Cerita Sila Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 04
"Katakan
kepada koksu kerajaan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bahwa To-cu Pulau Es tidak
tahu-menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, sekarang pergilah dan jangan
mengganggu orang-orang yang tidak bersalah!"
Thian Tok
Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar biasa dan ucapan
seorang yang sakti seperti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan
berkata, "Baiklah dan harap To-cu sudi memaafkan kelancangan kami,"
Ia memberi isyarat kepada Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga
meninggalkan tempat itu.
Keadaan
menjadi sunyi. Garuda putih itu kini hinggap di atas cabang pohon, menyisiri
bulu-bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang memandang ke arah majikannya.
Im-yang Seng-cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena
tadi ia terlampau banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari
desakan hebat Thian Tok Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han, memandang
penuh perhatian ke arah wajah yang sudah menunduk kembali itu lalu berkata.
"Suma
Han, marilah kita lanjutkan urusan di antara kita. Sudah kuceritakan semua
tentang sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbunuh olehmu.
Karena engkau, kedua orang muridku tewas dan orang-orang yang kucinta di dunia
ini habis. Jangan berkepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau
engkaulah yang akan mati di tanganku!"
Tanpa
mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk matanya yang menunduk.
Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im-yang
Seng-cu tergetar. Diam-diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu
yang berdiri di depannya adalah seorang manusia yang amat luar biasa!
"Benarkah
Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura-pura tolol? Ada kemenangan dalam diri
manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuatan dengan pamrih demi
kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah
tentu saja akibatnya bermacam-macam sesuai dengan kehendak Tuhan, namun menilai
perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."
Im-yang
Seng-cu tersenyum dan menyembunyikan kegembiraannya di balik kata-kata
mengejek. "Suma Han, semua perbuatan memang berakibat. Hanya seorang gagah
sajalah yang berani mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya! Kepandaianmu
amat tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun jangan mengira bahwa aku
akan gentar melawanmu. Jangan bersembunyi di balik kata-kata yang muluk-muluk.
Mari kita selesaikan!"
Suma Han
menghela napas panjang. "Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi penyesalan
hatiku telah mengakibatkan kesengsaraan orang-orang yang kucinta, silakan
Locianpwe!"
"Bagus!
Nah, sambutlah ini!" Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang bukan
main, Im-yang Seng-cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerahan sinkang
sekuatnya menghantam dada Suma Han.
"Dessss!"
tubuh Suma Han terlempar sampai lima meter, tongkat yang dipegangnya terlepas
dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.
Seketika
wajah Im-yang Seng-cu menjadi pucat sekali. Rona kegirangan lenyap dari
wajahnya dan ia meloncat mendekati. "Celaka! Keparat engkau, Suma Han!
Engkau telah menipuku...! Ahhh... engkau akan membuat aku mati menjadi setan
penasaran... selamanya aku... belum pernah memukul orang yang tidak melawan.
Kenapa engkau tidak melawan? Celaka... aiiiihhh... celaka...!"
Tiba-tiba
terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih
telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im-yang Seng-cu, tubuh kakek
itu dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
"Brukkk!"
Im-yang
Seng-cu tertawa, pundaknya luka berdarah. "Bagus...! Bagus sekali, garuda
sakti! Hayo lekas serang lagi. Hayo bunuh aku... ha-ha-ha! Majikanmu yang gila
tidak mau membunuhku, mati di tanganmu pun cukup terhormat. Marilah!" Ia
menantang-nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung-huyung.
Garuda putih
menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.
"Pek-eng,
berhenti!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran
dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im-yang Seng-cu, melainkan hinggap
di atas tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara mencicit sedih
dan takut.
Im-yang
Seng-cu membanting-banting kakinya ke atas tanah. "Suma Han, engkau
benar-benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau menerima
pukulanku tanpa melawan, membuat aku menjadi seorang manusia yang rendah dan
hina! Dan sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super
Sakti! Apakah setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hatimu pun menjadi kejam
seperti hati siluman? Apakah engkau akan puas menyaksikan aku hidup merana
menanti datangnya maut menjemput nyawaku yang sudah tidak betah tinggal di
tubuh sialan ini?"
"Locianpwe,"
Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan
baju. "Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukulanmu tadi cukup keras
akan tetapi belum cukup untuk melukai aku, apa lagi membunuh. Kalau masih belum
puas, mari, pukul lagi, Locianpwe."
"Engkau
tidak melawan?"
Suma Han
menggeleng kepala. "Bagaimana harus melawan? Locianpwe hendak membunuhku
karena kesalahanku terhadap Lulu dan Sin Kiat. Biar pun tak kusengaja, memang
aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku, lakukanlah!"
Im-yang
Seng-cu membanting-banting kakinya lagi. "Kau... kau...!" Dan kakek
ini mengusap-usap kedua matanya kerena kedua mata itu menitikkan air mata!
"Locianpwe,
ketika garuda menyerangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut maut dengan
tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa bersalah memukul orang yang
tidak melawan. Locianpwe rela mati demi membalas kesengsaraan orang-orang yang
Locianpwe cinta. Kalau semulia itu hatimu, apakah aku yang muda tidak boleh
menirunya?"
"Kau...
kau siluman!"
"Locianpwe,
aku mengerti bahwa sesungguhnya Locianpwe tidak ingin membunuhku, melainkan
mengharapkan kematian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu,
Locianpwe. Sekarang hanya ada dua pilihan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa aku
lawan, atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup
dengan kesengsaraan batin menjadi derita. Bukankah hidup ini menderita?
Bukankah penderitaan batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga?
Bagaimana, Locianpwe? Kalau belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"
Suma Han
terpincang-pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im-yang Seng-cu
mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia
menyesal selamanya. "Tidak... tidak... jangan kau dekati aku...!"
Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Jika
begitu, selamat tinggal, Lo-cianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum
batinku, karena sesungguhnya kalau Locianpwe membunuhku, berarti membebaskan
aku dari pada penyesalan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!" Suma
Han mengambil tongkatnya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah
kelepak sayap dibarengi angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung
tinggi dibawa terbang garuda putih.
Im-yang
Seng-cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alisnya berkerut dan sampai
lama ia memutar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa, "Ha-ha-ha! Untuk ke
sekian kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan
merasa girang mati di tangannya? Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan
terakhir mati di tangan Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja
membunuhnya sehingga penderitaanku akan bertambah makin berat. Bukan main...!
Dia itu... seorang manusia yang luar biasa... Ahhhh, kalau saja Tuhan dapat
mengabulkan setiap permintaan manusia, biarlah sekali ini si manusia Im-yang
Seng-cu mohon agar Tuhan sudi mengobati penderitaan batin Suma Han serta
melimpahkan kebahagiaan kepadanya. Dia manusia sejati, manusia berbudi luhur...
pendekar di antara segala pendekar...!"
"Ha-ha-ha!
Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pengecut di antara
segala pengecut hina, Im-yang Seng-cu!"
Im-yang
Seng-cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada seorang laki-laki
muda yang berdiri di depannya. Laki-laki ini usianya masih muda, belum lebih
tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, pakaiannya
menunjukkan bahwa dia adalah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih
dan rapi. Akan tetapi yang mengejutkan hati Im-yang Seng-cu adalah sepasang
mata di wajah tampan itu.
Mata itu
mempunyai sinar yang mengerikan, seperti mata orang gila, namun juga mempunyai
wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah
patutnya mata setan! Biar pun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di
punggung orang muda itu tampak gagang sebatang pedang, gagang pedang hitam
dengan ronce benang hitam pula.
Biar pun
hati Im-yang Seng-cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang
tak dikenalnya ini memakinya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina.
Bagi seorang kang-ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut
merupakan makian yang paling rendah menghina.
"Orang
muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya engkau tahu akan
tata susila dan sopan santun. Kulihat pedangmu di punggung, patutnya engkau
tahu akan sikap kegagahan di dunia kang-ouw. Namun engkau datang-datang memaki
orang tua, patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?"
Pemuda itu
tersenyum lebar. Senyum yang manis, yang membuat wajahnya makin tampan, akan tetapi
seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya
ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh
kebencian terhadap sekelilingnya!
"Im-yang
Seng-cu, belasan tahun yang lalu sering kali engkau memondong dan menimangku,
bahkan yang terakhir engkau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa-san Kun-hoat kepadaku
sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan
Ayahku."
Terbelalak
kedua mata Im-yang Seng-cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian berseru.
"Siancai...! Kiranya engkau Tan-siucai (Sastrawan Tan) dari
Nan-king...!"
Pemuda
tampan itu mengangguk-angguk dan senyumnya makin kejam, "Betul, aku adalah
Tan Ki atau Tan-siucai dari Nan-king."
"Tapi...
tapi... ah, bagaimana Ayahmu?"
"Ayah
telah meninggal dunia."
"Ahhh!
Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia dari pada aku, betapa rinduku
bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu...!"
"Tak
usah khawatir, Im-yang Seng-cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah
akan tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!"
Keharuan
Im-yang Seng-cu mendengar kematian sahabatnya, serta kegirangannya bertemu
dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheranan melihat sikap
Tan-siucai.
"Apakah
maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini? Engkau dahulu menganggap aku sebagai
paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani
memaki-maki aku. Apa artinya ini?"
"Artinya,
orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!"
Im-yang
Seng-cu memandang terbelalak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa sangat
lucunya peristiwa ini. Tadi baru saja dia menemui Suma Han dengan niat untuk
membunuh pendekar itu, dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang
dijodohkan dengan muridnya, mendiang Lu Soan Li, kini datang-datang justru
berniat membunuhnya!
"Tertawalah
sepuasmu selagi engkau masih dapat tertawa, Im-yang Seng-cu," Tan-siucai
mengejek.
"Orang
muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau tiba-tiba
bersikap seperti ini?"
"Dengarlah
agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena engkau
tidak dapat membunuh Pendekar Siluman. Akulah yang akan membunuhnya kelak. Sayang
aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang. Engkau
telah menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunanganku, membiarkan tunanganku
melakukan penyelewengan dari ikatan jodoh denganku. Membiarkan tunanganku yang
tercinta itu mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda
lain. Kemudian, setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak berhasil
membunuhnya. Engkau pengecut besar dan harus mampus!"
Im-yang
Seng-cu menjadi marah sekali. "Kau tentu sudah gila! Betapa manusia dapat
menjaga perasaan hati manusia lain? Kalau muridku Soan Li yang malang mencinta
Suma Han, itu adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali
lebih baik mencinta Suma Han dari pada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah
mendengar bahwa kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan
Suma Han tentang ini. Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan
bagaimana kau akan dapat membunuh aku? Ha-ha-ha, betapa tolol dan sombongnya
engkau Tan Ki!"
"Engkau
tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda, bahkan engkau sengaja
ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di
tanganku?"
"Ha-ha-ha!
Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!" Kakek itu
tertawa-tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada
orang akan membunuhnya, dia marah-marah!
"Mau
atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im-yang Seng-cu!"
Sambil berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya.
Tangan ini menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan
tamparan itu membuat Im-yang Seng-cu terkejut dan cepat mengelak. Dia terheran
bukan main karena tamparan itu adalah tamparan yang mengandung tenaga dalam
amat kuat!
Akan tetapi
Tan-siucai tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berheran karena kini sudah
mendesak lagi dengan dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram ubun-ubun
disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang dahsyat, serangan
maut yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.
"Aihhhhh!"
Im-yang
Seng-cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasarannya karena dia tidak
mengenal jurus yang dilakukan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun
balas menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang dapat dielakkan secara
mudah oleh Tan-siucai. Pertandingan seru terjadi dan walau pun agaknya
Tan-siucai telah digembleng orang sakti dengan ilmu silat aneh dan telah
memiliki tenaga sinkang yang kuat, namun menghadapi seorang kakek seperti
Im-yang Seng-cu, pemuda itu kewalahan juga.
"Ha-ha-ha-ha,
bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?" Im-yang Seng-cu
mengejek. Biar pun diam-diam ia terkejut dan terheran-heran sebab mendapat
kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar tinggi dan aneh, namun dia
merasa yakin bahwa untuk dapat membunuhnya, tidaklah begitu mudah.
"Begini,
Im-yang Seng-cu!" Tan-siucai menjawab dan tiba-tiba tangan kirinya dibuka
dan didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak,
"Diam!"
Hebat bukan
main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba-tiba
Im-yang Sengcu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah-olah tubuhnya telah
berubah menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah bergerak
ke belakang, tampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah
meluncur dan ambles ke dalam perut Im-yang Seng-cu, tepat di bawah ulu hati.
Ketika pemuda itu mencabut pedangnya, darah menyembur keluar dari perut dan
karena ketika mencabut pedangnya digerakkan ke bawah, perut itu robek dan isi
perutnya keluar.
Barulah
Im-yang Seng-cu dapat bergerak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan,
yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat
membuat pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan
darah yang menyembur dari perut kakek itu.
Im-yang
Seng-cu terhuyung-huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata, "Celaka...
ingin mati di tangan pendekar... kini mampus di tangan setan... benar-benar
tubuh sial...!" Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah
Tan-siucai, untuk memberi serangan terakhir. Akan tetapi Tan-siucai mengelak
dan tubuh kakek itu terjerembab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.
"Heh-heh-heh!"
Dari balik sebatang pohon muncul seorang yang berkulit hitam dengan cara
seperti setan.
Orang ini
bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam mengkilap, kedua
kakinya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi tentu tidak kurang dari
enam puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang melengkung, sepasang matanya
lebar dan bersinar-sinar aneh, mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan
kumis yang putih. Kedua telinganya memakai anting-anting perak berbentuk
cincin. Rambutnya yang sudah lebih banyak putihnya itu tertutup sorban berwarna
kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain kuning pula yang menutup tubuh seperti
cawat dan setengah dada.
"Cukup
baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang gerakan pedangmu
tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh memalukan aku yang menjadi
gurumu, heh-heh!" Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang dari barat
karena bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.
"Mohon
petunjuk Guru," kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati
dicela gurunya.
"Membunuh
lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi membuka
kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhuyung. Untung kepandaian
orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka
karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut? Serahkan pedangmu,
dan lihat baik-baik!"
Tan-siucai
menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu diselipkan di bawah
kain yang membelit pundaknya. Kemudian dia menghampiri mayat Im-yang Seng-cu,
dipandangnya sejenak, kemudian tangan kirinya dengan telapak menghadap ke arah
mayat tiba-tiba digerakkan. Mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan... mayat itu
tiba-tiba berdiri di depannya. Darah masih mengucur dari perut mayat Im-yang
Seng-cu yang terbuka dengan usus terurai keluar.
"Diam...!"
Kakek itu membentak seperti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar
hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh mayat itu. Kakek
itu sudah meloncat ke belakang mayat dan... tubuh Im-yang Seng-cu yang sudah
tak bernyawa lagi itu kini roboh menjadi enam potong! Kedua lengan dan kedua
kakinya terpisah, dan lehernya juga telah terbabat putus!
"Nah,
dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengirim
serangan. Mula-mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kau babat
putus, bukan menusuk perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak
meloncat ke belakang, berlawanan dengan menyemburnya darah dari tubuhnya! Ah,
sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung racun kuning!"
Mendengar
ini, Tan-siucai lalu menggunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh mayat
itu sehingga terlempar ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek
berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah botol ke atas tumpukan
potongan tubuh mayat yang segera mencair. Mula-mula seperti terbakar mendidih,
kemudian dari tumpukan daging dan tulang itu menetes-netes cairan kuning yang
segera ditampung oleh Tan-siucai ke dalam sebuah botol melengkung berwarna
merah. Hebat sekali obat itu. Dalam waktu bebeberapa menit saja semua daging,
tulang dan pakaian bekas tubuh Im-yang Seng-cu mencair dan hanya menjadi
seperempat botol cairan kuning yang kental! Setelah tubuh itu habis sama sekali
dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya, guru dan murid yang aneh itu
pergi dari situ.
Tan-siucai
atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa-san Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita
dari Hoa-san) Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu. Dia tinggal di Nan-king.
Setelah dia mendengar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan,
pemuda yang sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit
hati membuat dia seperti gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan
kakek dari Nepal yang bernama Maharya itu yang kemudian mengambilnya sebagai
murid.
Kakek
Maharya, seorang sakti dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan-siucai
karena melihat bakat pada diri pemuda itu, juga tertarik mendengar kisah pemuda
itu yang menaruh dendam kepada Pendekar Siluman. Di samping ini, sebagai
seorang asing yang baru datang ke Tiong-goan, dia membutuhkan seorang pembantu
dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja pemuda itu merupakan
seorang guru bahasa yang baik.
Demikianlah.
selama bertahun-tahun Tan Ki atau Tan-siucai merantau bersama gurunya, menerima
gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu sihir yang
merupakan keistimewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi
kebutuhan Maharya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi
kebutuhan Tan-siucai, mencari Im-yang Seng-cu dan Pendekar Siluman untuk
membalas dendam kematian tunangannya!
Secara tak
tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan hampir saja sekaligus Tan-siucai
dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya, akan tetapi dia terlambat
karena Pendekar Siluman telah meninggalkan tempat itu. Betapa pun juga, dia
berhasil membunuh seorang musuhnya, yaitu Im-yang Seng-cu yang dahulunya adalah
sahabat ayahnya, bahkan orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu
Soan Li. Akan tetapi, karena jalan pikirannya yang telah gila, Im-yang Seng-cu
dianggap biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara
mengerikan.
**************
Siapa yang
mengatakan bahwa keselamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung
sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan
kekuasaan tertinggi yang tak dapat ditambah mau pun dikurangi. Kekuasaan
tertinggi yang menggerakkan matahari, bulan dan bintang-bintang sampai
debu-debu terkecil dalam cahaya matahari, kekuasaan yang menumbuhkan pohon-pohon
raksasa sampai setiap jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai
atas mati dan hidup.
Kalau yang
Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak akan
dapat menawar-nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup, tidak
ada pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hidup orang itu.
Hal-hal yang kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan
merupakan hal tidak mungkin bagi kekuasaan itu.
Kekuasaan
tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula ketika Bun Beng
terlempar ke dalam pusaran air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli dalam
air dan bertenaga besar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan segala
kemahiran dan kekuatannya, anggota Pulau Neraka itu berusaha melawan pusaran
air yang menghayutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun
usahanya menyelamatkan diri itu sia-sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan
pada batu-batu karang. Akan tetapi sebaliknya dengan Bun Beng. Ketika anak ini
jatuh ke tengah pusaran air dan merasa ada kekuatan dahsyat dari pusaran itu
menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit pun dia tidak melawan akan tetapi bahkan
inilah yang membuat dia selamat!
Air pusing
yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika ‘menelan’ tubuh Bun Beng,
disedot ke bawah lalu dihanyutkan dengan kecepatan yang luar biasa di bawah
permukaan air. Biar pun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air telah
menyedot napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya
masih dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam gunung batu
karang.
Ketika anak
itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu-batu besar yang halus
permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di antara batu dan
untung bahwa dia terhempas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia membuka
mata, tubuhnya terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia
menggigil. Sudah matikah aku, pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke
sekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada di lambung sebuah gunung yang
tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran-heran.
Bagaimana ia
dapat sampai di lambung gunung? Kekuasaan alam memang penuh mukjizat. Kiranya
ada terowongan yang menghubungkan tempat itu dengan pusaran air di mana ia
terjatuh, sebuah terowongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta
oleh permainan angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang
amat kuat sehingga menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat
menakutkan.
"Nguk-nguk-nguk!
Huk! Huk! Hukkk!"
Bun Beng
terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagaimana bisa
terdengar suara anjing? Biasanya anjing hanya berkeliaran di tempat datar,
bukan di pegunungan di batu-batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan
tetapi hatinya juga girang karena biasanya anjing-anjing itu dipelihara orang
yang dapat ia mintai tolong.
"Huk-huk-huk!
Ggrrrrr... nguk-nguk!"
Bun Beng
menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun
beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang
menyalak-nyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini,
setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu
merayap turun dengan gerak-gerik seperti manusia, moncong anjing mereka
mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk, melihat pinggul mereka
berlenggang-lenggok, pinggul yang tidak berekor akan tetapi ada dagingnya
menonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang tampaknya
binatang-binatang itu.
Akan tetapi
kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika binatang-binatang itu
mengelilinginya kemudian meraba-raba dan merenggutkan pakaiannya yang basah
sambil mengeluarkan bunyi ngak-ngik-nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan
tangan seekor kera yang menjambak-jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan
teriakan marah dan Bun Beng dikeroyok! Lengan-lengan yang panjang berbulu lebat
itu mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun Beng jatuh
terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan
menampar.
"Plakk!
Nguuuuk-nguk!" Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali, sedangkan
kera-kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang.
Terdengar
bunyi kain robek dan setelah meronta-ronta dan membagi-bagi pukulan ke kanan
kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang bulat! Pakaiannya
robek-robek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan kera itu. Marahlah Bun
Beng dan ia lalu mengamuk, kaki tangannya bergerak dan beberapa ekor kera
terpelanting terkena tendangan dan pukulannya. Akan tetapi tubuh
binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga marah, meloncat
bangun dan mengeroyok Bun Beng.
Tiba-tiba
terdengar pekik dahsyat dan kera-kera baboon itu seketika menghentikan
pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera yang lebih besar
dari pada sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan
kedua lengan panjangnya melangkah maju menghampiri, moncongnya mengeluarkan
suara menggereng dan mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah.
Gerak-geriknya seperti orang menantang. Kera-kera lain melonjak-lonjak dan
bertepuk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini.
Tahulah Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu
memasang kuda-kuda dan membentak.
"Kera
anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?"
Kera besar
itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena ia segera meringis
dan mengeluarkan bunyi marah. "Ngukk...! Kerr...!"
"Monyet
buruk! Majulah! Siapa takut padamu?" Bun Beng menantang dan dia telah
melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bahwa
binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sambil
berloncatan, mana dia mampu menang?
Kera itu
menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas,
menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng
sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa
mengayun kaki kirinya menendang ke arah perut kera.
"Bukkk!"
Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil
terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut
binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti menendang bola karet!
"Monyet
lutung! Kau kuat sekali!" Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah
tertawa terkekeh, sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan
berjingkrak tidak teratur.
Kera besar
itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang panjang tidak hanya
membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lazimnya dilakukan oleh binatang
kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang
penuh bulu itu melakukan pukulan dengan telapak tangan terbuka.
"Wuuut!
Wuuuutt!"
Kedua tangan
itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya mengelak saja Bun
Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat kuat itu. Dia mulai marah
dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid mendiang Siauw Lam
Hwesio kalau dia harus mengakui keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma
sajalah gemblengan yang dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun.
Di samping
latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga
Bun Beng menerima petunjuk-petunjuk yang mempertajam otaknya sehingga dalam
menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia
mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera
yang lebih kuat dari pada seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya
ketika menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal
dan kuat serta otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh
sembarangan menyerang, melainkan harus menggunakan siasat mencari bagian yang
lemah.
Namun kini
dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat
mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan
seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia
menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara
rombongan kera baboon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia
memperhebat serangannya, setiap kali tubrukannya luput disambung dengan
terkaman lain yang cepat dan kuat, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada
Bun Beng untuk membalas.
Tak dapat
dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat namun dia sama sekali belum
memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak
hebat dan hanya mampu mengelak ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua
kali ia terkena tamparan yang membuat pipinya merah membengkak dan matanya
berkunang kepalanya pening! Melihat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara
seperti sekumpulan bocah bersorak-sorak, dan kera jagoan itu menjadi makin
buas.
"Blekkkk!"
Sebuah
tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis oleh Bun
Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan itu masih menembus
tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya
seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang
tanpa dapat ditahan pula.
"Gerrrr...!"
Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak
berdaya itu.
Dalam
keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia membuktikan
keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik berbahaya itu ia
menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan
tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan berhasil
menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah
yang digenggamnya itu meluncur, menyambut muka si Kera yang tentu saja tidak
memiliki akal untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot penuh geram
kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan
butiran-butiran pasir tanah.
"Auurrghh...!"
Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu
saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk ke mata
dan makin nyeri rasanya.
Kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat bangun dan
menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Akan tetapi dia tidak memukul
sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah hidung, mata,
dan telinga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu
saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya menjadi sasaran
serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis
dan akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua matanya
bercucuran air mata!
Dari
gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menyerah kalah,
maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang,
merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak
tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak
tangan-tangan jahil rombongan kera tadi!
Kera-kera
yang tadinya menonton pertandingan kini berlarian datang dan Bun Beng sudah
siap untuk ‘mengamuk’ kalau dia dikeroyok. Akan tetapi kera-kera itu kini tidak
menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan
ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikit pun
bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik!
Agaknya air
mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata
itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun
merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak saat ia
berhasil ‘mengalahkan’ jagoan kera baboon, dia telah diaku sebagai ‘seekor’ di
antara mereka! Dia telah diterima menjadi anggota kera baboon.
Semenjak
saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia
hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang bulat, mencari makan,
bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung
persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul penyesalan di
hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti ‘kawan-kawannya’
sehingga sering kali dia menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat
membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin.
Sebagai
seorang makhluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu saja
dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu
dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apa lagi semenjak dia mengalahkan
jagoan kera, dia dianggap paling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani
mencoba-coba dengan dia! Selama beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera,
Bun Beng mendapatkan sebuah kenyataan yang amat berkesan di hatinya.
Semenjak dia
dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan
terjadi pembunuhan, kemudian disusul dengan pengalaman-pengalaman di mana ia
menyaksikan permusuhan antar manusia yang berakibat pembunuhan-pembunuhan
mengerikan, ia mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk
yang amat kejam dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap sesama
manusia.
Kini hidup
di antara sekumpulan kera yang dianggap sebagai binatang bodoh dan tidak
berakal, dia menemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini hidup
amat rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka
kadang-kadang terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam
mengadu kekuatan sampai seekor di antara mereka mengaku kalah. Yang menang
tidak akan menindas, yang kalah tidak akan menaruh dendam dan tidak ada rasa
mengganjal di antara mereka!
Akan tetapi
seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan membela! Seekor saja
celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih. Tidak ada di antara mereka
yang memonopoli sesuatu. Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak
ada yang menuntut sebagai hak pribadinya. Memang mereka ini tidak pandai
berbasa-basi, tidak pandai bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan
tidak pandai melakukan segala kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi
‘pakaian’ manusia.
Betapa liar
mereka itu, betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenangan,
tidak mengejar kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebahagiaan
dengan sendirinya datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena
tidak mengharap, tidak bertemu duka, karena tidak mencari suka. Betapa wajar
dan betapa dekat dengan alam, betapa dekat dengan kekuasaan alam!
Di samping
menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari
pengetahuannya ketika dulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng
menemukan dan mempelajari kepandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki sebagai
anugerah langsung dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kecekatan, ketrampilan
yang belum tentu dapat dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya
bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di tengah-tengah mereka, dalam beberapa
bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas karang di tebing-tebing yang
curam, memanjat pohon-pohon besar dan loncat berayun dari dahan ke dahan. Juga
ia dapat mengenal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun dan akar-akar
obat yang dipergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan dan
lain-lain.
Selama enam
bulan hidup di tengah-tengah kera itu, Bun Beng mengalami hal-hal yang amat
luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu, dia
menjadi terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan peradaban manusia, ia
menjadi geli sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila, kurang ajar,
tidak tahu malu dan sebagainya oleh manusia-manusia beradab!
Dari manakah
timbulnya rasa malu kalau telanjang dan terlihat orang lain? Mengapa pula harus
malu? Perasaan malu ini adalah buatan manusia sendiri! Buktinya, tidak ada
seorang pun anak-anak yang merasa malu dilihat bertelanjang. Setelah kepada
anak itu ditanamkan pengertian bahwa bertelanjang dilihat orang adalah
memalukan, barulah timbul perasaan malu ini! Andai kata tidak ada penanaman
pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.
Musim dingin
tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita kedinginan.
Kulit tubuhnya sudah terlatih sedikit demi sedikit sehingga kebal. Akan tetapi
perasaan dan kesadarannya sebagai manusia tidak pernah hilang dan hanya karena
terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia bertelanjang bulat di antara
sekumpulan kera baboon.
Ketika pada
suatu hari dia bersama sekawanan kera itu menyerang dan membunuh beberapa ekor
harimau, Bun Beng menguliti harimau yang dibunuhnya dan kulit harimau itu ia
pakai untuk menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa malu atau
penahan dingin, melainkan dengan penutup bawah itu dia terhindar dari gangguan
semut dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit mereka
tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu
kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia
simpan untuk cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia
memerlukannya.
Pada suatu
hari, para kera itu mengeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau mengajak
pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang merupakan
isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini,
menyaksikan sikap mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar
dan aneh, Bun Beng segera mengikuti mereka. Kera-kera itu memasuki goa di
antara batu karang dan memasuki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar.
Mula-mula
terowongan itu gelap, akan tetapi makin jauh makin terang dan anehnya, mulailah
Bun Beng merasa betapa ada hawa panas keluar dari dalam. Hatinya mulai tegang dan
ia mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan yang
merupakan ruangan yang luas di dalam gunung. Sinar matahari masuk melalui
celah-celah batu gunung yang merupakan dinding tinggi sekali. Di tengah-tengah
ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari sumber di dalam gunung
ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap saking
panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia
terbelalak memandang ke sebelah kanan, tak jauh dari sumber air panas itu dan
merasa seolah-olah ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat?
Pemandangan
yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah
kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia. Kursi
itu besar sekali, terbuat dari pada batu persegi yang ditumpuk-tumpuk, dan di
atas kursi itu duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau
melihat pemandangan ini di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan
menganggap kera itu sebagai peliharaan pemain komidi binatang.
Seekor kera
tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya dipakai seorang pendeta, jubah
berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung kedua lengannya. Dan
kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda senang hati, sikap
yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya, dan
moncongnya yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!
Kawanan kera
melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata melirik-lirik penuh sikap
takut terhadap kera tua yang berpakaian. Tetapi mereka tidak mempedulikan
‘kakek’ kera itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka
masuk ke dalam air panas yang mengalir seperti sebatang sungai kecil. Bun Beng
masih tertarik dan terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi
ketika berapa ekor kera mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula
kegembiraannya.
Cepat
ditanggalkannya cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang
airnya panas. Betapa nikmatnya mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu!
Merupakan penawar yang nyaman setelah diserang musim dingin di luar. Dan air
panas itu benar-benar mendatangkan rasa nyaman sekali di tubuhnya, seolah-olah
mengandung sesuatu yang memiliki daya mukjizat menguatkan tubuh. Mengertilah ia
kini bahwa sumber air panas itu merupakan semacam ‘air obat’ yang dimanfaatkan
oleh kera-kera itu agaknya setahun sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba.
Yang amat mengherankan hatinya dan tidak dimengerti adalah munculnya kera tua
berpakaian pendeta itu!
Setelah puas
mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimaunya lagi dan mulailah
ia mendekati kera tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika ia
mendapat kenyataan bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia merasa
kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan sekiranya kera
tua itu dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari
mulut kera itu. Dan kembali ia menyaksikan kesetia-kawanan yang hebat. Agaknya
kera tua itu menjadi semacam ‘juru kunci’ atau penunggu sumber air panas dan
selamanya tinggal di situ. Ada pun untuk keperluan setiap harinya, dia tidak
perlu bingung karena kera-kera baboon setiap beberapa hari sekali ternyata
mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.
Melihat
betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih ‘jinak’
dibandingkan dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini
tidak asing dengan manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat
sebuah ruangan dari batu karang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu
lagi dia memasuki ruangan itu. Hal pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran
huruf dinding batu. Goresannya dalam dan biar pun sudah banyak lumutnya, masih
mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga besar.
‘Di musim
dingin perut gunung mengeluarkan air panas, di musim panas perut gunung
mengeluarkan air dingin. Dingin menciptakan panas, panas menimbulkan dingin
keajaiban apa lagi yang dikehendaki manusia untuk membuktikan kekuasaan alam?’
Bun Beng
belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu, akan tetapi ia dapat mengagumi
coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal
seorang pertapa yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang
peliharaannya! Ia memeriksa lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan
beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja batu tampak sepasang pedang dan
sebuah kitab yang tua sekali. Jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Teringat ia
akan pertentangan di muara Sungai Huang-ho. Bukankah di antara pusaka yang
dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula ‘Sepasang Pedang Iblis’? Dan
kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh
tokoh-tokoh kang-ouw? Ia mendekati meja dan memandang penuh perhatian dengan hati
tegang. Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ketika ia menengok, benar
saja kera tua itu sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguh pun
pada wajah yang tua itu tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak
dapat menahan keinginan tahunya.
Dirabanya
gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian perlahan-lahan
diangkatnya pedang yang lebih panjang. Ia mencabut gagang pedang dari
sarungnya. Baru tercabut sebagian saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya
kembali dengan kaget karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang membuat
bulu tengkuknya meremang. Dengan hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali,
lalu mencoba untuk melihat pedang ke dua yang lebih pendek. Kembali ia terkejut
karena pedang ini pun mengeluarkan sinar kilat yang menyilaukan mata.
"Aihhhhhh...!"
Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja, hatinya
ngeri dan kagum.
Tidak salah
lagi, pedang itu tentulah pedang pusaka yang amat ampuh! Inikah yang disebut
Sepasang Pedang Iblis? Ah, kelihatannya indah sekali, sama sekali tak pantas
disebut pedang iblis karena yang memakai nama ‘Iblis’ tentulah buruk
menakutkan! Kini ia memperhatikan kitab tua itu, mengambilnya dan membuka
sampulnya. Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf indah yang tertulis di
halaman pertama. Ia membuka-buka lembarannya dan ternyata itu adalah sebuah
kitab pelajaran ilmu silat yang amat luar biasa, semua ada tiga macam.
Anak ini
tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah sebuah kitab rahasia yang amat hebat.
Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab itu bukanlah pelajaran ilmu
silat biasa karena Sam-po-cin-keng adalah tiga macam ilmu dahsyat yang di jaman
dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan
berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun
kepada puterinya yang bernama Liu Lu Sian berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik
Beracun) yang bukan lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!
Ketika
kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula
keluar, akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel
pakaian! Ketika ia lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua
sambil berkata, "Kakek kera, terima kasih atas pemberian benda-benda pusaka
ini."
Kera itu
menyeringai dan mengangguk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat bahwa
memang bocah itu berjodoh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia telah
menerima pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau ada
orang datang dan mengambil benda-benda itu berarti telah berjodoh! Tidak ada
yang tahu karena kera itu hanya pandai meniru berpakaian, tidak pandai bicara!
Bun Beng
mulai tekun membaca kitab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar baginya
untuk mengerti isinya karena memang ilmu silat yang diajarkan di dalam kitab
itu adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin dapat
dimengerti begitu saja oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman. Namun
karena pada dasarnya dia memang rajin dan berhati keras, biar pun tidak
mengerti, dia tetap membaca bahkan menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam
kitab itu sampai hafal di luar kepala!
Memang
demikianlah cara orang jaman dahulu mempelajari kitab. Semenjak anak-anak
mengenal huruf, mereka diharuskan membaca kitab-kitab pelajaran Nabi
Khong-hu-cu yang amat sukar dimengerti anak kecil. Namun anak-anak itu dengan
rajin menghafal sehingga ada yang sampai hafal di luar kepala akan semua
ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna yang sesungguhnya! Hal ini sama
sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di samping memperkaya perbendaharaan
kata-kata dan huruf-huruf yang banyak jumlahnya, juga kalau si anak sudah
dewasa, hafalan ayat-ayat itu perlahan-lahan akan dapat dimengertinya dan yang
terpenting diujudkan dalam praktek hidupnya.
Dua bulan
kemudian, saat tengah menyambung-nyambung kulit harimau dan ujungnya ia ikat
dengan tali pohon yang kuat, Bun Beng mendengar kawanan kera berteriak-teriak
di tepi tebing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan pekerjaannya. Bun
Beng kini sudah memakai pakaian, yaitu pakaian yang dibawanya dari ruangan
dekat sumber air panas. Dia sedang mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah
lama ia bercita-cita menuruni tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan
dia, bahkan kawanan kera itu saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang
demikian terjalnya.
Jalan
satu-satunya hanyalah ‘terbang’ turun dan timbullah akalnya ketika ia
menyaksikan burung-burung dengan enaknya naik turun melayang-layang di dekat
tebing yang curam. Kalau saja dia dapat terbang melayang seperti burung-burung
itu! Keinginan inilah yang membuatnya pada saat itu bekerja keras. Dia sudah
mencoba dengan memegangi keempat ujung kulit harimau meloncat dari atas pohon
dan kulit harimau yang terbuka itu menahan peluncuran tubuhnya sehingga ia
dapat hinggap di atas tanah dengan lunak!
Kini ia
hendak membuat ‘sayap’ yang besar dengan menyambung-nyambung kulit harimau dan
mengikat keempat ujungnya dengan tali yang kuat. Dengan ‘sayap’ ini dia hendak
memeriksa keadaan di bawah tebing karena sering ia melihat bayangan-bayangan
bergerak jauh sekali di bawah, seperti bayangan manusia! Juga beberapa kali dia
melihat burung besar sekali terbang ke bawah tebing itu. Mungkin sekali dia
akan dapat kembali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing itu. Ada pun
tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada
habisnya.
Setelah
sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ribut, ia tertarik
juga dan cepat ia menghampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil
menunjuk-nunjuk. Bun Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana,
banyak bayangan-bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Terjadi perang
di bawah sana! Dia tidak dapat memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata
kawanan kera itu dapat memandang lebih jelas?
Inilah saat
untuk ‘terbang melayang’ turun, pikirnya. Bergegas ia lalu mengambil kitab kuno
yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di balik baju
di punggung, lalu ia mengikatkan tiga ujung tali ke pinggang dan memegangi tali
ke empat dengan tangan kiri.
Melihat Bun
Beng mendekati tepi tebing membawa ‘sayap’ aneh itu, kera-kera menjadi bingung.
Mereka itu lalu memekik-mekik ketika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari pinggir
tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan
tetapi ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa betapa
tubuhnya meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali
yang mengikat pinggang menegang, akan tetapi dia girang sekali karena mendapat
kenyataan betapa ‘sayap’ di atasnya mengembang!
"Selamat
tinggal, kawan-kawanku yang baik!" Ia melambai ke atas dan melihat betapa
kera-kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur
perlahan ke bawah.
Tiba-tiba
‘sayapnya’ terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak ada
angin kencang yang akan menghancurkan ‘sayapnya’ dan menghempaskan ke batu
karang yang menjadi dinding tebing curam itu. Untung baginya, angin tidak
kencang dan tak lama kemudian ia sudah dapat melihat orang-orang yang berada di
bawah. Dan dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset.
Dia melihat orang-orang sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat
belasan orang laki-laki yang tampan dan gagah, semua berpedang sedang sibuk
menahan amukan tiga orang yang rambutnya riap-riapan dan bersenjata kebutan.
Ilmu silat
ketiga orang ini hebat bukan main sehingga biar pun orang-orang gagah berpedang
itu lebih besar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat, bahkan banyak yang
telah terluka. Tetapi, dengan semangat gagah mereka itu terus mempertahankan
diri. Seorang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan yang
tampaknya paling lihai memutar pedang menahan amukan seorang di antara tiga
lawan bersenjata kebutan yang lihai itu.
Kebutan di
tangan Si Brewok yang rambutnya panjang itu kecil saja, namun kakek yang
usianya kurang lebih lima puluh tahun ini menggerakkan kebutan secara istimewa
sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang
mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru! Tiba-tiba orang tinggi
itu berseru kaget ketika pedangnya kena digulung kebutan dan terampas. Pedang
terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi
dari cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu dia melihat tubuh Bun Beng
yang melayang-layang turun, maka terdengarlah seruannya dengan wajah girang.
"Thai-seng...
tolonglah kami...!"
Seruan ini
disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang terdesak
dan Bun Beng mendengar teriakan-teriakan mereka.
"Cee-thian
Thai-seng datang menolong kita...!"
"Dewa
kita Kauw Cee Thian datang!"
"Benar!
Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong...!"
Bun Beng
terbelalak keheranan. Benarkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian atau
Sun Go Kong, juga disebut Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha
sakti dalam dongeng See-yu-ki? Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat
wajah mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mereka dalam keadaan
terancam itu tidak mungkin main-main, timbul kenakalannya.
Bun Beng
yang mengerti bahwa tentu dia disangka seorang ‘manusia bersayap’ lalu
mengeluarkan pekik melengking yang agaknya terdengar amat nyaring oleh
orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang riap-riapan itu
memandang dan wajah mereka berubah pucat.
"Ihhh...!
Siluman di siang hari...!" Mereka berseru kemudian mereka berkelebat pergi
melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang
itu!
Setelah
melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan
hati penuh kengerian betapa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah
seolah-olah mulut raksasa besar yang akan mencaploknya. Saking ngerinya, dia
meneruskan jeritannya melengking, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura
untuk menakuti orang melainkan jeritan sungguh-sungguh. Untung dia masih ingat
untuk mengembangkan tangannya yang memegang tali sehingga ‘sayap’ itu terbuka
lebih lebar, menampung hawa menahan peluncuran tubuhnya. Biar pun demikian,
masih saja dia terbanting dan tentu dia akan terluka kalau saja dia tldak cepat
menggulingkan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru dapat meloncat berdiri
dengan kepala pening dan mata berkunang. Akan tetapi ia tertegun menyaksikan
belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepadanya,
tidak berani mengangkat muka memandang!
Bun Beng
mengerutkan alisnya. Gilakah orang-orang ini? Ataukah dia yang sudah gila?
"Hamba
sekalian menghaturkan banyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan
Thai-seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihatkan diri kepada
hamba sekalian."
Hampir saja
Bun Beng tertawa jika tak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan. Ia sukar
untuk mempercaya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah sembilan
belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa
orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai
penjelmaan Sun Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu?
"Cuwi
sekalian telah salah sangka. Aku sungguh mati bukan Sun Go Kong, melainkan
seorang anak biasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan
jangan berlutut, membuat aku merasa canggung dan malu saja."
Orang
bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata adalah pemimpin rombongan
orang-orang itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, memandang Bun
Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya akan kata-kata
Bun Beng sehingga mereka masih tetap berlutut.
Bun Beng
menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Pakaiannya saat itu
memang aneh, dari kain kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus
dari leher ke paha, apa lagi dia ber-’sayap’! Sambil tertawa ia menanggalkan
sayap tiruan itu dan berkata, "Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku adalah
seorang anak biasa yang meloncat dari atas sana menggunakan sayap tiruan dari
kulit harimau. Aku bernama Gak Bun Beng dan siapakah Cu-wi? Berdirilah agar
kita dapat bicara dengan enak."
Kini
sembilan belas orang itu bangkit berdiri dan memandang Bun Beng dengan penuh
keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka dapat percaya
bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi menyaksikan
sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan telah berhasil membuat
tiga orang lawan mereka lari tunggang langgang tanpa melakukan gerakan apa-apa?
Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau juga percaya
akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang kagum sekali. Biar pun bukan
Sun Go Kong, anak ini adalah seorang anak luar biasa dan telah ‘menyelamatkan’
nyawa mereka yang tadl terancam maut.
Orang tinggi
besar ltu menjura dan berkata, "Harap Siauw-enghiong (Pendekar Cilik) suka
memaafkan kami yang salah menduga. Betapa pun juga karena engkau datang dari
atas sana, kami yakin bahwa engkau tentu bukanlah seorang anak sembarangan, apa
lagi engkau telah menyelamatkan kami sembilan belas orang saudara. Terimalah
rasa syukur dan terima kasih kami, Gak-enghiong, dan mudah-mudahan kami akan
berkesempatan membalasnya."
Bun Beng
menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dan sungkan. Ia
balas menjura dan berkata, "Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama
sekali tidak merasa telah menolong kalian. Menghadapi tiga orang liar yang
lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah? Hanya kebetulan saja
kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka itu dan mengapa
menyerang Cu-wi? Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?"
"Panjang
ceritanya, Gak-inkong (Tuan Penolong Gak). Karena engkau adalah seorang
penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi marilah kita
bersama kami ke tempat tinggal kami agar kita dapat bicara dengan
leluasa."
Bun Beng
lalu mengikuti mereka menuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri
dari goa-goa besar yang banyak terdapat di kaki gunung itu. Goa-goa itu mereka
jadikan tempat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan yang kuat
karena jalan masuk goa itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.
Bun Beng
mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan belas orang itu yang
agaknya menganggap hutang budi sebagai hal yang amat penting. Anak ini sampai
merasa canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima
keramahan mereka, menerima dan memakai pakaian yang mereka beri kemudian
bersama mereka makan minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang
bernama Ciu Toan dan menjadi pemimpin mereka itu.
Ciu Toan
yang menganggap Bun Beng sebagai tuan penolong dan penyelamat nyawa mereka,
menceritakan semua keadaan mereka, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati
tertarik akan tetapi juga terheran-heran karena di dalam penuturan Ciu Toan
banyak terdapat hal yang aneh-aneh.....
Sembilan
belas orang gagah itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang
yang pernah menggemparkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang
dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang
yang gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu mereka masih bergabung dalam
sebuah pasukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang
Pedang.
Mereka
dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-saudara
kandung, saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersumpah
untuk bersama-sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika
pertahanan terakhir terhadap bala tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah
ini jatuh pula ke tangan Pemerintah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah
perkasa ini pun mengalami kehancuran. Dari jumlah tiga puluh orang hanya
tinggal sembilan belas orang saja.
Karena tak
dapat bertahan lagi menghadapi bala tentara Mancu yang amat besar dan kuat,
mereka terpaksa melarikan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan
menghadapi bala tentara Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah
daerah itu ditundukkan, Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga
Puluh Batang Pedang ini. Tentu saja untuk menangkap dan menghukum mereka yang
telah mendatangkan kerugian banyak terhadap pasukan-pasukan Mancu.
Sembilan
belas orang ini menjadi orang-orang buruan yang terpaksa menyembunyikan diri.
Karena pengejaran dan pencaharian dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus
oleh Kerajaan Mancu, maka sembilan belas orang yang dipimpin Ciu Toan itu
akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir dua tahun mereka
tinggal di tempat itu.
"Cu-wi
adalah orang-orang gagah perkasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan
menganggap aku sebagai Sun Go Kong?" Tanya Bun Beng yang merasa kagum
sekali terhadap orang-orang itu yang biar pun kalah perang tetap tidak mau
tunduk kepada pemerintah penjajah.
Ciu Toan
menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, "Kami... kami menjadi
pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan... tadinya kami
mengira bahwa kembali beliaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang
terjadi dua tahun yang lalu."
Bun Beng
kini membelalakkan matanya. "Apa? Benarkah Cu-wi pernah diselamatkan
oleh... oleh... Raja Kera Sun Go Kong?"
Dengan alis
berkerut dan wajah sungguh-sungguh Ciu Toan berkata, "Memang sukar
dipercaya bagi yang tidak mengalaminya sendiri. Dewa Sun Go Kong dianggap
sebagai tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di
puncak tebing penuh rahasia itulah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya
sendiri," Kemudian Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang
lalu, didengarkan oleh Bun Beng dengan hati tertarik sekali.....
Ketika
sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang
sibuk membuat tempat tinggal di goa-goa, pada suatu pagi mereka diserbu dan
dikepung oleh segerombolan perampok yang sebelum mereka datang memang menguasai
daerah kaki pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan
terjadilah pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang
ini.
Mereka
melakukan perlawanan gigih. Karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan
dalam pertandingan perorangan ilmu kepandaian mereka tidak terlalu luar biasa,
maka mereka terdesak hebat oleh para perampok yang bertekad membunuh semua
orang yang mereka anggap hendak merebut wilayah kekuasaan para perampok itu.
Dalam keadaan terdesak dan banyak di antara mereka telah terluka, tiba-tiba
dari atas tebing menyambar batu-batu kecil yang merobohkan para perampok itu.
Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para bekas pejuang, dan yang
mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka, hanya tepat mengenai
jalan darah yang membuat para perampok terguling dan lumpuh untuk sementara.
Para
perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh lawan yang tidak
dapat mereka lihat. Apa lagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi itu
sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang
bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah,
dapat dibayangkan betapa saktinya si penyambit batu-batu kecil! Karena jeri,
para perampok melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang
mengganggu para bekas pejuang.
Ciu Toan dan
teman-temannya mengobati luka yang mereka derita dan mereka pun merasa heran
sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di puncak
tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi
terpaksa mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki,
terlalu terjal, tinggi dan licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai
seperempat saja dan terpaksa menghentikan usaha mereka. Akan tetapi, selagi
mereka beristirahat dengan peluh bercucuran, mereka melihat bayangan seperti
bayangan manusia berloncatan mendaki tebing itu dengan kecepatan luar biasa
sekali.
"In-kong
(Tuan Penolong)... harap sudi menemui kami...!" Mereka berteriak-teriak,
namun bayangan itu sebentar saja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar
suara dari atas, lirih saja namun amat jelas terdengar oleh mereka.
"Turunlah
kalian, tidak boleh naik ke sini!"
Karena
memang mereka merasa tidak mungkin dapat mendaki tebing, tanpa dilarang sekali
pun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran
menyaksikan bayangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin
mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja? Dan suara dari
atas itu, seolah-olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia!
Dewa agaknya, dewa penjaga gunung yang telah menolong mereka.
Dan selagi
mereka menduga-duga sambil bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar
dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru kaget sambil
menuding ke puncak tebing. Mereka semua memandang dan melihat seekor kera besar
memakai pakaian pendeta duduk di pinggir puncak tebing, di atas batu dan kera
itu menggerak-gerakkan kedua tangan seolah-olah menyuruh mereka cepat turun!
Ciu Toan dan
saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mereka tidak meragukan lagi
bahwa kera besar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan Sun Go
Kong yang memiliki kesaktian sehebat itu? Di dunia ini mana ada kera yang
berpakaian pendeta yang sakti luar biasa dan yang dapat mengeluarkan kata-kata
seperti manusia? Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah,
sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing tinggi
itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan
perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyerbu, mereka semua itu lari
ketakutan karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu
kecil dan bahkan pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang
melumpuhkan mereka! Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda
yang ternyata adalah kitab-kitab kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat
(Ilmu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka pelajari dan menjadi andalan
mereka untuk menjaga diri!

"Demikianlah
Gak-inkong, maka ketika engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak
ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong
kami. Sungguh pun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap
percaya bahwa Sun Go Kong berada di puncak tebing itu." Ciu Toan
mengakhiri ceritanya yang amat luar biasa itu.
"Bolehkah
aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.
"Tentu
saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu.
Bun Beng
hanya melihat tulisan pada halaman pertama yang berbunyi ‘Sin-kauw-kun-hoat’
dan kini dia merasa yakin bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab
‘Sam-po-cin-keng’ yang dimilikinya. Dia sekarang mengerti bahwa yang menolong
para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang tinggal di sumber air panas,
dan agaknya yang tampak oleh mereka adalah kera tua yang berpakaian pendeta dan
yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah lumpuh! Tetapi,
melihat kesungguhan mereka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau membuka rahasia
itu dan diam saja.
"Dan
tiga orang berambut riap-riapan yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Kami
sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu
Toan. "Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal
memiliki tokoh-tokoh berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?"
Bun Beng terkejut dan ia teringat akan pengalamannya di muara Huang-ho. Dia pun
tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Kenapa mereka datang
menyerbu? Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"
Ciu Toan
menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu
bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa pun juga. Mereka
datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, yaitu hendak menarik
secara paksa agar kami suka masuk menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Aneh
sekali!" Bun Beng berkata.
"Memang
Thian-liong-pang kini telah terkenal sebagai perkumpulan yang kuat, memiliki
tokoh-tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa
orang-orang kang-ouw menjadi anggota mereka, bahkan kadang-kadang menculik
ketua-ketua perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"
"Sungguh
luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita cantik tokoh
Thian-liong-pang yang dijumpainya di muara Huang-ho itu.
"Betapa
pun aneh dan luar biasa, namun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang anak
kecil bersikap seperti engkau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing!
Engkau... engkau tentu... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng
merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada dewa
tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa
saja, hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu cerita ini akan
merupakan cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa
karena orang-orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong
terhadap mereka dan mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun
Go Kong? Berterus terang tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana?
"Cu-wi-enghiong
dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu yang
merantau tanpa tujuan dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena
tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhirnya aku mendapatkan akal,
meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah
sini."
Orang-orang
itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan
dari kulit harimau!"
Bun Beng
tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian untuk merobohkan
dan membunuh beberapa ekor harimau."
"Hebat...,
hebat...! Inkong tentu murid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang
guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng menarik napas
panjang, hatinya memang berduka kalau mengingat akan gurunya, juga merasa sakit
hati atas kematian suhu-nya yang amat mengerikan.
"Bolehkah
kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang
Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Aihhh...!
Kiranya Inkong murid kakek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin
kagum dan gembira sekali dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat.
"Kami mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya
Inkong di sini kami merasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang...."
Tiba-tiba Ciu Toan berhenti bicara dan mukanya berubah.
"Dua
puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan
belas orang. Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan
kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja.
"Kami... kami tadinya... bersisa dua puluh lima orang, akan tetapi
sayang... enam orang telah meninggal dunia di sini..." Ia pun terdiam dan
wajah mereka semua kelihatan muram.
Biar pun
masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kematian
enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka ceritakan kepada orang
lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun Beng
yang tidak tahu harus pergi ke mana, menerima penawaran mereka dan dia tinggal
bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini dari pada tinggal
di atas dan menjadi ‘seekor’ di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia
mendapatkan sebuah kamar di goa dan di situ dia menyimpan sepasang pedang dan
kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sawah atau berburu
binatang di sekitar hutan di kaki gunung.
Namun
beberapa hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepada Bun Beng untuk
mencari ‘akar obat-obatan’. Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka
menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak
boleh kami minta bantuan siapa pun juga," kata Ciu Toan.
"Mengapa
tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang
kalian cari?"
Mereka
saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mereka muram dan
seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita
tentang ini. Harap suka menunggu di sini, kami hanya akan pergi selama tiga
hari."
Tanpa
memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergilah kesembilan
belas orang itu membawa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa
penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Setelah pada hari ke
tiga dia tidak melihat mereka kembali, Bun Beng kehabisan kesabarannya dan dia
pun meninggalkan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat
mereka pergi tiga hari yang lalu.
Hari masih
pagi ketika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang
besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan
tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan
Pendekar Siluman. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa
dengan Pendekar Siluman merupakan idam-idaman hatinya.
Ia kagum dan
tertarik sekali kepada pendekar kaki buntung itu. Jantungnya makin berdebar
keras ketika ia melihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas
punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena jaraknya jauh, dia tidak
dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di
dunia ini yang memiliki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali
Pendekar Siluman?
Saking
girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sembilan belas
orang bekas pejuang dan kini ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana
burung itu beterbangan di atasnya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak
terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi. Akan tetapi, setelah memasuki hutan
dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali.
Kiranya
sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan
mereka berjajar sepuluh buah keranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan
daun-daunan. Apa yang mereka lakukan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling
depan dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung,
ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas
pohon-pohon dan batu-batu.
Kini tampak
jelas oleh Bun Beng bahwa burung itu bukanlah garuda putih tunggangan Pendekar
Siluman, bahkan tampak pula olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung
besar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan
angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah
memberi kesempatan kepada penunggangnya untuk menjenguk ke bawah karena ia
terbang miring, kemudian membubung lagi sambil menyambar dua buah keranjang
dengan kedua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu
masih tetap berlutut dan Bun Beng masih bersembunyi memandang dengan jantung
berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?
Tak lama kemudian,
kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di atas punggung
burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor burung
itu menukik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan
daun-daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keranjang yang diterbangkan
sedangkan sebuah keranjang lagi yang isinya hanya sedikit, hampir kosong, tidak
diangkat pergi.
"Kenapa
hanya sembilan keranjang dan yang sebuah kosong?!" Tiba-tiba terdengar
bentakan dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang duduk
di atas punggung rajawali.
Sembilan
belas orang itu menjadi pucat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
"Maaf...
kami... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan tetapi karena
setiap tiga bulan diambil terus, kini hasilnya makin kurang dan hanya
mendapatkan sembilan keranjang..."
"Bohong!
Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga
Bun Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian berani
menentang dan membantah perintah kami? Tidak cukup murahkah nyawa kalian semua
ditebus dengan akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali? Siapa yang
bertanggung jawab akan kekurangan ini?"
Sembilan
belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat menjawab
hanya menggumamkan kata-kata mohon maaf.
"Diam
semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang
bertanggung jawab? Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman
dari kami?"
Tiba-tiba
Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia menengadah memandang
anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berkata nyaring, "Aku,
Ciu Toan yang bertanggung jawab atas kekurangan ini, saudara-saudaraku tidak
ada yang bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"
Anak itu
mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apa lagi?
Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali merobek-robek
perutmu?"
"Tidak!
Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan saudara-saudaraku,
biarlah saat ini aku menerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut
pedangnya dan langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako...!"
Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah, sedangkan
para bekas pejuang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh Ciu
Toan terhuyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
"Keparat!
Setan...!" Bun Beng mengepal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah
di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh
masih terdengar gema suara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak,
menubruk dan menangisi jenazah Ciu Toan.
"Kalian
ini orang-orang gagah macam apa? Mengapa tidak bangkit melawan bocah setan yang
menunggang burung itu? Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri? Apa artinya
ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengan marah.
"Sssttt...
In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-twako
dan nanti kami akan ceritakan semua," jawab seorang di antara mereka
dengan sikap takut-takut.
Biar pun
marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun terpaksa Bun Beng
menurut karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jenazah Ciu Toan
diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara sekedarnya, Bun Beng mendengar
penuturan delapan belas orang itu....
"Agaknya
Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan
dari Majikan Pulau Neraka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang
mampu menolong...," kata mereka sambil menarik napas dengan muka berduka
sekali.
"Pulau
Neraka? Bocah itu dari Pulau Neraka?"
Orang tertua
dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadinya. Ketika kami
mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggota Pulau
Neraka yang membutuhkan akar jinsom dan daun pencuci darah yang banyak terdapat
di hutan itu. Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang
dan kami keroyok, pada waktu itu jumlah kami masih dua puluh lima orang, dia
terluka dan melarikan diri. Akan tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang
tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, kami dikalahkan dan dipaksa menukar
nyawa dengan penyerahan sepuluh keranjang akar dan daun obat setiap tiga bulan.
Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan sudah dua kali ini yang
mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar mengumpulkan akar
dan daun obat sekian banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas tergigit ular beracun
di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa membunuh diri
seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang
Ciu-twako yang mengorbankan diri."
Bun Beng
mengepal tinjunya, penasaran sekali. "Mengapa kalian tidak melawan?"
Orang itu
menggeleng kepala. "Melawan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan
main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami tidak berdaya sama
sekali. Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan. Ciu-twako membunuh
diri untuk menolong saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi
pemimpin, tentu akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya...."
Bun Beng
menggeleng-geleng kepala. "Sungguh menjemukan kalau begitu, mengapa Cu-wi
tidak pergi saja meninggalkan tempat ini?"
"Pergi
ke mana? Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang
pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.
Bun Beng
bangkit berdiri dan memandang orang-orang itu dengan hati penasaran. Dia masih
kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap
orang-orang yang dianggapnya gagah perkasa ini, hilang kesabarannya.
"Cu-wi
sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut
dikagumi, akan tetapi sekarang mengapa begini.... pengecut? Seorang gagah lebih
mengutamakan kehormatan dari pada nyawa! Lebih baik melawan penindas sampai
mati dari pada membiarkan diri dihina dan ditindas seperti yang dilakukan
orang-orang Pulau Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa
lebih baik mati sebagai seekor harimau dari pada hidup sebagai seekor
babi?"
Delapan
belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah muram. Pemimpin baru
mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk
negara dan bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu
kapan dan terhadap siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak
berdaya, melawan berarti mati semua. Kalau kami menakluk, berarti hanya
beberapa orang terancam bahaya mati, masih ada sisanya untuk menanti kesempatan
melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu. Kami tidak akan menyia-nyiakan
nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."
Jawaban ini
membuat Bun Beng tertegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-orang
ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan
karena mereka itu takut melawan bukan karena takut mati, melainkan takut kalau
mereka mati dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah
menjadi cita-cita hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia
mengatur persiapan untuk menghadapi bocah penunggang rajawali dari Pulau Neraka
yang dibencinya itu.
Diam-diam
Bun Beng menyembunyikan sepasang pedangnya ke dalam sebuah goa kecil yang tidak
dipakai, menutup goa dengan batu dan menanam rumput alang-alang di depannya.
Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya.
Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan delapan belas orang itu yang kini
sibuk mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu
penyetoran tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka.
Tiga bulan
kemudian, ketika sepuluh buah keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan
delapan belas orang itu berlutut menanti datangnya burung-burung rajawali yang
hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun Beng telah berada di dalam sebuah
di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia telah memasuki keranjang
yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena ia memaksa
mereka untuk diperbolehkan membantu mereka ketika ia menyusul mereka ke hutan.
Bun Beng
memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia
diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan banyak
mengalami hal-hal yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa.
Dia telah melihat tokoh-tokoh Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil,
orang-orang Pulau Neraka ikut pula memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti
bahwa di antara ayahnya yang disebut Kang-thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan
Pulau Neraka tentu ada hubungannya, karena ibunya seorang tokoh Siauw-lim-pai,
tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka.
Kini,
mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu
datang dari Pulau Neraka timbul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di
mana dia akan menegur cara mereka mengumpulkan obat-obatan dengan memeras dan
menekan bekas-bekas patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa
perbuatannya amat berbahaya bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak
merasa takut. Kalau bocah sombong dan angkuh itu berani menunggang di punggung
rajawali, mengapa dia tidak berani diterbangkan dengan bersembunyi di dalam
keranjang akar obat?
Jantung Bun
Beng berdebar keras ketika menanti di dalam keranjang, khawatir kalau-kalau ada
di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa
keranjang. Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah keranjang bahwa ke
delapan belas orang itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak
memperhatikan sepuluh buah keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba
terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sayap di atas
pohon-pohon. Burung-burung itu telah datang! Bun Beng cepat merendahkan
tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar
tegang. Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa
terbang rendah di atas keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa
isi keranjang dari tutup yang berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap
terdengar makin keras, burung rajawali mulai menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang
itu! Keranjang di mana Bun Beng bersembunyi mendapat giliran terakhir. Hatinya
lega bercampur tegang ketika ia merasa tubuhnya terangkat dan terayun-ayun,
merasa betapa tubuhnya membubung tinggi!
Agak pening
juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan tetapi
kalau teringat kepada anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan
hatinya dan menggigit bibir. Entah berapa lama dia diterbangkan dan kini dia
tidak merasa pening atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu
ia ‘terbang’ sendiri di atas tebing tidaklah begini mengerikan karena dia dapat
melihat sekelilingnya, tidak seperti sekarang mendekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia
mendengar suara keras sekali dan baru ia ketahui bahwa rajawali yang menggondol
keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mendengar pula pekik
rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki!
Bun Beng terheran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok?
Saking herannya, ia membuka tutup keranjang dan betapa kagetnya saat
menyaksikan pemandangan yang amat hebat.
Di angkasa
itu, anak laki-laki yang angkuh dari Pulau Neraka sedang bertanding melawan
seorang anak perempuan sebaya yang menunggang seekor burung garuda putih yang
besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan bertanding mati-matian
sambil saling memaki! Juga burung garuda itu membantu penunggang masing-masing,
saling bertempur mempergunakan cakar dan paruh!
Tiba-tiba
Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung
tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Siluman mencari
muridnya? Murid perempuan? Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman!
Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman otomatis tertumpah kepada
murid perempuan pendekar itu, apa lagi lawan anak perempuan itu adalah anak
laki-laki yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sampai lupa menutupkan kembali
tutup keranjang, lupa bahwa keranjang yang didudukinya itu dicengkeram oleh
kaki rajawali yang besar dan kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil
mendengarkan percekcokan mulut. Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan
pandai memaki!
"Iblis
cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di
tanganku!" bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha,
kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pedangku akan
membuat kau terguling, dan tubuhmu akan hancur gepeng terbanting ke
bawah!" Anak laki-laki itu balas memaki.
"Mampuslah!"
Anak
perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri mencengkeram bulu
leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena tubuhnya condong ke
depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan lawan.
"Tranggggg...!"
Anak
laki-laki itu menangkis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu secara
aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan
langsung menikam dada!
"Celaka...!"
Anak laki-laki itu berteriak.
Ia lalu
menggerakkan tubuhnya meloncat ke kanan. Dalam kegugupannya menghadapi serangan
maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas punggung rajawalinya yang sedang
terbang, maka ketika ia meloncat ke kanan, otomatis tubuhnya melayang jatuh
dari punggung rajawali!
Betapa pun
bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri
juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali,
padahal tanah di bawah sedemikian jauhnya sampai hampir tidak tampak teraling
awan!
Akan tetapi
anak laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali
tunggangannya sudah terlatih. Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang
kaki rajawali dengan tangan kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan
kembali mendoyongkan tubuh ke depan untuk menusukkan pedangnya. Sambil
bergantungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-laki itu menangkis.
"Cringgg...!"
sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api berpijar.
Melihat
kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnya
menghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh
garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali
membodol dan berhamburan melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh,
dikejar oleh burung garuda.
Agaknya
melihat kawannya bertempur, rajawali yang mencengkeram keranjang Bun Beng
hendak membantu. Ketika garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini
sudah diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah
sekali, rajawali yang membawa Bun Beng menerkam dari belakang, menggunakan kaki
kiri dan paruhnya karena kaki kanannya mencengkeram keranjang terisi Bun Beng.
Garuda putih tak sempat menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu
dia harus menghadapi serangan balasan lawannya yang marah. Melihat ini, anak
perempuan itu memutar pedangnya menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung
rajawali ini menggerakkan paruhnya menangkis.
"Trangg...!
Aihhhh... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan kaget karena
pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan
awan.
Kini burung
garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung
rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan
tentu berhasil merontokkan beberapa helai bulu lawan. Menyaksikan kegarangan
garuda ini, kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengelilingi dan
mengancam. Kini anak laki-laki itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan
yang sudah tak bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha,
kuntilanak kecil! Engkau telah terkurung sekarang. Mana kegaranganmu tadi? Ayo
bersumbarlah sekarang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kau kira semua
orang takut kepada penghuni Pulau Es? Ha-ha, mukamu sudah pucat! Betapa pun
juga, wajahmu manis sekali. Jika kau menyerah dan ikut bersamaku ke tempatku,
aku akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku minta
upah dan balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan
mengangguk-angguk delapan kali di depan kakiku, menyebut aku Koko yang baik,
lalu membiarkan aku mencium kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan
sahabatku dan...."
"Tutup
mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es? Biar aku mati,
Suhu tentu akan mencarimu dan merobek mulutmu serta membunuhi semua nenek
moyangmu, kalau engkau tidak begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan
tempatmu!"
Gadis cilik
itu terpaksa harus miringkan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya ketika
burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri
dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia
tangkis dengan tendangan mengarah pergelangan tangan, namun anak laki-laki itu
sudah cepat menarik kembali tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha!
Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan engkau
menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia gurumu, bukan?
Ha-ha-ha, tunggu saja. Nanti pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau
Es, termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat
sombong! Aku tahu sekarang! Engkau tentu seorang di antara anggota Thian-liong-pang
yang sombong!"
"Heh-heh-heh,
boleh kau terka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
"Dia
dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahannya lagi
sehingga ia lupa diri dan berteriak.
"Hahh...?"
Kini anak laki-laki itu memandang dan baru tahu bahwa keranjang terakhir itu
bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki!
"Kau... siapa...?"
Sementara
itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya engkau adalah
keturunan orang-orang buangan itu? Pantas seperti iblis!"
Bun Beng
yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah murid Pendekar
Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali
membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam
ke arah perut rajawali yang membawa keranjangnya.
"Bukkk!"
Pukulan Bun
Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia mempelajari
Sam-po-cin-keng. Tenaga sinkang-nya bertambah kuat sekali berkat bertelanjang
selama setengah tahun dan mempelajari ilmu silat yang mukjizat. Begitu terkena
hantaman ini, rajawali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu
terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang
membuat ia sukar bernapas!
Akan tetapi
rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan Bun Beng,
segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali pertama
menjadi jeri, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jeri setelah rahasianya
terbuka, maka ia menyuruh burungnya terbang pergi meninggalkan burung garuda
dan anak perempuan yang menungganginya.
Anak
perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan berusaha mengikuti keranjang
terisi anak laki-laki yang jatuh dengan pandangan matanya. Akan tetapi jatuhnya
keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia
menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan cepat
sekali.
"Bibi
Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita
pergi, aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik anak perempuan
itu kepada garudanya.
Anak itu,
tepat seperti dugaan Bun Beng, adalah Giam Kwi Hong, keponakan dan juga murid
dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau) Pulau
Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh
pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disayang oleh gurunya yang
juga menjadi pamannya, dan karena semua penghuni Pulau Es juga sayang dan takut
kepadanya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani
meninggalkan Pulau Es di luar tahu gurunya.
Hal ini
adalah karena dia selalu dilarang untuk meninggalkan pulau dan memang anak yang
ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak besar akan berontak karena larangan
itu justru menimbulkan daya tarik dan gairah untuk mengetahui bagaimana
macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda betina putih
meninggalkan pulau untuk ‘melihat-lihat’.
Garuda itu
terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa lelah setelah
bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik
turun dan hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristirahat. Burung
ini biar pun terlatih dan kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang
bergerak menurutkan kebutuhan tubuhnya. Dia merasa lelah dan harus beristirahat
sebelum melanjutkan penerbangan ke Pulau Es yang jauh.
Karena lelah
kedua-duanya, baik garuda itu mau pun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari depan
tampak dua titik hitam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat
turun dari punggung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan
ternyata itu adalah dua ekor burung rajawali, ditunggagi oleh anak laki-laki
bekas lawannya tadi sedangkan yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita
yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu meluncur turun dan tak lama kemudian
hinggap tak jauh dari situ.
Melihat
bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan tetapi wanita itu
menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang
menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbelenggu kedua kaki
dan paruhnya sehingga tidak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja
bergerak-gerak dan tubuhnya meronta-ronta.
"Diam
engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, sekali
tangannya menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya
lagi.
"Setan!
Kau apakan burungku...?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan
kedua tangan terkepal.
"Inikah
anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang
cepat mengangguk.
"Dialah
kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak
laki-laki itu sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang
cepat mengelak dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak
laki-laki itu.
"Engkau
setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu? Biar kau bawa semua
penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan
kini biar pun bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat.
Setelah turun dari punggung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu
lebih muda darinya, maka keberaniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap
anak kecil?
Ilmu silat
Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman
atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia memiliki sinkang yang
jauh lebih kuat dari pada lawannya, di samping gerakan ginkang-nya yang membuat
tubuhnya ringan dan gesit bukan main. Biar pun lawannya memegang pedang, namun
setelah bertanding tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh
perhatian, kini dia mulai mendesak terus sedangkan anak laki-laki itu sibuk
memutar-mutar pedang menjaga diri dari serangan yang datang bertubi-tubi dari
segala jurusan itu.
"Mundur
kau!" Tiba-tiba wanita cantik itu mendorongkan tangannya dan tubuh Kwi
Hong terpental ke belakang.
Kwi Hong
marah sekali. "Engkau siluman!"
Dan ia maju
lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada dinding tak tampak
yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga tidak berhasil.
Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia lari ke
mana pun juga!
"Bocah
liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wanita itu
bertanya, suaranya dingin sekali.
Kwi Hong
mengangkat muka memandang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian
hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan
memandang wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga
puluh tahun, memiliki kecantikan luar biasa sekali, dengan sepasang matanya
yang lebar, bening dan bersinar tajam akan tetapi juga mengerikan. Tubuhnya ramping
dan padat, ditutup pakaian yang serba hitam sehingga wajahnya yang sudah putih
menjadi makin jelas warna putihnya.
Diam-diam
Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih susu,
bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putihnya
kapur!
"Benar,
aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Sebaiknya engkau
yang memiliki ilmu siluman jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa
lihainya Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh,
kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu
mengejek.
"Keng
In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah,
jadi bocah nakal ini anakmu? Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau
Neraka?"
Wanita cantik
bermuka putih itu mengangguk. "Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka
dan engkau harus ikut bersamaku ke Pulau Neraka."
"Aku
tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita itu
tersenyum dan makin heranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang
putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya
mulutnya yang tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh
wajahnya. Cantik dan manis bukan main!
"Mau
tidak mau harus ikut."
"Ahh,
tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai memaksa seorang
anak kecil? Kalau engkau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kau lawan
Guruku, tentu dalam sepuluh jurus engkau mati!"
"Anak,
engkau menarik! Engkau penuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih belum
dapat mengatasi kegalakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tetapi
tidak pandai mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku
Giam Kwi Hong!"
Wanita itu
mengerutkan kening. "Apa engkau masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Gurumu?"
Kwi Hong
membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah,
engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku tentu akan marah
kepadamu."
Kembali
wanita itu tersenyum. "Memang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia
mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Siluman berani datang ke
Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong
hendak meronta dan menolak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya
terlempar ke depan disambut lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa
mendekati garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam
dari sutera yang mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun
bebas pula.
"Pulanglah
engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang
agaknya maklum akan kelihaian wanita itu karena dia memekik kesakitan lalu
terbang ke arah timur.
Wanita itu
lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang dikempitnya, lalu
burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng In
yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.
Dari atas
punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau di
tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menjadi lawan Pulau Es
yang kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang
tidak ada tumbuh-tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam,
tampak olehnya bahwa tumbuh-tumbuhan di situ berwarna hijau gelap mendekati
biru sehingga dari atas tampak hitam, apa lagi karena di atas pulau itu
terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu menyelimuti pulau.
Kedua burung
rajawali itu meluncur turun dan setelah tidak begitu tinggi tampak oleh Kwi
Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing batu
karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan
dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan.
Bagaimana mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya
demikian besar? Tentu perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur
lebur!
Kini tampak
rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau
dicat hitam? Begitu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah
rumah besar seperti istana, tampak banyak orang berlarian datang menyambut.
Tiba-tiba
Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng
In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau
Neraka itu wajahnya berwarna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini
orang-orang yang lari berdatangan itu memiliki wajah yang beraneka warna. Ada
yang mukanya berwarna hitam seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu,
hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak adalah warna-warna yang gelap, sedangkan
muka yang berwarna terang, terutama yang kuning, tidak banyak. Tidak ada
seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik-hik!
Alangkah lucunya. Mengapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat muka
kalian? Apakah hari ini akan diadakan pesta dan panggung sandiwara dan kalian
semua ikut bermain?"
Semua orang
yang datang menyambut To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini. Seorang
wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat
menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.
"Twanio,
siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang
mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini
mewakili suara hati semua orang.
"Dia?
Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman..."
Mendengar
wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disukanya, Kwi Hong
memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa tanding, To-cu
dari Pulau Es yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi
ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar
disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah
menjadi amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata mereka jelas tampak
betapa mereka itu terkejut dan jeri. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan
kata-katanya.
"Awas
kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini
beserta seluruh penghuninya!"
Akan tetapi
Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, engkau anak kecil
tahu apa? Tidak perlu membuka mulut besar karena aku sengaja membawamu ke sini
agar Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali.
Dan engkau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."
Kwi Hong
cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita muka putih itu. "Aku boleh
pergi?"
Wanita itu
tersenyum. "Silakan!"
"Terima
kasih!" Kwi Hong lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan
rumah itu.
"Biarkan
dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia tidak sampai
celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung
garuda muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata
rahasia, terutama anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos
masuk ke Pulau Neraka, aku sendiri yang akan menandinginya!"
Para
penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mereka. Mereka
kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar
dan mereka rata-rata merasa jeri terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang
hanyalah Si Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka
yang mukanya berwarna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat
dilakukan siang malam, dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan
dengan rapi.
Dengan hati
girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, memasuki sebuah
hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati
sehingga dia diperbolehkan pergi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti berlari dan
memandang terbelalak ke depan karena di depannya menghadang barisan ular yang
berwarna merah dan hitam, bukan main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka
mengeluarkan suara mendesis-desis dan tampak uap hitam keluar dari moncong
mereka! Kwi Hong menggigil dan cepat membelok ke kanan, akan tetapi di mana pun
penuh ular, demikian pula di kiri.
Terpaksa ia
memutar tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Melihat sebuah hutan lain yang
berdekatan, dia masuk dan hatinya lega karena tidak melihat ular seekor pun.
Akan tetapi, hutan ini amat gelap dan tidak ada lorong bekas kaki manusia, maka
ia masuk secara ngawur saja. Tiba-tiba terdengar suara mengaung yang makin lama
makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari segenap penjuru, membuat
telinganya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia kebingungan,
tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan mengejarnya!
Celaka,
pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja. Tentu
akan mengejarnya dengan kecepatan terbang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia
membalikkan tubuhnya dan lari hendak keluar dari hutan. Akan tetapi betapa
kagetnya ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari cepat
dengan ribuan lebah terbang mengejarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan,
bahkan mungkin tersesat makin dalam!
Ketika
lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin
takutlah dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang berbisa.
Jangankan dikeroyok begitu banyak, disengat oleh seekor pun bisa berbahaya.
Saking bingung dan gugupnya, ia tersandung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah
sudah mengiang di atas kepalanya sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong
menggunakan kedua tangan menutupi kepalanya. Kedua matanya dipejamkan dan
hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"
Akan tetapi,
tiba-tiba suara itu menghilang berbareng dengan timbulnya suara melengking
tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor
lebah berbisa itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan
seorang laki-laki tua bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia
mengerti bahwa tentu orang itu mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun
mengikuti bayangan orang Pulau Neraka yang menolongnya itu.
Benar
dugaannya, orang yang memegang suling itu agaknya sengaja menanti dia karena
beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kiranya jalan
keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok
ke kiri, ke kanan, sampai berulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan
mengambil arah yang bertentangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan
betapa girang serta heran hatinya ketika dalam waktu sebentar saja dia sudah
keluar dari hutan!
Akan tetapi
kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa tentu kakek
itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa
berterima kasih dan tidak mengerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu
mula-mula menculiknya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang
menolongnya dari bahaya maut. Ia berjalan terus, mengambil jurusan yang
berlawanan dengan hutan-hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang
berbatu dan ke sanalah ia menuju. Biar pun batu-batu itu kelihatan hitam
menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar dan pergi dari pulau ini.
Kakinya
mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan mendaki pegunungan
kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagian yang paling
tinggi, tampaklah air laut membentang luas jauh di depan bawah. Dari tempat itu
kelihatan air laut tenang dan hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya
menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai menuruni batu-batu itu, tiba-tiba
ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang menggetarkan batu karang
yang diinjaknya.
Ketika ia
memandang ke bawah, ia terpekik dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di
antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-binatang yang bentuknya seperti
cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter sampai tiga meter.
Ada ratusan ekor banyaknya, baris memenuhi jalan di depannya dengan mulut
terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh...!"
Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud mengambil
jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihatnya daerah yang
penuh dengan tanaman menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat
binatang-banatang buas.
Ke sinilah
ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh
tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti
hidup! Ujung ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti
tangan-tangan setan menyergapnya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan
yang luar biasa, seolah-olah memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong
meronta-ronta, menggunakan kekuatan kaki tangannya untuk melepaskan diri, namun
sia-sia karena lilitan ‘tangan-tangan’ tanaman itu makin erat saja. Dan
dilihatnya tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah
tanaman-tanaman itu hidup dan kini berusaha untuk melepaskan diri dari tanah
dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh...!"
Ia menjerit ketika sehelai di antara ‘tangan-tangan’ itu merayap dan akan
melilit lehernya.
Pada saat
itu tampak berkelebat sinar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang
melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tanaman itu
seolah-olah kehilangan tenaganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri,
lalu meloncat menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit
bagian tubuh yang terlilit tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman
itu pun mengandung racun jahat!
Dia tidak
peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, hanya dapat
menduga bahwa tentu bayangan itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin
menjauhi tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan
lagi yang dapat ia ambil.
Kembali ke
belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti memasuki
hutan-hutan yang penuh binatang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan
lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa mengerikan apa
lagi yang berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti
dia harus melalui tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-binatang cecak
raksasa!
Kini dia
berlari ke depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas
daerah ini seperti daerah aman karena tidak tampak tanaman, tidak ada binatang
hidup, melainkan pasir bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya
jalan keluar!
Betapa
girang hatinya ketika ia sudah menuruni pegunungan dan tiba di daerah pasir
itu. Bersih tidak ada bahaya. Biar pun dia sudah lelah sekali dan napasnya
masih terengah karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya
Kwi Hong tidak merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hendak mencapai
tepi laut secepatnya. Pasir yang terbentang luas dan selalu tertimpa sinar
matahari itu terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh...!"
Tiba-tiba Kwi Hong menjerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai selutut
tingginya.
Cepat ia
berusaha menarik kaki kirinya yang terjeblos ini ke atas, akan tetapi begitu ia
mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik kaki
kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia
terkejut sekali, mengerahkan tenaga untuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia
mengeluarkan tenaga, makin dalam kedua kakinya amblas ke dalam pasir sehingga
setelah tubuhnya masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani
bergerak lagi dan hanya memandang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti
kelinci masuk perangkap!
Keadaan
sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya
ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras. Ia memutar
tubuh atas dan terbelalak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor
binatang seperti anjing hutan sedang datang berlari, matanya merah, moncongnya
menggereng-gereng dan binatang itu lari ke arah dia terbenam di pasir!
Tak dapat
diragukan lagi niat yang terbayang di mata binatang itu, sudah tentu akan
menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan dengan mata
terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir,
hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu
melolong-lolong, meronta-ronta, namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin
dalam sehingga yang tampak hanya lehernya saja. Binatang itu memandang
kepadanya dengan marah dan gerengannya makin hebat.
Seolah-olah
terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang terbuka lebar
itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang binatang
itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh
binatang itu makin amblas, lolongannya makin dahsyat dan akhirnya gerengannya
berhenti karena kepalanya mulai terbenam, mulutnya kemasukan pasir, hidungnya,
matanya dan akhirnya yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih
bergerak-gerak dalam sekarat. Akhirnya kedua ujung telinganya itu pun lenyap.
Binatang itu telah ditelan pasir, tanpa meninggalkan bekas!
"Tolong...!"
Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya
makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu.
Berdiri bulu
kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini
setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat
itu memang paling berbahaya dari pada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya
lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri. Akan tetapi
bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi sekali
orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot
tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati!
Karena panik
dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai
ke dada! Tiba-tiba terdengar suara. "Wirrrrr!"
Dan sinar
hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali
sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat
wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka telah berdiri kurang lebih
sepuluh meter di sebelah kanannya dan sedang menggunakan tali sutera hitam untuk
membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke
depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh...
ahhhh..." Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia
berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di
pinggangnya yang ramping sambil memandang kepadanya.
"Aku
mengerti sekarang...." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau tidak
sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak
akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"
"Sudah
puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu
dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu
bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih
hebat dari pada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap
beracun, binatang-binatang mulai dari sebesar harimau sampai sekecil semut yang
gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur
manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk
melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong
bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia
kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing
datangnya lawan dengan penculikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapa
pun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
"Sungguh
mengherankan. Jika Pulau Neraka ini begini berbahaya melebihi gambaran neraka
sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" tanyanya sambil
memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah
warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan
ini.
"Engkau
takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar
bukan?"
Kwi Hong
mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan
engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau
anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman..."
"Pendekar
Super Sakti!" Kwi Hong memotong.
Wanita aneh
itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas,
tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan
senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."
"Aku
tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar
itu!"
Sejenak
wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan
sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan
berkata. "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar.
Marilah!"
Kwi Hong
merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa
menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat
mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan
tetapi sebentar saja mereka telah tiba di depan gedung besar seperti istana
yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang
berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan
mengejek.
"Aha,
engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau
ini!"
"Keng
In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi
Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia
bermain-main dengan baik, tapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau
mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!" Wanita itu
berkata.
Keng In
membelalakkan matanya, memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena
selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian
wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, tetapi dia mengangguk dan
bibirnya menjawab lirih, "Baik, Ibu."
Di dalam
hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan
tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan
tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan
itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik. Akan tetapi betapa
heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan
yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni
laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan
sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja!
Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa
sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba
lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es!
Sudah satu
minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik,
mendapat kamar di sebelah kiri kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan.
Keng In tinggal di kamar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak
mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mempertahankan apabila Suma Han
datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu
ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang
kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati
perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah
kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya
cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan
itu dari Keng In.
Di pulau itu
terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan
ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati
perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning
saja. Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apa lagi
terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah
harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara
burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak
mau menerima makanan yang diberikan Kwi Hong.
Pulau itu
berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan
orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak
dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di
situ seolah-olah menjadi semacam ‘pangeran’. Betapa pun juga, ada beberapa
orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan
pula dengan Kwi Hong.
"Semua
orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?"
Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.
"Mengecat
muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau
Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah
sinkang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu
kepandaian dan kedudukan mereka."
"Ahh,
kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling
pandai?"
"Tentu
saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka
kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya,
makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggota yang sudah
memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sinkang yang khas sehingga ada warna
timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggota paling rendah yang belum berhasil
memiliki sinkang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal
di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan
sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil. Yang
berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau
memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sinkang
khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"Hemmm....
dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"
Keng In
mengerutkan alisnya. "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak
boleh mempelajari sinkang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sinkang itu dilatih
dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka
yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."
Kwi Hong
teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia
bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan mendengar cara berlatih sinkang sambil minum racun itu, dia dapat
membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa
gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu
Keng In...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment