Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 18
Begitu Han
Han membalikkan tubuhnya, ketiga orang sakti itu menyerangnya. Gerakan pedang
di tangan Ma Su Nio cepat bukan main sehingga pedangnya merupakan sekelebatan
sinar menyilaukan mata. Juga gerakan golok di tangan kedua orang Hek-pek
Giam-ong mendatangkan angin berdesir, tanda bahwa tenaga mereka kuat sekali.
Tiga orang ini menyerang dari depan, kanan dan kiri Han Han dan begitu senjata
mereka meluncur dengan tangan kanan, tangan kiri mereka menyusul dengan pukulan
Toat-beng Hwi-ciang dan Hiat-ciang!
Han Han yang
baru saja membalikkan tubuh melihat berkelebatnya tiga batang senjata tajam
itu, cepat menangkis dengan putaran tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga
orang lawannya itu menyusulkan pukulan-pukulan tangan kiri yang amat kuat, maka
ia hanya menangkis pedang dan golok.
“Cring-trang-tranggg...!”
Tiga batang
senjata lawan ini terpental dan hampir terlepas dari pegangan, akan tetapi
pukulan tiga tangan yang mengandung hawa sakti kuat, menyambar ke tubuh Han
Han. Pemuda ini mengerahkan sinkang dan menerima pukulan itu. Tubuhnya
bergoyang-goyang.
Melihat
betapa tubuh Han Han bergoyang-goyang akibat sambaran tiga buah pukulan jarak
jauh, Ma Su Nio menjadi girang dan mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai
itu telah terluka. Ia mengeluarkan pekik melengking kemudian menubruk maju,
pedangnya menusuk ke arah lambung kiri Han Han dan tangan kirinya dengan tenaga
Hiat-ciang sepenuhnya mencengkeram ke arah leher.
Hebat bukan
main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ini, dan entah mana yang lebih berbahaya
antara pedang di tangan kanan ataukah pukulan Hiat-ciang tangan kirinya.
Terjangan ganas yang merupakan serangan maut dari Ma Su Nio ini masih disusul
oleh serbuan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang siap-siap mendekati dan mencari
kesempatan baik sebagai perkembangan serangan Ma Su Nio.
Han Han
melihat betapa para prajurit Mancu sudah mengepung rapat tempat itu, melihat
pula sikap para tokoh kaum sesat yang siap hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa
makin lama akan makin berbahayalah keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su
Nio, ia mengeluarkan seruan keras, tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan
terus menggunakan sinkang menempel pedang wanita itu. Pukulan Hiat-ciang yang
mengeluarkan bau amis itu tidak ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan
kanannya yang terbuka telapak tangannya.
“Dukkk!
Plakkk!”
Pedang dan
tongkat bertemu dan melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio
kembali mengeluarkan suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya
melekat pada tongkat dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan
pemuda itu, pertama-tama terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang amat
dingin menjalar masuk ke tubuh melalui lengan kirinya.
“Aiiihhhhh!”
Ia berseru, melepaskan pedangnya yang masih menempel tongkat lawan, menggunakan
tangan kanannya untuk menghantamkan lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke
arah dada Han Han.
“Bukkkkk!”
Han Han
sengaja menerima pukulan tangan kanan wanita itu dan... telapak tangan Ma Su
Nio menempel pada dadanya, langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan
wanita itu. Ma Su Nio mengerahkan sinkang dan berusaha menarik kembali kedua
lengannya, namun terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han
adalah inti dari Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang
amat luar biasa itu telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi
seperti kaku dan membeku!
“Setan
buntung!” Bentakan ini keluar dari mulut Pek-giam-ong.
Iblis yang
berjuluk Raja Maut Putih ini mencelat maju hendak menolong sumoi-nya. Goloknya
menyambar ke tengkuk Han Han dengan kecepatan seperti kilat menyambar,
sedangkan Hek-giam-ong juga sudah menusukkan goloknya untuk menyodet perut
pemuda itu dari kanan.
Han Han
melepaskan Ma Su Nio sambil meloncat mundur. Tubuh wanita itu roboh tak
bernyawa lagi, roboh seperti patung kayu yang kaku. Sambil meloncat mundur Han
Han merendahkan tubuh, tongkatnya menyelinap dari bawah, tangan kanannya
didorongkan ke atas menggunakan hawa pukulan menangkis bacokan golok
Pek-giam-ong.
Pek-giam-ong
menjerit ngeri ketika tahu-tahu orang yang dibacok tengkuknya itu sekali
mengangkat tangan membuat goloknya tertahan dan tanpa dapat ia elakkan lagi,
tongkat Han Han yang tadi bergerak dari bawah, melemparkan pedang Ma Su Nio
yang tadi menempel di ujung tongkat.
Pedang itu
meluncur seperti anak panah dari jarak dekat, menembus perut Pek-giam-ong
sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata melihat ke perutnya,
kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu dan... berbareng dengan
menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis muka putih ini menubruk
maju!
Han Han
menangkis pedang itu, sekaligus ia mengirim tendangan yang membuat tubuh lawan
itu tergelimpang dan tewas. Cara Han Han menendang amatlah mengherankan,
tubuhnya mencelat ke atas, di udara kakinya bergerak dan tendangannya seperti
tendangan ayam jago bertanding. Sambil menendang, ia telah menyambar pedang Ma
Su Nio dengan tangan kanan, pedang yang oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk
menyerangnya dalam keadaan sudah sekarat tadi.
Hek-giam-ong
sudah menubruk dengan kemarahan meluap-luap. Melihat kematian dua orang saudara
seperguruannya, ia menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum
bahwa dengan pukulan dan senjata akan percuma terhadap pemuda buntung itu, ia
telah membuang goloknya dan menubruk maju memeluk pinggang Han Han dari
belakang.
Sebelum
pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru menghadapi
Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk oleh sepasang
lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini
bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan mengandung
Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan mencengkeram perut, dan
yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik
pemuda buntung ini bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun
tentu saja dia tidak kehilangan akal. Mula-mula tubuhnya secara otomatis telah
menggerakkan sinkang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian
kakinya dan tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi
sekali.
Semua
prajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini menahan napas.
Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat ke atas dan
tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan
jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang
mata. Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh
Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan
dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han
Han.
Han Han
melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang
lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu.
Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain
adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan ke arahnya. Pendeta Lama itu
berdiri setengah berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya
mengeluarkan bunyi berkokok seperti suara ayam betina dan kedua lengannya
didorongkan ke arah tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas. Itulah pukulan
jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat. Agaknya kakek ini sudah
mengenal gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat, maka ia sengaja
menghadangnya dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam
menyambar ke arah tubuh Han Han.
Han Han
terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang
dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia
digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu
gerak kilat Soan-hong-lui-kun. Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia
pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sinkang di tangan
kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat ‘meminjam’ hawa pukulan
lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara kagum, “Omitohud...!”
Dari pohon
sebelah kiri menyambar pula angin pukulan yang biar pun tidak sehebat
Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun dibarengi bentakan, “Robohlah!”
Luar biasa
sekali bentakan ini karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh!
Biar pun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa
serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok
Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang
lebih berbahaya dari pada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting,
seolah-olah lebih parah terkena ‘pukulan’ bentakan itu pada lubuk hatinya.
Masih untung
bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang aneh. Andai kata tidak demikian,
tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta
kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam
ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi.
Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han
sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika
turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.
Akan tetapi,
baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya.
Sekarang kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan
kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang
menyambar dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman
dari kiri sambil membentak lagi, “Robohlah!”
Han Han
merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa
pukulan. Ia mengerahkan semua sinkang-nya, maklum betapa lihainya dua orang
lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas
tanah kemudian mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali
serangan lawan. Secara otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti
es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini
memiliki sinkang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat
memecah sinkang-nya menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang
dan tangan kanan dengan Yang-kang.
“Wuuut...
wuuuttttt... desssssss!”
Pertemuan
tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi
kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah. Tubuh Thai Li
Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah
sekali. Dalam detik berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul
lagi, sambil melangkah dekat.
Akan tetapi
mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tubuh Han Han berikut pedang dan
tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu sudah mencelat ke atas. Hampir saja
kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu pukulan sendiri dan hanya karena
tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat mereka dapat mengubah sasaran
sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya merasakan sambaran angin pukulan
teman.
Han Han
mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi
tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang
mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak musuh telah melakukan
persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui
puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari
situ.
Begitu ia
turun, ia sudah dikepung lagi oleh puluhan orang prajurit Mancu. Senjata
pasukan ini datang menyerangnya bagaikan hujan. Han Han makin marah. Ia memang
tidak suka berkelahi dengan mereka, akan tetapi kalau dipaksa seperti itu,
tentu saja ia harus membela diri mati-matian. Ia mengeluarkan seruan keras,
tongkat dan pedang rampasannya ia gerakkan seperti kilat menyambar-nyambar
sehingga dalam waktu singkat enam orang pengeroyok roboh dan tewas.
“Minggir...!”
Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang
pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para prajurit
itu dan hanya mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu
menandinginya.
Han Han
berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang
rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua
alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima
orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.
Mereka itu
bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan
Bhong Poa Sik yang kepalanya ada ‘telurnya’, yaitu sepasang saudara kakak
beradik yang terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil
berjenggot panjang yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon,
dengan cara berdirinya yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu
yang tidak ikut mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip
seperti mata seekor burung bangau mengintai katak!
Han Han
bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang
sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya
paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biar pun berkepandaian tinggi, namun
bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka
yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata.
Bhong Lek si
Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang
pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu
memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek
kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai
panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus
dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han
Han. Musuh terlampau banyak. Kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun
banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya akan habis untuk menghadapi tiga
orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga
orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk
dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah
berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar
menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas,
berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu
tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya
melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han
Han amatlah cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari
Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang lihai itu pun kini menjadi amat
terkejut. Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek
si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi
Toat-beng Ciu-sian-li, dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu!
Karena itu,
biar pun terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung
itu meluncur dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu
tahu-tahu sudah meloncat naik pula. Senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu
berubah menjadi sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan
yang dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.
“Tranggggg...!”
Pedang
rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itu pun
patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan
main. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan setelah meloncat bangun, Ciam
Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sinkang
yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi
ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han telah dikeroyok
dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek tertegun dan
memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung suheng-suheng-nya
karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka itu, sudah ia
ketahui kelihaian mereka. Namun kini mereka berdua maju berbareng, mengeroyok
si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh dan mulai menipislah
rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja senjatanya yang ampuh
menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan
tongkat bututnya Han Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet.
Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh
sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin
mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum
terlambat dan kehabisan tenaga.
Oleh karena
ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu Pedang Siang-mo
Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo Kiam-sut lebih hebat
dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya menggunakan sebatang
tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia pergunakan untuk menangkis
pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan pukulannya sendiri yang mengandung
tenaga dahsyat.
Dua buah
kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan
Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu
Iblis Jantan dan Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut
(Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang
sebatang tongkat di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu
bagian Ilmu Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat
gerakan tongkat yang amat hebat, apa lagi didasari ginkang yang sukar dicari
lawannya dan tenaga sinkang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu
diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka
bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka
harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan
pemuda buntung ini!
Selama tiga
empat puluh jurus kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan
serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka
mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan
pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini,
bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar
diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu
itu mencelat.
Tiba-tiba
Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi
sute-nya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han
dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang
berdasarkan sinkang mereka yang kuat!
Thian Tok
Lama sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti
jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya
menyambar angin pukulan yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya
yang membiru itu keluar suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang
menerjang ke arah Han Han. Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang, kedua lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke
arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan
mencoret-coret seperti sedang menggambar atau menulis huruf di udara.
Han Han juga
maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia
mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai
mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah,
kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkan
kedua lengannya ke kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan
dengan sinkang yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.
Han Han
merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang
panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga
Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke
arah kedua lengannya. Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biar
pun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh
setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari
kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!
Han Han
berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya tampak kokoh kuat menahan ke
kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua orang lawannya tidak
seimbang. Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat. Melihat kedua orang itu makin
mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia maklum bahwa kalau dia
tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin sukar baginya mencapai
kemenangan. Dalam hal sinkang, ia percaya kepada tenaganya sendiri, dan kalau
mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan ginkang dari
Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.
Para
prajurit Mancu dan para tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang
hatinya. Pertandingan yang aneh bagi para prajurit, akan tetapi bagi
tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka paham betapa bahayanya
mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar
kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat. Dari jauh saja mereka
sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar dari benturan tenaga
sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua
orang hwesio Tibet itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh
kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main.
Dari sebelah kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul
semacam gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya,
yang kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat
dekat di telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun
mempunyai daya tarik yang sukar dilawan.
“Menyerahlah...
engkau tidak kuat lagi... menyerahlah... berlututlah...!”
Suaranya
sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri,
betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari
kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.
“Menyerahlah,
berlutut...!”
Suaranyakah
itu? Ah, bukan! Itu suara Thai Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya.
Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti
mimpi itu, seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut
kaki tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para prajurit Mancu
yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan
tubuh gemetar.
“Setan!” Han
Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan sinkang-nya, lalu perlahan-lahan ia
bangkit berdiri.
Kiranya
telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan
kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih
dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thai Li Lama dan melihat pendeta kurus ini
mulutnya berkemak-kemik. Tangan kanan pendeta ini menempel di tangan kirinya
dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh. Kini mengertilah Han
Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam.
Teringat ia
akan kekuatan mukjizat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun
membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di
dalam hatinya ia membentak, “Thai Li Lama, mengapa kau menyuruh orang lain?
Engkaulah yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”
Tiba-tiba
pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan... kedua
kakinya bertekuk lutut!
“Ji-suheng...!”
terdengar suara parau Burung Hantu.
Agaknya
teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini terkejut
sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang hanya
sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan kemampuannya
yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas Hwi-yang
Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh Thai Li
Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan seluruh
tenaganya melawan hawa dingin.
“Aihhhhhh...!”
Han Han mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah
sinkang-nya, dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang
lawannya menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang
memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh
kekuatan mukjizat Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat
dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi,
pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua
orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biar pun
dia dapat menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga
raksasa, dan tadi hampir saja ia celaka ketika sejenak ia tertekan hebat.
Maklum bahwa
tidak boleh ia berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han
mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia
mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil berteriak.
“Hyyyaaaaattttt!”
Inti tenaga
sinkang Han Han memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya
sudah timbul ketika ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia
menggunakan kekuatan kemauan untuk melatih sinkang yang tinggi tingkatnya
seperti Hwi-yang Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau
Es, dia sudah memiliki sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali,
dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau Es, tentu
saja tingkatnya menjadi amat tinggi.
Biar pun
kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan sukar
dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa sinkang yang
berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat mereka tahan dan
tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya. Begitu
terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan meramkan
mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sinkang untuk menolong
nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi,
Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat
melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini biar pun dia berhasil, dia
sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biar pun lukanya tidak seberat kedua orang
lawan. Begitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung ini
terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah
segar. Ia pejamkan kedua matanya dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat
yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
“Aku hanya
ingin mencari adikku... kenapa kalian mendesakku...?” Mulutnya berbisik penuh
penyesalan.
Tiba-tiba
dari belakangnya menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut,
cepat ia memutar tubuh. Akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya
kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan
berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung
Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.
“Desssss...!”
Tubuh Han
Han terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini
masih sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia.
Kaki tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya
sudah mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan
mengenai tanah tempat ia tadi rebah.
Melihat
pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena
serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik mengejar dan mengirim
pukulan pula.
“Pengecut
curang...!” Han Han memapaki, terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan
terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang
turun. Han Han membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah,
dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari
belakang selagi ia pening.
“Ha-ha-ha,
mampuslah!” Ciam Tek tertawa mengejek.
Kembali ia
melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini
sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang
dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan
ini dari guru kedua orang pendeta Lama ini, maka mereka itu terhitung
suheng-suheng-nya.
Pukulannya
yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) ini pun mengeluarkan
uap hitam dan beracun. Sungguh pun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari
Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan
pukulan maut ini. Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga
bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini
sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia
mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika
pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi
Han Han kini sudah marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin
berkelahi. Apa lagi Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir.
Mari kita bertanding mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek
memukul, Han Han tidak mau mengelak, melainkan menerima pukulan
Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil mengerahkan Im-kang.
“Desssss!”
Si Burung
Hantu jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya
keluar suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap
hitam ke arah ulu hati Han Han.
Pemuda ini
miringkan tubuh mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu
dengan jari terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti
sebatang golok. Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu
terbabat sedikit dan... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia
aneh bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak
kalah oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
“Heh-heh-heh!”
Ciam Tek mengejek.
Kembali
kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kiri
membacok kepala, yang kanan menonjok perut. Pada saat itu tiga orang perwira
Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
“Pergi,
jangan bantu...!” Si Burung Hantu membentak.
Tetapi tiga
orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti.
Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka tidak semestinya menyerang
terus. Namun karena penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan
menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah berlomba memperebutkan jasa.
Diam-diam
Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah dan terluka. Biar pun dia masih
sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh
lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Untung baginya bahwa
tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari
situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki
kepandaian tinggi.
Hal ini
menguntungkan dia dan merugikan Ciam Tek. Bagi ahli silat tinggi, bantuan dari
orang-orang yang tingkat kepandaiannya tidak seimbang bukan merupakan bantuan,
bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi Ciam Tek berteriak mencegah
mereka sungguh pun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri
saja.
Han Han
membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah dekat sekali, kemudian ia
menangkap kedua tombak dengan kedua tangan sedangkan kakinya menendang roboh
perwira ketiga. Sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu
terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!
“Tolol
kamu!” Ciam Tek mendengus marah.
Kedua
tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas
tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han
Han. Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang
perwira Mancu, ia sudah loncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan
kedua tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat
menotok.
Si Burung
Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek memang amat lihai. Biar pun serangan Han Han
ini amat cepat dan terjadi hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua
orang perwira, namun ia masih dapat menghadapinya. Dengan tangan kirinya ia
menangkis pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah
tongkat yang menotok lehernya. Tetapi karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han
Han sudah mengatur siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit
dan sebaliknya malah menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena
mengandung tenaga sinkang.
“Krakkk!
Auuuggghhh!”
Si manusia
burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan
kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang tangan
kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.
Han Han
terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat,
padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka
ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka,
sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan
tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.
“Krakkk...!
Crotttt...!”
Terdengar
jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat
yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han
karena memang tadinya tulang itu telah retak.
Han Han
menyeringai kesakitan. Biar pun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya,
namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat sekali, membuat napasnya
sesak dan matanya berkunang. Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya,
maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya
masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan
diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.
Akan tetapi,
selagi tubuhnya meloncat tiba-tiba kaki tunggalnya terbelit ujung rantai baja
yang panjang dan kuat. Kiranya dia telah dikejar dan dikurung Sepasang Tikus
Kuburan dan kakek kecil bertelanjang kaki yang telah menggerakkan rantai
bajanya secara istimewa. Rantai baja itu meluncur cepat dan berhasil melibat
pergelangan kaki Han Han selagi pemuda ini meloncat.
Han Han terkejut
bukan main. Ia menendangkan kakinya namun tak dapat terlepas dari libatan
rantai baja sehingga tubuhnya tertarik turun dan terbanting ke bawah! Cepat ia
menggunakan lengan kiri merangkul batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting.
Pada saat itu tampak sinar berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah
menyambar ke arah lehernya!
Han Han
menjadi amat marah. Teriakan dahsyat keluar dari kerongkongannya, teriakan yang
mengandung hawa khikang sehingga si manusia berkepala benjol itu terkejut. Gerakannya
tertahan sedetik, namun cukup bagi Han Han yang masih bergantung dengan lengan
kiri pada batang pohon sedangkan kaki tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han
Han gerakkan tangan kanannya, mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sinkang
dan sekali betot pedang itu telah dirampasnya. Pergelangan tangannya bergerak,
pedang membalik dan kini ia telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan
ke lambung Bhong Phoa Sik.
Pengerahan
sinkang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi gelap, namun Han
Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga pedang
rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik. Bukan itu saja, juga
berbareng ia mengerahkan tenaga pada kakinya, menarik kaki itu ke belakang.
Bersamaan dengan jerit kematian yang keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama
semburan darahnya, terdengar pekik kaget kakek yang memegang ujung rantai
karena tubuhnya terbawa oleh tarikan kaki Han Han. Betapa pun ia
mempertahankan, tetap saja tubuhnya terbawa melayang ke arah Han Han.
“Cappppp!”
Han Han
terkejut bukan main. Karena pandang matanya gelap, ia kurang waspada sehingga
pada saat ia menusukkan pedang ke lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh
kekek yang memegang rantai, sebuah tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong
Lek si Muka Tikus menancap di paha kaki tunggalnya!
Rasa sakit
membuat Han Han makin marah. Tubuh kakek yang memegang rantai itu telah
melayang dekat dan sekali Han Han menendang ke belakang, tumit kakinya
menendang perut kakek itu yang seketika putus napasnya karena isi perutnya
remuk! Dan Bhong Lek yang tadinya girang dapat melukai paha Han Hang tiba-tiba
melihat sinar bergulungan di depan matanya dan... arwahnya melayang tanpa
disadarinya karena tahu-tahu leher Si Muka Tikus ini telah putus oleh sinar pedang
yang digerakkan Han Han.
Pemuda
buntung ini berdiri dengan kaki tunggalnya yang terluka dan bercucuran darah.
Pedang di tangan kanan, tongkat di tangan kiri, tubuhnya agak bergoyang,
rambutnya riap-riapan, mukanya beringas penuh keringat, pakaiannya berlepotan
darahnya sendiri dan darah para korban yang tewas di tangannya. Dia siap
menghadapi maut, akan tetapi kematiannya akan ditebus mahal sekali oleh
musuh-musuhnya karena dia siap untuk membela diri mati-matian sampai tetesan
darah terakhir!
Para perwira
dan prajurit Mancu gentar menghadapi pemuda kaki buntung yang luar biasa itu.
Kakak beradik Tikus Kuburan tewas, kakek Mongol yang terkenal lihai dengan
rantai bajanya juga tewas, tiga orang murid Setan Botak yang amat lihai tewas
pula, belum lagi banyak prajurit dan perwira yang roboh. Bahkan kedua orang
pendeta Tibet masih duduk bersila memejamkan mata memulihkan tenaga! Namun,
para prajurit yang mengurung itu pun maklum bahwa pemuda buntung yang sakti itu
sudah terluka hebat.
“Tangkap...
Bunuh...!” terdengar teriakan-teriakan.
“Jangan
dekati!” teriak seorang perwira. “Serang dengan anak panah...!”
Sibuklah
para prajurit, seperti serombongan orang yang ketakutan mengurung seekor
harimau yang ganas dan kuat. Han Han menggigit bibirnya. Tak mungkin dia
menerjang maju karena kakinya, satu-satunya anggota badan yang ia andalkan
untuk menahan tubuh, telah terluka cukup parah. Tidak, kalau ia menggerakkan
kakinya berarti ia memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan tetap berdiri di
situ dan menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!
“Serrr...
serrr-serrrrr...!” Puluhan batang anak panah menyambar.
Han Han
memutar pedang rampasan di tangannya sehingga terdengar suara nyaring
berkali-kali. Tampak bunga api berpijar dan disusul pekik beberapa orang
prajurit yang termakan anak panah mereka sendiri yang membalik oleh tangkisan
Han Han.
Sebagian
besar anak panah runtuh, ada sebatang menancap di antara rambut yang
awut-awutan itu seperti hiasan rambut, dan sebatang lagi menancap di bajunya
setelah melukai kulit pinggul, tidak dapat menembus kulit karena Han Han
memutar pedang sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh!
“Hentikan
serangan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ternyata di tempat itu
telah datang pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih yang merupakan
pasukan pilihan Mancu, dikepalai oleh seorang wanita yang cantik sekali, cantik
dan gagah serta bermata seperti bintang kembar.
“Han-koko...!
Aihh... kalian orang-orang gila! Berani menyerang kakakku? Pergi semua!
Pergi...! Dia itu Han-koko, kakakku...! Han-koko...!”
Gadis jelita
yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui,
telah menjadi sumoi dari Puteri Nirahai di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu
nenek bangsa Khitan yang sakti itu. Kemudian, karena pelaporan dari barisan
yang menyerbu Se-cuan selalu terpukul mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran
dan datang sendiri ke garis depan di perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.
Ketika itu
Lulu sedang bertugas meronda tapal batas memimpin sebuah pasukan. Tentu saja ia
segera mengenal Han Han dan kedatangannya pada saat yang amat tepat itu
menyelamatkan kakaknya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati dara
ini ketika melihat bahwa kakaknya itu berdiri hanya dengan sebuah kaki!
“Han-ko...!”
Ia menjerit lagi, meloncat turun dari kudanya dan melesat cepat seperti
terbang, langsung menubruk dan berlutut merangkul kaki Han Han yang tinggal
sebuah sambil menangis sesenggukan.
“Lulu...!”
Han Han juga memanggil nama adiknya dengan hati yang amat tidak karuan rasanya.
Mula-mula
semangatnya seperti terbang saking girangnya mendengar suara dan melihat betapa
adiknya masih sehat dan selamat, akan tetapi hatinya menjadi perih melihat
kedatangan adiknya itu bersama pasukan Mancu. Karena itu, panggilannya keluar
dengan suara seperti orang merintih. Betapa pun juga, keharuan hatinya lebih
besar dan dia pun menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan
merangkul adiknya dengan kedua lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan
bertangisan.
“Lulu...
kau... bocah nakal... ke mana saja kau pergi?” Han Han menegur, tangan kirinya
diletakkan di atas pundak dara itu, tangan kanannya menghapus air mata yang
bercucuran di atas pipi Lulu.
Akan tetapi
Lulu tidak menjawab, melainkan meraba-raba paha kiri Han Han yang buntung.
Matanya yang basah air mata itu terbelalak memandang, lalu ia meloncat bangun.
Matanya yang lebar indah itu liar memandang ke arah para prajurit Mancu yang
sibuk mengurus teman-teman yang tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang
manis dan jelita itu menjadi beringas, kulit mukanya merah sekali.
“Siapa yang
membuntungi kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo katakan kepadaku agar dapat kubalas
dia! Han-ko, katakan siapa yang membuntungi kakimu? Katakan...!”
Para perwira
dan prajurit Mancu menjadi ketakutan dan saling pandang. Mereka tentu saja amat
takut kepada adik seperguruan Puteri Nirahai ini, bukan hanya takut akan
kepandaiannya yang kabarnya amat lihai seperti sang puteri, akan tetapi
terutama takut akan kekuasaan dan kedudukan Puteri Nirahai sendiri.
“Lulu, bukan
mereka... kakiku sudah sangat lama buntung...” Han Han berkata.
“Aihhhhh,
Koko...!” Lulu menubruk lagi dan menangis, meraba-raba kaki yang buntung, lalu
meraba-raba muka Han Han, menyibakkan rambut kakaknya yang awut-awutan menutupi
muka yang tampan itu. “Kau... kau terluka hebat... ahhh... Koko, mengapa kau
berada di sini?” Kembali Lulu meloncat bangun dengan sigapnya, membalikkan
tubuh dan membentak kepada para prajurit.
“Pergi
kalian semua! Pergi dari sini! Kalau tidak, kubunuh semua! Pergi!”
Para perwira
Mancu dan para prajurit terkejut. Cepat-cepat mereka membawa mayat dan
teman-teman yang terluka meninggalkan tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah
tidak kelihatan lagi di tempat itu. Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu
datang secara tidak terduga-duga, rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap
seorang lawan berbahaya itu menjadi gagal.
Setelah
tempat itu bersih ditinggalkan semua pasukan, Lulu kembali menubruk Han Han.
“Han-ko, apakah yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kakimu buntung? Siapa yang
dapat melakukan perbuatan keji ini kepadamu, Han-koko?” Kembali kedua mata
gadis itu bercucuran air mata begitu ia melihat ke arah kaki buntung kakaknya.
Akan tetapi
Han Han tidak menjawab. Lulu masih menangis sambil membenamkan mukanya di dada
kakaknya, kedua lengannya merangkul leher.
“Han-koko...
setengah mati aku mencarimu... bertahun-tahun hingga amat lama rasanya, hampir
aku putus harapan. Aku sampai di tempat sejauh ini juga mencarimu... tetapi...
siapa menduga bahwa kau... ah, kakimu... aduh, Koko...! Katakanlah, siapa
orangnya yang begitu kejam membuntungi kakimu? Aku bersumpah untuk menuntut
balas!”
Akan tetapi
Han Han tetap diam tak menjawab.
Lulu yang
sedang diamuk keharuan, kegirangan, juga kemarahan melihat kaki Han Han
buntung, tidak merasa betapa semua pertanyaannya tak terjawab. Kini ia
mengangkat mukanya dan berkata penuh semangat.
“Jangan
khawatir, Han-ko. Kalau musuh itu terlalu lihai, aku dapat membantumu. Aku,
adikmu ini, sekarang bukanlah Lulu yang dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian
tinggi dan....” Tiba-tiba Lulu menghentikan kata-katanya ketika ia melihat
wajah Han Han. Kiranya semenjak tadi kakaknya itu memandangnya dengan sepasang
mata mendelik penuh amarah!
Wajah Han
Han pucat, matanya mendelik seolah-olah mengeluarkan api, akan tetapi dari
pelupuk matanya menetes-netes air mata! Pemuda yang terluka ini tidak hanya
terluka pahanya yang robek oleh tusukan tombak Bhong Lek, melainkan yang lebih
berbahaya lagi adalah luka di dalam dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung
Hantu. Napasnya makin sesak dan seluruh dada terasa panas. Setengah mati ia
mencari Lulu, bertahun-tahun lamanya dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran.
Sekarang setelah bertemu, kegirangan hatinya ternoda oleh kenyataan bahwa
adiknya telah memimpin pasukan Mancu!
“Koko...
Han-ko... kau... kau menangis...? Kenapakah...?” Dengan jari tangan gemetar
Lulu mengusap air mata yang mengalir di atas pipi yang pucat itu.
Gerakan Lulu
yang penuh kasih sayang ini memancing naiknya sedu-sedan dari dada Han Han.
Tangan kirinya merangkul dan mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi
tangan kanannya mengepal keras sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam
perasaan bertanding dalam hatinya sendiri.
“Koko...,
Koko... bicaralah... kau kenapakah? Kakimu...” Lulu masih terisak, “siapa yang
membuntungi kakimu...?”
“Buk! Buk!
Bukkk!”
Tiga kali
kepalan tangan kanan Han Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah
yang diinjak tergetar. Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan
kedua mata terbelalak lebar.
“Han-ko!
Kenapa...?”
“Lulu!
Buntungnya kakiku bukan hal penting!” Akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata
dengan napas terengah. “Urusan diriku tidak perlu dibicarakan! Akan tetapi
engkau...! Engkau...!”
Lulu
mengerutkan keningnya, memandang wajah kakaknya penuh selidik, kemudian
memegang kedua pundak kakaknya. “Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku...?”
Tiba-tiba
Han Han menggunakan kedua tangan mendorong sepasang lengan adiknya sehingga
Lulu terjengkang ke belakang. “Ada apa dengan engkau? Masih hendak bertanya
lagi? Engkau... menjadi pemimpin pasukan Mancu terkutuk!”
Seketika
pucat wajah Lulu. Air mata yang tadi telah berhenti mengalir kini bercucuran
dari sepasang mata yang tak pernah berkedip menatap wajah kakaknya. Perlahan ia
bangkit kembali, merangkak menghampiri Han Han dan menubruk kakaknya sambil
menangis sesenggukan.
“Han-koko...
lupakah engkau bahwa aku adalah seorang gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu
bangsaku menghadapi para pemberontak...?”
“Plak!
Plak!” Kedua tangan Han Han menyambar dan sepasang pipi yang pucat itu
ditamparnya.
Lulu
terpekik dan mundur ke belakang sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua
pipinya yang terasa panas dan sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri
yang pecah. Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di kedua
pipinya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk masuk
di hatinya. Ia ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah memperlakukan
dia seperti ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun belum!
Han Han ikut
pula berdiri, bersandar pada tongkatnya. Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya
juga terbelalak ketika ia melihat darah di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai
menutupi muka, ia sibakkan dengan gerakan kepala, akan tetapi rambut itu
terurai kembali menutupi sebelah mukanya.
“Lulu...!
Adikku...! Ahh... apa yang telah kulakukan...?” Suaranya gemetar, mengandung
isak, penuh penyesalan seolah-olah ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.
Namun wajah
adiknya yang biasanya berseri-seri, yang biasanya jenaka, yang biasarya selalu
cerah seperti sinar matanari di siang hari, kini berubah, dingin dan seperti
muka mayat, amat pucat, matanya tidak bersinar, bahkan suaranya berubah ketika
bibir itu bergerak bicara.
“Han-koko...!”
Ia berhenti dan terisak, susah payah menahan isak agar dapat bicara. “Kau tidak
adil...! Memang aku membantu bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang
aku telah bersalah, akan tetapi karena engkau tidak berada di sampingku, aku
menjadi bimbang dan akhirnya terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau
sendiri? Bukankah engkau menjadi seorang panglima Bu Sam Kwi yang
mempertahankan Se-cuan? Sudah lama kami mendengar akan adanya panglima kaki
buntung dari pihak musuh yang lihai. Tak kusangka engkaulah orangnya! Engkau
seorang berbangsa Han membela bangsamu menghadapi Mancu, sebaliknya aku seorang
berbangsa Mancu membela bangsaku menghadapi musuh. Siapakah yang benar di
antara kita? Siapa yang bersalah? Engkau... telah menamparku, bukan hanya
menampar pipi, tetapi menampar dan menghancurkan hatiku. Ahhh, Han-koko, engkau
tidak adil...!” Lulu mendekap muka dengan kedua tangan dan air matanya mengalir
turun melalui celah-celah jari tangannya.
“Lulu...,
Moi-moi adikku... kau ampunkan aku....”
Han Han
melangkah maju hendak memegang lengan adiknya. Akan tetapi sentuhan jari
tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu yang cepat menarik tangannya,
memandang dengan mata basah penuh penyesalan, kemudian terisak dan gadis ini
membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.
“Lulu...!”
“...engkau
tidak adil...! Engkau kejam... tidak adil...!”
Suara Lulu
yang bercampur tangis itu terdengar oleh Han Han seperti tusukan pedang
menembus jantungnya. Ia meloncat dan mengejar sambil berteriak-teriak seperti
orang gila, “Lulu...! Lulu adikku...!” Akan tetapi ia terguling roboh.
Pertemuan
dengan adiknya yang mengakibatkan pukulan batin hebat itu membuat luka di
dadanya makin parah. Ia masih memanggil-manggil nama Lulu sambil merangkak,
kemudian bangkit perlahan-lahan dan berjalan terhuyung-huyung menyeret tongkat,
berloncatan tanpa mempedulikan pahanya yang mengucurkan darah. Namun Lulu telah
jauh, telah lenyap dari situ. Biar pun bayangan gadis itu tidak tampak lagi,
namun masih terngiang di telinga Han Han, merupakan tusukan-tusukan yang
membikin hatinya perih, jeritan adiknya tadi, “Engkau tidak adil...! Tidak
adil... tidak adil...!”
Han Han
hampir tak kuat menahan. Ia merangkul sebatang pohon dan menangis, mengguguk
seperti anak kecil. Ia sadar akan kesalahannya terhadap Lulu tadi. Memang dia
tidak adil terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah dia mendengar bahwa Lulu telah
menjadi adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut pula membantu gerakan para
pejuang? Mengapa kini Lulu menjadi pemimpin pasukan Mancu? Benarkah dia tidak
adil? Siapa yang tidak adil? Siapa yang salah? Siapa yang benar?
Han Han
menggeleng kepala dan berbisik, “Tidak ada yang salah kecuali perang! Yang
tidak adil adalah perang! Terkutuklah perang!”
Dan pemuda
ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, terus memasuki hutan tanpa
tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah hidup. Pikirannya pun kosong, dan
ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan secara otomatis. Akhirnya, di dalam
jantung hutan yang lebat, ia terguling pingsan..
"engkau
tidak adil...! Hu-huu-huuuu... tidak adil... tidak adil...! Hi-hiii-hiiiii...
hu-huuuuu!" Lulu berlari cepat sekali sambil menangis dan merintih-rintih
di sepanjang jalan, kedua tangannya menggosok-gosok kedua mata seperti anak
kecil menangis, beberapa kali ia terhuyung karena kakinya tersandung batu atau
akar pohon.
"Sumoi...!"
Lulu
terkejut, seperti sadar dari mimpi. Dia menahan kakinya dan berdiri memandang
melalui air matanya. Nirahai sudah berdiri di depannya. Wajah yang cantik
jelita dan biasanya bersikap ramah penuh kasih kepadanya itu kini kelihatan
marah, kedua tangan bertolak pinggang.
Akan tetapi
dalam kesedihannya, Lulu tidak melihat perubahan ini. Begitu bertemu suci-nya,
ia lalu menubruk, merangkul dan menangis di pundak Nirahai.
“Aduh,
suci... hu-huuuuu...!”
“Hemmm,
tenanglah dan jangan seperti bocah cengeng! Bicaralah!” kata Nirahai yang masih
bersikap marah.
“Suci...
dia... dia...” Lulu menangis lagi, terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya
tadi sehingga sukar untuk bicara.
Nirahai
memegang kedua pundak Lulu dan mendorongnya mundur. “Sumoi, hentikan tangismu!
Apa yang telah kudengar dari laporan pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!”
Lulu
mengusap air matanya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai. “Suci, dia...
dia adalah Han-koko yang kucari-cari!”
Nirahai
mengangguk. “Aku sudah mendengar. Jadi panglima pemberontak berkaki buntung
itulah Han Han yang selama ini kau cari-cari? Di mana dia sekarang?”
“Kaki...
kau... mau apakan dia...?”
“Mau apakan
dia? Dia adalah panglima musuh! Harus ditawan atau dibunuh!”
“Suci...!”
“Sumoi,
tidak tahukah engkau bahwa tadi engkau telah melakukan perbuatan yang khianat?
Engkau membantu musuh!”
“Tapi dia
kakakku!” Lulu membantah penasaran.
“Tapi dia
panglima musuh!” Nirahai membentak, lebih penasaran lagi.
Lulu menjadi
lemah kembali dan meratap, “Suci... suci... ingatlah, dia kakakku! Bagai mana
aku dapat memusuhinya?”
Nirahai
menarik napas panjang. “Hemmm, sudahlah! Biar pun kakak, tapi hanya kakak
angkat. Andai kata kakak kandung sekali pun, kalau membantu musuh harus
ditentang. Lulu, dalam masa perang, urusan pribadi harus dikeduakan, yang
diutamakan adalah urusan negara! Aku tidak membenci kakakmu yang belum pernah
kujumpai, bahkan aku tidak pernah membenci para pemberontak secara pribadi,
akan tetapi aku akan membunuh mereka sebagai musuh negara. Sudah, biarlah untuk
sekali ini, aku tidak akan mengejar panglima buntung dari Se-cuan itu. Mari
kita kembali ke pesanggrahan kita.”
Lulu
menggeleng kepala. “Tidak, suci. Setelah aku melihat kenyataan bahwa Han-koko
berada di pihak musuh, aku tidak mau perang lagi. Aku akan pergi.”
“Ke mana?”
Nirahai menyembunyikan kemarahannya. “Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu
pemberontak?”
Lulu
menggeleng kepala dengan sedih. “Tidak, aku mau pergi menjauhi semua ini, mau
menjauhi perang yang menghancurkan hidupku. Aku tidak sudi lagi terlibat...”
“Sumoi!
Engkau harus kembali bersama aku! Ini merupakan perintah!”
Baru sekali
ini selama menjadi sumoi Nirahai, suci-nya itu mengeluarkan suara keras dan
memperlihatkan sikap marah. Hal ini mengingatkan Lulu akan sikap Han Han tadi
dan sakitlah hatinya. Ia pun memandang suci-nya dengan sinar mata penuh
penasaran dan tentangan, lalu bertanya dengan suara tegas.
“Perintah
siapa kepada siapa?”
“Perintah
seorang pemimpin kepada bawahannya! Perintah seorang wakil kaisar kepada warga
negaranya! Perintah seorang suci kepada sumoi-nya!”
Lulu menggeleng
kepala. “Tidak, suci. apa pun yang terjadi, aku tidak mau kembali ke markas,
tidak mau ikut perang. Aku hendak pergi ke mana aku suka!”
“Lulu!
Membangkang berarti memberontak dan kau bisa dihukum!”
“Terserah!”
“Sumoi,
engkau hendak melawan suci-mu? Engkau berani melawan aku?”
“Suci,
ketika aku ikut bersamamu, tidak ada perjanjian jual beli kebebasanku. Kalau
sekarang engkau hendak memaksa, hendak mengganggu kebebasanku, terpaksa aku
melawanmu. Melawan engkau sebagai orang yang hendak memaksaku, bukan
sekali-kali melawan bangsa atau negara! Aku tidak peduli akan urusan bangsa dan
negara, tidak peduli akan perang, aku muak! Biarkan mereka yang suka perang itu
maju sendiri mempertaruhkan nyawa. Bagiku, terima kasih! Aku tidak mau kembali
dan kalau suci hendak memaksa, apa boleh buat, aku melawan sebisaku!”
Nirahai
menghela napas, wajahnya terlihat penuh kecewa dan sesal. Dia amat mencinta
Lulu yang dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak ingin menggunakan kekerasan.
Akan tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang sekali menentukan sikap akan
dibela sampai mati. Betapa pun juga tak mungkin ia melepaskan sumoi-nya ini.
Kalau sampai sumoi-nya ini kemudian membantu pemberontak, hal itu merupakan
mala petaka yang lebih hebat lagi. Bayangkan saja. Sumoi-nya, seorang gadis
Mancu pula, membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus
mencegah hal yang terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoi-nya mati di depan
kakinya untuk kemudian ia tangisi dan kabungi dari pada melihat sumoi-nya
menjadi pengkhianat!
“Sumoi,
sekali lagi, marilah kau ikut aku kembali dan kita bicarakan semua urusan
dengan baik. Jangan menuruti perasaan yang sedang terganggu. Perlukah urusan
begini saja sampai mematahkan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kita?”
Suara Nirahai yang lemah lembut ini membuat Lulu kembali terisak.
“Suci...
suci... kau kasihanilah aku, biarkan aku pergi...,” ia meratap.
“Sumoi!”
Nirahai membentak lagi. “Engkau seorang gadis yang perkasa! Engkau adalah
sumoi-ku! Engkau adalah murid Subo Maya! Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo
ikut aku kembali!”
Lulu
menggeleng kepala, “Tidak mau, suci.”
“Hemmm,
baik. Kita lihat saja siapa di antara kita yang lebih kuat. Akan tetapi ingat,
sekali ini kita bukan sedang berlatih!” Nirahai berkata mengejek dan menubruk
ke depan mengirim totokan ke arah leher Lulu disusul cengkeraman ke arah
pundak.
Lulu cepat
mengelak dari totokan dan menangkis cengkeraman, bahkan langsung ia membalas
dengan pukulan dari ilmu silatnya yang ampuh dan yang ia latih dari Puteri atau
Nenek Maya, yaitu Toat-beng Sian-kun. Pukulan yang mengarah dada dan perut
Nirahai dengan kedua tangan terbuka ini kelihatannya ringan saja. Akan tetapi
tentu saja Nirahai mengenal pukulan sakti. Cepat ia mengelak dan balas
menyerang. Makin lama makin cepat gerakan mereka sehingga yang tampak hanya dua
bayangan berkelebat, kadang-kadang menjadi satu!
Betapa pun
lihainya Lulu, tentu saja dia tidak dapat menandingi kehebatan Nirahai yang
memiliki banyak ilmu silat tinggi yang luar biasa. Sebentar saja, tidak sampai
tiga puluh jurus, Lulu mulai terdesak hebat dan hanya mengandalkan kelincahan
gerakannya yang ia dapat dari latihan di Pulau Es saja yang membuat ia dapat
bertahan dari serangan Nirahai yang bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke
sana-sini dan terus mundur.
“Lu-moi,
jangan takut! Aku datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan
muncullah Sin Kiat yang langsung menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan
murid Im-yang Seng-cu yang berjuluk Hoa-san Gi-hap ini cepat dan dahsyat
sekali, pedangnya mengeluarkan suara berdesing dan berubah menjadi sinar terang
bergulung-gulung.
“Hemmm...
pemberontak cilik bosan hidup!” Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Sin Kiat
menjadi gelap ketika ada sinar hitam lebar menutupi tubuh lawannya kemudian
dari tengah bayangan hitam itu meluncur sinar putih yang menusuk ke arah
lambungnya.
“Cringggg...!”
Sin Kiat
terkejut sekali. Ternyata bayangan hitam itu adalah sebatang payung yang
tiba-tiba sudah berada di tangan Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian
ujung payung yang runcing seperti pedang menusuknya. Tangkisannya membuat
tangannya tergetar, tanda bahwa puteri Mancu itu memiliki sinkang amat kuat.
Sin Kiat
memutar pedangnya dan bergerak cepat, namun semua serangannya kena dihalau oleh
tangkisan kuat, dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak oleh
serangan balasan ujung payung yang menyembunyikan gerakan lengan dan pundak
lawan.
“Plak...
cring...! Aaaihhh!”
Sin Kiat
terpaksa loncat ke belakang. Hampir saja lututnya kena disambar ujung payung
yang gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian ia berkata.
“Hemm...
kalau tidak salah dugaanku, tentu engkaulah Puteri Nirahai yang terkenal licik
itu, pengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!” katanya sambil
melintangkan pedang di depan dada. Kemudian ia menoleh ke arah Lulu dengan
wajah berseri, “Lu-moi, engkau pergilah. Han Han mencarimu. Biar aku yang
menghadapi iblis betina ini!”
“Wah,
melihat gerakan pedangmu, engkau tentu Hoa-san Gi-hiap seperti yang pernah
diceritakan Lulu kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau menjadi murid Im-yang
Seng-cu, akan tetapi engkau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat
melawanku!” Nirahai berseru dan kembali payung pedangnya mengirim serangan
hebat.
Sin Kiat
tidak berani berlaku lengah. Cepat ia menangkis sambil meloncat ke samping,
kemudian mengirim serangan balasan yang dapat dielakkan secara mudah oleh
Nirahai dengan sikap mengejek.
“Wan-twako,
jangan...! Jangan campuri, biar aku sendiri hadapi suci!”
Wan Sin Kiat
terkejut bukan main dan untuk kedua kalinya ia meloncat mundur. “Apa?!
Suci-mu...?”
Nirahai
tersenyum dan memandang wajah tampan itu dengan tajam. Diam-diam ia kagum
kepada pemuda yang tampan dan gagah ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa
pemuda ini pun salah seorang panglima Se-cuan, maka dia menganggap pemuda ini
musuhnya.
“Benar, Wan
Sin Kiat, ataukah Wan-ciangkun? Engkau seorang panglima pemberontak, bukan?
Lulu adalah sumoi-ku, akan tetapi mencampuri urusan kami atau tidak, setelah
engkau berada di daerah ini, engkau harus menyerah menjadi tawananku atau
terpaksa aku akan membunuhmu sebagai tokoh pemberontak!”
“Lu-moi...!
Eh, bagaimana ini...?”
Sin Kiat
bingung sekali, akan tetapi Nirahai telah menyerangnya kembali dengan hebat.
“Tranggg...
cringgggg...!”
Dua kali Sin
Kiat menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus menerjang maju dan
mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
“Trikkkkk!”
Nirahai mencelat
mundur. Lulu telah mencabut pedang dan menangkis gagang payung itu untuk
menolong Sin Kiat.
“Suci, tidak
boleh kau bunuh dia. Mari kita lanjutkan pertandingan kita.”
“Sumoi, kau
makin tersesat! Sekarang kau membantu pemberontak di depanku, ya?”
Nirahai
menyerang dengan hebat dan kembali kedua orang gadis yang sama cantik jelita
dan sama lincah itu saling serang, kini menggunakan senjata. Melihat ini, serta
merta Sin Kiat membantu dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran hebat berlangsung
di dalam hutan yang sunyi itu. Kelebatan sinar pedang menyliaukan mata dan
gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam
Sin Kiat menjadi amat heran, heran dan kagum. Kini ia mendapat kenyataan betapa
Lulu telah memperoleh kemajuan pesat, bahkan dari gerakan-gerakan gadis yang
dicintanya itu ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Lulu kini telah jauh
melampaui tingkatnya sendiri!
Akan tetapi,
dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Puteri Nirahai
yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok dua sama sekali tidak terdesak,
bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh ujung gagang payung yang luar
biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja tokoh-tokoh besar seperti orang ke
enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tewas di tangan gadis puteri Kaisar
Mancu ini!
Oleh karena
dibantu Sin Kiat, kini tidaklah begitu mudah lagi bagi Nirahai untuk dapat
mengalahkan Lulu, sungguh pun ia masih terus mendesak karena memang tingkat
kepandaiannya jauh di atas kedua orang pengeroyoknya. Setelah lewat seratus
jurus, Nirahai mulai penasaran dan marah. Kalau tadinya ia ingin merobohkan
Lulu tanpa membunuhnya, bahkan kalau mungkin tidak melukainya, kini ia tidak
peduli lagi dan kalau perlu hendak membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan
lengking nyaring sekali dan tampaklah sinar emas berkilau.
Lulu dan Sin
Kiat terkejut sekali. Mata mereka menjadi silau dan mendadak permainan pedang
mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari sebatang suling emas yang kini
dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka Suling Emas yang ampuhnya
menggila!
“Trang-cringgg...!”
Lulu dan Sin Kiat terhuyung, kedua tangan mereka tergetar hebat.
“Lu-moi,
pergilah... Cepat pergi... selamatkan dirimu...!” Sin Kiat berkata sambil
memutar pedangnya dengan cepat, membentuk gulungan sinar pedang seperti perisai
baja.
“Tidak,
Wan-twako! Engkau saja pergilah, jangan menyia-nyiakan nyawa untuk aku. Biar
kuhadapi urusanku sendiri!” Lulu berkata sambil memutar pedangnya.
“Trang-tranggg...!”
Kini kedua
orang muda itu tidak hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan
bergulingan. Nirahai tertawa dan terus menerjang maju.
“Moi-moi...
pergilah selamatkan dirimu...!” Sin Kiat mendesak.
“Twako,
kenapa sih engkau hendak mengorbankan diri untukku?” Lulu bertanya dengan rasa
penasaran.
“Moi-moi,
kau tahu. Aku cinta padamu, aku rela berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han
Han... di Se-cuan...!” kata Sin Kiat sambil menangkis.
“Trakkk!”
Pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan suling emas! Tendangan kaki Nirahai
menyerempet pahanya dan pemuda itu terguling.
“Wan-twako...!”
Lulu berteriak dan ia memutar pedangnya menghalangi Nirahai yang mengirim
serangan terakhir kepada pemuda itu.
“Cringgg...!”
“Sumoi, dia
mencintamu, apakah engkau juga mencintanya?”
Lulu tak
menjawab, mukanya merah dan ia menyerang dengan tusukan kilat yang dapat
ditangkis oleh Nirahai. Sin Kiat sudah meloncat bangun lagi. Ia terkejut
melihat betapa Puteri Nirahai kini menangkis pedang dan memutar-mutar suling
emas sehingga Lulu ikut pula terputar-putar, kemudian pedang itu tak dapat
dipertahankan lagi, terlepas dari tangan Lulu!
“Hi-hik, kau
menyerahlah, sumoi!” Nirahai berkata.
Lulu makin
marah. Ia menubruk maju, tetapi sebuah dorongan membuat ia terjengkang.
“Moi-moi...!”
Sin Kiat menghampiri Lulu lega hatinya mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak
terluka. “Cepat kau lari... biar aku saja yang mati...!”
Tanpa
menanti jawaban Lulu, Sin Kiat mengeluarkan bentakan keras dan ia sudah
menubruk dengan nekat ke arah Nirahai! Melihat kenekatan pemuda ini, Nirahai
terkejut sekali dan hampir saja pundaknya kena dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa
puteri yang lihai ini melempar diri ke belakang dan bergulingan, lalu ia
meloncat dan memandang pemuda itu dengan mata marah.
“Hemmm, kau
mau bunuh diri, ya? Nah, mampuslah!”
Sinar kuning
emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting. Hanya kena dorongan hawa pukulan
senjata ampuh itu saja ia sudah jatuh terpelanting. Nirahai melangkah maju,
mengayun payungnya.
“Biarlah aku
mati bersamamu, twako!” Lulu menubruk maju dari belakang, menyerang Nirahai.
“Hemmm...
kau mencintanya juga, bukan?”
Nirahai
membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin Kiat, akan tetapi
ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan sulingnya menotok ke
arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan Nirahai, terlalu cepat
bagi dua orang muda yang nekat itu.
“Krekkk!”
Tubuh Sin Kiat terkulai, tulang pundaknya patah.
“Cusss!”
Tubuh Lulu lemas karena jalan darahnya terkena totokan suling emas secara tepat
sekali.
Nirahai
tersenyum. Gadis ini menyimpan suling dan payung, menyambar tubuh Lulu dan
dipanggulnya, kemudian memandang Sin Kiat yang duduk sambil memegangi pundak
kirinya yang patah.
“Wan Sin
Kiat, karena melihat kau dan Lulu saling mencinta, aku mengampuni dan tak akan
membunuhmu. Akan tetapi pada pertemuan kedua, jikalau engkau masih menjadi
pemberontak, tentu mengakibatkan kematianmu di tanganku.” Sambil berkata
demikian, Nirahai membalikkan tubuh, tidak mempedulikan pemuda yang
memandangnya dengan mata mendelik itu.
“Nirahai!
Aku bersumpah, kalau engkau mengganggu Lulu, kelak aku akan mencarimu dan akan
membunuhmu!”
Nirahai
menoleh, tersenyum mengejek lalu tubuhnya berkelebat pergi dari tempat itu
bersama Lulu yang terkulai lemas di atas pundaknya. Sin Kiat mengerutkan
keningnya, masih terheran-heran mengapa Lulu menjadi sumoi puteri itu, dan
heran pula mengapa keduanya saling serang mati-matian. Ia menggeleng-geleng
kepala, menghela napas panjang penuh sesal mengapa dia tidak mampu melindungi
Lulu dari tangan puteri yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam
masih terngiang di telinganya suara Lulu ketika membantunya tadi. “Biar aku
mati bersamamu, twako!”
Betapa
merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang
mencinta? Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Susah
payah ia mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu
meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan,
melainkan Lulu! Ke manakah perginya Han Han? Tentu tidak jauh dari tempat ini
karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya hanya
Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga
hari tiga malam berkeliaran di dalam hutan-hutan sambil mengobati sendiri
pundaknya yang patah tulangnya, akhirnya pada suatu pagi Sin Kiat melihat
sesosok tubuh yang duduk bagaikan arca di bawah pohon, di tengah hutan yang
amat sunyi dan liar. Dan orang itu bukan lain adalah Han Han!
“Han
Han...!” Sin Kiat berteriak girang.
Akan tetapi
Han Han tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan siulian dan matanya
terpejam. Tongkat butut melintang di depan lututnya. Luka di pahanya sudah mengering,
dan luka di dalam dadanya pun sudah sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja
bersemedhi, seolah-olah sudah berubah menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk
sadar kembali.
Han Han
mengalami pukulan batin yang amat hebat secara bertubi-tubi sehingga membuat
dia seolah-olah sudah bosan hidup. Pertama-tama urusan dengan Kim Cu sudah
merupakan tekanan batin yang berat, disusul lagi dengan kematian Lu Soan Li
yang juga menjadi korban cinta kasihnya kepadanya. Pertemuannya dengan Tan Hian
Ceng yang mencintanya membuat hatinya makin terhimpit dan satu-satunya harapan
hatinya untuk dapat keluar dari himpitan dan mendapatkan hiburan batin adalah
pertemuannya kembali dengan Lulu.
Akan tetapi,
begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia malah menerima hantaman
batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan bahwa Lulu telah menjadi
seorang pemimpin pasukan Mancu! Lebih celaka lagi, dia tidak dapat
mengendalikan kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan hampir
celaka di tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu, membuat
Lulu sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung di
hati adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat
menghibur hatinya yang sakit!
“Han Han, mengapa
engkau menjadi begini? Apa yang sudah terjadi denganmu? Sadarlah, aku telah
berjumpa dengan Lulu!”
Han Han
membuka matanya, memandang Sin Kiat dan bertanya dengan suara lesu, “Di manakah
dia? Mana Lulu?”
“Han Han,
celaka sekali! Aku bertemu dengan Lulu, akan tetapi dia dan aku tidak dapat
melawan Puteri Nirahai. Aku dirobohkan dan terluka, sedangkan Lulu, dia
dilarikan Nirahai. Anehnya Lulu menyebutnya suci, dan...” Akan tetapi Sin Kiat
melongo ketika tiba-tiba tubuh Han Han mencelat dan lenyap dari tempat itu!
“Han
Han...!” Sin Kiat berteriak, akan tetapi tubuh Han Han sudah berloncatan jauh
sekali. Sin Kiat menggeleng-geleng kepala mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat
mengejar pemuda buntung itu, terpaksa ia pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati
berat Sin Kiat lalu kembali ke Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi
dan meletakkan jabatan untuk pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
***************
Begitu
mendengar dari Sin Kiat bahwa adiknya ditawan Puteri Nirahai, kemarahan Han Han
memuncak. Tanpa pamit ia meninggalkan Sin Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi
menuju ke kota raja untuk mengejar dan menolong adiknya.
Tidak ada
seorang pun yang menyangka bahwa pemuda berkaki buntung yang berjalan
terpincang-pincang memasuki kota raja itu mengandung perasaan marah dan sakit
hati yang akan menggegerkan kota raja! Han Han berjalan perlahan memasuki kota
raja....
“Tak-tok-tak-tok...!”
tongkat yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi ketika
mengetuk jalan berbatu yang keras.
Beberapa
orang menoleh dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang
menjadi heran melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh
menyeramkan, yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang
dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han
tidak tahu ke mana adiknya dibawa oleh Puteri Nirahai, akan tetapi ia teringat
betapa dahulu adiknya itu diculik oleh Ouwyang Seng, maka ia dapat menduga
bahwa antara Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran Ouwyang tentu ada hubungan
erat. Karena itu dengan perasaan marah memenuhi dada, dengan hati panas oleh
dendam, ia lalu menujukan langkahnya yang terpincang-pincang itu ke arah gedung
Pangeran Ouwyang Cin Kok!
Lima orang
penjaga pintu gerbang di luar pekarangan gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok
cepat menghadang dan memandang heran ketika melihat pemuda buntung itu
seenaknya saja memasuki pintu gerbang.
“Haiii!
Berhenti! Tidak boleh mengemis di sini!” Seorang di antara mereka membentak,
kemudian menodongkan tombaknya ke depan dada Han Han. “Pergi!”
Han Han
tidak marah mendengar makian ini. Baginya, dikatakan pengemis bukan merupakan
makian atau penghinaan. “Minggirlah, aku hendak mencari Ouwyang Seng!”
Lima orang
penjaga itu tercengang. Mendengar seorang pemuda kaki buntung yang mereka
anggap pengemis itu menyebut nama Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan
bahwa tentu pengemis buntung ini miring otaknya.
“Eh, orang
gila. Pergilah kalau tidak mau kami pukul!” bentak penjaga ke dua.
“Kalian
minggirlah, jangan halangi aku!” Han Han berkata dengan suara dingin. Tanpa
mempedulikan mereka, dia berjalan terus memasuki pekarangan gedung besar.
Lima orang
penjaga itu menjadi marah dan berkelebatlah tombak-tombak mereka ke arah Han
Han.
“Trang-trang-krek-krek-krekkk!”
Lima batang
tombak patah-patah dan beterbangan disusul tubuh lima orang penjaga itu yang
terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin! Han Han tidak
mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju gedung.
Teriakan-teriakan
para penjaga ini menarik perhatian para penjaga di gedung dan mereka ini, dua
belas orang banyaknya, datang berlari-lari. Mereka terkejut melihat para
penjaga pintu gerbang roboh semua dan melihat pemuda buntung itu berloncatan ke
ruangan depan. Cepat mereka mengurung, akan tetapi Han Han yang tidak sabar
telah meloncat tinggi ke atas kepala mereka, kedua tangan didorong ke bawah dan
dua belas orang itu roboh terbanting tunggang-langgang.
“Ouwyang
Seng! Keluarlah! Kalau tidak, kuhancurkan tempat ini!” Han Han berteriak-teriak
dan sekali sambar ia mengangkat singa-singaan batu yang belum tentu dapat
terangkat oleh sepuluh orang biasa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala
dan melontarkan singa-singaan batu itu ke dalam.
“Braaaaakkkkk!”
pecahlah pintu ruangan depan itu.
Han Han
meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang ketika berteriak, “Ouwyang
Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku Lulu! Kalau tidak,
akan kuhancurkan kota raja!”
Tiba-tiba
dari sebelah dalam menyambar senjata rahasia yang berupa gelang-gelang kecil.
Cepat dan kuat sekali sambaran ini, akan tetapi dengan tenang Han Han
menggerakkan tubuh meloncat tinggi sehingga sambaran senjata-senjata rahasia
itu lewat di bawah kakinya. Di udara, tubuh Han Han berjungkir balik dan ia
sudah meloncat keluar karena kalau ada lawan tangguh menghadapinya, lebih baik
ia berada di luar gedung.
Benar saja
dugaannya, dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu
seorang pemuda yang memegang sebatang golok telah berdiri di depannya. Pemuda
itu bukan lain adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan melihat Han Han, ia pun
terkejut dan marah.
“Keparat!
Kiranya engkau setan buntung!” Lai Kwan memaki dan goloknya sudah menyambar,
menjadi sinar putih yang menyilaukan dan mengeluarkan suara berdesing ketika
golok itu membelah angin.
“Singggg...!”
Lai Kwan
terkejut karena tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat ia memutar tubuh dan
mengelebatkan goloknya ke belakang, akan tetapi Han Han yang sudah berada di
sebelah belakangnya mudah saja mengelak sambil berkata.
“Gu Lai
Kwan, aku menjadi setan buntung karena engkau! Sekarang bukan maksudku datang
untuk membalas dendam, sebab aku tidak mendendam kepadamu. Akan tetapi suruhlah
Nirahai dan Ouwyang Seng keluar membawa adikku Lulu, kalau tidak... hemmm...
siapa pun yang menghalangiku akan kubunuh, termasuk engkau!”
“Buntung
sombong!” Lai Kwan malah menyerang lagi.
Melihat
betapa pemuda bekas suheng-nya ini nekat, Han Han yang memang sedang berduka
dan marah sekali menjadi gemas, akan tetapi ia masih tidak bergerak, hanya
mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil mengerahkan tenaga memutar
tongkat itu.
“Trakkk!
Aihhhhhh...!”
Lai Kwan
terkejut bukan main. Betapa pun ia mempertahankan diri sambil mengerahkan
tenaga, tetap saja ia terpelanting dan cepat ia bergulingan karena takut
kalau-kalau Han Han menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak dan
tenang. Melihat ini, sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
“Suhu...!
Sian-kouw...! Harap bantu...!”
Setelah
berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi sambil mengerahkan semua
tenaganya. Akan tetapi sekali ini ia berhati-hati, maklum bahwa lawannya yang
buntung ini biar pun dahulu hanyalah seorang sute-nya, namun sekarang sudah
memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
“Syuuuttt...
syuuuuttttt... singggggg!” Sinar berkilauan dari golok Lai Kwan menyambar ganas
bertubi-tubi.
“Wuuuttttt!”
Tubuh Han
Han sudah melayang lagi keluar dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai
Kwan mengejar dan Han Han berhenti di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan
yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi tidak memberi kesempatan kepadanya,
sudah membacok lagi dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung ini
tidak begitu mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil siap
menghadapi lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul mendengar
teriakan Lai Kwan.
Dan pada
saat itu, terdengar suara lengkingan dahsyat dibarengi suara ringkik kuda dan
muncullah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dari pintu samping, langsung ia memukul ke
arah Han Han dengan ilmu pukulan dahsyat Swat-im Sin-ciang! Juga tampak
berkelebatnya bayangan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Nenek lihai itu
melayang turun dari atas dengan jari tangan mencengkeram ke arah kepala Han Han
menggunakan ilmu sakti Toat-beng Tok-ciang! Dan berbareng di saat itu juga, Lai
Kwan sudah membabat ke arah kaki Han Han!
“Desss!”
Pukulan
Ma-bin Lo-mo telah ditangkis oleh Han Han dengan telapak tangan kanannya.
Sambaran golok Lai Kwan didiamkannya saja karena dalam gugupnya Lai Kwan
menyerang ke bawah untuk membabat kaki Han Han, lupa bahwa kaki kiri Han Han
telah tidak ada lagi sehingga goloknya menyerang angin kosong!
Han Han
lebih memperhatikan cengkeraman si nenek ke arah kepalanya. Ia tidak mengelak,
melainkan memapaki tubuh nenek yang menyerang dari atas itu dengan tongkatnya.
Gerakan pertamanya menotok telapak tangan kiri nenek itu dan ketika Toat-beng
Ciu-sian-li terkejut menarik kembali tangannya, Han Han melanjutkan serangan
tongkatnya dengan totokan pada pinggang nenek itu.
“Aiiihhhhh!”
Toat-beng Ciu-sian-li memutar tubuh di udara, berjungkir balik dan dari kedua
tangannya menyambar dua buah gelang, yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Han Han
telah memutar tongkat menangkis bacokan susulan Lai Kwan dari belakang, dan
kembali tangan kanannya menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo. Melihat datangnya
sambaran dua buah senjata rahasia ini, teringatlah ia akan Kim Cu yang dahulu
hampir tewas akibat senjata rahasia ini, maka ia menjadi gemas sekali.
Kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar ke depan dan... dua gumpal
ujung rambutnya berhasil melibat dua buah gelang yang menyambar, kemudian
secara kontan dan keras gelang-gelang itu ia kembalikan ke arah pemiliknya,
menyambar dahi dan tenggorokan Ciu-sian-li yang menjadi terkejut.
Dewi Mabuk
ini cepat mengelak sambil terus menubruk maju mengirim pukulan sakti dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya kembali mengarah ubun-ubun kepala Han Han
dengan cengkeraman maut. Juga Ma-bin Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut
menyaksikan gerakan Han Han yang mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini
telah membarengi menyerang dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang
sekuatnya. Bukan main hebatnya serangan yang dilakukan secara berbareng oleh
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya
merupakan datuk-datuk golongan hitam yang sudah mencapai tingkat di puncak,
tentu saja amat sukar bagi lawan yang dikeroyok dua orang ini untuk dapat
menyelamatkan diri dari serangan mereka yang dilakukan berbareng.
Namun betapa
kaget dan heran hati kedua orang tokoh hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh
Han Han lenyap dari tengah-tengah antara mereka, telah menghindarkan diri
dengan sebuah loncatan yang luar biasa sekali, secepat kilat menyambar sehingga
mereka berdua hampir tak dapat mengikuti dengan pandang mata mereka! Akan
tetapi, Lai Kwan yang berada di luar gelanggang dapat melihat gerakan Han Han
yang menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, gerakan kilat yang membuat tubuhnya
seperti mencelat dan keluar dari kepungan dua orang datuk hitam itu.
Gu Lai Kwan
adalah murid Toat-beng Ciu-sian-li yang paling setia dan paling disayang oleh
nenek itu dan oleh Ma-bin Lo-mo. Pemuda ini amat benci kepada Han Han karena
sesungguhnya pemuda ini mencinta Kim Cu. Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu
sebagai akibat gadis itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam
kebencian kepada Han Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari
kepungan kedua orang gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan
menggunakan goloknya menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
“Mampuslah
engkau, manusia buntung keparat!” bentaknya, goloknya menyambar seperti naga
mengamuk.
Han Han
dapat melihat sinar maut terpancar dari pandang mata Gu Lai Kwan, maka ia pun
membentak, “Begitu kejamkah hatimu?”
Biar pun
tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan serangan golok yang ganas,
namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan ilmunya yang mukjizat yang ia
pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil meloncat, ia melihat
menyambarnya golok. Han Han lalu menggerakkan tongkatnya, dengan tenaga sinkang
yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan sepenuhnya mengandung daya
melekat! Betapa pun Lai Kwan berusaha menarik kembali goloknya, sia-sia saja
karena goloknya telah melekat pada tongkat seperti berakar di situ!
Pada saat
Lai Kwan menarik golok, tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong.
Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke arah Gu Lai Kwan sendiri. Gu Lai
Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia berusaha menggulingkan tubuhnya, namun
golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu sudah membacok lehernya. Teriakan
mengerikan seperti leher tercekik keluar dari mulut Lai Kwan dan tubuhnya yang
tadi bergulingan itu rebah menelungkup, kepalanya miring secara aneh, golok
masih di tangan dan tanah di bawah lehernya perlahan-lahan menjadi basah dan
merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri, lehernya hampir putus!
Peristiwa
ini terjadi cepat sekali, hanya beberapa detik selagi tubuh Han Han masih
mengapung di udara. Kini Han Han mencelat ke depan, tidak mempedulikan lagi
kepada Gu Lai Kwan yang seolah-olah telah melakukan ‘bunuh diri’ dengan golok
sendiri itu.
“Toat-beng
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, mundurlah! Aku tidak ingin bermusuhan denganmu
atau dengan siapa pun juga!” bentak Han Han dan suaranya mengandung wibawa yang
sedemikian hebatnya sehingga dua orang datuk hitam itu sampai tercengang dan sejenak
mereka itu memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Akhirnya
Toat-beng Ciu-sian-li memaki. “Bocah setan, murid murtad! Begini sikapmu
terhadap bekas guru?”
Han Han
mengerutkan keningnya. “Aku bukan muridmu lagi, Nenek yang bewatak ganas. Aku
datang untuk mencari adikku, dan siapa pun dia yang menghalangi aku mencari
adikku, akan kuhancurkan!”
Teringat
akan Lulu, kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. “Di
mana Puteri Nirahai?! Hayo keluarlah dan serahkan Lulu kepadaku!”
Teriakannya
ini amat nyaring sehingga bergema sampai jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan
Ciu-sian-li bergidik. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini telah menjadi ahli
waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, akan tetapi
melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi makin lihai dan
gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang, benar-benar membuat
mereka berdua menjadi ngeri!
Betapa pun
juga, tentu saja dua orang yang menjadi tokoh dunia hitam itu tidak merasa
takut dan mendengar tantangan Han Han terhadap Puteri Nirahai, mereka marah dan
cepat menerjang lagi dengan hebatnya. Nenek itu selain menggerakkan kedua
tangannya yang mengandung tenaga sakti Toat-beng Tok-ciang, juga menggerakkan
rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya sebagai senjata yang ampuh
dan aneh. Tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis seperti keganasan
seorang kuntilanak dalam dongeng dunia setan. Ada pun Ma-bin Lo-mo yang sudah
mengerti bahwa lawannya biar pun buntung dan masih amat muda akan tetapi
memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, juga telah menerjang maju
dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang sekuat tenaga.
Han Han
tidak ingin berkelahi dan tidak ingin pula bermusuh dengan mereka. Akan tetapi
karena mereka berdua menghalangi usahanya mencari Lulu, ia menjadi marah dan
cepat mainkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya mencelat ke sana ke mari
dengan gerakan yang tak terduga-duga dan cepat bukan main. Kepala Ciu-sian-li
dan Ma-bin Lo-mo menjadi pening karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat
pemuda buntung itu dan setiap serangan mereka selalu mengenai tempat kosong.
Dengan penasaran kedua orang itu menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
“Wuuuttt!”
Pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung hawa dingin menyambar dari kiri.
“Singgg...
syuuttt!” Serangan tangan ampuh beracun dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran
rantai gelang di telinganya tidak kalah ampuh dan berbahayanya.
Dua serangan
ini menyambar dari kanan kiri ketika kaki buntung Han Han baru saja turun
menyentuh tanah. Akan tetapi tiba-tiba saja Han Han kembali mencelat ke atas
dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya, mengatasi kecepatan serangan kedua
lawannya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menukik dari atas dan tongkatnya
melakukan dua kali totokan ke arah ubun-ubun kepala dua orang pengeroyoknya.
“Hayaaa...!”
Ma-bin Lo-mo berseru kaget dan cepat menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke
atas tanah sambil berteriak.
“Aiiihhhhh...!”
Toat-beng Ciu-sian-li juga mengelak, melempar tubuh bagian atas ke belakang
lalu berjungkir balik sampai lima kali sehingga rambutnya menjadi awut-awutan
dan saling belit dengan kedua rantai gelang yang tergantung di kedua
telinganya.
Pada saat
itu, serombongan pasukan pengawal datang berlari dan mengurung Han Han. Jumlah
mereka lebih tiga puluh orang, semua bersenjata tajam dan rata-rata memiliki
ilmu kepandaian silat dan bertubuh kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung
Pangeran Ouwyang Cin Kok hanyalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan
muridnya yang terkasih, Gu Lai Kwan, ada pun tokoh-tokoh lain telah ikut
membantu penyerbuan ke Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua
pasukan pengawal dikerahkan.
Pangeran
Ouwyang Cin Kok sendiri bersembunyi sambil mengintai. Ia menjadi gelisah bukan
main. Betapa pun juga, pembesar ini masih mengharapkan kemenangan karena di
situ terdapat dua orang tokoh sakti dan di lubuk hatinya ia tidak percaya
apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan mampu melawan Ciu-sian-li serta
Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan pengawal.
Akan tetapi
Han Han sudah marah sekali. Pemuda ini mengamuk secara menggiriskan hati.
Tubuhnya berkelebat, lebih banyak di udara dari pada di darat, karena setiap
kali ujung tongkat atau ujung kaki tunggalnya menyentuh sesuatu, baik tanah,
pundak atau kepala lawan, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, seperti capung
bermain di atas bunga-bunga di permukaan air, cepatnya seperti kilat sehingga
setiap kali tubuhnya menukik ke bawah tentulah roboh dua tiga orang pengawal
secara berbareng, menjadi korban ujung tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo
dan Toat-beng Ciu-sian-li menjadi marah dan penasaran sekali, juga mereka
berdua merasa malu mengapa mereka tidak mampu merobohkan pemuda buntung itu,
padahal dibantu puluhan orang pengawal. Ma-bin Lo-mo meringkik keras dan kedua
tangannya mendorong ke arah Han Han ketika pemuda itu turun ke atas tanah.
“Wuuusssss!”
Angin yang mengandung hawa dingin sekali menyambar.
Han Han
sudah menangkap seorang pengawal dan melemparkan ke depan. Terdengar jerit
mengerikan dan tubuh pengawal itu terbanting kaku, darahnya membeku, mukanya
biru! Dan seorang pengawal lain roboh pula karena oleh Han Han dipergunakan
untuk menangkis pukulan beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh yang menghitam
terkena hantaman pukulan Toat-beng Tok-ciang!
Ketika para
pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han Han sudah mencelat ke atas lagi,
meloncat sambil menyambar dua orang pengawal, kemudian ketika tubuhnya
membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng
Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan kilat.
Dua orang
kakek dan nenek itu terkejut. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda buntung
yang lihai itu menyusul dengan serangan, maka apa boleh buat mereka menangkis
keras sehingga dua orang pengawal itu terbanting roboh dengan tulang-tulang iga
remuk. Benar saja seperti yang mereka duga, tubuh Han Han menyambar seperti
seekor burung garuda, dan saking cepatnya hanya tampak bayangan berkelebat. Dua
orang datuk hitam ini cepat meloncat untuk mengelak, namun masih kurang cepat
sehingga pukulan tangan Han Han yang amat panas karena mengandung inti tenaga
Hwi-yang Sin-ciang itu telah mampir di dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung
tongkatnya telah menotok pundak Toat-beng Ciu-sian-li.
“Hyaaaaahhhhh...!”
“Haiiikkkkk...!”
Ma-bin Lo-mo
terjengkang dan bergulingan, mukanya menjadi pucat sekali dan dadanya sesak,
terasa panas seperti dibakar. Ada pun nenek sakti itu juga terbanting ke
belakang, cepat duduk bersila untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah
terkena totokan yang hebat. Kalau saja Han Han tidak ingat bahwa kedua orang
itu pernah menjadi gurunya, biar pun pada saat itu ada puluhan orang pengawal
yang menerjangnya, tentu ia akan mudah saja melanjutkan serangan membunuh kedua
orang datuk hitam itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin membunuh mereka dan dia
hanya menggerakkan tangan dan tongkatnya, melempar-lemparkan para pengawal
seperti orang melempar-lemparkan rumput saja.
Gegerlah
para pengawal dan mereka mundur-mundur dengan muka ketakutan. Pemuda buntung
itu terlalu kuat bagi mereka, seperti sekumpulan nyamuk melawan api saja.
Melanjutkan pengeroyokan sama artinya dengan membunuh diri bagi mereka. Ada pun
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah menderita luka tidak berani
melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka mereka, maka mereka berdua pun
sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di antara sisa para pengawal yang
hanya berani mengurung dari jauh sambil bersiap-siap untuk melarikan diri apa
bila Han Han mengejar. Namun pemuda itu tidak mengejar, hanya berdiri tegak,
bersandar pada tongkatnya, menengadah dan mengeluarkan suara nyaring memekakkan
telinga.
“Puteri
Nirahai! Kembalikan adikku...!”
Setelah
beberapa kali berteriak tanpa ada jawaban, Han Han lalu meloncat ke arah gedung
Pangeran Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biar pun hati mereka dicekam rasa gentar
dan ngeri, namun para pengawal tentu saja segera menghadang dan berusaha
mencegah pemuda buntung itu memasuki gedung. Han Han mengeluarkan seruan keras
dan begitu tongkatnya berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan
kiri seperti disambar kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi
ketika pemuda itu berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil
berteriak-teriak para pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han
sudah marah sekali. Dia mengamuk seperti gila, menggeledah seluruh kamar gedung
itu, mencari Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Setiap orang pengawal
yang berusaha menerjangnya dirobohkan dengan sekali gebrakan saja. Namun hasil
penggeledahannya sia-sia. Tidak tampak batang hidung Ouwyang Seng yang
dicarinya. Ketika ada lima orang perwira pengawal dengan nekat menerjangnya, ia
melompat ke atas dan dari atas sinar tongkatnya bergulung-gulung, empat orang
perwira roboh dan seorang lagi ia jambak rambutnya dan ia seret ke sudut
ruangan. Dengan ujung tongkat ditodongkan di leher perwira itu ia membentak.
“Di mana
Ouwyang Seng? Hayo jawab!”
Wajah perwira
itu pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia dipaksa jatuh berlutut. Dengan
napas sengal-sengal ia menjawab, “Ham... hamba... tidak tahu. Sudah lama tidak
berada di sini...”
“Mana
Ouwyang Cin Kok?”
“Tadi...
ketika ribut-ribut... beliau lari... mungkin ke istana...”
“Dan di mana
kakek dan nenek tadi? Mana Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li?”
“Lari...
mereka lari... ke istana...”
Han Han
menjadi sebal dan marah, tubuhnya bergerak dan perwira itu sudah ia lemparkan
ke sudut. Tubuh perwira itu menabrak dinding dan tak dapat bangun lagi karena
pingsan saking takutnya. Han Han meloncat keluar dan kini ia melesat amat
cepatnya meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah
diobrak-abriknya itu, menuju ke istana!
Kemarahan
membuat manusia menjadi mata gelap dan lupa diri, lupa akan bahaya dan demikian
pula dengan Han Han. Dia sedang marah sekali. Penderitaan batin yang ia alami
bertubi-tubi ditambah kemarahannya mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han
Han menjadi nekat dan tidak memakai perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah
mungkin bagi seseorang, betapa pun saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke
istana kaisar!
Tentu saja
penjagaan di istana tidak dapat dibandingkan dengan penjagaan para pengawal di
gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pasukan pengawal yang dipusatkan menjaga
istana amat besar jumlahnya, dan di situ pun banyak terdapat pengawal yang
berilmu tinggi di samping keadaan istana sendiri yang merupakan semacam benteng
yang amat kuat! Maka, begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia sudah
dikurung oleh puluhan bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung ketat,
dan ia sudah dikeroyok secara hebat!
“Tangkap
pemberontak!”
“Bunuh
pemberontak!”
Para
pengawal berteriak-teriak biar pun dalam beberapa gebrakan saja Han Han telah
merobohkan tujuh orang pengeroyok, namun mereka tetap maju menerjang sehingga
Han Han terpaksa memutar tongkat melindungi dirinya sambil berteriak.
“Aku bukan
pemberontak! Aku hanya ingin bertemu dengan Puteri Nirahai dan minta supaya
adikku dibebaskan!”
Tentu saja
teriakannya sia-sia karena para pengawal sudah mendengar betapa hebatnya pemuda
buntung ini mengacau gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Kini pemuda itu akan
mencelakakan keluarga kaisar, ditambah pula Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri
dengan dikawal oleh Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi
ke istana, karena itu di situ pun diadakan penjagaan yang ketat.
Biar pun
para pengawal tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap ada yang roboh
tentu tempatnya digantikan yang lain, namun dengan ilmunya yang mukjizat, yaitu
gerakan kilat Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat menembus pintu gerbang dan
memasuki halaman istana. Betapa pun juga, dia tidak pernah dapat membebaskan
diri dari kepungan yang makin lama makin ketat. Setelah dia memasuki pekarangan
istana yang luas, pintu gerbang itu ditutup oleh para pengawal sehingga Han Han
kini kehilangan jalan keluar!
“Bebaskan
Lulu...! Lepaskan adikku!” Han Han berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor
harimau terjebak.
Betapa pun
juga, pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk menyebar kematian
di antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban mereka menjaga
keamanan istana. Oleh karena itu dia hanya merobohkan mereka tanpa membunuh dan
hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan pengawal itu bukan
tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan dan
tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir seperti
serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
Kalau hanya
pasukan pengawal yang mengepungnya, biar ditambah sampai seribu orang, kiranya
akan mudah baginya untuk menyelamatkan diri dan keluar dari tempat itu. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras, aba-aba dari komandan penjaga yang
menyuruh semua pasukan mundur dan mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang
tadinya mengeroyok secara mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan
tampaklah oleh Han Han munculnya orang-orang sakti yang sekarang menghadapinya.
Mereka itu bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama dan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima orang tokoh sakti yang
memiliki ilmu kepandaian hebat!
Han Han
maklum bahwa lima orang lawan ini merupakan lawan yang amat berat, terutama
sekali dua orang hwesio Tibet yang merupakan wakil dari Pangeran Kiu yang
mengkhianati perjuangan Bu Sam Kwi dan para orang gagah dengan mengadakan
persekutuan gelap dengan pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin dan berkata.
“Ji-wi
Losuhu, aku tidak mau mencampuri urusan kalian, tidak mau melibatkan diri
dengan segala kepalsuan orang-orang yang mencari kedudukan melalui perang,
fitnah, pengkhianatan dan lain-lain kekotoran lagi. Aku datang hanya untuk
menuntut agar adikku Lulu yang ditawan Puteri Nirahai dibebaskan. Biarlah
Puteri Nirahai sendiri keluar menemuiku! Aku datang bukan untuk mengacau, bukan
untuk mencari musuh, melainkan semata-mata untuk menolong adikku. Bebaskan
adikku, dan aku bersama adikku akan mengangkat kaki dari sini dan selamanya
tidak akan mencampuri urusan perang yang terkutuk!”
“Murid
murtad! Engkau masih harus menerima hukuman dariku!” Toat-beng Ciu-sian-li
berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat
akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.
“Han Han,
engkau bekas murid yang selain menyeleweng juga telah banyak melakukan
penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” kata Ma-bin
Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan
untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang mengurung tempat itu.
“Ha-ha-ha,
engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang
menyembunyikan she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau
adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka
bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!” kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang
mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya,
akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena
dianggapnya sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal
sekali, namun ia tetap membungkam.
“Omitohud...!
Suma-taihiap biar pun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar
mengagumkan hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian
tinggi? Menyerahlah, Suma-taihiap!” kata Thian Tok Lama.
“Benar
ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji
akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan
suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu.” Thai Li Lama
membujuk.
Namun semua
ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu sama sekali tidak mendatangkan
kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang
tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada,
kemudian berkata.
“Sudah
kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan pemerintah mau pun dengan Ngo-wi
Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang
hanya untuk minta kebebaskan adikku!”
“Hiye-heh-heh!
Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan, kau mau apa?”
“Akan
kurebut dengan paksa dan kuusahakan sampai aku mati.”
“Pemuda
buntung sombong!” Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di
kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan
hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan
keluar pemuda buntung itu.
“Omitohud,
betapa tabahnya!” Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena
benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum sekali. “Apakah taihiap berani
melawan kami sedangkan tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal?”
Han Han
menoleh ke sekelilingnya. Ia melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah
banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di
seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan
dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah
bayangan manusia ataukah bukan.
“Thian Tok
Lama, bagiku persoalannya bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah.
Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati
dalam kebenaran adalah mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi
iblis sekali pun aku tidak takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi
seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku,
dan hal ini benar, maka aku tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah akan
menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang
pasukan pengawal!” Ucapan terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat
tajam sehingga wajah kelima orang tokoh beser itu menjadi merah.
Memang harus
diakui bahwa peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib
dan amat memalukan. Biasanya setiap orang di antara mereka berlima yang telah
memiliki kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding
sehingga mereka bersikap angkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh
tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan bergerak, apa lagi hendak mengeroyok
lawan.
Dan sekarang,
mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda dan patut
menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut dan
kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacat dengan
masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar merupakan
peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar
mereka!
“Omitohud,
orang muda yang sombong. Kau kira pinceng tidak berani menghadapimu seorang
diri?” Thai Li Lama menjadi tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju
menghadapi Han Han.
Empat orang
tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya
menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat
mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang
baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad
lebih.
Han Han
mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh
dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia
bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada,
sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak
tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia telah mengerahkan sinkang di
tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat
ini.
Akan tetapi
aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak menyerang, melainkan berdiri
tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya,
kemudian terdengar suaranya, halus seperti membujuk.
“Suma-taihiap,
kau turutilah permintaanku, tundukkan kepalamu...”
Han Han
merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus
perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan
itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan
ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia malah menengadah,
memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan dari pada apa
yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!
“Omitohud,
agaknya taihiap hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kau pandang
mataku kalau berani!”
Andai kata
ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak
diembel-embeli ‘kalau berani’, tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguh pun di
dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga mukjizat yang seolah-olah
memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya. Akan tetapi kata ‘kalau
berani’ membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak berani? Ia segera memandang ke
depan, menentang pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu!
Semua orang
menahan seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar
biasa itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan
seolah-olah ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang
mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung api!
Thai Li Lama
berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai
kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu
dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism). Tetapi Han Han
yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat
membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang
mata berapi-api.
Di luar
kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mukjizat dalam diri pemuda
buntung ini. Suatu kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak mala petaka menimpa
keluarganya dan daya kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan yang
mukjizat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh ilmu
hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat
memancar ke luar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!
Kini Han Han
yang maklum apa yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk
melawan dan menolak getaran halus yang keluar dari sinar mata Thai Li Lama.
Ketika ia disuruh memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali
bukan berdasarkan tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas
kehendaknya sendiri hendak ‘mengadu kekuatan pandang mata’ dengan hwesio Tibet
itu. Maka terjadilah ‘pertandingan’ yang luar biasa, lebih hebat dari pada
pertandingan adu kekuatan sinkang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin
yang getarannya bergelombang, terasa oleh semua orang yang hadir sehingga
mereka itu terpesona seperti kemasukan pengaruh mukjizat.
Kedua
pandang sinar mata itu masih saling dorong, saling banting dan berusaha
sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua
ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin
lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api. Diam-diam Thai Li Lama terkejut
bukan main. Dia tadinya hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai
ilmu silatnya, dan siapa mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang
ahli hoat-sut, ahli sihir yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali!
Biasanya,
betapa pun pandai silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat
ini, lawannya tentu akan mudah ia tundukkan. Thai Li Lama menjadi kaget dan
penasaran melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak mampu menundukkan
pemuda buntung ini, bahkan seolah-olah sinar matanya melekat pada sinar mata
pemuda itu, sukar dilepaskan lagi. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan
ia menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru
besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan
gerengan seperti suara seekor beruang dan membentak.
“Suma Han,
lihat baik-baik siapa aku? Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga
berlengan delapan! Lekas kau berlutut dan menyerah!”
Dari kepala
pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik
ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke
arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan
kaki gemetar. Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut?
Pendeta
Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak
menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi makhluk yang luar biasa.
Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala
naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru. Kepala naga yang mengerikan itu
bukan hanya sebuah, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi,
melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga
lengannya berjumlah delapan!
Bagi Han
Han, karena penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja,
perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini
mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari
hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu
ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia
tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang.
Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah
mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.
“Hemmm, Thai
Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang sudah tua, kenapa bersikap seperti
anak kecil? Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi
bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh
dengan akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan
perbuatan jahat!”
Semua pasukan
yang mendengar ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan
aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali
dan kedua orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata
yang berapi-api! Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya
berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena
saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan
tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han,
sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han
sudah siap sedia. Ia melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke
depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan
dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang! Dilanda dua macam tenaga yang berhawa
amat dingin dan amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh
terguling-guling. Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya
terengah-engah dan mukanya pucat!
Melihat
keadaan sute-nya, Thian Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut,
perutnya mengeluarkan suara berkokok seperti ayam biang, dan kedua tangannya
menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu.
Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap
hitam ke arah Han Han. Pada saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang
lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng
Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke
arah Han Han.
Namun semua
pukulan sakti yang membawa maut itu luput. Pada saat yang tepat, tubuh Han Han
telah lenyap dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas,
kemudian menukik turun dengan tongkatnya yang diputar menjadi sinar kehijauan
melingkar-lingkar dan menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya! Lima
orang tokoh besar yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah
mencapai puncaknya itu cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima
penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah
pertandingan yang amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan
Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali.
Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan
Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li
dengan penuh amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya
yang merupakan sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan
kedua tangan penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang
beracun. Karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, kedua orang pendeta
Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi menyerang dengan pukulan-pukulan
sakti mereka.
Han Han
mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang
lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat
mengalahkan mereka. Akan tetapi dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian
setinggi itu benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia
benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan! Terpaksa
pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang
pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang yang berada di
tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.
Pada saat
itu senja telah datang dan keadaan cuaca mulai gelap. Di atas wuwungan istana,
jauh tinggi di puncaknya, terdapat dua orang yang menonton pertandingan itu
penuh takjub. Mereka ini bukan lain adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri
Maya. Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan kekacauan di depan
istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya seorang pemuda
buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat banyak, hati Maya
menjadi tertarik, maka ia memegang tangan muridnya diajak meloncat naik ke atas
wuwungan dan menonton...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment