Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 13
Tiba-tiba
sinar berkelabatan itu lenyap dan gurunya telah berdiri kembali di sampingnya,
di atas batu sambil tersenyum, sedikit pun tidak kelihatan lelah.
“Bagaimana
kau lihat?”
Han Han
menjatuhkan diri berlutut. “Hebat luar biasa... akan tetapi, bagaimana teecu
akan dapat mempelajari ilmu sehebat itu, Subo?”
“Bisa, tentu
saja bisa, apa lagi engkau memiliki kemauan keras dan memiliki sinkang yang
lebih dari cukup.”
“Teecu amat
bodoh, subo. Dua buah kitab dari Suhu dan Subo Siang-mo-kiam yang sudah teecu
hafalkan di luar kepala saja, hanya dapat teecu petik tentang pelajaran
sinkangnya, sedangkan pelajaran ilmu silat pedangnya teecu sama sekali tidak
dapat melatihnya,” kata Han Han menggeleng kepala.
“Karena
engkau belum punya dasar, Han-ji (Anak Han). Akan tetapi setelah engkau
berlatih dengan ilmuku, kelak engkau akan dapat mempelajari ilmu silat yang
bagaimana pun juga. Dengar baik-baik. Ilmu ciptaanku ini kuberi nama Soan-hong-lui-kun
(Ilmu Silat Badai dan Kilat). Aku menciptakannya menjadi gerakan-gerakan kilat
yang berdasarkan ilmu gaya yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh orang buntung
berkaki satu seperti kita. Karena kaki kita buntung dan hanya sebuah, tiap kali
kita bergerak lalu menghentikan gerakan, kita tidak dapat langsung berdiri
tegak seperti orang berkaki utuh. Kita akan terdorong oleh gerakan kita sendiri
sehingga terhuyung ke depan, ke belakang atau ke kanan kiri menurut gerak
dorongan dari mana kita datang, selalu bergoyang-goyang untuk mempertahankan
keseimbangan tubuh. Sebuah bola pun akan lama sekali baru dapat diam, dan
begitu bergerak, bola itu akan bergoyang-goyang ke kanan kiri sampai dapat
keseimbangan baru diam. Nah, gaya inilah yang kupakai sebagai landasan sehingga
terciptalah Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun ini. Ilmu ini hanya dapat dikuasai dan
dirasakan oleh manusia kaki satu, sukar diselami dan dipelajari oleh orang yang
kakinya utuh.”
Han Han
mengangguk-angguk. Pemuda ini memang pada dasarnya sudah memiliki kecerdikan
yang menonjol, apa lagi perubahan mukjizat dalam dirinya membuat ia memiliki
kekuatan otak yang tidak lumrah manusia, maka sekali mendengarkan ia telah
dapat menangkap inti sari yang dimaksudkan oleh penjelasan Khu Siauw Bwee.
“Karena ada
tenaga mendorong oleh gerakan pertama, maka timbullah daya tolak yang dapat
kita pergunakan untuk bergerak lagi, atau menyambung gerakan pertama kita itu.
Gerakan berlandaskan daya tolak ini lebih hebat karena kita dapat meminjam
gerak dorongan ditambah ginkang kita sendiri, maka begitu kita menggunakan daya
tolak untuk melakukan gerakan kedua, gerakan kita akan menjadi lebih cepat.
Gerakan ketiga, keempat dan selanjutnya akan makin cepat. Seperti sebuah bola
karet yang kita ketukkan ke atas lantai dengan tangan, makin lama akan
melambung makin cepat, demikian pula gerak silat dari Soan-hong-lui-kun ini
memiliki kecepatan yang tak terbatas. Karena itu, hal yang paling sukar dan
paling penting dikuasai adalah penggunaan jurus-jurus yang akan menahan gerakan
daya tolak berantai ini. Karena kalau hal ini tidak kau kuasai benar-benar,
engkau akan menjadi permainan dari kekuatan daya tolak berantai itu sehingga
engkau sendiri takkan dapat menghentikan gerakanmu. Akibatnya tentu saja engkau
akan mudah celaka di tangan lawan! Soan-hong-lui-kun ini kubagi menjadi tujuh
puluh dua jurus, dan nanti mulai jurus ke tiga puluh tujuh, separuh dari ilmu
silat ini, engkau akan mulai kulatih dengan penguasaan gerakan yang timbul dari
daya tolak berantai ini.”
Demikianlah,
mulai saat itu Han Han digembleng oleh nenek buntung yang luar biasa itu,
sedikit demi sedikit, sejurus demi sejurus. Han Han memiliki kemauan yang hebat
dan ketekunan yang menakjubkan. Walau pun nenek itu sendiri amat bersemangat
melatih muridnya, ia masih kadang-kadang menggeleng kepala penuh kagum
menyaksikan ketekunan dan keuletan muridnya.
Seperti juga
dalam hal kekuatan sinkang, ia harus mengakui bahwa dalam hal kebulatan tekad
dan besarnya kemauan, ia tidak dapat menandingi muridnya ini! Makin sayanglah
ia kepada Han Han, apa lagi ketika ia minta muridnya itu menceritakan
riwayatnya, ia merasa betapa riwayat hidup muridnya itu malah lebih mengenaskan
dari pada riwayatnya sendiri. Ia melihat munculnya seorang manusia yang lebih
besar dari pada dia, dan bertekad untuk menurunkan semua kepandaiannya kepada
Han Han.
Makin lama
Han Han berlatih di bawah gemblengan Khu Siauw Bwee, makin terbukalah matanya
bahwa sebetulnya, sebelum ia berlatih silat di bawah bimbingan gurunya yang
baru, ia telah mempunyai banyak ilmu, hanya ilmu-ilmu itu terpendam dan hanya
diketahui teorinya belaka. Kini ia mulai dapat melatih semua ilmu yang penah ia
pelajari, bahkan permainan pedang dari kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang
Iblis yang bernama Siang-mo Kiam-sut, yaitu penggabungan dari ilmu Pedang Iblis
Jantan dan Iblis Betina, kini dapat ia mainkan dengan tongkatnya!
Setahun
lamanya Han Han tekun melatih diri dengan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Ketekunannya
sungguh tidak lumrah manusia. Dia tidak peduli akan siang atau malam, pagi mau
pun sore, terus berlatih, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan
lapar, hanya tidur kalau matanya sudah tak mau dibuka, dan hanya mengaso kalau
tubuhnya sudah tidak dapat digerakkannya lagi saking lelahnya. Dengan semangat
dan ketekunan seperti ini, tidaklah mengherankan kalau dalam waktu setahun saja
sudah dapat menguasai ilmu silat itu.
Pada pagi
hari itu tubuhnya sudah tampak berkelebatan dari batu ke batu dan dia sudah
berlatih Ilmu Silat Soan-hong-liu-kun. Tubuhnya yang berkelebatan seperti
hampir tidak tampak karena terlalu cepat. Baru saja tampak di atas batu sini,
tahu-tahu sudah lenyap dan berada di batu sebelah sana, terus bergerak dan
terus berpindah. Cara ia meloncat seperti terbang saja, makin lama makin cepat.
Biar pun dia
sedang berlatih dengan gerakan-gerakan kilat, pandang matanya yang amat tajam
dapat melihat berkelebatnya bayangan yang telah berdiri di atas batu dan
memperhatikan gerakan-gerakannya. Han Han makin bersemangat dan ia mulai
bersilat lagi, mengulang dari jurus pertama sampai jurus terakhir, seluruh
tujuh puluh dua jurus ia mainkan sebaik-baiknya.
Diam-diam
Khu Siauw Bwee kagum dan terkejut bukan main. Pemuda yang menjadi muridnya itu
benar-benar amat luar biasa! Ilmu yang ia ciptakan selama puluhan tahun, kini
dapat dikuasai muridnya dalam waktu setahun saja!
“Bagus,
muridku Han Han! Bagus sekali! Engkau telah berhasil menguasai
Soan-hong-lui-kun hanya dalam waktu setahun! Dengan ilmu ini, kiranya akan
jarang dapat ditemukan orang yang akan mampu menandingimu. Betapa pun juga, di
dunia terdapat banyak orang lihai dan sayanglah kalau semua ilmu yang pernah
kau pelajari teorinya tidak kau latih prakteknya. Karena itu, mulai sekarang
kau latihiah semua ilmu yang kau ketahui, ditambah ilmu silat yang pernah kau
pelalari, agar kau menguasai semua silat tinggi sehingga kelak tidak canggung
menghadapi lawan berat.”
Han Han
berlutut di depan gurunya. “Terima kasih atas semua petunjuk Subo dan teecu
akan mentaati semua perintah Subo.”
Demikianlah,
mulai hari itu Han Han melatih ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah ia pelajari
dari kitab-kitab di Pulau Es, juga Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut ia sempurnakan
latihannya di bawah petunjuk gurunya.
***************
Daerah
Mancuria bagian timur laut adalah menjadi pusat suku bangsa Khitan yang pada
masa itu telah hampir musnah dan masuk menjadi bangsa Mancu yang makin
berkembang dan berkuasa. Banyak di antara keluarga bekas Kerajaan Khitan
menjadi pembesar-pembesar Mancu, dan karena kaum wanita Khitan banyak yang
cantik jelita, maka sebagian besar di antara mereka ini menikah, sebagian besar
secara paksa, dengan para Pangeran Mancu. Betapa pun juga, diam-diam suku
bangsa Khitan, terutama sekali kaum bangsawannya yang masih berdarah keluarga
bekas Kerajaan Khitan, masih memiliki keangkuhan dan mengangkat tinggi derajat
mereka sebagai bangsa Khitan!
Di kaki
Pegunungan Cang-kwang-cai-san, di mana mengalir air Sungai Sungari yang
bersumber dari gunung itu, terdapatlah sebidang tanah pekuburan yang berisi
kuburan keluarga Kerajaan Khitan. Di sini pula dikubur jenazah tokoh-tokoh
besar, bukan hanya besar bagi bangsa Khitan, melainkan juga tokoh-tokoh besar
yang dikenal di dunia kang-ouw.
Di sinilah
terdapat kuburan pendekar-pendekar sakti Suling Emas dan isterinya yang bernama
Yalina, Ratu Khitan. Bahkan di situ pula kuburan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam,
puteri Suling Emas dan Ratu Yalina, di samping kuburan keluarga kerajaan dan
para tokoh terpenting dari Kerajaan Khitan. Akan tetapi, di antara semua
kuburan kuno, yang paling menyeramkan adalah kuburan ayah ibu dan puteri
mereka, yaitu kuburan Suling Emas, Ratu Yalina dan Mutiara Hitam. Hanya kuburan
keluarga Suling Emas inilah yang masih terpelihara baik-baik, sekali pun kini
suku bangsa Khitan telah lenyap dan dilebur menjadi bangsa Mancu.
Sunyi sekali
keadaan di tanah kuburan itu. Tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya kelihatan
gundul dan di mana-mana mulai tampak air membeku keputihan karena musim salju
hampir tiba. Air Sungai Sungari yang mengalir tepat di depan tanah kuburan
kelihatan malas karena hampir membeku oleh hawa dingin. Keadaan amat sunyi,
tidak ada tampak seekor pun burung, seolah-olah alam di sekeliling kuburan ikut
mati seperti mereka yang dikubur di situ. Salju yang mulai terbentuk mengecat
seluruh tempat menjadi keputih-putihan, putih bersih menambah sunyi.
Dilihat
sepintas lalu, semua orang tentu akan mengira bahwa tempat sunyi seperti itu
tidak ada penghuninya. Akan tetapi kadang-kadang tampak asap mengepul dari
genteng pondok yang cukup kokoh dan megah, yang berdiri di antara batu-batu
nisan di tanah kuburan itu. Dan melihat dupa yang selalu berkelap-kelip di
depan bongpai (batu nisan) keluarga Suling Emas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
di situ tidaklah tanpa penghuni seperti orang kira.
Dan
sesungguhnyalah, pondok itu dahulu dibuat oleh keluarga Kerajaan Khitan menjadi
tempat para penjaga tanah kuburan. Bahkan tanah kuburan itu sendiri tidak
selalu sunyi ketika Kerajaan Khitan masih jaya. Akan tetapi, semenjak bangsa
Khitan terdesak dan dilebur menjadi bangsa Mancu yang makin berkuasa sehingga
Kerajaan Khitan pun lenyap, di tempat ini tidak dilakukan penjagaan lagi
seperti dahulu, tidak pula dikunjungi keluarga raja yang berziarah. Bahkan
kuburan itu tentu akan terlantar dan rusak kalau saja tidak muncul seorang
kakek tua bongkok yang menjaga tanah pekuburan keluarga Suling Emas itu.
Semenjak
kakek bongkok ini menjaga di sana, kuburan keluarga Suling Emas menjadi terawat
baik dan tidak pernah sedetik pun kakek itu meninggalkan tanah pekuburan yang
dijaganya dengan penuh kesetiaan. Kakek ini menjadi satu-satunya orang yang tinggal
di daerah dingin bersalju ini, dan asap yang kadang-kadang nampak berkepul
adalah asap dari dapur di kala ia memasak makanan.
Semenjak
kakek bongkok menjaga tanah kuburan itu, tempat itu menjadi tempat angker dan
keramat, ditakuti orang karena kakek bongkok itu ternyata amat galak dan juga
amat lihai sehingga siapa pun yang berani mendatangi tanah kuburan tentu akan
dibunuhnya!
Mula-mula,
begitu mendengar akan runtuhnya suku bangsa Khitan dan tanah kuburan keluarga
Suling Emas itu tidak terjaga lagi oleh tentara Khitan, banyak orang-orang
kang-ouw mencoba datang ke tanah kuburan itu karena mereka mendengar bahwa
pusaka peninggalan keluarga Suling Emas berupa kitab-kitab dan senjata-senjata,
terutama senjata Suling Emas sendiri berupa sebatang suling terbuat dari pada
emas dan sebuah kitab, berada di tempat itu. Mereka ini berusaha untuk
mendapatkan pusaka peninggalan. Akan tetapi banyak sekali tokoh kang-ouw datang
ke tempat itu untuk mengantar nyawa. Banyak yang tewas di tangan kakek bongkok
dan banyak pula yang dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri membawa
luka-luka berat.
Semenjak
itu, tidak ada lagi orang yang berani coba-coba mengganggu kuburan keluarga
Suling Emas, bahkan bangsa Mancu dan suku bangsa lainnya tidak ada yang berani
mendekati tempat itu. Selama puluhan tahun ini, hanya ada dua buah tempat yang
selalu menarik perhatian orang-orang kang-ouw, yaitu Pulau Es, dan kuburan
keluarga Suling Emas. Akan tetapi kedua-duanya amat sukar didatangi.
Yang
pertama, Pulau Es, sungguh pun kabarnya menjadi tempat tinggal Koai-lojin yang
tak mau mengganggu orang, bahkan suka membagi ilmu kepada siapa saja, namun
amat sukar dicari karena tersembunyi di antara pulau-pulau yang banyak terdapat
di utara, di samping sukarnya pelayaran di lautan yang kadang-kadang penuh es
dan salju itu. Yang ke dua adalah tanah kuburan ini yang biar pun lebih mudah
dicari, namun dijaga oleh kakek bongkok yang memiliki kesaktian yang sukar
dilawan dan galaknya melebihi harimau menjaga anak-anaknya!
Akan tetapi,
pada suatu pagi yang cerah, tampak sebuah joli (tandu) yang dipikul dua orang
laki-laki tinggi besar berlari cepat menempuh hujan salju rintik-rintik menuju
ke tanah kuburan di tepi Sungai Sungari. Dari jauh sudah tampak tanah pekuburan
keluarga Suling Emas yang sunyi. Dua orang pemikul tandu itu adalah orang-orang
Mancu yang bertubuh kuat, namun mereka kelihatan lelah dan napas mereka
terengah-engah ketika mereka tiba di tepi sungai, masih agak jauh dari tanah
kuburan.
“Berhenti di
sini!” Terdengar suara nyaring merdu dari dalam joli.
Dua orang
pemanggul joli berhenti dan menurunkan joli. Tirai joli tersingkap dan
tampaklah wajah seorang gadis yang amat cantik jelita, berhidung kecil mancung
dengan dagu meruncing dan sepasang mata lebar terbelalak indah dan bening.
Tubuh yang
ramping itu keluar dan ternyata dia seorang dara jelita yang masih amat muda,
tubuhnya yang ramping berpakaian indah, pakaian seorang Mancu dengan baju
panjang berlengan pendek sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus
sebatas siku. Rambutnya yang hitam panjang dan subur tertutup sebuah topi putih
dari bulu beruang, dan di atas topi terhias sehelai bulu burung, tanda bahwa
dia adalah seorang pemimpin pengawal Kerajaan Mancu. Rambutnya diikat dengan
pita kuning di belakang tengkuk, dan sepasang telinganya terhias anting-anting
emas, demikian pula kedua pergelangan tangannya.
Ketika
turun, dara ini membawa sebatang payung yang gagangnya melengkung dan ujungnya
runcing mengkilap. Dara ini bukan lain adalah Puteri Nirahai, Puteri Mancu yang
amat lihai sehingga dia menjadi pimpinan para pengawal istana! Kalau melihat
mata yang lebar indah, bibir yang tipis merah basah, gerak-geriknya yang lemah
gemulai, takkan ada orang mengira bahwa dia seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
“Kalian
berdua pergilah sembunyi di balik batu gunung itu dan jangan sekali-kali berani
menampakkan diri sebelum kupanggil,” kata pula Nirahai dalam bahasa Mancu
kepada dua orang itu.
Dua orang
tinggi besar itu adalah ahli-ahli petunjuk jalan yang bertubuh kuat dan
memiliki kepandaian tinggi, kakak beradik yang merupakan tokoh-tokoh terkenal
pula di daerah utara ini. Akan tetapi ketika menerima perintah dari ‘Sang
Puteri’ untuk mengantarnya ke pekuburan keluarga Suling Emas, mereka ketakutan
setengah mati dan dengan hati berat mereka terpaksa mengantarkan Nirahai. Kini,
pada saat rasa takut mereka membuat wajah mereka pucat dan napas mereka
terengah, mendengar perintah Nirahai agar mereka bersembunyi, hati mereka lega
dan girang sekali. Setelah memberi hormat mereka berdua lalu melompat dan
bersembunyi di belakang sebuah batu besar, meninggalkan joli di dekat sungai.
Nirahai
bersikap hati-hati dan dia tidak berani lancang menuju ke tanah kuburan. Dengan
bersembunyi di balik sebuah batu yang menonjol di pinggir sungai, ia mengintai
ke arah pondok di tengah kuburan. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba pandang mata
Nirahai yang tajam sekali dapat melihat munculnya sebuah perahu kecil yang
melawan arus air sungai. Karena air sungai yang dingin hampir membeku itu arusnya
lambat sekali, maka perahu itu bergerak cepat, didayung oleh dua pasang tangan
yang kuat. Mereka itu adalah dua orang kakek bertubuh tinggi besar berkulit
hitam. Nirahai tidak mengenal mereka, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka
itu tentu bangsa Mongol Utara, melihat dari pakaian mereka yang tebal terbuat
dari bulu binatang dan cara mereka menggelung rambut mereka.
Diam-diam
Puteri Mancu ini memperhatikan dan ia melihat betapa dua orang Mongol itu
tiba-tiba melompat ke darat, seorang di antara mereka memegang sehelai tali
panjang yang mengikat ujung perahu. Setelah keduanya mendarat dengan sebuah
loncatan cepat dan jauh yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pandai, si pemegang tali menggerakkan tenaganya dan perahu itu seperti dilontarkan
oleh angin menuju ke arah mereka. Kakek kedua mengangkat tangan kiri menyambut
perahu itu dengan mudah, lalu meletakkan perahu ke atas tanah. Melihat gerakan
mereka, Nirahai maklum bahwa kedua orang kakek Mongol itu memiliki tenaga yang
besar.
“Haiiiii...
Setan Bongkok...! Keluarlah! Kami datang menagih hutangmu sepuluh tahun yang
lalu!” Seorang di antara dua orang kakek itu berseru, suaranya nyaring bergema
dan ia menggunakan bahasa Mongol yang dimengerti baik oleh Nirahai.
Suara yang
keras itu menggema sampai lama, kemudian terdengar suara orang batuk-batuk dari
dalam pondok di tengah tanah pekuburan, disusul suara orang yang menggunakan
bahasa Mongol yang kaku.
“Hemmm,
Sepasang Anjing Hitam padang pasir Go-bi! Pergilah sebelum terlambat. Aku tidak
suka mengotorkan tempat suci ini dengan darah kalian. Pergilah!”
Mendengar
suara itu, Nirahai merasa tegang hatinya, jantungnya berdebar. Dia belum pernah
melihat kakek bongkok penjaga tanah kuburan keluarga Suling Emas, akan tetapi
sudah mendengar tentang kakek itu yang kabarnya memiliki kesaktian hebat, galak
dan mati-matian menjaga dan membela kuburan itu. Kini, baru mendengar suaranya
saja sudah menyatakan bahwa kakek itu seorang yang keras, juga tinggi hati,
namun amat menghormati kuburan itu.
Nama Sepasang
Anjing Hitam dari padang pasir Go-bi juga amat terkenal. Dua orang jagoan
Mongol itu merupakan datuk-datuk di daerah padang pasir Go-bi yang amat
disegani sehingga setiap rombongan kafilah yang melalui daerah ini tentu akan
meninggalkan ‘tanda persahabatan’ di depan goa-goa di kaki bukit kecil yang
disebut Bukit Anjing Hitam untuk menghormati dua orang tokoh itu sehingga
rombongan mereka takkan terganggu. Akan tetapi, sekarang kedua orang datuk
padang pasir itu tidak dipandang mata sama sekali oleh penjaga kuburan keluarga
Suling Emas, dan mendengar ucapan kakek dari dalam pondok, jelas bahwa dua
orang Mongol tinggi besar itu pernah dikalahkan sepuluh tahun yang lalu.
“Heh, Si
Bongkok setan tua bangka yang sombong! Selain sombong, engkau pun pelit sekali.
Untuk apakah sekalian pusaka dan kitab peninggalan Keluarga Suling Emas
untukmu? Engkau sudah hampir mampus! Berikan kepada kami sebuah dua buah pusaka
sebagai pengganti nyawamu. Kalau engkau masih pelit, sekali ini kami tidak akan
memberi ampun kepadamu!” Kakek Mongol yang ada tahi lalatnya di ujung hidung
dan bertubuh tinggi besar berkata dengan suara keras. Sedangkan orang kedua
yang lebih tinggi memandang tajam ke arah pondok, siap menghadapi kakek penjaga
kuburan.
Setelah
ucapan itu keluar dari mulut orang Mongol penuh tantangan, keadaan sunyi sekali
dan kemudian terdengar suara....
“Kerrriiittttt...!”
disusul terbukanya pintu pondok.
Suara pintu
terbuka ini memecah kesunyian dan terdengar menyeramkan, seolah-olah yang
terbuka adalah sebuah peti mati. Kemudian muncullah seorang kakek bongkok di
ambang pintu. Setibanya di depan pintu pondok, ia berhenti sebentar dan
mengangkat mukanya.
Nirahai
bergidik ketika melihat betapa sepasang mata tua itu seolah-olah merupakan
sinar yang menerangi tempat-tempat yang dipandang mata itu, bahkan ia merasa
seolah-olah tempat persembunyiannya ketahuan ketika pandang mata kakek bongkok
itu menyapu ke arah batu besar di mana ia bersembunyi. Nirahai cepat-cepat
menarik diri untuk bersembunyi lebih baik, akan tetapi ia mengintai terus.
Kakek itu
sebetulnya bertubuh tinggi, akan tetapi karena di punggungnya terdapat punuk
yang membuat dia tidak dapat berdiri tegak dan membongkok, maka kelihatan
pendek. Pakaiannya serba putih dan sederhana, juga sepatunya berwarna putih.
Pakaian itu potongannya seperti pakaian pelayan, akan tetapi putih dan bersih.
Wajahnya
tampak kurus, alisnya tebal, kumisnya melintang ke kanan kiri dan jenggotnya
menutupi dagu. Baik rambutnya, mau pun rambut yang tumbuh di pelipis menjuntai
ke bawah, sampai kumis dan jenggotnya, sudah hampir putih semua. Dia berdiri
dengan kedua tangan kosong, dan kini perhatiannya ditujukan kepada dua orang
Mongol yang melangkah datang menghampiri kakek bongkok.
Mereka
saling berhadapan, sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling
memandang. Sikap kakek bongkok itu tenang, akan tetapi pandang matanya jelas
membayangkan kemarahan dan juga memandang rendah. Sedangkan dua orang Mongol
itu biar pun memaksa diri bersikap tenang, masih saja kelihatan bahwa mereka
sebetulnya jeri terhadap kakek bongkok itu.
Nirahai
diam-diam merasa heran. Kakek bongkok itu sama sekali tidak kelihatan seperti
seorang sakti, bahkan kelihatan lebih pantas menjadi seorang pelayan tua yang
sudah patut dipensiun! Dara Mancu ini tidak ingat bahwa dia sendiri pun tidak
pantas menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, lebih patut
menjadi seorang puteri yang lemah lembut dan menggairahkan!
“Orang tua,
benar-benarkah engkau mempertahankan semua pusaka itu? Engkau telah mendengar
nama Siang-hek-sin-kauw (Sepasang Anjing Hitan Sakti) yang menjadi sahabat
seluruh orang gagah di utara dan barat! Kami mengulangi permintaan kami sepuluh
tahun yang lalu, hanya ingin meminjam sebuah dua buah kitab peninggalan
Keluarga Suling Emas, meminjam selama beberapa bulan saja, pasti akan kami
kembalikan!” Orang Mongol yang lebih jangkung berkata. Mendengar nadanya, jelas
kini bahwa setelah berhadapan, dua orang Mongol itu bersikap lebih lunak.
“Selagi aku
hidup, tak seorang pun manusia boleh menjamah pusaka-pusaka keluarga majikanku.
Setelah aku mati pun, rohku akan tetap menjaga di sini. Pergilah!”
Ngeri hati
Nirahai mendengar ucapan itu, dan diam-diam gadis ini mencari akal bagaimana ia
dapat berhasil menghadapi kakek bongkok yang galak itu. Ia mengintai terus dan
ingin lebih dulu menyaksikan kelihaian kakek bongkok seperti yang sudah ia
dengar akan tetapi belum pernah ia saksikan.
“Setan
Bongkok keparat! Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak
orang Mongol bertahi lalat di hidung. Bersama adiknya, dia lalu siap untuk
menyerang.
Tubuh yang
bongkok itu makin bongkok, mukanya tunduk, matanya terbuka dan melirik ke atas
sehingga dipandang dari depan, sikap kakek itu seperti seekor lembu marah
memasang tanduk siap menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.
“Kalian yang
akan mati. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup!” jawab kakek itu.
“Setan
Bongkok, sambutlah!” Tiba-tiba orang Mongol yang bertahi lalat di hidungnya
berseru.
Tubuhnya
merendah sampai hampir berjongkok, dan kedua lengannya didorongkan ke depan ke
arah kakek bongkok. Terdengar bunyi tulang berkerotokan dan angin yang kuat
menyambar ke arah kakek bongkok.
Nirahai
terkejut sekali. Ia dapat menduga bahwa pukulan atau dorongan kedua lengan
orang Mongol itu amat lihai, merupakan pukulan tenaga sinkang yang kuat sekali.
Belum pernah ia melihat atau mendengar pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti
sampai mengeluarkan bunyi berkerotokan seperti itu!
Kakek
bongkok kelihatan tercengang juga, akan tetapi dengan tenang sekali tubuhnya
sudah bergerak ke kiri, tahu-tahu tubuhnya sudah miring mengelak dan lengannya
bergerak menangkis, yaitu dengan sambaran angin pukulan menangkis serangan
lawan.
“Hemmm...
bukankah ini Thai-lek-kang...?” Terdengar kakek bongkok berseru heran.
“Setan
Bongkok mampuslah!” bentak lawan ke dua yang bertubuh tinggi.
Tubuh orang
Mongol kedua ini sudah bergerak ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu
tubuh itu berpusing, makin lama makin cepat, sambil berpusingan cepat sekali
tubuh itu menerjang ke arah kakek bongkok. Tubuh orang Mongol itu lenyap, yang
tampak hanya bayangan yang berpusing dan kadang-kadang tampak kaki tangannya
bergerak keluar dari bayangan yang berputar cepat seperti kitiran angin itu!
“Ayaaaaa,
bukankah ini pun ilmu dari Thai-lek Kauw-ong yang disebut Soan-hong-sin-ciang
(Tangan Sakti Angin Badai)?” Kakek bongkok itu berseru kaget dan kembali
tubuhnya bergerak, dan kini Nirahai merasa kagum karena kakek bongkok itu
ternyata dapat bergerak amat lincahnya.
“Ha-ha-ha,
Setan Bongkok. Apa kau kira kami selama sepuluh tahun ini tinggal diam saja?
Ha-ha-ha!” Orang Mongol bertahi lalat di hidung menerjang lagi dengan pukulan
sakti Thai-lek-kang sambil berjongkok, sedangkan adiknya tetap menyerang dengan
ilmu silat yang aneh itu, yaitu sambil memutar-mutar tubuh amat cepatnya.
Sejenak
kakek bongkok itu terdesak dan menghindar ke sana ke mari sambil mengomel,
“Hemmm, Thai-lek Kauw-ong sudah lama mampus, kini ilmu-ilmunya yang jahat
muncul lagi! Kim-siauw Locianpwe (Orang Sakti Suling Emas), maaf, terpaksa
boanpwe (aku yang rendah) mengotorkan pusaka locianpwe!”
Dua orang
Mongol itu sudah merasa girang karena serangan-serangan mereka yang benar-benar
amat luar biasa dan dahsyat itu berhasil mendesak kakek bongkok. Mereka ingin
membunuh penjaga kuburan ini agar mereka dapat menggeledah dan mencari
pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas di tempat itu. Dengan penuh
kepercayaan akan kelihaian ilmu-ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu pukulan
Thai-lek-kang (Tenaga Sakti Halilintar) dan ilmu Silat Soan-hong-sin-ciang,
mereka mendesak lebih keras lagi.
Kedua macam
ilmu ini sebetulnya memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Dahulu
ilmu-ilmu ini dimiliki oleh Thai-lek Kauw-ong yang pernah bertanding melawan
Suling Emas dan dikalahkan, dan semenjak Thai-lek Kauw-ong lenyap dari dunia
persilatan, ilmu-ilmunya pun turut lenyap. Akan tetapi ternyata kini ilmu-ilmu
yang lihai itu telah terjatuh ke tangan Sepasang Anjing Hitam gurun pasir Go-bi
dan begitu melihat ilmu-ilmu ini terus mengenalnya membuktikan pengetahuan yang
luas kakek bongkok yang lihai itu.
Kedua orang
Mongol yang merasa girang karena yakin akan menang itu tiba-tiba mengeluarkan
suara kaget disusul jerit melengking yang keluar dari mulut mereka ketika
berkelebat sinar kuning menyilaukan mata. Tubuh mereka roboh terpelanting dan
ternyata kedua orang Mongol itu telah tewas! Nirahai terbelalak memandang,
penuh kagum. Tangan kiri kakek bongkok itu memegang sebatang suling emas,
sedangkan tangan kanannya memegang sebuah kipas. Itulah sepasang senjata dari
pendekar sakti Suling Emas seperti ia dengar dari dongeng-dongeng lama!
Kakek
bongkok sejenak berdiri memandang dua sosok mayat bekas lawannya, lalu mencium
kipas dan suling bergantian sambil berkata, “Kim-siauw Locianpwe, sampai sekarang
pun senjata-senjata pusaka locianpwe masih terlalu ampuh bagi orang-orang
jahat!”
Setelah
berkata demikian kakek bongkok itu menggerakkan kedua tangan dan lenyaplah
suling dan kipas itu di balik baju pelayannya. Kemudian ia mengempit mayat dua
orang Mongol itu, membawanya ke dekat perahu mereka tadi. Tali tambang perahu
ia gunakan untuk mengikat dua sosok mayat bersama perahunya erat-erat, kemudian
sekali angkat dan melontarkan, perahu dengan dua sosok mayat itu terlempar jauh
ke tengah sungai dan perlahan-lahan perahu itu terbawa arus sungai yang lamban.
Kakek bongkok memandang sejenak, kemudian ia kembali ke depan pondok tempat
pertempuran tadi, menggunakan sepatunya menggosok-gosok sampai bersih tetesan
darah yang mengotori tempat itu.
Melihat kakek
itu menggosok-gosok dan membersihkan tanah yang terkena darah dengan teliti dan
hati-hati sekali, Nirahai memperhatikan dan menjenguk dari balik batu. Kakek
itu berdiri membelakanginya, maka ia berani menjenguk ke luar. Ia tidak tahu
betapa kakek bongkok itu sejak tadi sudah menduga akan kehadirannya dan betapa
kakek itu kini sambil membelakanginya dan menghapus darah dengan sepatu,
sebenarnya memperhatikan belakang penuh selidik.
Tiba-tiba
tubuh kakek bongkok yang membelakanginya itu bergerak melayang ke belakang
seperti seekor burung garuda menyambar kelinci, kakinya menendang dan kedua
tangannya mencengkeram. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang mengintai itu
seorang dara, ia berteriak kaget dan tubuhnya membalik cepat, membuat gerakan
poksai (salto) beberapa kali dan meloncat turun ke atas tanah, memandang dengan
mata terbelalak kepada Nirahai yang berdiri tenang sambil tersenyum. Mata kakek
itu menjelajahi muka dan pakaian Nirahai, kemudian mengerling ke arah joli
kosong yang indah akan tetapi tanpa pemanggul itu.
“Nona, mau
apakah Nona datang ke tempat terlarang ini?” Kakek itu marah sekali melihat ada
orang berani mendatangi tempat yang baginya suci itu, akan tetapi karena
pelanggarnya seorang dara muda, ia menjadi tidak enak untuk bersikap kasar.
Hanya pandang matanya yang bengis.
Nirahai
tersenyum manis. “Orang tua, bukankah engkau penjaga kuburan keluarga pendekar
besar Suling Emas? Aku datang untuk berziarah, untuk bersembahyang di depan
kuburan para pendekar.”
“Hemmm,
sudah bertahun-tahun tempat suci ini menjadi tempat terlarang, mana mungkin
tempat suci ini dikotorkan sembarang orang yang hendak berziarah? Engkau ini
gadis muda berani lancang mendatangi tempat terlarang di sini, siapakah
engkau?”
Nirahai
masih tersenyum, sikapnya sabar akan tetapi sebetulnya matanya ingin sekali
dapat menembus baju kakek itu untuk melihat suling emas yang tadi ia lihat
sekelebatan ketika kakek ini mempergunakannya untuk merobohkan dua orang
Mongol. Suling itulah yang ingin ia dapatkan. Jauh-jauh ia datang dengan susah
payah hanya untuk mendapatkan suling itu. Senjata pusaka dari pendekar sakti
Suling Emas! Dengan pusaka itu, agaknya akan mudah baginya menundukkan
tokoh-tokoh kang-ouw yang masih belum mau tunduk, bahkan yang kini berpusat di
barat, di Secuan, membantu Bu Sam Kwi!
“Kakek yang
baik, aku adalah Puteri Nirahai.”
“Puteri?
Puteri Mancu? Masih ada hubungan apa dengan mendiang Pangeran Dorgan?” Kakek
ini bertanya, alisnya yang banyak putihnya itu berkerut, matanya memandang
tajam.
“Mendiang
Pangeran Dorgan adalah masih Kakekku, Paman Kakekku. Aku adalah puteri Kaisar
yang sekarang.”
Makin tidak
enak hati kakek itu dan terpaksa ia lalu membungkuk dengan sikap hormat. “Ah,
kiranya Paduka ini puteri Kaisar Kang Hsi? Maaf, saya tidak dapat menyambut
Paduka sepantasnya karena tempat ini adalah kuburan, tempat suci. Akan tetapi,
sungguh saya merasa heran, mengapa Paduka hendak berziarah di tanah kuburan
ini? Yang terkubur di sini adalah keluarga Kerajaan Khitan, keluarga pendekar
sakti Suling Emas...”
“Engkau
benar, orang tua. Ayahku, Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu, memang tidak
mempunyai hubungan dengan tanah pekuburan ini. Akan tetapi ketahuilah, Ibuku
adalah seorang puteri Khitan! Ibuku termasuk seorang di antara puteri-puteri
Khitan yang dipersembahkan kepada Kaisar Mancu sehingga biar pun aku puteri
Kaisar Mancu, namun aku pun mempunyai darah keturunan Khitan! Karena itu sudah
sepatutnya kalau aku berziarah dan bersembahyang di depan kuburan suci ini,
Kakek yang baik.”
Kakek
bongkok itu mengerutkan alisnya makin dalam dan ia menggeleng-geleng kepala.
“Kalau Paduka benar puteri Kaisar Mancu, mengapa Paduka datang sendiri tanpa
pengiring? Bagaimana saya dapat membuktikan bahwa Paduka ini puteri Kaisar
Mancu dan keturunan keluarga Kerajaan Khitan?”
Nirahai
tersenyum. “Orang tua, andai kata engkau menjadi seorang keluarga raja, apakah
engkau juga akan suka setiap keluar dari pintu dikawal banyak orang sehingga
gerakanmu tidak bebas, selalu diawasi?”
Kakek
bongkok itu memandang sejenak, tidak menjawab karena ia agaknya bingung dan
tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
“Orang-orang
seperti kita yang sudah biasa bergerak bebas lepas seperti burung di udara dan
seperti ikan di samudera, mana bisa merasa senang kalau selalu dikawal orang?
Itulah sebabnya aku tidak pernah membawa pengawal biar pun aku puteri kaisar.
Memang aku tidak bisa membuktikan bahwa aku puteri kaisar, akan tetapi orang
tua yang baik, aku sungguh seorang yang berdarah Khitan, dan lebih dari pada itu,
akulah yang mewarisi ilmu kepandaian pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang
kuburannya berada di sini pula.”
Kakek itu
mengerutkan keningnya dan memandang tajam. “Harap Paduka tidak main-main. Kalau
yang datang ke sini adalah Sepasang Pedang Iblis, saya tentu tidak akan
ragu-ragu menerima sepasang manusia sinting itu sebagai pewaris ilmu mendiang
Mutiara Hitam. Sudahlah, Nona. Lebih baik lekas Nona panggil dua orang
pemanggul joli Nona dan cepat pergi dari tempat ini. Tempat ini bukanlah tempat
pesiar bagi seorang puteri seperti Nona. Kalau orang lain yang berani datang,
tentu sudah saya bunuh.”
“Hemmm,
seperti yang kau lakukan kepada Sepasang Anjing Hitam dari Go-bi, dua orang
Mongol tadi?” Nirahai mengejek.
“Ahhh,
Paduka melihatnya?”
“Tentu saja.
Sudah kukatakan bahwa aku pun seorang tokoh kang-ouw, bukan seorang puteri
lemah yang doyan pelesir dan pesiar. Aku mewarisi ilmu-ilmu Mutiara Hitam, dan
kedatanganku ke sini untuk merundingkan sesuatu denganmu.”
“Bagaimana
saya dapat yakin bahwa Paduka benar-benar pewaris ilmu mendiang pendekar wanita
perkasa Mutiara Hitam yang mulia?” Kakek itu berkeras tidak mau percaya.
“Crekkk!”
Tangan Nirahai bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menyambar sebatang payung
berujung runcing yang tadi ia taruh di dalam joli, kakinya memasang kuda-kuda
dan ia berkata sambil tersenyum.
“Bukalah
matamu lebar-lebar, orang tua yang keras kepala! Kenalkah engkau dengan senjata
ini?”
“Sebuah
Tiat-mo-kiam...” kata kakek itu. “Bukan merupakan bukti...”
“Memang
bukan, akan tetapi lihat gerakan pedang payung ini!” Nirahai menggerakkan tubuh
dan payungnya, bersilat dengan gerakan lincah dan dari ujung payungnya keluar
angin yang berbunyi bercuitan ketika menyambar ke depan, terus mengitari
sebatang pohon yang sudah kehabisan daun karena dirontokkan hawa dingin dan
tinggal cabang-cabang dan rantingnya saja. Sinar terang ujung payung yang
menyambar-nyambar mengitari pohon tiga kali dan terdengar suara keras ketika
cabang dan ranting pohon itu tumbang semua sehingga pohon itu kini kelihatan
seperti raksasa dibuntungi tangannya.
“Pat-mo
Kiam-hoat...!” Kembali kakek itu berkata.
“Dan engkau
mengenal ini?” Nirahai melakukan gerakan dengan tangan kirinya. Lengan kirinya
bergerak seperti menari, atau lebih tepat lengan yang kecil penuh berkulit
halus itu melenggang-lenggok seperti ular, kemudian dengan telapak tangan
terbuka tiba-tiba ia memukul atau mendorong arah pohon yang sudah buntung
cabang-cabangnya itu.
“Kraaaaakkkkk...
bruuuuukkk...!” Pohon itu tumbang terjebol dengan akar-akarnya!
“Sin-coa-kun...!”
Si Kakek Bongkok memandang terbelalak.
Nirahai
tertawa. “Kakek tua yang keras kepala, engkau tentu tidak akan merasa yakin
benar kalau tidak mengujinya sendiri. Hayo, keluarkan suling emas dan kipas
peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang kau pergunakan untuk membunuh
Sepasang Anjing Hitam tadi, dan hadapi payungku!”
Setelah
berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya yang berujung
runcing. Ujung payung yang seruncing ujung pedang itu tahu-tahu sudah berubah
menjadi sinar menyilaukan yang menusuk ke arah leher kakek bongkok.
“Hemmm...!”
Kakek itu mengeluarkan suara, dan dengan mudahnya miringkan tubuh ke kiri
mengelak.
Akan tetapi
betapa kagetnya ketika tiba-tiba payung itu terbuka dan jari-jari payung yang
terbuat dari pada baja itu menyerangnya didahului sambaran angin yang meniup
ketika payung terbuka tiba-tiba. Inilah serangan yang hebat! Kakek itu biar pun
sudah tua dan bongkok, ternyata masih mampu bergerak cepat dan ia sudah
menggulingkan tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari sambaran jari-jari
payung.
“Lihat
senjata rahasia...!” Nirahai berseru, tangan kirinya bergerak.
“Wir-wir-wir...
ciat-ciat-ciat...!”
Kakek itu
terpaksa bergulingan ke kanan kiri untuk mengelak sambaran sinar hijau dari
jarum-jarum yang menyambar susul-menyusul itu. Ketika melihat sinar hijau dan
mencium bau harum, ia meloncat bangun sambil berseru.
“Siang-tok-ciam...!”
Nirahai
tersenyum ketika melihat kakek itu sudah meloncat sambil mencabut sepasang
senjata pusaka peninggalan Suling Emas itu, yaitu sebuah kipas dipegang di
tangan kanan sedangkan sebatang suling emas dipegang di tangan kiri. Gadis ini
sambil tersenyum memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lututnya
ditekuk sedikit, tubuhnya miring menghadapi kakek itu, mengerling ke kanan,
mulut tersenyum, tangan kanannya yang memegang gagang payung bengkok itu
menodongkan payung ke depan dada, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari
terbuka miring berada di depan muka, ibu jarinya hampir menyentuh hidung.
Dilihat
begitu saja, kuda-kuda dara ini seperti orang yang sedang mengejek dan
mempermainkan lawan, akan tetapi kakek bongkok itu mengenal kuda-kuda dari
Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan diam-diam ia mengkirik. Ilmu
Pedang Delapan Iblis ini adalah ilmu pedang yang amat hebat dan ganas, dan
dahulu menjadi ilmu dari seorang tokoh sakti wanita yang menggemparkan dunia
persilatan yang hanya didengar oleh kakek bongkok itu dari dongeng, yaitu
wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setan Cilik Beracun (Tok-siauw-kwi)
ini bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas (baca cerita Suling Emas) yang
amat lihai ilmunya dan amat ganas sepak terjangnya.
Dan kini
ternyata ilmu yang hebat ini telah terjatuh ke tangan gadis puteri Kaisar Mancu
yang mengaku masih berdarah Khitan ini! Memang hatinya sudah mulai percaya,
keraguannya menipis, apa lagi ketika ia tadi menyaksikan ilmu pukulan tangan
kosong Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti) dan senjata rahasia
Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Wangi). Betapa pun juga, kalau belum mengujinya,
kakek ini masih belum yakin.
“Marilah,
Kakek yang keras kepala! Engkau hendak menguji apakah benar-benar ilmu yang kau
lihat tadi berisi, dan aku pun ingin melihat apakah sepasang senjata yang kau
keluarkan itu benar-benar asli!” Setelah berkata demikian, Nirahai sudah
menerjang maju dengan payungnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang
yang kuat sekali.
“Wuuuttttt,
singgggg...!” Pedang yang berbentuk payung itu menusuk.
“Cringgggg...!”
Suling di tangan kiri kakek itu menangkis ujung pedang payung dan tampak bunga
api berpijar.
Keduanya
tergetar ke belakang. Nirahai memeriksa ujung payungnya dan terkejut melihat
ujung payung yang terbuat dari baja pilihan itu agak lecet! Diam-diam ia memuji
suling emas itu yang ternyata benar-benar sebuah senjata pusaka yang amat
ampuh, sesuai dengan nama pemiliknya dahulu, yaitu Pendekar Suling Emas.
Sudah
menjadi watak kebanyakan ahli silat kalau bertemu lawan tangguh timbul
kegembiraannya. Demikian pula dengan Nirahai. Sudah lama dia tidak bertemu
lawan yang tangguh dan kini bertemu kakek penjaga kuburan keluarga Suling Emas
yang lihai, ia menjadi gembira, dan cepat ia melanjutkan serangannya dengan
tusukan bertubi-tubi, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua
kepandaiannya.
Kakek
bongkok ini dahulunya adalah bekas kacung dari keluarga putera Suling Emas yang
bernama Kam Liong, kakak tiri Mutiara Hitam. Kam Liong inilah yang mewarisi senjata
kipas dan suling ayahnya. Kacung keluarga Kam Liong ini mengabdi sampai tua dan
setelah kuburan keluarga Suling Emas tidak dijaga lagi oleh pengawal-pengawal
Kerajaan Khitan yang sudah runtuh, dia lalu turun gunung di mana ia bertapa
melewatkan hari tuanya, dan menjaga tanah kuburan itu dengan penuh kesetiaan.
Nama bekas
kacungnya yang kini menjadi kakek bongkok itu adalah Gu Toan. Dia seorang buta
huruf akan tetapi berkat kesetiaannya mengabdi keluarga Suling Emas, keluarga
itu menyayanginya dan melatihnya dengan ilmu-ilmu silat keluarga pendekar besar
itu. Gu Toan amat rajin dan tekun. Sungguh pun ia buta huruf dan terhitung
golongan orang yang kurang cerdas otaknya, namun ketekunannya membuat ia dapat
menguasai semua ilmu silat keluarga itu. Akan tetapi tentu saja latihannya
tidak sempurna benar.
Betapa pun
juga, kalau menghadapi lawan dari luar, kakek ini sukar dicari tandingnya. Kini
bertemu dengan Nirahai yang mewarisi ilmu keluarga Suling Emas dan telah
melatihnya dengan sempurna, tentu saja kakek itu terdesak hebat. Ia mengenal
Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan pedang payung, mengenal pula pukulan
Sin-coa-kun yang dilakukan sebagai selingan alam penyerangan Nirahai, akan
tetapi karena dia tidak pernah melatih ilmu-ilmu itu secara mendalam,
menghadapi terjangan Nirahai itu ia menjadi repot sekali.
“Nona,
hentikanlah...!” Tiba-tiba kakek itu mencelat ke belakang dan memandang kagum.
“Paduka benar-benar puteri Kaisar yang amat lihai, dan saya mengakui bahwa
Paduka telah mewarisi ilmu dari Keluarga Suling Emas. Paduka berhak untuk
berziarah dan bersembahyang di kuburan ini. Silakan!”
Nirahai
memanggul senjatanya yang kini hanyalah sebuah payung biasa, sama sekali tidak
tampak seperti sebuah senjata yang ampuh. Dia memandang kakek bongkok itu.
Mulutnya yang selalu tersenyum itu kini kelihatan ditarik keras sehingga
wajahnya yang manis nampak sungguh-sungguh.
“Sebetulnya,
siapakah engkau ini, Kakek yang lihai?”
“Nama saya
Gu Toan dan dahulu saya adalah kacung dari putera Suling Emas. Hanya itu yang
dapat saya ceritakan. Silakan kalau hendak bersembahyang, Nona.”
“Begini,
Kakek Gu. Selain hendak berziarah dan memberi hormat kepada kuburan keluarga
besar ini, aku pun hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu.”
Kakek itu
masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan tubuh membungkuk, kedua
tangan tergantung di kanan kiri pinggang setelah menyimpan kembali sepasang
senjatanya. Kini ia mengangkat muka memandang wajah cantik itu penuh selidik
dan bertanya.
“Permintaan
apakah itu, Nona? Apakah yang dapat saya lakukan untuk Paduka?”
“Engkau
tentu telah tahu bahwa Kerajaan Mancu berhasil menguasai semua daratan di
selatan. Akan tetapi, masih ada daerah di barat yang belum mau tunduk, yaitu
daerah Se-cuan yang dikuasai oleh Bu Sam Kwi. Kedudukan musuh ini amat kuat dan
hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh bantuan orang-orang kang-ouw yang
berilmu tinggi. Kami mengalami kemacetan dan kesulitan untuk menaklukkan daerah
itu, yang merupakan daerah terakhir. Kalau Se-cuan sudah takluk, berarti
seluruh daratan Tiongkok berada di kekuasaan Kerajaan Ceng kita...”
“Bukan
kerajaan kita, Nona. Ingat, saya adalah seorang bangsa Han...”
Nirahai
mengerutkan keningnya. “Hemmm..., apakah engkau anti Mancu dan memihak kepada
Bu Sam Kwi?”
Kakek itu
menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Saya tidak mengenal Bu Sam Kwi,
dan saya tidak peduli akan urusan negara, saya hanya bertugas menjaga kuburan
suci ini. Dahulu, mendiang pendekar sakti Suling Emas menghilangan semua bentuk
permusuhan antar suku bangsa, bahkan Kerajaan Khitan berdarah Han pula. Akan
tetapi sekarang... ah, saya tidak tahu tentang urusan kerajaan. Teruskan,
apakah yang Paduka kehendaki?”
“Kami ingin
menaklukkan Se-cuan tanpa menimbulkan banyak korban di pihak orang-orang gagah
di dunia kang-ouw. Kaisar kami membutuhkan tenaga orang-orang pandai itu, maka
kami ingin menaklukkan mereka tanpa membunuh, bahkan kalau bisa hendak menarik
mereka untuk bekerja sama demi negara dan bangsa seluruhnya. Karena itu,
kedatanganku ke sini untuk minta pinjam senjata pusaka dari mendiang Suling
Emas. Dengan suling sakti milik Suling Emas, kiranya aku akan dapat
mempengaruhi para orang gagah itu untuk menakluk dengan damai. Berikanlah
suling emas itu padaku, Kakek Gu, untuk kupinjam beberapa lamanya. Kalau sudah
selesai tugasku dengan hasil baik, aku bersumpah untuk mengembalikannya
kepadamu.”
“Tidak
mungkin!” Kakek itu berseru. “Pusaka-pusaka itu adalah benda keramat, yang
tidak boleh dibawa pergi oleh siapa pun juga dari sini. Nona sudah menyaksikan
sendiri, terpaksa saya membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi yang hendak merampas
pusaka. Dan entah sudah berapa banyak orang-orang yang tewas di tangan saya
karena menghendaki pusaka-pusaka itu. Harap Nona membuang jauh keinginan itu
dan meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
“Kakek yang
keras kepala! Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan? Engkau tahu sendiri
betapa lihainya Pat-mo Kiam-hoat-ku yang tidak akan dapat kau lawan!” Nirahai
sudah menggerakkan payungnya.
“Srettt!”
Payung yang tadi dipanggulnya itu kini telah menodong dari depan dadanya ke
arah kakek itu.
“Wuuuttttt...
singgggg!” Kipas dan suling emas sudah tercabut keluar oleh kakek itu sambil
berkata, “Nona, memang Pat-mo Kiam-hoat amat hebat. Di dunia ini terdapat dua
ilmu mukjizat yang dimiliki mendiang pendekar sakti Suling Emas, yaitu Lo-hai
San-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Delapan Dewa). Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dulu diciptakan
untuk mengatasi Pat-sian Kiam-hoat, akan tetapi betapa pun juga, ilmu yang
bersih tak mungkin dapat dikalahkan ilmu yang sesat. Dewa yang suci takkan
dapat dikalahkan Iblis yang jahat. Saya tidak akan dapat menyerahkan suling ini
selama nyawaku masih berada di tubuh ini.”
“Bagus!
Engkau memang keras kepala!” Nirahai berseru marah dan payungnya sudah
menerjang hebat.
Akan tetapi
kini kakek itu mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emasnya, dan kipasnya
mainkan ilmu Silat Lo-hai San-hoat yang dahsyat. Angin keras bertiup dari
kebutan kipas, menyambar-nyambar muka Nirahai dan setiap kali gadis ini
terpaksa miringkan muka atau mengelak oleh sambaran kipas, sinar kuning emas
dari suling sudah meluncur, mengarah bagian tubuh berbahaya, disusul dengan
totokan-totokan gagang kipas.
“Aiiih...!”
Nirahai menggunakan ginkang-nya, tubuhnya melesat ke atas dalam usahanya untuk
menghindarkan diri.
Keringat
dingin keluar dari jidatnya, dan gadis ini harus mengakui bahwa kakek bongkok
itu benar-benar lihai sekali. Ia bersilat dengan hati-hati, menggunakan
payungnya sebagai senjata pedang yang menyerang, juga sebagai senjata perisai
yang melindungi tubuh. Pertandingan berlangsung seru sekali. Kakek itu menang
pengalaman dan juga menang ilmu silat, akan tetapi kalah lincah dan kalah dalam
hal perkembangan, taktik dan kecerdikan.
Pertandingan
berlangsung seratus jurus lebih dan diam-diam Nirahai harus mengakui bahwa Ilmu
Pedang Pat-mo Kiam-hoat memang kalah hebat oleh Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat.
Kalau saja kakek itu menguasai ilmunya dengan sempurna, kiranya tadi-tadi ia
sudah dirobohkan lawan.
“Ser-ser-serrr...!”
Nirahai tiba-tiba menyambit dengan jarum-jarumnya.
Karena jarak
di antara mereka dekat, kakek itu terkejut, memutar kipas dan mengebut
jarum-jarum runtuh ke tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nirahai untuk
mengirim tusukan kilat dengan ujung payungnya. Kipas itu terbuka, menangkis dan
tiba-tiba tertutup, kedua gagang kipas menjepit ujung pedang. Nirahai kaget
sekali karena tiba-tiba payungnya tak dapat digerakkan dan tampak sinar kuning
emas berkelebat depan matanya. Tahulah puteri ini bahwa nyawanya terancam suling
yang ampuh itu.
“Plak-plak...!”
Tubuh Nirahai dan tubuh kakek bongkok itu terlempar ke belakang oleh dorongan
telapak tangan yang memiliki tenaga hebat tak tertahankan.
Mereka cepat
meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang membuat mereka terhuyung dan
memandang ke depan. Nirahai terbelalak heran melihat bahwa di situ telah
berdiri seorang nenek yang masih memiliki wajah cantik sekali, pakaiannya pun
indah dan bersih berdiri dengan sikap agung melebihi keagungan permaisuri
kaisar sendiri.
“Ya Tuhan...
be... benarkah Paduka ini...?” Kakek bongkok bergoyang-goyang tubuhnya, matanya
terbelalak, wajahnya pucat seolah-olah ia melihat setan di tengah hari.
“Gu Toan,
apakah matamu telah menjadi lamur karena usia tua dan tidak mengenal aku?”
Wanita itu berkata, suaranya dingin melebihi salju.
“Benarkah...
benarkah Paduka ini... Maya-siocia (Nona Maya)...?”
Nenek itu
tersenyum, bukan dengan mulutnya melainkan dengan matanya. Mata yang amat indah
dan sama sekali tidak membayangkan usia tua. “Gu Toan, biar sudah menjadi kakek
tua, engkau masih bodoh. Masa aku yang sudah jadi nenek-nenek kau sebut siocia?
Sungguh pun aku selamanya tidak pernah menikah dan masih seorang Nona, akan
tetapi Nona tua...” Ucapan terakhir ini terdengar bernada duka sehingga Nirahai
menjadi heran.
“Ahhh...
ampunkan hamba...” Kakek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Hamba kira... hamba dengar bahwa Paduka...” Ia tidak berani melanjutkan.
“Kau kira
aku sudah mati?” Nenek itu melanjutkan dan melihat kakek bongkok yang berlutut
itu mengangguk, ia menghela napas panjang. “Memang sudah mati..., apakah
bedanya dengan mati kalau batin ini sudah kosong dan semangat ini sudah padam?
Hanya tubuh yang tak tahu diri ini yang masih belum juga mau mati...”
Ucapan ini
terdengar perlahan kemudian tiba-tiba ia sadar dan melanjutkan dengan suara
halus namun amat dingin dan penuh wibawa, “Eh, Gu Toan, aku melihat engkau
sampai menggunakan sepasang pusaka keramat dan mainkan ilmu simpanan melawan
gadis ini. Siapakah dia?” Ia bertanya kepada Gu Toan akan tetapi menoleh kepada
Nirahai dan sejenak ia terpesona melihat wajah Nirahai, karena ia seakan-akan
melihat bayangannya sendiri dalam air yang jernih.
“Kau... kau
seorang gadis Khitan...?”
Nirahai yang
sejak tadi masih memandang dengan hati tegang dan heran menggangguk tanpa
mengalihkan pandang matanya. Ia dapat mengenal orang sakti, yang sekali
bergerak dapat membuat dia dan kakek bongkok terpental ke belakang. “Saya
seorang dara Mancu yang berdarah Khitan pula.”
“Dia adalah
puteri Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu,” Kakek bongkok itu menerangkan,
“akan tetapi berdarah Khitan dan telah mewarisi Pat-mo Kiam-hoat,
Sin-coa-kun-hoat dan Siang-tok-ciam. Datang ke sini untuk meminjam suling emas
guna menaklukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang membantu Bu Sam Kwi yang belum mau
takluk kepada Kerajaan Ceng. Terpaksa hamba menolak dan kami bertempur...”
Nenek itu
masih memandang Nirahai penuh selidik. Mendadak tangan kanannya bergerak ke
depan. Nirahai tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi ia terkejut sekali
karena tahu-tahu tangan itu telah meraih ke arah payung yang dipegangnya. Tentu
saja ia cepat menggerakkan payungnya untuk mengelak, akan tetapi payungnya itu
tiba-tiba saja terlepas dari tangannya, seolah-olah payungnya berubah menjadi
seekor burung yang amat kuat dan yang terbang melepaskan diri dari tangannya.
Saat ia memandang, ternyata nenek itu telah memegang payungnya dan
memeriksanya, membuka menutup dan mencobanya dengan beberapa gerakan menusuk.
Nenek itu mengangguk-angguk dan berkata.
“Lumayan
juga senjata ini. Sudah memiliki senjata seperti ini, sudah memiliki ilmu-ilmu
ampuh peninggalan Keluarga Suling Emas, mengapa masih ingin meminjam suling
emas?” Pertanyaan ini bagaikan ujung pedang ditodongkan di depan dada Nirahai
yang masih belum kehilangan kaget dan herannya menyaksikan betapa dengan
mudahnya nenek itu merampas senjatanya!
Karena
maklum bahwa nenek ini amat sakti, dan tahu pula bahwa kalau ia salah jawab dan
nenek itu menghendaki, sekali pukul saja ia akan tewas dan ia tidak akan dapat
melindungi dirinya dari tangan nenek yang luar biasa ini. Maka Nirahai yang
cerdik dan juga yang merasa amat kagum segera menjatuhkan diri berlutut di
depan nenek itu, seperti kakek bongkok, dan berkata.
“Mohon maaf
sebanyaknya kepada locianpwe kalau teecu bersalah dalam hal ini. Sesungguhnya
teecu secara terpaksa sekali mohon pinjam suling emas itu, karena tugas teecu
sebagai pimpinan pasukan pengawal yang bertugas menandingi tokoh-tokoh kang-ouw
yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng dan membantu pemberontak Bu Sam Kwi.
Kerajaan Ceng menghendaki agar orang-orang gagah itu ditaklukkan dengan jalan
damai, karena untuk membangun negara yang banyak menderita karena perang,
pemerintah membutuhkan bantuan orang-orang gagah itu...”
“Maka
sedapat mungkin, penaklukan Se-cuan akan dilakukan tanpa menimbulkan banyak
korban di antara orang-orang gagah yang membelanya. Untuk keperluan itulah maka
teecu terpaksa mohon pinjam suling keramat, karena senjata pusaka itu amat
besar pengaruhnya terhadap para tokoh kang-ouw yang tentu akan menjunjungi
tinggi senjata peninggalan Pendekar Suling Emas dan akan suka berdamai dan
menakluk. Bukan sekali-kali teecu hendak memusuhi Kakek Gu, akan tetapi karena
dia kukuh tidak mau memberikan, dan teecu terpaksa didorong tugas, maka
terjadilah bentrokan tadi... baiknya locianpwe melerai, karena kalau tidak
tentu teecu sudah menjadi korban kekerasan Kakek itu.”
“Hemmm...
hemmm...” beberapa kali nenek itu menggumam dan memandang lebih teliti, kini
matanya yang indah menyinarkan rasa kagum dan suka, akan tetapi mulutnya yang
dulu di waktu mudanya tentu menggairahkan itu masih saja membayangkan sifat
dingin mengejek dan memandang rendah dunia ini.
“Engkau
masih muda sekali, cantik jelita dan jelas membayangkan darah Khitan di tubuhmu
yang ramping padat. Ilmu kepandaianmu sudah lumayan dan kiranya di dunia ramai
agak sukar mencari tandingan. Senjatamu pun baik, tanda bahwa engkau dapat
menyelami kitab-kitab peninggalan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dengan
sempurna. Bicaramu lancar dan dapat melihat gelagat, tanda bahwa engkau pun
memiliki kecerdikan yang mengagumkan. Eh, Puteri yang manis, siapakah namamu?”
Hati Nirahai
girang sekali mendengar suara nenek itu dan besar kemungkinan ia akan berhasil
meminjam suling emas. “Nama teecu Nirahai, locianpwe.”
“Engkau
puteri Kaisar Mancu yang sekarang?” Ia berhenti sebentar lalu menyambung,
“Pangeran Dorgan itu apamukah?”
“Benar,
locianpwe, teecu puteri Kaisar yang terlahir dari selir. Ibuku adalah Puteri
Khitan, masih gadis telah menjadi selir Pangeran yang sekarang menjadi kaisar.
Mendiang Pangeran Dorgan adalah Paman Kakekku. Karena itu, biar pun sudah amat
jauh, darah Ibuku sedikitnya masih ada keturunan dari Kerajaan Khitan, dan
pendekar sakti Mutiara Hitam masih Nenek Buyutku...”
“Hemmm,
semua manusia di dunia ini kalau ditelusur, tentu masih ada hubungan keluarga.
Tahukah engkau bahwa Mutiara Hitam itu adalah Bibiku sendiri, Bibi Luar?
Saudara kembarnya yang menjadi Kaisar Khitan adalah Paman Luarku...”
“Ohhh...
harap maafkan, locianpwe, karena teecu tidak tahu maka bersikap kurang hormat.”
“Sudahlah,
tak perlu banyak peradatan, kita tidak dapat membanggakan keturunan Khitan yang
sudah ambruk! Engkau masih lebih beruntung karena keturunan Kaisar Mancu yang
kini berkembang dan mulai jaya. Sekarang ceritakan keadaan kerajaan dan
gerakannya ke selatan. Aku sudah mendengar hal itu dan karena tertarik melihat
kejayaan Mancu, aku sampai keluar dari tempat pertapanku. Kebetulan bertemu
dengan engkau seorang puteri Kaisar sendiri yang memimpin pasukan pengawal.
Nah, ceritakan!”
Nirahai
girang bukan main. Dengan gaya bicaranya yang lancar ia lalu menceritakan
keadaan pemerintah Mancu yang dapat menaklukkan daerah selatan dengan mudah,
akan tetapi kini menghadapi kesulitan karena Se-cuan yang dipimpin Bu Sam Kwi
masih belum dapat ditaklukkan.
“Akan tetapi
teecu percaya,” Nirahai menutup penuturannya, “kalau teecu di-perbolehkan
meminjam suling emas, teecu akan dapat mempengaruhi para tokoh kang-ouw yang
membela Bu Sam Kwi. Teecu kira, partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai,
Hoa-san-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain, yang sekarang belum mau membantu
Ceng, tentu akan tunduk kalau melihat bahwa teecu mendapat kehormatan memiliki
suling keramat peninggalan Suling Emas yang mereka junjung tinggi.”
Nenek itu
mengangguk-angguk, dan tiba-tiba ia bertanya kepada kakek bongkok, “Eh, Gu
Toan, kau lihat baik-baik bocah ini dan katakan, wajah dan bentuk tubuhnya
seperti siapakah enam puluhan tahun yang lalu?”
Kakek itu
memandang Nirahai dan berkata, “Tadi pun ketika pertama kali dia muncul, hamba
sudah kaget dan teringat betapa serupa puteri ini dengan Paduka dahulu. Seperti
buah pinang dibelah dua!”
Nenek itu
menghela napas. “Benar, akan tetapi betapa buruk nasibku. Ahhh, kuharap saja
engkau yang memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti aku, tidak akan mengalami
nasib seburuk nasibku, Puteri Nirahai!” Ketika Nirahai memandang, nenek itu
sejenak kehilangan sifat dingin yang membayang di wajahnya, terganti sinar
kedukaan yang mendalam. Memang nenek itu sedang mengenang semua pengalamannya
puluhan tahun yang lalu, di waktu ia masih muda, semuda Nirahai.
"Gu
Toan, gadis ini benar. Kau boleh meminjamkan suling itu untuk selama tiga
tahun. Akulah yang kelak bertanggung jawab kalau dia tidak mengembalikannya
dalam waktu tiga tahun!"
“Kalau
Paduka yang memerintah, hamba tidak akan membantah,” jawab Kakek itu, yang
mengeluarkan suling emas dan menyerahkannya kepada Nirahai.
Puteri ini
girang sekali, menerima suling kemudian berlutut di depan nenek itu. “Teecu
haturkan terima kasih, locianpwe. Dan teecu bersumpah untuk mengembalikan
pusaka ini selambat-lambatnya tiga tahun. Kakek Gu, terima kasih dan maafkan
kekasaranku tadi.”
Kakek itu
hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.
“Teecu mohon
diri, hendak kembali ke selatan,” Nirahai berkata.
“Nanti dulu,
Nirahai, aku masih sangsi apakah suling itu akan membawa hasil. Orang-orang
kang-ouw mempunyai watak yang aneh. Sekali mereka itu mengambil keputusan untuk
berjuang, mereka melupakan apa saja dan kiranya belum tentu mereka mau
memandang suling itu untuk menghentikan perjuangan mereka. Sebaiknya kalau di
samping mencari jalan damai, engkau pun dapat menundukkan mereka dengan
kepandaian. Apakah engkau akan mampu menggunakan suling itu untuk menundukkan
mereka dengan ilmu silatmu? Dapatkah engkau mainkan suling itu?”
Wajah
Nirahai menjadi merah. “Teecu seorang bodoh, dan jika teecu mainkan suling
pusaka ini dengan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat, kiranya tidak lebih hebat dari
pada kalau teecu menggunakan pedang payung.”
“Hemmm tidak
baik kalau begitu. Eh, Nirahai, bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”
Tawaran ini
tentu saja diterima dengan hati girang luar biasa oleh Nirahai. “Teecu akan
merasa bahagia sekali dapat menerima petunjuk locianpwe.”
“Bagus!
Engkau kuambil murid, Nirahai. Dan tempat di sini cukup baik bagiku untuk
menggemblengmu beberapa lama agar engkau dapat menggunakan suling itu tidak
saja untuk mempengaruhi mereka, akan tetapi kalau perlu untuk mengalahkan dan
menaklukkan mereka.”
Kening
Nirahai berkerut. “Teecu akan suka sekali tinggal di sini mempelajari ilmu dari
locianpwe, berapa lama pun. Akan tetapi, pada waktu ini teecu mempunyai tugas.
Sebagai puteri Kaisar, bagaimana teecu dapat lari dari tugas? Selama pemerintah
masih membutuhkan tenaga teecu, tak mungkin teecu meninggalkan kerajaan untuk waktu
lama. Kalau locianpwe sudi, bagaimana kalau locianpwe saja yang ikut bersama
teecu ke kota raja dan mengajar teecu di sana? Teecu percaya bahwa Ayahanda
Kaisar akan menerima locianpwe dengan segala kehormatan dan rasa bangga di
hati.”
Nenek itu
mengangguk-angguk dan mempertimbangkan kata-kata muridnya. “Dahulu Pangeran
Dorgan pernah bertemu denganku. Ayahmu tentu hanya mendengar saja namaku, akan
tetapi belum pernah bertemu denganku. Baiklah, aku pun ingin sekali menyaksikan
dari dekat kemajuan usaha bangsa Mancu yang mengagumkan itu, yang tak pernah
dicapai oleh bangsa Khitan. Mari kita berangkat, muridku.”
Nirahai
girang sekali. “Harap Subo sudi menunggang joli, biar teecu yang mengiringkan.”
Nirahai
bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pemikul joli berlarian ke
tempat itu.
Tanpa
sungkan-sungkan lagi nenek itu yang dahulu terkenal sebagai Puteri Maya itu
masuk ke dalam joli yang segera digotong oleh dua pemikulnya atas perintah
Nirahai. Dua orang itu merasa heran bukan main mengapa nenek itu amat ringan,
seolah-olah joli itu kosong saja! Nirahai lalu menjura kepada kakek bongkok
sebagai penghormatan perpisahan, kemudian mengikuti joli yang diduduki gurunya
dengan hati girang bukan main. Suling emas ia selipkan di pinggang, di sebelah
dalam bajunya. Sungguh ia amat beruntung, pikirnya. Tidak saja dapat meminjam
suling emas itu, bahkan ia telah bertemu dengan seorang nenek sakti luar biasa
yang menjadi gurunya!
Setelah
melalui perbatasan utara dan bertemu dengan dusun, Nirahai membeli seekor kuda.
Kini ia mengikuti joli gurunya yang telah diganti orang lain pemikulnya, yaitu
diambil dari dua orang penjaga perbatasan yang kuat.
Gurunya itu
amat pendiam, kalau sudah duduk di dalam joli bersila seperti arca, tidak
pernah bicara, tidak pernah menjenguk keluar sehingga diam-diam Nirahai merasa
kasihan. Untuk menyenangkan hati gurunya, sepanjang jalan Nirahai berusaha
untuk menghidangkan masakan-masakan lezat dan menyediakan segala kebutuhan
nenek itu. Akan tetapi nenek itu menerima itu dengan sikap dingin.
Pada suatu
pagi mereka tiba di luar kota raja. Tembok kota raja sudah tampak dari tempat
yang agak tinggi sebelah utara itu dan hati menjadi girang sekali. Sudah
beberapa lamanya ia meninggalkan kota raja, akan tetapi perjalanannya yang
memakan waktu lama dan amat jauh itu ternyata tidak sia-sia belaka, bahkan
hasilnya boleh dibilang melampaui semua harapannya.
Ketika
kudanya berjalan perlahan mengiringkan joli yang dipikul oleh dua orang
pemikulnya yang semenjak meninggalkan kuburan keluarga Suling Emas telah
berganti sampai sepuluh kali itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda
berjalan tergesa-gesa dari depan, agaknya baru saja wanita itu meninggalkan
gerbang pintu kota raja sebelah utara.
Gadis itu
amat cantik, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan tajam sinarnya,
juga wajah yang lonjong dengan dagu meruncing ini menarik sekali perhatian
Nirahai. Sepintas lalu saja ia tahu bahwa gadis itu tentulah mempunyai darah
Mancu dan betapa besar persamaan gadis cantik itu dengan dia sendiri. Mungkin
dia lebih jangkung sedikit, akan tetapi perawakan gadis itu pun ramping, dan
wajahnya yang manis itu hampir sama dengan wajahnya sendiri.
Gadis itu
pun berdiri sambil memandangnya dengan sinar mata tajam menyelidik. Agaknya
gadis itu heran melihat dia memanggul sebuah payung, bahkan ketika rombongannya
yang terdiri dari dua orang pemikul joli dan kuda yang ditungganginya lewat,
gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berdiri di pinggir jalan memandang
bengong.
Nirahai
tidak mempedulikannya lagi saking girang hatinya sudah hampir tiba di kota
raja. Akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan nyaring, “Heiii, berhenti
dulu...!”
Nirahai
menahan kudanya dan menoleh. Kiranya gadis manis tadi kini datang berlari-lari dan
meloncat ke depan kudanya, seolah-olah hendak menghadangnya. Nirahai tersenyum,
kagum setelah kini dekat melihat betapa gadis ini benar-benar cantik jelita,
dengan kulit muka yang halus dan berwarna putih kemerahan, sepasang mata yang
begitu indah seperti bintang pagi.
“Eh, ada
keperluan apakah engkau menghentikan aku?” Nirahai tidak menjadi marah. Biar
pun dia seorang puteri kaisar, namun sama sekali Nirahai tidak gila hormat. Apa
lagi ia maklum bahwa gadis ini tentu belum mengenalnya, maka sikapnya yang
kasar itu pun boleh dimaafkan. Sifat ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaannya
merantau di dunia kang-ouw sehingga sifatnya terlepas dan ia tidak begitu
mementingkan kedudukan dan kehormatan sebagai seorang puteri bangsawan tinggi.
Gadis itu
bukan lain adalah Lulu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu
meninggalkan lembah Sungai Huang-ho di mana selama setahun ia melatih diri
dengan ilmu silatnya, di bawah petunjuk Lauw-pangcu dan terutama sekali Sin
Lian yang telah menjadi kakak angkatnya.
Dia pergi
menuju ke kota raja dan karena ia maklum bahwa keadaannya di kota raja
berbahaya, biar pun di situ ia menyamar sebagai pria, dan ketika ia tidak
berhasil mendapatkan jejak kakaknya, ia lalu keluar dari kota raja melalui
pintu gerbang utara. Dia baru saja datang dari selatan dan tidak pernah
mendengar tentang Han Han, maka sebaiknya kini melanjutkan usahanya mencari
jejak Han Han ke hutan. Akan tetapi baru saja keluar dari pintu gerbang, ia
bertemu dengan Nirahai yang menunggang kuda.
Melihat Puteri
Mancu yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, Lulu tertarik sekali maka ia
memandang penuh perhatian. Akan tetapi ketika ia melihat payung yang dipegang
Nirahai, ia teringat akan cerita para tokoh Hoa-san-pai di Pek-eng-piauwkiok
tentang seorang Puteri Mancu amat lihai bernama Puteri Nirahai yang bersenjata
payung, teringat akan cerita tentang Teng Lok tokoh Hoa-san-pai yang dalam
penyelidikannya bertemu dengan puteri Kaisar Mancu bersenjata payung yang telah
membuntungi lengan orang she Teng itu. Puteri Mancu bernama Nirahai yang telah
mengadu domba tokoh Hoa-san-pai dengan tokoh Siauw-lim-pai sehingga akibatnya,
Han Han yang difitnah dan menjadi korban, dimusuhi kedua pihak.
“Apakah
namamu Nirahai?”
Nirahai
membelalakkan matanya dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu
begitu tiba-tiba, begitu sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat. Pertanyaan
dengan sikap paling kurang ajar yang pernah ia alami selama hidupnya! Ia tidak
marah, bahkan tersenyum memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk,
ingin mendengar suara gadis itu lebih banyak. Suara gadis itu merdu dan
nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan kejujuran dan kepolosan yang
mengharukan.
“Jadi
engkaukah yang bernama Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang
di antara Siauw-lim Chit-kiam, bukan?”
Kalau ia
menghadapi pertanyaan seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai
akan menjadi terkejut dan berhati-hati. Akan tetapi menerima pertanyaan begitu
langsung dari mulut yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai
untuk membohong lagi.
“Bagaimanna
engkau bisa tahu?”
“Hemmm,
payungmu itu adalah senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali... jahat
sekali dan aku harus membunuhmu!”
Kembali hati
Nirahai merasa geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan
oleh seorang tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan
hendak membunuhnya.
“Eh, sabar
dulu. Engkau siapakah?”
“Aku Lulu.
Perbuatanmu yang curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita.
Engkau cantik sekali, sayang... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau
jahat!”
“Nirahai,
siapakah bocah ini?” Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua
pemikul joli masih menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri
seperti patung. Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek
itu turun, akan tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di
antara mereka menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa
mereka menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli.
Lulu
menengok, memandang nenek itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula
memandang Nirahai yang kini telah meloncat turun dari kuda. “Ah, aku pernah
bertemu denganmu...! Engkau ini penghuni Pulau Es... ya benar...!” Lulu
menudingkan telunjuknya ke arah Nirahai.
“Apa?! Pulau
Es...? Kau gila agaknya...!” Nirahai menjawab.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara angin dan Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah
dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan tubuh Lulu menghadapinya sambil
membentak.
“Apa
maksudmu? Penghuni Pulau Es? Hayo katakan apa yang kau maksudkan!”
“Lepaskan
tanganmu! Jangan kau cengkeram pundakku! Nenek jahat engkau...!” Lulu berteriak
meronta-ronta, akan tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah
telah melekat di pundaknya!
“Lepaskan...!
Kalau tidak...”
“Hem, bocah
liar. Kalau tidak engkau mau apa?” Nenek itu berkata.
“Kupukul
mampus kau!”
Diam-diam
nenek itu kagum sekali melihat keberanian Lulu, maka ia menjawab, “Mau pukul?
Boleh, pukullah!”
Karena Lulu
dapat menduga bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat,
terpaksa harus ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu
amat lihai. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke
arah perut dan dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang
sudah ia latih dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sinkang-nya
yang ia dapat ketika berlatih di Pulau Es.
“Desss!
Desssss!”
Lulu
menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air,
akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk
dengan seribu batang jarum! Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu,
matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.
“Itulah
Hong-in-bun-hoat...! Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sinkang-mu itu...
apakah Swat-im Sin-ciang?”
Lulu masih
meringis kesakitan, akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu.
“Ternyata engkau memiliki ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan.
Apa itu Hong-in-bun-hoat? Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu
ilmu-ilmu itu. Aku hanya belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di
antara kalian ini yang kulihat patungnya di Pulau Es? Tubuhnya seperti dia...”
Ia menuding Nirahai. “Akan tetapi matanya seperti matamu!” Ia melihat nenek
itu. “Akan tetapi yang mana pun juga di antara kalian, semuanya jahat, memang
di antara mereka bertiga di Pulau Es itu, yang satu itu paling jahat...!”
“Apa kau
bilang...? Apa kau bilang...?” Nenek itu berkata dengan suara lirih gemetar,
tubuhnya terhuyung.
“Subo...!”
Nirahai meloncat, mendekati nenek itu.
Akan tetapi
dengan tangannya nenek itu menolak Nirahai yang hendak menolongnya, kemudian
setelah menghela napas tiga kali ia dapat menguasai hatinya. Sekali melangkah
ia telah menggerakkan tangan menangkap tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak
sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan
pandangan matanya. Ia hendak meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika
nenek itu memijat-mijat kedua tangannya yang membengkak merah.
Lulu juga
seorang yang cerdik dan ia mengerti bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang
patungnya ia lihat di Pulau Es. Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek
ini, teringatlah ia akan patung itu, hanya karena patung itu cantik dan muda
seperti Nirahai, maka ia mengira bahwa Nirahai-lah orangnya yang patungnya ia
lihat di sana. Kini ia mengerti bahwa biar pun ada persamaan dengan patung itu
dan Nirahai, akan tetapi sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini
di waktu muda.
Dan ia pun
dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan keharuan
besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak tentang
Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua tangannya
yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek. Kalau tidak mempunyai maksud
demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya! Ia harus
bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan ditotok
dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan tetapi dia
sudah memutar otak mencari akal.
“Siapakah
namamu?” Nenek itu bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang
tajam.
“Namaku
Lulu.”
“Engkau
gadis Mancu?” Kini nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu.
Lulu
menjawab dalam bahasa Han, “Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka
berbahasa Han.”
Nenek itu
mengerutkan alisnya, “Hmmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa
bicara tentang Pulau Es.”
“Aku tidak
mau bicara!”
Nenek itu
membelalakkan matanya dan dari mata yang lebar itu memancar -kebengisan yang
membuat bulu tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang
memiliki keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa
berkedip. Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun
tajam, bening dan polos.
“Kalau aku
paksa padamu, kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau
bercerita?”
Tiba-tiba
Lulu tertawa, suara ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah
terdengar merdu nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum,
bahkan Nirahai juga tersenyum lebar. “Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah
Mancu yang diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah
lama kau kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini.”
“Hemmm, jadi
Ouwyang Seng manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat,
kaki tanganmu pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si
Setan Botak dan Si Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm... cocok
sekali!”
Nirahai
terkejut. “Aihhh, engkau tahu...?”
“Tentu tahu!
Malah aku telah ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan
pelayan istana. Akan tetapi aku lari dari istana...”
Nirahai
tertawa lagi. Tak dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan
tetapi wajahnya begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.
“Engkau
aneh. Bukankah senang sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu,
menjadi pelayan di istana Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa
engkau melarikan diri?”
“Aku tidak
kerasan! Aku akan mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu
yang jahat!”
Nirahai
mengerutkan keningnya. Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak
gadis ini yang bernama Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih
aneh lagi.
“Lulu, lekas
kau bercerita tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan
seluruh tulang di tubuhmu!” Kembali Nenek Maya menghardik.
Nirahai
maklum akan kebengisan seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya
mau, sekali turun tangan tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang
mampu menghalanginya. “Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja.”
Akan tetapi
Lulu yang sudah mengatur siasat itu menjawab, “Aku tidak peduli apakah
tulang-tulangku akan dipatahkan ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu.
Aku tidak takut mati. Memang aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita
cantik bengis itu yang berhati jahat! Aku baru mau bercerita kalau syaratku
dipenuhi.”
Nirahai
memang tidak ingin mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu,
ia sudah merasa suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai
(ganjil) ini. “Apakah syaratnya?”
“Pertama,
kalau aku dibawa ke istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena
melarikan diri.”
Nirahai
tersenyum. “Baiklah. Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun
untukmu.”
“Ke dua,
kalau kakakku tidak terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia
untukku. Akan tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas
dendam kepada pembunuhnya!” Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan
kemarahan.
Nirahai
mengangguk. “Baik-baik, itu pun sudah adil.” Diam-diam ia merasa bahwa kalau
benar Han Han sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana
gadis ini akan dapat membalas dendam?
“Lekas
ceritakan tentang Pulau Es!” Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan
sudah melangkah maju setindak ke dekat Lulu.
Melihat hal
ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu cepat berkata, “Lulu,
syarat-syaratmu telah dipenuhi, lekas engkau bercerita.”
“Masih ada
lagi syaratku, yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun
dan locianpwe ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau
locianpwe suka mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya!”
“Wirrrrr...!”
Tangan nenek
itu bergerak dan biar pun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya
sudah disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung
pada rambutnya yang dicengkeram! Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak
mengeluh dan hanya membelalakkan mata, dan dengan matanya yang lebar itu dia
sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor kelinci dipegang kedua telinganya.
“Bocah
setan! Mengapa harus mengambilmu sebagai murid?” bentak nenek itu.
Diam-diam
Lulu ngeri juga. Di tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak
berdaya. Otaknya bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini
ia telah cukup tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan
ilmu kepandaian tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali
ia dan kakaknya mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa
menjadi murid nenek ini tentu ia akan menjadi amat lihai. Ia pun tahu bahwa ia
boleh agak ‘menjual mahal’ karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin
mendengar tentang Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal
dan menahan harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bernyawa lagi. Cepat
ia menjawab.
“Locianpwe
yang baik, peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau
Es pun tidak boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang
mentaati pesan tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah
bersumpah takkan membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid
locianpwe, berarti locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat
menceritakan tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekali pun, kalau
locianpwe tidak menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?”
Cekalan
rambutnya mengendur dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk.
“Engkau sudah sampai di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga.
Baiklah, engkau menjadi muridku bersama Nirahai.”
“Terima
kasih, Subo!” Lulu dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
Nirahai juga
girang sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata,
“Sumoi yang baik!”
Akan tetapi
Lulu melotot kepadanya. “Suci, awas kalau sampai Han-koko kau bunuh. Biar
engkau menjadi suci-ku, engkau akan kubunuh pula!”
“Bocah kurang
ajar, lekas ceritakan!” kembali nenek itu membentak.
“Subo,
urusan rahasia yang sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan
seperti ini? Lebih baik di dalam kamar, di istana... kalau Subo hendak ke
sana.”
Saking
inginnya segera mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan
sekali berkelebat ia lenyap. Hanya terdengar suaranya, “Nirahai, kami menantimu
di dalam istana!”
Nirahai
memandang bengong dan menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian
Lulu dan diam-diam ia menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat.
Dia tidak akan heran kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia
lalu memasuki joli dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan
bengong menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli
melanjutkan perjalanan ke kota raja.....
**************
Di luar kota
Tai-goan terdapat sebuah dusun yang cukup ramai. Dusun itu bernama Leng-chun,
letaknya di sebelah selatan kota Tai-goan dan di tepi Sungai Fen-ho yang
mengalir ke selatan dari kota Tai-goan. Karena Sungai Fen-ho ini terus mengalir
ke selatan sampai bergabung dengan Sungai Huang-ho yang mengalir ke timur dan
sampai ke Terusan Besar, maka sungai ini merupakan sungai yang ‘hidup’, yaitu
dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan umum untuk mengangkut penumpang dan
barang. Selain lebih aman dan murah, juga tidak melelahkan dari pada kalau
melakukan perjalanan melalui daratan yang banyak diganggu rampok dan melalui
gunung-gunung yang sukar dilewati.
Karena
ramainya sungai ini, maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula,
banyak dilewati kaum pedagang dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut
ke timur melalui dusun ini. Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun
ini ramai dan banyak dibuka rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang
sungguh pun kecil-kecil dan sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para
saudagar dan pelancong. Dusun kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat
pertemuan orang-orang dari luar kota sehingga banyak terdapat orang asing yang
bicara dengan bermacam dialek.
Pada suatu
hari, seorang laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun
Leng-chun. Laki-laki ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh
dan tajam, namun di antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda
bahwa semenjak kecil pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup.
Pakaiannya sederhana, serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat
menarik perhatian orang bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana,
bahkan orang-orang kang-ouw yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka
yang aneh-aneh pun sudah dianggap biasa oleh penduduk di situ.
Rambut itu
hitam panjang dibiarkan terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak
diikat atau digelung seperti biasa. Bahkan semenjak keluar peraturan dari
pemerintah Kerajaan Ceng yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut
mereka, banyak penduduk menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah
topi agar tidak tampak. Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai,
dikuncir pun tidak!
Juga kakinya
amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya buntung.
Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang butut, yang
dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti kakinya. Pemuda
itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir menggunakan tongkat,
buktinya ia tidak kelihatan pincang, biar pun ia hanya berjalan dengan sebelah
kaki.
Pemuda
tampan berkaki buntung dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han
Han. Setelah gurunya yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya
menggemblengnya secara tekun dan sudah membolehkah dia keluar dari daerah
tersembunyi itu, Han Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang
ia kerjakan adalah mencari adiknya.
Pada pagi
hari itu ia tiba di Leng-chun, dalam perjalanannya mencari Lulu yang ia mulai
dari tempat di mana Lulu diculik Ouwyang Seng, yaitu ke kota raja. Ia dapat
menduga bahwa Lulu setelah ditawan oleh pemuda bangsawan itu tentu dibawa ke
kota raja, maka ke sanalah ia menuju dan pagi hari itu selagi melewati
Leng-chun, perutnya merasa lapar dan ia lalu memasuki sebuah rumah makan. Dia
tidak mempunyai uang sekeping pun, akan tetapi perutnya amat lapar dan ia
bersedia menukarkan tenaganya untuk beberapa potong bakpauw atau sepiring nasi
bersama semangkok arak.
“Lopek,
maukah lopek memberi aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali!”
Ucapan Han
Han ini nyaring, tidak malu-malu sungguh pun di situ banyak duduk para tamu
menghadapi meja dan ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika
mendengar ini. Beberapa orang terdengar sudah mengomel.
“Hemmm... di
mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat saja!”
Han Han mendengar
dengan jelas omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau
merasa terhina, bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu.
Ia hanya menghadapi koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan
kain lap di pundak dan yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan.
Tiap kali koki ini membuka penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap
menyengat hidung, membuat Han Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan
masakan enak, apa lagi bakpauw. Di sepanjang jalan ia hanya makan buah-buah,
daun-daun muda, dan minum air gunung.
Koki gemuk
itu menoleh dan mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika
bertemu dengan pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan
kembali makian yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua
tangan untuk menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.
“Wah, mana
bisa, orang muda? Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau
diminta begitu saja dan kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh
majikan. Bakpauw ini bukan untuk disedekahkan kepada orang yang minta.” Dia
tidak berani menyebut pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang
kang-ouw berkeliaran di tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini,
benar-benar menimbulkan rasa seram di hati.
Han Han
tersenyum ramah. Koki itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis, mengapa
begini tampan dan giginya begitu putih bersih dan berderet rapi serta kelihatan
kuat.
“Ucapanmu
tepat sekali, Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan
percuma. Tolong sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku
minta dan setelah kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh
disuruh bekerja apa saja untuk membayar makananku.”
Wah, pemuda
ini ternyata benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia
merasa bangga akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan
mengusir pemuda ini sebagai pengemis. “Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar!”
Dengan gerak
langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu megal-megol
seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan bicara kepada
seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan dan yang
kepalanya botak. Si botak itu menghentikan pekerjaannya menghitung-hitung
dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah pemuda kaki
buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling sehingga
kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya, baru
kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-malasan, berjalan
keluar diikuti koki yang megal-megol
Sejenak
majikan restoran itu memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama
pada kaki buntung itu, lalu bertanya, “Orang muda, engkau bisa bekerja apakah?”
“Apa saja,
asal aku mendapat makan,” jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah
tumpukan bakpauw yang ditutup.
“Hemmm...
dengan... eh, maaf... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja
apakah?” Majikan restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau
menolong pemuda ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi
majikan ini harus ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi!
“Loya, pagi
ini kebetulan sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit. Bagaimana kalau dia ini
membantu melayani tamu?”
Pandang mata
majikannya itu menimbang-nimbang. Biar pun kaki kirinya buntung, akan tetapi
pemuda ini bersih dan menyenangkan, tidak menjijikkan. Apa lagi kakinya yang
buntung itu pun tertutup celana buntung sehingga tidak kelihatan. Juga
berdirinya tegak, walau pun hanya dengan kaki satu dibantu tongkat.
“Baiklah,
pagi ini engkau boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan
nasi. Akan tetapi engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari
semalam. Bagaimana?”
Sebetulnya
Han Han merasa keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu
kemudian melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik
ke arah para tamu, ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah
gagah duduk bersama seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja
lain tampak empat orang mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol,
akan tetapi sikap empat orang ini seperti mengejek dua orang itu.
Mereka
mengobrol sambil memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang
mata mereka menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak
orang kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak.
Ia lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari di tempat
ini.
“Baiklah,
aku terima syarat itu.”
Setelah
majikan itu kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa
sehingga ramai terdengar ketrokan swipoa, koki itu tersenyum lebar dan berkata,
“Aku senang sekali mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini!” Koki itu
mengambil dua butir bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di
atas piring.
Han Han
menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis lima
butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air teh
panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.
“Bung
pelayan!”
Koki itu
memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada Han Han. Han Han lalu meletakkan
mangkok tehnya dan berjalan cepat ke arah meja tamu yang dua orang itu. Si koki
memandang langkahnya sejenak, kemudian menggeleng-geleng kepala sambil
menggumam seorang diri, “Kasihan...!”
“Ji-wi
memanggil pelayan?” Han Han bertanya dengan sikap hormat kepada dua orang itu.
Si pemuda
yang bertubuh tegap memandangnya sejenak, terutama kepada kakinya yang buntung,
lalu bertanya, “Engkau pelayan?”
“Benar,
Kongcu, mulai saat ini sampai malam nanti. Kongcu hendak memesan apakah?”
“Tolong
ambilkan tambahan sekati bakmi dan seguci arak!”
“Baik,
Kongcu!” Han Han memutar tubuh dan atas isyarat koki yang memanaskan bakpauw ia
lalu pergi ke tempat yang ditunjuk, yaitu ke bagian dapur di belakang.
Ternyata
rumah makan yang terdiri dari dua ruangan itu penuh tamu. Ketika ia melewati
meja di mana duduk empat orang kasar yang bercambang bauk, seorang di antara
mereka melonjorkan kaki, seperti tidak disengaja akan tetapi sesungguhnya
disengaja. Han Han tentu saja dengan mudah dapat melewati kaki itu, akan tetapi
ia ingat akan kedudukannya sebagai pelayan dan berkata, “Maaf, harap suka
memberi jalan, saya hendak lewat.”
Orang itu
brewok dan matanya bundar besar yang kini melotot kepada Han Han. “Apa katamu?
Kau tidak bisa menyebut taihiap? Kami adalah pendekar-pendekar besar, tahu?”
Han Han
tersenyum. “Maaf, taihiap, karena saya tidak tahu maka....”
Orang itu
menarik kakinya. “Sudah, pergilah. Memutari meja kami! Kakimu menjijikkan!”
Han Han
membungkuk, lalu terpaksa mengambil jalan mengitari meja itu, berloncatan kecil
dibantu tongkatnya, terus ke dapur melaporkan pesanan dua orang itu. Koki di
dapur sudah tahu bahwa ada seorang pelayan baru yang menggantikan A-ji yang
mangkir. Tanpa bertanya koki ini lalu menyediakan pesanan itu dan Han Han
diberi sehelai kain lap yang ia sampirkan di pundak. Kemudian ia membawa baki
dengan tangan kanan di atas pundak, menghampiri dua orang pemesannya sambil
mengitari meja empat orang brewok. Sambil mengempit tongkatnya, dengan kedua
tangan Han Han menghidangkan bakmi di meja dua orang itu.
“Kasihan!”
kata pemuda tampan bertubuh tegap sambil memandang Han Han. “Kenapa untuk
mendapat makan saja engkau yang buntung harus menjadi pelayan. Sobat, kalau kau
perlu makan, makanlah, biar kami yang bayar. Dan ini sedikit uang untuk
bekal...”
Han Han membelalakkan
mata dan merasa berterima kasih sekali. Dia mengenal orang baik, akan tetapi
dia juga tidak mengharapkan pertolongan orang. Ia menjura dan berkata.
“Terima
kasih, Kongcu. Kongcu seorang yang baik sekali. Akan tetapi maaf, saya hanya
menerima bantuan yang dapat saya balas. Majikan restoran ini memberi saya
makan, tentu saja saya harus membalasnya sekuat kemampuan saya.” Ia menjura
lagi untuk mengambil seguci arak yang dipesan, lalu meletakkannya di atas meja
dengan sikap hormat, dipandang oleh dua orang gagah itu dengan kagum. Tamu baru
datang dan Han Han cepat menyambut dan melayani pesanan mereka. Ia mulai merasa
senang juga dengan pekerjaan ini.
“Sungguh
mengagumkan!” kata pemuda itu kepada temannya yang juga gagah dan usianya sudah
ada empat puluhan tahun. “Biar pun dia pincang kakinya, akan tetapi tidak
pincang batinnya, masih mengenal budi! Alangkah banyaknya orang sekarang yang
lupa akan budi, lupa akan nenek moyang, lupa akan bangsa sehingga tidak segan
menjual negara!” kata-kata pemuda itu penuh semangat.
“Memang,
Hiantit. Orang yang pincang dan lemah masih mempunyai semangat dan kejujuran,
seperti watak patriot. Sebaliknya, betapa banyaknya orang yang kuat dan gagah
akan tetapi sebetulnya lemah dan mabuk oleh harta dan kedudukan, tidak segan
membantu penjajah!” kata orang yang setengah tua.
“Omongan
seperti kentut!” Tiba-tiba seorang di antara empat orang kasar di meja sebelah,
yang dahinya codet, menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok tergetar dan
sebagian isinya tumpah di meja. “Omongan pemberontak! Di waktu kerajaan baru
belum membahagiakan rakyat pura-pura menjadi patriot! Ha-ha-ha, betapa
banyaknya manusia plin-plan seperti itu!”
Keadaan
menjadi tegang. Biar pun tidak secara langsung saling memaki, namun omongan
kedua pihak sudah saling mengejek.
“Ciang-lo-enghiong,
banyak pendapat yang sesat seperti itu. Orang-orang bijaksana jaman dahulu
berkata Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (membela rakyat membela negara, adalah
perbuatan paling mulia). Kalau membaliknya dari pada membela negara dan memihak
penjajah, itu namanya penjilat dan tidak berharga!” kata pemuda gagah tadi
sambil menghirup araknya. Mukanya agak merah, mungkin karena terlalu banyak
minum, mungkin juga karena marah.
“Memang
demikianlah, So-hiantit. Akan tetapi bicara kepada orang yang berotak angin,
apa artinya? Sama dengan berteriak di padang pasir, sayang kalau ucapan
baik-baik dihamburkan saja. Gentong kosong berbunyi nyaring akan tetapi tidak
ada isinya. Huhhh!” kata yang tua.
“Mulut bau
busuk! Asal terbuka saja mengeluarkan bau busuk! Eh, Sam-wi Suheng, akan
percumalah kita dikenal sebagai Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Besi)
kalau tidak membersihkan dusun ini yang agaknya terdapat banyak lalat hijau
dari Se-cuan! Yang jelas di sini bau dua ekor lalat hijau yang agaknya baru
keluar dari kakus. Baunya bukan main!” kata seorang di antara empat laki-laki
brewok yang hidungnya besar. Si Codet dan dua orang temannya tertawa bergelak
sambil menuding-nuding ke arah dua orang itu.
Keadaan
makin tegang dan banyak tamu tergesa-gesa membayar makanan yang belum habis,
bahkan yang baru masuk sudah keluar lagi tidak jadi memesan makanan. Majikan
restoran berjalan ke sana ke mari membawa swipoanya, wajahnya pucat. Koki gemuk
berdiri di dekat tumpukan bakpauw dengan kaki menggigil.
Melihat ini,
Han Han segera menghampiri meja empat orang brewok itu dan menjura sambil
berkata, “Apakah Su-wi Taihiap hendak memesan makanan tambahan?”
Si Codet
menoleh dan menepuk-nepuk pundak Han Han sambil tertawa. “Inilah dia seorang
patriot sejati, ha-ha-ha!” Tiga orang kawannya juga terbahak.
Orang ke
Tiga yang ada tahi lalatnya di ujung hidung berkata mengejek, “Eh, pelayan
patriot, apakah engkau kehilangan kakimu di medan juang? Ha-ha-ha, agaknya
engkau dahulu pelayan di Se-cuan dan karena kekurangan makan lalu lari ke
sini!”
Orang ke
empat yang matanya sipit sekali menekan perutnya saking menahan ketawa lalu
berkata, “Eh, pelayan patriot. Coba katakan, kami adalah Kang-thouw Su-liong,
dan kami membenci para pemberontak di Se-cuan. Pemerintah baru amat bijaksana,
dapat menggunakan orang pandai untuk membikin makmur hidup rakyat. Akan tetapi
para pemberontak di Se-cuan memancing-mancing perang, mengadakan kekacauan dan
membikin sengsara rakyat yang sudah terlalu banyak menderita akibat perang.
Katakan, kalau kami memihak kerajaan baru yang bagaikan sinar matahari sehabis
hujan memberi harapan baru, tidakkah pendapat kami benar?”
“Kalau
berani menyalahkan, kupatahkan lagi kakimu yang tinggal sebelah!” kata Si
Hidung Besar.
Han Han
berkata dengan suara tenang, “Menurut pendapat saya yang bodoh, manusia di
dunia berhak memiliki pendapat masing-masing, asal ada dasar kebenarannya.
Kalau Su-wi yang gagah perkasa membela pemerintah baru mengingat kepentingan
rakyat, maka pendapat itu adalah benar sekali. Pendapat seseorang dapat dinilai
dari dasarnya, atau pamrihnya. Kalau dasar dan pamrihnya baik, maka pendapat
itu adalah baik.”
“Ha-ha-ha-ha!
Bagus, bagus! Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejeg. Untuk pendirian
yang bagus itu engkau harus kami hadiahi secawan arak!” kata Si Codet sambil
mengambil secawan arak, lalu diberikan kepada Han Han.
Untuk tidak
menimbulkan keributan, terpaksa Han Han minum arak itu.
“Terima
kasih, taihiap.” Ia lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat
dekat meja dua orang gagah itu ia berhenti dan bertanya, “Apakah ji-wi
membutuhkan sesuatu?”
Dua orang
itu bertukar pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata,
“Orang muda, biar pun kakimu buntung, agaknya engkau bukanlah seorang yang
bodoh dan suka bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang
hanya bicara untuk menyenangkan orang karena takut.”
Ia berhenti
sebentar, keadaan sunyi sekali. Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak
mengeluarkan suara, agaknya mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk meledak
marah kalau ada omongan yang terang-terangan mengenai mereka. Para tamu lain
yang masih berada di situ sudah pindah meja, para koki dan pelayan bersembunyi
di sudut terjauh.
“Agaknya
engkau memiliki pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda.
Orang yang rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan
setiap jengkal tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan
diri sendiri dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan
panggilan tanah air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana
pendapatmu akan pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”
Dengan suara
tetap tenang Han Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua
meja itu, menjawab, “Pendirian itu pun benar dan tepat sekali, Lo-enghiong.
Seorang yang berani membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang
Lo-enghiong sebutkan tadi, bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah
seorang patriot sejati yang patut dijadikan teladan selagi hidup dan patut
dipuji sebagai pahlawan setelah gugur.”
“Bagus
sekali! Tidak salah wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan.
Nah, minumlah arak bersama kami, orang muda!” Orang gagah itu lalu memberi arak
secawan penuh kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.
“Ciang-lo-enghiong,
marilah kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak menyenangkan, karena
terlalu banyak penjilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing
biasa masih enak didengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat
sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat buntung ini, yang ternyata
berjiwa patriot dan gagah!”
“Setan!” Si
Laki-laki Brewok yang bermata sipit menampar meja di depannya sambil berdiri
dan menunding ke arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”
Pemuda gagah
itu pun bangkit berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding.
“Siapa yang kau maki setan?”
“Aku memaki
kalian setan-setan pemberontak!”
“Dan aku
memaki kalian anjing-anjing penjilat!”
“Keparat!”
Empat orang laki-laki brewok itu menyambar sumpit mereka dan sekali
menggerakkan tangan, delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah
itu yang juga sudah bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mereka itu dapat
mengelak, bahkan masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.
“Makanlah
senjata kalian!” teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang
sumpit itu dengan sambitan kuat ke arah empat orang penyerang mereka.
Akan tetapi
empat orang yang berjuluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai
karena dengan miringkan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak
mengenai tubuh mereka.
“Waduhh...
aduhh... telingaku...!” Majikan restoran menjerit-jerit dan memegangi telinga
kirinya yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu
robek dan berdarah.
Han Han
sudah melangkah maju dan berdiri di antara dua meja, di mana enam orang itu
sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah menghunus golok mereka,
sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenang saja, namun sudah siap
berdiri menyambut serangan lawan.
“Cu-wi
sekalian harap sabar. Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang
gagah? Adakah di antara cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”
“Heh? Si
Buntung lancang. Siapa yang kau katakan penjahat dan pengecut?” bentak Si Mata
Sipit sambil mengamangkan goloknya.
Han Han
menjura. “Syukurlah kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau
pengecut, dan memang saya pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian
pula dengan ji-wi Enghiong ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini,
amatlah disangsikan apakah hal itu merupakan perbuatan orang gagah, karena
perkelahian itu akan merugikan banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi
karena barang-barangnya rusak. Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan.
Ketiga banyak bahayanya akan jatuh korban di antara orang-orang lain seperti
terbukti majikan saya daun telinganya robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang
gagah tentu saja tidak suka main kasar dan merugikan orang lain, bukan? Kalau
memang hendak berkelahi, sebagai orang-orang gagah dapat saja berunding nanti
di luar dan menentukan tempat yang sunyi.”
Dua orang
itu sudah duduk kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran, “Maafkan
kami untuk luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”
Majikan itu
dengan kaki gemetar memaksa diri tersenyum. “Tidak usah... tidak usah... asal
jangan berkelahi di sini... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi...
ehh, tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang
tamu agung!”
Empat orang
kasar itu sejenak tercengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di
bangku masing-masing.
Han Han
cepat mengambilkan arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki
gemuk dan pelayan lain, dan pandang mata berterima kasih dari majikan restoran.
Kalau tidak ada pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur
restorannya! Ruginya jangan dibicarakan lagi, bisa bangkrut dia!
Ketika Han Han
menaruh guci arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata, “Ji-wi
Enghiong, saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan
bukanlah kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silakan minum arak!”
Dua orang
gagah itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan
bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran,
setelah berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata,
“Kelebihannya harap perhitungkan untuk membayar makanan sahabat yang menjadi
pelayan itu!” Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan
restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.
Han Han
menjadi lega hatinya. Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, tangannya
sambil lalu meraba permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi:
‘Berbahaya, harap pergi!’, yaitu huruf-huruf yang ia buat dengan guratan jari
tangan ketika ia menghidangkan arak tadi. Memang ia melihat bahaya mengancam
kedua orang itu karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lumrah manusia,
dari jauh mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang mengatur siasat untuk
melaporkan kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang
disangka pemberontak. Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sinkang menggores
huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut,
mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya
lalu pergi.
Semenjak
dulu Han Han tidak pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu.
Hal ini timbul karena keadaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh
perwira-perwira Mancu, akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang
anak Mancu yang keluarganya terbasmi oleh para pejuang! Keadaan yang amat
berlawanan inilah yang membuat selama ini Han Han berada di tengah-tengah dan
tidak terseret, hanya ia selalu memilih pihak yang benar.
Karena itu
pula, dalam pertikaian yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua
orang pejuang dan empat orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berpihak
kepada satu pihak, melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan
antara bangsa sendiri hanya karena perdebatan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
di balik perdebatan itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda
ini masih belum mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoalan
kepatriotan.
Kini hatinya
lega melihat dua orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biar pun dia
tidak berpihak dalam persoalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya
condong kepada dua orang gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah.
Sebaliknya diam-diam ia mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas
menyombongkan nama julukan dan kepandaian sendiri.
“Hiiiii,
pelayan buntung...!”
Han Han
menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar.
Ia segera berloncatan menghampiri meja empat orang itu. “Ada yang hendak
dipesan lagi, taihiap?”
“Hemmm, jadi
engkau hanya mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap
manis dan membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kau cari,
apakah kau kira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat dari pada harga
makananmu yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan
membela, asal engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo
kau bersihkan sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti
memang kau lebih suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam
adalah pemberontak atau mungkin mata-mata pemberontak!”
Han Han
mengerutkan alisnya. Biar pun mengaku sebagai orang-orang gagah, sikap empat
orang ini benar-benar seperti perampok-perampok kasar. Akan tetapi untuk
mencegah terjadinya keributan, ia yang sudah pandai mengendalikan perasaan
sendiri lalu menekuk lutut kakinya yang tinggal sebelah dan menggunakan lap
yang dibawanya untuk mengelap sepatu Si Hidung Besar.
“Bagus! Lain
kali kalau engkau bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan
kakimu yang tinggal sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki
menendang.
“Dukkk...
augghhhhh...!” Ia menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu
dengan kaki bangku!
Ternyata
tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu pelayan
buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena ia
menendang tanpa pengerahan sinkang, hanya untuk mendorong si pelayang
terlentang, maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja
terasa nyeri sekali. Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan
beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki
bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan itu.
Han Han
sudah melangkah mundur terpincang-pincang. Ia mengambil keputusan untuk pergi
dari restoran itu. Biar pun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi
telah membayar makanannya, dan setelah makanannya dibayar, untuk apa dia lebih
lama di tempat itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan saja. Akan tetapi selagi
ia hendak pergi, tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.
“He,
buntung! Pelayan macam apa engkau ini? Apakah matamu tidak melihat bahwa meja
kami kotor? Hayo lekas bersihkan!”
Han Han
tersenyum, Tadinya ia hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak
keributan. Akan tetapi menyaksikan sikap empat orang itu makin lama makin kasar
dan kurang ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan mereka untuk membuka
mata mereka bahwa memandang rendah orang lain dan menyombongkan kepandaian sendiri
bukanlah watak orang gagah dan hanya akan mendatangkan aib kepada diri sendiri.
“Baikiah,
taihiap!” kata Han Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki,
mengempit tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan
tenaga sinkang menggetarkan meja.
Di atas meja
terdapat delapan buah mangkok makanan, panci-panci dan guci besar arak,
cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba semua benda yang berada di atas meja itu
mencelat seperti bernyawa, terbang ke atas! Han Han dengan tenang mengangkat
tangan kirinya dengan telapak menghadap ke atas, kemudian menggunakan tangan
kanan yang memegang lap untuk mengelap meja yang kotor karena tumpahan masakan
dan arak!
Empat orang
brewok yang masih duduk itu tiba-tiba melongo, matanya terbelalak lebar dengan
muka menengadah memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di
atas tidak dapat turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga
Si Hidung Besar tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang
kuning.
Setelah meja
itu bersih disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya.
Benda-benda yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa
menerbitkan suara berisik berjatuhan di atas meja kembali, persis di tempat
semula seperti tadi seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang
kini telah menjadi bersih!
Han Han
menggantungkan lap di pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur
dua langkah, membungkuk dan bertanya, “Su-wi taihiap, masih ada perintah
lainkah?”
Empat orang
brewok itu tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar
tersedak karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat
terbang keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki
terowongan gelap berupa kerongkongan orang itu.
“Ti...
tidak...” Si Mata Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.
Han Han lalu
meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat
orang melainkan pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang
tadi menonton peristiwa yang bagi mereka amat ajaib. Keadaan sunyi sekali,
seolah-olah semua orang masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han
Han menyampirkan lap di atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki
gemuk sambil berkata.
“Lopek,
terima kasih atas kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang
Enghiong tadi, maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu
memutar tubuhnya keluar dari restoran itu.
Empat orang
brewok itu dengan muka merah sekali karena malu, segera membayar harga makanan
mereka dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu
pergi, gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu,
semua membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali
lahir julukan 'Pendekar Buntung', ada pula yang menyebutnya 'Pendekar Siluman',
dan ada yang menyebutnya 'Pendekar Super Sakti'.
Memang sudah
menjadi kelaziman bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan
pengalaman mereka sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi
yang memiliki tenaga sinkang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh
dibawa angin makin dilebihkan dan makin aneh sehingga sebentar saja dunia
kang-ouw juga mendengar berita angin tentang munculnya seorang Pendekar Super
Sakti yang masih muda akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!
Han Han
melanjutkan perjalanan menuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho
yang ia tahu akan membawanya sampai ke Tai-goan. Karena keadaan di sepanjang
sungai ini ramai dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau
menggunakan kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang. Setelah
ia keluar dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menyesal mengapa di rumah makan
tadi dalam usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah
memperlihatkan kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak
orang.
“Ah, betapa
mudahnya mengerti pesan subo bahwa senjata ampuh yang terutama adalah menguasai
nafsu dan perasaan sendiri, tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,”
kata Han Han dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai
sungai yang indah pemandangannya.
Kurang lebih
sepuluh li dari dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan
dan keadaan di sini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan
ilmunya yang hebat setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya karena melihat serombongan orang berdiri
menghadang jalan di depannya.
Ketika ia
memandang, ternyata mereka itu adalah sepasukan prajurit Mancu terdiri dari dua
puluh orang lebih, dan di depan pasukan berdiri empat orang brewok tadi bersama
seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Dari
sikap mereka apa lagi melihat empat orang brewokan itu, mengertilah Han Han
bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menunggang kuda dan sengaja
mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai rombongan kuda yang
ditambatkan di bawah pohon-pohon, tak jauh dari situ.
Han Han
menarik napas panjang. Sebetulnya dia segan terlibat permusuhan dengan pihak
mana pun juga. Dia hendak mencari Lulu, dan dia tidak ingin usahanya mencari
Lulu terhambat oleh segala macam gangguan dan permusuhan yang tidak ada
manfaatnya. Akan tetapi dia juga ingin sekali mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh mereka, terutama sekali oleh empat orang brewok yang telah ia
beri peringatan di rumah makan tadi...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment