan hari Sin-cia tidak ada yang mempedulikan mereka. Dalam
suasana pesta seperti itu, memang tidak mengherankan melihat dua orang anak itu
berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira
dan bermain-main. Pada saat itu tidak terasa keganjilan melihat seorang anak
laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak
perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel.
“Aduhhh...
aduhhh... kakiku... aahhh, berhenti dulu... napasku mau putus...!” Anak
perempuan jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang
dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa
diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.
Mereka telah
tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan
tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya,
duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri
memandangnya.
“Engkau
bocah cengeng benar!” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya,
hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri
dahulu, yang menjadi seorang jembel berkeliaran tanpa teman.
Anak
perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar
dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han. Air matanya
menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga
akan membunuhku?”
Melihat
sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan
kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia
bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya
sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas
rumput dekat anak itu.
“Tentu saja
tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau
berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”
Mendengar
pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis
sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya
jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah
mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan
anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah
tangis itu agak reda, ia berkata.
“Sudahlah,
jangan bersedih. Engkau hidup sebatang-kara, bukan? Kehilangan keluargamu?”
Anak itu
mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.
“Nah, aku
pun sebatang-kara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau
menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan
seorang saudara, bukan?”
Anak
perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata
merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak
menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening.
Han Han
tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?”
Anak itu
mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan
hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang
indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin
cerah!
“Engkau menjadi
Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han
Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagai mana
kau sampai sebatang-kara dan tiba di tempat ini?”
Sejenak anak
itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk
dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis
keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah
mengerang atau merintih.
“Koko...
Han-ko (Kakak Han)... Koko...!”
Han Han
menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena
mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang
tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan selalu ketakutan
dan kengerian, lalu tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan
penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar
matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata.
Setelah
tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari
dadanya, memandangnya dan berkata, “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa
namamu?”
“Lulu...”
Han Han
tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”
“Ayahku
seorang pembesar Mancu di kota raja...”
“Haaahhh...?”
Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata
terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?
“Ayahmu
seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah
perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan
dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.
Lulu
terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun
cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko...?”
Akan tetapi
Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan.
Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan
berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.
“Ko-ko, engkau
kenapakah?”
“Aku benci
orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu
karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan
Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan
tubuh.
Lulu lari
menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu
menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.
“Kenapa,
Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...”
“Benci, ya,
benci! Aku benci semua orang Mancu!”
“Tapi,
kenapa...? Tentu ada alasannya. Apakah engkau... pemberontak?”
Kalau bukan
Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi
bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya,
membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan
sikapnya.
“Orang tuaku
dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang
Mancu.”
“Membenci
aku juga?”
“Kalau kau
orang Mancu, ya!”
“Tapi aku
Adikmu!”
“Aku tidak
sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”
Tiba-tiba
Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia
tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.
“Han-ko, jangan...
jangan membenci aku. Aku Adikmu... jangan membenci aku. Aku Adikmu..., dan
aku... aku pun sebatang-kara. Ayah bundaku, biar pun juga orang-orang Mancu,
mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang,
keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud
agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku
ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel...! Yang melakukan
pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis
pemberontak, dan... dan... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi... aku tidak
membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”
Han Han
tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan
ia percaya. Perasaannya tertusuk melihat kenyataan bahwa gadis cilik yang
keluarganya dibasmi ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka
yang membasmi keluarganya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua
orang Mancu, apa lagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua
hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.
“Maafkan
aku, Moi-moi...” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi
sambil memeluk Han Han.
Mereka
berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan
setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajak Lulu melanjutkan
perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar
mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andai
kata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka
seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?
“Lulu-moi,
kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”
Lulu
mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau
lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir
sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.
“Ayah sedang
berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong
keluarganya, yaitu Ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di
tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan
rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan
ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu
lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang
jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan.
Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang
melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah
bunda dan Kakakku. Aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti
akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang disebut
Lauw-pangcu itu!”
Tiba-tiba
kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan,
terhuyung hampir jatuh.
“Hemmm...,
dia...?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara
Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!
“Mengapa?
Kau kenal dia Koko?”
“Ya,
begitulah.”
“Kau hebat,
kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang
sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap
Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”
“Ah, mudah
saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita
membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita
belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas
dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke mana pun aku pergi.”
Lulu
mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi.
Wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar.
“Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”
Ucapan
terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han
Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada
Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya
dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan
dapat mempelajari ilmu yang tinggi.
“Sute...!”
Han Han dan
Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan
anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang
penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yang indah, dan sebuah bungkusan
menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian
cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.
“Wah, Sute!
Setengah mati aku mencarimu!”
“Ada apakah,
Suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”
“Ada
perubahan, Sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua
harus kembali sekarang juga karena Suhu hendak pergi jauh. Juga Sian-kouw akan
pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan... eh, siapakah dia ini?”
Agaknya
karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari,
baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga,
seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan
heran.
“Aku hendak
membawa dia menghadap Suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”
“Wah,
agaknya tidak akan mudah, Sute. Siapa sih anak ini?”
“Namanya
Lulu, seorang bocah Mancu... Heee, tahan, Suci...!”
“Dukkk!”
Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu
ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.
“Sute!
Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu?
Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati
Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.
“Tidak,
Suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”
“Siapa
bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah
membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”
“Benar, akan
tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, Suci. Sebaliknya keluarga
Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap
kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, Suci. Kalau seseorang
melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah,
alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti
mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, Suci. Kalau karena
kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga,
wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan
terus-menerus terjadi. Tidak, Suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat,
bukan musuh kita biar pun dia anak seorang perwira Mancu.”
Kim Cu
termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sute-nya
ini amat pandai, betapa pikiran sute-nya amat luas dan sute-nya mengerti akan
segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu
diperhatikan sute-nya dan tingkat sute-nya masih lebih rendah dari pada tingkat
murid lainnya.
Ucapan Han
Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa
kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata
itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan
lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan
wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.
“Agaknya
engkau benar dalam hal ini, Sute. Akan tetapi salah besar kalau engkau hendak
membawa Lulu kepada Suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu Suhu, dia
tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang
bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, Sute.”
“Tidak bisa,
Suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh Suhu, lebih baik aku tidak
kembali ke In-kok-san.”
“Eh, mengapa
begitu? Apamukah bocah ini, Sute? Jangan bodoh...”
“Dia ini
Adikku!”
“Apa?
Adikmu? Anak Mancu ini... mana mungkin Adikmu...?”
“Dia betul
Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji
akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa,
hanya aku yang telah menjadi kakaknya, Suci,” kata Han Han, suaranya tetap.
Wajah Kim Cu
menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali... bagai mana dengan aku? Aku
akan kehilangan...”
“Suci,
engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara
seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa, dia harus ikut bersamaku.
Dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih
lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, Suci. Harap Suci
suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”
Kim Cu
termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, Suhu akan marah
sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid
Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari Suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap...
ah, hukumannya mengerikan, Sute.”
“Kalau melarikan
diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”
Lulu
mengeluarkan jerit tertahan. “Keji...!”
Kim Cu
memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang
yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu
akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”
“Biarlah,
aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan
bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau
tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, Suci.”
Kim Cu
menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu,
Sute. Tapi... ah...”
“Sudahlah,
Suci. Harap Suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”
Kim Cu
berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.
“Sute...!
Tunggu dulu...!” Kim Cu meloncat dan berlari mengejar.
Han Han
membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan
persahabatan dan hendak menghalangi aku?”
Kim Cu maju
dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.
“Tidak sama
sekali, Sute. Aku... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini... ah,
setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...”
Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang
sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.
“Lulu, kau
pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han Sute.”
Lulu
menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik
sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...”
“Cihhhhh...!
Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”
“Engkau
mencinta Han-ko, Enci...”
“Hush!
Sudahlah...!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan
tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.
Han Han
berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang
matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi?
Cinta? Cinta bagai mana?”
Lulu
tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik
sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar)
seperti dia.”
“Eh-eh,
gilakah engkau?” Entah bagai mana, sungguh pun ia hanya menduga-duga dan hanya
mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi
panas dan jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan
kita melanjutkan perjalanan.”
Lulu segera
bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali,
Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik
yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi
seorang anak yang manis sekali.
“Kita ke
mana, Koko?”
“Hayo ikut
sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”
“Aku datang
dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti
tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.”
Maka
pergilah kedua anak ini dengan tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat
menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu
marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya
seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.
Juga ia tidak
berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan
dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan
yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil
jalan yang liar dan sukar ini maka biar pun pakaian yang dipakai Lulu pemberian
Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak
dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya
agak kepanjangan.
Han Han
menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik
itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biar pun usianya baru
sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak
rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala
kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang
kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han
mencari makanan untuk mereka.
Betapa pun
lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik
ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia
pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap
oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan.
Banyak ia
bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui
tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang
terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan
bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai,
sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi
keluarganya.
Harus diakui
bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian
umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun
karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan
banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha
untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat
perang.
“Lulu adikku
yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena
sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,”
katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar
dalam sebuah hutan.
Lulu
memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu
terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku.
Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”
“Tentu
saja.”
“Kalau
engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh
mendendam kepada pembasmi keluargaku?”
“Ah, jauh
sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan
hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan
perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku
melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka
yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka
melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita
dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh
Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah
pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu
adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu
musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu
melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai
pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak
buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh
seorang kaki tangan Mancu?”
Lulu
merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan,
akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para
pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu
dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih
sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan
memaafkan mereka?”
Ditegur oleh
bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat
menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah,
Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di
dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang
membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan
bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan
dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh
beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui
sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang
yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko,
bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang
yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat
hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat,
malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”
“Tidak
tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah
sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang
sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.
“Di puncak
bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah
dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa
stel pakaian untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya
untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah
mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di
sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”
“Engkau
puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan
begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”
“Hanya
Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan
tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika
mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding
putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
“Lihat!
Kebakaran!”
Benar saja.
Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar
dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok
itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
“Celaka...!
Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api,
Moi-moi.”
“Aku...
takut..., Koko.”
“Ada aku di
sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan
bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.
Akhirnya
mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya
untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka
mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam
perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya, diajak bersembunyi.
Kiranya di
dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak
bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan
terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api yang membakar
rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang,
malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil
ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han
juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang
tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam
suntuk, demikian pula kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya
itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi
di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh
mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin
menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga
setelah api membakar dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan
kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han
memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya
menjadi silau menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang
pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu
tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang
mengepungnya dan ia dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang
dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di
antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam
suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi,
namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat
cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika
mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam
perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara
pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara
pertempuran.
Han Han
bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang
dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa
tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya
terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar
adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu
perlahan-lahan.
Lulu yang
masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan
ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main
naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah
pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan
dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan
hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.
Yang amat
mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan
orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki
tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula
anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar, seperti terbabat
senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus,
dan semua mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko...
aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang
menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
“Tenanglah,
Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana.... Eh, dengar...
ada orang merintih...! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah
itu...”
“Aku... aku
takut... nge... ngeri...!”
Akan tetapi
Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia
menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau
bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara
merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun
terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian
perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga
aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.
Han Han
memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu
sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia
lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang
itu sambil berkata.
“Moi-moi,
ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”
Kasihan
sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari
meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang
lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”
Han Han
sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum
dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia
mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas
tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan
gagah.
Kakek itu
masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai
sepatunya terawat rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan
kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu biar pun sudah tua masih
nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita.
Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang
terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung.
ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga
sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.
Yang
mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa.
Pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek
menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi
terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap
pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang
ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si
nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah,
Yan Hwa.... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan).
Tenanglah, Adikku, kekasihku...”
“Oughhh...
Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut
kekasih...? Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”
“Hushhh...
ada orang datang, diamlah...”
“Aughhh...
ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”
Hati Han Han
sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah
membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan
keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di
hatinya.
“Locianpwe,
biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang
yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.
“Han-ko...
tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini
merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang
sekarat itu.
“Mari kita
mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti
adiknya, lalu menggandeng tangan adiknya.
Sebentar
saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu
kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah
mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.
“Ini airnya,
locianpwe,” kata Han Han.
Ia menyebut
locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan
sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada
hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak
memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.
“Oohhh, mana
air...?” Nenek itu mengeluh.
Kakek itu
membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han
Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han,
akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan
dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok
dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi
tenang. Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu,
tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi
tidak merintih lagi.
Kakek itu
tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air.
Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh
ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu
tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa
melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu
kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.
“Engkau
siapa?”
Han Han
adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh
datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia
merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun
hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang
matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.
“Namaku Sie
Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk
mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga
mereka terluka seperti itu.
Kembali dua
pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.
“Eh...!
Matamu...!”
“Mataku
kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.
“Seperti...”
“Mata
setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya
dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu
semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau
tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu
menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya
matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya
berhati penuh welas asih.... Eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan
aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”
“Hemmm,
locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe
berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang
sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di
tubuh mereka.
Nenek itu
mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah
setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”
“Sabar,
Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau
sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...”
Han Han
terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang
tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan
tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.
“Locianpwe
mencari Kongkong-ku?”
Kakek itu
mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu
Kongkong-mu?”
“Jai-hwa-sian...!”
“Hehhh...?”
“Ihhhhh...?”
Kakek dan
nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan
muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian
sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek
itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa
dia adalah cucu Jai-hwa-sian.
“Heh, anak
setan, siapa nama Kongkong-mu?”
“Namanya Sie
Hoat.”
Kakek itu
mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan
kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.
“Bagaimana
kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”
“Yang
memberi tahu adalah Setan Botak.”
“Setan
Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”
“Siapa lagi
kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia
ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu
menganggapnya main-main.
Kini mata
kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia
menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan
julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan
berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!
“Di mana
Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga,
barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh
cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian,
tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi
anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati,
seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng
Ayah sudah puluhan tahun dia pergi merantau...”
“Siapa nama
Ayahmu dan di mana tinggalnya?”
“Ayah bemama
Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”
“Sie Bun An?
Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa
bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang
sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.
“Sekarang di
mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”
“Locianpwe!
Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”
“Ha-ha-ha!
Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari
noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana
adanya Kakekmu?”
“Ayah dan
sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”
“Ha-ha-ha-ha-ha,
hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”
“Locianpwe!”
Han Han membentak, marahnya bukan main.
Belum pernah
dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau
menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena
ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat
hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang
menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut
bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi
kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri,
“Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan!
Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapa pun
engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua
perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri
akan dipetik sendiri... seperti juga kami berdua.... Kami berdua mungkin lebih
sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih pahit... aahhh!” Kakek itu kini
menangis terisak-isak!
“Kakek...
kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu
pahit.... Engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali
cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam cinta... alangkah bahagianya...”
Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium
bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara,
berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han
berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti
awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi
sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi
nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia
terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek,
bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek
itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi
akan tidur di pangkuan ibunya.
“Moi-moi...
anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah,
Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang
pergi bersamamu, Koko...”
Kakek itu
kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan
kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya
meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab
pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah
kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah
sekali.
“Dengar,
anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”
Suara yang
lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat
membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat
sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah.
Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh
kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh
hormat dan takut-takut.
Dengan
tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah
kitab kuning. “Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas...
jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...”
Han Han
tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan
hatinya, anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan
ke balik bajunya.
“Dekatkan
telingamu...”
Han Han
menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di
dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang,
buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.... “Sudah mengertikah
engkau?”
Han Han
mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali
tidak mengerti apa maksudnya.
“Simpan
kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan
kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang
jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”
Kembali Han
Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”
Kakek itu
menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin
lemah, terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur
pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya
tidak selemah tadi, penuh semangat.
“Sie Han,
dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal
sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang
tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru.
Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok Yan Hwa ini
masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi
satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang
yang mampu mengalahkan kami...”
“Juga
Koai-lojin tidak mampu...?”
Untuk
terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu
pula akan Koai-lojin?”
“Hanya
mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari
Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak,
engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah
Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami
suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan
kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi.
Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak
bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru
kami...”
“Sumpah
apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih
berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang
rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekali pun akan kalah oleh
biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami
menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus
ditebus nyawa...”
“Iihhh...
kejam...!” seru Lulu.
“Karena itu,
biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal
ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi
kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba
berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang
bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang
telengas. Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu
kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada
Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan
mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami
saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang
sehingga akhirnya... engkau lihat sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah
suaranya.
Nenek itu
membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh
antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali...
aku bahagia...”
Kakek itu
mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau
sebagai ahli waris kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian,
sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau... engkau mulai saat ini
menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”
Han Han tahu
bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan
mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir
Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini,
tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu
(murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi
kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya
kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka
menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan
kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka,
tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam
permainan cinta.
“Suhu...!
Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak
membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan
bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh
mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me...
mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali
karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas
terakhir.
“Aku harus
mengubur mereka...”
“Hayo kita
pergi, Han-ko.... Aku takut sekali...”
“Nanti dulu,
Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku
tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”
“Kalau
begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang
anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman
itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya,
sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah
sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah
cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang
itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han
menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah
pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang
masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak
berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi
satu ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han
menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu,
dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam
suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi
hormat.
“Sekarang
kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.
Sebetulnya
Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air
yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa
ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan,
ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun
yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak
jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya.
Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup
hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun
itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu.
Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh...
aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”
Akan tetapi
Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada
orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”
Lulu sudah
merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja
keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka
giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak
cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang
kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han
bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di
tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang
menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya
sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan
kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus
tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat
dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil
berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan
terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu?
Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang
kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan
bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih
kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya
tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang
Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain.
Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang
berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia
teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya.
Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi
seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat.
Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian!
Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka
memperkosa wanita! Biar pun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan
dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi.
Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi
dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi
gurunya. Dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu
pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat.
Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si
Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang
dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak
tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh
melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada
Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus
mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Ma-bin
Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus
pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan
keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya
sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat
berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai
yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh
persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh
kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!
Kakinya
tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada
Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan
dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai
terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang
Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah
malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak
menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas
punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia
hampir terbanting jatuh.
Melihat
keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu
merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal
di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang.
Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia
lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat
betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai
lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan...,”
bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi
pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia
menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama
sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu
sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang
berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang
adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka
tengkorak saking kurusnya, dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng,
penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan
sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada
Han Han dengan muka bengis!
Han Han
bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus
dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa
tanggung jawab yang tercipta dari pada pengetahuannya tentang filsafat. Ia
cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir
mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
Kini ia pun
cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri
dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan
atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak
mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat
pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin
Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm,
murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar
dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena
teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu
terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu
suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi
setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan
biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah
duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih
suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam
Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan
seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini!
Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun
memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf
pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja
kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak
menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum
penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan
main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia
lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar
suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang
dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat
Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat
ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko... ada
apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt,
diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah
meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak
mengapa asal kita tidak saling berpisah...”
“Kakimu
dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh
mengganggu Kakakku! Pergi... pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu,
mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri
menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke
sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa
berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak,
sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji
manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo
kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan
matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin
Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo
memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau
membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu
dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu
namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar
baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu
meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang
seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
“Hemmm,
namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biar pun
mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan,
Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan
keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi
alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring,
“Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti
engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!”
Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu!
Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh
dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang
disangkanya mati.
Sebuah
tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan
mata melotot marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah
mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu!
Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi
murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah
Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu
yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu,
jangan...!”
Tiba-tiba
terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan
mengangguk-angguk. “Hemmm..., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya?
Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan
mencari pulau...”
Ia tidak
melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia
sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya.
Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan
dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu
lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya.
Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak
jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka
melompat ke dalam perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar
dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki
tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu
juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan
terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang
juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko...
syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah
Lulu. Jangan menangis...”
“Aku...
aku... takut, Koko.”
“Jangan
putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi...
mereka jahat sekali...”
“Hushhh,
diamlah...”
Mereka itu
seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang
dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka
Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak.
Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu
memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali.
Mulutnya mengomel.
“Murid
murtad...! Murid durhaka...!”
Han Han
tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya
sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk
sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih
dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan
adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira
Mancu.
“Suhu, murid
sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama
sekali tidak berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa
ini.”
“Cerewet!
Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu,
setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu...!”
“Diam! Kau
murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan
kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han
tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera
bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak
mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,”
Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang
seperti dia?”
“Hushhh,
diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil
itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan
mulailah pelayaran yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu
diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu
di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat
kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh
kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan
ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang,
maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat
memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu...!
Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia
sakit!”
Ma-bin Lo-mo
hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit
berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang
segera menjadi lemas dan... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu
tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han
bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun
bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu
mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan
sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu
dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki
mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan Lulu sama sekali
tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han
yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat,
alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang
bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita
tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya
maju cepat sekali.”
Lulu
terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa
sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana,
Koko?”
“Entahlah,
akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari
sebuah pulau. Pernah aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau
Es.”
“Pulau Es?
Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.
“Aku sendiri
pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu,
tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko...!”
Lulu menangis.
“Eh, malah
menangis. Ada apa?”
“Koko,
mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh
benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini
aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko...!”
Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan
kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya
kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil
itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di
waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka
berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar
pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah
ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat
menderita, akan tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka
menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke
empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur.
Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"
Mereka semua
memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak
sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga
layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu
dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam
sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan
pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
"Perahu
itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat
tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan,
agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita
harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar
tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu
masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini
meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di
depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang
berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para
penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan
diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.
Akhirnya
perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas
kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga
bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang,
yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih
dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara
tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka
yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa golok yang tergantung di
pinggang dan sikap mereka tampak gagah...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment