Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 21
Akan tetapi
setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat
disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam
hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas.
Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguh pun tidak mungkin manusia
biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu.
Seorang di
antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat
kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang
tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda
yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak
buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik
pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang
curam. Dilihat dari jauh, ulah mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan
saling berkejaran di malam sunyi itu.
Akan tetapi
tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan
tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka
membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang
tercecer di jalan.
"Ha-ha-ha,
betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari
senjata mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi
dia lalu menengadah dan bernyanyi,
Senjata
adalah benda sialan
dibenci oleh
siapa pun juga
tidak
dipergunakan para bijaksana,
Bahkan dalam
kemenangan sekali pun
senjata tak
sedap dipandang mata
karena yang
mengagungkannya
hanyalah
pembunuh-pembunuh kejam!
Alat
pembunuhan antar manusia
menimbulkan
kematian terpaksa
mendatangkan
duka dan air mata
dan
kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!
"Locianpwe,
saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab
To-tek-keng! Akan tetapi juga tak sama..." Pemuda itu, Gak Bun Beng
menegur heran.
"Ha-ha-ha,
perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apa pun juga seperti seekor burung?
Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang
berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala
macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"
Dua orang
itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu
melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak
dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar
ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa,
Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata
milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ
dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di
tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah
tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti
oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Karena jarak
antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah
senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua orang itu
masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi,
belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.
Ketika untuk
kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka
memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah
dikurung oleh puluhan orang prajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat
lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga
mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada
mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang
itu datang, mereka telah terkurung!
Tentu saja
kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang prajurit. Apa
lagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata
adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, segera dia kerahkan para pembantunya
untuk mengeroyok.
"Wah,
repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke
sana-sini di antara serbuan para prajurit. "Kita membuang senjata supaya
jangan ada perang, malah diperangi!"
"Mari
kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak
mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan
tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu.
Dengan
gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam
gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menandingi
semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa orang
terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan
benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira
menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah
permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan
terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara
teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa markas pemberontak itu
telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan
para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan Bu-tek
Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu
dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting,
lebih hebat dan harus segera ditanggulangi dari pada kekacauan yang disebabkan
oleh perbuatan dua orang ini.
Memang
benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang
dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara
mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para
pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya
bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka
harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka
akan demikian cepat datangnya. Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri
Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah
banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak
saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!
Setelah
Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan
Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu
keluar dari kepungan. Apa lagi karena para prajurit yang mendengar akan
penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka
meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan
pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata
yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan
para pasukan menghadapi musuh.
"Wah,
perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar
dari dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang
berperang, dan suara senjata yang menggegap gempita.
"Mudah-mudahan
saja para pemberontak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng sambil
berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara
itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu?
Teringat betapa pihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya,
Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.
"Locianpwe,
saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."
"Eh,
kau mau membantu siapa?"
"Membantu
Puteri Nirahai dan puterinya."
"Mengapa?
Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"
"Bukan
begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin
oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah
yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena
itu maka merekalah yang akan saya tentang."
Bu-tek
Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau
tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang
hanya merupakan penyembelihan antara manusia?"
Bun Beng
tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu
menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju
ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat
mengejutkan. Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan
tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking
tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang
mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling
depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam
yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan
gajah itu mengamuk!
Dengan
belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang prajurit
musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang
itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng.
Maharya yang berada di atas gajah itu masih menggerakkan senjatanya tombak
bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang prajurit pemerintah roboh.
Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi
gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan
Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan
pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apa
lagi ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh
amukan gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi,
mereka makin panik. "Pasukan siluman...!" terdengar teriakan.
"Pasukan
siluman... laporkan ke induk pasukan!"
Kiranya,
pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang
dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya,
Maharya cepat menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan segera Maharya sendiri
yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh
pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh.
Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu
terlatih dan memiliki cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan
kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban,
terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi
Maharya sendiri.
"Locianpwe,
kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng
berkata, kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas
membunuh pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.
"Ha-ha-ha!
Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa
lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa
sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
"Maharya,
sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu
meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan
ke arah kepala.
Melihat
munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biar pun pemuda itu dia tahu
cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es
ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun baginya, pemuda itu
tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya
Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek pendek
itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat
menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh
gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apa lagi Koksu, Thian Tok
Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini
harus dibunuh lebih dulu.
"Mampuslah!"
Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak,
gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi,
menusuk ke arah pusar pemuda itu.
Melihat
gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya
disate gagang tombak.
"Haaiiittt...!
Plak! Wiiirrr...!"
Tangan Bun
Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak
ini, ia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir balik,
kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun ubun
kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika
tubuhnya meluncur ke bawah.
"Aeehhhh!"
Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah.
Binatang itu
mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini
tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari
serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya
menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh
gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemuda itu!
Bun Beng
tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan dia melihat serangan berbahaya
ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini,
maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah
bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya
menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran,
kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda
yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya!
Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.
"Plakkk!"
Gajah itu
mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya
bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua
jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa
manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di
depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu
sampai lumat.
Namun,
dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah
menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari
tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke
arah lambung Maharya. Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh
belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua
buah jari tangan!
"Uuuuh...!"
Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk
menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan
pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh
pemuda itu yang melayang cepat. Biar pun dia merasa kaget sekali karena
tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia
sudah dapat menggunakan lengannya menangkis datangnya tamparan tangan Bun Beng
ke arah lambungnya itu.
"Dessss...!
Aiihhh...!" Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali
karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti
lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya!
Dia tidak
terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada
Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget serta penasaran. Pemuda
itu dapat memaksakannya turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah
berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas
kepalanya!
"Hemm,
orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"
"Tidak
salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali
bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng menjawab tanpa
berani menentang pandang mata pendeta itu.
Biar pun dia
telah memiliki kekuatan sinkang yang mukjizat, namun dia maklum betapa hebat
pengaruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani
menentang dan mengadu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau saja sampai dia
terpengaruh ilmu hitamnya yang mukjizat, dia bisa celaka!
"Gak
Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak
mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar
halus menimbulkan rasa malu dan iba.
Namun Bun
Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam. Dia menjawab, suaranya
lantang, "Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat
yang kuanggap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang
gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu
menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut
ditentang."
"Hok-mo-kiam...?
Hemmm, karena pedang itu muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap.
Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang
muda."
"Bukan
soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar
kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu
dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak
segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang,
akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kau kira aku tidak
tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan
pertemuan besar dahulu itu?"
Maharya
memandang tajam. "Ehhh? Kau tahu? Kalau begitu... kau tahu pula tentang
kematian Tan Ki dan Thai Li Lama...?"
"Tentu
saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah
kukembalikan kepada yang berhak."
Merah muka
Maharya, sedangkan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Jadi...
engkaukah orangnya yang membunuh muridku?"
"Dia
mencari kematiannya sendiri..." Bun Beng tidak dapat melanjutkan
kata-katanya sebab ia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit
yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan
dan penuh nafsu membunuh.
Maharya
sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan
merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.
"Robohlah!
Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!"
Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat berpengaruh, namun Bun
Beng sama tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata kakek
itu. Dia hanya mengelak dengan cepat karena tombak bulan sabit itu bergerak
seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan
lawan yang tangguh itu.
Sementara
itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa
Nepal menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan
pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika
tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana
datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban
anak panah lawan.
Melihat ini
Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendorong ke depan
berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah anak
panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak
panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak
tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar
dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah
pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang
kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para
prajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang
sampyuh yang sangat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu
prajurit pemerintah.
Bu-tek
Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan prajurit-prajurit Nepal yang baginya
terlalu lemah itu, dan dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang
ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah,
dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat,
mendorongnya pun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk
merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat
ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor
kerbau mengamuk.
"Desssss!"
Dengan
kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan...
binatang raksasa itu terjengkang kemudian roboh! Dua orang prajurit Nepal yang
tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu
terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu,
seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan
terbanting pingsan!
Amukan kakek
cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa
Nepal itu, apa lagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh
oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak
buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu
sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat
tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal
ini sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para prajurit pemerintah yang
tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan
antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek
India itu benar-benar amat lihai. Andai kata Bun Beng belum menerima ilmu
terakhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya ia pun tidak
akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat
tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi
tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya
dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu
silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya.
Akan tetapi,
yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga
mukjizat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng
harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang mata
dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada hawa
tenaga mukjizat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang
membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang
disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat
itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak
tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran angin
pukulannya!
Bun Beng
melawan secara mati-matian. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu,
biar pun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak
pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau
hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga
dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu.
Diam-diam
kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus
mengakui bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta
itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun
pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu dengan tangan kosong mampu
menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih,
sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan
sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak
banyak artinya dalam pertempuran hebat itu.
Kini Maharya
telah melolos kalung tasbihnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang
besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbih di tangan kiri.
Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu,
Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun
sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya
menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.
Di bagian
lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya
terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan
seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang
dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang
dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam perang
dahsyat ini Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu
saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap
musuhnya dan musuh pamannya. Apa lagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu
bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua
Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu.
Memang sudah
dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya
karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja
dia tidak dapat terlalu menyalahkan Koksu, sebab Kaisarlah yang sesungguhnya
menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apa lagi dipimpin oleh
Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu memang bukan sahabat
Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau
Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu,
mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para prajurit pemerintah yang
berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi ngeri karena pedang yang
mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang
mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus
berikut tubuh pemegangnya!
Betapa pun
juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak
hebat. Kwi Hong sendiri, biar pun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh
dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para prajurit musuh gentar,
terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi
tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang
bagaikan hujan menyerangnya.
Koksu tentu
merasa sangat girang melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya.
Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap
Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari
semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia akan
mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran
ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup.
Dia pun lalu
mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan
mati-matian. Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang lagi memimpin
pasukan bantuan melawan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang
membantunya. Namun yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar
pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya
sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu
tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin
dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apa lagi
kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang
sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar
kepada Kwi Hong.
Betapa pun
gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat
dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri
mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di
dalam pondoknya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan
dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai
perisai terakhir.
Pasukan
pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan
Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga
oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan
Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah
mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak,
yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.
"Yauw
Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa
orang anggota pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah
untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!"
Yauw Ki Ong
adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar,
berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian
Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar
dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan
para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di
situ dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.
"Bhong
Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekali pun akan ingat akan budi orang.
Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan
India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak
berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak
ada harganya untuk hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah
menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu.
Kakek botak
tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang
mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam,
pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian
pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama
Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau
merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan
bekas Ketua Thian-liong-pang ini!
"Tar-tarr...
singggg...!" Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok
besar, golok perang di tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.
"Cringgg...
trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan
Hok-mo-kiam, tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang
karena ujung cambuk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba kemudian
menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga
Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu.
Tidak
seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini
menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat
hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat
Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan
tenaga mukjizat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun
dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang
rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan
mereka segera mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka lantas roboh terjengkang
dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!
Repot juga
Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga
mereka tidak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama
dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada
pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki
pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan tetapi
Nirahai yang berpemandangan tajam dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu
dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia
segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas
wuwungan.
"Yauw
Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil
melayang turun membobol genteng.
Tiba-tiba
dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum
bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba dan menyambutnya ketika
tubuhnya baru saja turun dari atas.
"Trangggg...!"
Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan
pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti
berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!
Nirahai juga
kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang
amat kuat sehingga tidak patah, apa lagi ketika dia melihat seorang gadis
cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat!
Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja dan yang lain wanita setengah
tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling
pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!
Kini Nirahai
tak lagi mengenakan kerudung muka hingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang
cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar
jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang
dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan
menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!
Akan tetapi,
Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu
dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan
Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain
sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang
memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan telah
menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok
Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara
kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.
"Trang-trang-cringggg...!"
Kembali dua
orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi
Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapa pun juga, dara itu masih
belum mampu menandingi tenaga sinkang yang dimiliki Nirahai, sungguh pun dia
telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga
api muncrat menyilaukan mata ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam
bertemu dengan Li-mo-kiam.
Kedatangan
Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya
Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran
Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah
Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih
banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan,
perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya.
Ketika dia
menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan
para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka
pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum
terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya,
keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan
sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama
bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.
"Ahhh,
keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri,
Lihiap," kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang
Li-mo-kiam yang berlepotan darah.
"Sebaiknya
begitu," jawab Kwi Hong singkat.
"Akan
tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?"
Koksu memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri
ke... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan
aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi,
dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan
saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu
bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat
itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang
kuat!
"Kalian
larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau
Es," jawab Kwi Hong.
Tentu saja
Koksu menjadi girang sekali. Namun dia cerdik dan cepat menjawab, "Akan
tetapi... apakah Tocu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya...?"
"Pulau
itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Lagi pula, kalau paman tahu
bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman
sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah...!"
Pada saat
itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu
melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah
dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya
sendiri, ibu dari Milana!
Tentu saja
di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau
bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan
karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran
Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata.
Dia dapat
menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini
melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah
keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali sedangkan dia
sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini. Jelas
bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang
memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut
dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri
pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?
Betapa pun lihai
Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan
dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia
menjadi repot juga. Apa lagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang
amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup
menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andai kata Nirahai tidak memegang
Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus
menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.
Untung bagi
Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi
dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim
bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi pangeran yang telah
menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini digunakan oleh
Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang
dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan
bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan
diri ke timur menuju pantai, melalui pegunungan dan jurang-jurang.
Sementara
itu, pertandingan antara Gak Bun Beng dengan Maharya yang berlangsung amat
hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari
pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang
menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang
pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu
lagi kakek ini membantu hingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton
pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.
"Ha-ha-ha,
Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku,
ha-ha-ha!"
Bu-tek
Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya buat membanggakan
dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya
menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan
sinkang-nya dengan sinkang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan ‘muridnya’ saja
Maharya tidak mampu menang, apa lagi melawan dia yang menjadi gurunya?
"Siauw-jin,
asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku..."
"Heh-heh-heh,
siapa sudi mengeroyokmu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah yang
dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti
seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting
itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan
hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan
mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini
sudah diketahuinya semenjak tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau
beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sinkang yang amat kuat. Apa lagi
sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak
dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya
tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang
seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti
sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi
turun tangan membantu Bun Beng biar pun pemuda itu andai kata terancam bahaya
maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil
dan pantas.
Kalau tadi
dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda
itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Jika pemuda itu
dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu
sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu.
Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa
diminta pun dia tidak akan mencampurinya.
Bu-tek
Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama
sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah
siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia
merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan
seimbang.
"Heeaaahhh!"
Maharya yang
sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran menubruk maju. Tombak bulan
sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas,
sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan
susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak mempercepat dan
mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan
banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali
ini dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang.
"Haiittttt!"
Bun Beng
meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak
bulan sabit, tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil
berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat
luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam
itu.
Maharya
terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam
pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimana
pun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya
demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk
merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan
kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya
menyambar dada!
Bun Beng
sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan
berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis.
"Trakkkk!"
Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba
lagi di atas tanah.
Akan tetapi
di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan
berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka
sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya
agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!
Bun Beng
mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun
Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan
pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar
lawan. Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan gagang tombak
itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba
tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu
membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
"Cringgg...
rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu,
tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang
diuntai itu jatuh berserakan.
"Wuuuttt...
brakkkk!"
Pada saat
tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa
dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia
menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini
menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja
menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat
datangnya caping dengan kecepatan kilat.
Dia tidak
ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya,
memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat
melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara
caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih
terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguling ke atas
tanah.
"Mampuslah!"
Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, tetapi
pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh
kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu
dapat dihindarkannya.
Karena
serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk
membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling,
tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah
muka lawan. Biar pun melontarkannya sambil bergulingan, namun tenaga sambitan
ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya
bagi Maharya.
Melihat
datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya loncat ke belakang. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan
tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia
menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.
Maharya
sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia
sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga
Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah
terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda ini
dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun
dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang paling
dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga
sinkang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.
"Bresss!"
Bukan main
hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan
akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng
terjengkang dan bergulingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah,
maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia
menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa,
mengajak lawan mati bersama.
Tetapi dia
tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan
bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang
diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu
melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari
bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek
itu.
"Desssss...!"
Terdengar
pekik mengerikan saat tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke
atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah
segar, kemudian mengejang dan tewas.
Bun Beng
cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biar pun lukanya tidak hebat,
akan tetapi pukulan dengan caping yang pecah dan mengenai pundaknya tadi
menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sinkang.
Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para prajurit pemerintah yang menonton, lalu
membentak ke arah mereka.
"Hayo
pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami
terpaksa ikut berperang. Sialan!"
Para
prajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini
dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua
orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani membantah
dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar
sisa pasukan pemberontak.
Pasukan
pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus,
pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan
mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang
telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang
tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai dan
Lulu merasa penasaran sekali. Biar pun pasukan-pasukan pemberontak dapat
dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, akan tetapi biang keladi
pemberontak dapat melarikan diri. Saat mereka mendengar laporan tentang dua
orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan
gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah
Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi
tempat itu. Ternyata benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan
Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.
"Wah-wah,
setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa
cantiknya!" kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia
bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi
panglima besar.
"Bu-tek
Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal
yang membantu pemberontak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya
tenang saja. Dia bukanlah seorang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap
kakek sinting ini, apa lagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak
lumrah manusia.
"Ha-ha-ha,
engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi
mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"
Agak merah
sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting
ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu!
Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya, "Apakah dia terluka?"
Sebelum
Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan
memberi hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit.
Syukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh..."
"Aihh,
dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau
Es!" Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar
ini, Bu-tek Siauw-jin ter-tawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau
Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan
pulaunya!"
Lulu mengerutkan
alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar
dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu.
"Siapa engkau?"
Akan tetapi
Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,
"Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus
berterima kasih kepadanya!"
Lulu segera
melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau
pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?"
Bun Beng
memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau saya
tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas
bahan-bahan peledak, kemudian mengacau di kapal Koksu.".
"Hemmm,
agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan
bercampur tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran
bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang
demikian lihai!
"Sungguh
aku heran sekali mengapa semua orang muda kau akui sebagai muridmu, Bu-tek
Siauw-jin?" Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa
Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.
Sebelum
kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan
kakek cebol itu. "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"
Ketika
pertama kalinya Nirahai menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan
karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia
mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit. "Dan mana yang satu lagi?
Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"
Bu-tek
Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu
puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"
"Tua
bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya jadi
marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. "Kau kira aku
takut kepadamu? Biar pun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis
dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"
"Lulu,
kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memperingatkan
Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja
Lulu dibikin sabar.
Dia sudah
menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat
mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil
tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan lalu meloncat bangun.
"Eit-eit-eit,
sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya
engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah
pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati,
apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? Tocu (Majikan Pulau) yang
memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"
Lulu
terbelalak. "Kau... kau... tahu akan itu semua?"
"Heh-heh,
sehari setelah Tocu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang Tocu
bawa, karenanya aku berkeras melarang suheng turun tangan karena Tocu adalah
ahli waris Suling Emas."
"Lulu!"
Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang
dengan penuh selidik. "Jadi engkaulah yang mengambil benda-benda pusaka
itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan...?"
Lulu
membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di
bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai merantau
bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga
Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh
Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga
Suling Emas.

Dia telah
mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin
menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu
dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh
besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain, semua niat dan cita-citanya hancur
berantakan. Puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan
Suma Han... menambah sakit hatinya.
"Tidak!
Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti
orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang
kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu
apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta
kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya."
"Di
mana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai.
"Ada
kusimpan sebelum Pulau Neraka dulu dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya
Lulu, suaranya penuh tantangan.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan
membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian amat
tinggi dan sinkang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara
melengking seperti itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.
Nirahai dan
Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan mereka baru terkejut
ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat
jelas.
"Nirahai...!
Lulu...! Kalian memang patut dihajar!"
Wajah
Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena
keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak
liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal
suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang
selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu
mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang, dan seolah-olah dalam
pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau
dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan.
Bun Beng
memandang dengan hati penuh ketegangan, apa lagi ketika ia melihat sikap kedua
orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar
Super Sakti tiba-tiba marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini
hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di
tangan kiri!
Bagaikan
seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas,
gerakannya cepat bukan main sebab ia telah mempergunakan ilmunya yang luar
biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat,
berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah
Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang
tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan
aneh itu bersinar-sinar, dua pipinya kemerahan, wajahnya berseri, dagunya
mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu
kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.
"Singg...
wir-wir-wir... siuuuttt...!"
Sinar-sinar
merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar-sinar hitam meluncur dari
tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari dua
orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan,
juga dilempar dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga jarum-jarum kecil itu
cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali
tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang
sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.
"Cep-cep-cep,
wir-wir-wirrr!"
Jarum-jarum
yang saking cepatnya sudah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah
menembus tubuh Suma Han. Padahal tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh
kulitnya karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju sekeliling tubuhnya,
menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han.
Kiranya, biar pun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan
senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan
kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling
tubuhnya.
"Ihhhh...!"
Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.
"Ohhhh...!"
Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir
menutupi mulutnya.
Kedua orang
wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka,
rahasia bahwa mereka itu biar pun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi,
namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak
mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena ini
mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali
tidak mengelak atau menangkis!
Mereka
maklum bahwa biar pun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekali pun, tak
mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka.
Mereka mengharapkan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum
mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama
sekali tidak mengelak sehingga andai kata mereka tadi menyerang
sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!
"Kau...
kau mau apa...?" Lulu bertanya, gagap.
"Pendekar
kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur,
suaranya ketika menyebut ‘Pendekar Kaki Buntung’ menyakitkan hati sekali.
Akan tetapi
Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka kemudian terdengar
suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
"Apa
yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri
dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu
dihajar!"
Nirahai dan
Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan
mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu
bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan
tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan
kemarahan besar.
"Peduli
amat engkau dengan apa yang ingin kami lakukan?" Nirahai balas membentak.
"Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?"
"Tentu
saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang
isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi
tanggung jawabku! Aku larang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan
segala urusan pemerintah!"
"Suma
Han, enak saja engkau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang.
"Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri
urusan pribadiku!"
Suma Han
tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua
sendi tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu
kepadaku? Engkau adik angkatku..."
"Aku
tidak sudi menjadi adikmu!"
"Aku
tahu, biarlah kurubah sebutan itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga
yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus
menurut kata-kataku!"
Lulu
membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang masih belum juga dapat dia
hilangkan sejak dia masih seorang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu
malu...!"
"Suma
Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk
membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?"
"Ha-ha-ha!
Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu...! Lucu...! Belum pernah aku melihat yang selucu ini!
Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!"
Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya.
Bun Beng
yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan
melihat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma
Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan
prajurit-prajurit anak buah Nirahai yang menonton!
"Keparat
kalian semua! Pergi dari sini...!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu
membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para prajurit.
Para
prajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima
mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang
luar, sungguh pun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka
itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!
Nirahai
menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kalian pergi! Pergi...!
Pergi yang jauh dan jangan ada yang mendekat!"
Tentu saja
perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh
sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan
diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar
dengan sembunyi sekali pun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun percuma,
tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja
tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun
Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
"Nirahai,
sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau
sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi.
Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus
ikut denganku!"
"Tidak
sudi!"
"Sudi
atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau
kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan
keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang,
memakai kerudung, menggegerkan dunia kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali
menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"
"Setan!
Engkau kira akan mudah saja memaksaku?!" Nirahai hampir menjerit saking
marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya telah meraba
gagang pedang Hok-mo-kiam di pinggangnya.
"Lawan
saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau,
Suci!" Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.
"Lulu,
engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak
mau, kau harus berada di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han
berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah
lagi.
"Apa?
Lebih baik aku mati!" Lulu membentak.
"Engkau
tidak akan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!"
kembali Suma Han berkata.
"Singggg...!"
Hok-mo-kiam
telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai langsung menerjang maju
menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia
pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
"Bagus!
Memang aku harus menundukkan kalian berdua dengan kekerasan, hal yang
semestinya kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar
gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia
mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya,
dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia
menderita amat hebat!
Tongkatnya
berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam,
dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik
Nirahai mau pun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang
lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat
kepandaian mereka sudah amat tinggi.
Nirahai dan
Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan
Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan
harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah
sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga
dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup
bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han
ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu
sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang
sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau
dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
"Ha-ha-ha,
lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti
kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha-ha, jangan mau
kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur,
biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat
sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau
tak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang harus ditundukkan
dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka
menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu
lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja!
Wah, ramai...! Ramai...! Ha-ha-ha!"
Tiga orang
itu saling serang dengan hebat. Bun Beng menonton dengan hati gelisah, akan
tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak
dan menyiram minyak pada api di hati ketiga orang itu saling bergantian, agaknya
ingin melihat pertandingan itu semakin seru dan mati-matian. Lagaknya pun
seperti kalau dia mengadu, jangkrik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak,
kedua pihak dipujinya juga dicelanya!
"Locianpwe,
bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang
lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat
berbahaya." Biar pun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata
Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu.
Dia kagum
bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang
demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu
silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu
Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling
Emas yang terkenal sepanjang masa itu.
"Eh?
Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling
menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti
orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"
Bun Beng
mengerutkan alisnya, dan sekarang dia mengalihkan pandang matanya dari
pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek sakti ini demikian memandang
rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan
perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah
pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Namun kakek ini bicara soal cinta
seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!
"Locianpwe,
menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tak
ada yang lebih suci dari pada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya
lucu?" Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh,
apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?
"Ha-ha-ha,
itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta!
Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"
"Wah,
teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng membentak dan
mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang.
Kini mereka
berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding,
bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta!
"Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari
Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"
"Cinta
antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara
yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan mau pun mengenai
watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah.
Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu birahi. Asmara ini
penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan
dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, di samping keinginan menikmati kepuasan
dari hubungan badan yang didorong nafsu birahi. Semua ini bersumber kepada Si
Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri
sendiri, biar pun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah
untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Sebab itulah asmara antara pria dan wanita
ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan
duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan
cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam
pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara
pria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!"
Bun Beng
masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk,
seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang
berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apa pun juga,
bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"
"Ha-ha-ha-ha,
alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta!
Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang
kau cinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tak membalas
cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain?
Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan
mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan
cintamu akan tetap?"
"Cintaku
takkan berubah..." Bun Beng menjawab, akan tetapi jawabannya yang keluar
dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih
penasaran dan berkata, "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia
ini menurut pendapat Locianpwe?"
"Tidak
ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada
kepentingan Si Aku masing-masing."
"Ah,
masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak pada ibunya?"
Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, sebab dia merasa bahwa
tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan
cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
"Itupun
palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat
dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu
digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan
setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang
budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan
hutang budi belaka. Andai kata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang
wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu
anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku. Coba kalau
seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya,
apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat
saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih
mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"
"Wah,
Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu
kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa
cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"
"Memang
palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang
ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada
diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah
dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan
dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau
benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana
ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."
"Wah,
kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya
hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng
membantah.
"Sama
sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya
bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya
terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia
memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih
hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti
jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan
mendatangkan kecewa, benci atau duka."
"Haaaiiittt...
desss! Desss!"
Bun Beng dan
Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu
tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma
Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan
cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka
menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau
tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan
meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai.
Melihat ini,
Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin. "Locianpwe yang begitu
pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta
kepada hal yang remeh dan palsu, tentu sudah mempunyai banyak sekali pengalaman
tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud
teecu?"
Bu-tek
Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa,
matanya terbelalak. "Hehhh...? Aku...? Aku mencinta seorang wanita? Gila
kau! Aku... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!"
"Kalau
begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"
"Bukan
karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi
dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar
saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti
kata cinta suci. Kalau tidak demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana
ada pertempuran seperti sekarang ini?"
"Haiii,
Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk
menundukkan mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali
ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton.
Dia
terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang
ini sebab kini baru dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu
sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biar pun Suma Han
melancarkan pukulan-pukulan hebat, akan tetapi semua pukulan itu hanya
dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu, bukan untuk merobohkan.
Dan lucunya,
pedang Hok-mo-kiam itu biar pun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung,
sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman dari pada serangan betul-betul,
seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu
betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu,
pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh
orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan
hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apa lagi saling
membunuh!
"Cringgg...!
Bun Beng, terimalah pedang ini!"
Sebuah
tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang
Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda
itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai
itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan
tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.
"Kalian
benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya
ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi,
melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua
orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan
penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andai kata mereka hendak
mencelakai Suma Han.
Kaki tangan
mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan
aku!" Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas
untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka
melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu
menjaga dirinya!
"Tidak
akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang
itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
"Lepaskan
aku, kalau tidak, akan kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berteriak,
tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.
"Hayo
lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!"
Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di
tengkuk Suma Han.
Suma Han
hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. "Biar kalian membunuhku, aku
takkan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi
permintaanku."
"Manusia
tak tahu malu! Apa permintaanmu?" Nirahai membentak.
"Nirahai,
engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut
bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku
sebagai suamimu!"
"Suma
Han! Nirahai-suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku
tidak semestinya kau paksa!" Lulu meronta dan berteriak.
"Kita
telah melakukan kekeliruan, biar pun saling mencinta tidak bersikap jujur.
Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi.
Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup
bersamaku!" jawab Suma Han, suaranya tegas.
"Suma
Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah
Lulu-sumoi?" Nirahai menuntut.
"Aku...
aku mencinta kalian berdua, dan aku... aku mau menghabiskan sisa hidupku di
samping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."
"Aku
tidak sudi menjadi adik angkatmu!"
"Kalau
begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai
sekarang menjadi isteriku juga."
"Gila!
Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"
"Lulu-sumoi!
Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun
tidak akan sudi ikut bersamanya."
"Nirahai-suci...!"
Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan
mengandung isak.
"Sumoi,
sudah semestinya begini...!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul
di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu,
saling rangkul sambil menangis.
Bun Beng
yang menonton dan mendengarkan semua ini menjadi terharu bukan main. Kalau
menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan
dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang
wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa
dan kesengsaraan selama belasan tahun, kini seolah-olah orang-orang yang
kelaparan mendapatkan makanan, atau orang-orang yang menderita penyakit payah
mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang
keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan
berkata,
"Suma-taihiap,
teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"
"Ha-ha-ha,
Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat,
melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini.
Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita
ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang
menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang
dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan
isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama... eh, Bun Beng, siapakah
nama dara yang kau tolong di atas pohon itu?"
Merah muka
Bun Beng. Biar pun sinting, kakek ini sudah melakukan hal yang di luar
dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana..."
"Oya,
puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagai
mana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"
Nirahai yang
masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma
Han, menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apa lagi,
sih?"
"Ha-ha-ha,
belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagai mana
Suma-taihiap?"
Suma Han
mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong
dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya... dan hal ini
harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,
"Bu-tek
Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi
harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kau
bawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana,
dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak.
Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat
berpisah!" Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh
pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang
wanita itu!
"Heeiii...
Pendekar Siluman...! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu...!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun
Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi
jantungnya. Khikang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama
kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,
"Sekarang
aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Tetapi sewaktu-waktu
engkau boleh datang ke Pulau Es...!"
Bu-tek
Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali.
Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar
dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap
sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia
tidak sepatutnya hidup sengsara." Kakek itu mengangguk-angguk. "Dan
sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"
"Seperti
yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona
Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona
Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."
"Memang
seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi
calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan
kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api
permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berkeliaran di dunia
ini? Nah, aku pergi!" Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat
lenyap dari situ.
"Locianpwe,
teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!" Bun Beng
mengerahkan khikang-nya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.
Dari jauh
terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kini kau menghaturkan
terima kasih, berarti hutangmu telah terhapus! Dan aku ingin kau membayar
hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"
Bun Beng
menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu.
Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam
kesintingannya, banyak kebaikan dari pada keburukan yang muncul dari
pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit
berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah
dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya,
kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya
di atas kepala.
Bun Beng
menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang
malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang.
"Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua
orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin
kukubur sendiri."
Dia lalu
meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andai kata hatinya tidak dikejar oleh
keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini
terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!
Di dalam
perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai
Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu
dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat
merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang
penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun
akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit
asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah
keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana
pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai
isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu saja
Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi
Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar
yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada
waktu itu kehidupan kekeluargaan bangsawan amat berbeda dengan kehidupan
keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari
seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya
mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan keanehan
besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah
maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali
tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa
girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoi-nya sendiri dan yang dia tahu telah
saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di
lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya dari
pada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.
Memang tak
dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber
segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda
penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria
dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan
sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguh pun kita tidak berani
menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!
***************
Milana
menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja.
Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya
tertotok lemas, bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu
tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para
penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan
Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan
jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah
larinya Wan Keng In dan gurunya.
Akan tetapi
setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang,
harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik
pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu
sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis
yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal,
atau siapa pun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang
dan tidak lagi meronta-ronta.
Akan tetapi
ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah
gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa
ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak
memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek sapu
tangannya dan melempar-lemparkan robekan sapu tangan itu di sepanjang jalan
menuju ke atas puncak gunung itu.
"Malam
hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk,
sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu." Wan Keng
In berkata ketika mereka tiba di puncak.
"Sesukamulah,"
jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah
menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.
"Nah,
engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan
tidak memaki-maki aku lagi." Keng In berkata kepada dara yang
dipondongnya.
"Kalau
engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap
baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak
kecil yang harus dipondong saja."
Wan Keng In
tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana.
Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap
baik selama engkau tidak memberontak." Keng In menurunkan tubuh dara itu,
meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.
Milana
segera duduk di atas rumput dan menyalurkan tenaga untuk memulihkan jalan
darahnya. Biar pun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk
mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat
luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang
diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apa lagi di situ masih
ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis
sendiri!
"Suhu,
lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) takkan meleset,
Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar... pendeknya tidak ada keduanya
di dunia ini!" Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat Milana
tidak memberontak lagi.
"Huhhh...!
Perempuan...!" Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong,
kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama
sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu
pula.
Milana yang melihat
gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan
kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti
mayat hidup, gerakannya seperti kaku, akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat
mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram
keadaannya.
Sementara
itu, dengan wajah berseri Keng In telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa
potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di
depan Milana dan dia berkata ramah, "Milana pujaan hatiku, makan dan
minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau minum
sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!"
Milana masih
memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. "Dia juga tidak pernah
makan atau minum selama ini," katanya perlahan karena memang hatinya
selalu bertanya-tanya. Kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena
dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum,
bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan
minum sendiri kalau Milana menolak.
"Suhu?
Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."
Kembali
Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang
seperti itu?
"Aku
tidak mau makan dan minum," katanya lirih.
"Aihhh,
jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh
sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih
sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung."
Ingin
rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang
benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia
merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik,
pikirnya.
"Aku
tidak bisa makan seperti ini." katanya sambil memandang roti kering itu.
"Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak."
"Wah,
jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta
masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan
masakan?"
"Tidak
peduli!" Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira
bahwa dia dapat merongrong pemuda itu, kedua karena timbul harapannya untuk
mencari kesempatan meloloskan diri. "Pendeknya, aku hanya mau makan kalau
ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!"
Wan Keng In
memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya
lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk
bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apa pun juga. Jangankan hanya
mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari
langit sekali pun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!
"Aihhh...
bibirmu itu..." Keng In menghela napas.
Milana yang
mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidah untuk
menjilati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona
sampai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa
pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia
memandang dengan tajam.
"Sudahlah!
Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"
"Serrrrrr!"
Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap
di ulu hatinya.
"Aihhh...
matamu... dan bibirmu... ehhh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan
semua itu untukmu, Sayang?" Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak, sekali
berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai
gelap.
Berdebar
jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk
memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta
arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan
mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana
melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih
duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapas
pun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu
dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi
dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan
menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang
harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.
Milana
bangkit berdiri dan berjalan-jalan. Matanya tak pernah beralih dari tubuh kakek
yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri dia berjalan perlahan
melewati depan kakek dan ia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil
memejamkan mata dan... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biar pun cuaca sudah
remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu.
Sampai tiga
kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek
itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah
bergerak apa lagi menengok. Milana lalu membungkuk, mengambil sepotong batu,
dan melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, kemudian
matanya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali,
seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!
Jantung
Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang
tidur, atau demikian tenggelam dalam semedhinya sehingga seperti orang mati.
Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang
berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu
menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena kakek
itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan
selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di
depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam
hutan di tangannya.
"Aihh,
sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku?
Lihat, aku memperoleh seekor ayam gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam
panggang!"
Milana
memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira,
"Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat
lapar!"
"Aduh...
alangkah kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau
memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?"
Milana
menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang
gemuk itu, kemudian sengaja berkata, "Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah
aku hanya akan kau suruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan
Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik, tetapi kalau
permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?"
"Wah-wah...
sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau
panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi
tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?"
Milana
tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.
"Baiklah,
Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali."
"Hi-hik,
perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"
Ingin Milana
meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan
hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya.
Keng In tertawa, kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di
sebelah sana terdapat dusun terdekat.
Kembali
berdebar jantung Milana. Sekarang inilah saatnya, pikirnya. Dia tidak boleh
membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In
mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu
rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau
tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari
cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan
lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.
"Bressss...!"
Milana terjengkang dan cepat dia berjungkir balik agar jangan terbanting.
Ketika
berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di
depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya
adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu
telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!
"Augghhh...!"
Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari
lagi.
"Brukkk...!"
Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi
kakek iblis itu yang ditabraknya.
"Aihhhhh...!"
Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek
yang menyeramkan itu, namun ke mana pun juga dia lari, dia selalu menabrak
tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di
depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia
lalu menghantam dada kakek itu!
"Buk-buk-desss!"
Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh
tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras
seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang
disertai sinkang!
Tiba-tiba
rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret.
Dengan mata terbelalak dia memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak
rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak
melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah dari pada
seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan
jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri
lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah
berubah menjadi arca!
Milana
menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah,
dan putus harapan serta kecewa. Sekarang dia memandang kepada kakek itu dengan
kemarahan meluap. Biar iblis sekali pun, kakek itu sudah menghalanginya untuk
lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.
"Iblis
tua bangka...!" Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu.
Milana
menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari
tangan kiri menotok ke tengkuk, membidik jalan darah kematian, tangan kanan
dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sinkang.
Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai
pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang kecewa ini sudah nekat dan hendak
membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!
"Plakkk!
Bukkk!"
Milana
terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran,
akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua
tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh. Kakek itu mengeluarkan
suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang
dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan
tenaga dan roboh lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana
tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat
digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring
dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat
mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.
Benar
seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan
cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Wan Keng In muncul, membawa
bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!
"Milana
kekasihku, inilah permintaanmu... heiii! Mengapa kau?" Pemuda itu
meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang
membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biar pun tubuhnya masih
lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan
menyerang Wan Keng In!
"Brukkkk!
Heiiiii... mengapa kau ini...?" Keng In cepat menangkap lengan Milana dan
merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri.
"Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau...? Mana daging panggang itu
dan kenapa kau tertotok?"
Mau rasanya
Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya.
Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan
murid ini.
"Mau
tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!" Ingin dia membohong, ingin
dia menjatuhkan fitnah kepada kakek yang menyeramkan itu, mengatakan bahwa kakek
itu hendak memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa
membohong kata-kata ini tidak bisa keluar dari mulutnya.
Keng In
menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. "Suhu, apakah yang
terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"
"Wan
Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki
membiarkan dirinya dihina perempuan! Jika kau suka dia dan dia banyak rewel,
paksa saja!"
Milana
merasa benci bukan main pada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa
menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan
wanita itu. Jika dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia
sudah menerjang mati-matian.
"Aahhh,
Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak
melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali kau
melarikan diri, biar pun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya
merobohkanmu, tidak membunuhmu."
"Aku
tidak takut mati!" Milana membentak.
"Huh,
perempuan keras hati ini," kembali kakek itu mengomel. "Dan kau
mencinta dia?"
"Benar,
Suhu. Aku cinta Milana. Aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang
tercinta, yang membalas cintaku, oleh karena itu, sangat mustahil jikalau aku
harus mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar
menghadapi Milana."
"Huh,
agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?"
"Dia
bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua
Thian-liong-pang."
"Huh!"
Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.
Milana sudah
bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya
lantang ketika dia berkata, "Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang,
akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku
adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es! Kalau ayah
bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut
nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!"
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment