Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 11
Han Han yang
berada dalam keadaan semedhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya.
Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih
sayang. Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara
Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan
berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka.
Karena Han
Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya
yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui
dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata
Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng
Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan
perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya
bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng
Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan
mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai
Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan
meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang
dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad.
Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid-murid yang melarikan diri
akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika
Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan,
aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk
memenggal leher Sie Han!”
Suara nenek
ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu
Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan
sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang
penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa
dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le...
lehernya, subo...?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar
perintah gurunya.
Toat-beng
Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik. “Lehernya, kau dengar?
Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!” Setelah berkata
demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan
mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan
menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan
sungguh-sungguh mengangkat golok itu ke atas mukanya dan kini sinar matanya
mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya.
Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan
yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan
mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras.
“Haiiittttt...!”
Golok itu
berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah,
menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh,
jangan...!” Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu. Gadis ini sudah menyambitkan
sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali
ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg...!”
Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata
rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu...!”
Kaki kiri
Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki
yang buntung terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu...!
Jangan tinggalkan anakmu, Ibu...!” Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam
karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan
makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu...!”
Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia
siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok
punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari
pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri
sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh,
melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu
sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh
pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya
yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan
memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan
tiga orang muridnya.
Lai Kwan
berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut. Hatinya mendongkol terhadap
Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia
mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han. Phoa
Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya
berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa suci-nya itu tentu tidak
akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih
menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang
agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang
mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang
amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi
mati! Kedua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang
hanya tinggal sebelah itu? Ketiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis
yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan
darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu,
mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani
menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?” tiba-tiba Nenek itu bertanya,
suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh
yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han
tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua
butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya
menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya,
menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai...
Kim Cu, mengapa kau lakukan itu...?” Ia berbisik lirih sambil memandang gadis
itu dengan mata basah.
Kim Cu
mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun
basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada
sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang
membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu!
Jawablah!” Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas
lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan
itu tergetar.
Setelah
melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan
berkata, “Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik
subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di
In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han
memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan
semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya
dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu
turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa
Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu
mengerutkan kening. “Hemmm... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau
menolongnya dan mengobatinya pula?”
“Subo,
betapa pun juga, Han Han adalah bekas Sute-ku, bagaimana teecu dapat membiarkan
dia menderita seperti ini? Teecu... merasa kasihan...”
“Heh, bocah
tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta
tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah, Lai
Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia
menundukkan mukanya.
Han Han
memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk. “Toat-beng Ciu-sian-li, harap
jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih
belum terlambat!”
“Han Han!”
Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid
yang sudah dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat!
Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah
engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa?
Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacat yang tidak
berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk ke kamarmu dan sebelum
kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu
memandang Han Han sejenak, lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan
isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah
kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya,
membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh
bagian tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, kepalanya pening, pandang matanya
berkunang. Ia pejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang
menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan
mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di
depan matanya.
“Ha-ha-ha!
Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang
tiada guna, lihat betapa lemahnya!”
Mendengar
suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di
hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di
tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan
sinkang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah
mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan
kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya
setelah ia melihat akibat dari pada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan
setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata,
lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan
dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan
hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar
pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu,
ada pun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa
terbayang di wajahnya.
Han Han
kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan
bangkit lagi dengan kedua tangan menekan lantai, lalu berdiri dan dengan
hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus ke luar
dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri
yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu
belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah
kakinya.
Hari sudah
lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus. Jika
hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa
berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah
cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia
pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan.
Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar
taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang
di atas dadanya.
Menjelang
subuh ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya cuaca masih amat
gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak
berkurang, dapat ditahannya, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena
lapar. Semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li, sudah empat hari empat malam
dia tidak makan. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit
duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh
bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di
antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di
samping ibunya. Jauh dari pada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak
seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi
nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan
yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapa daksa, murid buntung yang tentu
tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli.
Apa lagi
hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu
tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba
dadanya. Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih
disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak
menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam
keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara
tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biar pun
kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu,
menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan
dapat membunuh orang yang dicinta cici-nya. Dan enam orang perwira lain pun tak
mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum
buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang
sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia
mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di
Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan
ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan
nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah,
kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya?
Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apa lagi
kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia
teringat lagi akan wejangan dan nasehat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia
dinasehatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah
kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang
kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana
menutupi pahanya yang buntung. Tidak usah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi
kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung,
maka menasehatinya agar membuntungi kakinya sendiri dari pada dibuntungi orang
lain. Ia tersenyum pahit. Nasehat yang tidak lucu!
Dia belum
ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baiklah, dia
akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguh pun dia tidak mungkin
dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu membalas
dendam.
Timbul rasa
rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan
dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai... alangkah akan hancur hati adiknya itu
kalau melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap
dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata.
Sampai lama ia menangis seperti ini.
Tiba-tiba ia
tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya
belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke
mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh
lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain
sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya,
matanya masih merah bekas banyak menangis.
Berjam-jam
ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama
embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar
kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan
keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan
mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon.
Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak,
hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan
berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari
matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia
terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya.
Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat
dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan
butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman
damai dan bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir
pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada
apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han
tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air
yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apa bila saatnya tiba, akan
gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ia menghela napas panjang. Dia
adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah
kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau
tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal
air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya,
hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar
bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han
Han...!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han
menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan.
Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya
masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang
matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan
menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu...
engkau... datang ke sini...?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu
akan marah...”
Kim Cu
berlutut dekat Han Han dan berkata, “Jangan banyak bicara dulu, mari kau
makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah
darah, obat untuk mengobati lukamu...”
Melihat
gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka
buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat,
lalu menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan
hati penuh keharuan.
“Han Han,
makanlah dulu...” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan.
Kim Cu
terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han... kau... kau menangis...?”
Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang
terbuka lebar.
“Kim Cu...,”
suara Han Han menggetar. “Mengapa...?”
Kim Cu
memandang, juga air matanya berderai, “Kau hendak berkata apa...?”
“Mengapa
engkau sebaik ini kepadaku...?”
Dengan air
mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu
bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa
senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah
dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah... makanlah dulu, baru nanti
kita bicara...”
Han Han
mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu
terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang
wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis
itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka
bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau
tidak makan? Marilah...”
Kim Cu
menggeleng kepala perlahan. “Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu
lama tidak makan...”
Roti itu
habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju.
“Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan
minuman ini...”
“Sssttttt,
nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan
peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han
minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu
membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah
kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh
rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di
pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan
membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan
itu.
Setelah
selesai membalut luka itu, Han Han berkata, “Kim Cu, percayalah, aku selama
hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong
nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah
mengorbankan dirimu...”
“Jangan
katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena
kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan
dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?”
Han Han
menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon,
tangan kiri menekan tongkat cabang pohon.
“Aaahhhhh,
harapan apa lagi yang ada padaku? Aku telah menjadi murid tapa daksa... tiada
gunanya....” Kembali ada dua titik air mata meloncat ke luar ke atas pipi Han
Han.
Kim Cu
memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat
pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu. “Ahhh, Han Han, kasihan
sekali engkau...” Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han
makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap
muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke
angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya. Sampai
lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya,
kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap
rambut yang hitam halus dan harum itu.
“Kim Cu...”
Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa
engkau... mencintaku?”
Gadis itu
tak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han
Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga
menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari
pandang matanya. Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar
pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
“Kim Cu, ini
tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi
seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama
sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada di samping
seorang pria yang menjijikkan...”
“Ohhh, Han
Han, mengapa kau berkata demikian?” Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung
tangan, kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling
cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.
“Han Han,
kenapa kau menjadi putus asa? Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Ke
mana perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dulu
engkau begitu keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan! Setelah
kakimu bun... eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak
berguna lagi? Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah
memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh
manusia bahwa engkau dapat berbuat lebih baik dari pada manusia yang utuh tanpa
cacat! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacat tidak boleh dihina!
Jangan menjadi melempem, Han Han!”
Ucapan yang
bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han.
Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia
bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur
hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia yang berakal budi!
Biar pun cacat, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang
berguna?
“Aduh, Kim
Cu..., terima kasih...!” Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul
kembali, Han Han merangkul gadis itu dan menciumnya.
Dia belum
pernah berciuman didasari cinta kasih. Biasanya dia mencium Lulu secara
main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya
sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu
menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi entah
bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati
dan kemesraan, menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang
seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka
saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak
dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk
menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap, “Han Han,
aku... aku mencintamu...”
Han Han
memegang kedua tangan gadis itu. “Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku,
engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis
yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku
dan... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau
berani meninggalkan kamarmu? Bukankah... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau
tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh
guru dan suhengmu kalau engkau pulang nanti...!” Tiba-tiba Han Han yang
teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi
gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, “Aku sudah lari dari kamarku.
Aku... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”
Han Han
terkejut sekali. “Tidak...! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan
gurumu, dan kakimu... kakimu dibuntungi seperti aku...”
“Biarlah,
dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya
sungguh-sungguh.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas
dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat
Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!
“Hmmm... Kim
Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada
bocah ini?”
“Subo, aku
mencinta Han Han!” kata Kim Cu dengan berani.
“Toat-beng
Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kau anggap
suatu pelanggaran!” kata Han Han.
Toat-beng
Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap
berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat
betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani
menentang perintahnya.
“Kalian
saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain.
Hayo ikut bersamaku!” Nenek itu berkata dengan bengis.
Kim Cu dan
Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan
gurunya, berkata kepada Han Han, “Marilah, Han Han. apa pun yang akan terjadi,
aku rela asal bersamamu.” Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti
gurunya.
Han Han yang
merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu tidak berkata apa-apa dan
berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh
Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu, mungkin
menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak
takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi
seorang yang sedang diamuk cinta.
Han Han
tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguh pun ia
amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela
mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas, bukan
mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan Kim
Cu. Betapa pun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku
untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan
bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
**************
Kita tinggalkan
dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng
Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek
itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda
bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja,
Ouwyang Seng berkata kepadanya.
“Dengarlah,
bocah binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin
Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan
gadis itu dari totokan.
“Beginikah
orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak
mampu bergerak?”
Ouwyang Seng
tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu,
kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat
menikmati wanita selincah ini.
“Kalau kau
berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus
berjanji untuk ikut denganku ke kota raja dan tidak membikin ribut. Ketahuilah,
aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke
istana kaisar.”
Lulu
mengangguk dan berkata. “Baiklah. Bebaskan aku.” Dia cerdik sekali dan dia akan
mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat
menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda
yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng
membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, “Engkau kejam sekali. Sampai
kaku-kaku tubuhku, dan kau apakan Koko-ku Han Han?”
“Dia bukan
Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”
“Bagaimana
engkau bisa tahu?”
“Pendeknya
aku tahu, dan eh, siapa namamu?”
“Katanya
sudah tahu. Kenapa tanya nama?”
Ouwyang Seng
gemas. Kalau saja bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya
bibir manis yang lincah itu.
“Dengarlah.
Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja.
Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan
siapa namamu.”
“Namaku
Lulu. Sie Lulu!”
Kembali
Ouwyang Seng tertawa. “Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang
tuamu she Sie? Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang
memungut batu di pinggir jalan!”
“Kokoku she
Sie, tentu saja aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.
“Sudahlah,
baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau
akan kami bawa ke istana.”
Lulu tidak
membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran
ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran
ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis
itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka
tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat
ia merasa dirinya kecil.
Kaisar
menegurnya dalam bahasa Mancu dan biar pun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan
dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa
kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh Han Han. Dia tidak
bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa
pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar
merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli
dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang
pelatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana. Akan tetapi hati dara ini
selalu berduka, sungguh pun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia
mendapat kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Biar di
dalam istana indah sekali pun, bagaimana mungkin ia dapat hidup senang kalau ia
jauh dari kakaknya?
Lulu memang
cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan
dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu.
Pada keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia
pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan
itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biar pun telah menyamar
sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau
menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak
pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya
diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai.
Masih hidupkah kakaknya?
Pada suatu
sore ia memasuki kota Tiong-bun dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju
ke selatan kota. Ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang
pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton
pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan. Lulu
tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di
pinggir jalan yang sunyi, ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu
setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak
olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat
pedang.
Ilmu silat
memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak
tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah
namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang
lihai dan praktis. Gadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya,
lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika
ia bermain pedang.
Ilmu pedang
yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang
Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang
baik. Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi
bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu bahwa kalau
ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah dari pada gadis itu sehingga
dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat
melainkan menari.
Yang menabuh
tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan
kedukaan besar, sungguh pun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat
betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan
silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini
berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang
mata penuh penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini
adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil
yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini
menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik
itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat
dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri
dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan penghormatan, kemudian tubuhnya
membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan
dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang
tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu
ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum
sekali.
Kini kakek
itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang
dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan
melemparkannya ke atas panggung.
“Cu-wi
sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang
yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami
sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini bukan semata-mata untuk
mencari dana, sungguh pun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan
hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama
adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para penggemar
ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang
mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat.
Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian mantu laki-laki saya,
dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan kosong dan
juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat
berkenalan dengan cu-wi sekalian. Terima kasih.”
Pidato
singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju.
Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung
memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa
memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat
dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga
tukang silat itu.
Atas isyarat
kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada
suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju
beberapa langkah sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada
sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat. Seperti
juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai
namun kini berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran
tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia
telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu
menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan
menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan sopan. “Di antara
cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik.”
Sampai lama
tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat menjadi
gentar melihat dasar gerakan wanita itu. Benar bahwa naik berarti hanya menguji
kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apa lagi oleh seorang wanita, tentu akan
menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang
mengerti ilmu silat.
Setelah
wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba
melayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia
berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung,
panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia
menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan
dirangkapkan ke dadanya.
“Aku bernama
Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya
mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong
(Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian
silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin
belajar kenal!” Ketika mengucapkan kata-kata ‘belajar kenal’ matanya bermain
dan sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.
“Terima
kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian
yang lihai sekali. Silakan!” Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi
calon lawannya dengan sikap tenang sekali.
“Nyonya,
lihat seranganku!” Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu
bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki
kepandaian yang berarti.
Agaknya hal
ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh
tak acuh. Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat
kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja
diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan
pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya
terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya
itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat
mengirim pukulan atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak
akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan
tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini
mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia
cepat membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya
bertubi-tubi dan ia mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali
dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu
merasa sudah cukup mengelak terus, apa lagi kini tubuh lawannya yang
berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan
untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apa lagi dari bunyi tambur yang dipukul
ayahnya ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri
pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras,
ia miringkan tubuh, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping,
memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu
terpaksa berputar. Kaki Si Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut
sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah
lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya
miring di atas panggung!
Tepuk sorak
para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka
Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu
diri. Karena ia menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya
sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya
menjadi penasaran, apa lagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa
nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya
dan tidak merobohkannya secara hebat.
“Aku belum
kalah!” bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang
menganggap nyonya itu sudah menang. “Jagalah seranganku!”
Ia menerjang
lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan
tentu akan berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya
sudah marah sekali. Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam
menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan
seluruh tenaganya.
Seperti
tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan
meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur
waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat
laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi
sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
“Hyaaatttt...!”
Si Muka
Hitam menendang dengan kaki kanan. Ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan
itu jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya
yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu
maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat
kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan. Sambil mengelak kakinya
menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lweekang ke arah lutut
Si Muka Hitam.
“Krekkk!”
Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu
nyonya yang lihai itu.
“Ayaaa...
hwaduhhh... uggghhh...!” Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan
mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil
berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat
ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai ke
jantung.
Karena para
penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya,
kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan, bahkan
menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam
sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
“Maafkan
saya, Louw-enghiong.” Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran
pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki
yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada
Si Muka Hitam sambil berkata.
“Harap
Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”
Akan tetapi
Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya
ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau
menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung. Akan
tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu
digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan
tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung dengan memanjat
tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan
kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya
berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring, amat lucu bagi para penonton
yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah
nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura dengan sikap
tenang. “Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat
yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena
kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat
yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu
silat. Kami persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya
perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba
terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para
penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang
perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah
prajurit-prajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira
dan sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara
dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh Lulu, seorang di antara para perwira
itu, yaitu yang hidungnya melengkung seperti hidung burung kakatua, meloncat ke
atas panggung dengan gerakan ringan.
Lulu
memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan
mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan
nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan
silat itu sebagai ‘pelanggar hukum’.
Melihat
majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja,
malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh
tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu
sambil menjura penuh hormat dan berkata.
“Maaf,
Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan
kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”
Perwira itu
mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya
nyaring, “Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa
kalian telah melanggar hukum?”
Para
penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak
perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap
tenang saja ketika menjawab.
“Maaf,
ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang
rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan
para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.”
“Hemmm,
semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa
senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak
tahu?”
Kembali
kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara
para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton
diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa.
Apa lagi mereka yang merasa telah ‘melanggar hukum’.
Pada waktu
itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang
menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut
diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan
pakaian para pribumi harus ‘mencontoh’ pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini
tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana
dan cerdik untuk tidak terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi
dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah
pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak
dapat mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum
menyesuaikan pakaian dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu
ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan hukum ini.
“Maaf,
Tai-ciangkun,” Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguh pun tidak
menjilat, “kami mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk
melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan
silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat
mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak
membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Ada pun mengenai rambut dan
pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi
kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk
berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian
dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau
tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami
berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”
Perwira itu
tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil
memandang penuh perhatian. “Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun
hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi
kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan
sekali, aku pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai
ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku
mencoba-coba kelihaiannya. Bagaimana?”
Kakek itu
mengerutkan keningnya, “Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat
pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan
main-main.” Kakek itu tersenyum.
“Siapa
main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”
Kakek itu
menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan
tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau
lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan
tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan
merasa tersinggung kehormatannya dan akan mengandalkan kekuasaannya
mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya
bagi keselamatan anaknya.
“Biarlah
saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya. Kalau dia
yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua
pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.
Akan tetapi
perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan
alisnya diangkat, matanya melotot. “Heh, kalau orang lain boleh bertanding
melawan perempuan itu, kenapa aku tidak? Apakah kau anggap aku tidak cukup
berharga untuk bertanding melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan
sikapmu.”
Wanita itu
melangkah maju dan berkata, “Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini
beberapa jurus.”
Kakek itu
menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang
memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung
kekhawatiran, lalu mainkan gembreng. Wanita itu melangkah perlahan ke tengah
panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah
lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat.
Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus
itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan
matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya
dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu
menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus, “Tai-ciangkun hendak
memberi pelajaran silat kepada saya? Silakan.”
Sejenak
perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan asli wanita itu, kemudian
tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak
sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik
karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat
mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.
“Heh-heh,
Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai
itu.” Ia sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya
malah ingin menyenangkan hati orang sebab perwira ini maklum bahwa seorang
wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut
kalau disebut nyonya.
Akan tetapi
wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka
mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab, “Saya bukan gadis,
ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu
adalah anak saya.”
Terdengar
suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar,
wajahnya agak merah. “Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!”
Ia lalu
melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang
main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini
membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan
cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri
dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah
tendangan kilat.
“Aihhhhh,
cepat sekali!” Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan
menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu
cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira
itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim
pukulan ke arah muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu
sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya.
Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik
kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba
tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu
pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya!
Terdengar
seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka.
Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu
memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak
mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan
kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu
seperti tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan
kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia
bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram
kedua pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
“Ohhh...
le... lepaskan tanganku...!” Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha
melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang
kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur
tangan kanannya mencengkeram ke arah dada.
Kakek itu
terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata
perwira itu tidak mencengkeram untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan
halus dan meremas-remas dada wanita itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!
“Lepaskan
isteriku!” Laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan tiba-tiba
meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu,
karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk
menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu
malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
“Pergilah!”
Tangan kiri
yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita
terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada
kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.
“Ahhhh...!”
Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi
dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
“Krekkk!”
Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.
Kakek itu
meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si
perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata, “Kepandaian Tai-ciangkun
sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah
mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan
pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri
meninggalkan kota ini."
"Ha-ha-ha,
nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan
bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan
puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu
silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan
malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga
ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira itu.”
Wajah kakek
itu menjadi pucat. “Maaf, Tai-ciangkun... hal itu mana bisa dilakukan...?”
“Tentu saja
bisa kalau mau!” jawab Si Perwira.
“Aku tidak
mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu...”
“Ha-ha-ha,
beginikah harganya persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang
perwira lain yang berada di bawah tertawa.
“Kami sudah
bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu
menggembirakan, ha-ha-ha!”
Melihat
sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia
lalu berkata, nadanya tegas, “Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat
memenuhi permintaanmu itu.”
Perwira itu
menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan. “Apakah
ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?”
Kakek itu
maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya
mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa
dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan
puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata. “Terserah
penilaian Ciangkun!”
“Hemmm,
engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau
begitu, bersiaplah kau untuk mampus!” Perwira itu melangkah maju dan pada saat
itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.
“Tunggu
dulu...!”
Perwira
hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri
dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah
berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. Sikapnya angkuh sekali seperti
seorang jenderal, namun wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan
kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri. Sepasang mata yang lebar dan
bercahaya terang seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada
menjenguk jantung. ‘Pemuda’ ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan
kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan perbuatan perwira itu.
“Eh, engkau
ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?” Si
Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh
pemuda yang berdiri angkuh di depannya itu.
“Engkau yang
tak tahu diri!” Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek
yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan
khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil
menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu, “Engkau
ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan
memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat! mentang-mentang
menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk
bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk
menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan
tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan! Seharusnya prajurit menjadi
pelindung rakyat! Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat! Kalau rekan-rekanmu
di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun
dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu!”
Tidak hanya
para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si
Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda
ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja!
Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia
menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.
“Eh, pemuda
yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?”
“Aku rakyat
biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat
yang tidak berdosa!”
Sejenak
perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, pemuda liar
macam engkau ini sungguh menggemaskan! Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai
berdarah!” Ia menoleh kepada teman-teman di bawah panggung. “Bagaimana kalau
aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam
gembira kita?”
“Akur!
Akur!” teriak dua orang perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok
itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.
“Kalian
orang-orang Han memang sombong! Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau
apa?”
Kemarahan
Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira
bangsanya sendiri! Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia
merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.
“Mau apa?
Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok
itu!” bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak
cepat, yang kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher!
“Wah-wah,
ganas...!” Perwira yang memandang rendah gadis itu mengejek.
Tangan kanan
gadis itu datang lebih dulu ke lehernya. Cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis
yang menyodok perutnya hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya
tadi. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan
kanan Lulu yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan
pada detik berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!
“Dessss...!”
Perwira itu
menjerit dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah
hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya
tinggal dua buah lubang yang penuh darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh
perwira yang besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa
teman-temannya dalam keadaan pingsan!
“Pembunuh!
Pemberontak! Tangkap!” bentak dua orang perwira lainnya.
Bersama
sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung
dengan golok terhunus. Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan
saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman
golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu
memperlihatkan ‘kegagahannya’ menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas.
Kini dua
belas orang prajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa ‘pemuda’
yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di
tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru, “Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah
pedang ini!”
“Untuk
melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan
pedang, Lopek?” Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua
orang prajurit pengawal roboh kembali ke bawah panggung.
Karena
maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan
menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuh untuk berkelebat menghindarkan
serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan
anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di
sudut panggung dengan muka pucat.
Biar pun
dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia
memiliki sinkang yang amat kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga
dalamnya juga sukar dicari tandingannya. Hujan bacokan dua buah golok di tangan
dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira
ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira
Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang
rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu
dan kehilangan hidungnya.
Kakek dan
puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan
indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang
pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang
segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu.
Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya.
Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu
terhuyung-huyung. Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari
tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh
perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu
para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan
prajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara
anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika
menyaksikan betapa pihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan
tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya,
kakek itu berkata.
“Siauwhiap,
harap melarikan diri saja. Tak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk
kami...”
“Eh, omongan
apa itu? Apa kau kira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu
melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa
ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan
lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya
para pengeroyok yang lebih banyak itu. Mereka terkurung dan panggung yang
mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya
orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para
prajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para
pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu,
banyak pihak tentara Mancu yang roboh.
“Lekas
kalian meloncat dan memegang kuda ini!” Seorang di antara para pengemis itu
berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu.
Pada saat
itu puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan
terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas
punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis. Kakek itu
memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang pundaknya sudah pula
membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil memutar-mutar golok dan
pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan membalapkan kuda meninggalkan
kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah
hutan.
Atas isyarat
pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang
bertubuh tinggi kurus itu berkata, “Pasukan besar tentu akan mengejar kita.
Sebaiknya rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri
bersama sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!” Singkat saja
ia bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua.
Mereka
membagi kuda. Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu,
kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama
mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang
serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan, sedangkan pengemis
tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu melanjutkan perjalanan
memasuki hutan.
Belum lama
mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap
sekali. “Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui
sebuah goa yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu
yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Goa itu
tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu
turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu agak jauh
dari goa, kemudian mereka semua memasuki goa dan tanpa banyak cakap pengemis
kurus itu membuat api unggun di dalam goa, mengeluarkan roti kering dan air,
mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah
makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit,
pengemis tinggi kurus itu bertanya, “Ji-wi terluka?”
Kakek tukang
penjual silat itu menjawab, “Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku
perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan
khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk
menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu
besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis
kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu
dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang berpengalaman itu
menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka. Melihat sikap
pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang
menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi
kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum
mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama
sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia
diam saja dan hanya mendengarkan.
“Bagaimana
Lopek sampai diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu itu?” Tiba-tiba pengemis
itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu
memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh
kebencian ketika menyebut ‘anjing-anjing Mancu’.
Kakek itu
menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya yang kelihatan lelah dan
mengantuk itu. “Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang
melakukan perjalanan menyelidik, mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan
orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai
rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota
Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah
sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis
dengan tenang tanpa memandang Lulu.
Tentu saja
Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata
yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap?
Seorang dara remaja? Ahhh, hebat... ah, maafkan mataku yang sudah lamur,
Lihiap.”
Tiba-tiba
terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya, “Apa kataku? Dan engkau
masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kau kira semua
laki-laki sejahat perwira Mancu itu?”
“Sssttttt...!”
Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah sekali.
Lulu menahan
hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika
ia menolong isterinya dan berboncengan di atas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai
(Pengemis Tua), pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu
yang melepas penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan
ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya
terbuka.
“Tidak
percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap
suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi
kalau bukan anjing Mancu!”
Kembali Lulu
terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan
kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi
mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia memandang api
unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu
bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar
Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu.
Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan
belas tahun. Pekerjaan kakek ini adalah piauwsu yaitu pengawal barang-barang
berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang
puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang
lumayan. Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena
pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai
bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang
kiriman dengan selamat.
Akan tetapi,
mala petaka terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan
pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain
mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian
mengajak keluarganya pesiar ke utara, apa lagi pada waktu itu perang telah
selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini
perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan
tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta).
Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggota pasukan. Tentu saja
keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan
perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apa lagi dibantu oleh
puluhan orang anak buahnya. Maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka,
kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa
pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa
keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan
yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang
miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan
merantau ke utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai
berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira
mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja.
Apa pun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam
kepada perwira keparat itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil
mengepal tinju.
“Perwira
mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu
menepuk pahanya dan berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan Golok
Besar) Liok Bu Tang...!”
“Serrrrr...!”
Sebatang
anak panah menyambar dari luar goa dan Lulu yang bermata tajam cepat
menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api
unggun dan berbisik, “Bersembunyi mepet dinding goa...!”
Dari luar
goa terdengar suara ketawa bergelak, “Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar
sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh
berjuluk Bu-eng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan), akan tetapi sekali ini
bukan saja bayanganmu, juga orangnya akan menjadi tawananku atau malah menjadi
setan penasaran. Ha-ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Goa ini
sudah dikepung puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis
tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik, “Tidak ada pilihan lain.
Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu ke luar, dikeroyok, akan
tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan ke luar
sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas dari pada
semua mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak-lopek, engkau dan puteri
serta mantumu mengambil jalan kanan, kau pondong cucumu. Aku akan mengambil jalan
depan!”
Kembali Lulu
kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri
sendiri!
Dari luar
goa terdengar suara ketawa yang tadi. “Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel
busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam goa bersama Keluarga Gak. Eh,
Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si manis Siok Ci anakmu?
Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut
bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh,
adikku Siok Ci... engkau... sudah mati...” Nyonya itu menangis.
Ayahnya
membentak. “Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun
menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan
musuh!”
Seketika
nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepal tinju dan berseru, “Anjing-anjing
Mancu, rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum
sekali. Orang-orang Mancu itu... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut
‘pemuda hijau’, cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain
kepalanya, kemudian ia berkata, “Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil
jalan depan!” Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran.
Pengemis itu
di dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum. “Lihiap, engkau tidak
bersenjata?”
“Aku bisa
merampas senjata dari mereka.”
“Baiklah,
engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu
Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu
dan cucumu mengambil jalan kanan.”
Tiba-tiba
keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak
sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan
tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira
tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah
bercahaya mengerikan.
Mereka yang
berada di dalam goa sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu
sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing. Gak
Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di
lengan kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan
kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri,
berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng
Sin-kai itu.
“Siap! Kita
menyerbu keluar. Satu, dua, tiga...!”
Meloncatlah
mereka ke luar. Lulu yang memiliki ginkang istimewa itu melompat paling dulu
menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu
Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap
pemberontak! Bunuh...!” Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor
bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke
depan.
Karena mendengar
cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian
di hati Lulu terhadap perwira ini. Maka begitu ia menerjang ke luar dan
disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan
pukulan dan tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat
ke depan perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang
rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha,
pemuda hijau berani bertingkah?” Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya
dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak
mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu
terlepas.
“Heh...?
Ahhhhh...!”
Ia meloncat
ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi
menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelak tangkisannya dan
terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa ‘pemuda’ itu tidak boleh
dipandang ringan.
“Hemmm,
Twa-to-kwi Liok Bu Tang, mentang-mentang matamu tinggal satu engkau berani
memandang sebelah mata kepadaku?” ejek Lulu yang menerjang terus dengan
hebatnya. Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di
bawah sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti
payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
“Setan alas!
Kau kira aku takut padamu?” Biar pun mulutnya berkata demikian dan goloknya
diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira
ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira
rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan
membantunya.
Ada pun
Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak juga
menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya
mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok.
Ada pun mantu Kakek Gak itu biar pun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun
ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau
tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia
melihat isterinya dan ayah mertuanya yang menggendong puterinya juga dikeroyok
banyak orang.
Lulu marah
bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali
perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di
hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang
yang benar. Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, ginkang-nya jauh melebihi
para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang
tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar
seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang
pengeroyok dengan pengerahan tenaga sinkang-nya.
“Plakkkkk!”
Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa
kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi
ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
“Keparat!
Kepung, bunuh!” teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang
pembantunya tewas.
Diam-diam ia
pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa ‘pemuda hijau’ itu ternyata
demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju
menggantikan seorang yang roboh. Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk
Si Mata Satu! Ia mengertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar
cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang
seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua
orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan
kepungan ketat.
Pengemis
kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah
menjadi delapan orang, kesemuanya prajurit-prajurit Mancu yang sungguh pun
tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena
jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh
tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan
sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan
mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan
tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee, lalu
meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan
pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika
mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya,
keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas
laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya.
Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat kekuatan gerakan
pedangnya berlipat ganda dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum
ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang
gagah perkasa itu!
Kini tinggal
Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa
keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan
akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap!
Kita mengadu punggung, saling melindungi!”
Lulu
mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan
biar pun punggung mereka tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira
satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu tidak ada pengeroyok yang akan
dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat
melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang
si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak
buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang
jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah
patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang
anak buahnya tewas.
Si Mata Satu
dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak
buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu
ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada ‘pemuda’ itu. Hanya
seorang gadis remaja!
Para
pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau
menunggu komando. Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap
melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok
ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini
dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak
kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri
dan senjata di tangan kanan.
“Serbu...!”
Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando
pasukannya menyerbu barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring...!”
Suara
bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api
muncrat-muncrat disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang
pengeroyok. Kembali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam
karena para pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap
ketat. Kembali mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan.
Keadaan lebih menegangkan dari pada tadi.
“Lihiap,
berapa ekor kau robohkan?”
Lulu hampir
tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu,
terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan
untuk mengusir ketegangan.
“Lima...
ekor!” jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang
prajurit bangsanya.
“Aku hanya
empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat
sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking
marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak
becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan
serang terus sampai hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok.
Kembali
terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan
benar-benar amat hebat. Pihak pengeroyok terlalu banyak dan biar pun
sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor yang
dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka menjadi
lelah sekali. Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah
berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya.
Mereka
berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar darah
lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka bekas
bacokan senjata para pengeroyok.
Paha kiri
Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai
tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah
membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah
mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya. Lulu juga terluka, pundaknya
tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul,
kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula.
Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu
tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan
khawatir, Lihiap. Biar pun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita
sudah untung besar!” demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum
bukan main. “Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa
seperti engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada
seorang prajurit. Akan tetapi ketika ia mencabut pedangnya, terdengar suara....
“Krekkk!”
dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan
ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat
itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin
golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan
sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang
lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah
bersenjata lagi!
“Bukan main!
Gerakanmu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!” Bu-eng Sin-kai Kwat Lee
memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah
dihujani serangan dari para pengeroyok yang mengepungnya.
Biar pun
napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar
tongkatnya untuk melindungi dirinya. Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi
lemah karena gerakan Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat
Lee sehingga kini para pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua
rombongan. Dikurung seperti itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar
melindungi tubuh, juga membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar
senjata ke belakang dan untuk berloncatan.
Saking
lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat
menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka
yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari
senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan
dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati
dan penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok
besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan
tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan
tenaga tidak mampu lagi mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu.
Liok Bu Tang
kini menyerang Lulu. Seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguh
pun kekuatan sinkang gadis ini sebetulnya lebih hebat, akan tetapi karena
tenaganya habis, pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari
tangannya.
“Jangan
bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah
dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak
bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik
itu... ah, dia sendiri yang akan ‘menanganinya’.
Perintah Si
Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andai kata tidak ada perintah
itu, dalam keadaan bertangan kosong dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata,
dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama. Kini
para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan kosong.
Tentu saja
Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan menyambut mereka dengan
hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa orang sebelum Kwat Lee
terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah merasa pening kepalanya,
pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih bertahan terus.
Pada saat
itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi
kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang
itu ternyata lihai bukan main, apa lagi seorang di antara mereka, seorang kakek
jembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan
jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan
senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya
mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu roboh.
Ketika
Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat
mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali
mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya
dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si
Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya
lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan
lagi itu.
“Tranggggg...!”
Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur.
Kakek tua
renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar
tubuh Lulu yang sudah pingsan. Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa
pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang
ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak
kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak
tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang
pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam
keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping
kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua
pengeroyok lari tunggang langgang!
***************
Kita
tinggalkan dulu Lulu yang ditolong oleh para pengemis dan dibawa pergi untuk
dirawat luka-lukanya dan mari kita mengikuti pengalaman Han Han bersama Kim Cu.
Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang muda itu diajak pergi oleh
Toat-beng Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san. Agaknya nenek yang memiliki
watak sadis ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui lereng-lereng gunung
yang terjal dan sukar.
Tentu saja
Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah, menderita kurang darah
dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu melalui jalan yang sukar.
Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung di sampingnya ada Kim Cu
yang selalu menggandeng dan membantunya apa bila melalui jalan yang amat sukar.
Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam sikap dan pembelaannya,
benar-benar amat mengharukan hati Han Han.
Ketika
mereka tiba di sebelah hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti, menenggak araknya
dan menarik napas panjang. “Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati di sini...!”
Han Han dan
Kim Cu yang juga berhenti, memandang nenek itu dan mengira bahwa tentu nenek
itu akan turun tangan membunuh mereka di tempat sunyi itu. Mereka hanya menanti
nasib, karena maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Akan tetapi di
dalam hati dua orang muda itu terkandung tekad yang sama. Han Han mengambil
keputusan untuk menggunakan sisa hidupnya ini untuk membela Kim Cu dan kalau
nenek itu turun tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan melawannya, biar pun
kakinya tinggal satu. Demikian pula Kim Cu, dia akan membela Han Han kalau
hendak dibunuh gurunya dan ia akan melawan gurunya!
Tiba-tiba
terdengar suara orang bernyanyi! Suara itu halus dan terdengar seperti amat
jauh, akan tetapi kata-katanya jelas terdengar oleh mereka bertiga.
Cinta...!
Betapa besar
kekuasaanmu
menyelimuti
seluruh alam mayapada
menunggang
angin menyelam air
terkandung
dalam api tanah dan kayu
engkaulah
penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah
imbangan Im-yang!
Cinta
bertahta di langit
langit hanya
memberi tanpa meminta
nafsu
bertahta di bumi
awalnya
memberi sedikit
akhirnya
minta kembali seluruhnya!
Mendengar
kata-kata dalam nyanyian itu, diam-diam Han Han terkejut. Kata-kata yang luar
biasa, dan tidak merupakan pelajaran apa pun juga. Seorang tosukah orang itu?
Ataukah seorang hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu yang mendengar suara itu pun
terheran dan memandang gurunya, jelas bahwa gadis ini pun tidak mengenal suara
siapa yang bernyanyi itu.
Toat-beng
Ciu-sian-li menghentikan langkahnya, memandang ke depan dengan kening berkerut.
Sepasang mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak dari gucinya sebelum
berkata dengan suara melengking tinggi.
“Bukankah
Im-yang Seng-cu di depan itu? Kalau benar, lekas keluar jika ada urusan dengan
aku, jangan sembunyi-sembunyi seperti tikus!”
Terdengar
suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang wajahnya kelihatan
berseri dan bersih karena tidak ada kumis jenggotnya. Pakaiannya kuning
sederhana namun bersih, kakinya telanjang dan tangan kirinya memegang sebatang
tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga. Han Han terkejut dan girang
ketika mendengar disebutnya nama kakek ini, karena ia teringat kepada
sahabat-sahabat baik yang dijumpainya di rumah Pek-eng-piauwkiok di kota
Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li. Maka tanpa disadarinya ia
berseru.
“Ah, jadi
locianpwe inikah Guru Sin Kiat dan Soan Li?”
Mendengar
seruan ini, kakek itu memandang Han Han, kelihatan tercengang dan meneliti Han
Han dari atas sampai ke bawah, pandang matanya berhenti pada kaki buntung itu.
Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu kepada Han Han, bahkan dia lalu
menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan berkata.
“Sian-li,
apakah selama belasan tahun ini Sian-li baik-baik saja?”
Nenek itu
mendengus dan mengerutkan kening, kemudian memandang tajam dan bertanya,
“Im-yang Seng-cu, mau apa engkau berkeliaran di sini?” Nadanya penuh teguran
dan jelas bahwa pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.
Im-yang
Seng-cu tertawa dan merogoh bajunya, mengeluarkan sebungkus hioswa sambil
berkata, “Kebetulan saja aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam perjalananku
hendak menjenguk dan menyembahyangi kuburan sahabatku Jai-hwa-sian.”
“Jai-hwa-sian...?
Dia... dia... Kongkong-ku!” Han Han berseru, terheran-heran. Benarkah
kongkong-nya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah mati dan kuburannya berada di
tempat ini?
Ucapan Han
Han ini sungguh pun tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun ternyata mengejutkan
Toat-beng Ciu-sian-li dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini memandang Toat-beng
Ciu-sian-li dan suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.
“Sian-li,
apa artinya ini? Kulihat pemuda ini baru saja menderita buntung kakinya dan
kalau dia cucu Jai-hwa-sian engkau hendak apakan dia?”
“Im-yang
Seng-cu, berani engkau mencampuri urusanku?” Toat-beng Ciu-sian-li membentak,
suara dan pandang matanya mengancam, rantai panjang di kedua telinganya
bergerak-gerak seperti hidup.
“Mana berani
aku lancang mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi urusan yang menyangkut
diri cucu sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus kucampuri. Kalau aku diam
saja, aku malu bertemu dengan kuburannya!”
“Im-yang
Seng-cu, dengar baik-baik. Aku sama sekali tidak tahu bahwa bocah ini adalah
cucunya, dan dia ini adalah muridku yang murtad, melarikan diri dari perguruan
maka telah menerima hukuman. Ada pun gadis ini juga muridku yang membelanya,
maka kini keduanya harus dihukum mati.”
Im-yang
Seng-cu memandang Kim Cu dan Han Han bergantian. Pantas saja begitu bertemu
dengan Han Han tadi ia tercengang menyaksikan persamaan pemuda itu dengan
sahabatnya yang telah tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu Jai-hwa-sian! Dan
mata kakek ini yang awas dapat pula melihat kenekatan di dalam sikap dua orang
muda itu, melihat pula pandang mata penuh cinta kasih. Ia tersenyum dan
menjawab.
“Toat-beng
Ciu-sian-li, engkau tahu bahwa aku cukup menghormatimu sebagai golongan lebih
tua, akan tetapi engkau pun cukup maklum bahwa tak mungkin aku membiarkanmu
mengulangi perbuatanmu dahulu terhadap cucu sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah
berkaki buntung! Siapakah namamu?”
Han Han
tidak mengharapkan pertolongan siapa pun juga, dia mengaku cucu Jai-hwa-sian
tadi pun karena tanpa disadari dan saking kagetnya mendengar disebutnya nama
itu. Kini mendengar pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia dapat mengenal
orang dan biar pun kakek ini bertanya secara kasar, namun ia dapat menangkap
maksudnya yang baik, maka dengan tenang ia menjawab, “Namaku Sie Han,
locianpwe.”
Toat-beng
Ciu-sian-li terkekeh mengejek. “Dia she Sie dan mengaku cucu Jai-hwa-sian,
hi-hi-hik! Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah!”
Akan tetapi
kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap
tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi, “Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau
sebut Kong-kongmu itu?”
“Namanya Sie
Hoat.”
“Hi-hi-hi,
he-heh! Kebohongan yang dipaksakan, sungguh menggelikan!” kembali nenek itu
mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.
“Dan siapa
nama Ayahmu?” Im-yang Seng-cu bertanya lagi.
Han Han
mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa
untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama
Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biar pun Jai-hwa-sian itu kakeknya
seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka kepada
kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong nyawanya
dengan menggunakan nama kakeknya.
“Dengarlah,
locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira
bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan
mengaku sebagai cucunya! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang
juga belum lama kudengar dari Enci-ku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu
tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enci-ku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk
Jai-hwa-sian. Dan biar pun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri
dengan berlindung di belakang namanya.”
Im-yang
Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum
sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han. Teringatlah ia akan
sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.
“Tak salah
lagi... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma... akan
tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam...! Sian-li, terpaksa
aku menentang kalau engkau hendak membunuh mereka!”
Toat-beng
Ciu-sian-li mendengus. “Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri! Andai
kata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan
tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku
sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?”
“Bukan
setan, melainkan akulah yang akan menentangmu, Ciu-sian-li!” Tiba-tiba Han Han
berkata. “Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau
bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu!”
“Jika Subo
hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan Subo untuk
membelanya!” Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu.
Toat-beng
Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.
Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang
Seng-cu.
“Ha-ha-ha-ha.
Cinta, betapa besar kekuasaanmu...!” Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di
dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata, “Sian-li, apakah engkau masih
berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?”
Kemarahan
Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga
orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya
menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya
yang sudah masak itu penuh dengan perhitungan.
Ia mengenal
siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biar pun merupakan tokoh murtad dari
Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik
banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat
Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di
bawah tingkat supek-nya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai.
Andai kata
ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit,
akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar
kepandaiannya. Belum dihitung lagi Han Han yang biar pun buntung tapi
sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa.
Masih
bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia bertanding melawan Han Han
di kota raja. Pemuda itu dapat ‘memecah diri’ menjadi tiga orang, kepandaian
yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang dimiliki Sun Go Kong,
atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng See-yu! Kalau mereka ini
maju dan dirinya sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat memalukan.
Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan wajah yang
keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik napas panjang
dan berkata.
“Im-yang
Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal bulus! Engkau tahu bahwa
aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah
seorang bocah yang menjadi sahabat dari Suma Hoat, satu-satunya anak yang
dikasihi mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu.
Tentang bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, aku khawatir apakah? Han Han telah
buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di
sampingnya dari pada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku
menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin
melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Toat-beng
Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi
berkerincingan.
Setelah
nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia
bertanya, “Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan
Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?”
“Engkau mau
tahu? Mari ikut bersamaku.” Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan
tubuh melangkah pergi menuju ke selatan.
Han Han
terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti kakek itu dan Kim Cu cepat
menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang merasakan
sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka berpandangan sejenak dan Han Han melihat
betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata kebahagiaan
bahwa mereka telah bebas dari pada bencana! Betapa dengan kasih sayang yang
mesra mata gadis itu memandang kepadanya. Han Han sangat terharu, sejenak jari
tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan
langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa pernah
menengok kepada mereka.
Kakek itu
keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di
sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang
sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah
kuburan, mengeluarkan hio (dupa), menyalakannya dan bersembahyang. Bungkusan
itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas
tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan
bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa
berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan yang sederhana.
“Inilah
kuburan Jai-hwa-sian,” katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil
termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal
kuburannya saja itu masih hidup.
Semenjak ia
mendengar cerita enci-nya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan
berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga enci-nya sendiri mengakui bahwa di dalam
tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada
kakeknya. Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia
melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia
lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf
itu dan membaca: MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.
Berdebar
jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie?
Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid
In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat! Dan
teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu
mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah ke
mana!
Melihat
wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu.
Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil
berkata, “Ahhh... ini kuburan Supek yang menjadi putera Sukong Suma Kiat!
Kiranya sudah meninggal dan dikubur di sini!”
“Ini
bukanlah kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma!” kata Han Han,
penasaran.
Im-yang
Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri tersenyum. Kakek ini lalu
menundingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata, “Dan memang
sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan
tetapi Suma Han!”
Wajah Han
Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan
memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu
menaruh hati iba kepada pemuda ini. “Marilah kita duduk dan dengarkan
penuturanku, Suma Han.”
Han Han
dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan
kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya, sedangkan
Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas
panjang, mengangguk-angguk dan berkata.
“Benar,
engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat,
putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi
Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang
menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu.” Han Han mendengar kata-kata ini
seperti dalam mimpi.
“Akan
tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama
keturunan Sie?” ia membantah, ragu-ragu.
“Hal itu
tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga
Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguh pun seorang jantan gagah perkasa,
ditakuti lawan, namun memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apa
bila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat
yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oteh nafsu birahi sehingga
ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biar pun puteri
dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik!
Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang
di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang ber-she Suma itu
banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka
menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin
akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan
sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati
kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.”
Kakek itu
lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut Im-yang Seng-cu, Suma
Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena
seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan
perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk
mencangkok ilmu dari lain cabang.
Mereka
bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin. Keduanya
berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi petunjuk sehingga
mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali berjuang
bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat tidak
dapat mengendalikan nafsu birahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah dapat
ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu birahi ini yang sering kali
menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya,
baik wanita itu gadis, janda mau pun isteri orang!
"Darah
Suma yang mewariskan watak seperti itu," kata pula Im-yang Seng-cu.
"Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi
orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak baik,
semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini
mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia,
yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han
yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas.
Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja
kalau terjadi pertempuran dalam sanubari mu antara kedua darah keturunan ini,
watak Keluarga Kam yang akan menang."
Han Han
tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak
merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam
hatinya, apa lagi kalau dia mengerahkan sinkang, seolah-olah ia menjadi buas
kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya
itulah dorongan watak Suma. Terkutuk!
"Kalau
dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?"
"Kelemahannya
hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu birahinya, dia
seorang pendekar yang gagah. Karena itu, sungguh pun banyak pendekar di dunia
kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk
aku sendiri."
Han Han
penasaran. "Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri,
mengapa tidak ada yang menasehatinya seperti locianpwe sekarang menasehati
saya?"
Im-yang
Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang
dengan pemuda itu. Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis! Belum pernah ia
melihat mata orang seperti mata pemuda ini...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment