Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 17
Perut yang
kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah
beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu,
Han Han melenggut.
“Huhhhhh...
dinginnnnn...!” Suara Hian Ceng membangunkannya.
Han Han
melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han
Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa
dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa!
Akan tetapi
ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih
tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua
kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam
mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!
Han Han
merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun
membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah
dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah
pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.
Hian Ceng
menghela napas senang, tangannya meraih ‘selimut’ ini dan tanpa disengaja
jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik ‘selimut’ itu
makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya,
akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu
sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja
tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng.
Terasa oleh
telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu
turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Namun
tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa
menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, ‘mematikan’
perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.
Paginya,
kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia
membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan.
Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di
atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan ke tubuh gadis itu. Ia
menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah
mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar
Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.
“In-kong,
engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”
Han Han
menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas
dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguh pun tidak ia sengaja.
“Nona,
sepagi ini sudah memanggang daging?”
Nona itu
tertawa. “Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”
Han Han
tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir
dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng
sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya
di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan,
tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.
Setelah
selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata,
“Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andai kata
benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang
berkali-kali terhadap aku.”
“Habis,
disuruh menyebut apa? Kongcu?”
“Ihhh, orang
macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”
“Ah, ya!
Semestinya aku menyebutmu taihiap!”
“Jangan,
sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua dari padamu,
Nona.”
“Ah, mana
pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”
“Nona,
setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita
sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu
lagikah kita bersopan-sopan?”
“Hemmm,
kalau engkau juga begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak
seharusnya bersikap sopan pula kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu
bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku juga akan ikut
menyebutmu kakak.”
Han Han
tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang
masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah,
Moi-moi. Baiklah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”
“Twako
siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, tetapi aku belum tahu siapakah
sebetulnya penolong besarku ini!”
Kembali Han
Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar dapat mendatangkan
kegembiraan sekaligus mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti
pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.
“Adikku yang
baik, namaku Sie Han. Tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”
“Han-twako!”
Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng
lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.
Mereka
melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya,
setelah malam tiba, kembali mereka bermalam di puncak terakhir.
“Sekali ini
terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako.”
Han Han
merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan
daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang
tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan melepaskan lelah di bawah pohon, bersandar
batang pohon yang amat besar itu. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa
biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya
kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada
adiknya.
“Lima tahun
yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,”
kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan
perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.
“Mengapa?
Apa yang terjadi?” Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi
kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.
“Kami
diserang halimun beracun...”
“Halimun
beracun? Apa itu?”
“Aku sendiri
tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun
beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia
sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan
mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan
diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”
“Apa
penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”
“Api akan
padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio
yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung
Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan
terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio
menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua
berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan
tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga
diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu
ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi
kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”
Han Han
tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang
terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia.
Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan
orang sembarangan dan sudah memiliki sinkang yang kuat, namun tetap saja tidak
dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.
“Twako,
celaka...!” Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget.
Han Han
cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar
tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap. Rambut Hian Ceng tidak bersinar
kuning lagi, bahkan makin lama makin tak tampak, sedangkan hawa menjadi luar
biasa dinginnya!
“Han-twako...
halim... mun... beracun... kita lari saja..., akan tetapi ke mana... yang tidak
ada halimunnya...?” Suara Hian Ceng sudah menggigil, agaknya gadis itu takkan
dapat bertahan lama. Memang Han Han dapat merasakan betapa dinginnya kabut
hitam yang disebut halimun beracun ini.
“Han-twako...!”
“Ceng-moi,
tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir.”
“Di...
dinginnn... tak tertahankan...”
“Menggeserlah
ke sini, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan
dingin.”
Hian Ceng
tadi sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi rasanya percuma saja, hawa
dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti
banyak iblis tertawa-tawa. Ia masih dapat mendengar perintah Han Han, maka ia
menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu. Tiba-tiba ia merasa betapa
sebuah telapak tangan meraba kemudian menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung.
Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia
merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung.
Ia terkejut
dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan
membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan
terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan
hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga
Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan
tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka
lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.
“Ceng-moi,
jangan tidur... kerahkan sinkang-mu, terima bantuan Yang-kang dariku dan
salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya...!”
Hian Ceng
teringat dan menjadi terkejut. Biar pun ia masih menyandarkan kepalanya, kini
ia mengerahkan sinkang-nya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya
berhenti kini mengalir kembali.
Kurang lebih
sejam kemudian, Han Han berkata, “Sudah aman... kabut dingin sudah lewat!”
Akan tetapi
begitu ia menghentikan pengerahan sinkang-nya, Hian Ceng tak dapat menahan
kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena
kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!
Pemuda ini
menghela napas panjang, berbahaya, pikirnya. Benar-benar kekuasaan alam amat
dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya
sinkang-nya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti
banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini
sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan,
bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa
seluruh tubuhnya menjadi panas.
“Alangkah
cantiknya... bibir itu... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata
yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan
buah apel... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah
terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan
hatinya dengan suara merayu dan membujuk.
“Gila
engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor
dan cabul itu!”
“Aaahhhhh,
siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga
atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah
manis tidak digigit. Hayolah, hanya sekali ciuman di bibir yang menggairahkan
itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan...,” suara
itu makin lembut, “Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak akan marah. Sinar
matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang...”
“Tidak!”
Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk
mencuri ciuman!”
“Bukan
mencuri...,” bantah suara ke dua halus. “Baru saja engkau menyelamatkan
nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat,
dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra... kau
seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh...?”
Han Han
memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main!
Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang
pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian
Ceng, biar pun hanya satu kali, biar pun dengan mencuri. Mulut itu begitu
dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra!
Han Han
sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan
ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia
terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan birahi memuncak, dia dan Lulu juga
saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat
menyesal dan untung masih belum terlanjur!
Ketika
bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia
mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia
lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun
yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mukjizat mendesaknya
sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan
membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?
Tiba-tiba
Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan
membentak, “Bedebah Suma Hoat...!”
Tangannya
yang mengerahkan tenaga sinkang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar
suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai
sesiku dan pohon itu bergoyang keras, daun-daunnya banyak yang rontok
berguguran!
“Aihhhhh...!
Ada... ada apa...?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han
berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba
gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon
di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sinkang sehingga
pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya
memaki-maki.
“Si keparat
engkau, Suma Hoat...!”
Sudah ada
sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.
“Han-koko...!”
Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti
suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia
menoleh dan berbisik.
“Lulu...!”
bisiknya mengandung isak.
Hian Ceng
menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
“Han-koko...!
Kau kenapakah...?”
Han Han
mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah
minggat nafsu birahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia
anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini
ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu birahi, sewajarnya timbul dari
kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.
“Tidak
apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan...”
Tubuh gadis
itu menggigil. “Aihhh... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun
beracun tadi?”
Han Han
mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia
menceritakan keadaan yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi
iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat
api unggun.”
Setelah api
unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan
berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun,
hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi.
Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun
beracun.
“Twako,
besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan
kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke
Kwang-yang.”
“Hemmm,
baiklah, Ceng-moi.”
“Twako, dua
kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku dari pada bahaya
yang mengerikan sekali, kedua menyelamatkan aku dari pada maut di cengkeraman
iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali...”
“Sudahlah,
Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi...” Han Han mendekati api
unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah...”
“Twako, aku
akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku
untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu... Twako, kau
berjanjilah... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya
siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”
“Ceng-moi,
hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Kau tidurlah...” Suara Han Han
terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api
unggun sehingga nyalanya makin membesar.
Tiba-tiba
Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan
berkata, “Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita
sekali... ahhh, percayalah, Koko, aku pasti akan berusaha dengan seluruh jiwa
ragaku untuk membahagiakanmu...”
Han Han
memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis
pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang
Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan
merenggut lengannya dengan halus.
“Ceng-moi...
maafkan aku, biarkanlah aku sendiri... tidurlah dan besok pagi dapat kita
bicarakan lagi...!” Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis
itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar
mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang
duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis
itu dapat tidur pulas.
Akan tetapi,
ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan
membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda
itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng
melihat tulisan yang cukup jelas.
Aku ke
Cung-king, tak perlu dikawal. Sampai jumpa.
Hian Ceng
menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu
meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke
Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya
hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian
Ceng kembali menghela napas, teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han
yang biar pun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan
menegangkan hatinya.
Ah, ia
merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang
menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat
mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa
malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan ‘iblis’ yang
ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali
menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling
berlawanan!
Dia harus
mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan
mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng
pergi dari situ ke Kwang-yang...
**************
Seperti
ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king
buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun
banyak terdapat penderita cacat akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan
sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang.
Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia
merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain.
Amat jauh
bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan
hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti
di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap
penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king
dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja
muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di
mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang
lengannya dan berkata.
“Sahabat
muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan,
bukan?”
Han Han
menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali.
Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang ini pun buntung sebelah kakinya,
terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan
kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang
pejuang.
“Terima
kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han
Han ramah.
“Kalau
begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar
penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, sebelah
kakiku pun hilang dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal. Jangankan hanya
satu kaki, biar nyawaku sekali pun kurelakan demi membela bangsa dari
cengkeraman penjajah!”
Han Han
merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia.
Biar kehilangan kaki, tetapi orang ini kehilangan dengan hati rela karena
kakinya hilang tidak percuma, namun untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan
kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia?
Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat
menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung
menyambut mereka dengan wajah ramah.
Mereka makan
bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu.
Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han.
Untuk menyenangkan hati orang itu dan menghindarkan kecurigaan, dia membenarkan
bahwa dia kehilangan kaki ketika dia membantu pihak pejuang dalam perang
melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan
sungguh-sungguh.
“Paman yang
gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukan anggota
pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali
yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”
Tiba-tiba
laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya
dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di pihak siapakah kau
berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu?”
Han Han
menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di pihak
siapa-siapa.”
“Bagus! Mari
kita keluar dari sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan
teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada
dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian
orang juga, tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung
kasihan.
“Hiante,
engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau
telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu
terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kau
sampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu
bahwa di sini terjadi perbedaan paham sehingga timbul tiga macam paham. Pertama
adalah paham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik
darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya!
Mengertikah engkau, Hiante? Dan kedua adalah paham Pangeran Kiu yang menganjurkan
agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan
syarat-syarat yang menguntungkan pihak Se-cuan. Nah, yang ketiga adalah paham
yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu paham para pejuang
yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama
sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti... seperti
engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi
Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di
sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu
meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan
keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.
Ah, dia
tidak peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana
penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan telah
terjadi di mana-mana dan dia tak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya
menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian
ia akan mencari Lulu.
Han Han yang
telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang
buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada
tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia
harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang
terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai
seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak
lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
Mereka itu
bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh
kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan,
bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya,
namun terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena
penyerbuan bala tentara Mancu, untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat
itu. Bukankah adiknya Lulu juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang?
Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan
menentang kelaliman dan kejahatan, dari mana pun juga datangnya!
Dengan
langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup
megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya, tak lama kemudian ia
sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.
“Ho-han
(Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han
Bu-koan?” tanya komandan jaga dengan sikap hormat.
Kalau saja
Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena
memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh
memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang
khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar
Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi
penjajah.
Akan tetapi
Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap
Bu-ongya.”
Para penjaga
itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada
keperluan apakah hendak menghadap Ongya?”
“Urusan
penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”
“Tidak
begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari
siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau utusan siapa agar kami dapat
melaporkan ke dalam.”
Han Han
menggeleng kepala. “Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk
keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi
keselamatan Se-cuan.”
Ada yang
terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang
yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan
Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!
Akan tetapi
komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang
sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan
itu, lalu berkata.
“Kalau
Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan.
Mari, silakan, Ho-han!”
Han Han
tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han),
tetapi ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi
untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia
dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan
terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu.
Mereka
memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga,
maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya
mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han Bu-koan.
Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!
Komandan
jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping
kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar
dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali, hanya empat huruf: HO HAN BU KOAN.
Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal,
gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga
mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu
berkata kepada Han Han.
“Para Ho-han
tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”
Han Han
mengangguk dan bersikap waspada, tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu
memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu
melewati pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ
tampak berkumpul banyak sekali orang. Ada empat puluh orang lebih dengan sikap
seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas
tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!
“Apa pun
yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang
penting, hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus
berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya,
sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar
daging itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu
dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya
mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah
matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang
buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya
tampak guratan hitam!
Agaknya
mereka sedang membicarakan tentang pertentangan paham antara Bu-ongya dan
Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han
Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan
mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan,
agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.
“Harap cu-wi
Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan
mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi
keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan
keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi
keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali
lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.
Sejenak
sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini
memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di
tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan
di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka
memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan ini mendapat hawa
dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran
orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.
Karena tidak
ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju
terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.
“Maafkan
saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya
tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu
dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”
Akan tetapi
alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya
dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang
bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas
permadani biru dan membentak.
“Sahabat
yang gagah, perkenalkan namamu!”
Han Han
menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun tanpa nada
permusuhan sebab menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya
marah! Ia menjura dan menjawab, “Namaku Han Han.”
“Siapa
gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin
siapakah?”
Menghadapi
pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini,
berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan
sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap
orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.
“Nama guruku
tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan mana pun dan aku
tidak pernah ikut berjuang!”
“Aaahhhhhh...!”
Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh
kecurigaan, bahkan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing
Mancu...!”
Mendengar
ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan
pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, tetapi aku datang untuk menyampaikan
berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”
“Manusia
sombong!” laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu
banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo
Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!”
Han Han
terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya.
Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan
menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sinkang
pada dadanya yang dicengkeram.
Melihat
betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis,
Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi
dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau
membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguh pun orang ini telah
berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa
sudah menjadi ‘hukum’ di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas
permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu
silat)!
“Bukkk!”
Tubuh Han
Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya
dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan
seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lweekang
kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar
garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan
roboh terjengkang sendiri!
“Aku tidak
ingin berkelahi,” kata Han Han.
Akan tetapi
Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah
dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah
dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke
atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda,
kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han
sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.
Han Han
menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam
saja, hanya menggunakan sinkang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap
menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia
mengelebatkan tongkatnya ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main,
tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo
Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama
sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh.
Ketika ia
memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya
dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat
memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan
berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarahan
membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal
sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan
oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak,
dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu
dan merasa terhina sehingga kemarahannya membakar hati dan kepala.
Tiba-tiba ia
menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lweekang
sekuatnya, ia pukulkan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau
setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah
seruan-seruan kaget dari mulut beberapa orang gagah di situ yang menganggap
perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan juga amat keji dan curang.
“Desssss!”
Pukulan itu
memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar
dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu
saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama sekali
ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang
yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sinkang, menerima pukulan
dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu kepada penyerangnya. Tenaga
dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan
roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka
oleh pukulannya sendiri!
“Omitohud...!
Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Dua orang yang berpakaian
seperti hwesio, berkepala gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning,
bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan
sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.
Akan tetapi,
pada saat itu terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau
berani menghina muridku? Biarlah aku mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku,
Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!”
Kiranya
kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang
memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.
Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua
lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.
“Lo-enghiong,
aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga!”
“Omong
kosong! Lihat seranganku!”
Kakek ini
sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di
kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu
menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini
adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli
totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang
dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai
julukan Siucai (Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh
lebih lihai dari pada ilmu kepandaian muridnya tadi.
Han Han
cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya
yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.
“Haliiittttt!
Eh...?” Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu
tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain.
Ia cepat
mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi,
memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan
berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua
serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali
mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan
kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok
ke kanan kiri mencari lawannya!
“Lo-enghiong,
aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar,
akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah
karena semua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai
menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah
tidak awas lagi?
“Cuit-cuit-cuit...
sing-singgg...!”
Han Han
terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil
berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga,
merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran
yang menutup semua ‘pintu’ di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya
kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya
gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan
tongkatnya menangkis.
“Trak-tringgg...!”
“Ayaaaaa...!”
Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar
setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat
kedua senjatanya terlempar dari tangan.
“Lo-enghiong
hebat, aku kagum dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar
merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian
Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat
Lauw-pangcu!
“Cuat-cuat-cuatt...!”
Kembali
sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han
Han sudah dapat merasakan sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah
menggunakan sinkang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali.
Mengapakah dia selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan
keributan? Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud
baiknya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi
orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat,
melakukan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.
“Mengapa
engkau mendesakku?” teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke
bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas.
Pada saat
itu sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit
kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah
menggerakkan tongkatnya, mengerahkan ginkang yang sudah sempurna sehingga
tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara. Sinkang di tangan yang memegang
tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit,
melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang
sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus
terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!
“Omitohud...
benar mengagumkan...!”
Kini seruan
kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu
menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit
ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan... dua batang
sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah,
ke arah Han Han!
Han Han
terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga sinkang yang amat tinggi, dan cepat
ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan
seenaknya, kemudian melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai
sambil berkata, “Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!”
Tok-gan-siucai
sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman maklum bahwa dia bukanlah
lawan pemuda buntung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian
menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir,
keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu
hanya pingsan karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan
darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.
“Omitohud,
seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar
gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak
kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan
dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.
“Maaf, Losuhu.
Saya benar-benar tidak ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali terkejut
menyaksikan gerakan ini.
“Ha-ha-ha,
jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian
yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!”
Ucapan ini
ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus
itu, hwesio gemuk ini juga seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan
tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat luar biasa,
mendorong ke arah dada Han Han.
Han Han
maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sinkang kedua
hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau
bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai
yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya
mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya.
“Bagus!
Sinkang-mu hebat, juga ginkangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng
menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu mulutnya
memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang
lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara.
Akan tetapi
dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh pemuda
buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak
lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali
tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya
menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari
kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara
aneh.
Semua orang
yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut
itu menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas
dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh
pemuda itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat
cepetnya!
Han Han
sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa
sejak tadi hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin
pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya,
menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah
begini hebat, apa lagi kalau tangan kanannya yang bergerak.
Dia menaksir
bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum
dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan
dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian
gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini,
maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri,
ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.
Setelah
timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan
untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga
tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran,
barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu
kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena
memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji
kekuatan Han Han. Pemuda ini pun menerima pukulan yang merupakan tamparan
dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.
“Bresssssi!”
“Omitohud...
luar biasa...!”
Tubuh hwesio
itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia merasa
betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han
Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!
Han Han
kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti
ini dengan hanya tubuh tergoyang dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa
hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!
“Orang muda,
engkau menarik sekali. Coba terima ini!”
Hwesio
gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah
kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman
akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu
menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han
Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali!
Han Han
cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan
yang luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini
ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu
berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih
berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa.
Timbul pula keinginannya mencoba.
Tadi ia
sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani
mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya
itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi
kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat,
setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.
Hwesio gemuk
itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia
merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau
tidak terpaksa sekali, biar pun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan
tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul
saja ia harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya
yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena
tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus!
Hwesio gemuk
ini bersama temannya yang kurus adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada
waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta
besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal
sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sinkang-nya yang jarang bertemu
tanding, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia
dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)!
Ada pun
hwesio kurus itu pun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio
gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian
sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sinkang-nya, juga terkenal
sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang
dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan
Sakti)!
Ketika Thian
Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu
mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun
lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar
keluar suara berkokok tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu mendorong ke
arah Han Han. Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin
mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah
mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut
terasa hangat. Pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.
Timbul
kegembiraan Han Han melihat ilmu yang dahsyat ini. Cepat dia mengerahkan
sinkang-nya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan
lewat tangan kirinya yang mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu.
Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang
paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah
es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling
menerjang untuk bertemu!
Hwesio
gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada
pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya
karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan
kanannya. Tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya
mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah
menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun,
ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan
isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati
menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas,
tak mungkin dapat ditolong lagi.
“Desssss...
cessshhhhh!”
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng
dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam
mengepul dan menggelapkan tempat itu!
“Ihhhh...!”
Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi
lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.
“Omitohud...!”
Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri
agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak
menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.
“Ibliskah
engkau...?” Thian Tok Lama sekarang mencelat maju dan mengirim tendangan dengan
kakinya yang sebesar kaki gajah.
“Wuuuuttt!”
Han Han
meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biar pun amat besar, telah mengirim
tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa
cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru,
“Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi
dari sini...”
“Tahan...! Jangan
berkelahi...! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan
para locianpwe?”
Sesosok
bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han menjadi
girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru
sambil berpincangan.
“Han Han,
jangan menginjak permadani itu!” Sin Kiat berteriak.
Han Han
terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari
kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.
“Ah, agaknya
ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin
Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.
Han Han
mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han
yang berada di situ, ia memang telah berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di
situ, mengapa?”
“Ha-ha-ha,
pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri
menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe
yang hadir di sini.”
“Ohhhhh...
maaf...!”
Sin Kiat
lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata,
“Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak
tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling
baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh
anjing Mancu.”
“Hoa-san
Gi-hiap Wan-sicu!” kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering
itu. “Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan
kecurigaan besar!”
“Ah tidak,
locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi
tokoh-tokoh penjajah.”
“Hemmm,
kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu
dengan Bu-ongya?” tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.
Wan Sin Kiat
mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han Han. “Apakah artinya ini, Han Han?
Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya?”
“Benar
sekali dan memang aku membawa berita yang amat penting!”
“Kalau
begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan
perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini.”
Han Han
mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan
oleh para perwira Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak
Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan
Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke
Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu dekat...”
“Ahhhhh...!
Mana mungkin?” teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. “Pemerintah Mancu sedang
merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar mereka!”
“Karena
inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan
orang mempunyai pendapat seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada
persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh
serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar pula beberapa
tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!”
“Wah, ini
penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!”
Semua orang
di ruangan itu menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah
Han Han sambil berkata, “Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan
kami. Sungguh taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang
pernah pinceng temukan!”
“Ah, sayalah
yang seharusnya minta maaf, locianpwe,” kata Han Han sambil balas menghormat,
akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari
situ menuju ke istana.
Para ho-han
ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara
terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki
buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata
kepada kawannya, lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.
“Kau hebat,
Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai memujimu!”
“Ah, kau
maksudkan hwesio yang gemuk itu? Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai dari
pada Toat-beng Ciu-sian-li!” kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.
“Dan dia
menyebutmu taihiap!”
Merah wajah
Han Han. “Sudahlah. Eh, Sin Kiat, apakah kau sudah mendengar tentang adikku?”
Wajah Sin
Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng
kepalanya. “Sungguh menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han.”
Han Han
menarik napas panjang. “Ada seorang nona yang sedang mencoba untuk membantu
mencarinya, namanya Tan Hian Ceng...”
“Ah, puteri
It-ci Sin-mo Tan Sun? Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang
mengenal semua daerah ini. Kalau dia membantu... eh, kenapa?” Sin Kiat heran
melihat wajah Han Man menjadi muram.
“Kasihan
dia. Ayahnya gugur...”
“Apa?
Bagaimana?”
“Nanti saja
kuceritakan. Lebih baik sekarang kita menghadap Bu-ongya.”
Sin Kiat
menemui kepala pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu
dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu.
Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang
amat terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan
kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal
pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak terjang
pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koan, maka ketika Han Han datang
terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh
perhatian dengan wajah berseri.
Sin Kiat
memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han
Han yang biar pun hanya berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan
wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.
“Duduklah,
ji-wi Ho-han!” kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang
pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi.
Han Han
memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya
sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah
dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan
keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat
sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri
serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan
lenyaplah keraguan dan ketidak percayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa
pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!
“Wan-sicu,
siapakah temanmu yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi
juga terdengar halus dan ramah.
Suara
seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat
betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa
banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini
Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!
“Sahabat
baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting
untuk disampaikan Ongya!” kata Sin Kiat.
Memang Bu
Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap
seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah
dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan seperjuangan’.
“Hemmm,
siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?”
Karena Han
Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu
merendahkan diri, apa lagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka
dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.
“Saya bernama
Han, she Suma.”
Han Han
tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she
Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini
mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma
Hoat. Akan tetapi sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih
benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya
sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan
memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aslinya dan
mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aslinya!
Raja Muda Bu
Sam Kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti
ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang
patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya
Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang hendak kau laporkan
kepadaku?”
Dengan
singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar
dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak
Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu
siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.
Mendengar
ini, berubah wajah Bu Sam Kwi. Tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera
berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan
seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar
nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik
pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena
kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan
menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima untuk
berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi
panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”
Han Han
hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya
dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk
memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah
berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi.
Berbeda
dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang
dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh
Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak
begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke
Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia
para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di
pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di
antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan
Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu
Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja
condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu...
Penyerbuan
besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat
seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena
sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang
mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu,
dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli
siasat, menjadi kecelik.
Bukan saja
tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan
dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga
tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang
diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka,
ternyata ‘membentur karang’ karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti!
Segala usaha Setan Botak Gak Liat gagal total oleh perlawanan tokoh pejuang
yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget,
penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya,
Han Han.
Setelah
serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia
kehilangan banyak perwira dan prajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke
kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan
orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki banyak jagoan
lihai.
Tak lama
kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri
Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung
Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat
sampai bala bantuan datang.
Karena
perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi menjadi berhenti
dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang
deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam
perang ini menjadi pihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan
terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil
menyusun kekuatan baru.
Secara
terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai
seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali
kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan
yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang
golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.
Sesuai pula
dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk
menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu
saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia
selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa
musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding
melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh
lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang
menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia
berperang melawan bangsa adiknya!
Setelah
perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi
bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para
pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya
mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan
perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan
mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk
dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan
karena perang telah pecah?
Pagi hari
itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng
penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat,
Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan
dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda!
Tubuh Sin
Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis
tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat. Jalannya seperti lenggang
seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau
Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa
Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu?
Dia
mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya
itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan
tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang
perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan,
bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati?
Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum
lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.
“Wah, engkau
gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika
masih kecil.”
“Cita-cita
masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han
yang duduk di atas akar pohon.
“Lupa
lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita
menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”
Sin Kiat
tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia
menghela napas dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama
masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah
sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak.
Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh
ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk
meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya
didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan
sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si
anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”
Han Han
membelalakkan mata, kemudian tertawa memandang wajah tampan gagah yang
mengerutkan alis tebal itu. “Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai.
Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang
demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki dan memelihara merupakan
mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu,
berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin
banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula
beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara
semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur
di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang
yang punya sekali waktu pasti akan kehilangan!”
Sin Kiat
menggaruk-garuk kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang
yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”
Han Han
tertawa dan menggeleng kepala. “Manusia menjadi korban dari pada nafsunya
sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimana pun juga ia akan selalu
menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang
menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri
yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu
mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik
di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan
tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh
miliknya.”
Wan Sin Kiat
mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya. Ia bisa melihat kemuraman
wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan
lain tentulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya
Lulu!
“Han Han,
tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak
terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh,
Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.
Akan tetapi
Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan
itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya
kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan
orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku
ingin mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemmm, aku sudah
bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku
bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia
tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat
kutemukan di sini.”
“Ahh..., kau
jangan pergi dulu, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan di sini. Para
penyelidik melaporkan, kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan
ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula
pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan
melawan penjajah!”
“Di sini pun
banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut?
Aku tidak suka perang, apa lagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang
bukan kehendakku menghambakan diri di sini.”
“Dua orang
pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang mereka itu
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari
Pangeran Kiu!”
Han Han
teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada
sahabatnya itu dan bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga
berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”
Sin Kiat
menggeleng kepala. “Memang sekarang kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan
barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di
antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang
pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali
mendesaknya agar suka berdamai saja dengan pihak Mancu.”
Han Han
sudah tahu akan hal ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang
benar?”
“Entahlah,
kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat
tanah air dijajah, ada pun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena
tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”
“Dan kau
sendiri?”
Sin Kiat
menggerakkan pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya
didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk
membela negaranya!”
“Tapi kau
menjadi panglima muda Bu-ongya.”
Wajah Sin
Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah
yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah
kini menjadi panglima aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan
untuk pangkat inilah aku berjuang. Andai kata saat ini juga pangkatku dicabut,
aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”
“Aku sudah
bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku
di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri.
Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para
pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal
bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama
bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini
ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum
pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain
disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin
Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang
indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah
seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar
cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung
sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang
sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang
seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak
pergi dari sini mencari Lulu.”
Sin Kiat
menarik napas panjang. “Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti
hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk
keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah
pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah
kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat
oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok
ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan
sementara itu, harap engkau berhati-hati.”
“Mengapa
engkau memperingatkan aku demikian?”
Sin Kiat
memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan paham
antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya
pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan
orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi
calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”
“Hemmm,
aku...? Diperebutkan?”
“Tenagamu
yang amat mereka butuhkan, Han Han.”
Pemuda
buntung itu menggeleng-geleng kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah,
alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti
sampai keadaan mereda.”
“Aku akan
pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu
perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”
Demikianlah,
mendengar bujukan dan nasehat Sin Kiat, Han Han kemudian menunda kepergiannya
meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah
memikirkan Lulu. Apa lagi pada waktu itu pihak Mancu dan pihak pejuang hanya
saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya
mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan
masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya
daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.
Tepat
seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami
usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran
Kiu ke dalam gedungnya. Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan
pangeran itu merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada
saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.
Berbeda
dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah,
Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguh pun dia telah
diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor.
Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan
terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.
Han Han
merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu
sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka
kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia
cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu
mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.
“Suma-taihiap,
tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak
membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”
Mereka
memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba
lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan
beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani
mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan
berdiri di sudut kamar menanti perintah.
Setelah
menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa
menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya
merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”
Pangeran Kiu
tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itu pun tersenyum.
“Suma-taihiap,
ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku sebenarnya masih ada hubungan
keluarga.”
“Ahhh, harap
Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.
“Aku tidak
main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari
keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.
Han Han
teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud
tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia kemudian menoleh dan
memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.
“Saya mohon
penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi
dia menatap wajah Thian Tok Lama.
Hwesio Lama
gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak
keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di
atas meja ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk
sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau
merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi
sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal
ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka
mengaku secara jujur.”
Han Han
masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok
Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”
Pendeta
gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali
menyembunyikan kesaktian dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma
Taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”
Pertanyaan
ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang
tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja
Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang
menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya
itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan
orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang
memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula
perlunya menyangkal?
“Losuhu,
bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan
tetapi pandang matanya penuh selidik.
Kembali
kakek gundul itu tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang
yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat
wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat
menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap
adalah cucunya.”
Diam-diam
Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas
dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang
amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau
membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma
Hoat, akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar
kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!
“Memang
benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa
hubungannya ini dengan Pangeran.”
Pangeran Kiu
tertawa bangga. “Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya
menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai
ke langit selama puluhan tahun...”
“Amat
terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.
“...sebagai
keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang
bandingannya, dan yang lebih dari pada itu semua, merupakan keluarga yang setia
kepada kerajaan!”
“Hemmm,
pujian kosong,” pikir Han Han sungguh pun ia sendiri tidak pernah tahu akan
riwayat keluarganya yang terkenal.
“Bahkan
pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggota Suma ini. Suma
Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat
ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma
Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah
dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita
masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”
Kepala Han
Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali
menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah
keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya,
pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua
perasaan mesra di hatinya sebagai anggota keluarga Suma. Kalau dia disuruh
memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, namun karena
dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut,
terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.
“Apakah
hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa
saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang
ini.”
“Ha-ha-ha!
Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu
dirayakan lebih dulu? Marilah kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”
Karena sikap
pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang
menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han
Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan kedua orang pendeta Lama itu sering kali
bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja
mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat
cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk
melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara
merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu
ketika melayaninya.
Han Han
merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada kedua orang pelayan itu
yang dianggapnya genit dan terlalu berani. Akan tetapi dia diam saja, melirik
pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh
mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan
dari sentuhan jari tangan mereka. Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah
mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang,
menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta
dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang
hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.
Memang
Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya
menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun
memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak
kakeknya, suka akan wanita. Karena itu Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han
dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini
dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira pemuda
itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua
orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat.
Pangeran Kiu
memberi isyarat sehingga semua penari dan pelayan mundur. Han Han baru bernapas
lega, karena tadi, sungguh pun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya
sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya
lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.
“Suma
Han-hiante, kini tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara
kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu
bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”
“Bantuan?
Bantuan apakah, Pangeran?”
“Bantuan
kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”
Han Han
memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguh pun ia sudah dapat menduganya,
mengingat akan penuturan Sin Kiat.
“Pangeran,
musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun
sudah membantu, walau pun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di
barisan musuh.”
“Bukan hanya
itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami.
Kumaksudkan, Bu-ongya.”
“Hehhh?
Bu-ongya...? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”
“Thian Tok
Lama, harap sukalah memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran
Kiu.
Pendeta
Tibet yang gemuk dan bermuka lunak kekanak-kanakan itu kemudian berkata dengan
sikap lunak, “Suma-taihiap, biar pun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi,
akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan
hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya
Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan
bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain
adalah Bu Sam Kwi!”
Kalimat
terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi
mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan
mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han
yang sudah mendengar akan cerita itu. Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang
sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah
pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian
Tok Lama melanjutkan.
“Pada waktu
Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan
lain-lain mengerahkan bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat
dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah
sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan
pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke
selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi itulah maka bangsa Mancu berhasil menguasai
seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada
gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini
hanyalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”
Han Han juga
sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya
tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu
yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan
diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli
akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan
Thian Tok Lama lalu bertanya.
“Apakah
hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”
Kini
Pangeran Kiu yang melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan
Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi
kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan
tangan kepadamu, sebagai anggota keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu
memandang tajam penuh selidik.
“Akan
tetapi, apakah bedanya? Andai kata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan
barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.
“Omitohud...!
Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!”
Thai Li Lama yang kurus berkata.
“Bukan,
Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena sekarang terjadi
pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek
aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan
Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat!
Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”
Han Han
pura-pura terheran. “Hemmm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan
bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu?
Bagaimana ini?”
“Jauh
bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa
Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia
bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang Kerajaan Mancu amat kuat,
sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan
kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang
berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk
berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh.
Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang
kita lakukan selama ini.”
Han Han
mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama
saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan
setinggi-tingginya bagi mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang
wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran
Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus
jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar
mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud...!”
“Pangeran,
maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak
akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan.
Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk
mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan.
Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para
orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang
berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak
meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka
mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan
orang-orang besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka
memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang
muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk
menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa
yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan
laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat
kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok
demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat
yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri
jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat
menjadi sekutu dari yang menang dan memperoleh kedudukan pula, biar pun tidak
setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan, namun menjadi kenyataan
selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang
mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah,
orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu
di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke
depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”
Han Han
bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali
setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat
yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang
tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri,
dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!
Dan
orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di
Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman dari pada penderitaan rakyat kecil, namun
masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan
berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk
dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi
untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi!
Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?
Wajah kedua
orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali
saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak
kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat
pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang
sedang berjalan, mau pun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar
belaka!
“Suma Han!
Berani engkau bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan
kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.
“Pangeran,
harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas,
tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapa pun juga, harus diingat bahwa dia
telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan
setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta
gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.
“Suma-taihiap,
pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari
taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di
samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang
adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”
Han Han
sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah
Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon
Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan
pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.
***************
Dua hari
kemudian ketika sedang termenung menyendiri, telinga Han Han menangkap gerakan
orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang
memiliki ginkang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.
“Suma-taihiap...!”
Han Han baru
menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia
memberi hormat dan berkata, “Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada
keperluan apakah?”
Thian Tok
Lama tertawa. “Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat
menemukan adik taihiap.”
Seketika
wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah
Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih.
Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”
Thian Tok
Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia
menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap,
setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh
pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap
demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap
tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri
Mancu! Hemmm...!”
Kalau
tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini
tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan
suara mendesak, “Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan
tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”
“Dia belum
lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah
seorang Panglima Mancu, taihiap.”
Han Han
membelalakkan matanya. “Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Pendeta itu
memandang tajam. “Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa
Mancu?”
“Di mana
dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.
“Di
perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas
melakukan penyelidikan.”
“Terima
kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!”
Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam
Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng
kepala dah berkata lirih.
“Sayang...
dia pemuda yang lihai sekali... sayang...!”
Bu Sam Kwi
tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan
dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia
tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu!
Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin
Kiat.
“Sin Kiat,
aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”
Sin Kiat
memegang lengan sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han
Han?”
“Ke mana
lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai
kapan aku dapat menemukannya?”
Sin Kiat
menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat
kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu.
“Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”
“Jangan!”
Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar
aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi
cepat sekali.
Sin Kiat
menarik napas panjang. “Ah, Lulu...!”
Ia lalu
mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti,
musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan
membantu Han Han mencari jejak gadis itu.
Han Han
berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san
yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan
perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu.
Daerah yang sunyi dan di daerah ini pun perang tidak tampak, suasana sepi dan
agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan
sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan. Dengan kepandaiannya, Han Han dapat
melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan,
memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.
Pada hari ke
lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa
sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia
meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh
di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar
pada tongkatnya karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di
hutan besar yang sunyi itu.
Tiba-tiba
Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher. Matanya melirik ke kanan
kiri, tongkatnya siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin
mendekat, agaknya mengurung tempat itu.
“Wir-wir-sing-sing-singgg!”
Dari arah
belakang dan kiri meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han
menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari
balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima
puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu
disusul serbuan pasukan itu!
“Aku tidak
ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia
menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat prajurit Mancu
terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.
“Dia
panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang
amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!
Mulailah Han
Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama
termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya
pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk
memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah,
apa lagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak
jauh dari tempat itu.
Ia melihat
pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan
hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia
lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus
Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa
orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apa lagi di situ terdapat dua
orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!
Betapa pun
marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur. Sekali-kali bukan karena
takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi
untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan
Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka
ia lalu membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah
menjaga pula prajurit-prajurit Mancu. Tiba-tiba bayangan orang tinggi besar
menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas
dan angin keras!
“Wuuuttttttt!”
Han Han
meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik
berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan
cepat ia kembali mengelak.
“Hemmmm,
kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata
marah.
“Singgggggg...!”
Sinar merah
menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah
berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga
orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama
puluhan orang prajurit Mancu!
“Hek-pek
Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku
hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku
pergi saja dari sini!” kata Han Han.
Hek-giam-ong
yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh
perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata
dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang
tinggi besar.
“Han Han,
engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau
lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami dari pada kami turun tangan
membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”
Diejek
demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak
mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu kini mengepungnya makin
ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan
ini pun menjaga dari empat penjuru.
“Han Han,
setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri
menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong
memandang rendah.
“Minggiriah,
biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.
“Siuuuttttt...
plakkk!”
Tubuh Ma Su
Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya
tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu
dari kiri.
“Sudahlah,
aku pergi saja!” Han Han berkata kemudian tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi
tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu. Ia hendak mendobrak penjagaan para
prajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.
Melihat ini,
enam orang prajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala
jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para prajurit. Han
Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya
mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan
oleh tenaga angin badai yang amat kuat.
Akan tetapi,
sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari
belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid
Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong
menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang
sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu
pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga
membikin anak telinga tergetar.
Ilmu pukulan
Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan
Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun
kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat
dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan
menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.
Akan tetapi
Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi dari
pada Toat-beng Hwi-ciang. Jika ia menggunakan ilmu ini, sepasang tangan Ma Su Nio
menjadi merah darah dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi
pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi
mencicit tinggi. Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit
lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni
darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apa lagi kalau sampai bersentuhan
atau terkena pukulan tangan merah itu!
Namun,
betapa pun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak
ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan
tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat
datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya,
kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik. Tangan
kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus
terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus
menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.
“Desssss...!!”
Hawa pukulan
yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang
murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya.
Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu
bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para
prajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan
golok mereka.
Menghadapi
hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring
berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari
tangan para pemegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang
patah-patah.
“Setan-setan
ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” bentak Han Han, akan
tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar
belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.
“Hemmm,
benar-benar keparat orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya.
Sekali putar
saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para prajurit sudah
menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan
tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya
telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin
marah.
Empat orang
prajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika
pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang
kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan
merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika
tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang
amat dingin menyambar. Tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti
dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang prajurit
ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!
Enam orang
lain yang datang menerjang dari depan dan kiri disambut dengan tongkat.
Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak
berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke
arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh
dan tewas!
“Swinggggg...!”
Han Han
cepat merendahkan tubuh, membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah
tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya
lantas menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.
“Trang-tranggg...!”
Tampak api
berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan
tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang
menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, sedangkan yang menangkis
tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid
Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.
Hal ini
sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima
gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan
kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan
Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua
macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka
amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak
pernah membutuhkan senjata tajam.
Kedua tangan
mereka lebih ampuh dari pada senjata tajam yang mana pun juga. Akan tetapi
sekali ini, menghadapi Han Han yang ternyata memiliki tenaga sinkang yang amat
luar biasa, jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka sehingga mereka itu sama
sekali tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kosong berdasarkan sinkang, maka
setelah mereka bergulingan dan lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang
tokoh kaum sesat itu telah menyambar senjata dan menyerang lagi...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment