Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 19
Bagi Puteri
Maya, benar-benar merupakan pantangan besar dan amat memalukan kalau harus
ikut-ikutan mengeroyok seorang lawan yang masih begitu muda, buntung kakinya
dan sudah dikeroyok begitu banyak orang. Juga Puteri Nirahai merasa segan untuk
turun tangan karena hal ini akan merendahkan derajatnya sebagai seorang puteri
kaisar, terutama sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi.
Begitu
mendengar teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya Lulu, Nirahai
dapat menduga bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han Han, kakak
angkat Lulu. Ia merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu buntung
sebelah kakinya, padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya itu
buntung! Dan dia terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak terjang pemuda
buntung itu, kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu
I-hun-to-hoat dari Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah
tampan dilingkari rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang
sinar mata yang begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.
“Iiihhhhh...!
Kedua tangannya mengandung pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang
yang digunakan secara berbareng! Memecah sinkang menjadi berlawanan ini dari
mana dia mempelajarinya? Siapa bocah setan itu...?” terdengar Nenek Maya
mengomel dan matanya memandang terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han
Han menggunakan kedua tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.
“Subo, dia
itulah yang selalu diceritakan Lulu-sumoi. Ia kakak angkatnya yang bernama Han
Han,” jawab Nirahai tanpa mengalihkan pandang mata dari medan pertandingan di
bawah.
Meski
mendengar ucapan muridnya itu, tetapi Nenek Maya agaknya tidak mengacuhkan
karena dia mengalami kekagetan demi kekagetan ketika menyaksikan pertempuran
itu. Mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran, “Lihat pukulannya itu...!
Tendangan dengan satu kaki...! Aihhh, bukankah itu jurus-jurus simpanan yang
hanya dikenal kami bertiga di Pulau Es? Dan itu heiiiiii...! Itu gerakan
tongkatnya... bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut! Dan loncatan-loncatan
itu... hemmm... seperti telah mengenalnya akan tetapi demikian aneh! Bukan
main! Siapa bocah ini?”
“Subo, dia
Han Han dan seperti subo ketahui, dengan Lulu dia telah berhasil mewarisi
kitab-kitab di Pulau Es.”
“Aihhh...!
Benar! Tapi loncatan-loncatan itu! Ilmu silat iblis manakah itu? Benar-benar
hebat dan mengerikan!” Ternyata Nenek Maya ini merasa terkejut dan kagum sekali
karena sebagai seorang ahli dia sampai tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan
kilat itu. Memang itu adalah Ilmu Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh
sumoi-nya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam pertapaannya! Tentu saja dia tidak
mengenalnya sungguh pun ia merasa kenal akan dasar-dasarnya.
Memang,
untuk menghadapi pengeroyokan lima orang sakti itu, terpaksa Han Han
mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang ia
pelajari dari Khu Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan seperti pedang dengan Ilmu
Pedang Siang-mo Kiam-sut, dan tangan kanannya melakukan serangan bergantian dengan
hawa sinkang Im dan Yang. Juga ia mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab
kitab yang telah ia pelajari dari Pulau Es, disesualkan untuk menghadapi hujan
serangan kelima orang lawannya!
Benar-benar
hebat pemuda ini dan barulah terbukti kesaktiannya yang jarang dapat ditemui
tandingnya, karena setelah bertempur selama ratusan jurus, mengandalkan
kelincahan ilmu gerak kilat, ia sama sekali tidak terdesak, bahkan berhasil
membuat pengepungan lima orang sakti itu kocar-kacir. Tentu saja lima orang pengeroyoknya
menjadi penasaran sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li
karena pemuda itu bekas murid mereka, dan tentu saja Gak Liat, sebab bocah itu
dahulu bekas kacungnya!
Cuaca
semakin gelap. Para pemimpin pasukan pengawal yang melihat betapa pemuda
buntung itu masih juga belum dapat ditundukkan oleh lima orang sakti itu
menjadi khawatir kalau pemuda itu akan berhasil menyerbu ke istana. Maka mereka
lalu mulai mengeluarkan aba-aba dan pengurungan pasukan dipersempit dan
diperketat, siap untuk menerjang pemuda itu seperti air bah mengamuk.
Han Han
melihat ancaman ini. Tidak mungkin baginya untuk menghadapi pengeroyokan begitu
banyak orang, sedangkan pengeroyokan lima orang sakti itu saja sudah amat
melelahkannya. “Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap Puteri
Nirahai atau mencari di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan adikku
dan mengajaknya lari dari situ,” pikirnya.
Ia mulai
mencari kesempatan untuk lolos dan menerjang ke dalam istana. Akan tetapi lima
orang pengeroyoknya makin lama makin penasaran dan marah sekali. Dari depan,
sepasang pendeta Lama sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan sinkang yang
lihai, sedangkan dari kanan kiri Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah
menerjang pula.
Han Han
menggunakan tangan kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua
orang Lama. Hebat bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama
itu terhuyung ke belakang. Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan
tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek
Toat-beng Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai
gelang!
Han Han
mengeluarkan suara melengking, tubuhnya cepat melesat ke belakang, tinggi dan
berjungkir balik. Tangan kanannya cepat menyambar dan ia berhasil menangkap
ujung rantai gelang nenek itu yang menyambarnya. Dengan sepenuh tenaga
disentakkannya kuat-kuat hingga tubuh nenek itu melayang ke atas. Nenek itu
menjerit, kalau bukan dia tentu daun telinganya akan putus. Han Han melontarkan
tubuh nenek itu dengan melepaskan rantai gelang ke arah Kang-thouw-kwi yang
memukulnya tadi! Kini tubuh nenek itu melayang dan akan bertemu dengan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang yang ampuh!
Melihat ini
Ma-bin Lo-mo berseru kaget. Cepat-cepat ia pun mengerahkan tenaganya mendorong
ke depan untuk menyambut pukulan Gak Liat dalam usahanya menolong nenek itu.
“Desssss...!”
Ma-bin Lo-mo
terjengkang sedangkan Gak Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan
sedikit darah keluar dari mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas
tanah, amat kerasnya sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah
pantatnya yang tiada dagingnya lagi terbanting peyok!
Ketika lima
orang sakti yang dalam gebrakan hebat ini terdesak dan sudah menguasai diri dan
hendak menerjang, tiba-tiba tubuh Han Han melesat ke atas, melampaui kepala
para anak buah pasukan yang mengurung dan telah melayang ke atas genteng
istana. Ramailah pasukan itu lari mengejar, ada pula yang memasang obor karena
cuaca sudah mulai remang-remang.
“Kejar ke
atas...!”
“Awas,
kepung istana agar dia tidak lari!”
“Heiii,
lekas jaga sebelah dalam istana, hadang semua jalan!”
“Paling
perlu lindungi kamar-kamar Sri Baginda dan keluarganya!”
Ramailah
pasukan pengawal itu berteriak-teriak dan bergerak kacau-balau seperti
serombongan semut diganggu sarangnya. Ada pun lima orang sakti itu, biar sudah
amat jauh tertinggal, segera meloncat pula naik ke atas genteng melakukan
pengejaran.
Cara Han Han
meloncat amat luar biasa karena dia menggunakan ilmu gerak kilatnya, tubuhnya
mencelat-celat ke atas sampai ke wuwungan. Tiba-tiba ia berhenti di atas
wuwungan memandang terbelalak kepada seorang nenek dan seorang gadis cantik
jelita yang berdiri tenang di situ. Melihat gadis itu dalam cuaca yang
remang-remang, Han Han memekik girang.
“Lulu...!”
Tubuhnya mencelat dan ia telah berada di depan gadis itu, terus dirangkulnya
sambil mengeluh karena kelelahan, “Lulu adikku... ah, Lulu... syukur kau
selamat... kau ampunkanlah aku, Lulu...!”
Saking
girang hatinya, seperti dahulu, ia mencium pipi adiknya itu, tidak tahu betapa
gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali. Dapat dibayangkan betapa
malu dan jengah rasa hati gadis ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai
sendiri yang disangka Lulu oleh Han Han. Memang ada persamaan pada wajah kedua
orang gadis itu dan juga bentuk tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apa
bila Han Han yang dalam keadaan lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca
remang-remang itu.
Han Han
berada dalam kegirangan luar biasa melihat ‘adiknya’ selamat, maka ketika
merangkul dan menciumnya, kegirangan membuat ia kehilangan kewaspadaannya dan
tiba-tiba ia mengeluh, tubuhnya menjadi lemas karena jalan darah di punggungnya
telah tertotok secara hebat bukan main. Totokan biasa saja kiranya tidak akan
mempengaruhi tubuhnya yang dialiri sinkang amat kuat, akan tetapi sekali ini
yang menotoknya adalah Nenek Maya sendiri! Maka ia terguling dan tahu-tahu
telah dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya.
Pada saat
itu lima orang sakti telah menyusul ke atas wuwungan. Nenek Maya yang mengempit
tubuh Han Han tersenyum mengejek dan berkata, “Dia sudah kutangkap, kalian mau
apa?”
Lima orang
sakti itu telah mendengar bahwa di istana terdapat guru Puteri Nirahai yang
amat lihai, akan tetapi karena belum pernah melihat nenek ini yang kehadirannya
dirahasiakan, Toat-beng Ciu-sian-li yang berwatak angkuh segera menegur,
“Engkau siapakah?”
Nirahai
khawatir kalau-kalau gurunya yang memiliki watak aneh luar biasa itu menjadi
marah, maka ia cepat maju dan berkata halus. “Harap Ngo-wi Locianpwe suka
mundur dan beristirahat karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya
dan akan kami periksa sendiri.”
Mendengar
ini Toat-beng Ciu-sian-li terkejut dan memandang tajam penuh perhatian kepada
Nenek Maya. Ia merasa sudah pernah melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat
lagi kapan dan di mana. Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang
agaknya dengan amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima
kewalahan itu adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua
tahu akan kelihaian puteri cantik itu. Jika muridnya saja sudah demikian
lihainya, apa lagi gurunya!
Nenek Maya
sudah membalikkan tubuhnya dan tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah
meloncat turun mengempit tubuh Han Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana
kembali melalui pintu belakang. Lima orang tokoh itu pun cepat turun dan kini
pasukan pengawal sibuk merawat teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka
terhadap Han Han tadi.
Malam itu
suasana di sekeliling istana sunyi sepi, akan tetapi di dalam kesunyian ini
penjagaan para pengawal diperkuat karena para komandan pengawal merasa khawatir
kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu tinggi seperti di pemuda buntung
yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai di dalam istana.
Setelah
tertotok lemas dan dibawa oleh nenek sakti itu ke dalam istana, barulah Han Han
dapat melihat wajah Puteri Nirahai di bawah sinar lampu yang terang. Ia
terkejut setengah mati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis yang disangkanya
Lulu, yang dirangkul dan dicium pipinya tadi ternyata sama sekali bukanlah
Lulu, melainkan seorang gadis yang mirip Lulu dan cantik jelita sekali.
Kekagetan
Han Han bertambah ketika ia melirik dan mengamati wajah nenek yang
mengempitnya. Ia mengenal betul wajah ini yang biar pun sudah tua namun masih
membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka yang mirip benar dengan puteri
jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan mirip dengan patung wanita di Pulau Es.
Han Han terbelalak, kini ia kembali memandang Nirahai. Bukan main! Sekarang
terasa benar olehnya kemiripan wajah gadis jelita ini dengan patung Puteri Maya
di Pulau Es! Han Han melongo, terpesona, dan biar pun tubuhnya dikempit,
pandang matanya seperti lekat pada wajah Puteri Nirahai.
Puteri Maya
membawa tubuh Han Han memasuki ruangan dalam yang luas di depan kamarnya,
kemudian sekali tangannya bergerak, Han Han telah dibebaskan totokannya dan
tubuhnya telah dilempar ke atas lantai. Kemudian nenek sakti itu duduk di atas
kursi, menyambar guci arak dan minum arak dari sebuah cawan perak, ada pun
Puteri Nirahai masih berdiri. Gadis ini memandang wajah Han Han penuh
perhatian, memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam
kesangsian dan pertanyaan, apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang
bernama Han Han?
Han Han
meloncat bangun dan terhuyung karena tubuhnya masih terasa lemas, bukan oleh
bekas totokan yang telah dibebaskan, karena sinkangnya membuat ia dapat
menguasai kembali jalan darahnya, melainkan karena lelahnya setelah melakukan
pertempuran yang berat tadi. Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan
tongkat butut Han Han yang tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han,
melayang seperti luncuran anak panah menuju ke dada pemuda buntung itu.
Han Han
cepat menyambarnya dan nenek itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini
benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid atau ahli waris Istana Pulau Es!
Dengan tongkat di tangannya, Han Han dapat berdiri tegak dan ketika ia memandang
Nirahai, puteri ini pun sedang memandangnya penuh perhatian. Dua pasang mata
bertemu pandang dan wajah Han Han menjadi merah sekali. Ia teringat betapa tadi
ia merangkul dan mencium pipi yang halus kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu
berkata lirih menggagap.
“Maaf...
maafkan kekurang ajaranku tadi... kukira engkau adikku Lulu.”
Wajah puteri
yang berkulit halus putih kemerahan itu menjadi makin merah, akan tetapi ia
hanya mengangkat pundaknya, lalu bertanya, suaranya dingin seolah-olah hal yang
dihadapi dan ditanyakannya adalah urusan kecil. “Apakah engkau ini yang bernama
Han Han, kakak angkat Lulu?”
Han Han
mengangguk dan bertanya, “Di manakah adikku? Dan engkau... eh, tentu engkau
inilah Puteri Nirahai, bukan? Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana
dia? Kuharap kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau,
hanya untuk membebaskan adikku.”
Nirahai
tersenyum mengejek. “Tidak membikin kacau akan tetapi sudah membunuh dan
melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi
pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah
sumoi-ku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka
terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang
mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah
kepada subo.”
Nenek Maya
mengangguk. Sejak tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu
menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling
mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai
lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini
menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di
dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau
Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat
persamaan puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
“Orang muda,
engkau kah pemuda yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau
Es?” Nenek Maya bertanya sambil memandang tajam.
Karena kini
tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Benar,
subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di
tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan
sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu.”
“Hemmm...,
kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas dasar apakah? Tahukah engkau, siapa
aku?”
Han Han
teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya,
Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia
ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekaii tahu bagaimana Han Han dapat
mengenalnya.
“Maafkan
teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di
dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.”
“Aihhhhh...!”
Nenek itu terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, “Di antara kami
bertiga tidak mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau
bisa mengenal nama-nama kami? Awas, sekali engkau berbohong, aku akan
membunuhmu!”
Pandang
mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa
jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki
kecantikan yang amat luar biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping
kecantikannya, juga memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian,
tentu saja nenek ini memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi
mengingat akan hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya,
yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
“Teecu tidak
berani membohong. Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang
pengalaman kami berdua di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak
tahu sama sekali siapa adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu.
Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee...” Tiba-tiba Han
Han menghentikan kata-katanya.
Seluruh urat
syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras saja
ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan,
mengelak mau pun menangkis. Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu
jari tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk
mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu
kepalanya akan pecah!
“Orang
muda... hati-hati kau... kalau bohong...!” Suara itu terdengar gemetar, agaknya
Nenek Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
“Teecu
bersumpah tidak bohong, subo. Teecu ditangkap dan kaki teecu dibuntungi aleh
Toat-beng Ciu-sian-li sebagai hukuman. Teecu terjerumus ke dalam jurang, hanyut
di sungai dan ketika teecu berhasil mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu
Siauw Bwee. Maka teecu lalu memberi kantung surat, yaitu peninggalan Suhu Kam
Han Ki yang teecu bawa dari Pulau Es untuk teecu sampaikan kepada orang yang
berhak. Dan ternyata surat-surat itu memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu
Siauw Bwee...”
Kembali Han
Han menghentikan kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung
ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di
waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat sekarang.
“Teruskan...
teruskan... apa isi surat-suratnya itu...”
Diam-diam
Han Han berpikir. Biar pun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan
pengalaman-pengalaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di
Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara
Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nenek Khu
Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya
Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang.
Akan tetapi,
kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya
ini? Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada
nenek ini. Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda,
demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja
jantung sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat
puteri Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di
dalam hatinya. Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi,
kalau dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan
menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu
terancam bahaya maut.
“Teecu tidak
berani membuka surat-surat itu, subo. Biar pun teecu hanya mengetahui subo
bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga
telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian
menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin?
Teecu hanya membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata
memang surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee.”
Kembali
terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran
hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya,
suaranya menggetar, “Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat
dari suheng itu...!”
Di dalam
lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara
tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi
yang berkepentingan sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis mau pun
pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek
Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya, maka dahulu telah
terjadi pertentangan antara dia dan sumoi-nya.
“Setelah
membaca surat-surat itu Subo Khu Siauw Bwee kemudian menangis dan mengatakan
mengapa dahulu suhu tidak berterus terang menyatakan mencinta subo seorang
sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat
pernyataan cinta...”
Tiba-tiba
Nenek Maya menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini Han Han
menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat
cantik jelita seperti bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu
teringat akan syair yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan
penuh haru dan setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara
penuh perasaan:
Betapa ingin
mata memandang mesra
Betapa ingin
jari tangan membelai sayang
Betapa ingin
hati menjeritkan cinta
Namun Siansu
berkata:
Bebaskan
dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah
pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya
perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan
pernah tercipta!
Betapa pun
juga,
Cinta segi
tiga tidak membahagiakan!
Menyenangkan
yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya
hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan
persaudaraan dilupakan
Akhirnya
yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya,
benarlah pesan Siansu
bahwa
sengsaralah buah dari nafsu!
Nenek Maya
yang tadinya membelalakkan matanya yang basah itu serta memandang dengan bengis
dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin
terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan
keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
“Orang muda,
apa... apa maksudmu dengan syair itu...?”
“Maaf, subo.
Saking terharu hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada
dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu
diukir oleh Suhu Koai-lojin.”
Kembali
Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya. “Ahhh,
kasihan... kasihan sekali suheng...! Biar pun mencinta sumoi, ternyata tidak
mau mengaku karena tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu
telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan? Cara engkau meloncat-loncat itu...”
“Benar,
subo. Sesungguhnya karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu
dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw
Bwee lalu mengajar teecu beberapa lamanya.”
“Bagus,
karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah
kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi
telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan
menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak
siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak
Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa
ilmuku masih lebih tinggi dari pada ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku
menyesal akan keputusanku ini!”
Han Han
bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah
berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja
ia tidak akan mudah diusir pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan
adiknya atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
“Maaf, subo.
Tentu saja teecu akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu
teecu harus dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya...”
Nenek Maya
menyusut air matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biar pun hatinya
masih merasa panas terhadap sumoinya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada
pemuda ini. Memang hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan
satu-satunya orang yang akan dapat menandingi pemuda hebat ini. Muridnya itu
mempunyai kecerdikan luar biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang
sukar dicari keduanya. Betapa pun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai
akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan
semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak
boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
“Bocah keras
kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya? Dia memang
ditangkap oleh sucinya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah
melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana
perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu.”
Han Han
terkejut bukan main. “Murid-murid Ma-bin Lo-mo...? Bagaimana... apa maksud
subo?”
Nenek itu
tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih
mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat. “Siapa tahu dan siapa peduli?
Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat
macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik dari pada
dia! Kalau aku turun tangan, apa yang dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli,
dan karena Lulu hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak
peduli. Bocah itu sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau
cari sendiri. Nah, sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap
kau menantangku!”
Han Han
menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini,
seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi
membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah
urusannya sendiri. Maka ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat
pergi dari tempat itu. Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya
yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia
pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat
ini Nenek Maya menghela napas panjang penuh kagum.
***************
Biar pun Han
Han dapat mempercayai keterangan Nenek Maya bahwa adiknya telah terbebas dari
dalam tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan, namun ia masih
tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan melakukan penyelidikan dengan
bertanya-tanya tentang peristiwa itu.
Tentu saja
berita penyerbuan itu menggegerkan kota raja dan hampir setiap orang yang
ditanyainya dapat menceritakannya. Akan tetapi, seperti biasa berita yang
merupakan berita angin dari mulut ke mulut, setiap orang mempunyai cerita yang
berbeda, dan tidak seorang pun di antara mereka dapat memberitahukan secara
jelas, juga tidak ada yang tahu ke mana perginya Lulu yang ikut pula melarikan
diri dari tahanan bersama para tahanan lain ketika murid-murid In-kok-san
(Lembah Awan) itu datang menyerbu.
Han Han
menjadi bingung dan tidak mengerti kalau ia teringat akan adiknya. Bukankah
menurut keterangan Lauw Sin Lian, adiknya itu telah menjadi anak angkat
mendiang Lauw-pangcu dan telah memihak para pejuang? Akan tetapi dia berjumpa
dengan Lulu di Se-cuan sebagai seorang pemimpin pasukan Mancu! Kemudian
mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri Nirahai dan menjadi tawanan, sekarang
ditolong oleh murid-murid In-kok-san. Sebenarnya, di pihak manakah Lulu
berdiri?
Benar-benar
membingungkan dan mau tidak mau Han Han tersenyum sendiri kalau mengingat
ucapan Nenek Maya bahwa Lulu sudah banyak membikin pusing! Benar-benar anak
nakal adiknya itu! Akan tetapi senyumnya lenyap terganti awan duka kalau ia
teringat akan pertemuannya yang terakhir dengan Lulu. Adiknya tentu
membencinya! Lulu, aku harus dapat menemukanmu dan memberi penjelasan, minta
maaf, demikian jerit hatinya dan pemuda ini mengambil keputusan untuk pergi
menyelidik ke In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.
Adiknya
dibebaskan oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan dia sendiri tidak tahu mengapa
murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu istana sedangkan guru mereka sendiri berada
di istana membantu Kerajaan Mancu. Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia
ini dan bertanya kepada bekas suheng-suheng dan suci-suci-nya itu di mana
adanya Lulu, hanya pergi mengunjungi mereka!
Selain
hendak mencari Lulu atau kalau adiknya tidak berada di sana, bertanya kepada
mereka ke mana perginya adiknya, juga Han Han ingin mengunjungi kuburan
kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin menyelidik tentang riwayat
nenek moyangnya. Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini, selalu
sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi karena
darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang kutukan karena
dosa-dosa nenek moyangnya!
Di sepanjang
perjalanannya yang jauh itu Han Han selalu merasa hatinya tertindih kedukaan.
Kalau ia renungkan dan ingat-ingat, apa lagi di waktu ia menghentikan
perjalanan karena malam gelap dan ia duduk mengaso di bawah pohon, terbayanglah
di depan matanya wajah Kim Cu yang berkepala gundul dan sinar matanya penuh
duka, terganti wajah Lu Soan Li yang telah mengorbankan nyawa untuknya,
kemudian bermunculan wajah Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di antara bayangan
wajah Lulu dan yang terakhir Puteri Nirahai!
Diam-diam ia
mengeluh! Mengapa Kim Cu dan Soan Li berkorban untuknya? Mengapa mencintanya?
Dan Hian Ceng...! Ah, dia, seorang yang buntung, yang tidak patut mendampingi
gadis-gadis cantik jelita itu, mengapa justru dia yang mereka cinta? Bukankah
hal ini merupakan hukuman baginya, hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya,
terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat?
Han Han
mengeluh di dalam hatinya. Mengapa dia, yang sudah terang merupakan seorang
pemuda berkaki buntung, bercacat sehingga tidak patut mendampingi seorang
wanita, apa lagi gadis-gadis cantik seperti mereka itu, kini selalu
mengenangkan mereka? Tidak, tidak boleh sama sekali! Apakah hal ini pun
merupakan penyakit baginya, penyakit turunan sehingga ia tidak pernah mampu
mengusir bayangan wanita-wanita cantik itu? Apakah dia pun termasuk seorang
yang memiliki darah kakeknya, darah seorang pria yang mata keranjang?
Kembali Han
Han mengeluh panjang dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, berusaha
untuk melupakan semua itu dan untuk tidur. Dia harus menggunakan kekuatan
kemauannya untuk melupakan bayangan-bayangan wajah ayu itu, kecuali bayangan
wajah Lulu, adiknya!
Tentu saja
pemuda yang bernasih malang ini tidak tahu bahwa dia sama sekali bukan
menderita penyakit, bukan pula mata keranjang, melainkan dia pun seorang
manusia biasa. Karena usianya sudah dewasa, tentu saja daya tarik lawan kelamin
makin kuat dan tanpa disadarinya, birahinya terhadap wanita pun makin menguat.
Hal ini adalah wajar dan bahkan sudah semestinya demikian. Hanya karena pemuda
ini telah mengalami hal-hal yang melukai hatinya, melihat pengorbanan Kim Cu
dan Soan Li untuk dirinya, ditambah pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat
cabul pemerkosa wanita, maka ia mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini
yang dianggapnya sebagai semacam penyakit dan ia menyalahkan darah
keturunannya!
Ketika ia
tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, Han Han memandang sekeliling dan
menghirup hawa segar. Hatinya agak terharu mengingat betapa dahulu, sepuluh
tahun lebih yang lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai murid In-kok-san!
Teringatlah ia akan Kim Cu yang semenjak menjadi saudara seperguruan, selalu
bersikap amat baik terhadapnya. Memang belum lama ini dia kembali ke In-kok-san,
akan tetapi sebagai tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai kakinya dibuntungi,
dan dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat menikmati keindahan alam dan tidak
terkenang akan masa kanak-kanak dahulu.
Kini ia
berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali ketika ia mendengar gerakan kaki
manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua orang laki-laki menggotong sebuah
joli yang tertutup tirai sutera. Cepat Han Han menyelinap ke belakang pohon
karena ia melihat berkelebatnya bayangan empat orang yang bergerak cepat
sekali, seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap joli yang digotong oleh dua
orang itu.
Setelah joli
yang digotong lewat dan empat bayangan itu dekat, Han Han makin tertarik. Ia
mengenal empat orang pemuda tampan itu. Mereka adalah bekas-bekas suheng-nya,
murid-murid Ma-bin Lo-mo atau murid-murid In-kok-san! Mau apakah mereka
mengikuti joli sambil bersembunyi dan siapa pula yang duduk di dalam joli?
Tadinya, melihat sikap mereka yang mengancam, ingin Han Han memperingatkan
orang yang duduk di dalam joli, akan tetapi ia segera menekan kehendak hati ini
dengan kesadaran betapa ia selalu mendatangkan salah paham dan keributan setiap
kali turun tangan.
Dia tak akan
mencampuri urusan yang belum diketahuinya benar. Maka Han Han hanya menyelinap
dan mengikuti empat orang pemuda itu sambil bersembunyi, menggunakan
kepandaiannya mencelat ke tempat-tempat tersembunyi sambil mengintai. Agaknya
dua orang penggotong joli itu hanyalah memiliki tenaga kasar saja, hanya kuat
untuk menggotong joli dan melakukan perjalanan jauh, akan tetapi tidak memiliki
kepandaian. Buktinya, mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa ada empat
orang yang kini membayangi dari dekat.
Kini empat
orang murid In-kok-san itu bergerombol di balik semak-semak, berbisik-bisik
kemudian mereka mengayun tangan ke arah joli. Han Han terkejut sekali melihat
sinar-sinar terang menyambar ke arah joli. Kiranya mereka itu telah menyerang
joli dengan senjata-senjata rahasia. Jarum, piauw, dan uang logam beterbangan
dengan jitu menyambar dan menerobos tirai sutera joli!
Han Han
membuka mata lebar-lebar karena tidak terdengar apa-apa dari dalam joli, bahkan
beberapa detik, senjata-senjata kecil itu beterbangan menyambar dari dalam
joli, kembali kepada empat orang penyerangnya secara cepat sekali, jauh lebih
cepat dan kuat luncurannya dari pada sambitan empat orang murid In-kok-san
tadi! Han Han kagum dan juga merasa geli hatinya menyaksikan betapa empat orang
itu berseru kaget dan kacau-balau mengelak dari sambaran senjata-senjata
rahasia mereka sendiri, sedangkan dua orang penggotong joli itu agaknya tidak
tahu apa yang terjadi dan terus melangkah maju menggotong joli.
Empat orang
murid In-kok-san itu agaknya penasaran dan marah sekali. Mereka berempat lalu
melompat ke luar dari balik semak-semak, mencabut senjata dan sambil berseru
keras mereka berempat itu menerjang ke arah joli. Dua batang pedang dan dua
batang golok menyambar dan menusuk ke arah tirai sutera joli itu. Terdengar
kain robek ketika empat batang senjata runcing dan tajam itu menembus tirai
menusuk ke dalam joli.
Dua orang
penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan menjatuhkan diri berlutut. Akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati empat orang murid
In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki joli yang kosong...! Hanya Han
Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat cepat sekali keluar dari joli
dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah meloncat dan berdiri di atas
cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia memandang, kiranya bayangan
itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik jelita!
Kekaguman
Han Han makin meningkat. Dapat menangkap serangan am-gi (senjata gelap) dari
dalam joli dan mengembalikannya tanpa membuka tirai sudah merupakan kepandaian
luar biasa. Kini dapat menghindarkan diri dari serangan dengan cara secepat itu
hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang
amat tinggi! Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang tentu
saja bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini berdiri
bingung dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya tubuh
wanita jelita itu dari atas pohon menyambar ke arah mereka!
“Trang-trang-trang-trang...!”
Dua batang
pedang itu terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang muda itu dalam
keadaan tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata mereka saja yang
mampu memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang tersenyum lebar.
“Untung bagi
kalian bahwa aku datang membawa tugas perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak,
apakah kalian dapat mengharap masih dapat hidup di saat ini?”
Setelah
berkata demikian, Nirahai memasuki jolinya yang sudah robek-robek tirainya itu,
memberi isyarat kepada dua orang penggotongnya. Dua orang itu bergegas kembali
menggotong joli dan cepat-cepat pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai
sutera yang robek-robek itu, Han Han dapat melihat wajah cantik jelita itu
mengerling ke arah empat orang murid In-kok-san sambil tersenyum manis.
Bukan main,
pikir Han Han. Puteri itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali!
Lebih hebat dari pada kepandaian datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu dara
ini akan merupakan lawan yang amat tangguh! Ia kagum akan kecantikannya yang
mempesonakan, akan persamaannya dengan patung Puteri Maya di Pulau Es, akan
kepandaiannya yang hebat dan akan sikapnya yang angkuh dan agung terhadap empat
orang murid In-kok-san yang sudah jelas menyerang dengan maksud membunuhnya
tadi.
Dengan
tenang Han Han lalu menghampiri empat orang murid In-kok-san yang masih rebah
tak berdaya di atas tanah. Mereka itu memandang terbelalak ketika mengenal Han
Han. Pemuda berkaki buntung ini lalu menggerakkan tongkatnya, empat kali
tongkatnya bergerak menotok dan ia telah berhasil membebaskan empat orang muda
itu yang cepat meloncat bangun dan berdiri di depan Han Han.
“Engkau...
Han Han-sute...!” Seorang di antara mereka yang bernama Song Biauw berkata.
Han Han
mengangguk. “Mengapa kalian menyerang dia?”
Empat orang
itu memandang ke arah perginya joli itu dan Song Biauw berseru marah, “Iblis
betina itu sungguh lihai! Dialah biang keladi segala kesengsaraan!” Kemudian ia
menoleh kepada Han Han. “Kami sudah mendengar bahwa engkau sekarang menjadi
seorang yang memiliki kepandaian tinggi, sute! Marilah kau bantu kami membunuh
iblis betina itu!”
Han Han
tersenyum dan menggeleng kepala. Dia terharu bahwa empat orang ini masih
menyebutnya ‘sute’, kemudian ia bertanya, “Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya,
mengapa kalian memusuhi puteri yang mewakili kerajaan itu?”
“Ma-bin
Lo-mo iblis tua itu juga akan kami basmi!” bentak seorang murid In-kok-san
dengan muka merah penuh kebencian.
Han Han
diam-diam terkejut. “Eh, mengapa kalian memusuhi suhu kalian sendiri? Kalau kalian
memusuhi Kerajaan Mancu, hal ini aku tidak heran.”
“Hemmm,
agaknya kau belum mendengar akan peristiwa busuk yang menjadi rahasia iblis tua
itu, Han-sute? Engkau tentu sudah tahu bahwa kami semua murid In-kok-san adalah
orang-orang yatim piatu...”
“Aku tahu,
orang tua kalian, seperti juga orang tuaku, terbunuh oleh pasukan Mancu...”
kata Han Han.
“Bukan!”
Song Biauw memotong cepat sambil menggoyang tangan. “Mungkin orang tuamu
terbunuh oleh pasukan Mancu, akan tetapi orang tua kami semua sama sekali tidak
terbunuh oleh pasukan Mancu, melainkan dibunuh secara diam-diam oleh Ma-bin
Lo-mo!”
“Heeehhhhh...?”
Han Han benar-benar terkejut sekali mendengar ini.
“Iblis tua
bangka yang busuk itu! Dia dahulunya memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat
membentuk pasukan kuat, dia sengaja memilih anak-anak yang berbakat baik,
menggunakan keadaan yang kacau membunuhi orang tua kami dan kemudian menolong
kami dengan pernyataan bahwa orang tua kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami
masih terlalu kecil untuk mengerti akan tipu muslihatnya ini. Akhir-akhir ini
dia menjadi penjilat Mancu sehingga kami merasa heran sekali dan akhirnya kami
dapat mengetahui rahasianya yang membocor dari istana. Tentu saja kami menjadi
sakit hati kepadanya sehingga kami bersumpah selain memusuhi penjajah, juga
akan membunuh bekas guru yang juga pembunuh orang tua kami itu!”
Han Han
mengangguk-angguk. Baru sekarang ia mengerti mengapa murid-murid In-kok-san
menyerbu kota raja. “Jadi kalian menyerbu kota raja, membebaskan
tawanan-tawanan, juga dengan maksud untuk mengacau kota raja dan sekalian
mencari Ma-bin Lo-mo?”
Song Biauw
berseri wajahnya. “Kau sudah mendengar akan penyerbuan itu? Kami kehilangan
belasan orang saudara, akan tetapi kami berhasil membebaskan banyak tawanan.
Kini saudara-saudara kami sebagian sudah menyeberang ke Se-cuan, maka kami
mendengar bahwa engkau telah membantu perjuangan dan bahkan menjadi panglima di
Se-cuan. Kami yang masih tinggal di sini mendengar bahwa puncak Tai-hang-san
akan dijadikan tempat pertemuan antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw,
maka kami menghadang di sini untuk menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami
tahu bahwa Puteri Nirahai iblis betina itu datang, kami segera menyerangnya.
Siapa tahu dia luar biasa lihainya!”
Han Han
menggeleng-geleng kepala. “Kalian ini bernafsu besar dan bercita-cita muluk,
akan tetapi kalian bukanlah lawannya, bahkan kalian berempat takkan mampu
mengalahkan Ma-bin Lo-mo.”
“Masih ada
lima orang saudara kami di bawah!” Song Biauw membentak.
Han Han
menghela napas. “Aku tidak akan mencampuri urusan kalian. Kebetulan aku bertemu
dengan kalian di sini karena memang aku ingin sekali bertanya. Ketika kalian
menyerbu kota raja membebaskan para tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang
ikut melarikan diri. Di manakah dia sekarang?”
“Ohhhh...
dia? Puteri Mancu itu? Wah, dia hebat sekali!” kata Song Biauw dan tiga orang
saudaranya mengangguk-angguk. “Hanya karena bantuan dia maka kami dapat
menyelamatkan diri keluar dari kota raja, dan hanya belasan orang yang gugur.
Agaknya iblis betina Nirahai sendiri segan untuk bersikap keras setelah dia
turun tangan membantu kami. Jadi dia adikmu, Han-sute? Ah, sungguh menyesal
sekali, kami tidak tahu ke mana dia pergi karena begitu kami semua berhasil
keluar dari kota raja, dia menghilang.”
Han Han
menghela napas panjang. Dia sudah menduga akan hal ini. Adiknya itu terlalu
keras kepala, keras hati dan ingin bebas, tentu saja tidak mau bersatu dengan
orang-orang ini. Entah ke mana sekarang ‘terbangnya’ bocah itu!
“Sudahlah,
aku akan mencarinya sendiri. Kunasehati saja agar kalian tidak terburu nafsu
mengandalkan kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai sekali, juga bekas guru kalian itu
mempunyai banyak kawan yang lihai. Kalau memang kalian ingin berjuang, tempat
kalian adalah di Se-cuan di mana dapat dihimpun kekuatan untuk menghadapi
musuh. Nah, selamat berpisah!”
Han Han
menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia telah berkelebat lenyap dari
depan empat orang itu yang memandang terbelalak, menengok dan mencari-cari ke
sana ke mari, kemudian saling pandang dengan melongo. Sukar mereka percaya
bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah itu dapat bergerak secepat itu.
Sambil
berloncatan, Han Han berpikir. Pertemuan di puncak Tai-hang-san? Pertemuan
apakah itu? Apa pula yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai yang lihai dan
cerdik luar biasa itu? Ia tertarik sekali, apa lagi dia mengharapkan bahwa Lulu
akan hadir pula di pertemuan aneh itu. Dengan penuh harapan, Han Han lalu
mendaki puncak Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan yang sunyi karena dia tidak
mau mengunjungi pertemuan itu secara berterang. Dia tidak mau melibatkan diri,
dan keinginan satu-satunya pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu.
Ia pun
bergidik kalau teringat akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi
akan kekejian hati Ma-bin Lo-mo. Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk
pasukan terdiri dari murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada
pemerintah Mancu dengan cara membunuhi orang tua dan keluarga calon para
muridnya secara diam-diam, kemudian menolong calon murid itu dan mengatakan
bahwa keluarga si murid dibasmi orang Mancu. Cara mengobarkan anti Mancu yang
amat curang, licik dan keji. Lebih menjijikkan lagi bahwa setelah melakukan
perbuatan yang tidak mengenal peri kemanusiaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo
dan Toat-beng Ciu-sian-li malah membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan
menjadi kaki tangan Mancu!
Makin
dikenang, makin sakit rasa hati Han Han. Bukankah kedua orang nenek dan kakek
itu merupakan orang-orang terakhir di dunia ini yang masih ‘berbau’ keluarga
nenek moyangnya sendiri? Merupakan orang-orang yang masih ada hubungan dengan
keluarga Suma yang terkenal jahat di masa lalu?
Teringatlah
ia akan cerita yang didengarnya dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri ketika ia masih
menjadi murid In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san ini. Arca yang dipuja di
In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru Ma-bin Lo-mo atau ayah dari Suma Hoat Si
Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri! Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek
buyutnya, ada pun nenek iblis Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari
kakek buyutnya itu!
Hemmm, baru
murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis yang kejahatannya sukar
dicari bandingnya! Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya
keluarga Suma itu sendiri! Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga
Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah
menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!
Setelah Han
Han tiba di puncak Tai-hang-san, di lembah In-kok-san, dari jauh ia sudah
melihat banyaknya orang yang berkumpul di situ. Ia cepat menyelinap dan
berindap-indap mendekati pekarangan lebar di mana berkumpul banyak orang yang
duduk di bangku-bangku membentuk lingkaran. Mereka itu terdiri dari orang-orang
yang sudah tua dan bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi pihak tuan
rumah yang merupakan rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok
dan mereka ini adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo
sebagai pemilik In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng
Ciu-sian-li, Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet
yang lihai, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama!
Han Han yang
bersembunyi dekat tempat itu dapat melihat jelas dan sebagian di antara para
tamu ada yang telah dikenalnya. Dari pihak Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio,
penjaga kuil Siauw-lim-si yang menjadi sute Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai
ditemani dua orang kakek yang setelah Han Han ingat-ingat ternyata ia
mengenalnya sebagai dua orang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar
Kang-lam).
Dahulunya
tiga pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek yang pendek kecil itu, Liem Sian
yang tinggi besar, dan orang ke tiga adalah seorang wanita cantik Bhok Khim
yang telah diperkosa Gak Liat Si Setan Botak dan bahkan yang terakhir bertemu
dengan Han Han ketika wanita yang menjadi gila itu membobol kamar penyiksa diri
di Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa anaknya.
Han Han
merasa heran mengapa dalam pertemuan penting ini, hanya Ceng To Hwesio dan dua
orang tokoh Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang hadir. Mengapa lima orang
tokoh Siauw-lim Chit-kiam tidak hadir pula?
Han Han
memperhatikan terus para tokoh yang hadir sebagai tamu. Ia melihat pula
tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang merupakan tosu-tosu tingkat tiga. Tiga orang tosu
galak yang pernah bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok Seng Cu dan Bhok Seng
Cu, agaknya tiga orang kakek ini mewakili guru mereka, ketua Hoa-san-pai untuk
hadir di In-kok-san ini.
Selain kedua
rombongan wakil Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, masih banyak terdapat
wakil-wakil dari partai-partai persilatan lain, bahkan di antara mereka pula
orang-orang dari Pek-lian Kai-pang, dan tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia
jumpai di Se-cuan. Kini dia memperhatikan Nirahai dan makin kagumlah hati Han
Han. Benar-benar amat hebat gadis itu.
Masih amat
muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang demikian lembut
seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang perlahan terhembus angin, kadang-kadang
membayangkan kekerasan yang melebihi baja pilihan. Semuda dan secantik itu
telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan kini mengumpulkan para tokoh
perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan yang jelas merupakan
musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini! Apa kehendaknya
mengumpulkan para pejuang yang bagi puteri itu tentu dianggap
pemberontak-pemberontak ini?
Diam-diam
Han Han merasa khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang
pandai mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini,
para pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi! Han Han berlaku
waspada dan siap sedia. Kalau benar seperti itu siasat Nirahai, biar pun dia
sendiri tidak peduli lagi akan perang, terpaksa dia akan turun tangan menentang
kecurangan besar ini!
Pada saat
itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat duduk dan terdengarlah suara
lantang akan tetapi merdu dari mulut Puteri Nirahai. Han Han memandang penuh
perhatian dan mendengarkan dari tempat sembunyi. Ia menjadi heran mendengar
suara gadis jelita itu, karena biar pun gadis itu bukan berbangsa Han, akan
tetapi suaranya sama sekali tidak kaku, bahkan kata-katanya teratur dengan
rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki pengertian yang baik tentang kesusastraan.
“Atas nama
Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang bertugas sebagai wakil kaisar dalam
hal ini menghaturkan banyak terima kasih kepada para locianpwe dan para
enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk datang berkumpul dan
bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan dan kerja sama demi
kesejahteraan rakyat jelata!”
Han Han
mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar hebat. Selain kata-katanya
terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan memuji-muji orang gagah,
suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat menarik perhatian mereka
yang mendengarnya. Selanjutnya, secara singkat namun padat dan dengan kata-kata
teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa pemerintah Kerajaan Mancu
mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para orang gagah, terutama
dengan partai-partai besar. Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan
menderita sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang
menyengsarakan itu dilanjut-lanjutkan? Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan
untuk membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah
Ceng yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin
rakyat jelata mencapai kemakmuran.
Sejam lebih
puteri itu bicara dengan lancar dan tidak membosankan para pendengarnya. Wajah
itu demikian cantik jelita seperti setangkai mawar sedang mekar dengan
segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan siapakah yang akan bosan memandang?
Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh semangat dan gairah hidup, bibir yang
bergerak-gerak ketika bicara itu demikian manis, semanis kata-kata yang keluar
secara teratur dan indah, seakan gadis itu bukan sedang berpidato, tetapi
sedang mendeklamasikan sajak-sajak indah!
Tubuhnya
agak bergoyang, sesuai dengan sikap kewanitaannya, mengingatkan para
pemandangnya akan batang pohon yang-liu terhembus angin musim semi, meliak-liuk
dengan lemas dan indahnya. Setelah membeberkan rencana kerja pemerintah dan
memberikan janji dengan sumpah bahwa pemerintah tidak akan mengganggu hak milik
para tuan tanah dan tidak akan mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras
rakyat dengan pajak berat seperti yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar
dahulu, berjanji pula akan menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan
rakyat, menumpas para pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih
memberontak, terdengar puteri jelita itu berkata.
“Hendaknya
cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya
merupakan bangsa yang besar, dan jangan terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan
yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan
suku bangsa-suku bangsa yang menjadi bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih
ingat akan nama seorang pahlawan dan pendekar yang tiada bandingnya selama
sejarah berkembang. Siapa yang tidak pernah mendengar nama julukan pendekar
besar Suling Emas? Siapa pula yang tidak tahu akan sepak terjangnya yang tidak
memperbedakan bangsa, yang bahkan menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan
suku bangsa-suku bangsa menjadi bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya
bangsa-bangsa pun hanya merupakan perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia
sendiri karena sesungguhnya, tanpa adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua
manusia di empat penjuru lautan adalah saudara, seperti yang telah diajarkan
oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa ‘Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya’! (Di Empat Penjuru
Lautan Adalah Saudara). Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa
andai kata Pendekar Sakti Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan
menyetujui persatuan di antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri
Nirahai, tidak membohong dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling
Emas, hendaknya cu-wi sekalian suka memandang pusaka ini!” Tangan Puteri
Nirahai bergerak dan berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Ternyata sebatang suling emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya
tinggi-tinggi di atas kepala.
“Suling
Emas...!”
Banyak mulut
mengucapkan kata-kata ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya
masih ragu-ragu, baru setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai,
kini menjadi tunduk benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada
di tangan sang puteri. Biar pun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun
tidak ada, namun nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia
kang-ouw, dan karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum
dan tunduk.
Puteri
jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para orang gagah itu dan ia
melanjutkan, “Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang saja tanpa
maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku bahwa saya
adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam.
Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam, masih perlukah
diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi sekalian,
orang-orang gagah di dunia kang-ouw?”
Semua orang
makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi hening. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara Ceng To Hwesio wakil Siauw-lim-pai, suaranya tenang namun
mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung karena dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga khikang, “Omitohud...! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat
benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk?
Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan
menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng
ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk
terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan
Liong Ki Tek, dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?”
Semua orang
menjadi tegang hatinya mendengar ini, apa lagi ketika Lok Seng Cu, orang
pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata nyaring. “Tepat sekali apa
yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio. Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa
tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh kemudian kesalahannya ditimpakan kepada
Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan fitnah?”
Suasana
menjadi makin tegang. Apa lagi bagi Han Han yang mengintai dari tempat
persembunyiannya. Sebagai orang luar dia mengetahui benar akan fitnah itu yang
menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda
buntung ini mendengarkan penuh perhatian dan seperti orang-orang yang hadir di
situ, ia pun memandang ke arah Puteri Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi
jawaban puteri itu.
Semua orang
tercengang dan terheran melihat puteri cantik itu tetap tenang, bahkan kini
tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup menghadapi pertanyaan dari
pihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan serangan hebat itu.
Puteri itu
memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian menjura dan berkata, suaranya
tetap merdu dan tenang.
"Maaf,
Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga pertanyaan dari Totiang wakil
Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya hendak mengajukan pertanyaan
dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara sejujurnya. Pertama, dalam
pertandingan perorangan terdapat istilah curang kalau orang itu menggunakan
cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan. Akan tetapi di dalam keadaan
perang terdapat istilah siasat, dan apakah seorang panglima yang menggunakan
siasat dalam perang untuk menjebak pihak musuh dapat disebut curang pula?”
“Siasat
dalam perang bukahlah kecurangan,” jawab Ceng To Hwesio dan semua orang
mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan bahwa siasat dalam perang
itu curang?
“Terima
kasih,” kata Nirahai sambil tersenyum. “Pertanyaan kedua, jika seorang prajurit
dalam perang membunuh lawan, tanpa peduli siapa lawan yang berada di pihak
musuh itu, apakah dia dianggap bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?”
“Tentu saja
tidak,” jawab pula Ceng To Hwesio. “Membunuh musuh dalam perang merupakan
pelaksanaan tugasnya.”
Kini Nirahai
tersenyum manis sekali, sepasang matanya berseri-seri dan suaranya merdu dan
nyaring, “Terima kasih Losuhu. Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan
tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Nah, sekarang terjawablah
pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai
wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang kini mendapat kehormatan memegang
pusaka keramat dari pendekar sakti Suling Emas, dan mengaku sebagai ahli waris
ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hitam, seujung rambut pun tidak mempunyai rasa
permusuhan, apa lagi kebencian terhadap para orang gagah di dunia kang-ouw.
Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan kagum. Akan tetapi mengapa saya
membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai? Karena tugas saya, tugas seorang
prajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula saya menggunakan fitnah
kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai
dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya sebagai panglima dalam perang! Semua yang
saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang. Permusuhan dalam perang
bukanlah permusuhan pribadi, karena kalau peristiwa yang timbul sebagai akibat
perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di dunia ini akan terjadi
dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja Losuhu wakil
Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima penjelasan saya ini
yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk menghindarkan diri
dari kesalahan.”
Semua yang
mendengar ucapan puteri itu diam-diam terpaksa harus membenarkannya. Akan
tetapi tiba-tiba seorang kakek yang berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han
Han dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang anggota Pek-lian Kai-pang,
yang dengan sikap gagah berkala lantang.
“Semua
uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai orang-orang gagah kita harus dapat
menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas
membela bangsa dalam perang, dan hal ini memanglah kewajiban suci orang gagah.
Akan tetapi, kami pun orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kepahlawanan,
kami berkewajiban pula untuk membela negara dan bangsa, menentang penjajah
tanah air dari bangsa asing! Kalau sekarang kami menyetujui uluran tangan
pemerintah Mancu untuk bekerja sama, bukankah hal itu berarti hendak menyeret
kami patriot-patriot gagah menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah
dan hina?”
Semua mata
orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan sinar bersemangat, dan Han Han
makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana tangkisan puteri yang cerdik
itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan tetapi puteri itu tersenyum dan
tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah penyerangnya dengan sinar mata
tajam, ia lalu menjawab.
“Pertanyaan
Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang perlu saya jawab satu demi satu.
Pertama, Lo-enghiong menyatakan bahwa tanah air dijajah oleh bangsa asing!
Manakah bangsa asing? Bangsa kita yang besar mempunyai puluhan suku bangsa, di
antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu dan lain-lain suku bangsa yang
tersebar di daerah utara dan barat di tanah air kita yang luas. Jadi kalau
sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan suku bangsa Mancu, tidak dapat
dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing! Di dalam catatan sejarah masih
dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara suku bangsa-suku bangsa ini.
Kalau suku bangsa Mancu dianggap bangsa asing, bagaimana dengan suku bangsa
Khitan? Kalau Khitan merupakan bangsa asing, apakah cu-wi sekalian hendak
mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas memperisteri wanita asing? Apakah
pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah bangsa asing, dan sekarang tidak
tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar
asing yang menjajah! Lebih tepat dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil
menghalau kaisar lalim dan membebaskan rakyat jelata dari pada penindasan!”
Semua orang
saling pandang dan kembali uraian itu sukar mereka jawab secara tepat karena
memang mereka tidak dapat memastikan benar apakah bangsa Mancu termasuk bangsa
asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang besar!
“Sekarang
hal ke dua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa sudah menjadi tugas kewajiban
seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat sekali! Memang tugas seorang
gagah perkasa, seorang patriot untuk membela bangsanya yang tertindas, akan
tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang gagah harus membela kaisarnya
yang lalim dan menindas rakyat, bukan? Buktinya, jauh sebelum suku bangsa Mancu
berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang bobrok, telah banyak terjadi
pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya merupakan usaha dan perjuangan para
orang gagah untuk membela rakyat yang tertindas dan mengenyahkan kaisar dan
antek-anteknya yang lalim. Lo-enghiong sendiri kalau saya tidak salah duga,
tentulah anggota Pek-lian Kai-pang dan apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah
perkumpulan orang gagah ini merupakan kelanjutan dari pada Pek-lian-kauw,
perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti berusaha menggulingkan kaisar lalim
dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan demikian, bukankah usaha suku bangsa
Mancu pun merupakan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan
akibat penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang tidak becus? Dengan demikian, antara
kami dengan cu-wi sekalian terdapat cita-cita yang sama, yaitu membebaskan
rakyat dari penindasan. Kita sama-sama pejuang dan karenanya sudah sepatutnya
kalau kita bergandengan tangan, bekerja sama untuk mengangkat rakyat yang sudah
ratusan tahun ditindas itu agar mereka hidup makmur!”
Han Han
memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan main hatinya. Wanita ini
benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya berdebar-debar ketika ia
memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh seperti terpancar keluar
dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia kagum dan terpesona.
Biar pun
semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek pengemis yang berhati keras itu
masih tidak mau menyerah kalah. “Kouwnio, kalau benar bahwa kerajaan yang baru
ini mengulurkan tangan kepada para patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan
diserang terus? Bukankah Bu-ongya juga seorang patriot besar yang mengorbankan
segalanya untuk mempertahankan nusa bangsanya?”
Wajah puteri
itu yang tadinya berseri dan tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya
bersinar tajam berwibawa, dan suaranya nyaring berkata, “Bu Sam Kwi sama sekali
bukan seorang pejuang yang membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan
sendiri, untuk menjadi raja! Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang
bermuka dua!”
Semua orang
terkejut mendengar ini dan ada yang mengeluarkan seruan-seruan marah dan
penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat menyambung, “Hendaknya cu-wi sekalian
jangan silau oleh tipuan pengkhianat licik itu dan marilah kita ikuti
riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya siapa? Dia seorang panglima Kerajaan
Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap Kerajaan Beng-tiauw! Dengan
dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah dan lalim, dia mengajak suku
bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh Paman Pangeran Dorgan untuk
bersekutu. Setelah kami berhasil menyerbu ke selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan
muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw,
akan tetapi berkhianat pula terhadap kerajaan baru! Orang macam itu mana ada
harganya? Dia melawan kerajaan baru semata-mata karena hendak mengangkangi
kerajaan dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi raja, sama sekali bukan
hendak membela rakyat! Hal ini diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana
sehingga kini Pangeran Kiu yang diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang
terhormat ini, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet
menerima uluran tangan kami. Bu Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat
rakyat makin sengsara. Akan tetapi, dia hanya tinggal menanti saatnya untuk
kami hancurkan. Sekali lagi, harap cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang
yang bermuka dua itu!”
Hening
sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan ucapan yang penuh semangat ini.
Kakek pengemis mengeritkan keningnya, berpikir dan menjadi ragu-ragu akan
pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To Hwesio berkata.
“Bagaimana
kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru ini tidak sama buruknya dengan yang
lama? Apakah buktinya bahwa suku bangsa Mancu yang telah berhasil memegang
pimpinan ini mempunyai niat yang mulia terhadap rakyat?”
Kembali
Nirahai tersenyum. “Inilah pertanyaan yang tepat dan penting, Losuhu, dan
jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan membujuk cu-wi sekalian
orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan tetapi marilah kita sama-sama
membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah keturunan keluarga Suling Emas,
tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri sebagai orang gagah. Andai kata
kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biar pun kaisar itu Ayah saya sendiri,
apakah saya akan tinggal diam? Tidak, saya tetap akan bergandeng tangan dengan
cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela rakyat yang tertindas!”
Terdengar
sorakan gembira menyambut ucapan ini dan Han Han menarik napas panjang. Wanita
hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita, lihai ilmunya dan cerdik bukan
main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau percaya bahwa seorang seperti
Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.
“Baiklah,
Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai berjanji akin menarik semua murid
Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan perang. Akan tetapi jangan dikira
bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya berpeluk tangan saja. Kalau kelak
ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya dengan yang lalu, tentu kami akan
mencabut senjata lagi melakukan pembalasan terhadap rakyat yang tertindas!”
“Kami juga
berjanji!”
“Kami juga!”
“Kami juga!”
Ramailah
para tamu yang hadir itu membuka suara, dan biar pun ada yang hanya tinggal
diam, namun jelas bahwa jumlah yang setuju untuk berdamai jauh lebih besar,
sedangkan yang membantah tidak ada seorang pun. Setelah semua diam, terdengar
Ceng To Hwesio berkata, suaranya kereng.
“Kouwnio,
ada sebuah hal yang dapat kita pergunakan untuk membuktikan sampai di mana
iktikad baik pemerintah baru.”
“Harap
Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu?” Nirahai bertanya ramah.
“Pemerintah
yang baik tidak akan mempergunakan kaki tangan yang jahat, dan kalau memang
pemerintah menghargai orang-orang gagah, tentu tidak akan melindungi orang
jahat pula.”
“Maksud
Losuhu bagaimana?”
“Terus
terang saja, biar pun kini urusan pemerintah telah dapat diselesaikan dengan
damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi bagaimana dengan permusuhan
pribadi?”
Sepasang
mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang wajah hwesio tua itu. “Maksud
Losuhu? Ingat bahwa semua yang saya lakukan dahulu adalah sebagai lawan dalam
perang!”
Hwesio itu
tertawa. “Kouwnio agaknya salah mengerti. Dengar Kouwnio, sungguh pun Kouwnio
telah membunuh dua orang murid Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah
beres oleh penjelasan Kouwnio tadi. Yang pinceng maksudkan adalah
Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi pembantu Kouwnio!”
Nirahai
melirik ke arah Gak Liat, lalu berkata sambil lalu, “Losuhu maksudkan bahwa
antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan pribadi?”
“Benar,
Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pangkutnya dengan urusan perang,
kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus
dengan nyawa!”
Nirahai
mengerutkan kening, kemudian menggerakkan kedua pundak mengembangkan kedua
lengan sambil berkata, “Kita berada di antara para orang gagah. Pemerintah
berpendirian untuk membasmi kejahatan, untuk melindungi rakyat. Apa bila di
antara para orang gagah ada dendam pribadi, tentu saja pemerintah mempersilakan
mereka untuk menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan, bahkan kami
berjanji untuk menjadi saksinya agar penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan
dengan seadil-adilnya, tidak ada pengeroyokan, tidak ada kecurangan!”
“Ha-ha-ha-ha!
Bagus sekali! Sang Puteri benar-benar telah bersikap adil. Nah, orang-orang
Siauw-lim-pai! Kalau memang kalian mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita
bereskan sekarang juga!” Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan
dengan sikap menantang memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To
Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar. “Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak
Liat yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu tidak akan bersikap
pengecut dan berani mempertanggung jawabkan kedosaannya! Apakah engkau sudah
merasa akan dosamu terhadap Siauw-lim-pai?”
“Ha-ha-ha!
Dosa? Dosa itu apakah? Kau maksudkan murid wanita, seorang di antara Kang-lam
Sam-eng itu? Ha-ha-ha! Itu kau anggap dosa?”
“Gak Liat,
manusia berwatak binatang! Siaplah engkau menghadapi pinceng! Sekarang di depan
para orang gagah kita membuat perhitungan!” Sambil berkata demikian, Ceng To
Hwesio melolos sabuknya dan sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna
kuning itu menjadi kaku seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sinkang
dari hwesio tua ini dan semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi
Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara ketawanya itu tiba-tiba terhenti,
matanya melotot memandang hwesio itu dan terdengar suaranya bernada sombong.
“Hwesio
bosan hidup! Engkau siapakah? Kalau hendak membalas dendam, kenapa tidak Ceng
San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku?”
“Tidak perlu
ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing perlu apa menggunakan penggebuk
besar? Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng untuk membalas dendam terhadap
kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!”
“Susiok-couw
(Paman Kakek Guru), karena dia berdosa terhadap sumoi, biarkan teecu yang
melayaninya!”
Khu Cen
Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng menggerakkan cambuk besinya meloncat
maju. Orang yang pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat
yang telah memperkosa Bhok Khim, sumoi-nya yang tersayang sehingga ia lupa diri
dan hendak nekat mengadu nyawa. Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa
cucu keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu,
langsung membentaknya dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio
menghadapi Gak Liat sambil melintangkan sabuknya dan menantang.
“Mari,
Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri perhitungan kita di sini!”
“Ha-ha-ha,
aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang sudah bosan hidup, maju dan
seranglah, Ceng To Hwesio!”
“Omitohud,
ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini, bukan karena benci, melainkan untuk
menyelamatkan manusia-manusia lain!” Ceng To Hwesio berkata lirih seperti
berdoa, lalu tubuhnya bergerak dan ia sudah menerjang maju, sabuknya menyambar
ke arah muka Gak Liat.
Setan Botak
ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan sabuk lewat di depan mukanya,
tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan mencengkeram ke arah pusar lawan.
Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang hebat bukan main. Semua penonton
termasuk Han Han memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio
adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu kepandaiannya biar pun belum dapat
disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun sudah cukup tinggi, bahkan lebih
tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan seorang di antara Siauw-lim
Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun hidup bersih sehingga ia
telah berhasil menghimpun tenaga dalam yang kuat di tubuhnya.
Namun,
menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua Siauw-lim-pai, ia
masih kalah jauh. Betapa pun juga, hwesio yang berkemauan sangat keras untuk
menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini tidak menjadi
jeri. Cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari
pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah
perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja menerima
sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.
“Dukkk!
Wuuuttttt!”
“Aihhh...!”
Ceng To
Hwesio meloncat tinggi ke belakang dan hampir saja ia celaka. Saat sabuknya
yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa betapa senjatanya itu membalik,
bertemu dengan benda yang seperti karet, dan tangan Gak Liat sudah melancarkan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung hawa panas melebihi api. Biar pun
hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan menghindar, pundaknya kena
diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali, bahkan bajunya robek dan
kulitnya gosong menghitam!
“Ha-ha-ha-ha!
Begitu saja kepandaianmu, Ceng To Hwesio?” Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai
mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan
Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak Liat, sebaliknya malah hatinya
condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai karena dia dapat menduga apa yang
telah terjadi atas diri murid wanita Siauw-lim-pai itu. Tetapi dia pun masih
membutuhkan tenaga bantuan seorang lihai seperti Gak Liat.
Biarlah,
pikirnya, makin banyak permusuhan diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak
banyak pusing menghadapi permusuhan-permusuhan pribadi antara tokoh-tokoh
kang-ouw ini. Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya, dan
mengaku kalah, maka permusuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat menggunakan
kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan pembunuhan.
Ada pun Han
Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia tahu benar apa yang menyebabkan
permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat, akan
tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu dilakukan secara adil dan bahkan kalau
dia turun tangan, maka dia hanya akan mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai.
Maka ia hanya menonton dan berkali-kali menarik napas panjang, maklum bahwa
hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya akan membunuh diri melawan Gak Liat
yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciang-nya itu.
Ceng To
Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang maju lagi. Kini sabuknya ia
putar-putar dengan tangan kanan melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah
dan bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan tangan kirinya menggunakan
Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk menyerang. Betapa pun kebal
tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini agaknya akan celaka!
Gak Liat
yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun maklum bahwa biar pun
tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh memandang rendah
seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat yang kuat sekali.
Cepat dia menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada kalanya harus mengelak
sambil menanti saat baik. Ketika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat
kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah
leher itu mengenai pundaknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan
kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam
dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
“Brettt...
desssss!”
Baju di
pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To Hwesio terlempar ke belakang
dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena seluruh dada dan
perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!
“Manusia
iblis...!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua orang di antara Kang-lam Sam-eng
meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan cambuk besinya, sedangkan Liem
Sian yang tinggi besar sudah menggunakan sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat
berat.
“Cring-tranggg...!”
Dua orang
murid Siauw-lim-pai ini meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata
mereka ditangkis dan tangan mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri
Nirahai, menggunakan pedang payungnya. Puteri itu berdiri dengan kereng dan
berkata.
“Ji-wi
Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu ini telah kalah dan mati dalam
pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati dalam pertandingan yang adil
dari pada berlaku curang yang hanya akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai!
Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu ini dan tidak perlu memperbesar
permusuhan karena sudah terang bahwa pihak Siauw-lim-pai telah kalah dalam
pertandingan yang syah dan adil.”
Dua orang
tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas, menyimpan senjata mereka lalu
mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi, Khu Cen Tiam berkata kepada
Gak Liat, “Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita masih belum habis. Tunggulah
kami melaporkan hal ini kepada ketua kami.”
“Ha-ha-ha-ha,
sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah
ramai! Aku akan selalu menanti, ha-ha-ha!”
Akan tetapi,
sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan
putih dan terdengar bentakan nyaring, “Setan Botak, nyawamu sudah berada di
tanganku dan engkau masih bicara sombong!”
Dua orang di
antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah wanita berpakaian putih yang muncul
tiba-tiba itu dan mereka berbareng berseru keras penuh kekagetan dan keheranan,
“Sumoi...!”
Gak Liat
memandang dengan mata terbelalak, dan sinar matanya membayangkan rasa ngeri dan
cemas. Han Han segera mengenal wanita itu sebagai wanita yang dahulu menjadi
orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak
Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu membobol dinding
kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar penyiksa diri dan membawa seorang
anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar keras, perasaannya terguncang penuh
ketegangan.
Orang-orang
lain yang berada di situ, termasuk Nirahai, terheran-heran dan tidak tahu siapa
gerangan wanita yang wajahnya masih cantik akan tetapi rambutnya riap-riapan
pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan kemarahan dan kelihatan beringas
sekali itu.
“Kau...
kau... kau murid Siauw-lim-pai itu...!” Gak Liat akhirnya teringat dan di luar
kesadarannya ia berteriak.
“Kakek
keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah Bhok Khim dan aku datang untuk
merenggut nyawamu!”
Setelah
berkata demikian, Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua
tangannya mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya
itu menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi
kaget. Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri, namun dengan
kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua tangannya ke
kanan dan... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai lima kali. Dia
meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak terluka sungguh
pun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan main!
Melihat
pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri Nirahai kini mengerti siapa adanya
wanita itu, maka ia berseru nyaring, “Pertandingan antara dua orang yang
mempunyai dendam pribadi, harap yang lain tidak mencampuri!”
Seruan ini
menenangkan suasana dan kini semua orang menonton dua orang yang sudah mulai
bertanding dengan hebatnya. Diam-diam Han Han yang menyaksikan pertandingan itu
terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok Khim amat aneh dan terutama sekali hawa
yang menyambar keluar dari kedua tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan
suara bercuitan seperti pedang yang digerakkan dengan tenaga sinkang kuat.
Tahulah dia
bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri telah dapat mencuri ilmu yang
diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada Siauw Lam Hwesio, pelayannya.
Ilmu inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti Hosiang. Akan tetapi
menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia dapat menduga bahwa
wanita ini tentu mempelajarinya secara keliru sehingga menyeleweng. Tetapi
melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa hebatnya ilmu yang
dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa diri.
Berkali-kali
Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena dia memiliki kekebalan luar biasa,
maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia roboh bergulingan, sama sekali
tidak melukainya. Melihat ini Han Han merasa sayang sekali dan ia dapat menduga
bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi ‘kulit’ dari ilmu itu, masih
kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah mengenal ‘isinya’, agaknya ilmu
yang hebat itu pasti tidak akan dapat tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak
Liat yang jauh lebih matang pengalamannya dalam hal pertandingan ilmu silat
juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba ia tertawa bergelak dan kini ia
mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang ganas dan liar itu dengan
pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambil menggulingkan diri.
“Celaka...!”
Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim
itu tidak akan ada artinya kalau lawannya bergulingan seperti itu dan kini biar
pun memukul sambil menggulingkan diri, Hwi-yang Sin-ciang dari Setan Botak itu
tidak berkurang kedahsyatannya!
Benar saja,
setelah Gak Liat membalas serangan dengan bergulingan dan memukul secara
bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan ketika ia agak terlambat mengelak,
pinggangnya kena serempet pukulan panas itu dan ia menjerit, roboh terguling
dan pakaiannya robek di bagian pinggang!
“Ha-ha-ha!”
Gak Liat tertawa bergelak.
Akan tetapi
ia menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah
meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan mengeluarkan suara melengking
nyaring seperti kuntilanak! Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping
sambil memukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah
mendahuluinya, menangkap kedua tangannya, pada pergelangan tangan dan gerakan
tubrukannya yang kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok
Khim!
Kedua orang
itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan karena bergumul dengan kacau,
saling membetot bersitegang melepaskan dan mempertahankan tangan yang
dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih sehingga kelihatan seperti kedua
orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain asmara dan bersendau-gurau sambil
bergumul. Namun semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu merupakan
pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka memandang
dengan hati penuh ketegangan.
Memang hebat
dan menegangkan pertandingan yang kini tidak lagi memakai teori ilmu silat itu.
Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada kedua pergelangan tangan Gak Liat
benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari tangannya sudah terbenam ke dalam
lengan kakek itu. Biar pun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja
kesepuluh jari tangan Bhok Khim itu tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat,
seolah-olah menjadi sepuluh ekor lintah yang menghisap darahnya!
Gak Liat
mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main. Kalau dia dikalahkan dengan ilmu
silat yang lebih tinggi, dia tidak akan penasaran. Akan tetapi dikalahkan
dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram dan mencakar, benar-benar amat
memalukan! Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha untuk
menggigit tenggorokannya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi makin
malu dan bingung.
Ia kembali
meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh yang menindihnya itu terlepas, akan
tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan kedua kakinya yang panjang dan berkulit
halus itu ke pinggang Gak Liat dan tiba-tiba mukanya menunduk ke arah
tenggorokan! Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang kini
rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak mencium
Gak Liat!
Terdengar
lengking yang serak seperti serigala disusul teriakan Gak Liat karena
tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini hanya dapat terjadi
karena gelora nafsu birahi yang timbul di dalam hati kakek itu. Pergumulan itu,
bau keringat dan rambut Bhok Khim, membangkitkan nafsu birahi di hati Gak Liat
sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan kewaspadaan, maka terlambat ia
menyadari bahwa wanita itu bukan hendak mencium bibirnya seperti yang
dikhayalkannya dalam buaian nafsu, melainkan menggigit tenggorokannya. Rasa
nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biar pun tangannya masih
dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga tangan Bhok Khim yang
mencengkeram terbawa dengan keras sekali dan pukulan Hwi-yang Sin-ciang bersarang
di dada wanita itu!
Pukulan ini
hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi kepandaiannya pun kiranya akan
tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan tetapi di dalam diri Bhok Khim
terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat dari mempelajari ilmu tinggi yang
keliru. Biar pun pukulan itu membuat dadanya seperti remuk akan tetapi tidak
membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya ia memperkuat gigitannya sampai
gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak urat besar!
“Desssss!”
Sekali lagi
Gak Liat memukul sekuatnya dan tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah
hitam dan hangus, akan tetapi tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat
karena urat lehernya putus dan lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari
leher itu keluar suara mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi
darah yang mengucur seperti pancuran air!
Setelah
tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang lalu terkulai, barulah semua
orang menghela napas dengan muka pucat saking tegang dan ngerinya menyaksikan
pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya Bhok Khim dan Gak Liat. Akan
tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia mengeluh dan tubuhnya
bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu Cen Tiam dan Liem
Sian.
“Suheng...
suheng... harap suheng... merawat... anakku...,” terdengar suaranya lemah.
Suara yang terdengar aneh, seperti suara yang datangnya dari lubang kubur.
Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah menerima dua kali pukulan Hwi-yang
Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam itu masih dapat mengeluarkan suara!
“Kami bukan
suheng-mu!” Khu Cen Tiam membentak, jijik dan marah. “Anakmu adalah anak haram,
anak iblis, dan engkau sendiri sudah menjadi iblis betina!”
Memang Khu
Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat mencinta Bhok Khim menjadi benci
ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa diri itu sumoi mereka telah
menjadi gila dan melahirkan anak. Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim,
mereka menjadi makin benci karena biar pun Bhok Khim berhasil membunuh Gak
Liat, akan tetapi caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan
seorang murid Siauw-lim-pai! Karena itu mereka tidak mau mengakui Bhok Khim
yang dianggap mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
“Kami bukan
suheng-mu dan engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi!” Liem Sian ikut membentak.
“Suheng...
tolong... anak... ku...” Bhok Khim masih terus mencoba untuk mohon kepada bekas
kedua suheng-nya sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
“Ibils
betina!” Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan senjata mereka hendak membunuh
bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara terus, mereka takut kalau
ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan dan pencemoohan para
tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
“Tring-tringgg...!”
Cambuk besi
dan toya kuningan itu terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu
terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah
berdiri di situ dengan kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
“Pesan
seorang yang akan mati adalah pesan keramat, apa lagi kalian adalah bekas
suhengnya. Betapa kejinya hati kalian!” bentak Han Han tanpa mempedulikan siapa
pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
“Toanio,
biar siauwte yang akan menolong dan merawat puteramu. Di mana dia?”
Bhok Khim
membelalakkan matanya, memandang Han Han dan agaknya ia mengenal pemuda ini.
“Kau... kau... dua kali kau menolongku... Ahhhh... terima kasih... anakku...
kuserahkan padamu... kasihan dia... dia tidak berdosa... dia... dia...
aaahhhhh... dia berada...”
“Di mana? Di
mana puteramu, Toanio...?” Han Han bertanya, mengguncang pundak itu.
Bhok Khim
sudah meramkan matanya, bibirnya berbisik lemah dan lirih sekali sehingga
terpaksa Han Han mendekatkan telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya
untuk menangkap kata-kata terakhir yang hampir tidak terdengar itu. Bagaikan
hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki telinga Han Han bersama dengan
napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban yang hanya terdengar oleh telinga
Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan melihat betapa Khu Cen Tiam dan
Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To Hwesio dan pergi dari tempat itu
tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara
itu, semua orang memandang pemuda buntung itu penuh takjub, terutama mereka
yang belum mengenalnya. Ada pun mereka yang sudah mengenalnya memandang Han Han
dengan hati gentar karena mereka itu sudah melihat atau mendengar akan
kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali Nirahai memandang Han Han dengan
sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu
agaknya telah lama berada di situ akan tetapi tidak seorang pun, juga dia
sendiri tidak, yang mengetahui kehadiran pemuda itu. Padahal di situ terdapat
banyak orang sakti. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya pemuda
buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang mengatakan bahwa hanya Han Han
inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat akan ini, tanpa dapat dicegah lagi
merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa jengah sendiri dan untuk menutupi
debar jantungnya, ia segera berkata dengan suara dingin.
“Setelah
dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke sini?”
Han Han
mengangkat muka lalu berbalik dan memandang puteri itu, lalu menjawab tenang,
“Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang untuk bertanya ke mana
perginya adikku itu.”
Kedua alis
yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu terdengar suara Nirahai jengkel,
“Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?”
“Aku tidak
mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku bertanya ke mana perginya Lulu?” Han
Han bertanya, tetap tenang biar pun semua orang yang berada di situ
memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu. Sinar matanya tajam dan
tidak membayangkan sesuatu, sungguh pun kini setelah berdiri dekat dan
memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan betapa wajah
puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
“Aku tidak
tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri dari tempat tahanan ketika
murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar sumoiku, akan tetapi dia
mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke mana dia pergi.”
Ucapan ini
melemaskan hati Han Han, karena dia percaya bahwa puteri itu memang benar tidak
tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung penyesalan itu pun menyinggung hati
Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san adalah murid-muridnya! Maka ia lalu
berseru marah.
“Murid-murid
In-kok-san adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi,
lupa betapa semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk,
akan kubunuh mereka seorang demi seorang!”
Tidak ada
yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo dengan murid-muridnya, akan tetapi
Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu betapa murid-murid In-kok-san itu masih
memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang jauh lebih baik dari pada watak Iblis
Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada Ma-bin Lo-mo dan berkata.
“Ma-bin
Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau keluarkan di depan para orang
gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad, setelah apa yang kau lakukan
terhadap orang tua dan keluarga para murid In-kok-san!”
Seketika
wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia tidak pernah mengira bahwa
pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui rahasianya. Ia hanya
memaadang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han Han juga tidak
mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
“Suara yang
mengajak damai adalah suara hati yang murni, akan tetapi manusia sudah terlalu
dibungkus kepalsuan, maka sayanglah kalau suara damai itu menyembunyikan
sesuatu yang jauh dari pada mendatangkan kedamaian di hati sesama manusia.”
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke arah Puteri Nirahai lalu
tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah tubuhnya, membuat semua orang
bengong memandang.
“Pemuda
Super Sakti!” terdengar orang-orang berbisik kagum.
Nirahai juga
kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu meloncat-loncat cepat
sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa loncatan saja sudah amat jauh
dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran, ingin sekali ia mencoba kepandaian
pemuda buntung yang amat terkenal bahkan kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan
itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw dan wakil-wakil perkumpulan untuk
mencuci tangan tidak mencampuri perang, bahkan berjanji akan menarik semua
murid dari Se-cuan. Puteri Nirahai menjadi lega sekali dan menganggap bahwa
tugas dan usahanya berhasil baik sekali. Akan tetapi dalam perjalanan
meninggalkan tempat itu, wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya.
Ia kagum dan
juga penasaran. Belum puas hatinya kalau belum dapat berhadapan sebagai lawan
dengan pemuda buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya
sendiri yang tak pernah dapat melupakan Han Han. Dia masih mempunyai banyak
kewajiban yang harus diselesaikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi
laporan, kemudian ke perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang
mengepung daerah pemberontak itu.....
**************
Harus diakui
kecerdikan Puteri Nirahai dan para pimpinan tinggi Kerajaan Mancu yang selain
pandai berperang, dapat memimpin pasukan-pasukan yang berani mati, tahan uji
dan berdisiplin tunduk terhadap pimpinan, juga pandai pula bersiasat. Siasat
yang dilakukannya di puncak Tai-hang-san, mengundang para tokoh kang-ouw
termasuk para pimpinan partai-partai persilatan, mengajak damai dengan
mengemukakan pandangan-pandangan dan filsafat-filsafat yang mengesankan,
benar-benar telah berhasil baik sekali.
Berbondong-bondong
orang-orang kang-ouw yang gagah perkasa dan para murid persilatan besar yang
tadinya dengan mati-matian membantu perjuangan Se-cuan dalam menghadapi barisan
Mancu, mengundurkan diri dan keluar dari Se-cuan memenuhi perintah ketua-ketua
dan guru-guru mereka. Sudah tentu saja hal ini membuat Se-cuan menjadi lemah,
sungguh pun Bu Sam Kwi yang berambisi besar itu tetap mempertahankan
kedudukannya dan mengerahkan seluruh pasukan dan penduduk untuk mempertahankan
Se-cuan dari tangan pemerintah Mancu.
Pengunduran
para orang gagah dari Se-cuan itu bukan tidak diperhatikan oleh pihak pimpinan
pasukan Mancu yang tak pernah meninggalkan perbatasan. Sebaliknya dari itu
malah, mereka ini mempergunakan kesempatan setelah orang-orang gagah itu
keluar, lalu pasukan-pasukan terdepan mengadakan serbuan-serbuan kecil untuk
mengacau pertahanan musuh. Yang paling aktif dalam pengecauan-pengacauan di
perbatasan ini adalah Ouwyang-kongcu sendiri, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok
yang memimpin pasukan istimewa untuk menyerbu daerah-daerah yang kini tidak
lagi diperkuat oleh orang-orang kang-ouw, melakukan pengrusakan, pembakaran
secara kejam, membiarkan pasukannya membunuh, merampok, memperkosa dan
membakari rumah.
Memang hal
ini disengaja untuk mengacaukan pertahanan musuh dan di samping itu, Ouwyang
Seng mendapat kesempatan pula untuk melampiaskan nafsu-nafsunya dan memilih
wanita-wanita tercantik untuk dirinya sendiri. Apa lagi pada waktu Puteri
Nirahai meninggalkan daerah perbatasan untuk kembali ke kota raja dan
menghadiri pertemuan di Tai-hang-san, Ouwyang Seng seperti seekor kuda tanpa
kendali. Kalau ada puteri itu yang ia harapkan untuk menjadi jodohnya, harapan
yang bukan saja terdorong oleh kecantikan dara itu yang membuat ia
tergila-gila, akan tetapi juga sebagai mantu kaisar tentu saja derajatnya
menjadi naik dan ia akan mendapat kedudukan yang tinggi, pemuda bangsawan itu
menjadi ‘alim’ dan bersikap seperti seorang pemuda yang baik.
**************
Han Han yang
meninggalkan puncak In-kok-san, melakukan perjalanan cepat sekali ke Se-cuan.
Ketika ia meninggalkan puncak, di tengah jalan di kaki gunung itu ia melihat
dua orang murid Siauw-lim-pai, Khu Cen Tiam dan Liem Sian membakar jenazah Ceng
To Hwesio untuk diperabukan dan dibawa abunya ke Siauw-lim-si. Ketika ia
mengintai, ia mendengar percakapan antara dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini.
Kiranya kedua
orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak mau menerima uluran tangan Puteri Nirahai
yang mengajak damai. Mereka berbantahan. Liem Sian mengatakan bahwa mendiang
Ceng To Hwesio sudah menerima perdamaian itu, akan tetapi Khu Cen Tiam
membantah, mengatakan bahwa kini hwesio itu telah tewas sehingga perjanjian itu
juga dapat dibatalkan. Akhirnya mereka berdua bersepakat untuk pergi ke Se-cuan
dan membakar hati para saudara mereka yang berjuang di sana untuk lebih
memperhebat perlawanan mereka!
Mendengar
ini tentu saja hati Han Han menjadi khawatir sekali. Terutama ia ingat akan
Lauw Sin Lian, puteri mendiang Lauw-pangcu yang telah menjadi murid Siauw-lim
Chit-kiam sehingga gadis itu pun kini menjadi tokoh Siauw-lim-pai. Kalau Sin
Lian terkena hasutan kedua orang yang mendendam ini, berarti gadis itu akan
terus berjuang melawan pemerintah Mancu. Han Han bukan hanya mengkhawatirkan
keselamatan bekas suci-nya itu, akan tetapi terutama sekali ia menjaga jangan
sampai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Sin Lian, mengingkari atau melanggar
janji yang telah diucapkan Ceng To Hwesio, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai.
Karena inilah dia bergegas mendahului dua orang Siauw-lim-pai itu menuju ke
Se-cuan untuk memberi tahu kepada Sin Lian akan perjanjian yang diadakan di
puncak In-kok-san.
Han Han sama
sekali tidak tahu bahwa kedatangannya di perbatasan Se-cuan itu telah diketahui
oleh Ouwyang Seng yang sudah mengatur rencana bersama Toat-beng Cui-sian-li dan
Ma-bin Lo-mo. Iblis Muka Kuda ini amat khawatir mendapat kenyataan bahwa Han
Han telah mengetahui rahasianya yang busuk terhadap para muridnya, maka ia
hendak mengerahkan segala siasat dan kepandaiannya untuk membunuh pemuda
buntung itu.
Juga
Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa kini Han Han menjadi seorang yang
berilmu tinggi, khawatir kalau-kalau pemuda itu kelak akan mencelakakannya
sebagai balas dendam karena dialah yang menyebabkan pemuda itu kehilangan
sebelah kakinya. Adalah wajar kalau nenek ini pun ingin sekali membunuh Han Han
agar hatinya tidak akan gelisah lagi.
Ouwyang Seng
memang membenci Han Han, maka tentu saja dia menjadi gembira untuk bersekutu
dengan dua orang lihai ini dan menjebak Han Han. Hanya ia merasa sayang sekali
mendengar akan kematian gurunya, karena kalau ada bantuan Gak Liat, tentu
kedudukan mereka lebih kuat lagi.
Ketika
sampai di perbatasan, segera Han Han mendengar dari mulut para pengungsi akan
keganasan pasukan yang dipimpin Ouwyang-kongcu. Mendengar ini Han Han menjadi
marah. Semenjak kecil ia sudah mengenal Ouwyang Seng sebagai seorang yang
sombong dan berwatak jahat. Sekarang mendengar akan sepak terjang putera
pangeran yang penuh kekejaman, membakari dusun-dusun dan melakukan hal-hal di
luar peri-kemanusiaan, Han Han tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi.
Dia tidak
ingin melibatkan diri dengan perang, akan tetapi apa yang dilakukan Ouwyang
Seng sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang, melainkan pengumbaran
hawa nafsu jahat. Dia takkan peduli jika Ouwyang Seng dan pasukannya menggempur
serta menghancurkan pasukan Se-cuan, itu adalah perang namanya. Tetapi
membakari dusun, membunuhi orang yang tidak melakukan perlawanan, memperkosa
wanita yang lemah, apakah ini dapat dikatakan siasat perang? Tidak, ia harus
mencari dan mengenyahkan pemuda bangsawan yang jahat itu, karena kalau tidak
segera dibasmi tentu keganasan dan kejahatannya akan makin merajalela dan
menimbulkan banyak korban manusia yang tidak berdosa.
Pagi-pagi
sekali Han Han telah tiba di perkemahan pasukan yang dipimpin Ouwyang Seng di
lereng gunung. Ia langsung memasuki daerah yang dikuasai pasukan ini dan merasa
heran melihat keadaan yang sunyi, tidak nampak penjagaan ketat. Bahkan ada
beberapa orang prajurit Mancu yang rebah malang-melintang tidur mendengkur
dalam keadaan mabuk! Pasukan macam begini disohorkan sebagai pasukan yang
istimewa? Diam-diam Han Han memandang rendah, akan tetapi tetap bersikap
waspada karena ia telah mengenal siasat-siasat yang amat berbahaya dari para
pasukan Mancu ini.
Berindap-indap
ia memasuki daerah itu dan meneliti perkemahan. Di dalam beberapa buah kemah ia
mendengar isak tangis wanita diseling kekeh ketawanya laki-laki mabuk. Tentu
para perwira pasukan sedang melakukan perbuatan biadab terhadap wanita-wanita
tawanan, pikirnya. Akan tetapi tujuan Han Han mencari Ouwyang Seng dan ia
menduga bahwa tentu pemuda bangsawan itu berada di dalam kemah yang paling
besar. Akhirnya ia melihat sebuah kemah yang besar berwarna kuning, berada di
tengah-tengah perkemahan. Dengan gerakan amat ringan Han Han bergerak mendekat.
Tentu kemah besar itulah yang ditempati Ouwyang Seng, pikirnya.
Sama sekali
Han Han tidak tahu bahwa keadaan yang sunyi itu, adanya penjaga-penjaga mabuk,
memang disengaja oleh Ouwyang Seng, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang
berusaha menjebaknya. Pasukan disingkirkan, memasang barisan pendam mengurung
perkemahan, dan kini tiga pasang mata mengikuti gerak-gerik Han Han dari tempat
persembunyian di belakang kemah besar. Keadaan Han Han seperti seekor harimau
yang makin lama makin mendekati jebakan, diintai oleh pemburu-pemburu dengan
hati berdebar tegang.
Sesosok
bayangan berkelebat di depan kemah besar. Biar pun cuaca seperti itu masih
belum terang benar, akan tetapi mata Han Han terbelalak lebar ketika ia melihat
bayangan itu. Lulu! Tak salah lagi! Bayangan itu berdiri depan kemah
membelakanginya, akan tetapi bentuk tubuh, bentuk tata rambut, dan dagu
meruncing yang tampak sedikit dari samping, cara berpakaian, jelas bahwa gadis
itu tentu adiknya! Hatinya berdebar girang. Akan tetapi hanya sebentar saja ia
dapat memandang penuh selidik. karena gadis itu kini telah melompat ke dalam
kemah melalui pintu kemah yang diterobosnya. Ah, betapa lancangnya Lulu, pikir
Han Han kaget.
Tiba-tiba
terdengar jerit melengking dari dalam kemah itu, jerit Lulu yang menggetarkan
jantungnya. Cepat bagai kilat menyambar Han Han sudah meloncat keluar dari
tempat persembunyiannya, dan dengan tiga kali berjungkir-balik di udara
tubuhnya langsung menukik ke bawah dan menerobos memasuki perkemahan yang
terkoyak oleh putaran tongkatnya!
Dari atas
tubuh Han Han menyambar ke bawah, matanya tajam mencari dan siap untuk langsung
menolong Lulu, akan tetapi di sebelah dalam kemah itu kosong! Ketika kaki
tunggalnya turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai itu amblas ke bawah, membuat tubuhnya
ikut terjeblos ke bawah dengan cepat sekali! Han Han terkejut, maklum bahwa dia
memasuki perangkap yang memang sengaja diatur dan dipasang lawan. Segera ia
mengerahkan tenaga pada kaki tunggal dan tongkatnya, tubuhnya siap mencelat ke
atas. Akan tetapi pada saat itu sebongkah batu besar sekali telah jatuh menimpa
ke dalam lubang jebakan, dengan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah tubuhnya!
“Celaka...!”
Han Han
maklum bahwa untuk meloncat ke luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap
dengan kedua tangannya untuk menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu
ia masih dapat melihat berkelebatnya dua bayangan di luar lubang, hanya sekilas
pandang saja ia mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng! Bahkan
terdengar suara jeritan Sin Lian.
“Han Han...!
Awas...!” Akan tetapi bayangan itu segera lenyap tertutup batu yang sudah
menimpanya, batu yang besarnya persis memenuhi lubang di mana ia terjeblos.
Sambil
mengerahkan sinkang pada sepasang lengannya, Han Han mengangkat kedua tangan ke
atas setelah menggigit tongkatnya. Dengan telapak tangan menghadap ke atas dia
lalu menerima batu yang berat itu, membiarkan tubuhnya agak merendah lalu
mengayun tubuh dan kedua lengan ke atas. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga
karena tidak ada ruang lagi untuk mengayun batu itu agar daya luncurnya
tersalur kembali ke atas. Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin
ia bertahan terus dalam keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa
beratnya. Kalau kedua lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan
terhimpit dan tubuhnya akan hancur tertimpa batu.
Bahaya yang
mengancam keselamatannya sendiri tidaklah begitu menyiksa baginya kalau
dibandingkan kekhawatirannya akan keselamatan Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di
atas sana. Bukankah tadi terdengar Lulu menjerit begitu mengerikan? Dan Sin
Lian bersama Hian Ceng tentu akan terancam musuh yang keji dan kuat. Ia harus
dapat cepat menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga
orang gadis itu terancam bahaya hebat.
Mulailah Han
Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri. Bagaimana ia dapat membebaskan
diri dari tindihan batu berat itu? Ia berusaha mendorong batu ke pinggir dan
merasa betapa dinding sebelah kiri hanya tanah biasa, namun tentu saja tidak
mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah padat! Tenaganya mulai
berkurang dan dadanya terasa makin sesak. Jalan satu-satunya adalah
menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu itu turun ke dasar lubang.
Akan tetapi dia harus dapat mencari ruangan untuk tubuhnya agar tidak
terhimpit.
Setelah
berpikir dan memperhitungkan masak-masak, Han Han hanya tahu akan sebuah cara
yang harus ditempuhnya. Kalau berhasil, ada harapan selamat, kalau gagal,
paling-paling hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas, bagaimana dengan Lulu,
Sin Lian, dan Hian Ceng? Tidak! Dia tidak boleh tewas dalam saat seperti itu
karena dia dibutuhkan tiga orang gadis yang terancam bahaya.
Han Han
mengerahkan seluruh tenaga, mendorong batu dari bawah sehingga batu itu mepet
di dinding, kemudian ia menggeser kedua tangannya yang menyangga itu ke pinggir
batu sampai tubuhnya mengenai dinding. Jauh lebih berat mendorong batu mepet
pada dinding dan menahannya agar tidak jatuh dari pada ketika menyangga tadi.
Sampai berbunyi tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir tidak kuat lagi.
Han Han
memejamkan mata, memanggil semua daya kemauannya, mengumpulkan seluruh tenaga
sinkang-nya, kemudian ia menggunakan tubuh belakangnya mendesak dinding sambil
tetap mempertahankan batu agar tidak menimpanya. Tanah dinding itu mulai
melesak dan tubuhnya mulai amblas di dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat
tenaga dan kini tubuhnya sudah sama sekali melesak ke dalam tanah dinding dan
batu itu meluncur jatuh ke dasar lubang!
Tubuh pemuda
itu telah terhindar dari bahaya terhimpit, akan tetapi ia masih belum bebas
dari ancaman maut karena kini tubuhnya melesak ke dinding tanah dan karena batu
itu lebih tinggi dari tubuhnya, dia tertutup dan tidak ada hawa udara untuk
bernapas! Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat pengerahan
tenaga yang berlebihan ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa tubuhnya
memasuki dinding tanah tadi.
Pemuda ini
cepat menggerakkan tongkatnya menggali ke atas, terpaksa menahan napasnya dan
hal ini membutuhkan pengerah sinkang sehingga dari kedua ujung bibirnya
menetes-netes darah segar! Betapa pun juga, Han Han yang ingin cepat-cepat
bebas untuk menolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng tidak mau menyerah kalah,
terus berusaha menggali tanah di atasnya, dekat batu. Ia menggali sambil
menundukkan muka menahan napas karena kalau ia menengadah, tentu matanya akan
terserang tanah yang berguguran dihujam tongkatnya.
**************
Mengapa Lauw
Sin Lian dan Tan Hian Ceng dapat berada di perkemahan itu? Seperti diketahui,
dua orang dara perkasa ini adalah dua orang pejuang yang gigih menentang
pemerintah Mancu semenjak dahulu dan mereka menggabungkan diri dengan kekuatan
penentang penjajah yang berpusat di Se-cuan.
Setelah
penyerbuan tentara Mancu berkurang, bahkan hampir terhenti sama sekali, Hian
Ceng yang tadinya berjuang di perbatasan timur dan selatan mengunjungi
Cung-king dan bertemu dengan Sin Lian untuk menanyakan perihal Han Han yang
selalu menjadi kenangan. Kedua orang gadis ini bercakap-cakap, saling
menceritakan pengalamannya, akan tetapi tentu saja menyembunyikan perasaan hati
masing-masing terhadap Han Han.
Ketika Hian
Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati sedih Sin Lian menceritakan bahwa
Han Han telah mengundurkan diri dan pergi dari Se-cuan untuk mencari adiknya.
Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya betapa usahanya mencari Lulu sia-sia,
dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu yang dianggapnya seorang adik yang tak
tahu diri dan hanya menyusahkan saja. Akan tetapi karena ia kini tahu bahwa
Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia tidak berani mengeluarkan makiannya
dengan kata-kata.
Seperti para
pejuang suka rela yang lain, yang datang jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu
perjuangan berperang menentang pasukan Mancu, kedua orang perkasa ini pun
menjadi kesal hatinya ketika pihak musuh menghentikan serbuan dan jarang sekali
terjadi pertempuran. Mereka menganggur dan kesal, maka seperti para pejuang
lainnya, mereka juga lalu pergi menjelajah seluruh Se-cuan.
Dengan Hian
Ceng sebagai petunjuk jalan, hati Sin Lian terhibur melakukan perjalanan di
sepanjang perbatasan Se-cuan dengan propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai
musuh. Ketika sedang melakukan perjalanan inilah kedua orang dara perkasa itu
mendengar tentang sepak-terjang Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin
Lian menjadi marah sekali mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan
segala kekejaman Ouwyang Seng dan pasukannya.
“Si bedebah!
Semenjak kecil dia memang sudah jahat! Orang macam itu harus dienyahkan dari
muka bumi!” Sin Lian berkata sambil mengepal tinjunya.
“Siapakah
panglima musuh kejam yang bernama Ouwyang Seng itu, Enci Lian?” tanya Hian Ceng
heran melihat sikap Sin Lian yang seolah-olah sudah mengenal panglima yang
dikabarkan kejam oleh para pengungsi itu.
“Dia adalah
putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid Setan Botak Gak Liat dan dia...”
Wajah Hian
Ceng berubah merah sekali, matanya bersinar-sinar. “Aihhh! Kiranya si keparat
laknat itukah? Mari kita berangkat mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat
tubuhnya dengan pedangku, Enci Lian!”
Kini Sin
Lian yang memandang terbelalak. “Mengapa engkau membenci dia pula, Adik Ceng?”
Hian Ceng
cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan, “Kalau tidak ada Han-twako yang
menolongku, tentu aku sudah menjadi korban kebiadaban Kongcu hidung babi itu!”
“Lho, kau
maksudkan hidung belang, bukan?”
“Hidung
belang saja masih mending, dia hidung babi dan belang pula!” Hian Ceng
bersungut-sungut lalu menceritakan pengalamannya ketika ia ditawan Ouwyang Seng
dan Gu Lai Kwan, betapa ia hampir saja diperkosa oleh Ouwyang Seng kalau saja
tidak muncul Han Han yang menolongnya.
Demikianlah
setelah kedua orang gadis itu membicarakan Ouwyang Seng dengan hati penuh
kebencian mereka berdua lalu menyelidiki perkemahan pasukan istimewa yang
dipimpin Ouwyang Seng. Pada malam hari ketika mereka menyelundup ke daerah
perkemahan, kebetulan sekali bahwa Ouwyang Seng bersama dua orang pembantunya
yang lihai, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, telah mengatur
jebakan bagi Han Han sehingga daerah itu sengaja tidak dijaga ketat.
Dengan
kepandaian mereka, dua orang gadis itu berhasil menyelinap masuk dan melakukan
pengintaian di dekat kemah besar yang berwarna kuning. Dari tempat
persembunyian mereka, mereka melihat kesibukan Ouwyang Seng dan dua orang datuk
kaum sesat sedang mengatur jebakan di dalam kemah. Melihat Ouwyang Seng, naik
darah Hian Ceng dan gadis ini sudah ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi
Sin Lian memegang lengannya dan memberi isyarat supaya temannya itu tidak
terburu nafsu.
“Toat-beng
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo itu lihai sekali,” bisiknya, “Tak mungkin kita
dapat mengalahkan mereka. Kita menanti kesempatan baik...”
Akan tetapi,
sampai malam berganti pagi, pemuda bangsawan yang mereka incar itu selalu
bersama nenek dan kakek sakti itu sehingga mereka berdua tidak berani turun
tangan. Akan tetapi Sin Lian curiga menyaksikan gerak-gerik mereka, bahkan
menjadi heran melihat munculnya seorang gadis yang gerak-geriknya gesit akan
tetapi yang melihat pakaian dan tata rambutnya mengingatkan ia akan adik
angkatnya, Lulu. Gadis itu jelas bukan Lulu, akan tetapi mengapa gadis itu
seolah-olah menjadi saudara kembar Lulu dengan pakaian, tata rambut, dan
gerak-gerik yang serupa benar? Dalam keheranannya, Sin Lian menjadi makin
curiga dan mengambil keputusan untuk menanti dan mengintai terus.
Dia dan Hian
Ceng sama sekali tidak tahu bahwa pagi hari itu Han Han telah muncul pula dalam
penyelidikannya, mengintai tak jauh dari semak-semak di mana mereka
bersembunyi. Mereka hanya melihat gadis yang seperti Lulu itu tiba-tiba tampak
berkelebat di depan kemah, lalu meloncat ke dalam kemah disusul suara jeritan
nyaring. Peristiwa ini masih membuat mereka berdua terheran-heran, akan tetapi
ketika mereka melihat Han Han meloncat dan berjungkir-balik di udara, kemudian
menyerbu ke dalam kemah barulah mereka terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas
dapat menduga bahwa mereka semua itu telah mengatur jebakan untuk Han Han.
“Han-twako...!”
Hian Ceng berbisik ketika ia mengenal tubuh yang meloncat tinggi itu.
"Celaka,
dia terjebak. Mari...!"
Sin Lian
sudah mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat meloncat dan lari ke
tenda kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan betapa kaget hati
mereka bahwa kemah itu kosong dan kini terdapat lubang besar. Han Han berada di
dasar lubang dan sebongkah batu besar menimpa turun! Mereka hanya dapat
berteriak tak mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu telah
menutupi lubang dan mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan Han Han.
"Ha-ha-ha-ha! Memasang perangkap untuk seekor harimau ganas, yang didapat
bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini
namanya untung besar, ha-ha-ha!
Sin Lian dan
Hian Ceng mencabut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya
Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki
keberanian luar biasa. Biar pun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat
hebat, namun melihat pemuda bangsawan yang dibencinya ini, dia sudah tidak
dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan
pedangnya...
Terima kasig telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment