Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 05
"Kenapa
begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap
bulan?"
"Eh,
kau tahu juga?"
"Tentu
saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam
di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, melihat pula betapa di
antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan
daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu jahat?"
"Itu
adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau mengalah bahkan
melukai anggota kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan
daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun
yang berbahaya mengancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah
keracunan. Tanpa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami
bisa hidup?"
Kwi Hong
mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan mereka. Gadis
cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenaran yang dipergunakan
sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu dengan menekan atau
membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di
mana makhluk harus menjaga diri sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan
di mana satu-satunya yang dibutuhkan hanya kekuatan dan kemenangan! Keadaan seperti
itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi
kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala
macam aturan!
***************
Ketika Suma
Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang
pembantu utamanya yang menyambut memandang dengan penuh perhatian. Terutama
sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita
muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya
yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi
pujaan hatinya.
Dia tahu
bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali.
Biar pun pendekar itu dapat menutupinya di dalam hati sehingga tidak tampak
sedikit pun ketegangan urat syarafnya, akan tetapi wajah yang tampan itu
terselubung kemurungan yang amat mendalam.
Yap Sun,
wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun
mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sute-nya
yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih
menggunakan perasaan hatinya.
"Kami
mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu
juga tidak berhasil?" Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguh pun
dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong
tak berhasil ditemukan.
Suma Han
menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata Phoa
Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan perasaan
hatinya yang terhimpit, pikirnya. "Bocah itu benar-benar membikin repot
banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku
menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah
bosan merantau tentu akan pulang juga."
Sambil
berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang
kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya
menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang matanya yang bening.
"Kusediakan
makan, Taihiap?"
Suma Han
menggeleng. "Aku tidak lapar."
"Ingin
beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu
disediakan minum? Minum apakah?"
"Tidak
usah repot, Ciok Lin, dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin...
menyendiri." Suma Han lalu menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan
menyandarkan tongkatnya di meja.
Ciok Lin
tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya
penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak,
Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han
menunduk kembali.
"Ciok
Lin, maaf. Kau tinggalkan aku, aku ingin menyendiri." katanya.
Gadis yang
usianya sebaya, hanya lebih muda satu tahun dari Majikan Pulau Es itu menahan
napas menekan hati yang perih. "Baiklah, Taihiap...." Ia membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.
"Ciok
Lin..." Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini
selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar
mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar
mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah
bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh
perhatian.
Dengan
gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh. "Ada apakah, Taihiap?"
Suma Han
tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. "Aku memang tidak lapar, akan tetapi
akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber."
Wajah yang
manis itu berseri gembira. "Baik, Taihiap, segera kuambilkan!" Dan
kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi,
melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja.
Suma Han
tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan
dari pada mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama
Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin.
Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi
hatinya sehingga segala jeri payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu
malah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan.
Dia berhasil
mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan
gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira
pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat
meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri
dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah
seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia... sudah lama namun dianggapnya
terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang
berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!
Semenjak
pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma Han
mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat dari pada kekhawatirannya
tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau
tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus,
mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya
yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan dari
pada kaitan kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang
ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis,
namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati.
Berkelebatnya
bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya,
membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari
sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu
kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya
menjadi orang kedua di Pulau Es, jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia
memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah
mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka, bersisir,
dalam waktu yang amat cepat!
Suma Han
menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar
dingin terasa sampai ke perutnya.
"Terima
kasih, Ciok Lin."
"Tambah
lagi, Taihiap?"
"Cukup,
letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."
Sejenak Ciok
Lin ragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang
bayangannya sudah terukir di hatinya itu. "Taihiap, dalam kepergian
Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?"
Suma Han
membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, "Ciok Lin, mengapa
kau menduga demikian?"
Ciok Lin
menarik napas panjang lalu berkata, "Semenjak saya berada di sini, saya
melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak
tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan
awan. Apa lagi yang menimbulkan hal itu kecuali pertemuan dengan kenalan lama
dan dipaksa mengenang peristiwa-peristiwa lalu?"
Suma Han menghela
napas, "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung ke dunia
ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi
sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang
terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku
sendiri."
"Baiklah,
Taihiap."
Sekali ini
Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri.
Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas
tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan
pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena
memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu...! Dapatkah ia melupakan
Lulu?
Kalau adik
angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat
melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya
itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu berantakan dan betapa
mungkin ia dapat melupakannya? Apa lagi karena perginya Lulu meninggalkan
suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah
melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw.
Siapa lagi
yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya
dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur. Di
mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan..., ahhh, dia teringat
akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk
tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu
bodoh? Tentu Lulu orangnya!
Akan tetapi
kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat
sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak
akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih
tinggi dari padanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua
Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa waktu itu menantang dia? Mengapa
seperti hendak memusuhinya?
Sampai tiga
hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu
ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es, pertama untuk
mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia
merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat
apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.
"Garuda
betina datang...!"
"Nona
Kwi Hong tidak bersama dia...!"
Seruan-seruan
itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa
telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma
Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina
sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu
menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan
suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi
mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.
Suma Han
menghampiri, "Apakah Nona ditawan orang?"
Garuda itu
mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma
Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, "Agaknya Kwi Hong
ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau
baik-baik, aku pergi takkan lama." Setelah berkata demikian ia menggapai
dengan tangan kirinya.
Garuda
jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han telah
mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda
betina yang telah mendahuluinya. Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan
terbang tinggi di atas lautan kemudian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau
kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.
"Hemm,
agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan
beraninya mereka!" Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik
ke bawah, ada pun garuda betina yang kelihatannya jeri, hanya berani mengikuti
dari belakang.
Suma Han adalah
seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau penghuni Pulau
Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini telah siap untuk
menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu bahwa dia akan
menolong muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka
merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan
harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah
dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu
hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang
bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk
mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut kedatangannya
Lewat
angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak
mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas dari
pada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah
di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.
Setelah
burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung,
melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu langsung disambar ombak dan
mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan kaki
tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang-ambing ombak.
Dengan
menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya
meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya
mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang
yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini.
Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan
ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya.
Ketika
tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah
batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke ke atas, menotok lagi
dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di
puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung
garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang
yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung
itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti
isyaratnya.
Dari atas
tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm,
benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh tangan
ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau
hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya
diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa
sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan menyesatkan.
Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang
berbisa.
Dari sebelah
kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi.
Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang tertutup oleh alang-alang
orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apa lagi kalau sampai terjeblos ke
dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas. Dari sebelah kanan melalui
pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan
sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang
diatur orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman
biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya.
Ada pun
pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang
harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun
ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang
tidak akan dapat bersembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar
tentang pasir bergerak yang dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia
mendarat tanpa perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja
yang menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu
dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.
Sampai
beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghafal letak-letak
kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat
letak matahari. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di
bagian selatan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi
markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba
Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol,
menyembunyikan diri dan mengintai.
Tidak salah
lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya
menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk seorang manusia. Burung
itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang
menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya
atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau
pemeriksaan.
Setelah
burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu keluar dari
tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan
dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat sekali, dengan
loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya yang luar biasa Suma
Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah
yang tak dikenalnya itu.
Dia kini
sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh
daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun,
dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia
terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus
bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan
arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu
turun lagi dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba ia
berhenti bergerak. "Ular...," bisiknya dan ia sudah siap.
Penciumannya
yang tajam sudah dapat menangkap bau amis ular-ular itu, sedangkan
pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak
gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap sehingga mudah
menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus
meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di
seberang sana disambung pula dengan hutan lain.
Suma Han
berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana
saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak
jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular
berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali
gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu,
dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han.
Sayang kepada kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia
tidak mempunyai niat sedikit pun juga untuk melakukan pembunuhan dan
pengrusakan di pulau ini.
Pertama, dia
belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Kedua, andai kata
benar demikian, dia menduga bahwa penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu
untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya,
burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk,
mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.
Kini
ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini
mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia
yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya.
Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati
ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan
membunuh mereka semua.
Untuk
meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu
Soan-hong-lui-kun sekali pun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan
tongkatnya ditambah ilmunya, dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia
tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai
gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu.
Maka dia
lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat,
tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular
itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas
tanah di antara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang
tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat
menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan.
Beberapa
ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali
Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi.
Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba
di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia
berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang
menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.
"Begini
sajakah halangan memasuki pulau?" kata Suma Han sambil melanjutkan
perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang
tidak begitu gelap seperti hutan pertama.
Tiba-tiba
seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam
semak-semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum
dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali
ia merasa kagum. Serigala-serigala hitam ini benar-benar merupakan sekumpulan
binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnya panjang dan
mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang
buas ini pun berbisa.
"Bukan
main! Benar-benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini,"
pikir Suma Han.
Melihat
betapa kawanan serigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya
akan melelahkan kalau harus berlari-lari dan mengelak menghindari mereka yang
tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan
kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas
pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang
serigala-serigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya.
Pemandangan
ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan
perjalanannya melalui pohon-pohon. Karena pohon-pohon itu tumbuh berdekatan,
amat mudah bagi seorang yang berilmu tinggi seperti dia untuk berloncatan dari
dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau
mengkanankan matahari pagi.
Akan tetapi
baru saja terbebas dari serangan gerombolan serigala hitam, datanglah
serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma
Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia
memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sinkang-nya
sehingga lebah-lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan
tetapi karena dahan-dahan, ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia
tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah
berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan
menerkamnya.
Maka Suma
Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan-hong-lui-kun. Karena dia meloncat-loncat
dengan selalu dikejar lebah-lebah yang terbang cepat, tentu saja dia tidak
dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat
keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau
lebah-lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar
lengan kiri untuk meruntuhkan lebah-lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah
dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!
Akhirnya dia
berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati lega ia
mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing serigala sudah tak tampak lagi,
tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon
sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah
itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan
sudah siap.
Ketika
lebah-lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar
jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegangi tongkatnya.
Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu mendatangkan angin yang
menyambar dahsyat apa lagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan
lebah-lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han,
sama sekali tak mampu mendekati pendekar itu. Bahkan ketika Suma Han membuat
gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang
membuat lebah-lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi!
Tiba-tiba
terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara
istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah-lebah hitam
dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!
"Setan...!"
Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan
lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang
makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka,
hal yang tak diinginkannya.
Dengan hati
mengkal Suma Han lalu mengerahkan khikang-nya dan keluarlah lengkingan yang
tinggi dan lebih nyaring dari pada suara suling itu sambil jubah di tangannya
masih terus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah-lebah itu
menjadi kacau-balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han,
makin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke
atas, ada yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang
membalik dari arah mereka datang! Ada pun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan
Suma Han membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu
berjatuhan, bergerak gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk
sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayap pun berputaran seperti
anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!
Suara suling
terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan
kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya
mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari,
hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke
utara melainkan tersesat lari ke barat!
Karena tidak
ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di
pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya
girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelompok bangunan
berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat
pasukan-pasukan yang menghadang jalan.
"Hemm,
kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri
menyambutku. Bagus!"
Dia lalu
melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara.
Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di
lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna
biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga,
bersenjatakan tombak panjang yang ada rantainya di ujung.
Suma Han
sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau
Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin
tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda,
Suma Han mengomel di dalam hatinya. "Orang-orang Pulau Neraka sungguh
memandang rendah kepadaku!"
Sebagai
To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya
disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki
tingkat ke empat atau ke lima. Maka dia pun tidak mau bicara melayani mereka,
melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua
puluh tujuh orang itu hanya arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada
artinya!
Melihat
sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru
aneh memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh
tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menyerang dengan tombak, ada
pula yang membalikkan tombak dan menyabet dengan rantai baja di ujung gagang
tombak. Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan
menyambar ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak-tombak runcing dan
rantai-rantai berat itu.
Namun, Suma
Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan serangan
mereka, akan tetapi setelah senjata-senjata itu datang dekat, dia memutar
tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu
tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit-belit tongkat dan ujung
tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan
terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku.
Yang bersikeras mempertahankan senjatanya segera menjerit dan memegangi tangan
yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka berdarah!
Dengan tenang
Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak
terpelanting ke kanan kiri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur
seperti anak panah dan hilang di antara pohon-pohon, ada pula yang menancap di
atas tanah sampai setengahnya lebih!
Mereka yang
telah menyerang, belasan orang itu, meritih-rintih, dan mereka yang belum
menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena
maklum bahwa menyerang seperti kawan-kawannya tadi tidak akan berhasil
sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang
kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka, melontarkan kuat-kuat
sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing
menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han!
Seperti
tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga
seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur
secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi setelah ujung
tombak-tombak itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya
membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan... belasan batang tombak itu
runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar-jajar rapi
seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju
terpincang-pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi
sesuatu.
"Pendekar
Siluman... kepandaiannya seperti iblis..." Pasukan muka biru muda itu
berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak.
Kini pada
sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang
terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya,
setingkat lebih tinggi, tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang
rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan
warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu
tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh
bermuka kuning untuk menghadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hmmm, kalian
terlalu memandang rendah To-cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka
dulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!
"Haiii!
Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?" Seorang
di antara mereka bertanya.
Akan tetapi,
seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan
melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas
orang yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan
kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi
senjata rahasia berbisa!
Melihat
sikap Suma Han, delapan belas orang itu kemudian membuka barisan dan mengurung.
Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka
hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang
melangkah maju. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru keras dan terdengar
goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok-golok lain yang menyambar
secara berturut-turut.
Hemmm, kepandaian
mereka ini sedikitnya tiga kali lipat dari pada tingkat pasukan pertama yang
bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua golok bergerak
menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga
delapan belas orang yang mendadak kehilangan lawan itu sudah mengira dia pandai
menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah
tangan kiri bergerak.
"Ciat-ciat-ciatt!"
Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian
tubuh Suma Han.
"Trang-cring-cring-trang...!"
Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis
oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar, sedangkan tubuh Suma Han sudah
melayang turun lagi.
Delapan
belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan
mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara
hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri
bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi
karena senjata mereka telah patah semua!
Ketika
mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah
berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum
bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat
pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya.
Kini Suma
Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu
tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang-kiam (Sepasang
Pedang).
"To-cu
dari Pulau Es, perlahan dulu!" tegur seorang di antara mereka yang usianya
sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap-riapan sampai ke pundak.
"Kalian
ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?" Suma Han bertanya, sikapnya
tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im-kang
sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini tergetar jantungnya dan
menggigil kedinginan.
Akan tetapi
dengan pengerahan sinkang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini
pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga orang, seorang wanita dan
dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari depan,
kanan dan kiri.
"Kami
adalah murid-murid tingkat dua!" jawab kakek itu.
"Hemm,
Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang
maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?"
"Orang
muda yang sombong!" Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan
pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar
matanya liar dan ganas. "Biar pun engkau To-cu Pulau Es, akan tetapi
engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti
itu. Lihat pedang!" Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang
temannya.
Melihat
gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab-kitab
peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan
tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.
"Hemmm,
mengapa begitu cara melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Naga Berebut
Bintang)?"
Dengan
tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan
secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke
tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang
pedang dengan kedua tangan. "Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara
sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan
tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang
mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!"
Sementara
itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas
dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan
pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus
Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biar pun
mereka mengenal baik jurus ini, berturut-turut mereka berseru kaget karena
terdengar kain robek dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat
lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah, dan
ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan
berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut!
Sebagai
ahli-ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah
muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah
roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya
dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah
berjalan terpincang-pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang
kakek bermuka kuning.
Empat orang
kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya gagah dan
angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot
mereka panjang, kaki mereka telanjang tak bersepatu dan tangan mereka hanya
bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah meter, terbuat
dari kayu hitam atau ranting yang lemas.
Melihat
keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu
empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang
Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa
heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena
semenjak pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan
tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang
namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan
gerakan segi tiga.
Dia tidak
tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam
orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini
sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keadaan kang-ouw
yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan
Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang-ho dahulu. Oleh karena
itu kini hanya tinggal empat orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan
terakhir dan mereka pun kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi
istana dari majikan Pulau Neraka.
Setelah
melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu
menghadapi empat orang itu dan berkata, "Melalui garuda betina
peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku datang
untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Lo-cianpwe suka menyampaikan kepada To-cu
Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku."
Empat orang
kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung itu dari
kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat
pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar
biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapa pun juga,
melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di
depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat.
Seorang di
antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua segera mengangkat kedua
tangan depan dada sambil berkata, "To-cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di
sini, membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi
sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To-cu hendak menjemput
murid dan bertemu dengan To-cu kami, harus melalui tongkat kecil kami."
Suma Han
mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm... agaknya To-cu Pulau
Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian ingin menguji kepandaianku? Nah,
lihat baik-baik, biar pun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?" Suara
Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh.
Tiba-tiba
empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka
kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah
berubah menjadi delapan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan
betapa pun mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh mukjizat itu,
tetap saja pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat
lebih banyak dari pada jumlah mereka!
Karena
bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka,
menghantam Suma Han yang terdekat. Akan tetapi, biar pun ranting mereka
mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan
ranting itu ‘lewat’ menembus tubuh orang yang diserang. Hal ini memang tidak
mengherankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang asli,
melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat
dan pikiran orang yang dilakukan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma
Han yang asli telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang
kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh!
"Sudah
kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?" Suma Han berkata dan kini
empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan
mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup
itu, "Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, janganlah
mengandalkan ilmu siluman!"
Suma Han
memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking
herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat
satu ini, tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang
menyeramkan dan lebih mendekati iblis dari pada manusia. Akan tetapi suara yang
keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To-cu pulau itu,
adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu! Bukan suara seorang
kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek-nenek karena suara seperti
itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda.
Mungkinkah
ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han
tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion-liong-pang.
Bukankah Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang
dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan
yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita-wanita muda!
Benar-benar merupakan hal yang sukar dipercaya.
Betapa pun
juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang
mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar
mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia enggan bertanding
melawan mereka. Menghadapi pasukan-pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih
dapat melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat
orang kakek ini dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan untuk mengalahkan empat orang ini tanpa melukainya
merupakan hal yang tidak mudah ia lakukan.
Maka tadi ia
mengambil cara yang paling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan mengandalkan
ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yang kini telah mencapai tingkat amat tinggi
setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai
Lojin. Sekarang To-cu Pulau Neraka mencela dan mengejeknya, kalau dia tidak
memperlihatkan kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.
"Begitukah
yang kalian kehendaki? Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!" Tongkatnya
bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan
mereka melompat bangun.
Kini mereka
bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar hebat. Sebagai To-cu
Pulau Es yang kenamaan, menyebut mereka ‘locianpwe’ ini saja sudah menjadi
bukti bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan karenanya
dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya.
"Maaf,
kami hanya pelaksana tugas!" Kakek beruban berkata sebagai pernyataan
kesungkanan hati mereka, juga ucapan ini merupakan pembuka serangan karena
secepat kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat penjuru!
Suma Han
cepat menggerakkan tubuhnya, menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk mengelak, akan
tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan menghujankan
serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun! Sedangkan yang
seorang tetap ‘menutup’ bagian bawah dengan serangan cepat, rantingnya diputar
seperti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar.
Suma Han
terkejut bukan main. Teringat ia akan gaya serangan bibi gurunya, Maya, ketika
menghadapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah
mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi
Soan-hong-lui-kun? Namun dia tidak diberi kesempatan untuk banyak berheran,
terpaksa ia menggerakkan tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan
menggunakan tenaga pertemuan senjata itu untuk mencelat lagi ke samping,
kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat senjata lawan ia turun lagi
ke atas tanah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han memutar tongkat
melindungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para pengeroyoknya dan
mengukur tingkat kepandaian mereka.
Dia kagum
sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah menegang keras
seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mereka amat ringan
dan cepat, tenaga sinkang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan
pembantunya, Yap Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih
tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan Phoa Ciok Lin yang dia gembleng
sendiri, pembantu utamanya itu lebih menang setingkat. Betapa pun juga, kalau
Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini, tentu pembantunya itu akan kalah!
Yang amat
membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa
digerakkan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya, dengan ilmu gerak
kilatnya ini dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan-lawan yang mengeroyoknya.
Akan tetapi sekarang, biar pun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat
dari pada gerakan mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup
lubang-lubang ke mana dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia
mainkan dengan leluasa, bahkan sering kali macet dan tertutup di tengah jalan.
Terpaksa Suma Han mengeluarkan kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi
tubuh sehingga beberapa kali terdengar suara keras bertemunya tongkat dengan
empat batang ranting itu.
Kalau begini
keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan hal ini
berarti bahwa empat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini
terjadi, maka sambil mengeluarkan lengking panjang, tiba-tiba tubuh Suma Han
mencelat ke belakang, membiarkan empat orang itu mengejarnya dan dengan gerakan
cepat ia menancapkan tongkat di tanah kemudian kedua lengannya ia lonjorkan
dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat
gerakan mendorong.
"Aihhhhh...!"
Empat orang
yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental mundur sampai
dua langkah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar mereka.
Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sinkang.
Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang,
bahkan berusaha membalas dengan pukulan sinkang jarak jauh.
Akan tetapi,
tiba-tiba mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan
yang berhasil mereka lawan itu tiba-tiba berubah menjadi hawa yang amat panas
seperti ada api menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri dengan
pengerahan sinkang mencipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa sinkang
dari majikan Pulau Es itu berubah dingin, dan sebelum mereka berempat
menyesuaikan diri kembali berubah dan terus berubah-ubah sehingga keempat orang
itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sinkang-nya, mempengaruhi jalan darah dan
mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan! Suma Han menghentikan pengerahan
sinkang-nya dan tiba-tiba dari dalam istana itu menyambar sesosok tubuh manusia
berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.
Menduga
bahwa orang yang gerakannya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka
melihat tubuh itu meluncur dan mengirim pukulan ke arah dadanya, Suma Han tidak
berani memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.
"Dukkkk!"
Ia terkejut
karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat sehingga terasa
olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama-sama
mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke
belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han
dapat melihat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan
terbuka. Dia cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.
"Plakkk!"
Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berhadapan dan dua
pasang mata bertemu pandang.
Kalau ada
halilintar menyambar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget
ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya,
meloncat mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan
bibirnya bergerak memanggil.
"Lulu...!"
Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.
"Han-koko...!"
Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menubruk maju dan berlutut
pula.
"Lulu...
Moi-moi...!" Suma Han memandang wajah cantik yang kini warnanya menjadi
putih, memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. "Lulu
Adikku..."
"Aku
bukan adikmu Han-koko!"
"Ohhhhh..."
Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling memeluk, berdekapan
seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini menyesak dada.
Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan pelukan,
memegang kedua pundak Lulu dan memandang wajah itu.
"Lulu-moi-moi...
jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka? Ahhh... Moi-moi, mengapa jadi
begini...?"
"Karena
engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!"
"Lulu,
jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang di dunia ini,
sejak dahulu sampai sekarang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan
suamimu? Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan membunuh diri dengan
berjuang sampai mati? Ahhh, Lulu...!"
"Aku
tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega
kepadaku, meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan tetapi
engkau tinggal di sana melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang
tinggal di sana. Engkau memaksa aku menikah dengan orang yang sebenarnya tidak
kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk, juga membuat hatiku hancur,
kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura-pura tidak tahu bahwa semenjak
dahulu hanya engkau satu-satunya pria yang kucinta?"
"Ahh...
Lulu...!"
"Dan
perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku... Tidak! Jangan katakan
bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sendiri dan sebaliknya
dari pada menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodohan engkau malah
memaksa aku berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi
dengan hati hancur! Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua!
Pura-pura tidak tahukah engkau bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya,
sampai saat ini, aku hanya akan bahagia kalau menjadi isterimu! Koko Han Han,
jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai isterimu, bukan?"
Suma Han,
Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini
hampir pingsan. Cinta merupakan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan
segala kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas-remas, seluruh
tubuhnya menggigil dan kedua matanya basah.
"Lulu...
aku... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai... dan dia... dia pun juga
meninggalkan aku..."
Lulu
meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak menahan
kemarahan yang timbul karena cemburu. "Hemmm... dan engkau lebih mencinta
Suci Nirahai dari pada aku?"
Suma Han
juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu, lalu menghela
napas dan menunduk, "Lulu... aku... aku..., ahhh, bagaimana aku harus
menjawab? Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir batin, dengan seluruh
jiwa ragaku. Namun engkau adikku, maka aku mengalah. Kemudian Subo menjodohkan
aku dengan Nirahai, dan dia... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi
isteriku, bagaimana aku tidak mencinta dia? Akan tetapi engkau... ahhhh, aku
mencinta kalian berdua, Lulu... sungguh pun cintaku terhadapmu tiada bandingnya
di dunia ini... akan tetapi engkau... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat
dan...."
"Han-koko!
Engkau masih lemah seperti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bodoh! Pria gagah
perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat
membahagiakan orang dengan pengorbanan diri sendiri, tetapi malah menimbulkan
kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah
seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak,
lebih baik mati! Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku.
Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!"
"Lulu...
Lulu...!" Suma Han mengeluh, hatinya bingung bukan main.
"Ibu...!"
"Paman...!"
Keng In dan
Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In menghampiri ibunya dan
Kwi Hong menghampiri pamannya. Kehadiran dua orang anak ini mengembalikan
kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu.
Suma Han
memandang keponakan atau muridnya itu, lalu menegur, "Bagus sekali
perbuatanmu, ya!"
Kwi Hong
berlutut di depan pamannya dan berkata penuh rasa takut, "Paman... aku
tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan
aku dan memberi hajaran kepadanya!"
"Ibu,
apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman? Mengapa Ibu tidak
menghajarnya?" Keng In bertanya kepada ibunya.
Lulu tidak
menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah lepas
dari wajah Suma Han.
Suma Han
menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong. "Berdirilah, mari kita
pulang." Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil burung
garuda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan cepat
ke tempat itu, lalu meluncur turun di depan Suma Han.
"Lulu,
aku pergi..."
Lulu tidak
menjawab, hanya mengangguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat memandang
lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan
sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung
itu terbang cepat meninggalkan pulau, diikuti pandang mata Lulu dan Keng In.
"Ibu,
mengapa membiarkan mereka pergi?"
Lulu
menunduk, tidak menjawab, hatinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia
membiarkan Suma Han pergi? Membiarkan harapan dan kebahagiaannya terbawa pergi
bersama orang yang dicintanya itu?
"Toanio,
mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di antara
empat kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini telah siuman
dari pingsannya dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung
garuda yang terbang pergi dari tempat itu.
Lulu
memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita
mengalahkan dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri? Alangkah rendah dan
memalukan. Lain kali masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku!
Musuhku...!"
Akan tetapi
Lulu cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki
istananya. Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini
melempar diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya yang
menangis itu di atas bantal.
"Koko...
ahhhh, Han-koko... engkau masih lemah seperti dulu...! Kalau engkau tidak mau
berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu... kau tunggu
saja...!"
********************
Mengapa Lulu
tiba-tiba menjadi majikan Pulau Neraka? Agar tidak membingungkan, sebaiknya
kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya, Wan
Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman
dari Hoa-san).
Semenjak
Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, kemudian
ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Suma Han dengan ratap
tangis dan merasa betapa semangatnya dan seluruh kebahagiaan hatinya terbawa
pergi oleh kakak angkatnya itu. Semenjak itu, dia hidup menderita kesengsaraan
batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak angkatnya itu pria
yang dicintanya dan betapa dia telah melakukan kesalahan yang besar dalam
hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat.
Dia suka kepada
Sin Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi
dia tidak dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini
dia merasa yakin bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak
mungkin diganti dengan pria lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan
dengan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya
mempergunakan kebijaksanaan dan berusaha untuk mencinta suaminya, melayaninya
sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik. Namun, sampai dia melahirkan
seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat, tidak dapat
melupakan Suma Han, bahkan makin berat penderitaan batinnya yang menjerit-jerit
ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga maklum dan merasa
akan keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat lagi, Lulu membawa
anaknya pergi meninggalkan suaminya.
Dengan niat
hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia
melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan tetapi Lulu sekarang
tidak seperti dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han)
melakukan perjalanan, kini setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat
dan dia dapat melakukan perjalanan cepat.
Betapa pun
juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang
tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan
mengira-ngira saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika
meninggalkan Pulau Es bersama Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan,
maka di luar tahunya, dia tersesat sampai memasuki daerah Khitan!
Pada suatu
pagi, dia melihat sebuah tanah kuburan yang luas, tanah kuburan yang megah dan
terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu adalah tanah kuburan
keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang kakek bongkok yang
lihai bertanding melawan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai
sorban. Ia teringat akan penuturan suci-nya, Puteri Nirahai, tentang penjaga
kuburan keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini
melihat kakek bongkok itu dan keadaan tanah kuburan, ia segera menduga bahwa
tentu inilah kuburan keluarga Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa
berpihak kepada kakek bongkok.
Setelah
menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu mencabut pedangnya dan
meloncat ke gelanggang pertempuran sambil berseru, "Apakah Locianpwe yang
bernama Gu Toan?"
Kakek
bongkok itu sedang didesak hebat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai,
namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. "Bagaimana engkau bisa
tahu?"
"Suci
Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoi-nya, murid Subo Maya."
"Ahhh...
kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari
sini. Bawa pusaka-pusaka itu."
Lulu
tertegun dan bingung. "Pusaka apa...?"
"Dessss!"
Tubuh Gu Toan terguling-guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh
tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya
menyemburkan darah segar.
Melihat ini
Lulu menerjang dengan pedangnya, namun orang India itu mendorongkan tangan kiri
ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!
"Jangan
bantu aku! Lekas kau buka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua
pusaka dan bawa pergi. Cepat...!" Kakek Gu Toan kembali berkata dan
menerjang orang India itu dengan nekat.
Kakek itu
mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh Lulu, akan tetapi agaknya
tidak dimengerti oleh kakek India itu yang menjadi marah dan mengamuk dengan
kaki tangannya yang panjang-panjang.
Maklum bahwa
menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting dari pada nyawa kakek bongkok itu,
apa lagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka
yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat meloncat dan meneliti batu
nisan kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia
mencari karena batu nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada
di tengah-tengah. Cepat dia menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah
kuburan dan dengan tenaga sinkang dia mendorong batu besar yang berada di situ.
Batu tergeser dan di bawahnya terdapat sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah
peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya. Ketika ia meloncat bangun, ia
melihat Si Bongkok kembali terhuyung-huyung terkena pukulan lawannya yang
lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok berseru.
"Lekas
pergi! Lekas lari... pusaka itu menjadi milikmu...!"
Mendengar
ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan keselamatan anak di
gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Beberapa hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia mendapatkan
kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling
Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu
silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-kiam-hoat dan
Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah kitab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula
sebuah kipas, kipas pusaka milik mendiang Suling Emas!
Lulu
teringat bahwa pusaka Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi
girang sekali dan sambil melanjutkan perjalanannya mencari Pulau Es yang
ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu itu. Karena dia
telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada dasarnya dia memiliki
sinkang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu cepat
dapat dikuasainya.
Akhirnya,
setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan menempuh segala macam kesukaran,
tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat
dahulu ketika mereka meninggalkan Pulau Es. Tempat itu sunyi sekali, tidak ada
manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun dan sabar Lulu
membuat sebuah perahu dari batang pohon.
Biar pun dia
memiliki tenaga yang hebat, namun sebagai seorang wanita yang tidak pernah
melakukan pekerjaan berat, tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu
berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu meluncurkan perahunya ke tengah lautan dan
hanya mengandalkan dayung dan kedua tangannya untuk mendayung perahu, pergi
mencari Pulau Es, atau lebih tepat lagi, pergi mencari Suma Han, laki-laki yang
dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma Han dan hidup di samping
pria ini, lebih baik mati saja!

Dalam
pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah ketidak
mampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi
Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat dari pada ketika dia melakukan perjalanan
darat. Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang-ambingkan
perahu hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu Lulu hanya dapat menangis,
mendekap puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta
pertolongan dari orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan
belum menghendaki dia mati, biar pun badai seperti itu, Lulu dan puteranya
tetap selamat!
Karena
serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah
tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia
tidak tahu lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari
tengah lautan. Dia tidak takut kelaparan karena dengan kepandaiannya, mudah
saja baginya untuk menangkap ikan dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak
kurang karena kini selain air hujan, ia dapat pula minum dari gumpalan es yang
kadang-kadang terdapat di atas permukaan air laut. Hanya menghadapi amukan
badai, dia benar-benar tidak berdaya dan hanya mampu menangis, menyebut-nyebut
nama Suma Han.
Pada suatu
pagi, tiba-tiba dia mendengar suara melengking di atas perahu dan betapa
kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan
di atas perahu sambil mengeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba
burung itu menyambar ke bawah, agaknya hendak menerkam Keng In yang berada di
atas papan perahu.
"Prakkk!"
Dayung di tangan Lulu hancur, akan tetapi burung itu pun terpental dan terbang
ke atas sambil memekik marah.
"Keparat
jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau
berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki-maki.
Dia
menyambar Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti
itu dia ikat kuat-kuat di punggungnya, tangannya mencabut pedang, siap menghadapi
burung rajawali yang agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas
perahu kecil.
Burung
rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya.
Lulu mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh
tidak disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pandai sekali
bertempur, karena kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing
menangkis sambil mencengkeram.
"Crakkkk...
aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang.
Kuku jari
kaki kiri burung itu patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki
kanannya berhasil merampas pedang dan melukai sedikit lengan tangan Lulu!
Sambil terbang berputaran, burung itu memekik-mekik kesakitan dan juga saking
marahnya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke dalam laut, kemudian ia siap
untuk menyerang lagi.
Biar pun
marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik.
Dilolosnya sabuk sutera dari pinggang dan begitu burung itu menyambar turun,
Lulu menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung
sabuk dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas mengayun
dirinya dengan sabuk itu. Di lain saat, Lulu telah duduk di atas punggung
rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat sehingga leher burung itu tercekik!
"Menyerahlah!
Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!" Lulu
membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, sedangkan tangan
kanannya menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung.
Burung itu
meronta-ronta, berusaha memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki
punggungnya, namun Lulu lebih cepat lagi menghantam kepala burung itu dengan
telapak tangan kiri. Setelah burung itu megap-megap hampir kehabisan napas,
Lulu mengendurkan cekikannya dan kembali membentak.
"Hayo
terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!"
Setelah
beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa
dia telah bertemu makhluk yang lebih kuat, maka sambil mengeluh panjang ia
tidak meronta lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara.
Lulu girang bukan main. Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah
mencari Pulau Es dengan menunggang burung raksasa ini dari pada naik perahu
kecil yang selalu dilanda ombak!
"Eh, Tiauw-ko
(Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang telah bersahabat. Tolonglah
terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?"
Akan tetapi
burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara? Kalau dia mengalami kesukaran
dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka biar
pun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis
dia terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada waktu
itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Biar pun
para penghuninya memiliki ilmu kepandaian yang lihai, namun merupakan keturunan
orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin
mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada
waktu itu, yang menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya
tinggi sekali. Seorang di antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin
pertama sedangkan lima orang lain menjadi pembantu-pembantunya.
Karena hidup
terasing, keadaan mereka lebih menyerupai kehidupan orang-orang yang masih
biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya terbuat dari pada kulit-kulit
binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi,
bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf
sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan
ratusan tahun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Ketika Lulu
melihat burung yang ditungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam yang
kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, "Tiauw-ko, itu bukan Pulau
Es! Pulau Es kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau keliru memilih
tempat!"
Akan tetapi
rajawali yang tidak mengerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan
tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat
bangunan-bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin
sekali penghuni pulau di bawah ini akan dapat memberi keterangan tentang Pulau
Es, dan siapa tahu kalau-kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka
mengantar dengan perahu. Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya
ini pun amat berbahaya!
"Turunlah!
Turun ke tempat orang-orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan
burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul
lehernya. Anaknya mulai menangis.
"Diamlah,
Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang..." Lulu menghibur
dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.
Akan tetapi
betapa kaget dan herannya ketika burung rajawali sudah terbang rendah, ia
melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam
warnanya, tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan
kuning! Akan tetapi karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu
melompat turun dengan gerakan ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung
rajawali yang merasa punggungnya tidak ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang
ke atas membubung tinggi, masih memekik-mekik.
Orang-orang
yang aneh itu menghadapi Lulu dan memandang penuh perhatian. Enam orang kakek
yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang usianya
sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya kaku dan aneh, akan tetapi Lulu
masih dapat menangkap artinya.
"Toanio
siapakah? Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?"
Kini Lulu
yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es? Apa maksudmu? Aku
justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?"
"Kami
tidak tahu dan mau apa engkau mencari Pulau Es?"
"Aku
mau mencari sahabatku di sana!"
"Sahabatnya
di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini
memandang Lulu dengan geram.
Hal ini
mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini adalah orang-orang yang
membenci Pulau Es, entah apa sebabnya. Melihat mereka sudah siap-siap dengan
mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,
"Kalian
siapakah? Dan pulau apakah ini?"
Kakek itu
menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pulau Es. Pulau
ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu,
pasti kami akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!"
Hati Lulu
makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han)
telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biar pun dia merasa yakin bahwa kakak
angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang
lain! Sekarang setelah ia melarikan diri dari suaminya. Mengingat akan watak
kakak angkatnya itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu
mau menerimanya. Akan tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia
kelak akan dapat memperlihatkan bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia
akan menginsafkan kakak angkatnya itu! Apa lagi karena sekarang dia telah
menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas.
"Bagus!"
tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan
memimpin kalian untuk menyerbu Pulau Es!"
Terdengar
suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau katakan tadi
bahwa engkau hendak mencari sahabatmu di Pulau Es?"
"Benar,
akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian? Aku akan
memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai
dan beradab, tidak seperti sekarang ini!"
"Perempuan
muda, bicaramu takabur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja
mengangkat seorang pemimpin seperti engkau? Biar pun engkau datang secara aneh
menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm... agaknya
melawan orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!"
Semenjak
gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar
kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi tingkatnya di
sini?"
Kakek
bermuka kuning itu tertawa. "Aku!"
"Baik.
Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apakah aku cukup
berharga menjadi ketua di sini?"
Kembali
terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu
mengelus jenggotnya dan berkata, "Perempuan muda, engkau sungguh lancang.
Akan tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi
pemimpin. Aku orang pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu
saja engkau patut menjadi pemimpin."
"Bagus!
Kalau begitu, kau tunggu sebentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya.
Keng In,
anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis karena lapar, maka dia
lalu menyusui anaknya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan
heran. Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui karena Sang Ibu yang
sudah berubah warna kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun
sehingga anak-anak diberi makanan buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan
makanan lain.
Setelah
menyusui anaknya yang lantas tertidur saking lelahnya, Lulu meloncat bangun dan
menggulung lengan bajunya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang
sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,
"Engkau
hendak bertanding dengan senjata apa?"
"Perempuan
muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak bersenjata,
biarlah kuhadapi engkau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau
bersenjata pun, aku sanggup menghadapimu dengan tangan kosong!" Setelah
berkata demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan rantingnya di atas
tanah, kemudian kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.
"Bagus,
kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan seranglah!" Biar
pun Lulu mempergunakan kata-kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik
dan diam-diam dia waspada karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini
tentu memiliki kepandaian yang aneh pula.
"Perempuan
muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya
menyambar.
"Wuuuutttttt!"
Angin keras
menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat seperti telah
diduganya, orang ini memiliki tenaga sinkang yang hebat. Namun dia tidak gentar
dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping kakinya
menendang ke arah lambung lawan.
"Plakkk!"
Kakek itu
menangkis dan dia berseru kaget. Sama sekali tidak disangkanya bahwa perempuan
muda itu memiliki tendangan yang demikian hebat sehingga tangkisannya yang
dapat mematahkan balok itu ketika mengenai kaki terasa nyeri sedangkan wanita
itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu tidak bersombong kosong,
maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat setiap
pukulannya.
Lulu merasa
girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk mengukur tenaga dan
biar pun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bahwa sinkang-nya yang
dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga kakek ini. Maka dia
pun kini melawan dengan pengerahan tenaga, bahkan dia mulai mainkan ilmu-ilmu
silat baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas.
Berkali-kali
kakek itu berseru kaget dan heran ketika mengenal ilmu silat yang dasarnya sama
dengan ilmunya sendiri, hanya dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang
jauh lebih hebat dari pada kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan
Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah
ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-hoat, kakek itu berseru kaget dan
terdesak hebat.
Dia hanya
melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang menulis
huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar
biasa sekali, dan kuatnya bukan main sehingga angin pukulannya saja membuat dia
tergetar. Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan
Awan), yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang. Ilmu
ini mendasarkan pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat
huruf-huruf itu, coretannya sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan
tetapi kalau coretan-coretan itu dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya
bukan main!
Setelah
mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah ‘coretan’ tak tersangka-sangka
dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan
jari-jari yang lembut itu mengenai pangkal lengan.
"Cusss!"
"Aduhhhhh...!"
Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar darah.
Baju kulit harimau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh
jari tangan Lulu!
"Toanio,
tidak kusangka ilmu kepandaianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum kalah!
Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit
sekali kakek yang sudah terluka itu menyambar rantingnya lalu menerjang maju.
"Cuittt...
tar-tar-tar...!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata
lemas sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengancam kepala
Lulu dari empat penjuru!
Kalau saja
Lulu tahu bahwa sekali terkena ujung ranting itu dia akan menderita luka
berbisa yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya.
Untung dia tidak tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini
sambil berusaha merampas ranting!
Akan tetapi
tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk
menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah
meledak lagi berubah lemas menyambarnya seperti lecutan cambuk. Diserang secara
aneh oleh senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk
sekali. Untung bahwa dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan
tubuh yang luar biasa sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan
sinar senjata istimewa lawan itu.
Para
penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi
bengong dan terbelalak kagum. Biar pun wanita itu terdesak, namun jelas tampak
oleh mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan
lebih tinggi tingkatnya dari pada kakek yang menjadi ketua mereka!
Payah juga
Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi penasaran dan marah
karena sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya
terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia
tidak mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat
sebuah senjata kipas peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari
ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara
kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan kipas itu, Teringat akan ini, dia
berseru. "Tahan senjata!"
Kakek itu
berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, namun
belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Karena dia menyerang terus
menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya memburu
dan hampir putus, mukanya sebentar merah sebentar pucat, membuat muka yang
berwarna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.
"Apakah
engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.
Lulu
meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu berdiri lagi
menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku
menyerah kalah? Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi
pembantuku, karena kalau aku menggunakan senjataku ini, engkau pasti akan
kalah."
"Senjata...
kipas...?" Kakek itu hanya mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan
sebagian besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selamanya, juga
mendengar pun belum, maka mereka memandang terheran-heran.
"Benar,
inilah senjataku saat ini!"
"Toanio,
engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang, kipas
hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk
menyilirkan badan dan menuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan kau
pergunakan sebagai senjata?"
"Lopek,
engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang tidak semestinya,
hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin sederhana
senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusakaku ini. Ingat, Kwan
Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"
Kakek itu
melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia menerjang
maju. Jantung Lulu tergetar hebat oleh suara lengkingan itu, maka tahulah dia
bahwa kakek itu mempergunakan khikang untuk mempengaruhinya. Hanya orang yang
sudah tinggi ilmunya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang
dimiliki binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa
atau harimau sehingga sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan
kakinya lemas tak mampu lari lagi.
Lulu juga
mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek itu
dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan
ternyatalah bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting
yang kadang-kadang menjadi pecut kadang-kadang menjadi tombak baja itu! Dengan
ilmu sakti Lo-hai-san-hoat, kipasnya dapat dikembangkan dan dikebutkan
menghalau ujung ranting, kemudian disusul dengan totokan-totokan mengunakan
ujung gagang kipas.
Kakek yang
sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dialah yang terdesak
karena rantingnya kalau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas
sehingga gerakannya kacau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, sedangkan kalau
dibikin kaku, tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan
perih.
Dengan
gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah
mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin
mempercepat kemenangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan
kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut
Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit
dan tidak dapat dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya
menggunakan tangan kiri memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke
depan dibarengi langkah kakinya, langsung mengirim pukulan ke arah dada Lulu.
Pukulan yang antep sekali karena kakek itu mengerahkan sinkang-nya!
"Hemmm!"
Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya menerima
kepalan lawan sambil mengerahkan sinkang yang dilatih di Pulau Es dan yang ini
telah mencapai tingkat tinggi.
"Desssss!"
Kepalan
tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan napas
memperkuat Im-kang. Mendadak kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya,
terhuyung ke belakang dan....
"Uaaakkk!"
dia muntah darah dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Keadaan
menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub
seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda
itu! Yang terdengar hanya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang
di depan dada, tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, sikapnya gagah dan
menyeramkan.
"Masih
adakah yang tidak mau menerima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?" Suaranya
dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga menggetarkan jantung semua
orang.
Para
penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima
orang kakek bermuka kuning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang
kakek ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan.
Perlahan-lahan kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang
kepada Lulu, kemudian ia berlutut dan berkata,
"Mulai
saat ini, Toanio adalah pemimpin kami!"
Mendengar
ini, lima orang kakek muka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua
penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.
"Toanio...!"
"To-cu...!"
Lulu
tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku
menjadi ketua. Aku berjanji akan memimpin kalian dan menurunkan ilmu sehingga
tidak saja kalian akan memperoleh kemajuan, juga akan menjadi penghuni Pulau
Neraka yang akan menggemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan
untuk aku dan anakku."
Demikianlah,
mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru,
menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan
pembantu-pembantunya yang pandai untuk keluar pulau dan mencari bahan pakaian
untuk mereka semua, mencari kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya
manusia-manusia beradab.
Dia
menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat kitab dia
simpan sebagai kepandaian pribadinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari
ilmu keturunan penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sinkang dengan minum
racun-racun tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah
mencapai tingkat tertinggi, dalam beberapa tahun saja wajahnya berwarna putih
kapur! Juga dia mendidik Keng In dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini
menjadi manja. Burung-burung rajawali juga ia taklukkan sehingga dapat
dipergunakan untuk binatang tunggangannya.
Kemajuan
yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengutus
pasukan-pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan
orang-orang kang-ouw dan mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan
yang menakutkan.
Ketika
puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat untuk keperluan
penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang
anak perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan
menangkap Kwi Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan
tetapi karena merasa belum cukup kuat, ia selalu menunda.
Dari
penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa Suma Han telah menjadi majikan
Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak buahnya, banyak pula terdapat
wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau Es seolah-olah
merupakan sebuah kerajaan kecil. Mendengar ini, makin sakit rasa hati Lulu
karena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya.
Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup bahagia di
Pulau Es? Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika ia
memancing Suma Han sehingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke Pulau
Neraka, mengalahkan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih selemah
dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, tetapi pria itu tidak memperlihatkan
kejantanan, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan
seperti juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!
Herankah
kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya
berjanji untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, kemudian
mengecewakan hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagiaannya? Apa lagi
ketika dia mendengar bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan
Nirahai, suci-nya. Dia akan memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai.
Sekarang dia tidak takut terhadap suci-nya yang lihai itu, bahkan dia pun tidak
takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu
dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapa pun juga! Rasa kemarahan yang
bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan membuat
majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas
dengan bantal masih basah air mata!
***************
"Siuuuutttt...
byurrrr!"
"Lihat,
Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis cilik yang
berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil
menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas
lautan.
"Hemmm,
yang manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Haiii, Ciangkun, suruh
dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!" kata laki-laki berusia tiga
puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di
atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda
bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang
demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang
pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang
berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang
menumpangi tiga buah perahu lain. Ada pun gadis cilik berpakaian merah yang
berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang
bernama Milana.
Atas
perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti
para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran
itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana
berseru, "Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!"
"Hmmm,
agaknya dia sudah mati...!" Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak
laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa
lagi.
Memang
itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya
dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan
cepatnya, Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga
menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang
pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh
tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan
dia tidak akan tertolong.
Kepala
pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali
meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat
sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari
pingsannya. Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada
di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya
itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya
dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
"Brukkkk!"
Keranjang
yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal
Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar,
bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit
berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut
dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan
matanya.
"Sungguh
ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam
sebuah keranjang?"
Suara yang terdengar
asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan
kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang
laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu
berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia
memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak
jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa
keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini.
Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
"Namaku
Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas.
Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke
sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan
terima kasihku."
Sejenak
semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak
ini terlalu aneh, apa lagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap
sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama
sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah
mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan
tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan
mengangkat kedua lengan ke atas.
"Ajaib...!
Ajaib...! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk
bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa
terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar
dipercaya!"
Bun Beng
berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah
menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak
terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu
dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang
bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka,
agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita
banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja,
maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
"Saya
sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam
keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya
tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena
ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya
jatuh ke sini."
Pangeran
Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh
selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih
kurang percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm, engkau tentu kaget dan
lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh
istirahat di bagian belakang kapal."
Bun Beng
lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan
serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali,
tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng
terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang
sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi.
Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang
biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi. Akan tetapi, bagi Bun
Beng yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu
bukanlah nyanyian kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam
kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan tubuhnya
yang masih terlentang.
Betapa ajaib
alam dunia
segala
sesuatu bergerak sewajarnya
menuju ke
arah titik sempurna
matahari
memindahkan air samudra
memenuhi
segala kebutuhan di darat
dibantu
hembusan angin yang kuat
setelah
melaksanakan tugas mulia
air kembali
ke asalnya
semua itu
digerakkan oleh cinta
apa akan
jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?
Bun Beng
mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata
seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu
artinya.
"Gak
Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?"
Bun Beng
terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu
bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan
anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan
tubuh.
"Eh, apa
engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melompat berdiri dan
bertanya.
Anak
perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang
mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid
Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu,
tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
"Apa
kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"
"Kalau
tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah
bangun dari tidur?"
"Bunyi
pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biar pun sedikit,
gerakan tubuhmu terdengar olehku."
Bun Beng
bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai
bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa.
Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sinkang! Teringatlah ia
akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang
perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini
bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau
anak laki-laki Pulau Neraka itu! Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak
kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak
memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan
ini memiliki kepandaian.
"Nyanyianmu
tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak
perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil
sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat
dikenal sebagai seorang yang lebih pandai dari pada anak itu!
Bun Beng
merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama
sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya. "Bagian
manakah yang kau katakan ngawur?"
"Semuanya!
Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya
kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung
engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang
cinta?"
Mata itu
bersinar lembut ketika menjawab, "Gak Bun Beng, ketika aku diajar
menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan
aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang
murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan
akan tiada! Segala macam benda dan makhluk, baik yang bergerak mau pun yang
tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat dari
pada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"
Kembali Bun
Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar
dari mulut seorang anak perempuan yang masih... ingusan! Ia penasaran dan
menyerang lagi.
"Engkau
hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar
mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"
Kini anak
itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangkan perasaan
kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih,
sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah
kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan
mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara
yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua
itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau
sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidur pun,
semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih
sayang? Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air
menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga.
Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buah pun akan jatuh sendiri dan
bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak
telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta
kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?"
Kini Bun
Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
"Eh...
oh... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan
kepadamu akan semua pengetahuan itu?" Ia berhenti sebentar lalu menengok
ke arah bilik perahu besar. "Tentu... laki-laki yang berpakaian mewah
tadi, ya?"
Akan tetapi
anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang mengajarkan semua
itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan
tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar sering kali
dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu
menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu... Ibu selalu mengucurkan air
mata kalau menyanyikan lagu itu."
Bun Beng
tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang
begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula. "Benarkah? Bagaimana
nyanyian itu?"
"Sebetulnya
tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang
aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri
melalui kekuasaan cinta kasihnya."
"Aihh,
mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam..."
"Burung
rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang
membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau
kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau
tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"
Bun Beng
terdesak. "Baiklah... baiklah..., engkau benar. Akan tetapi, orang
sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu
sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti
artinya, tentu aku mengerti," Bun Beng membusungkan dadanya karena kini
timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis
cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya,
berarti dia menang!
Anak
perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik.
Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa engkau
seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah
bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapa pun juga tentang nyanyian Ibu
ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali
kepadaku."
"Engkau
takut dimarahi?"
"Tidak.
Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu
menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."
Keharuan
meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh
anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah
cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka
dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan
ludah, "Engkau... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku
bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang."
Anak
perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak
akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!"
Cinta kasih
menguasai alam semesta
suci murni
dan penuh mesra
namun
mengapa hatiku merana...
jiwaku
dahaga akan cinta...?
aihhh...
haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta...
cintaku...
mengapa
engkau begitu tega...?
Bun Beng
berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia
melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang
kini terisak-isak.
"Engkau...
engkau menangis...?" tanyanya, suaranya serak.
Anak
perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk, "Aku... aku teringat
kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak
mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."
Bun Beng
mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata, "Ahhh, aku mengerti!
Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh... maaf, tentu
mencinta Ayahmu. Di mana Ayahmu?"
Anak
perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh... agaknya engkau
benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku, Ibu selalu
kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah
adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan di
mana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak
tentu akan bertemu dengan Ayah."
"Nah,
benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi!
Eh, siapakah namamu?"
"Namaku
Milana."
"Bagus
sekali!"
"Apakah
yang bagus?"
"Namamu
itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"
Milana
menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diri keturunan bangsawan,
biar pun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di
Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan
tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan
menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar
ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun
Beng."
"Ibumu
tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan
mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula."
"Benar,
keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi
menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat
tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali
kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti
menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi,
bukan manusia biasa..."
"Milana...!"
Mereka
terkejut dan menengok. "Paman memanggilku." Anak perempuan itu
berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat
kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal
di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran
Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik kapal.
Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum
aman."
"Apakah
yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.
"Kita
akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat
sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan
itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup
dan Pangeran itu meloncat ke luar.
"Mau
apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik Milana bertanya kepada Bun
Beng.
"Hm,
namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan
membunuh kita."
Mata yang
bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
"Mengapa?
Bukankah mereka itu juga manusia?"
Bun Beng
tersenyum pahit. "Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh
ke tangan manusia, Milana. Tidak ada makhluk di dunia ini yang sejahat,
sekejam, dan seganas manusia."
"Ohhh...!
Akan tetapi... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."
"Kalau
begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau
berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta
kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya
melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu.
Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih
suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati
sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana dari
pada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!"
"Aku...
aku tidak pernah bertempur!"
"Kulihat
kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"
Milana
menggeleng kepala. "Aku... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan
ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"
"Dan
kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"
"Lebih
baik dibunuh dari pada membunuh."
Bun Beng
membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. "Wah-wah-wah,
bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi
kepadamu?"
"Kata
Ibu untuk menjaga diri dari mara bahaya."
"Nah,
sekarang mara bahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"
"Tapi
dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!"
"Mari
kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku
yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."
"Kau...
kau berani membunuh orang?"
"Tentu
saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"
"Bun
Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"
Bun Beng
tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman
manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!" Dan
memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya
senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua
orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa
empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah
bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih
dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi,
banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan
terluka atau tewas...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment