Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 06
Akan tetapi,
jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk
membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal
kewalahan karena selain menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka
harus memadamkan api yang mulai membakar di sana-sini sambil merobohkan para
bajak yang membakari perahu.
"Paman
Pangeran...!" Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak
laut.
Melihat
salah seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang
Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan
jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia
Sam-po-cin-keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang
menggunakan tenaga sinkang yang dipusatkan pada telapak tangan.
"Bukkk!"
Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh
Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya
muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan!
Melihat ini
Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, kemudian ia berteriak, "Lekas kau
selamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!" Sambil
berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para
bajak.
Bun Beng
mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan celakalah
mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia
menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang
terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal
mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan.
Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar
perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia
menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul
perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat
jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang terikat di
pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu
besar yang mulai terbakar.
"Paman...!
Paman Pangeran...!" Milana berteriak dan menangis.
"Milana,
dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri."
"Tapi...
tapi Paman Pengeran..."
"Dia
seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andai kata kita
menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu
sebelum terlihat oleh bajak-bajak itu."
Dengan sepenuh
tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah
asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu besar pamannya sambil
menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran
ketika tiba-tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut
melihat dua buah tangan manusia muncul dari air dan memegang pinggiran perahu
kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah
seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak
terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
"Lepas!"
Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!
"Aughhhh...!"
Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul.
Dari bibir
perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan kanan yang
masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat perahu kecil
menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman
dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik
kuat-kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke air!
"Bun
Beng...!" Milana menjerit.
Bun Beng
marah sekali. Biar pun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia
menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya.
"Plakkk!"
Dayungnya
menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong
mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau dapat
diterkamnya, anak itu tentu akan dibunuhnya.
Bun Beng
sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak
cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu
sambil memaki-maki berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang
tentu saja Bun Beng tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia
bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang
yang masih berada di air itu.
"Heh-heh-heh!"
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa meloncat
ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana
Bun Beng dan Milana berada terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu
beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan
Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi
pinggiran perahu erat-erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan
terbelalak.
"Heh-heh-heh!"
Tiba-tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk meluncur lagi ke bawah dengan
cepat sekali.
"Prakkk!"
Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah
berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi
melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah.
"Ihhhh...!"
Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil
menangis.
"He-he-he,
takut? He-he-he!" Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali
melihat Milana ketakutan. "Aku akan membikin kalian lebih takut lagi,
ha-ha-ha!" Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya,
kakek itu mendayung perahu dan... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar
biasa!
Bun Beng
memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua
kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan
jenggot putih riap-riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan
tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya,
semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan
kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya!
Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka
dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka.
Dugaan Bun
Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit
kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah
ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan
Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain
sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali
melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak
dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak
menakut-nakuti kedua orang bocah itu.
Perahu itu
meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja
dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam, ada
kalanya ujung yang diduduki dua orang anak-anak itu terangkat tinggi kemudian
dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk
Bun Beng yang berpegang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
"He-heh-heh-heh,
pemandangan indah...! Indah...!" Kakek itu terkekeh-kekeh ketika perahunya
meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran.
Biar pun
keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat membuat mereka
terlempar ke luar, namun Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan
pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan
perlawanan mati-matian tetapi perahu mereka telah terbakar sebagian.
"Kakek,
apakah engkau tidak kenal takut?" Bun Beng tiba-tiba bertanya.
"Aku?
Takut? Ha-ha-ha-ha! Heh-heh--heh!"
Sambil
berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah perahu yang
terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu
yang bernyala-nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk
bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat
betapa perahu terbakar itu seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api
hendak menelan perahu mereka.
"Celaka...!"
teriak Bun Beng.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh!"
Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa
sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan
dengan perahu terbakar.
"Ha-ha-ha!
Aku takut?"
"Memang
beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya
bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang
demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku berani memastikan bahwa
engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di
atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing-kencing di
celanamu, kencing kuning pula!"
Tiba-tiba
kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak. "Memang kencingku kuning!
Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat
saja betapa mudah aku membasmi mereka!"
Setelah
berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya telah melesat ke
arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya
masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja
hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong dayung
dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian
secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa
menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung
terus hingga mendadak datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya.
Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung
untuk mencegah perahunya terguling.
Milana tidak
menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia
membantu Bun Beng mendayung. Kini melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia
membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak
kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya dari
pada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara
keras untuk mengatasi suara angin ribut.
"Milana,
engkau tidak takut?"
Milana
memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.
Bun Beng
menjadi heran. "Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?"
Milana
membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun
Beng berteriak, "Bicara yang keras, aku tidak dengar!"
Milana
tertawa, "Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!"
Bun Beng
mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar-benar amat luar biasa,
"Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?"
"Tadi
bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman manusia
saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andai kata ombak-ombak
ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!"
Bun Beng
bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar hampir terguling
dan terdengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan
mengomel. "Bocah ajaib dia ini!"
Setelah
ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan
bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun
dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas
pasir.
"Di
mana kita ini?" Bun Beng bertanya.
"Aku
pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan
dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga saja Paman
Pangeran dan para pengawal selamat."
"Jangan
khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak
akan terbasmi dan mereka selamat."
Tiba-tiba
Milana tertawa geli.
"Eh,
kenapa tertawa?"
"Kakek
itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan
tertarik sekali kalau kelak kuceritakan."
"Tentu
saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka."
"Ihhh...!
Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia-manusia aneh
seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?"
"Kulit
tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau
Neraka."
"Eh,
betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng."
"Tidak,
biasa saja. Mari kita pergi."
"Engkau
hendak ke mana?"
"Eh,
bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian...
kemudian... hem... aku tidak tahu ke mana nanti."
"Eh,
bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?"
"Pulang
ke mana?"
"Ke
mana lagi? Ke rumahmu tentu!"
"Aku
tidak punya rumah."
Milana
menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. "Tidak punya rumah?
Dan Ayah Bundamu...?"
"Aku
tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua."
"Aihhhhh...!"
Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang
mendalam. "Kasihan engkau, Bun Beng. Dan kau tidak mempunyai
saudara?"
Bun Beng
merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa
kasihan kepada dirinya sendiri! "Aku tidak punya siapa-siapa, apa salahnya
dengan itu?" Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang.
"Dia itu pun tidak punya siapa-siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak
punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar."
"Ahhhh,
burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di
sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun
Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku
menjadi Pamanmu..."
"Sudahlah,
Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita
lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada
penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan
jalan."
Mereka
berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan
diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan
tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan
batu-batu besar dan tidak nampak dusun di situ.
"Begini
sunyi... tidak ada tampak rumah orang...," kata Milana kecewa.
"Nanti
dulu! Lihat di sana itu. Ada orang... eh, malah ada orang menunggang binatang
yang besar luar biasa!" Milana menengok dan ia pun berseru girang,
"Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah! Sunguh luar
biasa!"
"Gajah?
Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?"
"Benar.
Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi
orang itu."
"Hebat!
Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita
lihat!"
Mereka
berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika mereka sudah tiba
dekat, tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut
bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka
tidak mampu mengeluarkan suara.
Akhirnya
Milana berbisik dengan napas tertahan, "Lihatlah..., dia... kakek Pulau
Neraka itu..."
"Ssstttt...!"
Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang. "Jangan
ribut... orang yang berkaki tunggal itu... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau
Es... dan itu muridnya...."
Memang amat
mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka
kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan seorang
kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri memegang
sebuah senjata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit,
menunggang seekor gajah yang amat besar.
Akan tetapi
kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan
kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan
jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi
cabang untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua
batang bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si
Kakek Bersorban!
Mereka
agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar
Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak
perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang garuda yang
berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi Hong,
murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi
karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia
tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya
itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan
ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka
dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam menghampiri
dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang
gajah dan kakek muka kuning yang gerak-geriknya lucu dan lihai!
"Heh-heh-heh!"
Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan kedua bambu yang telah
menyambung kakinya. "Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa?
Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar-benar seorang sahabat
dan aku akan mengampunimu!"
"Sadhu-sadhu-sadhu!"
Kakek bersorban itu berkata lirih. "Berbulan-bulan dari negara barat
sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah
tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia
bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan
pergunakan kepandaian yang kau pelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal
yang tidak baik."
"Heh-heh-heh!
Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang
merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu
kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kau berikan, engkau tidak baik dan terpaksa
kurampas, heh-heh-heh-heh!"
"Aahh,
betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama
sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber
segala ketidak baikan."
"Waaaah,
cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejanganmu. Hayo
turun!"
Kakek muka
kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang yang kanan
menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi kakek itu menekuk
tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
"Sadhu-sadhu-sadhu,
terpaksa aku membela diri!" Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan,
dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat
menyambar dan biar pun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh
ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya
bergoyang-goyang.
Karena ia
memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia meiihat Suma Han yang berdiri
menonton dengan tenang. Setelah mendapat kanyataan bahwa orang Pulau Neraka itu
hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apa
lagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran.
Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang
tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel
batu dua kali.
"Trak!
Trak!"
Kakek muka
kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu
patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia
mengenal Pendekar Siluman yang biar pun belum pernah dijumpainya, akan tetapi
sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh
karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri
tanpa menengok lagi.
Melihat itu
Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak
ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh
kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor
burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari
bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam,
tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek
bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
"Ah,
gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?" Kakek itu mengeluh, kemudian
berkata kepada Suma Han. "Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah
aku."
Suma Han
menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek
itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah, "Gajah
itu... dia memang sudah sakit... dia menderita karena lelah... melakukan
tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku... ah, aku pun hampir mati akan tetapi
tugasku jauh dari pada selesai...! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah,
perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi... tadi terpaksa
aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhhh,
orang muda perkasa, sinar matamu menjadi bukti bahwa engkau bukan manusia
biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?"
"Kakek
yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es..."
"Hah?
Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, jika
engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba
akan mati tenteram!"
Suma Han
mengerutkan alisnya, "Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu
susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?"
"Aku
Nayakavhira... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis....
Adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Jika
terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa
manusia! Aku... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang Pedang
Iblis. Akan tetapi... aku tidak sanggup lagi... ahh, Pendekar Super Sakti,
engkau tolonglah aku..."
Kembali Suma
Han mengerutkan alisnya, "Bagaimana aku harus menolongmu,
Nayakavhira?"
"Senjataku
ini... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang
Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini
yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang... biarlah kelak kau
berikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang
Pedang Iblis. Kau bantulah aku... buatkan pondok, perapian... aku tidak kuat
lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini..."
Suma Han
mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia
tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, kini akan mendatangkan
urusan begini hebat!
"Aku
suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang."
"Aku
adalah ahli membuat pedang... sama seperti nenek moyangku.... Aku yang akan
memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah... Taihiap... demi... demi
peri kemanusian!"
"Kakek
yang baik, biarlah aku membantumu!" Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju
mendekati kakek itu.
Kakek
bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran, Suma Han
menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu akan tetapi karena
terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum menanya dua
orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini melihat sikap anak
laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak,
ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka
bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri
berlutut.
"Siapakah
engkau?"
"Paman,
dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali.
Bocah dalam keranjang!"
Suma Han
makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang
putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang
mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki-laki yang membantunya dengan memukul
rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak
itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang
mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India
membuat pedang. Bukan main!
"Siapa
namamu?" tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia
melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini.
"Saya
adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai
Fen-ho di lembah Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san..."
Suma Han
benar-benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri. "Kau...?"
"Benar,
Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng."
Suma Han
menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar amat luar biasa
pertemuan ini! "Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?"
"Suhu...
telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!" Ucapan ini
dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.
"Sadhu-sadhu-sadhu...,"
tiba-tiba kakek itu berkata. "Bhong Ji Kun itu adalah Koksu Pemerintah
Mancu... dia... dia itu adalah muridku..."
"Kau...!"
Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
"Bun
Beng, kau jangan lancang!" Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng
menjatuhkan diri berlutut lagi.
"Taihiap...
teecu harus membalas kematian Suhu!"
"Hmmm,
sungguh-sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam
menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan
orang tanpa pertimbangan lagi."
Sementara
itu, kakek tua itu menarik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan
anak ini! "Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di
samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan
untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah
engkau menolongku?"
Suma Han
tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng, "Bagaimana dengan
engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?"
"Teecu
sudah berjanji, tentu teecu penuhi!"
Suma Han
tersenyum. "Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak
perempuan itu, Bun Beng?"
Milana yang
sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata-kata Suma Han. Dia
sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar
dari Bun Beng bahwa laki-laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih
semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu
dari Pulau Es yang amat terkenal!
"Apa
engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?" tanyanya, suaranya
halus dan wajahnya berseri.
Suma Han
tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu.
"Benar, anak manis. Engkau siapakah?"
"Namaku
Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang
berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun
Beng."
Hati Suma
makin kagum kepada Bun Beng. Hemmm, biar pun putera seorang datuk sesat seperti
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk itu memperkosa Bhok Kim,
namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir batin yang baik. Tentu menuruni
watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang
perkasa itu.
"Marilah
kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang
anak ini."
Suma Han
memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di situ
dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan
pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan
mengumpulkan kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu
membutuhkan banyak sekali kayu bakar untuk membuat api yang sepanas-panasnya.
Berhari-hari
lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk kakek
Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki
pondok yang panasnya luar biasa karena api besar dinyalakan siang malam tak
pernah berhenti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar,
sedangkan Kwi Hong bermain-main dengan Milana yang berwatak halus dan sebentar
saja sudah dapat menarik rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar.
Kedua orang
anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa
tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya
Milana berwatak halus, lemah lembut dan pendiam, hati-hati dalam bicara agar
jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Namun, berkat kehalusan budi
Milana yang pandai mengalah, mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun.
Di dalam
pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu
kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas
tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pondok itu tak
mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju
atasnya dan sibuk membakar senjata yang bentuknya seperti bulan sabit itu di
dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh,
tidak dapat membara. Kakek itu berkali-kali minta ditambah api karena kurang
besar sehingga setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu
habis sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani
berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!
Kakek
Nayakavhira mengeluarkan beberapa macam obat yang dioleskan pada logam putih
itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek
itu menjadi bingung dan prihatin sekali.
"Ya
Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?" Keluhnya berkali-kali sehingga Suma Han
menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali.
Sedangkan
batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil
dan menjadi pelayan Kang-thouw-kwi Gak Liat, masa logam ini dibakar dalam api
sampai lima hari lima malam belum juga membara? Teringat akan masa kecilnya, ia
teringat kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu
dia menjadi pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat
itu bekerja keras melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!
Ia teringat
akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi-yang Sin-ciang. Hwi-yang
Sin-ciang! Bukankah sinkang yang mukjizat dan yang sudah dikuasainya dengan
sempurna itu mengandung hawa panas yang mukjizat? Mengapa tidak ia pergunakan
untuk coba-coba? Dia memegang gagang senjata kakek yang aneh itu.
Senjata itu
terbuat dari pada baja yang aneh sebagai gagang berduri, ada pun ujungnya yang
berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan diolah menjadi pedang.
Suma Han mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sehingga wajahnya yang selama lima hari
lima malam berdekatan dengan api tidak berubah apa-apa, kini setelah
mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya, muka itu berubah merah. Dan
perlahan-lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!
"Kakek
Nayakavhira, aku berhasil!" teriaknya girang.
Kakek yang
sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya berseri!
"Hebat...! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!"
Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar.
Suma Han
tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi-yang Sin-ciang dan kini setelah logam itu
dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak
lama kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.
"Cepat
letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus
gagang senjataku."
"Membungkus
gagang?" Suma Han bertanya.
"Benar.
Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan
tipis sepanjang tiga setengah kaki. Cepat!" Suara kakek itu gemetar penuh
gairah.
Otomatis
Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biar pun dia bukan seorang pandai besi,
bahkan memegang martil dan menggembleng logam membara pun baru sekali itu
selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga
seratus orang dengan sinkang-nya yang hebat, maka tentu saja gemblengannya juga
amat kuat sehingga tak lama kemudian logam yang membara itu sudah menjadi lebar
tipis sepanjang tiga setengah kaki.
"Bagus!
Hebat...! Untuk menggembleng itu biar pun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat
kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu
beberapa jam saja. Benar-benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau,
Suma-taihiap. Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah
yang akan menggemblengnya membungkus gagang."
Kembali Suma
Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara, panasnya api
cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan tetapi kakek itu mengatakan
belum cukup. "Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar
mudah digembleng membungkus gagang, apa lagi tenagaku sekarang banyak
berkurang."
Pada
keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi
landasan sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira
yang dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar
sakti itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja, diam-diam Suma Han merasa
kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya membuat sebatang pedang pusaka!
Dalam menempa dan menggembleng ini, kakek itu bekerja seperti dalam semedhi
sehingga setiap tempaan merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang.
Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan penuh hormat.
"Bun
Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak.
Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak membutuhkan terlalu
banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!" Kwi Hong
menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi
kayu.
"Benarkah?
Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!" Bun Beng lalu duduk di
atas batu dan menyusuti peluhnya.
"Aku
akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!" Kwi
Hong lalu berlari-lari kecil meninggalkan Bun Beng.
Setelah
bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk bersandar batu disiliri
angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali sehingga tak terasa lagi ia
memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada di situ sejak
pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama itu
setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya membantu kakek itu membuat pedang
pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengantuk.
Entah berapa
lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan
terdengar suara Kwi Hong. "Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah
tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini
lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan tenaga. Minumlah!"
Bun Beng
merasa malas untuk bangun, tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk dan
ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya
bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan minuman ke bibirnya!
"Bun
Beng, lihat betapa indahnya bunga ini... indah harum kupetik untukmu..."
Tiba-tiba Milana menghentikan kata-kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi
Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap mesra.
Milana
memandang sejenak, lalu memejamkan mata, membuang muka, melempar kembang di
tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata.
Sambil melangkah pergi dia cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang
bergantung di bulu matanya. Anak perempuan ini sama sekali tidak mengerti
mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa setan cemburu
yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali hati wanita, telah
mulai menyentuh hatinya.
Dia hanya
merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang paling indah di
dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun Beng yang ia tahu tentu
sedang bekerja keras. Dengan hati penuh kegembiraan dia membawa bunga itu dan
berlari-lari mencari Bun Beng, membayangkan betapa girangnya Bun Beng menerima
pemberiannya, betapa anak laki-laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang
dengan matanya yang tajam dan tentu akan terpancing kata-kata pujian dari Bun
Beng kepadanya.
Dia tidak
pernah merasa bosan mendengar pujian-pujian dari mulut Bun Beng. "Milana,
engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!" dan sebagainya. Akan
tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika tiba di
tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng!
Milana
sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan Kwi
Hong yang dianggapnya seperti enci-nya sendiri, yang dianggapnya sebagai
seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun tahu bahwa
sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong memiliki kepandaian silat jauh lebih
tinggi dari padanya, bahkan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi dari
pada kepandaian Bun Beng! Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian
tidak enak menyaksikan sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?
Bun Beng yang
masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan mata
setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil
membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar memandang bunga
itu dan dia lalu sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi
minum.
"Terima
kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri," katanya sambil menerima cawan
minuman itu. Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan wajah berseri
ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum-minuman
sedap hangat itu di pagi hari.
"Eh,
mana dia tadi?" Kwi Hong bertanya sambil menengok.
"Siapa?"
Bun Beng pura-pura bertanya.
"Milana!
Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?"
"Ah,
aku tidak melihat dia," kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan,
meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang
tergeletak sunyi di atas tanah.
"Terima
kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali." Bun Beng mengembalikan cawan kosong
yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang
dinanti-nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan
pekerjaan yang lebih berat dari pada membuatkan secawan minuman!
"Bun
Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi."
"Ahh,
mengapa?"
"Pedang
pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu
mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek
Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau
diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil-panggil
tak kunjung datang."
"Dan
kita...?"
"Kita
harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang
selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?"
Bun Beng
berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat
Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana.
Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat itu begitu saja? Dia ingin
sekali pergi bersama Pendekar Siluman, tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak
perempuan itu. Lebih dulu dia harus mengantarkan Milana sampai dapat pulang ke
tempat tinggalnya, yaitu di Kerajaan Mongol.
"Aku
harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol," katanya.
Kwi Hong
tertawa. "Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan menunggang garuda,
sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak, itu?
Milana...! Milana...!"
"Aku di
sini...! Aku datang...!" terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu
datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena
panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya.
"Milana,
pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu mencari kayu
bakar lagi. Kita dapat bermain-main sambil menanti sampai Kakek itu selesai
menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!" Kwi Hong berlari
pergi membawa cawan kosong.
Bun Beng
memakai bajunya, kemudian mengambil setangkai bunga dari atas tanah, mencium
bunga yang indah itu sambil berkata, "Milana, terima kasih atas pemberian
bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati..."
Wajah Milana
berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.
"Kalau
sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma-taihiap," kata
Milana perlahan. "Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang sahabat yang
manis seperti Kwi Hong."
"Ah,
mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol," jawab Bun
Beng, tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.
"Biarkanlah,
aku dapat mencari jalan pulang sendiri."
"Tidak
Milana. Sebelum mengantarmu pulang, aku tidak mau pergi meninggalkanmu di sini.
Pula, kurasa Suma-taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung
garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, barulah aku akan suka ikut
dan belajar ilmu kepadanya."
"Bun
Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?" Milana bertanya, mengangkat
muka memandang dengan hati terharu.
Bun Beng
tersenyum. "Apa kau kira engkau kalah baik? Engkaulah yang bersikap amat
baik terhadapku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya seorang anak
sebatang kara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan
bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cinta kasih? Kalau
engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya manusia seperti inilah
yang paling pantas dicinta."
Percakapan
mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru-niru pelajaran filsafat, maka
tentu saja ‘cinta’ yang mereka sebut-sebut tidak ada hubungannya dengan cinta
antara laki-laki dan perempuan dewasa. Betapa pun juga, ada sesuatu yang aneh
terasa di hati mereka.
"Mengapa
begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?"
"Hemm,
entahlah. Mungkin karena engkau... manis sekali."
Milana makin
girang dan ia tersenyum, tidak tahu betapa Kwi Hong telah datang dan melihat
mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi
setangkai bunga indah, dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati
itu memandang dengan mata bersinar-sinar penuh iri dan cemburu! Kwi Hong
sendiri belum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa
disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng
dan Milana!
Namun Kwi
Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri mereka
dan berkata. "Nah, sekarang tiba waktunya kita bermain-main dan marilah
kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu
silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempelajari ilmu silat yang tinggi.
Gerakan kakimu amat ringan dan tanganmu cekatan. Marilah kita main-main dan
mengukur kepandaian masing-masing untuk menambah pengalaman dan
pengetahuan."
"Ah,
mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To-cu dari
Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang
sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku
tentu akan roboh!"
"Aihhh,
mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup
tinggi. Pula, kita hanya main-main dan hitung-hitung berlatih, tidak bertanding
sungguh-sungguh, mana perlu saling merobohkan?"
"Kwi
Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi
juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan dalam pertandingan,
mana bisa main-main lagi? Kepalan tangan dan tendangan kaki tidak mempunyai
mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku menggunakan ilmu yang kupelajari
untuk bertanding. Tidak, aku mengaku kalah!"
Kwi Hong
menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya ingin merobohkan
atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan Bun
Beng untuk mendapat pujian!
"Milana,
untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut mempergunakannya?" Ia
mendesak.
Bun Beng
yang sudah mengenal watak halus Milana merasa kasihan. Dia tidak menyalahkan
Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu senang
bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai
Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Milana yang sama sekali
berlawanan dengan ilmu silat itu, maka ia melangkah maju dan berkata,
"Kwi
Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu halus untuk
bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku
dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma-taihiap yang
sakti."
Dalam ucapan
ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya ingin menolong
Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi hati Kwi Hong tersinggung dengan
kata-kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa
wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat.
"Baiklah.
Mari!" Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke
arah dada Bun Beng!
Bun Beng
cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan Kwi Hong amat
cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang
amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi maka ia lalu
menggerakkan tangan menangkis.
"Dukkk!"
Kwi Hong
merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke belakang. Dalam
hal tenaga sinkang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan sinkang
istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri
itu menjadi penasaran, mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian
tinggi maka dia lalu menyerang terus dengan gencar.
Bun Beng
menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari
Siauw-lim-pai yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, Siauw Lam Hwesio. Akan
tetapi lewat belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap kali terpaksa
menangkis, dia terpental atau terhuyung.
"Wah,
Kwi Hong... aku menyerah kalah!" Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.
"Dukkk!"
Kembali Kwi
Hong merasa lengannya nyeri. Biar pun sinkang-nya lebih kuat, namun kulit
lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang selama setengah tahun hidup
seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran.
"Mengadu
ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, balaslah
menyerang, jangan mempertahankan saja!" Kwi Hong melanjutkan serangannya
lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali.
Karena
serangan bertubi-tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan
setengah sadar telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga
kitab Sam-po-cin-keng. Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan
kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke
arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya
sehingga anak perempuan itu terhuyung.
"Kau
hebat juga!" Biar pun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas.
Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau
kalah. Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia
tidak akan terkalahkan oleh anak-anak lain!
Bun Beng
menjadi sibuk sekali. Biar pun dia mainkan ilmu silat yang dipelajari dari
kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air panas di goa rahasia,
namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja, sedangkan isinya belum ia
mengerti benar. Apa lagi kini Kwi Hong benar-benar mengeluarkan kepandaiannya.
Ilmu silat yang dia pelajari dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan
anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja
serangan-serangannya amat hebat!
"Plakkk!"
Punggung Bun
Beng kena ditampar. Dia terhuyung, tetapi berkat semua penderitaan tubuhnya
yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis pukulan
susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mundur-mundur dan hanya mampu
mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mempunyai
keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak
berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!
"Kwi
Hong, sudahlah...!" berkali-kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun
Beng mulai terkena pukulan beberapa kali. Biar pun bukan pukulan yang
membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan
mengaduh.
Tiba-tiba
Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang
anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah! Apa lagi baru menerima
pukulan-pukulan seperti itu, biar pun diancam maut sekali pun dia pantang
menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah mengalah, akan tetapi karena
Kwi Hong agaknya bersikeras untuk merobohkannya, dia menjadi naik darah dan
kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat-dapatnya.
Biar pun
gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi Hong
sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba lemas itu hampir jatuh!
Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan
kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, akan tetapi hanya berhasil
menangkis serangan tangan kanan, sedangkan tangan kiri Kwi Hong dapat menotok
pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.
"Kwi
Hong, jangan lukai Bun Beng!" Tiba-tiba Milana yang sejak tadi
berteriak-teriak mencegah pertandingan sudah menerjang maju.
"Wuuut...!
Plakkk!" Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat
menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.
"Hemm,
kiranya engkau boleh juga!" Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena
menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah
kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana
yang cepat mengelak dan balas menyerang!
Kiranya anak
yang berwatak halus ini memiliki gerakan yang indah dan ringan sekali sehingga
pukulan-pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua. Betapa pun juga dia segera
terdesak hebat karena agaknya hanya dalam keringanan tubuh saja dia dapat
menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak. Biar pun
Milana bergerak dengan gesit, tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi Hong
yang mengenai pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.
"Kwi
Hong, kau terlalu!" Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong
mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.
"Bukkk!"
Paha Bun Beng terkena tendangan sehingga untuk kedua kalinya dia jatuh
tersungkur.
"Kwi
Hong! Apa yang kau lakukan ini?" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan
Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari
hati Kwi Hong, terganti rasa takut. "Paman, kami hanya main-main...."
"Main-main?"
Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan mengebut-ngebutkan pakaiannya
yang kotor. Juga Milana telah bangun dan memandang dengan wajah tenang.
"Karena
menganggur, kami berlatih silat," kata pula Kwi Hong.
"Hemm..."
Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik.
Melihat
sikap pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat
berkata. "Kami hanya berlatih."
Milana juga
berkata, "Kwi Hong hanya melatih saya, Suma-taihiap."
Suma Han
mengerutkan keningnya, wajahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak
seolah-olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu
meloncat dan tubuhnya berkelebat memasuki pondok.
Kwi Hong
memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh penyesalan
berkata, "Maafkan aku, kalian baik sekali."
Tiba-tiba
terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat
keluar, tahu-tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan
sinar marah ketika ia menegur.
"Kalian
tidak melihat orang datang ke pondok?"
Tiga orang
anak itu memandang Suma Han dengan heran, lalu menggeleng kepala. Suma Han
menghela napas panjang. "Kalian hanya bermain-main saja, sedangkan
sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok."
Tiga orang
anak itu terkejut bukan main, "Pek-eng dibunuh...?" Kwi Hong bertanya
dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.
"Mati
terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang
berilmu tinggi. Dan selagi kalian main-main, pedang pusaka dicuri orang."
"Kakek
Nayakavhira...?" tanya Milana.
"Dia
telah meninggal dunia."
"Ohh!
Dia dibunuh?" Bun Beng berteriak kaget.
Suma Han
menggeleng kepala. "Dia mati selagi bersemedhi. Sungguh celaka, ada orang
berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan
main-main, bantu aku pasang mata, lihat-lihat kalau ada orang. Aku akan
memperabukan jenazah Nayakavhira." Suma Han lalu membakar pondok itu
setelah menumpuk sisa kayu bakar ke dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek
yang masih bersila itu di atasnya.
Pondok
terbakar oleh api yang bernyala-nyala besar. Suma Han berdiri tegak memandang,
dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka
sangka terjadi hal-hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda
terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat sedemikian susah payah itu
dicuri orang dari pondok tanpa mereka ketahui sama sekali.
Timbul
penyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andai kata dia tidak memaksa Bun
Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat melihat orang
yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka. Andai kata mereka bertiga tidak
dapat mencegah pencuri itu melarikan pedang, sedikitnya mereka dapat
menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencuri pedang. Sekarang
pedang tercuri tanpa diketahui siapa pencurinya!
Keadaan di
situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak
bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api membakar kayu jelas
terdengar mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba-tiba tiga orang
anak itu terkejut ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan
isi dada mereka. Pantasnya iblis sendiri yang mengeluarkan suara seperti itu,
yang datang dari timur seperti terbawa angin, bergema di sekitar daerah itu.
Lebih kaget
lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han berkelebat cepat dan
lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun jelas terdengar oleh
mereka. "Kalian tinggal di sini, jangan pergi!"

Selagi tiga
orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba-tiba terdengar
suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu-tahu di situ muncul
seorang laki-laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
berpakaian seperti siucai dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat
munculnya orang yang tertawa-tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan
dia melihat sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terselip di ikat
pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang
ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi jubah
namun masih tampak sedikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.
"Engkau
pencuri pedang!" Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng
sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya
dan ia roboh terjengkang.
"Ha-ha-ha!
Memang aku yang mengambil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian berdua yang
menjadi murid perempuan Pendekar Siluman?"
Kwi Hong
yang mendengar pengakuan itu telah menjadi marah sekali. Inilah orangnya yang
membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia bergerak
maju sambil membentak, "Aku adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling
hina, kembalikan pedang!"
Akan tetapi
sambil tertawa-tawa, laki-laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya dan
ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa
seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba-tiba lengannya sudah
ditangkap, tubuhnya dikempit dan sambil tertawa laki-laki itu sudah meloncat
dan lari pergi.
"Tahan...!"
Milana berseru dan meloncat ke depan, tetapi sekali orang itu mengibaskan
lengan kirinya, tubuh Milana terpelanting dan roboh terguling.
Bun Beng
sudah bangkit lagi, tak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar
secepat mungkin. Namun laki-laki itu berloncatan cepat sekali dan sudah
menghilang. Bun Beng teringat akan suara ketawa dari arah timur tadi, maka dia
lalu mengejar ke timur.
Milana
merangkak bangun, menggoyang-goyang kepalanya yang pening. Ia kemudian
mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak tampak lagi laki-laki yang
menculik Kwi Hong, juga tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun
Beng melakukan pengejaran, maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur
karena seperti Bun Beng, dia tadi mendengar suara ketawa dari timur.
Tentu saja
baik Bun Beng mau pun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki-laki yang
menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga
kedua orang anak itu selain tertinggal juga masing-masing melakukan pengejaran
secara ngawur tanpa mengetahui ke mana larinya si penculik dan pencuri pedang
itu.
Penculik
berpakaian sastrawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang telah
miring otaknya! Setelah berhasil membunuh Im-yang Seng-cu yang dipersalahkan
karena Im-yang Seng-cu tidak membalas dendam dan membunuh Pendekar Siluman,
Tan-siucai bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan
perjalanan mencari Pendekar Siluman yang kabarnya menjadi To-cu Pulau Es.
Secara kebetulan sekali, ketika mereka berjalan di sepanjang pesisir lautan
utara untuk menyelidiki di mana adanya Pulau Es, pada suatu hari mereka melihat
dua ekor burung garuda putih beterbangan.
"Guru,
bukankah burung-burung itu adalah garuda putih yang amat besar-besar. Seperti
kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Siapa tahu
burung-burung itu adalah tunggangannya?" Kata Tan-siucai.
"Hm,
burung yang indah dan hebat, sebaiknya ditangkap!" kata Maharya memandang
kagum, lalu ia mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melontarkan
batu itu ke arah seekor dari pada dua burung garuda putih yang terbang rendah.
Dua ekor
burung itu memang benar burung-burung peliharaan Suma Han yang ditinggalkan di
tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek menunggang gajah. Karena lama
majikan mereka tidak memanggil, kedua burung garuda itu menjadi kesal dan
beterbangan sambil menyambari ikan yang berani mengambang di permukaan laut,
juga mencari binatang-binatang kecil yang dapat mereka jadikan mangsa.
Lontaran
batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu meluncur seperti peluru
ke arah burung garuda betina. Burung ini sudah terlatih, melihat ada sinar
menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi, biar pun
batu itu hancur oleh cakarnya, burung itu memekik kesakitan karena tenaga
lontaran yang kuat itu membuat kakinya terluka. Dia menjadi marah sekali,
mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda marah dan menyambar turun ke bawah
dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala Maharya yang berani mengganggunya!
"Eh,
burung jahanam!" Maharya menyumpah ketika terjangan itu membuat ia
terkejut dan hampir jatuh, sungguh pun dia dapat mengelak dengan loncatan ke
kiri.
"Tidak
salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!" Kata Tan-siucai.
"Kalau burung liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja
burung-burung ini!"
Setelah
berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada sebuah
gendewa kecil. Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah meluncur
dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina yang masih terbang
rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis dengan sayapnya, namun anak
panah itu dilepas oleh tangan yang kuat sekali, menembus sayap dan menancap
dada! Burung itu memekik dan melayang jatuh, terbanting di atas tanah,
berkelojotan dan mati!
Burung
garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar ke
bawah hendak menyerang Tan-siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas
sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu
tetap saja menembus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung
garuda yang terjatuh kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai
sekali.
Tan-siucai
dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah
binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan
orang-orang kang-ouw. Maka mereka berlaku hati-hati, menyelidiki daerah itu dan
akhirnya dari jauh mereka melihat pondok di mana mengepul asap dan terdengar
bunyi martil berdencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan
sabar dan dapat menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan
seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain-main di luar dengan
seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang.
Tadinya
Tan-siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang dibencinya
itu, yang dianggap telah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya
mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.
"Kalau
tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira!
Jangan-jangan tua bangka itu pun berada di dalam pondok bersama Pendekar
Siluman. Aahhh, tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si
Tua Bangka membuatkan pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu
menentangku! Kalau aku tidak bisa membunuhnya, tentu dia akan mendahului aku
merampas Sepasang Pedang Iblis! Kita harus berhati-hati. Aku tidak takut
menghadapi Pendekar Siluman kaki buntung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi
tua bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat
menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik, baru
kita menyerbu."
Ketika
melihat Suma Han keluar dari pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya
lalu mengajak muridnya diam-diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak
itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok. "Dia tentu sedang semedhi
menapai pedang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar. Kau
ambil pedangnya, biar aku yang menghadapi Nayakavhira!"
Akan tetapi,
ketika mereka memasuki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah mati
dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depannya menggeletak sebatang
pedang bersinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi
girang sekali dan Tan-siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam-diam mereka
keluar dari pondok dan mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka
melihat Suma Han datang lagi, kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk
memperabukan jenazah Nayakavhira.
"Bagus!
Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana
kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kau culik muridnya.
Dengan demikian, akan lebih mudah engkau membalas dendam."
Demikianlah,
dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa sehingga
memancing datangnya Suma Han, sedangkan Tan-siucai berhasil menculik Kwi Hong!
Pada hakekatnya, Tan-siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi
pada waktu itu otaknya sudah miring karena dendamnya dan karena dia memaksa
diri mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng
dan Milana, hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati kejam.
Dia mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terkekeh
mengerikan.
"Lepaskan
aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan
kepalamu!"
"Heh-heh-heh,
Pamanmu? Gurumu sekali pun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan mampu
membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di tangan Guruku. Siapa Pamanmu,
heh?"
"Tolol!
Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es!
Lepaskan aku!"
Saking
herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga keponakan
musuh besarnya, Tan-siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan mata
terbelalak. "Engkau keponakannya? Keponakan dari mana, heh?"
Kwi Hong
mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponakan gurunya, maka
dia berkata, "Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku."
Tan-siucai
tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Kebetulan sekali! Dia telah membunuh kekasihku,
tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat
keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh-heh-heh!"
Kwi Hong
memandang marah. "Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak membunuh
siapa-siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau
berani menggangguku!"
"Engkau
mau lari? Heh-heh-heh, larilah kalau mampu. Lihat, api dari tanganku sudah
mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?"
Kwi Hong
memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang dikembangkan
itu benar-benar mengeluarkan api yang menyala-nyala dan mengurung di
sekelilingnya! "Setan... engkau setan...!" Ia memaki akan tetapi
hatinya merasa takut dan ngeri.
"Ha-ha-ha,
hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh besarku mati di
tangan Guruku!"
Tan-siucai
menubruk hendak menangkap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa mempedulikan
api yang bernyala-nyala di sekelilingnya, ia meloncat menerjang api. Dan
terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika menerjang, api itu tidak
membakarnya, bahkan tidak ada lagi! Seolah-olah melihat api tadi hanya terjadi
dalam mimpi! Maka ia berbesar hati lari terus.
"Hei-hei...
engkau mau lari ke mana, heh?" Tan-siucai mengejar dan agaknya dalam
kegilaannya ia merasa senang mempermainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak
menakut-nakuti, tidak segera menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja
dia dapat menangkap dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti seekor kucing yang
hendak mempermainkan seekor tikus. Membiarkannya lari dulu untuk kemudian
ditangkap dan diganyangnya.
Tan-siucai
hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid
musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk
melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi
Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk
menyakiti hati musuh besar yang telah merampas dan dianggap membunuh
kekasihnya!
"Heh-heh-heh,
mau lari ke mana kau?" Sekali meloncat, tiba-tiba tubuhnya melesat ke
depan dan sambil tertawa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!
"Ihhhhh!"
Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan
menghantam perut orang itu.
"Cessss!"
Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam air,
maka Kwi Hong lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan.
"Heh-heh-heh,
larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!" Tan-siucai
tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi
Hong dengan loncat menghadang di depan anak itu.
Ketika ia
sudah merasa puas mempermainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah
kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya
berkerudung menyeramkan!
Biar pun
Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, namun
kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Begitu
melihat munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan
cerita-cerita yang dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya
berubah pucat dan ia membalikkan tubuhnya melarikan diri sambil menjerit,
"Ada setan...!"
"Aduhhh...!"
Ia menjerit dan tubuhnya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari belakang.
Kini wanita
berkerudung itulah yang keheranan. Tendangannya tadi disertai sinkang yang
kuat, yang akan meremukkan batu karang dan orang di dunia kang-ouw jarang ada
yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa menderita luka berat atau bahkan
mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit
pun. Bahkan kakinya merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!
"Eh,
kau... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Keparat,
kau berani menendang aku? Tunggu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!"
Tan-siucai melangkah hendak menangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri
terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu dengan mata
terbelalak.
"Jangan
ganggu dia!" Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin
dan mengandung getaran kuat.
Tan-siucai
sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menentangnya maka ia
membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya. "Aihh, kiranya engkau
hendak menentangku, ya? Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa? Awas,
kalau aku sudah marah, tidak peduli lagi apakah engkau wanita atau pria,
berkerudung atau tidak, sekali bergerak aku akan mencabut nyawamu!"
Wanita
berkerudung itu mendengus penuh hinaan, "Siapa takut padamu? Tentu saja
aku tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring
yang menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bahwa engkau
adalah seorang gila, apakah kau kira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai
mampus? Nah, pergilah. Aku memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak
ini."
Tan-siucai
sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. "Engkau yang gila! Engkau
perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan engkau memakai
kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun
kepadaku!"
"Agaknya
selain gila, engkau pun sudah bosan hidup. Nah, mampuslah!" Tiba-tiba
wanita berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya
sudah mengirim totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai.
Tan-siucai
telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut sekali karena maklum
bahwa totokan itu dapat membunuhnya dan bahwa gerakan wanita itu selain cepat
seperti kilat juga mengandung sinkang yang luar biasa! Dia tidak berani
main-main lagi, tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka cepat ia
menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.
"Desss!"
Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat
meloncat bangun sambil mengirim serangan balasan penuh marah.
"Hemm,
kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!" Wanita berkerudung itu
berseru dan menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah
pergelangan lawan. Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia
menghentikan pukulannya dan tiba-tiba kakinya menendang, sebuah tendangan yang
mendatangkan angin keras mengarah pusar lawan.
"Wuuuttt!"
Wanita itu miringkan tubuh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat kakinya
mendorong belakang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat aneh dan
Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu terdorong
ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia terlempar ke atas seperti dilontarkan.
"Aiiihhh...!"
Tan-siucai berteriak.
Akan tetapi
wanita itu kagum juga menyaksikan betapa lawannya yang gila itu ternyata
memiliki ginkang yang tinggi sehingga mampu berjungkir balik di udara dan turun
ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri.
Ada pun
Tan-siucai yang makin terkejut dan terheran menyaksikan gerakan wanita
berkerudung itu, teringat akan sesuatu dan membentak, "Aku mendengar bahwa
Ketua Thian-liong-pang adalah..."
"Akulah
Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu memotong dan menerjang lagi, dengan
gerakan cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai
terpaksa meloncat mundur dengan kaget.
"Singggggg...!"
Tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah mencabut
pedang hitamnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya.
Diam-diam
Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang
siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar
namanya. Namun dia tidak gentar sedikit pun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian
siucai tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi.
Maka ia pun menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya
berkelebatan menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan
sinkang bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai
terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya!
Ketika
dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-liong-pang
mencelat ke atas, ujung kakinya menendang tenggorokan lawan, Tan-siucai
miringkan kepala dengan kaget sekali.
"Aduhhhh...!"
Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung
sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.
"Pangcu
dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas,
berlututlah!" tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan
ilmu hitamnya untuk menguasai semangat dan pikiran lawannya melalui gerakan,
suara dan pandang matanya.
Namun Ketua
Thian-liong-pang itu memakai kerudung di depan mukanya sehingga tidak dapat
dikuasai oleh pandang matanya, ada pun suaranya yang mengandung getaran khikang
hebat itu masih kalah kuat oleh sinkang lawan. Kini wanita itu tertawa merdu,
ketawa yang bukan sembarang ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan
sinkang dari pusar sehingga membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran
ini menyentuh hati Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar
kemauannya. Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia
menindas rasa ingin ketawa itu, pedangnya membacok dari atas!
"Manusia
berbahaya perlu dibasmi!" Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu berkata dan
tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang
dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk!
Bukan main
hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu dilakukan oleh orang yang
kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sinkang-nya sudah amat kuat. Tan-siucai
terkejut, berusaha menarik pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh tang
baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang
sudah menyodokkan jari-jari tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau
mengenai sasaran tentu akan mengoyak kulit perut!
"Aiihhhh...!"
Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang
terkejut dan ngeri, kemudian tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata
di balik kerudung itu terbelalak.
Tan-siucai
yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia terancam bahaya maut,
menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak
jadi membunuhnya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil
tertawa-tawa, "Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!"
Ketua itu
masih bengong dan membiarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat ke
belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, melainkan ketika
tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar
biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa
mukjizat sehingga mengagetkan Ketua Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar
yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha
ampuh!
"Sayang
engkau melepaskan Si Gila itu," Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai
menghilang.
Ketua
Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh
dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan kagum. Anak yang
bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian.
"Sudah
cukup kalau engkau terbebas darinya," ia berkata. "Anak, engkau
siapakah dan mengapa engkau ditangkap Si Gila?"
"Aku
tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka
kerudungmu sehingga aku dapat memanggilmu dengan tepat?" Kwi Hong
bertanya, memandang muka berkerudung itu dan diam-diam ia kagum karena dia
sudah mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan
sendiri kelihatan wanita ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana
kalau wanita ini bertanding melawan pamannya!
Wanita itu
menggeleng kepala. "Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, kecuali...
kecuali... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapakah?"
"Bibi
yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu
Pulau Es."
"Pendekar
Siluman...?" Wanita berkerudung itu bertanya, jelas kelihatan terkejut
bukan main.
Besar rasa
hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan takut. Agaknya
wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga, tersenyum dan
mengangguk. "Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia
memusuhi Paman Suma Han. Katanya Pamanku membunuh kekasihnya, tunangannya.
Kurasa dia bohong karena dia gila. Kalau saja Paman tidak dipancing pergi, mana
dia mampu menculikku?"
"Di
mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?"
"Paman
sedang membuat pedang pusaka bersama kakek yang bernama Nayakavhira. Pedang
sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Paman pergi untuk
mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa sepasang garuda dibunuh
orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui
bahwa pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kau lepaskan
dia, seharusnya pedang itu dirampas dulu, Bibi."
"Ahhhh...!"
Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si Gila
itu menyelipkan sebatang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia
menyesal mengapa tadi tidak mengejar dan merampas pedang itu.
"Ketika
Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang kedapatan
sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan
tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik...."
"Hemm...
kalau begitu Pamanmu tak jauh dari sini. Mari kuantar engkau menyusulnya."
Tanpa
menanti jawaban, wanita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum bukan
main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pamannya, karena digandeng
dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia alami
ketika dia dibawa lari pamannya.
Tiba-tiba
wanita itu berhenti dan menuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak
heran menyaksikan pamannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya
melintang di atas kaki tunggal, kedua tangannya dengan tangan terbuka
dilonjorkan, matanya terpejam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal!
Ada pun
kira-kira sepuluh meter di depannya tampak seorang kakek bersorban seperti
Nayakavhira, hanya bedanya kalau Kakek Nayakavhira berkulit putih, orang ini
berkulit hitam arang, memakai anting-anting di telinga, hidungnya seperti paruh
kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti Suma Han dengan kedua
tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melotot lebar, juga dari
kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han mau pun kakek hitam itu sama sekali
tidak bergerak seolah-olah mereka telah menjadi dua buah arca batu!
"Paman...!"
Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.
"Anak
bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian melawan
kakek sakti itu? Mereka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu, dia
bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertempuran selesai, baru boleh
mendekati Pamanmu. Aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat, Ketua Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak
mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah kepada pamannya.
Kwi Hong
sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng telah
lebih dulu melihat pertandingan yang amat luar biasa itu, bersembunyi di tempat
lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata terbelalak. Dibandingkan
dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran karena apa yang dilihatnya tidaklah
sama dengan apa yang dilihat Kwi Hong!
Kalau Kwi
Hong hanya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua lengan ke depan
menghadapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan dada, Bun
Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak
seperti arca itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan
hebatnya melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka
yang sedang bertanding!
Mengapa bisa
begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding? Karena dia
baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mukjizat seperti yang
dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang
menculik Kwi Hong secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh
sehingga penculik itu tidak tampak bayangannya lagi dan napasnya mulai memburu,
dia melihat Suma Han sedang bertanding melawan seorang kakek hitam.
Pertandingan
yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun Beng menjadi kabur
dan kepalanya pening. Dia melihat betapa tubuh Pendekar Siluman itu mencelat ke
sana ke mari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran seperti sebuah gasing.
Begitu cepat pertandingan itu sehingga dia tidak dapat mengikuti dengan pandang
matanya. Dia tidak berani memperlihatkan diri biar pun ketika melihat Suma Han
dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik
orang. Menyaksikan pertandingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa akan Kwi
Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi dengan mata
terbelalak.
Tiba-tiba
kakek itu terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu
berkata, "Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum
kalah. Lihat ini!"
Kakek itu
kemudian duduk bersila, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengeluarkan
bunyi menggereng hebat sekali dan... hampir Bun Beng berseru kaget ketika
melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap kehitaman tebal dan muncul
seorang kakek ke dua, persis seperti seorang kakek itu sendiri!
"Maharya,
engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup melayanimu!" kata
Suma Han yang segera duduk bersila.
Dari kepala
Pendekar Super Sakti juga mengepul uap putih yang tebal dan dari uap ini
terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju menghadapi ‘bayangan’
kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding dengan hebat! Suma Han
melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan bayangannya menjadi makin cepat
dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran pengaruh mukjizat dapat melihat kedua
bayangan yang bertanding itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru
tiba.
Bun Beng
yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, menonton dengan mata terbelalak
dan muka pucat. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan
menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya
menggunakan dua buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan
cepat sekali, sedangkan kedua kakinya berloncatan seperti gerakan kaki katak.
Terdengar bunyi angin bercuitan ketika kedua tangannya menusuk-nusuk.
Namun
gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang biar pun
cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan Pendekar Super
Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan jari tangan lawan,
bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatangkan angin sehingga
kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar
oleh angin pukulan itu.
Tubuh kedua
bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya
membubung tinggi dan bertanding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah.
Bun Beng yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti
gerakan kedua bayangan itu sehingga dia tidak tahu siapa yang mendesak dan
siapa yang terdesak. Hanya dia melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk
tenang tak bergerak sedikit juga, kedua mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam
yang bersila itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan
yang dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil sedikit.
Biar pun ada
pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara sedikit pun juga.
Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong yang hanya
melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi
Hong mau pun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan
tidak saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya
mendengar suara pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!
Sementara
itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerahkan seluruh
kekuatan batin untuk menghimpit lawan. Diam-diam Maharya terkejut bukan main.
Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia
tantang dan serang, dalam pertandingan silat dia terdesak bahkan sampai
terdorong dan terlempar jauh, dia tidak menjadi penasaran karena memang dia
sudah mendengar berita bahwa Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar
biasa dan tenaga sinkang yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain, yaitu
menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan dapat
menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh. Akan
tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat Pendekar Siluman menandinginya dengan
ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak hebat!
Kakek ini
merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah
menemui tanding, apa lagi dalam mengadu kekuatan batin. Kini, berhadapan dengan
seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih, kalah
lahir batin! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram
ia menggerakkan mulut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan
segala kekuatannya dan pandang mata yang melotot itu seolah-olah mengeluarkan
api!
Bun Beng
yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak kaget
melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia cepat
menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu kelihatan mengerutkan
alis, tidak tenang seperti tadi, dan kedua lengannya yang dilonjorkan itu
tergetar seolah-olah hendak menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak
tangannya.
Memang Suma
Han juga terkejut sekali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek
lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya sehingga ia cepat
mengerahkan inti sari dari Swat-im Sinkang. Setelah kedua tenaga panas dan
dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas
berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan tetapi tampak beberapa tetes
keringat membasahi dahi Suma Han.
Benar-benar
hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan
seorang lawan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya
memang sedikit saja, dalam hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak
berani mengatakan lebih kuat! Hanya yang menguntungkan dirinya, kekuatan batin
yang dimilikinya adalah pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan
dimatangkan dengan ilmu sinkang dan pelajaran yang ia terima menurut petunjuk
Koai-lojin. Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh
latihan-latihan yang puluhan tahun lamanya. Betapa pun hebat usaha manusia,
mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam pertandingan ini,
Suma Han yang mengandalkan tenaga batin dari kekuasaan alam, sukar untuk
dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata
menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu
hati dan pusar!
"Eigghhhh...!"
Kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tangannya yang tadinya
dirangkap di depan dada bergerak dan mulutnya terbuka.
Bun Beng
terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang
ternyata adalah tiga batang pisau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan
yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek yang bertanding melawan
bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula
bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali menggerakkan tubuh, kakek itu sudah
meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia
melontarkan tiga batang pisau itu ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi.
Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terdengar suaranya.
"Pendekar
Siluman! Lain kali kita lanjutkan!"
Sunyi
keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdiri
bersandar kepada tongkatnya, menoleh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau
tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah.
"Siapa
yang telah berani lancang turun tangan tanpa diminta?"
Daun bunga
bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik rumpun,
berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya saling pandang dan
berseru, suaranya menggetar penuh perasaan,
"Nirahai...!"
"Han
Han...!"
Keduanya
berdiri saling pandang dan sungguh pun dalam suara mereka terkandung kerinduan
yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata wanita
cantik itu menetes air mata berlinang-linang.
"Han
Han, bertahun-tahun aku menanti akan tetapi engkau tidak kunjung datang
menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia kiamat? Han Han,
aku isterimu!"
"Nirahai,
engkau... telah pergi meninggalkan aku, membuat hatiku merana..."
"Memang
aku pergi, akan tetapi engkau tidak melarang!"
"Aku...
ah, aku tidak ingin memaksamu... aku... ahh..."
"Han
Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada
isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau... ahh, sakit
hatiku melihatmu...!"
"Nirahai...!"
Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu.
Nirahai
tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus
rambutnya, "Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu...
akan tetapi karena engkau mempunyai cita-cita, aku merelakan engkau
pergi...."
"Ibuuuu...!"
Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian.
Mendengar
teriakan ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan
tangan terbuka, lalu memondong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan,
"Milana...! Anakku...! Ahhh, sukur engkau selamat. Betapa gelisah hatiku
mendengar laporan Pamanmu tentang mala petaka di laut itu!"
Suma Han
memandang dengan wajah pucat sekali.
"Nirahai!"
Dia membentak, suaranya mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat
persembunyian masing-masing di mana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan
adegan pertemuan antara Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka
itu. "Engkau perempuan rendah, isteri tidak setia! Kau meninggalkan aku
dan tahu-tahu telah mempunyai seorang anak! Ahhh, betapa menyesal hatiku telah
mentaati perintah mendiang Subo...!"
Setelah
berkata demikian, dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian Suma Han
membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang meninggalkan
Nirahai. Nirahai menjadi pucat, terbelalak dan menurunkan Milana yang berdiri
memeluk pinggang ibunya dan bertanya.
"Ibu...!
Dia siapa...? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?"
Nirahai
menangis mengguguk. "Dia... dia adalah Ayahmu..." Suaranya gemetar
dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu.
Milana cepat
menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya dan mengejar Suma Han sambil
menjerit. "Ayaaahhh...! Ayah...!"
Mendengar
jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan melihat
munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia
menjadi bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya,
kemudian menjatuhkan diri berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan
memanggil-manggil. "Ayaahh... ayaahku...!"
Suma Han
terbelalak memandang bocah yang menangis memeluki kaki tunggalnya, kemudian
mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu menutupi
muka dengan kedua tangan sambil berlutut di atas tanah.
"Heh...!
Apa...! Bagaimana...? Engkau... anak siapa...?"
"Ayah...
engkau Ayahku... aku anak Ayah dan Ibu....," Milana mengangkat muka.
Tubuh Suma
Han menggigil. Ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya.
"Anakku? Engkau... anakku...?" Ia menciumi muka bocah itu.
Milana
tertawa dengan air mata bercucuran, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan
yang dirindukan itu.
Suma Han
berpincang melangkah ke depan Nirahai. "Nirahai... benarkah ini? Dia...
dia ini... anakku...?"
Nirahai
mengangguk, lalu mengusap air matanya. "Ketika kita saling berpisah... aku
mengandung dan... terlahirlah Milana... anak kita..."
"Nirahai,
engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memelihara anak kita
sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyusulku. Betapa
kejam engkau."
Nirahai
meloncat bangun, pandang matanya penuh penasaran. "Siapa yang kejam?
Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah mencariku, tidak
pernah menyusulku ke Mongol!"
Melihat ayah
bundanya cekcok, Milana yang berada di pondongan ayahnya itu berkata,
"Ayah, marilah engkau ikut bersama kami..."
"Dan
menjadi seorang Pangeran Mongol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Mestinya
ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?"
Akan tetapi
Nirahai memandang dengan muka merah dan berapi. "Tidak sudi! Kini aku
tidak mau menyembah-nyembah minta kau bawa. Dan hanya dengan paksaan saja
engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah
cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan, seolah-olah aku bukan
isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari kita pergi!"
"Tidak
boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kau pelihara sendiri,
terlalu lama kau pisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau
suka ikut atau tidak!"
"Ayah...!
Aku tidak mau meninggalkan Ibu!" Milana merosot turun dari pondongan dan
hendak lari kepada ibunya.
Akan tetapi
Suma Han mendengus marah, lengan kanannya menyambar tubuh Milana, dikempitnya
dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan Nirahai.
"Han
Han...!" Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak peduli,
wajahnya keruh, matanya hampir terpejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke
depan.
"Lepaskan
aku! Ayahhhh... aku tidak mau meninggalkan Ibu...!" Milana menjerit-jerit.
Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya.
Tiba-tiba
Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan suaranya
nyaring penuh rasa penasaran, "Suma-taihiap! Seorang pendekar seperti
Taihiap tidak boleh berlaku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah
perbuatan jahat! Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa tidak membawa Ibunya
sekalian?"
Suma Han
terbelalak, mukanya berubah merah saking marahnya. "Gak Bun Beng! Engkau
anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau
bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku
untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?"
Jantung Bun
Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk kaum
sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang lebih menyakiti hatinya dari
pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun
kekerasan hati Bun Beng membuat ia tetap berdiri tegak dan berkata,
"Keturunan
orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku melarang engkau
memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kau bunuh aku siap!" Sikap Bun
Beng gagah sekali biar pun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air
mata.
"Han
Han...! Kau bunuh aku dulu sebelum melarikan anakku!" Nirahai telah
meloncat menghadang pula di depan Suma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk
mengadu nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.
"Paman...!"
Kwi Hong yang sejak tadi memandang dengan tubuh gemetar saking tegang hatinya,
kini berani meloncat ke luar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil
menangis.
"Ayah...
aku tidak mau berpisah dari Ibu...!" Milana yang masih dikempit oleh
lengan ayahnya itu pun meratap sambil menangis.
Suma Han
berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk
telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu
mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju
tertimpa sinar matahari.
Tidak ada
suara bagi manusia di dunia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis adalah
suara jeritan hati dan jiwa. Tangis adalah suara pertama yang dikenal dan suara
pertama yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara pertama dari
manusia tanpa dipelajarinya. Begitu terlahir, suara pertama dari manusia adalah
tangis. Tangis merupakan suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak
yang terlahir di segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis
adalah satu-satunya suara yang mampu menembus jantung dan menyentuh batin
manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan diri dengan
Tuhan!
Lemas
seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia
itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan
menangis. Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepada Suma Han dan
berkata,
"Selama
engkau masih menjadi seorang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan sudi
turut bersamamu, bahkan aku akan mengimbangi kerajaanmu di Pulau Es!"
Setelah berkata demikian, Nirahai meloncat dan berlari cepat sekali, sebentar
saja lenyap dari situ.
Suma Han
menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Pertama kali ketika
bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela dan
dimarahi. Kini bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan
dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati wanita!
"Kwi
Hong, kita pulang!" Dia berkata, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari
pergi cepat.
Bun Beng
menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan tetapi dia
masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang di
telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu, "Engkau anak
tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!"
Bun Beng
menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah, akan tetapi rumput dan tanah yang
diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dan
dia anak tidak syah? Apa artinya ini?
"Ah,
mengapa aku menjadi lemah begini? Apa peduliku tentang asal-usulku? Aku adalah
seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada
dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mempertahankan keadaanku
dan menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang
ternyata bukan terbebas dari pada derita, bukan bersih dari pada cacat!
Kekalahanku dari orang-orang sakti seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri
pedang, dan kakek-kakek sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi
hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat
dipelajari!”
Mereka semua
itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa seperti dia! Dan
dia masih muda, apa lagi sedikit-sedikit pernah mempelajari ilmu, dan ada kitab
yang telah dihafal namun belum dilatihnya dengan sempurna, ada sepasang pedang
yang disembunyikan di puncak tebing. Sepasang pedang pusaka! Pedang yang
mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma Han.
Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan
yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andai
kata sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan
memperlihatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan
menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat!
Bangkit
semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke
Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhu-nya kepada pimpinan
Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penuturan
mendiang suhu-nya, kalau mempelajari benar-benar secara sempurna dan memang ada
jodoh, ilmu silat dari Siauw-lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia
ini.
Pernah
gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti Hosiang yang
memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehingga saking tinggi ilmu
kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang bertanding, bahkan tidak
mau membalas andai kata dia dilukai atau dibunuh sekali pun! Pernah pula
gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau bertempur
melukai apa lagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya
kepada siapa saja yang kebetulan bertemu dengannya, yang dianggap sudah jodoh,
tanpa memandang apakah orang itu termasuk golongan baik ataupun jahat, bersih
atau pun kotor!
Sikap
manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, di mana sinar matahari tidak
menyembunyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat mau pun orang baik, di
mana pohon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan buahnya dari uluran tangan
orang jahat mau pun orang baik! Kemudian gurunya bercerita pula tentang manusia
aneh Koai-lojin yang kabarnya malah masih suka muncul biar pun belum tentu ada
seorang di antara sepuluh ribu tokoh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini,
yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang seperti dewa pula namun tidak mau
bertempur, melukai, apa-lagi membunuh orang.
Dia masih
muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa langkah
hidupnya harus terhalang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya! Baik mau
pun jahat orang tuanya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi adalah
masa depan. Masa lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh kebaikan,
bukankah hal itu jauh lebih menang dari pada masa lalu penuh kebaikan namun
masa depan penuh kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di
masa depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu sebagai alam mimpi, sungguh
pun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang terjadi
dengan ayah bundanya. Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan
langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar.
Setelah dia
berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang kematian suhu-nya,
berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang
menganggap bahwa kakek itu sudah bukan seorang anggota Siauw-lim-pai lagi. Akan
tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita
Siauw-lim-pai, dan betapa pun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh
Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak
berkeberatan menerima Bun Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat di
samping bekerja keras seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi
pelayan, tukang kebun, dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan
membantu para hwesio...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment