Cerita Silat Kho Pong Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 05
Han Han
memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan.
Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk
bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap
tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian,
sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin
Lo-mo.
"Mereka
adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"
"Sikat
saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han
Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata
terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan
tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si
Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo
memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini
pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa
dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi pembantu-pembantuku. Jika perjalanan
ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai
ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua
perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah?
Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"
"Tidak...
tidak takut" hanya...
"Cukup!
Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat
meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian,
kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya."
Han Han
bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu
dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh
mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka
dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati
di perut ikan!
Sementara
itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka
Tengkorak. Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan
berjenggot panjang segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak
sambil berkata nyaring.
"Ah,
kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap
Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami
melakukan pelayaran ini."
"Cu-wi
(Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?"
suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan
orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami
menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk
menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui,
hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah
kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak
bertanya, suaranya marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan
perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari
alasan.
Pimpinan
rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata,
"Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya
mengandalkan nasib baik Pangcu kami."
"Hemmm,
kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan
aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas
orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si
Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si
Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka
bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi
Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah
sendiri belum pernah menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami
melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah
mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong
mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap
Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
"He-hemmm...,"
Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.
Dia tidak
takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia
hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi
dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek
sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati
perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan
perahu kalian sekarang juga, karena perahu kalian harus ditenggelamkan di
sini!"
Kembali
seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para
rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah
itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara
orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya.
Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ
terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya
dan bertanya.
"Kalau
kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah
Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"
Si Muka
Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti
tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal
di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas
orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal
sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir
dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu
memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Ada
pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap
(Pendekar Besar Bermuka Hitam)."
Kembali tiga
belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh
tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak
sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan
tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang
pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok
dan bajak), namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka
Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.
"Hemmm,
nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun
sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan
mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"
"Sama
sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti
juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati
perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk
bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga
belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa
penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat
buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya
sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang
yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap
kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah
locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat
menduga bahwa biar pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga
orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi
kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan
tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan
tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari
In-kok-san?"
Si Jenggot
Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh
perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti
she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san.
Akan tetapi
seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan
dia... Ma-bin Lo-mo....” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin
terbelalak.
Ma-bin Lo-mo
menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah
mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian
lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah
mengenal Swi Coan."
Tiga belas
orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira
akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya
sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan
tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja
mereka sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf,
Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus
tunduk terhadap perintah Pangcu kami."
"Swi
Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak
kepada tiga orang pembantunya.
"Kalian
tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil
berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu!
Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan
membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han
yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi berteriak nyaring.
"Tutup
mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja
tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa
anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid
sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya
Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat
ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh
menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong
(Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung
kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang menaati perintah Pangcu,
juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa,
kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang
muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.
Mereka
bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu
Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga
orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang
lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi
mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari
Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang
amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau
mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.
Begitu
melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas
orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan
melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap
menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu
mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah
berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek
berada di luar lingkaran.
Ketika tiga
orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka,
hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka
masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan
membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat mengelak dan hendak
membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka
berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan
gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja
sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.
Tiga orang
kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha
untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang
anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat
‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan
tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih
tinggi, maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk
pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapa pun tiga orang kakek
itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang di
antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.
Setelah
lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun
di antara tiga belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang
sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya.
Mundur semua!"
Seruan ini
segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu
kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan
mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka
memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa
Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.
Ketua
Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam)
adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia
terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan
pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah
memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini
terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya
masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu
dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh
kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu
cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.
Akan tetapi
mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di
perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun
menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti
terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak seperti
mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar
golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul
robohnya tubuh mereka.
Tiga belas
orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah,
mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang
menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban
pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka
itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang
diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!
"Hemmm,
kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.
Kakek sakti
ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu,
dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke
lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah
melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri.
Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang
mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
"Ohhh...
kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai
menangis.
Han Han
hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang
menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa
di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki
‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang
yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi
seorang penentang bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan
orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam
yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.
Ketika
perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri,
tetapi merasa muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari
ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang
manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga
hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan
yang bebas. Kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka
diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak
cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan
tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan
tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke
empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah
yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.
"Sudah
belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun
yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin
Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan
menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai
mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."
"Apakah
dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.
"Begitulah
agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa
dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"
"Siangkoan
Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang
yang maha sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.
"Saya
mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si
Muka Bopeng.
"Kalian
bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau
berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang
benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor
tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."
"Ada
perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.
Empat orang
itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar
sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang
melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir
kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin
Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya
perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.
Seperti juga
tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo
menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan
suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.
"Wah,
sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti
anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada
di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang
sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."
"Setan
Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan
suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas
mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
"Tak
usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang
Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw
membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya
membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"
Sekali ini
pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan
karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin
Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat
seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu
terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian
perwira-perwira Mancu!
"Bagus!
Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi
masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu.
Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah
lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di
sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es
berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang
waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."
Pada saat
itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang
terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!
"Ha-ha-ha-ha!
Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah
mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”
Swi Coan,
Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang
begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam
jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat
berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka
melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang
didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh
tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mukjizat.
"Gak
Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus,
dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita
menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka
mengeroyok!"
"Ha-ha-ha,
Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa
pembantu-pembantu. Si Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para
Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding
melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau
melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka
menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang
mampuslah bersama para pembantumu!"
Setelah
terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur
banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya.
Namun dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat
meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han Han cepat
menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil
merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di
dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang
anak itu roboh.
"Belenggu
mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han
Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu
akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat
tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian
melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
"Ha-ha-ha,
Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh
habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa
mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia
bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.
Ia percaya
bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu
dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata
Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para perwira Mancu membujuk dengan hati
panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi
saran untuk melepas anak panah berapi!
Serangan ini
dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan
akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak
dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang yang
membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan
diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap
pada bilik perahu dan pada layar.
"Celaka,
perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.
Dan benar
saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar
perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan
api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di
perahu.
"Kita
harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung
perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"
Tiga orang
pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar.
Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si
Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas
atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Ada
pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke
air.
Tiga orang
ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu
itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo
sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa
sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk
memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa,
"Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar
bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak
itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han
segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah
keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan
belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han
Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air.
Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia
bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti
mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati
terbakar.
"Koko...
aku takut.... api itu akan membakar kita...”
Tiba-tiba
saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang
tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung
itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan
ulah manusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat
itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun
kenyataannya ombak makin membesar dan langit makin gelap.
"Lulu,
lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han
Han sambil bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.
Dia
mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan
mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang
sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas
sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk
mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang
untung belum terlanjur terbakar.
Han Han
dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan
ikatan adiknya. "Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.
"Tidak...!
Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan
terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.
Angin
menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin
terbakar api?"
Sebagai
jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan
kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap
di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka
merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.
"Hujan...!"
Bukan air
hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring
dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam.
Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah
langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret
tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.
Ia berhasil
menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih
terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada
bahaya mereka terlempar ke luar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama
Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding
sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.
Han Han
sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu
terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa
itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat
mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia
terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun
dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu
yang dipeluknya erat-erat di dadanya.
Han Han tak
dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap
sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai
mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han
memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai
dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah
pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han
tetap sadar!
Keadaan amat
tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han
Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti
remuk-remuk. Terdengar suara Lulu merintih perlahan.
"Bangunlah,
Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka
matanya perlahan.
"Han-ko…,
apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa
sakit..."
Han Han
merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."
Ia
mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya
ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada
perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun terguncang dan
terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup
guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan
tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan
anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah
kemudian berkata, "Perutku lapar...”
Han Han
tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan
lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam
bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan
girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah basah
oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang
kosong, mencegah kematian karena kelaparan.
Setelah
terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu
menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke
luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi
pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi.
Han Han berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi
tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan
perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai
yang mengamuk.
Hatinya agak
lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia
iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata.
Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum.
Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun
sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan
yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka
akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk
menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.
Memang,
kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu
sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi
dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa
manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan menghendaki seseorang
mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian,
memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini
yang akan dapat membebaskannya dari pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah
menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan
datang menjemput.
Sebaliknya,
jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada
harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula
dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak
mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam harinya,
tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang
sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang
mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.
Han Han dan
Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling
berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka
hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh
gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han
Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara
gemetar.
"Kita
mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”
Suara dan
ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang
akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya
dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biar pun dia akan mati, asal
dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan
melindungi adiknya ini.
Karena tubuh
mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula,
mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu
diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang,
gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk
dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han
membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar
menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu
tidak bergerak lagi.
"Lulu,
badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan
suara lemah.
Lulu membuka
matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti
dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata.
Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu.
Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka
matanya.
"Lulu...
mari kita keluar.... Kita harus berusaha untuk mendarat..."
"Oohhh...
lebih senang begini, Koko...." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang
Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.
Han Han
menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti
mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat
firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia
akan kehilangan Lulu!
Maka ia
menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di
badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut,
Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"
Lulu membuka
matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia
mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang
memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng
tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan
berkata.
"Koko,
kitab-kitabmu tercecer..."
Han Han
menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan
bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi.
Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis
memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil
kitab-kitab itu.
Yang sebuah
adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab
peninggalan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah
kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah
kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah
kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.
Yang sebuah
berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi
dan Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa
dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga
orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan
tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan
Lulu diajak keluar dari bilik.
Ketika
muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga
girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang
kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ
diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang
rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
"Pulau
Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan
menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya
dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.
Han Han yang
menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas
daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak
sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh bergulingan. Mereka bahkan
tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.
“Kita
selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya
terengah-engah.
Anak ini
dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan
terhadap segala kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk
menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia
pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar karena
kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun
menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa,
diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba
Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga
buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.
"Koko...!
Han-ko....! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh
kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak.
Melihat
kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air
mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering
sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
"Han-ko...!
Jangan mati, Han-ko.... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan
memeluki tubuh Han Han.
“Gerrrrr……!”
Suara
gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini
mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia
bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya
ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada
suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia
sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan
akal.
Di depannya,
dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang
berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan
tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu
sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan
memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan
rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan
meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan
kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.
"Ohhhhh,
tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu
Han-ko...!"
Memang luar
biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak
ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu
juga saking ngerinya. Kini melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu
melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan
gerakan tangan!
Namun
beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan
seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya,
kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh
Han Han yang masih pingsan!
Lulu
terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak
mengganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu
bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian
berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau
beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju
tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan
keselamatan kakaknya.
Betapa
indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada
dalam hati setiap orang manusia itu diperkembangkan! Betapa sucinya cinta kasih
sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan
bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang
yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan
mengusir kelemahan utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoisme).
Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang
Maha Kasih.
Beruang
putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam
kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat
lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah
pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi
tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan
hebat itu.
Alangkah
heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah
pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han.
Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam
apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang
membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.
Bangunan itu
amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak
sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah
itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk ke sebuah
kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah
pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.
Kamar itu
pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah.
Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus
berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan
mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga
terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan
beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.
Beruang itu
benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri
seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di
depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian
dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan
kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu
mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas
perapian.
Lulu menahan
pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han,
pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram
sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti
orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan
saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.
“Cringgggg...!”
Bunga api
muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan
menyala-lah kayu itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu
mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian
binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah
hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu.
Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian
keluar dari kamar.
Lulu seperti
baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...!
Koko…! Bangunlah... Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum
juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi
ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki
kamar. Mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya
membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di
atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali
mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak
seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.
Lulu adalah
seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa
binatang itu sama sekali tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya
perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu.
Binatang itu
kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat
perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah
panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu
adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia
mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil
sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara
"arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.
Lulu tidak
mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga,
mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam
panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali.
Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi
minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia
kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya,
menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan
kaki depannya ke arah tungku.
"Paman
beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"
Beruang itu
hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut
Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa
binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam
semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang
itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di
atas api dan beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu
harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya.
Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku
dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah,
kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"
Beruang itu
mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut
beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu.
Beruang itu mengeluarkan suara ngak ngak nguk nguk dan kaki depannya yang kiri
dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!
Bocah ini
menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga
tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi
kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi
tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya
mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu
dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka
dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya
girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat
menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu,
Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu memasak benda putih yang ternyata
adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer. Mulailah anak
yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah
dapat bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han
tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum.
Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.
Atas
perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang
luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya.
Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han Han mendengarkan cerita Lulu
tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk
binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han
pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan,
diantar oleh beruang putih.
Bangunan itu
cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar
dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya.
Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat
luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang aneh karena di situ
bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja
yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias
dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang
mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata
pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah
beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena
sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan
oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat
menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat
banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran
ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku
yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk
menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han
dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang
manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu,
melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan beruang putih itu. Hanya
seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi
seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki
tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang
pandai.
Mula-mula
Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang
memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka
mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu
sebagai rumah sendiri.
Kamar
pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah,
namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang
berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain
mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang amat luas dan
bijaksana, juga ditulis amat indah.
Di bagian
lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang
sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan
hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan
pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung
karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini
menyampaikannya kepada yang berkepentingan’.
Sajak
terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari
pada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan
alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan
tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah
goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh
Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.
Betapa ingin
mata memandang mesra
betapa ingin
jari tangan membelai sayang
betapa ingin
hati menjeritkan cinta
Namun Siansu
berkata:
Bebaskan
dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan
pernah tercipta!
Betapa pun
juga,
cinta segi
tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan
yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan
persaudaraan dilupakan
akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu
bahwa
sengsaralah buah dari nafsu!
Membaca
sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han
hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli
pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam
hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.
Ada pun kamar
yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah
kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih
lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang
indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat
menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati
sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat
pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi
tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai
keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas
‘petunjuk’ beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali
gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini juga lengkap
terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah didapat
berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli
menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak
itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup
baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.
Mulailah Han
Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari
kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang,
bersemedhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri
terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang
ditinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan
hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik.
Sebaliknya,
ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan
Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai
membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan
terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali
tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak
dapat dibaca sama sekali!
Akan tetapi
Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang
Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya.
"Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik
di bawah, buang satu coretan menurun."
Ia membuka
dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan
itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu
sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat
dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau
dibuang titik mau pun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf
itu! Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab
peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu
mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan
para datuk golongan sesat ini.
Karena pada
dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih
mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat. Tanpa disadarinya, ia telah mengisi
dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok
dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika
ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding, sedangkan
perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa mala petaka hebat yang
menimpa keluarganya.
Ada pun Lulu
yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian
keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masih ‘bersih’ ini lebih
dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan
manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab
itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama
sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh
Lauw-pangcu, maka biar pun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur,
sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.
Mula-mula,
Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab
pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia
lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa sebagai puteri
seorang perwira, sejak kecil Lulu sudah diajar membaca sehingga lebih mudah
bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian
orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak
mengenal jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biar pun
bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa,
dapat juga ia merasakan hasilnya.
Biasanya,
semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan
pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan
tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun anak itu dapat mengerahkan
sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau
hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat.
Setelah
tubuh Lulu menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi
petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah
kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat
tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab
yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah,
maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya
dapat ia petik sebagian kecil.
Kemajuan
Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah
menjadi seorang ‘ahli silat’ dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari
tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Ada pun Han Han
yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo,
Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri’
ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan.
Secara
ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh
dan mengerikan. Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan
pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan
tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam
cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa
dingin sebagai ujian.
Sebetulnya,
dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sinkang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han
Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau
itu, sungguh pun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia
seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkang-nya. Kalau dia menang, dia
tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan
Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut.
Untung bahwa
dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan
kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo
mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han
telah terkandung tenaga mukjizat, begitu ia bersemedhi dan mulai melatih diri,
sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga ‘dingin’ ini.
Berlatih
menghimpun tenaga dingin di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu,
pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya
seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut
kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil
kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti
tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau
mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi
latihannya menghimpun tenaga dingin.
Akan tetapi
Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak
pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya
sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin dari pada hawa
dingin di luar tubuhnya. Karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin dari
pada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang ia malah merasa bahwa hawa yang
amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin!
Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin,
Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!
Demikianlah,
dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain, bahkan teman berlatih
silat yang amat tangguh bagi Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian
yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!
Setelah
tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu
seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin
tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupakan tempat tinggal
orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ
sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya.
Akan tetapi
selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang
menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya berupa
sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan
kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung
soal nama mau pun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.
"Ah,
Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para
penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati," kata Han Han sambil
mengelus bulu putih lengan binatang itu.
"Mungkin
dia sudah berkali-kali bercerita kepada kita dengan gerakan-gerakannya. Sayang
kita yang tidak mengerti," kata Lulu sambil tertawa.
"Boleh
jadi!" kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik
angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas
tampak betapa manis dan cantik anak ini. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar,
mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.
“Benarkah,
Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang
manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami
ditinggali segala kemewahan ini?”
"Nguk-ngukk...
ger-gerrrrr...!” Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua
lengannya dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa
geli.
Mendadak
beruang itu menggereng, lalu menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan
tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu
luput.
"Ihhh,
salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku tidak ingin mengajak kau
berkelahi!" kata Lulu. Melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya,
beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.
Mendadak
terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari
tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu
dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju
tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu
ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin
cepat sekali berubah, makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.
"Agaknya
badai akan mengamuk lagi…!" kata Han Han.
Biar pun
mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengah Pulau
Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri
juga. Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka
dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan
tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar
tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.
"Paman
beruang, bukan waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggut
tangannya.
"Dia
tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada
sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah
mereka memasuki istana.
Akan tetapi
beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk
terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di
bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba
di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti
mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang
sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah
dinding.
"Apa
maksudnya?" tanya Han Han.
"Aneh
sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu,
tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil dari pada kita," jawab Lulu
dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha
mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan
tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.
"Eh,
Paman Beruang. Kalau memang harus didorong, kau bantulah aku!" kata Lulu
rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang itu.
Han Han
menghampiri dinding itu, membantu Lulu mencoba untuk mendorongnya. Akan tetapi
tiba-tiba beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu
menggereng-gereng dan menggeleng-geleng kepala, kemudian membuat gerakan
mendorong lagi dari jauh sambil menuding-nuding ke arah Han Han. Mereka telah
tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti
bahasa gerakan ini.
"Han-ko,
agaknya Paman Beruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.
Han Han
mengerutkan kening. “Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah,
jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang
dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."
Ketika
mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu mengangguk-angguk dan
mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati
Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua
lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sinkang di
dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah
dinding. Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang,
tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan
Im-kang.
Kemajuan
yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa
dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan
dinding yang terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada
perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang
sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.
"Bagus!
Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah
berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali
mengetahui apa yang akan terjadi.
Sementara
itu suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah
masuk sampai ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai itu
mengamuk kalau angin dan suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu!
Han Han
sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi beruang itu menggereng-gereng marah
dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih
tetap membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong
lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi
agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan
tenaga kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena
dalam hal tenaga kasar, beruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia.
Tentu harus
menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah? Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia
melatih sinkang-nya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan
dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang.
Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana
di Pulau Es ini berbeda sinkang-nya dengan Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi,
tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti
panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan
tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapa pun juga, Han
Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa
sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang
manusia sudah cukup mantang.
“Apakah
dengan tenaga Yang-kang?" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya
memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa kakaknya sedang berusaha
keras untuk membuka rahasia dinding ini.
Han Han
kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha
mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja
peluh membasahi muka dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena
kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak
kagum dan beruang itu meloncat ke belakang ketakutan.
Memang luar
biasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan
kekuatan mukjizat dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa
sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya dari pada kematangan
latihannya. Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan hawa panas
seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang
istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk
kedua kalinya ke arah dinding itu.
Kembali
dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi sekali ini yang tergetar
hebat adalah bagian dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama
sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya dari pada tadi. Beruang itu mulai
‘mengomel’ lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu
menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han
Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis
cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu? Sementara itu, kini angin yang
masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga
mengejutkan mereka.
"Han-ko,
apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?" Tiba-tiba Lulu
yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.
“Yang
pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti
panas."
Lulu
bertepuk tangan dan wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika
engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang
terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau
menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri
tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau
lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan
kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia
ini, Koko!"
"Agaknya
engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang
berlawanan secara berbareng?"
“Mengapa
tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun
yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam
sinkang?"
"Benar,
dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga
yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja
dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa
mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!"
"Koko,
engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang
tidak mungkin bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat
mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis,
akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti
tidak merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian
rahasia dan Paman Beruang agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat
itu!"
Han Han
menoleh dan melihat betapa beruang itu repot menutupi mukanya agar jangan
terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya
tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi
seperti anak kucing.
“Harus
kucoba,” pikirnya.
Mulailah ia
menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa
sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk
membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya hanya orang yang
sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan
Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga
sinkang yang amat kuat.
Akan tetapi
karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali
membagi sinking ini. Kedua tenaga sakti itu menarik-narik, kadang-kadang
menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan,
kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang
panas dan membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali,
dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.
Akan tetapi
ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah
Lulu, ia melihat adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh
kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi
dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil, biar pun dia akan menderita
sampai mati sekali pun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga
mukjizat inilah yang membuat ia memiliki kekuatan pada matanya sehingga tanpa
belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang
lain!
Kini tenaga
kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biar pun ia belum pernah melatih untuk
mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk ‘mencegah’ sinkangnya
menjadi dua macam. Sekali ini dia berhasil! Akan tetapi keadaannya seperti
seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia
harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan
sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua
lengan yang berlawanan hawa saktinya.
Dinding itu
tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara
berderit aneh kemudian.… dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka
seperti ada tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri!
"Kau
berhasil, Han-ko...!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera
berubah menjadi kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat
melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai
terbanting.
Beruang itu
pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya
dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi
isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil
memondong tubuh Han Han mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.
Lulu yang
menjadi cemas melihat kakaknya pingsan segera menuruni anak tangga tanpa
ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong
beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu, teringatlah ia beberapa
tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia
yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan.
Anak tangga
itu amat dalam, dua kali lebih dalam dari pada anak tangga yang menuju ke
gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi
bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan
kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan
sekali, jauh lebih indah dari pada semua ruangan di atas! Benda-benda yang
berada di situ berkilauan, terbuat dari pada emas dan perak.
Beruang itu
sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat dari pada batu putih
bersih dan mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke tengah ruangan dan
menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang terbuat dari pada batu
pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis.
Biar pun
merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu,
tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia
curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut
di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa
kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti
terbakar gosong, ada pun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat.
Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.
"Koko…,
Han-ko.... Aahhhh, Koko...!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi
kebingungan.
Akan tetapi
ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam akibat
dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah
banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih
diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari
perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah
dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han
menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan
ilmu kaum bersih!
Melihat
keadaan kakaknya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinkang ke
tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka biar pun latihannya belum
matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua
telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta,
bersemedhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar
melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han!
Han Han
siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya.
Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan
menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali dan
rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.
"Cukuplah,
Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat," katanya
halus sambil mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan.
Lulu membuka
matanya, akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia
melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa
kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan
perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih
kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling
ruangan yang indah itu dengan pandang matanya.
Ruangan itu
benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung. Yang
tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian
kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung
ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria
ini adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan
wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung! Ada pun yang berada
paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi
dari pada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur
dengan kekerasan hati dan kekejaman yang terbayang pada wajah cantik itu. Hanya
patung inilah yang tidak ada cacatnya.
Tiba-tiba
Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku beruang es ketika itu. Binatang
ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan
menjatuhkan diri di depan patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan
suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung,
berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa
sayang, akan tetapi selalu ia kembali ke patung sebelah kanan dan ia berlutut
di depan wanita cantik tanpa cacat itu sambil mengangguk-angguk dan
membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang
ketakutan. Melihat beruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam
tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu tertawa.
Han Han
membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah
ia mengapa beruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini tidak terdengar
lagi suara badai mengamuk dan mereka memang aman dari pada gangguan suara dan
ancaman hujan butiran es keras yang beterbangan seperti peluru. Akan tetapi,
melihat beruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia
memandang terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu
patung-patung itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah
meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka
bertiga itu? Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
"Lulu,
jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung dari pada Locianpwe yang
dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat...”
Lulu menurut
dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat
betapa tiga buah patung itu menggambarkan seorang laki-laki muda dan tampan
serta dua orang wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han
terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni
Istana Pulau Es? Akan tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu
lagi dan ia membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan
ketiga patung itu sambil berkata.
"Teecu
Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua
berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua
menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi
Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."
Beruang itu
kelihatan girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di
depan patung pria itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun
menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama
ini menjadi sahabat-sahabatnya!
"Koko,
mengapa aku bernama Sie Lulu?" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan
melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.
"Habis,
engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa
lagi?"
"Koko,
para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda
dan kelihatan seperti orang-orang lemah?"
"Hussshhh,
jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat beruang itu mengenal
majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Dahulu mereka adalah penghuni
istana ini, entah berapa puluh tahun yang lalu. Menurut percakapan tokoh-tokoh
yang kudengar, Pulau Es ini dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu
Suci pernah mendongeng bahwa di sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia
yang maha sakti seperti dewa..."
“Ah... Cici
Kim Cu yang baik itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia
mencintamu, Koko...!"
"Husssh,
yang bukan-bukan saja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini
jangan bicara begitu…"
Kembali
mereka berdua memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa
kini beruang itu duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng
dan tenang, juga sikap binatang itu jelas menunjukkan ketaatan dan penghormatan
yang mendalam.
Patung-patung
itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han Han yang
mempelajari wajah patung-patung itu melihat betapa mata patung pria itu
mengandung kebijaksanaan yang luar biasa, mendatangkan rasa kagum dan tunduk.
Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan budi dan
sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan
tetapi yang paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah
kanan.
Harus ia
akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita secantik ini,
cantik dan menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu berdebar
jantungnya, seakan-akan ia terangsang oleh wajah cantik dan bentuk tubuh yang
elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup, tentu ia
akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan. Sifat keras
hati dan ganas yang terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang lebar indah itu
baginya malah menambah daya tarik.
Menjelang
senja, badai di luar Istana Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari
tempat rahasia itu. Han Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga
patung itu sambil berlutut. Kemudian, didahului oleh beruang yang agaknya telah
tahu bahwa badai telah berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia.
Setibanya di luar, seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka
itu dapat menutup sendiri! Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa
seram. Adakah mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja
ini? Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia
itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu
ketenteraman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.
***************
Ke manakah
perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga
tahun yang lalu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat
mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu
Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya
meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.
Si Setan
Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat
kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa
iblis laut sendiri. Ada pun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat
menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu
yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bambu-bambu pengapung yang
dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.
Pada saat
itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama anak buahnya terlalu repot dan
sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak
melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan
tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu
itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di
tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapa pun badai mengamuk dan
perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu
seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.
Setelah
badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan
terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu
mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong
untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para
perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke
arah utara.
Sekali
meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya.
Biar pun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas dari pada
mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih
kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara,
kemudian ia berkata girang.
“Tidak salah
lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil...!” teriaknya.
Tentu saja
hatinya girang ketika ia melihat sebuah pulau yang putih diliputi salju dan
melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, di bagian yang agak
tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang
perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika.
Seperti
iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah
kuyup. Biar pun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terlalu lama
terendam di air laut, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si
Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka
herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang
perwira yang roboh dan tewas seketika!
“Iblis Muka
Kuda! Engkau masih belum mampus?" teriak Setan Botak dengan nyaring dan
terheran-heran.
"Si
Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas
Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak. Ada pun tiga orang
pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu.
Terjadilah
pertandingan hebat dan mati-matian di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo
sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat
bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biar pun hawa sakti yang tersalur
di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli
Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka
sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing
harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera
saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali
saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.
Pertandingan
antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang
perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu
bukanlah prajurit-prajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang
sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan
Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak
serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang
sakti yang berilmu tinggi.
Kalau saja
tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biar pun
dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat
menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami
penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan
gelombang lautan.
Gempuran-gempuran
air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan
yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga
mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan
terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan
seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas
dengan serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak
Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah
pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan
pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguh pun mereka itu merupakan dua
di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apa lagi saling
membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya.
Pulau Es
sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar
untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh
golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih mau pun kaum sesat. Mereka
ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa
Koai-lojin, seorang manusia setengah dewa yang memiliki kesaktian luar biasa
dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran
segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak
Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil
menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai
idam-idaman hati masing-masing.
Setelah
lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee
masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa di antara mereka yang lebih
unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di
antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali,
mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa
kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang
tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami
luka-luka parah.
Namun dalam
pertempuran kurang lebih satu jam itu telah terjadi perubahan pada pertandingan
antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti
itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka
maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan
tewas di pulau kosong itu.
Swi Coan si
muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu
sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut
besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti
halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat
banyak jumlahnya itu.
Ada pun Kek
Bu Hwesio, tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang
kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya
sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang
ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi
lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti
sebatang tongkat baja.
Ouw Kian si
muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas
sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika dimainkan, berubah
menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi
tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para
pengeroyoknya.
Betapa pun
lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun
jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka
itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan
batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar.
Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu
masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira
yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput dari pada
luka-luka bacokan golok.
Biar pun
luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging,
namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka
merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh
biar pun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi. Dengan
demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya,
sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk
menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.
Pertandingan
yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat
memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak
tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang
keadaannya pun tidak lebih baik dari pada perahu Mancu, dan jelas tampak
bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek,
tiangnya ada sebuah yang patah. Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat
turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka
itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang
kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing
tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias
ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.
Siapakah
mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah
perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai),
jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang
mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan
Pulau Es. Bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai mereka
menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa
pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda
pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.
Dan seperti
juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun
diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat
berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga manusia, betapa pun kuat dan pandainya
mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam
yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar
pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka
terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu
mendarat.
Siauw-lim
Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka
pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar
dari jauh. Karena ini mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan
berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba
mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang
berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali
menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu
berloncatan mendekati tempat pertandingan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang
sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan
Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang
keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa
adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka
itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa.
Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan
Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo
adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut
dijadikan sahabat mau pun sekutu sungguh pun mereka tahu pula betapa kakek
sakti ini membenci penjajah Mancu.
Akan tetapi
kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak.
Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo, sama
sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan
terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah tentu saja tidak sudi
bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi
mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan
itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Bhok Khim, anak murid
Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah
diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka
teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Setan Botak. Semua ini ditambah
lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira
Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini
memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut
pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee.
"Kang-thouw-kwi,
bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin
yang menjadi wakil dari para sute-nya.
Bentakan ini
pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah
menggerakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung
dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main
melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini.
Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak
gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam.
Akan tetapi
di situ ada Ma-bin Lo-mo. Dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim
Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula. Kini
melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat
melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo
sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah
meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan
Hwi-yang Sin-ciang!
Maklum akan
lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih
menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sute-nya
sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo
sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im
Sin-ciang kepada Setan Botak itu.
Gak Liat
terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling
berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.
“Dukkk!”
Sekali lagi
tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong
dengan tangannya ke arah enam sinar pedang. Biar pun ia berhasil meloloskan
diri dari cengkeraman maut, akan tetapi pundaknya masih tergurat pedang
sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah! Pada saat itu sebuah dorongan
datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya
kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan
pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras
dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.
"Ha-ha-ha."
Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan
Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu.
Serangan ini
benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei
Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan
itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang.
Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat
tubuh mereka menggigil kedinginan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan
sinkang, rasa dingin itu lenyap!
Siauw-lim Chit-kiam
kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak
bergerak-gerak dan saling memandang, menanti pihak lawan bergerak lebih dulu.
Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling
bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit.
Kalau dibuat
ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang
paling lemah. Kalau mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo,
tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan
tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu
akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini!
Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka,
tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh
Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.
Si Setan
Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim
Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia
maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena
memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa
Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing
juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan
berkata.
"Ha-ha-ha,
Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan
mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh dan enak
sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua
memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya.
Ha-ha-ha!"
Mendengar
ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah
di depan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Ada pun
Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam,
bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah
terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu.
Ia tahu
bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit
karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun
tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka
Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia
meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk
mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!
Pada saat
itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es
lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka. Tiba-tiba mereka itu melihat ke
kiri dan menjadi bengong. Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan
Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah
yang mereka lihat?
Kiranya para
perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu
Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang
telah menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti
bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding,
bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku
seperti berubah menjadi arca-arca batu!
Tahulah
orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga
orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah
mereka! Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok,
hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu
Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu
saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam
waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam
pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti
itu?
Kenyataan
inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang
kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil
tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-lahan menuju ke
tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh
sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya
amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biar pun kini dia sudah
melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat
mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya
amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam
Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekali pun menjadi bergidik.
Siauw-lim
Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek
ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari
sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai. Oleh karena itu mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka
bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai
Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah
Song Kai Sin.
"Teecu
bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon
maaf apa bila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa
disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."
Kakek
nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah
suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih,
"Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bisa
mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang
melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Sementara
itu, hati Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi menjadi khawatir menyaksikan keadaan
kakek ini. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan
berpihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun
tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah
bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari
kanan kiri. Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan
kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan
pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.
Siauw-lim
Chit-kiam terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat
apa-apa. Selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat
apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua
lengannya ke kanan kiri.
“Dessss....!
Desssss...!”
Dorongan
kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan
yang dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak tampak bertumbuk di udara dan
akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah
menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap,
tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi
merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi
pucat kebiruan mukanya dan tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila
mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka
hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan
menyerang diri mereka sendiri.
Kakek
nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im
dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga
murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk
memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri
sendiri...”
Setan Botak
dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget,
"Koai-lojin....!!"
Pada saat
itu, Siauw-lim Chit-kiam yang melihat betapa dua orang kakek iblis itu
menyerang Si kakek nelayan sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan
baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih
dekat dengan mereka. Kejadian ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak
Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri
masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum
bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang
terbelalak...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment