Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 14
Ia bersikap
tenang, melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang dibantu tongkatnya hingga
ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi yang memandang dengan mata
terbelalak, masih tampak jeri. Akan tetapi wanita itu memandangnya dengan sikap
angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat ini semua dari sudut matanya dan
hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan dekat sungai agar tidak
menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh rombongan pasukan itu.
“Pemuda
buntung, berhenti dulu!”
Bentakan
halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan
langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.
Sunyi
sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih, “Dia itukah orangnya?”
“Benar,
Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini
terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang
muda pincang! Siapa namamu?”
Han Han yang
mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita
itu tentulah seorang tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Jika
tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai
Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena
empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berpihak kepada pemerintah
Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang
membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa
menoleh Han Han menjawab, “Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin
bermusuh dengan siapa juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap
kalian membiarkan aku lewat.”
“Aihhh,
orang muda sombong! Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu
sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya,
kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan
kami karena pemerintah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang
memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan
terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan
kelaparan!”
Diam-diam
Han Han tersenyum. Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik
sekall. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang
pribumi yang berkepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti
karena rakyat akan menjadi makin benci kepada pemerintah penjajah itu. Akan
tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi
mereka kedudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh
bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat,
mendapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima
kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak
memiliki kepandaian apa-apa.” Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han
lalu melanjutkan langkahnya.
Wanita itu
memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan
kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan....
“Cuiiittttt!”
terdengar bunyi ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.
Han Han
tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang
dan maklum pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang
memiliki sinkang kuat bukan main. Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu
sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga
Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum
tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran
angin senjata rahasianya.
Namun Han
Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar
diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini
tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat
dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari
tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu
menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan
menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah
menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada
kejadian apa-apa!
“Berhenti
dulu...!”
Han Han
melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali
membayangkan ginkang yang tinggi, kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han
Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang
kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat
pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya.
Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh
kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata
engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap
atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal.
Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han
mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda
buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio,
harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan
guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku
sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda,
agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku
maka engkau memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku
adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku,
guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai murid Gak Liat tentu
saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi
atau Setan Botak!
Mendengar
disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang. Tanpa disadari ia mengangkat muka
memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak
itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak
menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini
adalah murid Si Setan Botak.
Melihat
pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su
Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan
tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh
dan seperti bukan pandang mata manusia!
Tiba-tiba Ma
Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan
pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda
buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan
apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang
Seng!”
Ma Su Nio
berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa
kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu
melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan.
Tangan itu sudah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sinkang-nya
sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan Berdarah)!
Pukulan
Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya.
Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di
depannya. Akan tetapi mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu
berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh pemuda itu telah
berpindah ke belakangnya, namun tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada
di pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan
ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan
lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung
tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di
ujung tongkat itu.
“Hayo
katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio
sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian
melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka
matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah
menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah
buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku... aku
tidak... tidak tahu...!”
Han Han
menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan
ujung tongkat. Pada saat itu empat orang brewok sudah datang menyerang dengan
golok mereka dari belakang. Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh
ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Terdengar
suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat
orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah
menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan
mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sinkang yang amat dahsyat!
“Lekas
katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio
tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini
sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah
dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat
digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri
dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan
takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis
sendiri!
“Dia... dia
menjadi pelayan istana...”
Tongkat itu
ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu
tertawa terbahak seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat
geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita
ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan
wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu menjadi pelayan
istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana
kalau mempunyai seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan
menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap
dia! Bunuh...!”
Hiat-ciang
Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa
malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh
empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun kembali,
untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li
Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat dari
pada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung
memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung
itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan putih itu
mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Ke mana
dia, Sian-li? Di mana...?” Empat orang brewok itu telah datang dan
mencari-cari.
Dengan hati
sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita
kembali!”
Pasukan
Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan
pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan
Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman sebab mereka menganggap
pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara
itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun
hanya menghendaki keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti
biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota
Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap,
harap suka menunggu...!”
Han Han
mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat,
ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di
restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak
terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami
dapat menyusul taihiap...,” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta
menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han.
Pemuda
buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa.
“Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang
itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan
penghormatan. “Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan
tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata!
Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing
penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu
taihiap akan dihadang, akan tetapi... ah, sungguh kami harus merasa malu.
Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus
menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali...! Padahal iblis betina
itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa...!”
“Dalam
segebrakan saja roboh...!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han
mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan
Mancu, maka ia lalu berkata, “Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu.
Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap,
saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang
utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap,
kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap
membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah...”
“Hemmm,
ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, namun sesungguhnya saya
tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak
sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap,
urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum
pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu...”
“Apakah
ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan
saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku
itu berada di istana...”
“Ouwyang
Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguh pun
kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota
raja adalah sahabat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap
bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini seluruh orang
gagah telah berkumpul di Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi
penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap
yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap
memiliki jiwa patriot.”
Han Han
tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas
dan berkata, “Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Saya
hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran
ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke
Se-cuan. Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya
mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih
berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang
itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang.
“Manusiakah dia?” Yang muda menggumam.
“Entahlah,
akan tetapi sungguh sukar dipercaya seorang buntung bisa bergerak seperti itu!”
Keduanya
pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang
Pendekar Super Sakti!
Han Han
tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui
pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui
Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng
Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di
pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan
tenteram.
Han Han ikut
menjadi gembira melihat para petani yang biar pun pakaiannya sederhana,
robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi,
wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat. Ia kagum sekali dan
terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa ‘kemajuan duniawi’
bahkan menjauhkan manusia dari pada kebahagiaan hidup.
Lihat saja
di kota-kota besar. Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan
enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai
kemajuan yang akan menyenangkan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak
diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat,
bahkan sebaliknya.
Manusia yang
bisa mendapatkan segala kemewahan itu hanya akan menikmatinya sebentar saja
lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa
mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak
bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah, melihat mereka yang memakai
segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah
perbuatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki
benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi,
di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak
kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada seorang pun yang
kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk
pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya
mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
Boleh jadi
para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang
sekelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang
memang akan menonjol apa bila manusia menipis keinginannya untuk mengejar
kesenangan.
Kesenangan
adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya
tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada
dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan
kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah
kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa
siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang
merangkul kesenangan berarti menggandeng kesusahan pula.
Karena
tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat
seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke
arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang
berkaki buntung itu, lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Lopek, maaf
kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira
sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui
beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu
menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa
yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat
kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun
kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik.
Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil
Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur,
kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan
petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan di
dusun-dusun.”
Han Han
tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan
damai?
“Selain itu,
juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san,
berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Han Han
makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan
karena hari sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan
melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjutkan perjalanannya
menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan Tai-hang-san.
Ketika tiba
di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di
punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori pakaian Han Han.
Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan alisnya. Jelas bahwa
orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani
dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa
khawatir.
Akan tetapi
dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan
ringan dan mudah, akan tetapi apa bila bertemu orang ia lalu menggunakan
tongkatnya membantu sehingga tidak menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia
menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki seperti yang ia latih di
bawah pimpinan gurunya, tentu ia akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang
melihatnya.
Di pinggir
dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu
sebuah kuil. Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak
tulisan tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu
saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah
kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda
ditambatkan di pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan
batang hidungnya. Han Han menjadi curiga dan ia menyelinap di belakang pohon
mengintai.
Tiba-tiba
tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si
penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok dan wajah yang kasar
dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang itu berlari
menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap dan
melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan
rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.
Sikap dan
gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han
untuk memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk
menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah
mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok,
menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di
sudut kebun. Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu
besar. Agaknya para nikouw mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan
bahan makanan lain.
Selagi Han
Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil
melalui pintu atau jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia
mendengar suara dan melihat empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia
cepat menyelinap lagi, bersembunyi.
Di dalam
cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han
melihat seorang nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama
tiga orang nikouw yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah
setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun,
berwajah cantik dan berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw
ke tiga, jantungnya berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik
jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang
tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka
yang putih halus.
“Ah, agaknya
engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah
lembut.
“Tidak,
subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu
periksa sebentar!”
Suara itu!
Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang
gesit dan ringan sekali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam
mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga
sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya mengintai ke kuil dari
kebun ini!
“Kim Cu...!”
Han Han tak
dapat menahan lagi hatinya. Sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia
menghampiri Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang
kepadanya, seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!
“Omitohud...!”
Nikouw tua berseru perlahan, juga dua orang nikouw lain mengeluarkan seruan
kaget melihat munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan
berambut riap-riapan.
“Kim Cu...!”
Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku... Han Han...!”
Nikouw muda
ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi
pucat pula, terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han,
hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.
“Kim Cu,
lupakah engkau kepadaku...?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak
nikouw itu, suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya
bersinar tajam penuh selidik.
“Tidak...!”
Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir
menggigil. “Tidak... jangan sentuh aku... ahhh, aku... bukan... bukan dia...
aku... seorang nikouw...!”
Nikouw muda
itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han
Han dari pundaknya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung
ketakutan.
“Kim Cu...,”
Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang
ditundukkan itu menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan
dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liam-keng!
“Orang muda,
perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan
mengotorkan Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran.
Han Han
sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening
berkerut dan sepasang mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain
berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik,
seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!
“Maaf...,
maaf...” Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya
mencelat ke atas pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw
muda yang masih menunduk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa
mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.
“Ohhh... Kim
Cu...!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas
tembok.
Tubuh nikouw
muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw
yang lain mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan
menyuruh bawa tubuh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian
menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.
Nikouw muda
itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu
tinggal kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu
itu telah menjadi sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng
Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederhana. Selama itu, Kim Cu
yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau
tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan
seperti yang telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.
Pertemuan
tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang
dahsyat dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat
sehingga ia roboh pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan
mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.
“Han Han...”
Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu
bangkit duduk, pandang matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya
duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memanggil lirih, “Han Han...”
“Omitohud,
sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim...”
“Han
Han...!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.
“Muridku,
sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.
Kim Sim
Nikouw menoleh dan... sambil menjerit ia menubruk gurunya, lalu berlutut dan
menangis tersedu-sedu di pangkuan gurunya. “Subo... ampunkan teecu... ahhh,
teecu yang lemah berdosa besar...!”
“Menangislah,
muridku, menangislah. Pouwsat selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah
yang sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan
nikouw muda itu menangis di dadanya.
Dia sendiri
tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang
sudah tenang, keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Dia sengaja
membiarkan muridnya menangis, oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang
hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatannya kalau tidak diberi saluran
keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanyalah membiarkannya menangis
sepuasnya.
Kim Cu
menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir
bagaikan air bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari
tenggorokannya sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak
terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.
“Aduh,
Subo.... Apakah yang harus teecu lakukan...? Bagaimana teecu... ini..., Subo...
tunjukkanlah jalan... bagi teecu....”
Thian Sim
Nikouw tersenyum. “Omitohud... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh
welas asih...! Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak
akan memaksamu, tidak akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri,
Kim Sim Nikouw!”
“Subo...
tolonglah teecu... teecu bimbang... teecu bingung. Kemunculan Han Han bagaikan
sambaran petir mengenai kepala teecu, gelap semua... tolonglah Subo memberi
jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”
“Baikiah,
tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersemedhi sebentar... pinni akan
membantumu memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang
penuh kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan
bersih dan tepat.”
Kim Sim
Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang
ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja semedhi merupakan hal yang sudah biasa ia
lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak
dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya.
Tak lama
kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu
bahwa gurunya yang biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal
kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada Toat-beng Ciu-sian-li, telah
membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah
mereka menghentikan semedhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguh pun
pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari
depan matanya.
“Muridku,
pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak
sekali-kali hendak mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu
sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu
berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah,
pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”
“Baiklah,
Subo.”
“Apakah
engkau mencinta Han Han?”
“Teecu
mencintanya, Subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta.
Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya,
sungguh pun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya,
setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari Subo untuk mengubah cinta kasih
perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan
setiap makhluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih
teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”
Nikouw tua
itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih
belum yakin benar, maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai
keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani
dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian
melahirkan anak-anak keturunannya?”
Kim Sim
Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk
hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia
maklum bahwa gurunya berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah
yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat
muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.
“Subo tentu
maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu birahi terhadap dia? Kalau benar
demikian pertanyaan Subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan
Subo, teecu telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu birahi. Tidak, Subo,
cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar
teecu menjadi ibu anak-anaknya.”
“Omitohud...
syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan
kalau begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus
memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang
mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini
pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan
yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan
sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti
itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”
“Maaf, Subo.
Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu
sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut
wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung... ah, rela
rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”
“Kemukakanlah
kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia,
sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat
mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka
engkau akan dapat berbuat lebih banyak dari pada kalau engkau melanjutkan
ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan
selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh
perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam
kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat
setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di
hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau
boleh menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim
Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.
Kim Sim
Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi
ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan
akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersemedhi lagi! Setelah bersemedhi,
barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan
hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di
tubuhnya.
Menjelang
tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu
Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersemedhi terus, karena
menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat
batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di
antara mereka. Ia harus menolaknya, betapa pun hal ini menyakitkan!
Akan tetapi
sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara
rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam
mulutnya, kemudian diam! Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai
Kim Cu murid In-kok-san!
Sekali
mencelat, tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela dan menerobos memasuki
jendela Pui Sim Nikouw, yaitu suci-nya yang berusia tiga puluh tahun, yang
cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya
diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking
marahnya! Ia melihat tubuh suci-nya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah
robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Suci-nya dalam
keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki tinggi besar
sambil menyeringai meraba-raba dada suci-nya dan menciumi bibirnya.
“Manusia
jahat!” Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia
meloncat ke dekat pembaringan.
Laki-laki
itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya.
Engkau paling muda dan paling cantik! Dan engkau... heh-heh, engkau masih
perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapa pun
juga, dia ini boleh juga!”
“Pergilah!”
Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang
menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar
golok yang tadi ia letakkan di atas meja.
“Ehhh,
kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu,
kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”
Golok lelaki
itu menyambar, namun sekali Kim Sim Nikouw menggerakkan tangan, laki-laki itu
berteriak. Goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya
patah tercium jari tangan Kim Sim Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang
sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari terbuka
menghantam ke arah dada laki-laki itu.
Pukulan ini
sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa
laki-laki itu tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat
wajah laki-laki yang ketakutan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas
asih, dan ia menaikkan sasarannya.
“Kekkk-krekkkkk!”
Bukan dada lelaki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.
“Aduh
tobaaat... aduhhh... aduhhh... ampunkah saya, Siankouw...!” lelaki itu
mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.
“Hemmm!” Kim
Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk suci-nya, membebaskan totokannya dan
menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat.
Nikouw itu
menangis, namun dihibur oleh Kim Sim Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa
kedatanganku belum terlambat, Suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil
menangis.
Pintu kamar
terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh
para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.
“Apakah yang
terjadi di sini?”
“Subo,
manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw.
Nikouw tua
itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang
laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya
itu.
“Hemmm,
ambilkan tempat obat penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang
segera memenuhi perintah gurunya.
Setelah
keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan
pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta
ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata, “Kalau mau
minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”
Laki-laki
itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia
diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw.
Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim
Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan
berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar.
Ia bersila,
bersemedhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya gelisah
sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat suci-nya hendak
diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan
berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada
Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah.
Dia tadi
telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu
birahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta
kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di
depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan
semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatar
dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan
keputusan yang diambilnya ini.
“Kim Cu...!”
Nikouw muda
itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di
belakangnya. Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan
diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekali pun,
ia tentu akan dapat mendengar gerakannya. Akan tetapi sekarang, ia sama sekali
tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!
“Omitohud...
kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu
mengejar-ngejarku?” Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan
tetapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han,
yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu
menjenguk isi hatinya!
“Aku akan
terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekali pun, selama
engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah
Kim Cu! Apa kau kira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang
kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”
“Ohhh, jadi
engkau tadi melihatnya...? Ya Thian Yang Maha Kasih...! Baiklah... baiklah. Han
Han... aku memang Kim Cu... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim
Nikouw... Engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong.
Pergilah kau... Han Han... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku...”
“Hemmm... ke
manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya
sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu,
mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan
mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....!”
“Ya, setelah
apa yang kita alami bersama...!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan
tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil,
suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.
“...engkau
tidak tahu betapa aku telah menderita hebat... betapa aku sekarang telah
menemukan ketenteraman kembali... Ketika engkau menolongku, agar aku tak terkena
senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan
keselamatan sendiri... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar!
Ahhh... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku
yakin bahwa kita akan mati bersama... Mati bersamamu di waktu itu merupakan
kebahagiaan yang tak terhingga bagiku...! Akan tetapi, ohhh... hancurlah hatiku
ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati!
Aduhh, Han Han... tidak ada penderitaan yang lebih hebat dari pada itu, hatiku
tersayat-sayat... ohhh...” Nikouw itu menangis terisak-isak.
Han Han tak
dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata
basah, perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan
membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung
lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir
deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak
kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada
Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, dan menyadarkan aku...
merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku... Aku diberi wejangan, aku
sadar lalu menjadi muridnya... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku
sembahyang setiap hari untukmu... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati...
akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw...”
“Kim Cu...”
Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru. “Apakah tidak ada
jalan lain...?”
“Jalan lain
yang mana? Aku... aku murid seorang wanita jahat..., seorang datuk hitam yang
penuh dosa.... Dunia akan mengutuk aku... manusia akan memandang rendah
kepadaku... Hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa... dan... dan
dapat melupakan engkau....”
Han Han tak
dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa
besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi
cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang
dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa masih kalah
besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian
muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk
menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw!
Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban
sedemikian rupa untuknya?
“Kim Cu,
tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak...!
Kalau memang engkau mencintaku... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan
untukku... Wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tidak mungkin dapat
kubalas selama hidupku... Mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan
terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan hidup dengan menjadi nikouw... akan tetapi aku..., aku yang kau
usir... aku yang merasa terhimpit oleh budimu... betapa aku akan dapat
bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersemedhi dan bersembahyang di
dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu... jelas bahwa engkau masih mencintaku,
mengapa... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak
berdarah...?”
“Han
Han...!” Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai
lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara
menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing.
“Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada
engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku
menjadi nikouw... kalau begitu..., biarlah aku mati saja...!”
Cepat sekali
nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang
ke depan dengan muka beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang
tersenyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada
kaki arca yang terbuat dari pada batu hitam.
“Wuuuuuttttt...!”
Tubuh nikouw
itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan
ginkang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sinkang untuk melindungi
kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.
“Plakkk...!”
Kepala
nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama
sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan
arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut
kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki
arca.
Nikouw itu
terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata
terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu
bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang
membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.
“Kim Sim
Nikouw, apa yang kau lakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan
pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan.
Nikouw muda
itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah
Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi
sinar mata yang tajam berwibawa.
“Han
Han...!” Kim Sim Nikouw mengeluh.
“Kim Sim
Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat
pengecut yang paling rendah dari pada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak
menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang
salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan
kebahagiaan. Ada pun aku... hemmm... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku
hanya kasihan dan ingin membalas budi. Dan melihat engkau berbahagia di sini,
aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat
tinggal...!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Sejenak
nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han,
kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang
Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan
dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim
Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah
Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci
noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!
Han Han
sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu
menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan
mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk
kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa
perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup
bahagia di sampingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu?
Memang,
mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu,
siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya? Betapa pun juga, Han
Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam
usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim Cu
bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!
Sekali lagi
Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu
di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di
dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah
menambah sebuah guratan lagi di dahinya.
Penjahat
yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda
dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga
meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan
kedua pundaknya terasa nyeri apa bila terguncang terlalu keras, maka ia tidak
berani melarikan kudanya. Ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk.
Siapa kira
di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian
lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai
nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore
tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya
itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.
“Sialan...!”
pikirnya.
Sudah banyak
wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat
di samping seorang pencuri ulung. Tetapi belum pernah ia memperkosa seorang
nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh
dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah
dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana
apa yang ia sering kali mimpikan.
Akan tetapi,
agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan
nikouw muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justru nikouw muda itu ia
incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki
tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia
masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu... ihhh, ngeri ia membayangkan.
Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!
Tiba-tiba
ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke
atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan
memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda
buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti
mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si
pemuda buntung.
“Heh, bocah
buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?” bentaknya.
Pemuda yang
bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari
kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan
seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa.
Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat
penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.
“Hemmm,
jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?”
Penjahat itu
pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua
pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh,
pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan
keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.
“Aku... aku
terluka... dan aku sudah diampuni para nikouw...,” katanya gagap.
Han Han
memandang penuh selidik. “Andai kata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu
dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas
dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”
“Wah, jangan
main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai
bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu...”
“Hemmm,
apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya
dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.
“Kraaakkk...
kraaakkkkk... bruukkk...!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan
terjebol akarnya.
Penjahat itu
terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata,
“Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu
dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat... eh, dapat membalas dendam
kepadanya, aku... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”
“Kau tentu
hendak memperkosanya?”
Penjahat itu
menyeringai. “Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”
“Keparat!”
Tongkat di
tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya
dengan tubuh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han
berdiri tegak memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya
sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang
tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian
menjadi marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya,
tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar
mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut
dan mengeluh.
“Kakekku
seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku
keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan
kubunuh juga... Ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu...?” Kemudian ia
meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah
terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu
buruk... ya Tuhan, ampunilah hamba...”
Ia lalu
mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan
kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin
cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.
**************
Puteri
Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh
kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu
bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.
Lulu tekun
belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu,
juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu
ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu
silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena
ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya
mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak
menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat
mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu,
seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli
dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga
dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan,
seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf
indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra
Angin dan Awan).
Dahulu jika
Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai
tarian. Kini setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah
didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh
Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian
diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini
menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang
dipelajari Lulu.
Selain
dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek
Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu
Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua
tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat
menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat
berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa
bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat
kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah
memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih
diri di Pulau Es.
Ada pun
Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu
dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh
wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah
digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.
Bahkan ia
telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan
dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga
kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang
sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan
Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua
ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir
Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu
makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala
kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai
adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu
yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang suci-nya. Mereka amat rukun
dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara
Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya,
secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya
yang timbul dari pengalamannya.
“Suci,
sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan
sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku
membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik
terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai
memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu
dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan
kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak
kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu
Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah
bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan
tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan
alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik,
Suci. Sebaliknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya
tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok,
membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm,
pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang
perbuatan sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa
perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak
kejam?”
“Memang
kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan
pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan
itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak
terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak
mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai
mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun
lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak
pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu,
kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis
Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini
para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak,
perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan.
Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak
menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan
tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan
kejam perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa
pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi
sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa
terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran
dalam ucapan Nirahai.
“Apakah
engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga
sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu
kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi
dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari
kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat
bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka
jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan
membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat,
mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di
antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi
aku membunuh mereka sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau
seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah
engkau juga akan membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja!
Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang
pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan
tetapi musuh negara tidak!”
“Wah,
kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya.
Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak
yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai
merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya
yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak
membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di
mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana
hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih
dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan
kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja
perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya, dan sekuat
tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan
kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin
sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang
bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan
dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan
tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan
tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu
termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum
sekali. Suci-nya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa,
juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya
kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap
di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau
begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai
mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada
para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai
tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku
merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana
aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling
Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah
keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan
bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada
pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau
begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa
Han, bukan?”
Kembali
Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan
Lulu. “Huh, engkau menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi
Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin
mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang
pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”
Nirahai
menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang
pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa
rendah? Akan tetapi adikku yang nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih
kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula,
aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana
bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu
memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri
yang hebat, Suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri
seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau
lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan,
Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang
budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...”
Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh...,
kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci.
Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya
dialah yang paling patut menjadi suamimu!”
Nirahai
tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara.
Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling
bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!”
Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk
kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan
dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...?
Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan
tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh
sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt,
sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau
tentu akan jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang
bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah,
sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu
mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan
seluruh jiwa ragaku, Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
“Nah, nah...
kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu
meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai
menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang
Sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang
tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh
maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu
kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah,
maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang
kau banggakan dan pamerkan.”
“Aku
tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita
tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...”
tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya
merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu
Soan Li tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami
Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa
disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah,
Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang
termenung seperti orang bingung.
“Ti... tidak
apa-apa, suci.”
“Engkau
memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak
mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi
Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki
tentang dia?”
Nirahai
menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan
Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang
keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok,
betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li
dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah
pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di
situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan
tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya
diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu
saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa
ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu
ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai
sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah
menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua
jurusan.”
Demikianlah,
Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara
hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini
maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian
Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek
sakti itu.
Setahun
mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan
para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek
Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah
Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah,
kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul
banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri
mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus
berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat
orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya
tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu,
dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau
ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai
tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan
bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu,
hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar
tentang kakakmu di barat.”
Memang
Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang
berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia
menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu
karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal
ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh,
agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu
mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang,
akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya
lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri
mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari
berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah
pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya,
gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang,
tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia
menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang
di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah
banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik
berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama
berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai
diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui
orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh
para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka..
**************
Bagaimanakah
ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di
Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han!
Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa
nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya
dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin
karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia
tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati
orang yang melihat kakinya yang buntung, akan tetapi kebuntungan kakinya pun
tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan banyak
mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya,
atau cacat tubuhnya.
Pada malam
harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun
penjaga, ia meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun,
perwira she Giam, kakak iparnya atau suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu
keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya yang ia sudah hafal
karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat
enci-nya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini
sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati
ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng
terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat
bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan
bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici,
aku datang...”
Sie Leng
kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat
kaki Han Han.
“Adik Han...
kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak
apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh...
suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu
(kakak ipar).
“Dia... dia
sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali
karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han
bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang,
menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada
adiknya.
“Han Han,
engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici,
kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau
tentang Lulu, adik angkatku itu?”
Sle Leng
menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana
lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu
di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han
tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah
menduga akan hal ini.
“Sekarang
pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi
permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal
Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...!
Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang
akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku
bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di
mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu
membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah
Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya
seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia
merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci,
dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu
terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam
orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau
harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau
memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan,
terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...!
Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu
bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu?
Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan
kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han
Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat,
Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya
memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak
akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak
yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han,
jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi
kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang
berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti
aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah
kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita
itu?”
“Han Han,
apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan
khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas
dendam. Di mana mereka?”
Setelah
menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada
di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar
yang ada arca singa batu di depannya...” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi,
engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh,
dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku
adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur
Se-cuan.”
Hati Han Han
kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan
siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han
Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang
yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah...
sudah buntung begini...”
“Sudahlah,
Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku
tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara
mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan
terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh... biar pun aku
tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita,
namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan
nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia
selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di
dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang
tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak
pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han
mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya
murung. Yang seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke
Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya.
Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan
tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan
mengenal mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada
jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka
dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu
melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap
seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam
Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh
besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici,
jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han
Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari
kamar itu.
Sie Leng
lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan
tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang
datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian
sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka?
Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong
dan menangis terisak-isak.
Han Han
keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah
di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia
berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian
indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi
seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan
musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah
pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja
Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di
istana bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan
benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah
menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu
kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya
yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota
raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua
yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang
sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang
pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya
terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di
depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa
berhenti di sini?”
“Aku lelah
sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur
dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha,
agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah.
Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani
semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha,
engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah,
Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui,
leher kita akan putus!”
Agaknya
mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah
meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki
kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus
saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang
terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan
diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira
dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya.
“Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting
dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum
berat!”
Temannya
bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh...
sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau
benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih
dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka
berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan
membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa
mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi
mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan
tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan
adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas
mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian
olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan
Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke
selatan.
Di kota Thian-cin,
dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan
perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi
mereka tanpa kesulitan. Biar pun kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi
pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat
membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan.
Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka
pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari
langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng,
yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir
terusan?”
“Tidak salah
lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya
Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan
tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang
terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar
itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan
Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih
ada di daerah ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu
tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga
untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak
di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai
sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah
pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau
terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh
pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan
dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu
gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau
tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian
tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula
maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada
Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau
diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang
bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh,
hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa
tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai
kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang
penting. Kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan
olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun
juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan
Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah
mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi
alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat
seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka
kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan
menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau
mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah
kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang
ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri
Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu,
karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang
itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau
orang kepercayaan Su-ciangkun?”
Han Han
tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah
Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”
Dua orang
itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi
besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut
goloknya dan membacok.
Akan tetapi
ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan
golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan
ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang telah amat tertarik mendengar
percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar
disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia
sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat
kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar
seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di
antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke
dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot,
mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas
ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu
tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap
tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan
membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri
Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan
menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian
Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota
Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang
menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!
Diam-diam
Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak
diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama
kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin
Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan
lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang
tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati
Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada
Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira
pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk
membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu,
kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang
diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.
Han Han
sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh
mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya,
tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia
dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan,
dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas
segera berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini
menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya
tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah
dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para
prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat yang tidak
berdosa.
Begitu
melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya
bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya,
kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar
jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing
menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang
golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han
Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan
rahasia. Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa
surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu
berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat
perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda
yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki
buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia
mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di
lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan
amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat
itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di
seberang kota Cin-an.
Ketika Han
Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai
utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya
tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke
sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat
cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang
menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa
mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi,
bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia
membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han
Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan
hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa
mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada
Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama
kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat.
Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh
orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan.
Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu
sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama
besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para
tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian
Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan
pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya
menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan
mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika
mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum
dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang
ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu
ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat
terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang
berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa
buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut
para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di akar
pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh
sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk
merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa
sederhananya!
Amatlah
mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut
para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada,
menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para
tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi
lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja
di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang
amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang
cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan
memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan
tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian
gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga
para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima
kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih
mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi
sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada tumpukan barang
sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini
tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke
Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya
sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan
apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman
penjajah.”
“Hidup
Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan
ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras
isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka
mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan
terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua
matanya.
Han Han juga
terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya
bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat
orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa
lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di
punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan
Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara
seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar
seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang
mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga
Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda
dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan
berkata.
“Mohon maaf
jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu
tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka
sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan
ucapan tadi?”
“Kita semua
adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga
demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur!
Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang
pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu
hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang
pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara
mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua
pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa,
hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh,
apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang
merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah
satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh,
sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu
tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba,
setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek
yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah
Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu
pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali
mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari
In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya.
Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah
ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu
Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa
orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini
termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang
bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya
Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan
kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini
sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan
Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda,
semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa
kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku
sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor.
Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar
merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw
Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si
pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah
engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara
pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya
Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu
Sam Kwi?”
Wajah
Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan
kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang
penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini,
dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia
menjawab.
“Tentu saja
saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan
satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu
ialah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan
mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar,
jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang
hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”
“Akan tetapi
apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang,
dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan
bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri
sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang
di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf,
locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa
mereka itu memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk
dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan
pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup
sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas
oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan
sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti
tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan
nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah
dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan
orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah
terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya.
Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak
ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat
bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu
dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu
memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki
kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf,
locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng.
Hal itu termasuk siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha!
Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah
bersekutu, dia berani memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia
sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit
ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis,
kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa
mengalah karena terdesak lalu bertanya.
“Kita
berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita
membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan
kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm...
kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat
adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki
istana.”
“Masih
banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya
kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu
tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua
orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian
besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah
air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah
runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama
sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka
berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan
berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa
lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan
ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang
tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan
terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san
amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang
dianggap manusia iblis!
Melihat
ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang
dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan
suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan
Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai
Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu
tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai
pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah untuk menentang
kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah
berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik
pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya
daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita
menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau
locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak
mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan
penjajah!”
Semua tamu
mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo
memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda,
engkau siapakah?”
“Dia adalah
Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu.
Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala
pertentangan paham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui
pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu
dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti
kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka
Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha,
memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah
puterimu ini sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu
sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala
sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak
dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus!
Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun,
mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah
lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang
dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh...
maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut
busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya,
gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang
pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin
Lo-mo yang betapa pun juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap
Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi
marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah
engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan
dari pada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba
kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan
terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian
memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan
kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng
sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apa lagi melihat betapa
para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan
baju.
“Bocah
sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan
cabut pedangmu!”
Sin Lian
sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si
Muka Bopeng. Kalau ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak
mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat
menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka Bopeng ini
tentulah lihai.
Diam-diam
Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang
menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah
berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu selama ia merantau
sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan
menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia
menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan
diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk
menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang
hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak
dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.
"Lihatlah
kiam-sut ku yang tiada tandingan!" Ouw Kian membentak lalu pedangnya
berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung
menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya, gadis puteri
ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah
tanpa bertanding lagi.
"Hemmm...!"
Sin Lian mendengus sebal dan membentak, "Sambutlah!"
Pedangnya
sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim
Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli
pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam
(Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang)...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment