Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 12
Celaka,
pikirnya. Kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia
yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup.
"Siapa
berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang
di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?”
Han Han
teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan
segera bertanya, “Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai
itu?”
Im-yang
Seng-cu menghela napas. “Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti
Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang
sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu
menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang
terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan
menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal
Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan
Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu
itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan
hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!”
“Ahhh...!
Keparat! Jahat benar dia!” Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya hwesio
tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya
sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang
jahat!
“Hemmm, dia
adalah Kakekmu sendiri!” Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan
keningnya.
“Dia boleh
seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat
seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali.
Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
“Bresssss...!”
batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han.
Im-yang
Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang
ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa
ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah
menghancurkan batu nisan dengan tenaga sinkang yang amat luar biasa kuatnya.
“Kenapa
engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya
tidak lenyap?” Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar
dari suaranya bahwa ia marah.
Dengan
bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
“Saya
menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap
kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah
dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya!”
Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata
terakhir ‘keturunannya’ itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah
keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang
Seng-cu juga kelihatan marah. “Orang muda, engkau sombong! Biar pun Kakekmu
tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat
baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang
mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma! Engkau pun hanya
seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat
memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain?
Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik dari pada Suma Hoat!”
Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ.
Han Han
menghela napas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah
kepadanya.
Melihat Han
Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya.
“Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di
sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu...”
Hati Han Han
seperti dibetot-betot. Ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya
yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam
keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan
pelukan Han Han dan berkata.
“Marilah
kita cepat pergi dari tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.
“Jangan
takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita
lawan mati-matian.”
“Aku tidak
takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah
kita pergi.”
Dua orang
muda itu melanjutkan perjalanan. Biar pun keduanya tidak takut lagi menghadapi
ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang
ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki
lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
“Han Han,
kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu
lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari
tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih.
Bagaimana?”
Han Han
mengangguk. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat
yang baik?”
Kim Cu
tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan
ia dapat tersenyum dengan hati lapang. “Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat
waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan
engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara
puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat
tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongan yang
menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun
akan datang ke tempat itu.”
“Hemmm, mau
apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?”
Wajah Kim Cu
menjadi merah. “Mau... menangis...”
Han Han
memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran. “Menangis? Menangis
saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?”
Kim Cu
mengangguk. “Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau
pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku
bengkak-bengkak!”
“Ah... Kim
Cu... Kim Cu...” Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak
dahulu telah jatuh cinta kepadanya.
Han Han
merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah
terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika
ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan
untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia
menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang
buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya?
Dia tidak tahu.
Melihat pemuda
itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata, “Jangan
khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan
tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”
Han Han
tersenyum. “Apa kau kira aku anak kecil? Betapa pun sukarnya, dengan bantuan
tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”
Kim Cu
tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin
heran. “Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”
“Hi-hik,
memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa
lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bagus sekali! Bukankah hal
itu amat menggirangkan hati?”
Han Han
memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit. “Kim Cu...” katanya
penuh keharuan. “Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di
sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu
kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada
dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biar pun
aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti
mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih
dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!”
“Bagus! Dan
aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh
melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan
Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”
Han Han
mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan, Kim Cu.”
Berangkatlah
kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam
mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu
membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut
terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han
yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
“Sebelum
gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu
dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.”
Han Han
mengerutkan kening. “Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air
pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut...?”
Kim Cu
memandang pakaiannya. “Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk
pembalut masih lebih dari pada cukup!”
Han Han
hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa
sudah berlari ke luar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia
merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta
kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali
kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas
cintanya? Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak
karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia
seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak
berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu.
Malam itu
Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah
penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit
pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan
membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan
buah-buahan lalu mengaso dan Kim Cu tertidur di dekat api unggun.
Sampai jauh
malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari
memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek
moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di
dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang
cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak
disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih.
Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis
itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur sambil bersandar pada
dinding goa, setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk
memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Han Han
terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu.
“Han Han...! Han Han... bangunlah...!”
Han Han
memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul.
“Ada apakah, Kim Cu?”
“Ada orang
di luar... kulihat bayangannya berkelebat...”
“Hemmm,
mengapa bingung. Biarkan saja.”
“Tidak,
siapa tahu dia Subo! Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!”
Gadis itu menarik-narik tangan Han Han.
Pemuda ini
menurut, segera bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya.
Tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik
tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam
goa tidak terlalu gelap. Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal,
datangnya dari luar goa.
“Hi-hi-hik!
Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil
nyawamu, murid murtad!”
“Celaka...
dia Subo...!” Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju
lebih cepat lagi.
Tak lama
kemudian mereka tiba di ujung terowongan. Han Han melihat bahwa mereka berada
di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika menjenguk ke bawah, matanya
lantas berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya
tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan! Mereka berhenti dan
membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, lalu dengan hati berdebar-debar
menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya.
Melihat
betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata
halus, “Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”
“Jangan...
jangan mencampuri... biarlah aku menghadapi Subo,” bisik Kim Cu sambil
menjauhkan diri dari pemuda itu.
Dalam
terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri
tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat
gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biar pun Han Han membantunya, mereka tidak
akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat
berkata.
“Subo, teecu
merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh,
bunuhlah. Akan tetapi... teecu mohon, jangan Subo mengganggu Han Han, dia sudah
cukup menderita... bunuhlah teecu saja...”
“Kim Cu...!”
Han Han membentak.
“Heh-heh-hi-hik,
muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini
hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau!” Toat-beng Ciu-sian-li yang
masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar
mata beringas.
Kim Cu
merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut
telah menjangkaunya.
“Toat-beng
Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan coba-coba kau berani membunuh Kim Cu!” Han Han
membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
“Bocah
buntung, kau tunggulah giliranmu!” Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh
dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar
berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai
anting-antingnya yang kini digunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar
dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan,
maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar
ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
“Kim Cu...!”
Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha
menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa
bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk kaki Kim
Cu dengan maksud menghindarkan gadis itu dari pada ancaman maut.
“Han
Han...!”
“Kim Cu...!”
“Heh-heh-heh,
hi-hi-hik!” Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang
muda itu tergelincir ke bibir jurang!
Han Han
memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi
ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak
dasarnya!
Perlahan-lahan
Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu
tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa. “Sayang..., andai dia bisa
membawaku ke Pulau Es....” Nenek ini lalu berjalan ke luar dari terowongan itu,
sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya
tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian
curamnya.
Biar pun
Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman
hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan
mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan
Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa
batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut.
Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi
di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan
lagi.
Kim Cu sudah
hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu
sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan ginkang dan kepalanya
menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan
tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat
itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apa lagi Han Han terdorong oleh tenaga
loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi
sadar kembali dan ia menjerit panjang, “Han Hannn...!”
Seakan-akan
tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah
setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang
melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng
yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di
bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia
merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan
bertemu dan berkumpul dengan Han Han, biarlah ia menuju ke neraka!
“Byurrrrr...!”
Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari
tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih
terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tangannya dan
membuka matanya.
“Omitohud...,
Nona sudah sadar...? Omitohud, syukurlah,” terdengar suara halus.
Kim Cu
menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang tersenyum memandangnya.
Kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan
batin. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun
wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik
nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
“Siankouw...
seorang dewi penjaga hukuman di neraka?” tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa
dia kini telah berada dalam neraka, sungguh pun ia heran mengapa neraka begini
bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan
yang bertilam putih bersih pula.
“Omitohud...!
Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi
yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau
mati.”
Serentak Kim
Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya.
“Jadi aku masih hidup? Han Han... di mana dia...? Han Han...!” Ia menjerit,
memanggil nama itu.
Nikouw itu
bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim
Cu. “Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak
bergerak. Berbaringlah kembali.”
Suara itu
halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga
Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan. “Akan tetapi... tolonglah beri
tahu, Suthai. Di mana Han Han?”
“Han Han
siapakah yang Nona maksudkan?”
“Han Han...
temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup
pula. Ah, di mana dia?”
Nikouw itu
menggeleng-geleng kepalanya. “Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas
tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada
di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar
tentang temanmu yang bernama Han Han itu...”
“Tiga hari
tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan,
apakah yang sesungguhnya telah terjadi?”
“Nona,
sebaiknya kau ceritakan dahulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja
jatuh dari atas, seperti dari langit saja.”
Kalau dia
masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati
ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya,
demikian pikirnya. “Kami... aku dan temanku itu berjalan di atas tebing, dan
aku tergelincir, dia berusaha menolongku tetapi kami terjerumus ke bawah. Aku
tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah, bagaimana aku dapat berada di
sini?”
Dengan sabar
nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja. “Kau minumlah obat ini
dulu, Nona. Minumlah.”
Karena
maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum
obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap
mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
“Menurut
nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya
Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat
di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di
bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu
karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi,
omitohud... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka.
Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri
ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan
oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat
engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari
Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni
sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu.
Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat....”
“Akan tetapi
temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?”
Nikouw itu
menghela napas. “Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong
pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti
kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya
menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang
sedemikian derasnya... hemmm... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”
“Tidak...!
Tidaaakkkk...!” Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang
ke kanan kiri. “Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia,
aku harus mencari dia!”
Dari pintu
kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima
puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka
juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu
hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan
dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena
kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua
mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata,
“Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni
menemanimu ke tepi sungai.”
Kim Cu
berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua
yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari
kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan
pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati
yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir
sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih
ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan
sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika
berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega.
Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan
kedua pundaknya menggigil.
“Percayakah
engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau,
Nona? Ada pun tentang nasib temanmu itu..., benar-benar pinni meragukan
keselamatannya.”
“Tidak,
kalau aku selamat, dia harus selamat, Suthai! Tolong panggil para nelayan.”
Nikouw itu
bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur
jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri.
Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri. “Ah, inikah Nona yang jatuh
dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali
terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya
kasar dan sederhana.
Kim Cu
berkata, “Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah
menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”
“Temanmu,
Nona? Temanmu yang mana?”
Kim Cu
menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama
itu takkan ada artinya bagi si nelayan. “Temanku, seorang pemuda yang ikut pula
terjerumus dari tebing atas bersamaku.”
“Heh...?”
Nelayan itu terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”
“A-liuk,
harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.”
“Baik,
Sian-kouw!”
Nelayan itu
lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil
Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah
berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Seperti A-liuk,
mereka semua merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan
kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
“Paman
sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya
minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu
jatuh pula dari atas.”
“Kami tidak
melihat ada orang lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan
saling bertanya sendiri.
“Mungkin
paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya
dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling
pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat
dalam keadaan terluka.”
“Kalian
penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”
“Baik,
Sian-kouw,” jawab mereka serempak.
“Tunggu
dulu, paman-paman yang baik!” Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi
melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas,
satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang
emas itu kepada mereka. “Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman
sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan
temanku.”
Akan tetapi
tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang
nelayan tua lalu berkata, “Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk
membalas jasa. Sedangkan teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum
mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu
loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada
lari bersembunyi dari jala dan kail kami.” Setelah berkata demikian, semua
nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya
dengan melongo.
Nikouw tua
itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu. “Mereka adalah nelayan-nelayan desa
yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka
bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan
akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka
gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak
tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”
Selama
seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han
Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang
menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para
nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas
seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur,
atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka
tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak
mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani
oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw
secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim
Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun
di tepi sungai!
Ketika para
nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan
atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai. Wajahnya
makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena
terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa
hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak
pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang
sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan
bubur atau obat.
“Mengapa
engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma,
agaknya temanmu itu sudah tewas.”
“Kalau dia
mati, aku pun akan mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai,
biarkan aku mati...!” Ia terisak-isak.
“Engkau keliru,
Nona. Andai kata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau
engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik
mati seperti itu, Nona.”
“Suthai,
kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?”
Nikouw itu
mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu. “Nona, engkau tentu amat
mencinta pemuda itu, bukan?”
Mendengar
suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim
Cu memandang dengan mata basah. “Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia
satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.”
“Kalau
begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat
berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan
dapat berguna bagi orang yang kau cinta, akan tetapi engkau malah akan dapat
berguna bagi semua orang dan dunia.”
Kim Cu
memeluk nikouw itu dan berkata, “Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan
dapat berguna, berguna bagi Han Han biar pun dia sudah sudah mati?”
Nikouw itu
mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya dia pun mengusap
air matanya sendiri yang mengucur di hatinya. Matanya dikejap-kejapkan untuk
menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk
menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti
kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya
tidak menggetar, nikouw itu berkata.
“Tentu saja,
anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi
murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali
bagi temanmu itu.”
“Menjadi...
nikouw...?”
Nikouw tua
itu mengangguk-angguk. “Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau
pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh
menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi,
setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat
berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andai kata dia sudah mati, semoga
ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup,
semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya?
Dan berguna pula bagi orang lain...”
Kim Cu
kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot
turun dan berlutut di depan nikouw itu. “Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari
Subo...”
Demikianlah,
mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran
kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib
malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan
sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan
terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio. Para
nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan
kepada para korban banjir.
Dalam
pekerjaan yang dipimpin Thian Sim Nikouw inilah Kim Cu merasa betapa hidupnya
amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya. Ia makin tekun
belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua
pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di
sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi
nikouw! Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati
Emas). Ia telah mendapat ketenangan dan kebahagiaan batin, dan rasa rindunya
yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi
keselamatan pemuda itu, baik di dunia mau pun di akherat.....
**************
Di dalam
sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan
mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati
luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
“Jangan
bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak terlalu
berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau
rebahlah saja dan jangan banyak bergerak.”
Lulu
tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek jembel ini
yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata
Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan
tongkatnya.
“Locianpwe,
aku berhutang satu nyawa kepadamu.”
Kakek itu
memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum,
kaget dan kagumlah dia. “Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini
membuktikan bahwa engkau telah mempelajari sinkang yang luar biasa.”
“Eh, jangan
pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong,
locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati
kalau locianpwe tidak datang menolong.”
Kakek itu
menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata
sungguh-sungguh, “Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar,
bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak
dapat dikatakan hutang-berhutang. Apa lagi kalau kita bersama menghadapi
orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang
jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan
mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan
kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku
sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang
menimbulkan perang!”
Hati Lulu
tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apa
lagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu! “Locianpwe, apakah
engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa
orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?”
“Mengapa
tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang
buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip! Dahulu, sebelum ada perang,
manusia mengenal peri-kemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat
menyelamatkan nyawa seorang manusia lain dari pada ancaman bahaya maut. Dahulu,
nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegetkan dan
pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan
perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya! Betapa banyaknya nyawa
manusia melayang oleh perbuatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah ini
telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!”
Lulu makin
tertarik. Kakek itu mengucapkan kata-kata dengan penuh semangat dan
kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali. “Akan tetapi
yang locianwe lakukan adalah demi perjuangan. Locianpwe berjuang demi negara
dan bangsa, dan locianpwe membunuh musuh bangsa. Bukankah hal itu merupakan
perbuatan mulia?”
Tiba-tiba
kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri.
Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis!
“Ha-ha-ha! Inilah yang menyedihkan! Manusia menganggap penyembelihan sesama
manusia ini sebagai perbuatan mulia! Makin banyak menyembelih manusia, makin
banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan
disebut pahlawan! Memang perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air
adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia,
sungguh pun berlainan bangsa, yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga
mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia
ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada
hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona.
Aku yakin bahwa Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin
bahwa penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia
disebut mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian!”
Lulu menjadi
terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja
bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.
“Kata-kata
locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali
mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya
memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan
kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak
menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran! Lihat
contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok!
Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar karena mereka
menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa
mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok dari pada cengkeraman
pemerintahan yang tidak baik. Mereka berperang dengan dasar kebenaran mereka,
karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat akan dapat hidup
makmur, terbebas dari pada penindasan kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan
Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu
berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran palsu! Di lain pihak,
Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka, termasuk aku,
mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran orang
mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan
kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan
sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi
kepada mereka yang menang! Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang
bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, mau pun para
prajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang
karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin
terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati.
Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.”
Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan
melanjutkan kata-katanya.
“Perang ini
akibatnya jahat sekali. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan
tetapi perang menimbulkan kebencian antara bangsa! Tidak ada lagi pertimbangan
antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua
jahat dan semua harus dibasmi! Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal
inilah ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat!
Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh!
Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau
sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang
dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh! Dan maut yang disebar tidak
memandang bulu, tidak mengenal peri-kemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan
menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang
kejamnya melebihi serigala. Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik
dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang dan andai kata bangsa Mancu
tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu.
Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci
mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah
dingin!” Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.
“Locianpwe,
bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita
akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang
ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak
rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi prajurit, mati di sini tanpa
diketahui keluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga para perwira yang
hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan
dianggap para pemberontak.”
Kakek itu
mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang. “Eh, Nona, bagaimana
Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?”
Lulu
memandang tajam dan menjawab tenang, “Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena
aku sendiri adalah seorang Mancu.”
“Ahhh...!”
Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan
sikap tegang.
“Aku adalah
seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang
perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon...
eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang
dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian jembel dan aku dilepas
sebagai seorang anak jembel yang hidup terlantar...!”
“Ya
Tuhan...!” Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu
dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia
berkata lirih penuh getaran perasaan, “Akulah Lauw-pangcu. Kini teringat olehku
akulah yang memimpin teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga.
Karena engkau mengingatkan aku akan puteriku yang hampir sebaya, aku tidak
membolehkan mereka membunuhmu... Ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan
tetapi mengapa engkau sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu
sendiri?”
Berubah wajah
Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari?
Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek
itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas
panjang dan... menangis! Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang
menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.
“Nona, aku
mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar
kepadaku. Andai kata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu
dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai
musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu pihak pejuang
menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan
penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak
mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat
perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga
Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima
pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu.
Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku
kepadamu.”
Lulu
mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia
menangis lagi, lalu menutupi muka dengan kedua tangan dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Tidak...
tidak..., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar
kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang
pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apa lagi setelah menyaksikan
keganasan perwira-perwira Mancu... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga
terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka
bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang.
Biarlah, aku akan melupakan semua itu...”
Lauw-pangcu
terbelalak, menghela napas dan mengeluh, “Aduh, baru sekali ini selama hidupku
bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini
besar! Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku.
Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita
penuh penyesalan selama hidup dari pada kalau engkau menusuk mati aku dengan
pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu... dan engkau tidak mau membalas
dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu,
menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau
sudi...”
Mendengar
ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang
matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah
membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan
berlutut di depan kakek Lauw-pancu, “Ayah...!”
Sepasang
mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia
mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik
jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.
“Anakku...,
engkau anakku..., siapakah namamu?”
“Lulu...”
“Ah, nama
yang bagus! Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sinkang
yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat menakjubkan, hanya ilmu
silatmu yang belum masak. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak
engkau menjadi orang yang lebih lihai dari pada aku sendiri. Akan tetapi aku
heran sekali..., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sinkang
begitu hebat dan... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang
pendeta sekali pun?”
Lulu yang
merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang
ayah, sambil bersandar di dada ‘ayah’ ini menjawab manja, seperti kalau ia
bersikap manja kepada Han Han! “Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri.”
Kembali
Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak anaknya itu dan memandang wajahnya
dengan tajam. “Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah tadi kau katakan
bahwa... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?” Kalimat terakhir ini
diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua
keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.
“Kakak
angkat, Ayah.”
“Ohhh...
jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah
angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga
banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali.”
“Kakakku
adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini...!”
“Ayah, bocah
ini adalah teman si keparat Han Han!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring
disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah
Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah
bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika
dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang
Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.
Melihat Sin
Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya
itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin
Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah
maju, “Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua
orang suhu-ku mungkin karena mereka!”
Melihat
puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin
Lian, menghadang dan berseru. “Lian-ji (Anak Lian), tahan dulu! Dia ini adalah
Adikmu!”
Mendengar
ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan
gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap
menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.
“Apa... apa
artinya ini, Ayah?”
“Aku telah
mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang
dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu... dia adalah
puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku... dan... satu-satunya
jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya..., yang sama sekali tidak
mendendam kepadaku, adalah mengambil dia sebagai anakku sendiri, dan aku
melarang engkau mengganggu adikmu sendiri!”
Wajah Sin
Lian berubah agak pucat dan ia membantah, “Akan tetapi dia... dia dan Han Han
bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai...!”
“Tidak sama
sekali, Enci Lian,” Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang
indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus
itu mengagumkan hati Sin Lian. “Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan
Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan
Kakakku hanyalah karena salah paham belaka.”
“Kakakmu...?”
Sin Lian bertanya, bingung.
Lulu
tersenyum dan wajahnya berseri. “Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku.
Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena
Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu
saja Ayahku dan engkau Cici-ku!”
Pandang mata
penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Ada pun
Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han,
menjadi terkejut dan berseru, “Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah
Han Han. Bocah itu! Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin
Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi
terang.”
Setelah
mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata, “Kasihan sekali kakakku
Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan
menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai.
Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira
murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh
beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai!”
Sin Lian
yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik
angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka,
menjadi tertarik sekali dan berkata, “Ceritakanlah... ceritakan apa yang telah
terjadi sesungguhnya.”
Maka
berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai
dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok, lalu terjadi
pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han
Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu
dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
“Ahhh...!”
Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali
kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh pihak
Mancu. “Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada
para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat
dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.”
“Baik, Ayah.
Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan
ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh
heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku
pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai.”
“Harap
engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enci-ku yang baik. Para pimpinan
Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang
mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.”
“Apa?! Dia
yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang
mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?” Sin Lian terbelalak saking
herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga
Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.
“Memang
Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di
seluruh dunia ini!” kata Lulu dengan bangga. “Dia tidak akan mundur selangkah
pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap
ketua Siauw-lim-pai, biar pun harus mendatangi neraka menghadap Giam-lo-ong
(Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut!”
Berceritalah
dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han
ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok
oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti
Hosiang. Mendengar penuturan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin
terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang
amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah
Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi senyap. Lauw-pangcu termangu penuh
keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.
“Wah,
ceritamu sungguh hebat!” Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas
panjang. “Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku?
Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau
dapat memiliki sinkang dan ginkang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?”
Biar pun Han
Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapa pun
juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya sedang Sin Lian
menjadi cici-nya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia
lalu menjawab.
“Guru kami
adalah pemilik Pulau Es...”
“Heiii!
Pulau Es...?” Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak
hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu!
“Pulau Es
yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?”
Lulu
mengangguk. “Secara kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan
hampir mati setelah mengalami ancaman maut berkali-kali....”
Ia lalu
bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin
Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga mereka mendarat di Pulau
Es, menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar
ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa kemudian dengan susah payah mereka
dapat meninggalkan tempat itu.
Lauw-pangcu
dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona
mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena
pandainya Lulu bercerita sehingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini
seperti menggantungkan pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang
bergerak-gerak manis ketika bercerita.
“Yang
berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah
berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha,
inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian! Pantas saja engkau
lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mukjizat
yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku.”
“Aah, ilmu
yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang
bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku
sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai dari pada aku!”
Sin Lian
makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin
tertarik.
“Sekarang di
manakah... Han Han? Mengapa engkau berpisah darinya?” Pertanyaan ini biasa
saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali.
Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata
Lauw-pangcu yang berpengalaman.
Akan tetapi
karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak
ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan
alisnya yang hitam panjang, “Ahh, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika
kami saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan
Botak, sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis
Muka Kuda!”
“Apa?
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?”
Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat mukanya.
Mereka
mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan kehebatan ilmu
kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang
amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi
Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apa lagi kini dua orang datuk hitam
itu sekaligus maju mengeroyok!
“Mana
mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu?” Suara Sin Lian ini
terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran. Sembilan bagian perasaannya
mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu,
betapa pun lihainya Han Han.
“Tidak,
kakakku tidak akan kalah!” Lulu berkata. “Tidak mungkin Han-ko sampai kalah!
Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu! Akan
tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan
bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu.”
“Lulu,
anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang
anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau
telah memiliki sinkang yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin
sinkang-mu lebih hebat dari pada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum
matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kau
perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu
sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu.
Engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan ilmu silatmu, juga
Enci-mu dapat membantumu. Ada pun tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak
buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih
berhasil dari pada kalau engkau pergi mencari sendiri.”
“Ucapan Ayah
benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak
boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain yang bukan murid
Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu
untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat.”
Dibujuk oleh
ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan
demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin
Lian.
Benar saja,
di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang sudah berpengalaman, Lulu dapat mematangkan
ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sinkang
adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri. Juga ilmu
silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat.
Benar pula
seperti yang diramalkan Lauw-pangcu. Setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah
petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu
memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia
lebih berbahaya dari pada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan dari pada Sin
Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda
dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu asli dari Siauw-lim-pai.
Semenjak
pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu
dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biar
pun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan
mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif
bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di
lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan, di mana ia bersama Sin Lian setiap hari
berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan
antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik
dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah hingga
mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di
samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu
hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Sungai Huang-ho, Lulu
ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri
Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan enci-nya ini, akan tetapi secara cerdik
dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya
kakaknya itu setinggi langit, kegagahannya, ketampanannya, kepandaiannya, dan
kebaikan budinya.
“Di waktu
kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata
melamun, terkenang akan masa lalu.
“Ya, dia
pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah?
Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu
tersenyum. “Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik
budi.”
Wajah Sin
Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku
bersikap galak kepadanya, mana baik budi?”
“Akan
tetapi, dia betul-betul memujimu. Agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci
Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah. Di samping segala kebaikannya hal
ini membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami
kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian
menengok dan memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa
tahu, Adikku?”
“Hi-hik!
Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka
tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar
dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit
kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu
menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit enci-nya. “Tanganmu mencubit aku,
akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih!
Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan
yang betul.”
“Aku sudah
bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san
Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta
kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu
akrab. Pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau
berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang
mendalam.” Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian
yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya
berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia
menyambung.
“Akan
tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah
saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan
bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apa lagi bicara tentang itu!
Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara,
masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu
melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci
angkatnya. “Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku,
kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa
kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia
berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis mana pun juga, biar puteri kaisar
sendiri!”
Dengan wajah
heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan
bertanya, “Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku
telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa
raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan
betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup
Han-koko selamanya.”
Kembali
wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika
bertanya, “Siapa... siapa dia, Adikku?”
Lulu
menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia
menjawab, “Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko,
dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah
pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di
depanku...”
“Aduuhhhh...
Aduuuhhhhh... tobaaat, Enci...!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga
cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin
Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu,
Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada
Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu...!”
Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah kelewat
batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Enci-mu?”
Melihat Sin
Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan
muka di dada yang membusung itu. “Enci Lian, Enci-ku yang baik, masa engkau
tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biar pun aku
tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa
menjadi sungguhan! Atau... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri
bahwa... bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar
isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya tanpa menjawab. Ketika
Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air
mata, Lulu bertanya lirih.
“Salahkah
dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian
menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian... mengangguk! Lulu tersenyum
gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus... bagus...!
Wah, aku girang sekali! Engkau Enci-ku menjadi Soso-ku (Kakak Iparku) sama
saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci... eh, calon Soso yang baik!” Lulu
merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak
mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu.
“Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku
ini. Bahkan di depan Ayahku sekali pun aku tidak akan suka mengaku. Akan
tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biar
pun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan
membalas cintaku. Dan... dan... dia masih belum diketahui berada di mana.
Karena itu, mulai detik ini kuminta jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu
mengangguk. “Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak
akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan
mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”
“Sudahlah,
lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi
saja aku takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang
dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu
berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci
angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa
rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya
untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri
angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati
Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia
berkata.
“Aku merasa
menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu
itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di
dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguh
pun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak
dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguh
pun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini
banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Jangan
khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia
datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...” Lulu melirik
ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin
Lian berubah merah sungguh pun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu.
Cepat-cepat ia bekata, “Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku
pun hendak pergi mencari lima orang suhu-ku dan mengajak mereka mencari Puteri
Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang
membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”
Demikianlah,
dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi,
meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri
dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena
merasa sudah terlalu tua, ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang
sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya.
Semenjak kedua orang puterinya pergi, ia kini tekun bersemedhi bahkan
menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Ada pun Sin
Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka
terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja,
sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar
apakah lima orang suhu-nya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini
saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling
bertemu kembali di lembah Huang-ho.
“Jangan
lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah
ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan
bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus
membantu dan hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci
Lian. Aku pasti akan ada di sana bersama kakakku!”
Sin Lian
merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul
sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat
berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka
berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang enci-nya yang
berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi,
pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri
Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan
tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia
harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.....
**************
Telah lama
kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah
dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke
dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran
para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur
sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan
perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu
merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik
itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi
pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh dari
pada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan
yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian
manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apa lagi tentang hidup dan
mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biar
pun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput!
Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam mala petaka mengancam, dia akan
lolos dari bencana!
Demikianlah
pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat
riwayat hidupnya, sungguh pun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia
tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat dari pada tubuh Kim Cu yang
ringan, ia menimpa air lebih keras dari pada gadis itu. Hal ini adalah karena
selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri
gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan
gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat
sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah
pingsan.
Kebetulan
sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia
jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam
keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya,
akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan.
Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sinkang yang tinggi dan selama
enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan
menahan napas.
Ia
membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua
lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat
jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han
Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek,
berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung,
membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya,
tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa
pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar.
Tangannya
meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut.
Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia
setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama
sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan
air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau
saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga
tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan
air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu
terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam
batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir
di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.
Kiranya
sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di
antara batu gunung yang merupakan goa-goa atau terowongan. Cabang pohon yang
membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap.
Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras
mengalir di bawah gunung karang!
Sampai
setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari
pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan
berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan
terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang
sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di
permukaan air.
Ia membuka
mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan
tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya.
Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak
tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan
nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu
hitam.
“Kim Cu...”
Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras
mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan
besar Kim Cu selamat pula.
“Kim Cu...!”
Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat...!”
“Orang muda
yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan
harap dapat terbebas dari tanganku!”
Han Han yang
kuat menahan dinginnya air karena sinkang-nya, sekarang menggigil mendengar
suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa
dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat
seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya
berkaki satu!
Namun, biar
kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki
tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki
kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan
kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah
tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu
masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan
tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang
dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak
olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan
mata Han Han amat tajam, dia dapat mengenal orang pandai. Akan tetapi pada saat
itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin
bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita
tua itu, ia terkejut dan berkata.
“Maaf,
locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku
sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani datang ke tempat
pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi...
saya... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak
peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba,
sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh
wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar
ke arah kepalanya.
Han Han
masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar
biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr...!”
Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang,
bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi,
pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm,
agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan
ini!”
Sebelum Han
Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan
kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han.
Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!”
Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan
terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe,
tahan...!” Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih
hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han
menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di
belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek
itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah
‘bertemu’ dengan nenek itu.
“Locianpwe...!”
Nenek itu
sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak.
Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan
ke depan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Gerakan ini tentu saja meniru
gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im
Sin-ciang.
“Desssss...!
Aihhhhh...!”
Tubuh nerek
itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han
terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini
masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang
dibuntungi, apa lagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat
lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal
separuh.
Pertemuan
tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya
dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat!
Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka
Kuda Siangkoan Lee?”
Akan tetapi
pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tak terdengar
oleh Han Han yang kepalanya terasa amat pening. “Locianpwe... saya pernah
bertemu dengan locianpwe... di Istana Pulau Es...”
Terdengar
wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah
berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya telah diangkat ke atas, siap
ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau
bilang...? Pulau Es...? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk
membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan
dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau
Es...!”
Tongkat
diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini
melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan
pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia
terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh,
“Beruang Es itu telah mati... mati digigit ular merah...” Dan dia pun roboh
pingsan, terkulai lemas.
“Beruang...
beruang es...? Mati...?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu
perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han
yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali
digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan,
dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan
main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar
biasa...! Kakinya juga buntung sebelah...!” gumamnya ketika tadi melihat betapa
kaki pemuda itu juga buntung sebelah.
Keadaan
pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi
membunuhnya. Pertama, pemuda yang keadaannya sudah lemah ini ternyata sanggup
menangkis pukulan Im-kang-nya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia
merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu
dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Kedua, pemuda itu mengatakan pernah
bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati
digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar
pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini
seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han
Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan
bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah
dicekoki obat selagi pingsan. Teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi.
Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang
duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian.
Melihat
nenek itu Han Han maklum bahwa walau pun tadi ia diserang sampai roboh pingsan,
namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas
pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh
terguling.
“Aduhhh...!”
Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut
dengan sebelah kaki di depan nenek itu.
“Huh,
canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru...
baru beberapa hari, locianpwe.”
Nenek itu
mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya
yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih
memiliki tenaga sedemikian kuatnya.
“Sekarang
lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan
pernah bertemu denganku? Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan
mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe,
saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apa
lagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini
tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau Es secara kebetulan, terbawa
badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat
saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab
milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah
beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat
berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari
pulau itu. Ketika tadi... ataukah kemarin... saya melihat locianpwe di pinggir
sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang
yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana,
patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung
seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah
patung wanita cantik yang... eh, seperti locianpwe...”
“Buntung
kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han
mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu
lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang
terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut
ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi
pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba
nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran
perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah
patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini,
telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk
membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu
menggerakkan tangan hendak menyerang.
Han Han
maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk
tidak menyerah begitu saja kepada siapa pun juga, apa lagi kalau dia hendak
dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biar pun tubuhnya lemah dan rasa
nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela
diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat
peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu
dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa
apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu,
Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khikang
sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa
mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah
perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri ingin
membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe!
Tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya
menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar
tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apa lagi karena locianpwe adalah seorang
anggota keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat
itu harus diserahkan!” Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan
kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria
penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek
yang cepat menyambar dengan tangannya.
“Plakkk...!
Aihhhhh...!”
Tubuh nenek
itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika
melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga
sinkang-nya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si
Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar
pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri
di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka sama-sama
terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan
tenaga sinkang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han
menyaksikan ginkang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu
seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi
betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat
memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu
gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari
menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat
itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh...
Suheng..., Han Ki Koko... (Kanda Han Ki)...!” Nenek itu menekuk lutut kaki
tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han
melongo, apa lagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama
Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan
adiknya, Lulu!
“Kakanda
Han... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang...?
Kalau benar engkau mencinta aku seorang... ahhh, kalau aku tahu... masa aku
akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku...? Aduh,
Han-koko... Han-suheng... betapa kejamnya engkau...!”
Han Han
tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh
ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis
terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila. Satu demi satu surat yang
ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah
surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu,
surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat
betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan
kotor.
Nenek itu
sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan
tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat,
kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka,
seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan
batin.
Han Han
merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih
saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi
sambil berkata.
“Locianpwe,
ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe...
kalau saya tahu... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak
ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...”
Nenek itu
menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada
seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang
matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak
berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan
hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam
laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua
penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya
muncul sebagai akibat salah paham! Dia mencintaku seorang...!
Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat
ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa
amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan
menangis!
“Ahhhhh! Apa
artinya semua ini?” Tiba tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung
karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya.
Ketika ia
mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat
menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya
memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas
lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar
surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu
keluar pondok dan berkata.
“Han-koko,
biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita
bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam
ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar
merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah
surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan
tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini
bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu
memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi
namamu?”
Han Han
masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si
penulis surat sebagai ‘Kanda Han’, nama yang sama benar dengan namanya sungguh
pun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat
itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya
Sie Han, locianpwe.”
“Hmmm, benar
namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin
membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han.
Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau telah
menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sinkang-mu luar
biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan
kepadaku dan... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang
membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Wah-wah! Bu
Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena
maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini
adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di
waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang,
lalu melarikan diri darinya. Setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong
kaki.”
“Bu Ci Goat
sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris
Pulau Es?”
Han Han yang
tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang
disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
“Sudah tahu
bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, tetapi dia masih berani
mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?!” Nenek itu membentak, agaknya marah
karena penasaran.
Mendengar
itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggap
dirinya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk
terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
“Teecu
(Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai,
juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu
dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar
dikeroyok dengan Si Setan Botak sekali pun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat
memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan
atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan
kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak
menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat
mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak
nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah
menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah
menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat
peninggalan suheng-ku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang
sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan
kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang
khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan
kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid
tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah
penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal,
sungguh pun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni
Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka.
Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si
Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es?”
Han Han
terkejut. “Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia
dewa bernama Koai-lojin...”
“Dialah suhu
mu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suheng-ku, adalah penulis
surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh...!”
Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengarlah
baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu.
Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia,
menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama
adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua
adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih
keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Ada pun orang ketiga yang menjadi murid
manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee....”
Sampai di
sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa
betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia
kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari
murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami
bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu
silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat
menandingi kelihaian suci-ku Maya, apa lagi suheng-ku Kam Han Ki. Akhirnya tiba
saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan
Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul,
akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh,
teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es...!”
Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu,
ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang mala petaka yang ditimbulkan
nafsu.
“Syair apa?
Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin
mata memandang mesra
betapa ingin
jari tangan membelai sayang
betapa ingin
hati menjeritkan cinta
Namun Siansu
berkata:
Bebaskan
dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang,
Dunia takkan
pernah tercipta!
Betapa pun
juga, cinta segi tiga tidak membahagiakan!
Menyenangkan
yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan
persaudaraan dilupakan
Akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu, bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Ketika Han
Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu
memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han
yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan
menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh,
seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang
menulis itu, Sie Han, dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati
bercucuran darah. Kasihan Han Ki Suheng!”
“Apakah yang
terjadi di antara Subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan
tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi
menyebut locianpwe melainkan menyebut Subo!
“Apa yang
terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak
perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan
akan tetap menjadi rahasia kami.”
“Ahhhh...!”
Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu
tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan
wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya
merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh
tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi
kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya
Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta,
kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan
kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...”
“Yang mana,
subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali
nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek
buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang
yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi ‘beku’ di luarnya, mungkin
karena penderitaan batin yang hebat.
“Yang kiri,
Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan
dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung
sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh
diri?” Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa
cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang
patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah
agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah,
kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang,
menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi
selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak
pernah mendengar tentang dia... Ahhh, surat-suratnya...” Sepasang mata itu
menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han
termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang
nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa
Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang
terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam,
keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan
manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw
dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki,
keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri!
Dorongan
perasaan membuat Han Han menggerak-gerakkan bibir, hendak berterus terang
memperkenalkan diri. Akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan
pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini.
Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie
tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak
mengaku kepada siapa pun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama
sekali tak bisa dibanggakan.
Nenek itu
kini tersenyum lagi. “Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada lagi yang
mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh
tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia
sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya Suheng yang melanjutkan
sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan
melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang
salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan
sekarang pun Suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa
sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Mungkin juga Suhu, mungkin juga
Suheng!”
“Subo,
apakah... apakah Sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar
dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar
sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu
menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh
jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita
untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih
dengan ilmu silat yang kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang
khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han
tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu
tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung
seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan
orang yang tidak buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu
tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan
kakinya seperti ada per-nya, menotol-notol tanah tanpa mengeluarkan suara dan
tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat
loncatannya.
Dengan susah
payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa
daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, daerah penuh
batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat
tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu
berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga
penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap
tertimpa cahaya matahari.
Setelah Han
Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu
lalu berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang
lebih enam tahun, subo.”
“Apa saja
yang kau pelajari selama itu?”
“Maaf, subo.
Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan
setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu
jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya
kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh,
Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu dengan mereka dan menerima
warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar wanita sakti
Mutiara Hitam, kau tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut
saja mendengar pengakuan Han Han tadi.
Secara
singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang
Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian
menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan
tenaga dan perhatiannya untuk melatih sinkang, sedangkan dalam hal ilmu silat,
biar pun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang
membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya.
Mendengar
ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian
silat, hanya mengandalkan sinkang saja, engkau berani menentang orang-orang
macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan
tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk
orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat
mempelajarinya dengan sempurna. Andai kata sebelum buntung engkau sudah
mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang
buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena
engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum
buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru
setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan
telah memiliki dasar sinkang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali
dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapa pun juga. Nah, sekarang aku
hendak mencoba dulu kekuatan sinkang-mu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku,
akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah
atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sinkang-mu
melawanku.”
Han Han
meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya
ke dalam air sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke
dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika
merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air
telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin
dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti
Im-kang dari gurunya yang lihai.
“Pertahankan
dan lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya
sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat
dicabut kembali!
Han Han
terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia maklum bahwa gurunya
mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya. Ia lalu mengerahkan sinkang-nya,
menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih
Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan
merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api,
kemudian ia memperdalam dan memperkuat sinkang-nya di Pulau Es.
Biar pun
bertahun-tahun melatih diri dengan sinkang, kiranya tingkat Han Han tidak akan
mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid ketiga Bu Kek Siansu ini
kalau tidak terjadi ketidak-wajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam
terkutuk ketika ibu dan enci-nya diperkosa para perwira Mancu itu. Karena ia
dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya
tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan
kekuatan-kekuatan mukjizat.
Air yang
tadinya membeku dan amat dingin itu kini makin lama makin mencair dan hawa
dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah
mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai
mendidih! Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu,
yang terpengaruh sinkang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw
Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini
masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sinkang-nya, mengerahkan Yang-kang
sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh
kulit manusia biasa.
“Lawanlah
yang ini!” serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika
merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat
kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han
Han bahwa gurunya sudah mengubah sinkangnya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun
cepat mengubah sinkang-nya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan
tenaga panas gurunya.
Pertandingan
adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas
dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sinkang yang
tidak lumrah! Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang
kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku
buntung.” Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan... lenyaplah
dia dari atas batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke
depan.
“Aihhhhh...!”
Ia melongo
dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan
gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat
dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke
batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar.
Bayangan
gurunya itu seperti sebuah mainan bola yang dilontarkan kian kemari, dari
sebuah batu melayang ke batu lain, akan tetapi tidak ada sedetik lamanya
hinggap di sebuah batu karena begitu menotolkan kaki turun terus mencelat lagi
ke jurusan lain, kadang-kadang ke belakang, ke depan, ke kiri dan ada kalanya
ke atas. Kecepatannya melebihi gerakan seekor burung walet! Makin dipandang,
makin pening dan berkunang pandang mata Han Han...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment