Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 20
Empat orang
pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh
mereka yang duduk bersimpuh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka
kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka berdebar penuh
ketegangan. Biar pun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk
menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat
dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara
dari dalam kamar. Suara yang lirih sekali pun, seperti berkereseknya pakaian
atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas.
Dara itu
benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang dan
bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera
longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya
merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh
yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu
tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia
menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga kedua lengannya rebah di atas
lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya
tergerai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus
membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan
keluar dari selimutan sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin
diraut!
Kaisar
terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu
kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium
keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan
dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus, "Bangunlah...!"
Tubuh yang
berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak
bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu
bangkit duduk. Wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan kedua pipinya,
mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang
membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan
pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk
bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak
dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua
lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan
perut yang mulai menggendut.
"Juwita
sayang... jangan takut dan malu, ke sinilah...," kembali Kaisar berbisik.
Muka itu
makin menunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara
menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan
menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah
menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para thaikam
yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah
tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai
orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri
berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat
tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit
bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar.
Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah.
Kaisar
seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar
kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan
sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang di antara para gadis
pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya.
Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian
nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah
berlepotan membanjiri lantai.
Bukan hanya
ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya
seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan
yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut
yang siap mencabut nyawanya! Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan
yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan
jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke
dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba
tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu
tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam
sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat,
menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah
terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik,
gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita
itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar yang
terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa
engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal...!"
"Hendaknya
Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris
Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih
itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga
dingin.
Kaisar yang
sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi
membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur
telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah
tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan
darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar
terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa...
apa yang telah terjadi...?" Kaisar bertanya tergagap karena merasa heran
dan tidak mengerti.
"Harap
Sri Baginda mengampunkan hamba yang bertindak lancang ini. Persekutuan
pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini
adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka
dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana
ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa
perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi
tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa...?!
Pemberontak? Koksu?! Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh
besar...!"
Tepat pada
saat itu pula muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka
menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang meluncur ke dalam kamar.
Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah
berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan
kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya.
Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau
mereka sendiri!
Kini barulah
Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhhh... lekas
ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba
bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini.
Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu
beserta kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan
tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet.
Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka
terancam..."
"Hemm,
jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita
Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan
engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan
penuh kepadamu."
"Akan
tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka..."
"Aku
akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan
khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak
seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!"
Wanita itu
yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu
berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang
kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu
menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan
tombol di sudut kamar.
Dengan
gerakan ringan bagaikan seekor burung walet Lulu meloncat keluar dari dalam
kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan
sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah
empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu
berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing...
crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata
tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah
berada di belakang dua orang Nepal itu, membalas serangan dengan
tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang
Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang
bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini
terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han, dan semua thaikam yang
menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka
elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.
Akan tetapi
yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki
kesaktian luar biasa. Biar pun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang
Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak, bahkan
kedua tangannya mengembang menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat
dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan
tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh
dengan urat-urat leher putus terkena ‘bacokan’ kedua tangan Lulu!
"Hati-hati,
kepung dia...!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di
sudut.
Orang ini
berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang
asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian
terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh
tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan
teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan
sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri
di tengah-tengah ruangan yang luas. Dia diam tak bergerak, hanya kedua matanya
saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para
pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai
mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang
rendah, sungguh pun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak,
akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin
lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia
mulai menjadi pening!
Yang paling
nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek
Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng,
menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak
tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak
tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya.
Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara
orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang
bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan,
dan orang ketiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu merasa
pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan
datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan
jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia
tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan
itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka
mencengkeram ke depan!
Tanpa
disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu
hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khikang saking marah
tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu
terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri
Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada,
seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang
ketiga langsung terhuyung-huyung mundur ketakutan!
Lulu
melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang
melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu sudah datang pula
senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu
yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya,
demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu
telah berada di atas sebuah meja!
Orang-orang
Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini
Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah
meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan kiri,
melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran
yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja, tidak mudah
bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan
mengandung hawa sinkang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka
tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting
oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang
dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu.
Betapa pun
juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu
juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Ia selalu membuat
mejanya melayang ke luar dari kepungan setiap kali para pengeroyoknya berusaha
untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak
pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang
ke atas loteng!
Kakek Nepal
yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak
buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali.
Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang
melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak dari mulutnya
ke arah Lulu.
Wanita ini
mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi
kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya,
Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sinkang. Uap arak
itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu
seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus
menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan
guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desssss!"
Lulu lebih
memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas
meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia
berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi,
langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek Nepal
itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah
Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang
tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini
melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin
pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan tangan
Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!"
Telapak
tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh
makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat,
sama sekali tidak mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, dia sama
sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus
yang amat berbahaya.
Lulu
memperoleh ilmu pukulan mukjizat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah
dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun.
Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar
orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima
pukulan ini secara terbuka seperti itu.
Suara
ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku
seperti kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan
tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi
terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah
hitam!
Gegerlah
orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya
berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga
orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang
ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan,
maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka
menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi,
Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia
selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan
tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar
sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menjadi makin kacau, mereka
melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi
seorang!
Pada saat
itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan
pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang
masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget saat mengenal bahwa yang baru masuk
melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita
berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang
terhunus!
"Tangkap
Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak
marah.
Dia sudah
mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia
setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Tetapi setelah kini ternyata
Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan
agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar
hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat
lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia.
Mendengar
bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata
terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan
lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan
tangan kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini
para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.
"Biarkan
hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang, sekali kakinya bergerak,
tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan
dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini
saling berhadapan!
Bagaimanakah
Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ
bersama puterinya? Telah kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin
menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali
perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman
di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang
lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak
orang dalam usaha mereka membobol keluar dari kepungan.
Tadinya
Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu
yang telah memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan
menghancurkan Thian-liong-pang. Akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat
itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi
khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur,
dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian
Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh
yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan
kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua
orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari
taman di belakang istana Koksu.
Mereka lari
berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke
markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari
jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu
dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana...!"
dia memanggil dengan hati merasa tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di
markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan
markas Thian-liong-pang.
"Ibu...!"
Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak
enak lagi.
"Apa
yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang
menangis terisak-isak.
Dengan suara
terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin
Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah
mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat
melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
"Anjing
pengkhianat Bhong Ji Kun...!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita
harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana
berkata penuh sakit hati.
"Bagaimana
engkau dapat lolos?" Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu
meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini
untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm...,
anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak disangka. Milana, sekarang juga kita
harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan,
membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah,
ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana
menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai
dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian
puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu
Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat
keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan
banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi
pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu
membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar
bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar
untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang
pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap
menantang!
"Hemm,
sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini,
Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji
dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada
di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut
kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa
tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang
telah menolak pinangannya itu.
"Kurung
para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika
dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan
peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu.
Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat
sehingga tidak ada jalan keluar lagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak
rendah, bersiaplah untuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah
menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena
dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang,
Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga
pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak!
Plak! Heiiiittt!"
Lulu
melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua
Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan
tenaga pukulan yang sama!
"Aihh,
ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri
ilmu yang tak tahu malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu,
betapa bodohnya engkau!" Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah
halus dan Lulu tersentak kaget.
"Kau...
kau... siapakah...?"
Pada saat
itu Milana telah menjatuhkan diri, berlutut menghadap kepada Kaisar sambil
menangis dan berkata, "Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu
hamba...! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya.
Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin,
Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu
pengkhianat. Para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris
tewas... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu... Ibu... selamanya...
setia kepada Paduka..."
Milana tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru
sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri!
Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, tetapi
merasa berduka dan terharu.
Lulu juga
mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu dengan
bingung. Sekarang wanita berkerudung itu pun menjatuhkan diri berlutut
menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang.
"Sesungguhnyalah
apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah
puteri Paduka yang setia..." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi
mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin
itu.
"Suci
(Kakak Seperguruan)...!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun
tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai...!"
Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. "Aihhh... jadi engkaukah
yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini... dia
anakmu...?"
Nirahai
menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap kemudian berlutut di depan Kaisar.
"Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...”
"...dan
dia cucuku! Ahhhhh!" Sang Kaisar menyentuh kepala Milana dengan ujung jari
tangannya. "Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, aku
serahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpinlah mereka membersihkan
pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret
mereka ke pengadilan! Dan... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia?
Sumoi-mu?"
"Dia
adalah Lulu, Sumoi hamba dan... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah
dibasmi oleh pasukan kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan
diri berlutut.
Kaisar
mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Hemmm..., semua adalah
gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku
bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu
dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apa lagi karena aku mengira bahwa
engkau berada di Pulau Es... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah
mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik
Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi
kerajaan!" Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia
benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila
kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak... Han-koko, pikirnya
terharu dan terkejut, karena bukankah suci-nya itu pernah menjadi isteri Suma
Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si
keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan
tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah
itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan
tertinggi!"
Kaisar
meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan
pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal
oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu
mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana
yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua
tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan
wanita sakti ini karena yang mereka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak
orang lihai.
Akan tetapi,
ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin
pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua
pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke utara
untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang
kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan
pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Ada pun Milana
tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya,
menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan
keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.
Berangkatlah
pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara
untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena
mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah
amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apa lagi
karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
***************
Tubuh Bun
Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini
maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia
tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat
memperhatikan wajahnya. Kini bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup
terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang
buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan
tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia
bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut
riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang
lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh,
tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor
dilanda barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu
lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan
berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang
seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan,
"Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam
Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut
terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya menjadi makin pening!
Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga
berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sulit diduga apa
yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang
sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan
menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki
tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sinkang akan mempercepat
nyawanya melayang. Maka dia pun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya
menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau
orang belum tiba saat-nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng.
Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi
tawanan dan tiada harapan baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan
sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia
sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa
kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti
jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua
peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini
tidak mau mencampuri urusan, apa lagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali
tidak dikenalnya.
Bukan hanya
sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan
kekaguman dan rasa suka, tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan
penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok
Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa
ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak
menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan
itu dapat menawannya.
Sebagai
seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana
pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil
keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan
kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada
Wan Keng In, murid suheng-nya itu!
Setelah kini
Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang
harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi
hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti.
Apa lagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang
ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya
bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super
Sakti, pikir kakek itu.
Ketika Bun
Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini
mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling
mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu
akan girang kalau dia memberi ‘hadiah’ calon mantunya ini!
Bu-tek
Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik
bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya
Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi
tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak
bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan
pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang
depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih
panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!"
Bambu itu
dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng
terbanting ke atas tanah. Akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras
benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal
pahanya saja yang terbanting. Ia tetap berbaring miring dan dapat melihat kakek
cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak
bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau
kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya
kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat
ia kagumi. Namun betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki
buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan
pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh
duka!
Bu-tek
Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu
sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan
pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu
hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng kepala
dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biar pun
dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah
miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar
sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka
telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti
akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu
bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman!
Akan tetapi,
sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar
biasa sekali. Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek
cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini
berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya
terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak
didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
Sekali
hidup, siapa minta?
Segala macam
peristiwa menimbulkan suka duka, salah siapa?
Apa pun yang
terjadi tak mungkin dirubah
Tiada
hubungan dengan suka duka, mengapa susah?
Kakek bulan
pun tidak selalu sempurna, mengapa kecewa?
Tuhan tidak
mengharuskan setan, tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang
memang bodoh, tapi yang berduka lebih tolol lagi!
Kini tubuh
Suma Han mulai bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan
muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek
Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat
mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi bagi yang
merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu
tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Ehhh,
Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat dari
pada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu
setelah kau rasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena
aku ada pikiran."
"Siapa
menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak
ada yang menyuruh."
"Nah,
jika begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran,
apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk selalu memikirkan hal-hal
yang menimbulkan duka? Dari pada pikiran dipergunakan secara keliru seperti
itu, jauh lebih baik digunakan untuk memikirkan kenapa kita sampai berduka!
Sebab sesungguhnya, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari
pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek
Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas
dari pada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup,
memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal
suka?" Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha-ha,
Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil
ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh
Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan
pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku,
ternyata kau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi
dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari
luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa
lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja
Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!"
dan pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku
hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali
membuktikan kelemahanmu. Engkau tak mau membuka mata melihat keadaan diriku,
tak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu
menyesatkan." Kakek itu pun menggerakkan tubuhnya dan....
"Bruukkk!"
dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak
keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring,
mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin
dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua
orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata
kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang
hidup. Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang
dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan
makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa
seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek
Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang
dengan suara mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran
yang kau katakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat
hidup?"
"Aku
tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga
aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup
dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita
lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga
pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk
menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk
mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan
lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi
rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh
pikiran!"
"Trakkk!"
Ujung batu yang diduduki Suma Han dicuwil oleh tangan Si Pendekar yang
mencengkeramnya. "Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu?
Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak
senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap
baik kepada keponakanku!"
"Nah,
itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri,
Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku,
bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang
menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan
cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm,
engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti
kukatakan tadi, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran
kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu
ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?"
"Bu-tek
Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikaruniai pikiran, mengapa
tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha,
siapa yang mengaruniaimu? Dan siapakah itu yang kau sebut aku yang mempunyai
pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak
kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di
dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian,
tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi
pelajaran kepadamu, bukan bermaksud mengurui. Sama sekali tidak karena engkau
jauh lebih pandai dari pada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah,
kakek aneh."
"Pikiran
adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun
yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan
hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya
pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan
hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah
begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul
iri, dendam, benci dan sengsara?"
"Nanti
dulu!" kata Suma Han nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima
ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi,
bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita."
"Kita
melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Takkan terjadi akibat sesuatu
yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran lalu masuk dan mengacaunya.
Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang
itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya,
maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan
untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah
kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar
dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku
dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin. Memang agaknya
tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan
pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal
yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal
yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat
yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang
menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar
sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan iri?"
"Karena
nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat
yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang
menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana
dengan dendam dan benci?"
"Dendam
menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian ini pun
ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal
tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebencian kepada
seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak
menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang.
Pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam
kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan
kesengsaraan."
Suma Han
duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut
kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya,
menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi
oleh pengaruh Im dan Yang itu membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang
timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya
semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan?
Hemmmm... kedukaanmu?"
Kakek itu
diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada
sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar
tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka
mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang menutupi
dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu. Akan
tetapi kemudian dia menjawab lancar.
"Sebelumnya
maafkan kalau kata-kataku ini kau anggap tidak tepat. Aku pun hanya seorang
pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama
persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan
dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang
telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati,
berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari
semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja
kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi,
sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran
yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan
sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena
yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian,
Suma-taihiap?"
Bun Beng
mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah
menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan
tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu
berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam,
kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di
dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru.
Sunyi
melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun
gemerisik ditiup angin, suara jangkrik dan belalang yang mulai berdendang
menyambut malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari
sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak
kesunyian, melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri.
Dia rebah di
atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau
tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa
di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang
luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan
esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang
sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu
saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang
dimilikinya, untuk melawan ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa
adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil
pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau dibikin
suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu.
Bun Beng
hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan
lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan
beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan
kakinya. Kalau menggunakan sinkang, tentu sekali renggut saja akan putus ikatan
kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga
nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun
itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sinkang.
Bun Beng
perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian
dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu
kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam,
Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar. Tekun sekali
dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia
dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting
melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan
darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini,
maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki
dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan
jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu.
Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
"Memang
enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin
seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang
hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan
tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya
lagi. Kau dengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka
selama hidupku?"
Pendekar Super
Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu kemudian membuka semua
rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula
mendengarkan, tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh
pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu dia pun terkejut,
terheran dan merasa terharu sekali. Tak disangkanya bahwa pendekar besar yang
dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda
kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa
kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena
aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah
dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang
mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk
menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku
karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan
aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik
angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau
Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku,
memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah berputera
seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena
patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya
kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau
Neraka. Ada pun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak
perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba
pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak
berduka?"
Sejenak
keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang
sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh,
aku sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut
dongeng, wanita adalah satu-satunya makhluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya
makhluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang
sanggup menciptakan surga dunia mau pun neraka dunia bagi seorang pria, dan
jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang
sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada
pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik
seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat
menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga
kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita,
apa lagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri
aku memikirkannya! Apakah... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya
demikianlah."
"Dan
engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak
dahulu sampai saat ini."
"Huhhh,
alangkah mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa
mempertimbangkannya, apa lagi memberi nasihat yang harus kau lakukan!"
Kembali
sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran
masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik untuk menghadapi dua orang
wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu.
Tiba-tiba
terdengar suara lantang dan nyaring, "Seorang isteri harus dalam keadaan
apa pun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana
juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari dari pada
pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang
sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali,
tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang
masih duduk bersila di atas tanah.
"Ahhh,
engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin bertanya
heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah,
engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.
Gak Bun Beng
sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Harap Suma-taihiap
sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada
Bu-tek Siauw-jin Locian-pwe yang telah menolong saya."
"Engkau...
Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di
bawah cuaca yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha,
sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua
gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak
dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu
melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
"Tahukah
engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan
padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda
ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu
bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."
"Milana?
Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun Beng
lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan ia melihat Milana
menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan
menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa ia telah berhasil pula mengembalikan
pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur
bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa
Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi
mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya,
dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe
ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."
"He-heh-heh,
agaknya dia telah memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita
pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah
memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng,"
kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.

"Tidak,
dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadapku sudah terlampau besar
sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan
Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan... dan terutama sekali ucapannya
tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku
hingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin,
kau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut
engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai
muridmu," kata Suma Han.
"Wah-wah,
ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan
kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
Bun Beng
terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk
bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata,
"Kau kerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara
mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suheng-ku yang amat keji ini."
Suma Han
sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan
mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang
amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di
tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya
dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh
direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat
dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa
itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa
hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan
leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga
kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam
yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di
depannya.
Ternyata
pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik.
Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk
memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang
telah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka tanpa berani bergerak
menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang makan waktu
kurang lebih dua jam.
Matahari
telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat
betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum
sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah
menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji. Seorang pemuda yang tampan,
gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat
akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu
dengan pemuda ini. Namun dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang
bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi
bimbang.
"Bangkitlah,
Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.
Bun Beng
memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi
nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat
besar itu."
"Ha-ha-ha-ha,
untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang
juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali
nyawa yang kau bilang kami berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini
hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng
menerima dengan sungguh-sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi
syaratnya."
Suma Han dan
Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam
suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing.
Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang,
sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang
mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti
Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya.
Kini mereka
telah merasakan sendiri betapa tenaga sinkang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu
itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng ternyata dapat digabungkan
menjadi satu! Biar pun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata,
keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki
tenaga sinkang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima
gabungan ilmu mereka!
"Bun
Beng, kami berdua telah sepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu.
Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan
dengan hasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba
kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki."
Bun Beng
masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di
samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang
pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia ‘curi’ dari tempat
persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu
itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah
isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini,
apakah tidak berbahaya baginya?
Tentu ia
dianggap pencuri! Tetapi jika tidak dimainkannya, berarti ia menyembunyikan
sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil
keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-ysut itu
mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam goa bersama Sepasang
Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!
"Ilmu
itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang,"
jawabnya lirih.
"Kau
boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han.
Bun Beng
menerima tongkat itu dengan jari-jari gemetar. Betapa dia tidak akan terharu,
bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar
Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia
mencium tongkat itu, lalu memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah
dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit
dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir
menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sinkang dari pemuda itu sudah
amat kuat.
Suma Han dan
Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang,
kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya.
Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia
meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi
sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, tongkat yang ternyata cocok
sekali digunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat
kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah
sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.
"Ha-ha-ha,
dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar
Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang
aneh yang baru kau perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua
menjadi mati kutu!"
Bun Beng
menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang
bodoh dan teecu mohon petunjuk."
"Ahhh,
aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti
tenaga sakti kami... wah... agaknya suheng-ku Cui-beng Koai-ong sendiri harus
tunduk kepadamu!"
"Gak
Bun Beng, dari mana kau peroleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar
suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik
karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus
jantungnya!
"Maafkan,
teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini
bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng
yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah goa. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian
Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan... dan... mencuri..."
Bu-tek
Siauw-jin tertawa bergelak, namun Suma Han kecewa sekali dan dia berkata,
"Mencuri? Dari siapa?"
"Dari
Ketua Thian-liong-pang."
"Heh...?!"
Kedua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget
karena tidak menyangka sama sekali.
Bun Beng
sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu
menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa,
ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini,
kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas
panjang dan berkata, "Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain,
sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang
lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah
engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung
sute-ku (adik seperguruanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa
kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin."
"Ahhhh...!"
Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu... teecu... mana
berani...?"
Suma Han
tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini
memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang
tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.
"Tidak
mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi sute-ku, ataukah
muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa artinya segala sebutan kosong?
Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan
dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti
tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain
di dunia ini."
Mulailah
kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan
Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin,
sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sinkang dari Pulau Neraka yang
telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng
sudah terdapat tenaga sinkang yang mukjizat dari jamur-jamur berwarna yang
dimakannya ketika dia berada di dalam goa di bawah tanah tempat persembunyian
Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mukjizat dari
Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.
Bun Beng
yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri
siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja
untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil
ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng
bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu
tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biar pun Suma Han sendiri
tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu
yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya
yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.
Pada hari ke
empat, saat Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong,
menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan akibat menyambarnya
hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek
Siauw-jin, berkata,
"Dia
telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha,
tidak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya,
menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun
telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak
dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara
itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek
Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi."
Kakek itu
menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan
berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak
berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah
hidup yang besar!
"Ke
mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula.
Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau
rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka
mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han
menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang
polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga
aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita
itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku,
menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh
hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."
"Lulu
dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.
Suma Han
mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh
pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat
melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang
sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi
kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi
persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak
menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi
Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka."
Bu-tek
Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku,
Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai
jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping
mereka yang kau cinta."
Akan tetapi
tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih
tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah
mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi
mempedulikan dirinya sendiri, apa lagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma
Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini
membangkitkan gairah hidupnya kembali.
Bun Beng
berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,
"Kemanakah
perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?"
Biar pun dia
tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara
berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek
Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang sakti ini, yang hanya
menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.
"Dia
sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan
sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru
tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama
mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."
"Ke
mana, Locianpwe?"
"Kau
bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal
itu!"
Menurutkan
kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun
tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota
raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja.
Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa
Kwi Hong adalah muridnya!
Berangkatlah
kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan
bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng bisa mengimbangi gerakan
kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan tetapi,
ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah
sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang
hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua
orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran
dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.
Bu-tek
Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam
istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar
tahanan kalau-kalau murid-nya masih ‘terselip’ di situ, namun sia-sia belaka
karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu
ke mana perginya gadis itu.
Kesempatan
itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang
Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat
menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya.
Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke
istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar
dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu
ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin
untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu
tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong
juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun
Beng.
Kakek itu
menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Ulah
mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara
manusia itu kau katakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah
manusianya yang tolol semua? Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota
raja menuju ke utara.
Apakah yang
telah terjadi dengan Milana? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara
itu tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara,
melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya Puteri Nirahai menyuruh puterinya
itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan
tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak
yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam
Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah
pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,"
pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan
ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para
pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi,
suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai
untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang
sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri."
Setelah menjadi
seorang panglima kembali, kini berubah sikap Nirahai, yang terpenting baginya
pada saat itu adalah tugasnya. Maka sama sekali terlupalah urusan pribadi,
sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua
demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Akan tetapi,
nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan
besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringat kepada Gak Bun Beng, pemuda
yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena adanya
harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu
dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apa lagi di sana ada...
Bun Beng!
Dua hari
Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang
diakui, apa lagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat
dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri.
Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang,
yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat
tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengenakan
pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari
lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan melakukan penyelidikan
kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng.
Akan tetapi,
bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore
hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci
dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat turun dari atas pagar
tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda
tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda
itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti
mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek
ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur
di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu,
menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang
cantik, calon isteriku tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak
menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar
menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia
iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk
membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh
rasa ngeri.
"Hemm,
sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah
Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau
menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku... calon raja di Pulau Neraka.
Marilah manis." Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang
ramping dara itu.
Tentu saja
Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk. Dia mencelat ke kanan sambil
menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam
Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan
perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang,
karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati
Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan
lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda
ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang
menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah
dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil
tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali
tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan
dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan
suara.
"Haiii!
Berhenti...!" Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar
tembok, datang berlari setelah mendengar teriakan Milana. Ketika mereka melihat
siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada
penjahat menculik cucu Kaisar yang baru dan cantik, puteri dari Panglima
Nirahai!
Mereka
berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu
memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan
mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal
itu melihat Si Kakek berlari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan
tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan
sama sekali.
"Crot!
Crot!"
Dua batang
tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek
itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak
panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika,
berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan kekagetan. Mereka mati dalam
keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus
punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata
masing-masing.
"Jahanam,
lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya
tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan
menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya
adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara
yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya
di Pulau Neraka!
Beberapa
orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka
segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia,
sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana.
Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri
Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja
Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama
cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi
pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan
kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan
membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia
pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya
yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada
orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu.
Maka segera ditambahkannya,
"Cari
Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami,
akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur
dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar
penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan
gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga
sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini
selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas
membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul
ke utara!
Demikianlah,
tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang
dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan
cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh
Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh
Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan
meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak.....
***************
Dan ke
manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong
berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin.
Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti
Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi
seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti
liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini
datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena
memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara
Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak berdosa,
dan dibuatnya pun secara mukjizat dan kejam!
Setelah
berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan
Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhu-nya, pergi hendak mencari
pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia
mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri
keluar dari kota raja. Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar
pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki
Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini
sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal
oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka,
termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal.
Hati dara
ini tadi belum merasa puas. Ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan
lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal
kaki tangan Koksu dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah
muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika
gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan
Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian,
tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul
rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk
memuaskan hati dan pedangnya!
Rombongan
Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguh pun
dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di
situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan
mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw
tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan
kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda,
harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus
melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam
ketiga, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia
sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan
saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot.
Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga masih jauh, dan tempat
penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak
keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum
tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh
penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat
melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.
Akan tetapi,
baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan,
tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang
menunggang kuda paling depan roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua potong
terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak
terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu
mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis
dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan,
berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi
Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka
menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang
mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia
keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin manusia
rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di
belakang celana murid perempuanmu!"
Sepasang
mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan
menghina Maharya yang ditujukan kepada gurunya. "Maharya pendeta
iblis!" pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata
keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya.
"Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan
hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina
Suhu, dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah
manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi
kalian!"
Pangeran
Yauw Ki Ong menjenguk keluar dari keretanya. Melihat gadis itu, jantungnya
berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya!
Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau bisa
mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin,
siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama
Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek
Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan
tetapi harap Ong-ya tidak perlu khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk
menundukkan dan membunuhnya."
"Jangan
dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali?
Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan
Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."
Sepasang
mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat
baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia
mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya,
Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama
Koksu menghampiri Kwi Hong.
"Bagus,
majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan
pedangku!" Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah,
Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Sabarlah, sebab
sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu." Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu
dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk
mempengaruhi gadis itu.
Gelombang
getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini,
membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, dengan
pengerahan sinkang-nya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan
mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara
Koksu lemah lembut,
"Nona,
harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan
Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada
Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami
bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan
kami."
"Tidak
perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat
mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk
mempengaruhi dirinya dan pikirannya. "Memang aku keponakan Majikan Pulau
Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan
Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal
jahat!"
"Aihhh,
harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu kami hanyalah petugas-petugas
saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar
Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami
hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang
keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa
menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim
itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit
hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita
bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang
dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka
menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita,
ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"
Hati Kwi
Hong mulai tergerak, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, tetapi terutama
sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mukjizat. Dia menjadi
ragu-ragu sekali. "Hemmm... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat
dengan kerajaan..."
"Tentu
saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Dari pada antara kita yang
senasib ini terjadi permusuhan, bukankah jauh lebih baik jika kita bersatu
menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?"
Pengaruh
ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi
Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya
berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi.
Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
"Mana
mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!"
Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona
ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami
dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat.
Kalau Nona membantu kami, apa lagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan
Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong
teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau
Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia
akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang
menyakitkan batin.
"Baiklah,"
dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian,
untuk menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran
Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke
depan dada. "Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati
sekali mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat
datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran
Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat.
Setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan
jasa Lihiap yang amat berharga ini!" Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap
halus dan sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis
tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik
perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekali
pun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda
yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah
menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama
mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke utara di mana terdapat gabungan
pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.
Demikianlah,
tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota
raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada ‘keramaian’,
yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan
Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan
menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal
terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat
menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam
ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian
Kiam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan
yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan
yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking,
lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur.
Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat
gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat
tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa
hari sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua
pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok
Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya.
Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup
masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.
Di sekitar
Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat
yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan
yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di
mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar gagal, sisa
para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah
Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri
dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol, Nepal
dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan prajurit-prajurit pilihan.
Pangeran
Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis
terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang
mendekati empat puluh tahun itu tidak mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa
dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan seorang
wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya
tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali
ilmu kepandaiannya yang tinggi.
Kalau dia
dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus
mendapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi
yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya,
setelah dara ini dapat dibujuk bergabung, dengan mudah dia dapat menggunakan
kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya untuk menggagahi tubuh dara
ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Setelah tiba
di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan
Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka
berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan
para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin
mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan
ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk
mengetahui gerak-gerik musuh di selatan.
Selesai
berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan
pasukan pengawal.
"Lihiap
tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak
sekali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong
tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?"
Sang
Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk
menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam
peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan
wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal
keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh
dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang birahinya
dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk
mengundang seekor lawan kelaminnya untuk... hemmm... untuk bermain cinta."
Biar pun
pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi
Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw
terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti
itu! Andai kata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan
mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di
samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan
bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat
mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi
panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya,
juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di
samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum
pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan
merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran
itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu
benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga
beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang
aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama
setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa
yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat
dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari
itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di
dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak
dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang
menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan dan ramah,
sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan
tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak. Kiranya
pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka
makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw
memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di
dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap,
ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar
biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan
tiga cawan arak ini!" Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak
dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum
baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami
namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"
Kwi Hong
merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk
menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga
mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi
juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya,
membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih
dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi
arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf,
Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi..." Kwi Hong
menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di
kepalanya.
"Aihhh,
apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?"
Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
"Bukan
begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan
tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini... biarlah
saya minum perlahan-lahan..."
Pangeran itu
tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah
seperti Lihiap tak akan mengecewakan hatiku. Biarlah guci arak ini kutinggalkan
saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku
lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya berikut guci
araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar... aku mempunyai
sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai
hadiah." Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong
dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.
Kwi Hong
menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik
kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan
tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan
menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan,
kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah
sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang
amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang
cawan arak wangi.
Cawan yang
kedua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya
arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat
ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan
tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah dirinya. Melihat
bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat
pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat
ke arah datangnya batu tadi.
Akan tetapi
tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan
pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang
kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para
pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada
mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia
melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa
agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong
mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang
ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa
penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas
bukan arak beracun, sebab jika beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa
pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan
sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk
terhadap dirinya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa
orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki
kepandaian biasa saja!
Biar pun Kwi
Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut kalau-kalau dia
diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak
yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci,
kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan
Pangeran Yauw Ki Ong.
Setelah
penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong
memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia
melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telentang di atas
pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya
dengan minyak, sedangkan orang kedua memijat tubuhnya.
"Ha-ha,
engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kau taruh saja guci itu di atas
meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini,
nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat
indah, hendak kuhadiahkan untukmu."
Karena sikap
pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang ajaran, maka Kwi Hong
yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur
untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya,
maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,
"Saya
hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal
hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku,
besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya." Tanpa menanti
jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan
pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.
Pangeran
Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak,
membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon
korbannya itu tidak minum lagi. Biar pun secawan dari arak emas ini sudah cukup
untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekali
pun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat
perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih,
hanya membuat dara itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh
terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya.
Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu
sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam
itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.
Selagi
Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda
itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan
Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan
hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka,
tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan
di dekat markas para pemberontak ini.
Di dalam
kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar
tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri,
meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan.
Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan
itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment