Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 16
Han Han
menghela napas. "Sin Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah ditunangkan
dengan laki-laki lain, mengapa engkau tidak menegurnya?"
"Sudah
kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan
Tan-siucai atas kehendak Suhu, bahkan ia belum pernah bertemu dengan
tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu?
Karena itu, aku mewakili mendiang sumoi-ku untuk bertanya terus terang
kepadamu, Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?”
Han Han
menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Manusia cacat macam aku ini
bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat?
Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku
menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada
seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami
cacat memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta
seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoi-mu itu...”
Sin Kiat
menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap
rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang
menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau
menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir
di hatinya, karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam Sin Kiat
dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda
kaki buntung yang mengagumkan ini.
**************
Kaisar Kang
Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar
yang benar-benar pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliteran akan tetapi
juga di bidang pekerjaan sipil seperti pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang
amat pandai dan amat lama memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini
(tahun 1663-1722) telah berhasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang
tadinya menentang penjajahan menjadi tenaga-tenaga yang amat penting dan
berguna demi memajukan negara di bawah pemerintahannya.
Untuk
mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan kebudayaan pribumi, bahkan
mengundang bangsa pribumi yang terkenal sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik
pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan penting dalam pemerintah. Tentu saja
kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan ini dengan gembira
sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat muda mengalir ke
kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan diberi jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam
urusan membersihkan negara dari pada para pemberontak, kaisar yang pandai ini
berhasil baik sekali. Dengan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk,
pula karena memang bala tentara Mancu merupakan bala tentara yang kuat, tahan
uji, dan berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang
Kerajaan Ceng satu demi satu dapat dihancurkan.
Sudah
menjadi kenyataan sejarah bahwa di antara gerombolan-gerombolan pejuang yang
menentang penjajah Mancu demi perasaan patriotik, terdapat banyak pula
gerombolan yang sebenarnya adalah penjahat-penjahat dan perampok yang
menggunakan dalih ‘perjuangan’ untuk dapat memeras dan merampok rakyat jelata.
Dengan dalih perjuangan, mereka yang mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu
mengancam rakyat yang dipaksa membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan
harta benda untuk biaya perjuangan!
Sebetulnya,
kenyataan itulah yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot
di masa itu. Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu
datang dan menyapu para perampok yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut
dengan gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru berhasil membebaskan
rakyat dari pada pemerasan dan penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan
dengan perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa
penduduk pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa
Mancu yang menjajah.
Selain itu
juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan dan tradisi-tradisi lama di Tiongkok. Para pembesar Mancu diharuskan
belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan bahkan diharuskan bicara dalam bahasa
pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, bahkan di antara keluarga
para pembesar Mancu pun mereka menggunakan bahasa pribumi. Hal ini adalah
karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum bahwa sekali bangsanya sudah
menjadi ‘bangsa asli’, maka dalam abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi
‘pribumi’ yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng adalah kerajaan asing!
Biar pun
hampir seluruh daerah Tiongkok telah dikuasai, dan semua pemberontak di
perbatasan-perbatasan telah dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap
bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah Ceng yang cerdik memang sengaja
membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian bagi para pemberontak. Agar
dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya
akan melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat
saja dari pada kalau harus mengejar pemberontak-pemberontak yang tersebar di
mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan biaya.
Karena
sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan serangan
kecil, maka terjadilah semacam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan
daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang yang berani hilir-mudik melewati
perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar sekali,
akan tetapi tentu saja dengan resiko perutnya ditembus tombak, baik oleh
tentara di pihak Se-cuan mau pun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai
mata-mata musuh.
Dan biar pun
belum diadakan penyerbuan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena
di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro
Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng. Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di
mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua pihak pun disebar dengan leluasa
karena di pihak pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw
yang terdiri dari orang pribumi.
Han Han dan
Sin Kiat yang melakukan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka
menyelidiki tentang Lulu. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi
petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal
Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati mereka kecewa sekali,
terutama Han Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau
hidup, di mana dan mengapa tidak ada jejaknya?
Pada suatu
pagi, kedua orang muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat
dengan perbatasan Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata
yang dilaksanakan dengan keras oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang
biar pun ada pula pelarangan umum itu, namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat.
Karena maklum akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah gawat, Sin
Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang
penduduk biasa. Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna
putih, tangan kirinya memegang sebatang tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja
dari sebuah ranting pohon.
“Malam nanti
kita menyelundup lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat
perlahan ketika mereka tiba di sudut kota.
Han Han
berhenti melangkah dan pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia
menoleh ke kanan kiri seperti orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak
pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya, seolah-olah setiap saat ia
mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan Lulu.
“Sin Kiat,
agaknya yang kau pentingkan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.
Sin Kiat
memandang heran. “Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa
seperti ini, siapa tidak mementingkan perjuangan?”
Terdengar
derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak
mempedulikan, bahkan menengok pun tidak. Tanpa memandang Sin Kiat dia berkata,
“Bagiku, yang terpenting adalah mencari Lulu sampai dapat ditemukan!”
Sin Kiat
juga mengerutkan keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau menekankan hal itu?
Apakah kau kira aku pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu
kujelaskan lagi bahwa engkau tentu paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku
pun ingin sekali bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat. Akan tetapi,
kita memiliki tujuan dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu
yang kau tahu amat kucinta... hmmm... bukankah kita sudah selalu menyelidiki
tentang dia? Bukankah aku pun selama ini mengerahkan seluruh tenaga untuk
mencari dia? Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”
Han Han
menarik napas panjang dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan
itu. Tentu saja dia tahu bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan
berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu. Dan diam-diam ia pun akan merasa
setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan tetapi itu
adalah perkara nanti. Yang perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya
memikirkan perjodohan Lulu kalau gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan,
belum diketahui masih hidup atau sudah mati?
“Begini
sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeliling
perbatasan ini. Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan
pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke Se-cuan. Kita
berpisah di sini saja, Sin Kiat.”
Selama dalam
perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti
bahwa pemuda berkaki buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali
sehingga apa yang keluar dari mulutnya selalu merupakan keputusan yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan percuma saja dia membantah, maka
katanya.
“Baiklah,
Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih
dulu dan akan kucari Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke
sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat pertemuan kita. Selain itu, harap
kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini. Kalau Nona
Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”
Han Han
mengangguk dan mereka lalu berpisah. Baru saja beberapa langkah Sin Kiat sudah
membalikkan tubuhnya. “Han Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak
bisa membantumu sebelum kita berpisah?”
Han Han
hanya menggeleng kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin
Kiat dan sampai jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu
aku akan minta bantuan. Sekarang ini, bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan
hanya mencari Lulu sampai dapat.”
Sin Kiat
menghela napas. “Kau tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk
adikmu. Sampai jumpa!” Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih
berdiri termenung-menung di tempat itu.
Aku harus
mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut enci-nya
tidak hanya cihu-nya berada di perbatasan Se-cuan, namun juga musuh besarnya
nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga empat perwira lainnya. Ia merasa
menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun karena
pada waktu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan
orang tentara sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan
diri.
Sekali ini
aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada
banyak kuda yang datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat
pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang kuda berhenti di tempat
ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman dengan suara lantang
dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan.
Kiranya
pasukan itu adalah pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengan
ulang tahun ke sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang
kendali kerajaan, maka di seluruh negara diadakan pesta perayaan yang dibiayai
oleh pemerintah dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan
di beberapa tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan
diminum di tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai
tiga hari tiga malam lamanya.
“Terutama di
daerah ini, akan diadakan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka
ria!” Demikian kepala regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang.
Penduduk
kota itu menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan
pemerintah. Justru di perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan
perbedaan yang menyolok antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di
seberang lewat perbatasan, daerah pemberontak. Di samping merayakan ulang tahun
kedudukan kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk
di daerah pemberontak agar mereka melihat bahwa peri-kehidupan rakyat di daerah
pemerintah lebih makmur! Waktu itu permulaan tahun 1673 dan memang sudah
sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah Ceng.
Han Han
berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki adiknya, juga mencari keterangan
tentang perwira-perwira Mancu yang bertugas di perbatasan. Dia melihat
persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti. Panggung-panggung
dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai dan meriah karena
rakyat juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang
dibagi-bagikan oleh petugas pemerintah setempat.
Tadinya Han
Han hendak mencari tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di
kelenteng atau kalau perlu di bawah jembatan. Akan tetapi ketika ia merogoh
saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika dilihatnya, ternyata ada
beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas!
Han Han
menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin Kiat yang menaruhkan uang di
sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di
luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan hal itu. Pertama, karena
Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, kedua karena kalau
Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan menolaknya!
Karena
mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak
gratis, juga tidak mencari penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar
sederhana di sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Setelah mandi dan
bertukar pakaian bersih, sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang
pada tongkatnya, hendak menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan
datang pula. Adiknya itu paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu
berada di tempat yang berdekatan, tentu adiknya itu akan datang ke kota
Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!
Akan tetapi
sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak
dikenalnya yang memenuhi kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda
yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya akan dia jumpai lagi, Gu Lai
Kwan! Atau suheng-nya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang
lihai, yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok
pemuda inilah yang telah membacok putus kakinya!
Han Han
terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci
Gu Lai Kwan yang dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman
berlatih. Biar pun senjata pemuda ini yang membuntungi kakinya, akan tetapi
pemuda itu hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang
tidak taat akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di
antara mereka berempat yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan,
dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata tajam dan berwajah serius
itu!
Melupakan
semua persoalan yang pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya
girang melihat Lai Kwan dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin
Lo-mo kini telah bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah
menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi
kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya sama saja.
Mengingat
akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur bekas suheng ini dan Han Han malah
membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di
wajahnya yang tampan itu berjalan-jalan dan menonton pertunjukan wayang
sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu berjalan lagi memasuki sebuah
rumah penginapan besar. Pengurus rumah penginapan itu menyambut dengan membungkuk-bungkuk
penuh hormat. Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik
dinding, mendengar suara Lai Kwan bertanya dengan suara angkuh.
“Ouwyang-kongcu
sudah datang?”
“Oh, sudah,
sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap
dan beberapa orang tamu agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han
mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Bila Lai Kwan telah berhubungan dengan
Ouwyang-kongcu yang ia duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas
bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan
pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah menculik Lulu dan biar pun
tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharapkan bahwa pemuda putera pangeran itu
kini mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah
disangka-sangkanya!
Hatinya
girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat tanpa diketahui siapa pun,
Han Han menyelinap ke belakang, menggunakan kepandaiannya bagaikan seekor
burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia maklum bahwa di tempat itu terdapat
banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap hati-hati, dan selain
mempergunakan ginkang-nya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan
tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam
bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas ruangan yang
dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu
merupakan ruangan paling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat
melihat bahwa hotel itu ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan
orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah diborong. Buktinya Li Kwan
memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agaknya semua
kamar di hotel itu hanya ditempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han
Han melihat mereka yang duduk memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia
makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu ketika ia terjebak oleh
Giam Kok Ma di kota raja.
Ia mengenal
Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihu-nya sendiri Giam Cu, musuh
besarnya, Giam Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek
yang kepalanya seperti burung berondol bulunya itu, kakak beradik Tikus Kuburan
Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan Botak, yaitu
Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada
beberapa orang perwira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi
semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ diadakan rapat yang amat
penting oleh perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang
menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.
Dia akan
mendengarkan dulu apa yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau
mereka akan menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andai kata tidak, masih belum
terlambat bagi dirinya untuk mencari kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan
memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu. Kalau dia turun tangan, ia
masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi sekian banyaknya orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika Lai
Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan menyambut dengan hormat, terutama
para perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan
Gak Liat lalu menegur.
“Gu-sicu,
mana gurumu dan Si Kuda Iblis?”
Gu Lai Kwan
menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya,
lalu menjawab sambil duduk di atas kursi yang masih banyak yang kosong.
“Siankouw...
eh, maksudku Subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan mewakilkan kepada
saya, juga Siangkoan Suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari
Suhu dan Subo akan datang ke Tiang-koan-bun.”
Gak Liat
mengangguk-angguk. Tak lama kemudian masuklah tiga orang perwira Mancu dan
agaknya para anggota rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak
iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada semua orang sambil berkata.
“Cu-wi
sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini.
Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang
bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah mendatangkan kemajuan pesat di
negara kita, maka kita dihadapkan pada pemberontak yang kini telah berkumpul
semua di Se-cuan. Menurut perintah dari Hong-siang sendiri, dalam tahun ini
juga kita diharuskan menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk
tugas ini telah diserahkan kepada yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin
sendiri penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan
keahlian Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang
mewakili beliau untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada
Gak-locianpwe yang akan mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu
duduk kembali dan menoleh kepada Gak Liat, dan semua orang pun kini memandang
kepada Si Setan Botak itu.
Kang-thouw-kwi
Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.
“Sesungguhnya,
dalam soal ketentaraan saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk
pelaksanaan penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para
perwira tinggi yang sudah berpengalaman dalam soal perang. Akan tetapi, untuk
menghadapi para tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak orang pandai,
saya dan teman-teman siap untuk turun tangan. Ada pun Sang Puteri yang menyuruh
saya mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan
rahasia sehingga pihak musuh tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta
ini kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah diputuskan
oleh Sang Puteri untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan depan hari ke
tujuh.”
Han Han
kaget mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu tak lama lagi akan melakukan
penyerbuan besar-besaran, menggunakan kesempatan selagi pihak Se-cuan tidak menduga-duga
karena dalam suasana pesta itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan
melakukan penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan
Se-cuan ini sebagai hadiah ulang tahunnya!
Han Han
tidak begitu peduli akan perang, namun mengingat akan keganasan tentara Mancu,
ia dapat membayangkan betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah
Se-cuan. Ia merasa telah menjadi kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan
agar di sana orang dapat berjaga-jaga. Apa lagi kalau diingat bahwa banyak
sahabat baiknya berada di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu
akan masuk ke Se-cuan bersama teman-temannya.
Akan tetapi,
tidak mungkin ia meninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling
dibencinya itu, Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya telah berada di
situ. Bagaimana ia dapat melewatkan kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus
turun tangan melakukan pembalasan terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa
Ouwyang Seng bicara tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan
untuk menyampaikan berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar
ia mendengarkan semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat
yang akan dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di pihak
musuh yang akan diserbu dan lain-lain. Tentu saja Han Han tidak dapat ingat
semua, akan tetapi setelah mengingat beberapa nama tempat yang penting, ia
merasa sudah cukup.
Ketika
pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana
mereka silih berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat
kepada kaisar, makan minum sambil tertawa-tawa, Han Han lalu melesat
meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan
perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar.
Ia
menyelinap di antara para penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai
yang dimainkan di panggung dekat hotel. Dari tempat ia menonton, di antara
ratusan orang penonton, ia dapat melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang
yang keluar dari tempat itu.
Betapa
mengkal hati Han Han ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang
keluar dari hotel, apa lagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia
mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki untuk turun tangan di hotel itu
saja, tidak peduli di situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas
dendamnya, ia tidak takut mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap
hati-hati, bukan karena takut ia akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia
tidak rela mati sebelum ia mampu membalas dendam ibunya! Akan tetapi ternyata
sampai sekarang perwira muka kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi
bergerak terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya
memandang ke depan hotel. Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel
itu, kereta yang dikusiri oleh seorang berpakaian pengawal, dan di belakang
kereta berdiri pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han menyelinap
dan mengintai agak dekat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia
mengharap mudah-mudahan jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia
belaka.
Wajah Han
Han berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dinanti-nanti muncul
dari dalam hotel itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat
wajah perwira muka kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini
berjalan cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya
musuh besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar,
sambil tertawa bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan
kusir lalu memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta keluar
dari pekarangan hotel.
Tanpa
diketahui oleh siapa pun, Han Han menggunakan kepandaiannya membayangi kereta
itu. Di ujung kota sebelah barat, kereta berhenti dan Han Han cepat mendekat
sambil berjongkok di balik batu di pinggir jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng
dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang muda itu keluar dari kereta. Kereta
berjalan lagi keluar kota! Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik
ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Akan tetapi
di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam
urusan membalas dendam ini. Dia sudah berjanji kepada enci-nya untuk tidak
mengganggu Giam Cu, dan kalau dia turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu
membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa diri dan melanggar janji kepada
enci-nya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan
turun tangan. Kalau Giam Kok Ma turun lebih dulu, ia akan menyergap pembesar
ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta
berhenti pula di depan kelompok rumah besar yang agaknya merupakan rumah-rumah
penginapan perwira. Giam Cu keluar dari kereta sambil tertawa-tawa dan setelah
perwira ini disambut oleh pengawal yang mengantarnya masuk ke dalam, kereta
bergerak lagi!
“Thian
menghendaki agar manusia terkutuk macam engkau menerima hukuman!” Han Han
berbisik dalam hatinya.
Ketika
kereta itu agak jauh meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak menuju ke tempat
penginapan Giam Kok Ma, Han Han meloncat ke atas. Sekali ia menggerakkan
tangan, dua orang pengawal yang berdiri di belakang kereta telah tewas dalam keadaan
berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han meloncat ke belakang kereta sambil
melemparkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke
depan kereta.
Kusir kereta
yang sedang mencambuki kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin
sekali mengaso, terbelalak kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu ada orang duduk di sampingnya. Namun ia tidak sempat berteriak,
tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han
menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan bunyi
meledak-ledak. Empat ekor kuda itu membalap cepat.
“Heiiiii...!
Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening... ah! Heh, ke mana
ini? Kenapa membelok ke kiri?”
Giam Kok Ma
yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba merasa tengkuknya menjadi dingin
sekali ketika mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa
itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan berani tertawa seperti itu kalau ia
tegur.
“Heh, apa
ini? Hayo berhenti...!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu kereta sambil
berteriak-teriak marah. “Pengawal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali
cambukan pada pantatnya!”
Akan tetapi
tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian
belakang dan... betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pengawal di
belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar jendela, akan tetapi tidak
dapat melihat wajah kusir karena gelap.
“Berhenti...!”
Ia berseru lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.
Dengan
kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan,
meloncat ke luar dari kereta sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau
perlu akan membunuh kusir yang lancang ini, dan ia bisa pulang dengan menunggang
kuda! Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang buntung sebelah
kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang sekali
mencabut lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan berjalan melainkan
meloncat dengan kecepatan luar biasa sekali.
Han Han
memegang lampu kereta, mengangkat lampu tinggi-tinggi sehingga mereka berdua
dapat saling memandang muka masing-masing. Han Han memandang wajah yang
kekuningan itu penuh kebencian, sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal
Han Han. Sungguh pun perwira ini merasa seperti pernah melihat wajah tampan
yang bermata seperti sepasang api bernyala dengan rambut panjang terurai itu,
namun ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti
ini.
“Siapa...
siapa engkau...? Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”
Han Han
tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun.
“Giam Kok Ma, tidak perlu mencari kusir dan pengawal-pengawalmu. Mereka telah
kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma, apakah engkau lupa kepadaku?”
“Siapa...
siapakah engkau...?” Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini,
suara orang yang pernah membuat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.
“Ingatlah
baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kau
lakukan di Kam-chi dekat Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau
melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie Bun An?”
“Kau...
kau...?”
“Benar!
Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang
berteriak-teriak seperti gila ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau
membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu membunuh seluruh keluarga anak itu,
merampas barang-barangnya! Akulah anak itu! Akulah anak yang kau lemparkan ke
dinding! Ingat?” Pandang mata Han Han seperti pandang mata beekor harimau
marah.
Giam Kok Ma
menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu berteriak, “Tidak... tidak...! Ah,
tolooonggg...!”
Han Han
tersenyum lebar. “Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya
adalah seorang pengecut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus
dosamu, menerima hukumanmu atas perbuatanmu yang terkutuk terhadap Ibuku!”
Han Han
melangkah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur,
agaknya siap untuk melarikan diri. Namun kemudian perwira itu menguatkan
hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak
akan dapat melawan seorang buntung?
“Mampuslah,
buntung!”
Makian ini
dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah
keberaniannya. Pedangnya lalu berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan
hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu
entah bagaimana, namun pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang
memegang tongkat!
Han Han
tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman.
“Bagus, Giam
Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jikalau engkau melawan, sedikitnya
engkau memperkecil sebutan pengecut!”
Kedua kaki
perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia
hendak lari, akan tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia
menjadi nekat, tangannya dikepal dan dihantamkan ke dada Han Han.
“Bukkk!
Augghhhh...!”
Perwira itu
memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia
tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya!
Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa
ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi
terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan
hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han
Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di
tangannya berkelebat.
“Brettt-brettt...!”
Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat.
Pedang itu
sudah merobek semua pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok
Ma menggigil, bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking
takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi
(menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.
“Taihiap...
ampun... ampunkan hamba... ampuuunnnnn...!” Dan ia menangis mengguguk seperti
anak kecil!
Akan tetapi
sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas dari
pada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang
bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira
itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu
memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira
itu, ibunya yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
“Bedebah!
Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”
Giam Kok Ma
mengangkat muka. Saat melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu
kereta, semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh... ampunkan,
taihiap... apa... apa yang akan taihiap lakukan...?”
“Apa yang
akan kulakukan? Ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kau lakukan kepada Ibuku?
Jawablah... heh-heh, jawab!”
“Ampunnn...!”
“Giam Kok
Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku,
menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!”
Pedang itu
berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil memegangi tangan
kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus
tanpa ia rasakan dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya
sudah lenyap!
“Ampun...
aduh, ampun...!”
“Manusia
terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa
mengejek ketika memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan
kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang
menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!”
Kembali tampak
sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma
terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah
tak berjari itu.
“Aduhhhh...
mati aku... aduh, ampunnnn... taihiap...!”
“Mintalah
ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku
tidak dapat mengampunimu!”
Pedang di
tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul
jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah
muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu benar-benar
amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya,
kemudian alat kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah
muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan
mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.
Han Han
tertawa, suara ketawanya tidak lagi seperti manusia, sepertinya iblis telah
menguasai dirinya dan suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang
menyoraki kemenangannya!
“Ha-ha-ha-ha!
Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa
wanita! Ha-ha-ha!”
Sejenak Han
Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu.
Tubuh telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan
berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh
ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk.
Kemudian Han Han tertawa lebih keras.
“Ha-ha-ha!
Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!”
Pedangnya
yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang
itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh
tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke
kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri diderita
orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak
pingsan. Dalam keadaan sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat
mengerikan.
Sambil terus
tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma
ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke
bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak
tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas, karena
iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya
menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata
saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!
Han Han
berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging
berdarah yang berceceran di depannya. Matanya terbelalak, hidungnya
kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan.
Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang
terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kini kehilangan sinar itu,
terganti sinar penuh takut dan ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar
pedang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip
memandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil
seolah-olah ia diserang demam.
“Tidak...!
Tidak...!” Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa
pemandangan mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat
kedua tangan menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepala. Tubuhnya
bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.
“Tidak...!
Tidak mungkin...!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke
kanan kiri mencari-cari.
“Iblis...!
Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau...? Harus kuhancurkan engkau!”
Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah
suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat ekor kudanya terlepas dan lari
ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han
Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu... Ibu... mengapa aku
menjadi begini? Iblis... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma,
engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan
membunuh keluargaku. Akan tetapi... ya Tuhan... yang kulakukan tadi... ah, jauh
lebih kejam...! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku
tidak lebih baik dari pada engkau...!”
Tiba-tiba
Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya,
“Tuhan... ampunkan aku... Ayah Ibu, ampunkan aku...!” Disusul suara tangisnya
dan tubuhnya berkelebatan ke luar dari tempat itu, menuju ke kota
Tiang-koan-bun kembali.
Peristiwa
yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering
kali terjadi pada setiap manusia. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya amat
lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri,
pertimbangannya menjadi miring. Akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap
sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar.
Han Han
dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak
dan sepenuhnya menguasai dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang
amat kejam, tidak kalah kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma
sendiri ketika perwira itu pun dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu
meninggalkannya dan ia sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata
pemuda itu betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya
akan wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman
dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia
yang lemah.
Han Han lupa
bahwa dahulu ia menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa
perbuatan jahat harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu
sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil lagi kalau
pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian
bukanlah keadilan lagi namanya, melainkan kejahatan dalam bentuk lain! Keadilan
hanya murni kalau dilaksanakan tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat
sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang sudah ada
batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.
Memang
tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan
menghayati filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat
kuat sifat mementingkan diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna
untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka
mudah sekali menjadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri.
Terutama sekali dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukarlah untuk menekan
nafsu amarah dan dendam kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang
dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam
(sadistic) yang dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah
mencelakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa mala petaka yang lebih
sengsara lagi!
“Lulu...
ahhh, Adikku Lulu... di mana engkau...?” Han Han berloncatan dan kini ia
mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air
yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang dapat menolongnya
kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang menghanyutkan.
Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara seperti ini.
Teringat
akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu
tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang
remang-remang.
“Aihhhhh...!”
Jerit yang
hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup
bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya
melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu.
Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan
yang membuat mukanya menjadi merah sekali.
Ouwyang Seng
dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda
yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan mendekap
mulutnya. Wanita yang kelihatannya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan
sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut pakaian wanita itu sehingga terlepas
dari tubuhnya dan terobek, membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning
langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
“Kuda betina
ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru
karena la kewalahan juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.
“Wah, sayang
jika dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng
meraba dada yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru
dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau...?”
Wajah Lai
Kwan merah sekali. “Aku... aku... tidak pernah, Kongcu...”
“Ha-ha-ha-ha!
Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh
belajar, ha-ha!”
“Akan
tetapi... itu... itu perbuatan rendah...,” Lai Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng
yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang
Lai Kwan. “Ucapanmu sungguh tolol, Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini?
Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai
kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh
kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah,
wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu
saja sebelum kita kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”
Gadis itu
meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar
lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!”
“Ha-ha-ha,
lebih baik dia meronta-ronta begitu dari pada ditotok lumpuh seperti orang
mati! Rebahkan dia di rumput dan kau pegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan
kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”
“Tidak,
Kongcu... aku... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia... eh, dia terlepas...!”
Lai Kwan
yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan
tergantung di punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata
tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis
itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan
cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil
melepaskan senjatanya, tali hitam.
“Ha-ha-ha,
biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan
begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng
tertawa.
Gadis yang
sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh
melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan
sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak
menjerat leher si gadis yang melarikan diri.
“Ahhh...!”
Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang
pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis
telanjang itu lenyap di balik batu besar.
“Engkau...
Sie Han sute...?” Lai Kwan berseru kaget.
“Ha-ha-ha,
kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini
sute-mu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng
bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.
Gu Lai Kwan
mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak
mau melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan
tetapi, betapa pun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak
sedikit pun dari gigitan Han Han!
“Han Han,
lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak...”
Tiba-tiba
Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang
cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba
meluncur ke arah mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah
meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan muka merah.
“Gu Lai
Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba
kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan di-maafkan, akan
tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa
wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”
“Han Han,
kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang
pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati
yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”
“Lai Kwan,
bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin
dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!”
Ouwyang Seng berseru.
Lai Kwan
memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah
mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han
sudah buntung kakinya, biar pun tadi sinkang-nya masih luar biasa sehingga dia
tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam
pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan
mudah dikalahkan. Apa lagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.
“Han Han,
engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”
Han Han
menghela napas panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau kini tidak
lebih hanya seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah
majikannya.”
“Keparat
buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak.
“Tar-tar!”
Tali hitam itu mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulungan sinar hitam
yang menyambar ke arah kepala Han Han.
“Wuuuttttt...!”
Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya,
membuat rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini
ujung cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han
masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan.
Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung
cambuk itu disendal kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan
penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan
membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak
menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan
mengenai sasaran secara tepat sekali.
“Tes! Tes!
Tes!”
Memang tiga
kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han
Han sama sekali tidak bergeming, apa lagi roboh seperti yang dan disangka Lai
Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan
tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan
Lai Kwan yang memegang cambuk.
“Ayaaaaa...!”
Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
“Lai Kwan,
jangan engkau turut campur. Aku hendak mengajukan pertanyaan yang harus dijawab
oleh Ouwyang Seng!”
“Setan
buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak
keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari
punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat dari
pada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.
Ketabahan
Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya pulih kembali melihat kawannya sudah
mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan
tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan
ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena
maklum akan kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya
dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti
yang amat hebat dan sukar dilawan!
Ouwyang Seng
bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian
tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia
mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka
sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan
ia bahkan memiliki pedang terbuat dari pada logam putih yang luar biasa, pedang
yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari). Gak Liat sendiri telah
menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah
dipelajari Ouwyang Seng, yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat,
sesuai dengan nama pedangnya!
Sekali
pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan,
bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang
Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh
gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya ternyata tidak
kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan
dahsyat itu untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan
sinar menyilaukan, menyerang Han Han dari belakang.
“Syuuutttt...
syuuuttt...!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.
“Ciuuutttt...
singggg...!”
“Heiii...!
Ayaaaaa...!”
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba
tubuh Han Han melambung ke atas. Karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba
setelah serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi
hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget
dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri.
Dengan enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di
tangan kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu
tanpa dibantu tongkat.
“Ouwyang
Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”
Ouwyang Seng
memandang marah. “Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya.
Pedangnya
sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang
lagi, lebih hebat dari pada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya
melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.
“Ouwyang
Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu...”
Han Han
berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat menghindarkan serangan susulan dua
orang pengeroyoknya, lalu menyambung, “...dan adikku itu lari dari istana. Di
manakah dia sekarang...?”
Ouwyang Seng
menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara
berbareng, akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu
saja. Gerakannya demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah
tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil
bicara!
“Dia sudah
minggat, mana aku tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang
kaget bukan main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han.
Dulu sebelum
buntung, kelincahan Han Han tidak sehebat ini. Bagaimana kini setelah buntung
malah menjadi begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi
ia melihat betapa Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Dia hendak
memapaki tubuh Han Han jika mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang
Ouwyang Seng.
“Ouwyang
Seng bersumpahlah....”
Han Han
benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu
meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki
tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.
"Syuuut...
syuutttt...!"
Lai Kwan
berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong.
Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke
kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya,
“...bersumpahlah bahwa kau benar-benar tidak tahu di mana adanya Lulu!”
“Setan!
Mampuslah!”
Kembali
Ouwyang Seng menyerang. Kini ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok,
melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai
mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyambut
dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang
kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
Han Han
berdiri tenang saja. Ia menunggu sampai lingkaran sinar pedang itu makin
menyempit, makin menghimpit dirinya. Pada saat pedang meluncur dengan gerakan
melingkar hendak membabat pinggangnya, mendadak Han Han menggerakkan tangan.
Seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi
bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu sudah terbelit
oleh cambuk hitam! Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot
untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu
membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi
pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
“Bersumpahlah...!”
Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan
kanan, mempertahankan dengan menyalurkan sinkang menggunakan tenaga ‘menempel
dan menyedot’.
Melihat
kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan
menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga
Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali menyambar ke arah punggung
sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.
“Desssss...!”
Lai Kwan
merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar
biasa dinginnya, seperti sebongkah batu dilempar ke telaga.
“Ayaaaaa...!”
Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa
betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus
menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat melepaskan pedangnya, terhuyung ke
belakang dengan muka pucat.
Lai Kwan
yang kaget merasa betapa tenaga sinkang-nya amblas, berseru keras dan tiba-tiba
tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan
kepalanya pening, tubuhnya menggigil karena terasa dingin sekali. Tadi ia
dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han.
Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sinkang dan memulihkan kesehatannya,
maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah
membalik dan melukai dadanya!
“Ouwyang
Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.
Ouwyang Seng
bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung
di depannya ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia
segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan
berkata.
“Adikmu itu
aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan
istana malah minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan
pemberontak! Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di
lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati
atau hidup, siapa yang tahu?”
Han Han
memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana
dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Tapi yang perlu ia ketahui adalah
sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?
“Ouwyang
Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”
Ouwyang Seng
menggeleng kepala.
“Bersumpahlah!”
Sepasang
mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak
percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya
adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil
mencabut nyawamu!”
Han Han
mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia
kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan
sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri
Lai Kwan yang masih duduk bersila.
“Lai Kwan,
kalau aku mengingat bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti
nafsu dendam, agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan
tetapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu
engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan
di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah
tersesat. Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti
Ouwvang Seng amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan
kesesatan! Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah
tersesat, karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan
semua ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan
kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhatikan
pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sendiri
sudah mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi
kebaikanmu sendiri!”
“Han Han
manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik
lengan pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi.
Muak aku mendengar ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”
Han Han
hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang
Seng itu. Semenjak kecil pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun
putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan
memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang
baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmm, ia kini meragukan hal itu.
Dia
keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang
luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan
kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik
Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian
(Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!
Menurut
cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga
tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin
celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah
melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi
orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam
sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia
menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi
setelah mereka mengambil senjata masing-masing.
“Kenapa kau
membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang
penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa
besar dan Bu-ongya tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah
putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat.
Han Han
berkata, suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat. “Saya bukan anak buah
Bu Sam Kwi.”
“Ehhh! Kalau
begitu, kenapa kau menolong aku?”
Mendengar
suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han
seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh.
Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih
telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga
begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali.
Gadis itu
memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Wajahnya
yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat
menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan
tidak dibunuh.
Han Han
masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita
berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan
yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo
seperti terkena hikmat mukjizat.
Tiba-tiba
gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang
halus. Ia membalik, menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya
gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan
dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat
menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha
menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang
diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah
sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!
“Laki-laki
monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang
ajar, ceriwis, genit tak tahu malu...!”
Han Han yang
tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa
memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata
gagap, “Nona... eh... apa maksudmu...?”
“Matamu itu!
Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?!”
Baru
sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah
kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!
“Eh...! Eh,
apa kau gila...?”
Akan tetapi
Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul
kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat
itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar...!”
Han Han
teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah
kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela
napas panjang, meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya
dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia
menggerakkan tangan... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya!
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu
menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya. Ia berkata tanpa
menengok.
“Nih,
pakaianmu, pakailah Nona!”
Gadis itu
menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan,
maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu
bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah
bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya.
Biar pun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah
tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan
yang robek itu ia berkata.
“Sudah...
sudah kupakai...”
Barulah Han
Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu
pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku,
Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku... aku memang
kurang ajar, biadab... selamat tinggal...!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan
terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.
“Eh, nanti
dulu...!”
Akan tetapi
Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya.
Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika
melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang
menggeletak di situ, hatinya terharu. Apa lagi ketika gadis itu dalam tangisnya
menyebut “ayah... ayah...” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah
berdiri di belakang gadis itu.
Dilihatnya
bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya
tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang
laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih,
mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya
besar.
“Nona, yang
sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali...”
Tiba-tiba
nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar
suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama
sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda
pincang yang aneh itu, ia marah sekali.
“Kau...! Aku
sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi
kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak
meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau
menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?”
Tiba-tiba
gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari
telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan
karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya,
melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak
takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan
darah dan mempergunakan sinkang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa
makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah
tulangnya.
Maka Han Han
lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa
tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu
kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia,
gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga
aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang
lajim dilakukan ahli totok jalan darah!
“Plak-plak-plak...!”
Han Han
menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan
sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat
lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han
tertarik dan kagum.
Gerakan
gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak
kalah oleh Sin Lian sungguh pun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah
totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu
jari yang memiliki ginkang cukup hebat, sungguh pun tentu saja tidak secepat
Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han
mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena
berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
“Eh, di mana
kau...?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada
di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh,
menghilang? Kau setankah...?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak
berkelebatnya tubuh Han Han.
Karena
gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih
terbuka di bagian depan. Biar pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh
depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk
lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat
jauh ke belakang dan berseru.
“Stopp...!
Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku
tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”
Gadis itu
cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian
depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai
senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga
pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!
“Kau hendak
menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan
hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah
menolongku tadi, pertolongan yang tak pernah kuminta, kau lantas boleh bicara
sesukamu?”
Han Han
menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya
dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan... tidak mengenal budi!
“Maafkanlah
Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkanlah tangismu, aku tidak
akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”
“Kau
mengejek, ya? Biar pun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan
gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”
Celaka,
pikir Han Han. Bicara begini salah, begitu pun tidak betul. Lebih baik tak
bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat
itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya.
Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping
kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan kecantikan
dan keindahan tubuhnya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri,
tetapi mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
“Heh,
jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak
takut mati, kau tahu?”
Han Han
memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biar
pun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang
hebat. Ia mengangguk.
“Jadi engkau
tidak mengejek aku?”
Han Han
menggeleng kepala.
“Dan engkau
mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang
ajar dan mengejekku, bukan?”
Han Han
menggeleng kepala.
“Kalau begitu,
mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang
membantunya tadi?”
Han Han
mengangguk.
Gadis itu
bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata
dan menunduk. “Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis!
Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang
kenapa tiba-tiba menjadi gagu?”
Han Han
menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia
bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan
saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun
sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena
marah, bisa repot dia!
“Nona, aku
tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah
terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”
Gadis itu
memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah
berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang
buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata
mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda
yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!
Tiba-tiba
sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku... maafkan
bahwa aku telah salah duga... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang
yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi... mata In-kong...
sungguh... mengerikan hatiku...” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah
ayahnya dan menangis.
Biar pun
hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat
menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau
sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis ini pun aneh, sekejap
marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah
menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata
hati-hati.
“Nona Tan,
marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”
Tan Hian
Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata,
lalu mengangguk. “In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada
bahayanya datang pasukan Mancu... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan
Paman-pamanku ini?”
Han Han
sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang
itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia
menjawab, “Tentu saja. Marilah, Nona.”
Gadis itu
kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda
buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam
waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah
pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan
diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia
bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini.
Seperti bukan manusia!
Tiga jenazah
itu lalu dimasukkan lubang. Setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, dengan
suara penuh duka Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu
demi satu.
“Ini adalah
ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa
bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo
(Iblis Sakti Satu Jari).”
Han Han
mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa
gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh
lawan.
“Dia itu
adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula
dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”
Han Han juga
pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi
besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).
“Dan yang
itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam
menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan
tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan
mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di
Se-cuan.”
Han Han
kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biar pun sudah
tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga
kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh
lebih mulia dan lebih berguna dari pada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia
memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itu pun seorang
gadis Mancu pula?
Dan keluarga
Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang
berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci
Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian,
menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat
Lauw-pangcu, musuh besarnya!
Betapa mulia
mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya!
Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak
berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah
itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!
Hian Ceng
melongo memandang Han Han, air matanya mengucur turun mengalir di kedua
pipinya. “In-kong... engkau... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah,
maafkan aku, In-kong... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi... kiranya
In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
Han Han
bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang
yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua
sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur
mereka baik-baik.”
Hian Ceng
kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri.
“Baiklah, In-kong...”
Hian Ceng
lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan
ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sinkang-nya,
mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat
tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat
tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan
ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk
tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!
Hian Ceng
menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah,
menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan
berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata
permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia,
tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada
permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, ia telah mengukir huruf-huruf
di permukaan batu itu.
Sepanjang
usia dicurahkan membela bangsa
tak kunjung
padam sampai nyawa meninggalkan raga
Tan Sun,
Giam Ki, dan Thio Kai
tiga
pahlawan patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok,
hiap-ci-tai-cia!
“Indah
sekali... ah, In-kong hebat luar biasa...!” Suara itu membuat Han Han menengok.
Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu
dengan air mata bercucuran.
“Ah, tidak
ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”
“Akan
tetapi... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua
menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak.
Ayahnya
adalah seorang ahli lweekeh, memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam) yang kuat,
dan dia pun telah mewarisi tenaga lweekang yang cukup lumayan, sudah
mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu
sebesar ini.
“Biarlah aku
yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”
Hian Ceng
melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar.
Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia
mengerahkan sinkang, tongkat dipantulkan dan... batu besar ini melayang dan
jatuh menimpanya!
“Ahhh...
awas! In-kong...!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya
dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa
pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian
berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu
menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!
“Bukan
main...!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han.
“In-kong... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan
bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan
Se-cuan. Tentu In-kong akan ke sana, bukan?”
Akan tetapi
betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han
Han yang memandang wajah gadis itu melihat kekecewaan membayang di wajah yang
cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu. Cepat ia berkata.
“Tidak,
Nona. Aku... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti
Ayahmu dan engkau. Aku... aku hendak mencari adikku.”
Gadis itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa
seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat... yang budiman, tidak
membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin... dan siapakah adikmu kalau aku boleh
bertanya, In-kong?”
“Adikku
bernama Lulu, sudah hampir dua tahun dia lenyap... Sampai sekarang aku
mencarinya tanpa hasil...”
Mendengar
suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir
kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana, In-kong?”
“Di lembah
Huang-ho, bersama Lauw-pangcu...”
“Eh?
Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.
“Benar, dia
diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu...”
“Ah...!
Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa
kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah
Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan
dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”
“Memang
tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat...”
“Wah,
In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”
Han Han
mengangguk. “Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian...”
“Puteri
Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.
Han Han
mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh
pejuang. “Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin
Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggota Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi
oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho...”
“Aaahhhhh...!”
“Lauw-pangcu
juga gugur dalam penyerbuan itu.”
“Ahhhhh...!”
Tiba-tiba
terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang,
In-kong, mari kita lari. Cepat...!”
Gadis itu
dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia
menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han
maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua
tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah,
akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri.
Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas
memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng
yang terbawa meloncat-loncat dan melayang-layang.
“Heiii...
eeeiiitttt... eh, kita terbang...!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan
tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.
“Waduhhhh...
hebat sekali... eiiihh, ngeri... terlalu tinggi kita meloncat... aihhhhh!”
Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian
dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng
memejamkan mata dan merangkul Han Han!
Han Han
mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar
lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han
Han menurunkan tubuh Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”
Hian Ceng
turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han
dengan sinar mata penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali... ah, betapa
senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”
Han Han
memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik
dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru
saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
“Nona,
engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”
“Ah, adikmu
tentu cantik jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng saat mereka melanjutkan
perjalanan.
“Memang
cantik jelita dan manis sekali, Nona.”
“Dan dia
tentu amat lihai.”
“Memang dia
amat lihai!”
“Dan dia
tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”
“Memang
sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”
Hian Ceng
tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang
hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau
begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”
Nah-nah-nah,
sudah kumat lagi, pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku
bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan
menyenangkan hatiku?” Dia benar-benar tidak mengerti karena biar pun Lulu
kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan
seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti
kilat di siang hari!
“In-kong
bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong
itu?”
Han Han
mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak,
akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang
sakit gigi. “Oh... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu
hampir sama dengan wataknya.”
“Akan tetapi
dia cantik manis...”
“Engkau
juga... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan
tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena
wajahnya berseri, ia melanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan
hati...”
Dengan muka
berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari
adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di
daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai
meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah
Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku
sebagai penyelidik. Sssttttt... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong.
Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ
musuh melakukan penjagaan keras.”
Dari tempat
yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi
kelihatannya sunyi saja.”
Gadis itu
mengangguk. “Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal
keadaan akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah
yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah
itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya,
dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka.
Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan
di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang
lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri,
atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu,
setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur yang
hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis
semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”
Han Han
bergidik. Dia teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan
pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal
itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu
yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini
benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.
“Kalau jalan
itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak
mengambil jalan lain yang lebih aman?”
“Jalan depan
itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”
“Eh,
bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa...”
“Bagi yang
tidak mengerti bagaimana mengakalinya memang berbahaya, juga bagi rombongan
yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...,” dia
berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas,
“kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di
sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di
sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di
Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”
Han Han
memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah
yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti
tubuh seekor naga biru.
“Kau
maksudkan sungai itu, Nona?”
“Benar,
sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan
memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”
“Naik
perahu?”
“Tidak
mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan
musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari
luar perbatasan dengan panah api...!”
“Habis,
bagaimana?” Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa
bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang
memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa
bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini
dialah yang menjadi ‘pemimpin’!
“Marilah,
In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang
tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam.
Melihat
jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti
itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng
ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai
Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng
tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia
dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih
pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan
dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya
mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di
balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han
memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di
pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil
makan minum perbekalan mereka.
“Kita bunuh
mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.
Hian Ceng
menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik,
“Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan
menjadi sulit. Dan perahu itu pun tidak ada gunanya bagi kita.”
Akan tetapi
Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa
bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut
meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis. Jantungnya
berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita
seperti sekarang ini.
Dahulu
pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal
yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan
tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk
gairah nafsu birahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu
keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari
perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya.
Dan selain
peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya,
mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak
menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim
Cu, akan tetapi, hal itu pun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena
kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian
mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam
keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!
“Lalu...
bagaimana...?” bisiknya.
“Kau pandai
renang... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa...” Gadis itu melirik ke
arah kaki yang tinggal satu itu.
Han Han
menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan
kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan
ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
“Akan tetapi
memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata
lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita
bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan
demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan
aman.”
Han Han
mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh
keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi
seperti tikus terjebak!
“Baik
sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”
Gadis itu
tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat
mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya
yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan
batang itu ke mulutnya. “Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat
kita menyedot hawa dari permukaan air.”
Han Han
memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu
memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya
pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh di dalam
air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari
luar, seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu.
Menggantungkan
nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau
mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan
mencari batang pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah
melesat dan lenyap.
Gadis itu
tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi
tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang
biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han,
tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan
hidungnya!
Karena
percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan
ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan
tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh
batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
“Batang
pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.
“Bagus, mari
kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”
Berindap-indap
mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima
orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama
akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu
ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon
ini berikut akarnya!
Tanpa banyak
cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai,
menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung
pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka
dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga
mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena
arus air di bagian itu kuat juga.
Han Han
bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak
akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak
dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat
musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?
Tiba-tiba
tangan Hian Ceng mencengkeram lengan Han Han. Han Han membuka matanya memandang
ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam,
akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali,
jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya,
bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang
tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu
dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
“Awas kawan!
Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka,
ha-ha-ha!”
Han Han
terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka
benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu
akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di
dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!
Cepat Han
Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han
menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga
perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han
kagum sekali melihat betapa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah
mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan
sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka
dicengkeram oleh tangan Hian Ceng.
Han Han juga
mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat
mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka
dengan tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air.
Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak
teriihat oleh tentara lain.
“Kita harus
membawa mayat mereka ke tepi. Kalau terhanyut, kita celaka...,” kata Hian Ceng
yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
“Biarkan aku
melempar mereka ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan...
tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han
Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di
pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong.
Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan
anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada
tanah!
Mereka cepat
menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya,
Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali
karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok.
Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari
yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya
ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu
tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan
hidung untuk memuji.
“Kita sudah
masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak
dijemur dulu, bisa masuk angin!”
Han Han
hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu
membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang
memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali.
Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi!
Benar-benar wanita merupakan makhluk yang paling aneh, merupakan manusia yang
wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun
kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk garuk
belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa
disadarinya.
“Heiiiiii...!
In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?”
terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya
masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya
diketahuinya belaka!
“Aku heran
mendengar engkau mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air
dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang
hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas
untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
“Mengapa
heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”
“Bukan
begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam
sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”
“Mengapa
tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini
suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak
perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik
semak-semak.”
Han Han
membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih
dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah
daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan
sampai melihat bayangan itu.
Sunyi
sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya,
kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang
dilakukan Hian Ceng, Han Han dapat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung
bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat
kepalanya.
“Mengapa
diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini
mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
“Eh, tidak
apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”
“Uh, baik
apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi
syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.”
Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil
menanti keringnya pakaian.
Dari cerita
ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang
semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan
ayahnya ke mana pun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang
oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam
hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar!
Mengertilah
Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya,
hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang,
hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah
mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam.
Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung
biar pun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biar
pun tertutup semak-semak.
Setelah
pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh
sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak.
Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup
rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah
berseri.
“In-kong,
marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah
pejuang!” Ia lalu berlari-lari cepat.
Han Han
segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu. Kegembiraan gadis
itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang
ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi,
semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah,
melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak
mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar
menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!
Tak lama
kemudian kedua orang ini tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan
Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat
indahnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa
lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir
yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan
segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti
benang-benang sutera.
“Lihatlah,
In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak
Pegunungan Min-san di barat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah
Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itu pun terjaga oleh barisan Mancu.
Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi
kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat
menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung.
Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san,
adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan
Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung
lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai
Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di
timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung
Ta-pa-san dan Min-san.”
Sambil
memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan
gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
“Pusat
pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua
benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya
tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwang-yang dan Wan-sian. Engkau
sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga
di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong
kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biar pun sekarang telah
memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh
dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan
penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke
Cung-king.”
“Dan kau
sendiri, Nona?”
“Aku akan
pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”
“Aku pun
hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”
“Benar, akan
tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang
asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan
kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu,
sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih
dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”
Gadis itu
pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu
menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han
beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di
pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para
pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng
benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa
buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng
membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum
air jernih.
Malamnya,
Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu,
rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat
Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang
yang kemalaman di tempat ini tidur saja di atas dipan yang memenuhi gubuk,
berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian
Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan
merebahkan tubuhnya miring.
“In-kong,
mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”
Wajah Han
Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah
menyembunyikan warna mukanya. “Tidurlah, Nona.”
“Eh, masa
engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur
di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih
lega, rebahlah di sini.”
Akan tetapi
tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak
memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa
gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama
para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan
bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah
karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos
dan murni.
Akan tetapi
dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala
kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang
gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak
terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini?
Tak mungkin...!!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment