Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 08
Namun
Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi bersikap tenang-tenang saja. Dari
kedua tangan lawan di kanan kirinya, menerobos tenaga sinkang yang kuat sekali
melalui kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak melawan
sehingga kedua lawannya terkejut dan heran, tiba-tiba mereka tersentak kaget
ketika ada tenaga amat kuat menahan dorongan sinkang mereka. Sejenak kedua
orang itu mengerahkan semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat
betapa wanita itu kelihatannya enak-enak saja tanpa mengerahkan tenaga, barulah
mereka sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya lawan mereka itu sengaja
mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai-cu Lo-mo dan Chie
Kang bertanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sinkang melalui tubuh Si
Wanita berkerudung yang seolah-olah hanya menyediakan dirinya menjadi arena
pertandingan sambil menonton seenaknya!
Mereka sadar
dan cepat hendak menarik tenaga sakti mereka, namun terlambat karena pada saat
itu Nirahai sudah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan kesempatan selagi
kedua orang saling dorong sehingga tenaga sinkang mereka terpusat kemudian
mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling
gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali
tenaga sinkang, saat itulah Nirahai menyerang mereka dengan tenaga sakti yang
amat dahsyat. "Cukup, rebahlah!"
Sai-cu Lo-mo
dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi, begitu
Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biar pun mereka sudah berusaha
sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan cepat
memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sinkang mereka sendiri yang
tadi mereka tarik telah menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga
wanita berkerudung itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak.
Yang membuat mereka heran dan bingung adalah keadaan lengan kanan mereka yang
menjadi lumpuh seolah-olah tulang pundak lengan dalam keadaan terkunci, sama
sekali tidak dapat digerakkan!
"Wi
Siang, bantulah kedua orang Suheng-mu itu. Kau totok jalan darah Hong-hu-hiat
di pundak kanan mereka masing-masing dua kali." Nirahai berkata kepada
Tang Wi Siang yang berdiri menonton pertandingan tadi penuh kagum. Ia
mengangguk, menghampiri kedua orang suheng-nya dan tanpa ragu-ragu menotok
belakang pundak kanan mereka dua kali seperti yang diperintahkan wanita
berkerudung itu.
Begitu
terkena totokan dua kali, jalan darah mereka normal kembali dan lengan kanan
dapat digerakkan. Kini kedua orang kakek itu benar-benar tunduk dan merasa
yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang
amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya
menjadi ketua, karena dengan ketua sehebat ini, Thian-liong-pang pasti akan
menjadi sebuah perkumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut
di depan Nirahai sambil berkata,
"Pangcu!"
Terdengar
sorak sorai dari para anggota yang kini sudah pula berlutut menghadap Si Wanita
berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya. Nirahai mengangkat kedua
lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua
orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun
berwibawa,
"Mulai
saat ini Thian-liong-pang di bawah pimpinanku harus menjadi perkumpulan yang
kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang-ouw. Untuk dapat menjadi
kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan mempertinggi tingkat ilmu silat
yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing-masing.
Untuk menjadi perkumpulan yang disegani, Thian-liong-pang harus menunjukkan
kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pihak yang menentang kita, dan
untuk dapat dihormati, Thian-liong-pang harus bersih dari pada segala perbuatan
yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan,
penindasan dan perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan oleh
anggota, harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan ku adakan. Setiap
pelanggar akan menerima hukuman berat!"
Mendengar
perintah pertama yang keluar dari mulut wanita berkerudung itu, diam-diam
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menjadi girang sekali. Sai-cu
Lo-mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas
sambil berteriak, "Hidup Pangcu kita!"
Semua
anggota juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang biasanya
mengumbar nafsu, diam-diam menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau dia akan
mangalami nasib sial dan dihukum seperti para pimpinan mereka yang kini masih
menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai-cu Lo-mo,
serentak semua anggota berteriak, "Hidup pangcu...!" Bahkan mereka
yang tadinya suka mengandalkan nama besar Thian-liong-pang untuk melakukan
penindasan dan perbuatan-perbuatan jahat, berteriak paling keras!
"Sekarang
singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik-baik, kuburkan sebagaimana
mestinya. Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, mulai sekarang kalian
berdua kuangkat menjadi pembantu-pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai
dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita
masuk dan merundingkan segala urusan mengenai Thian-liong-pang. Aku ingin
mendengar, hal apa saja yang dihadapi Thian-liong-pang saat ini."
Nirahai
diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan dalam.
Tak seorang pun pelayan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan
perundingan, sedangkan para anak buah Thian-liong-pang sibuk mengurus
mayat-mayat yang bergelimpangan di ruangan tadi. Mereka, juga para pelayan,
saling berbisik membicarakan Ketua partai yang penuh rahasia itu. Nirahai
dengan tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan
Thian-liong-pang. Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang
duduk di dekat Nirahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan.
"Tiga
perkumpulan yang menentang kita mudah dibereskan. Aku akan mendatangi mereka
dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi
harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal
yang mengherankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian-liong-pang
yang gagal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah
utusan kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa
oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?"
"Benar,
Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo.
Nirahai
mengerutkan keningnya. "Anak ini... Gak Bun Beng, ada hubungan apakah
dengan Thian-liong-pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha
merebutnya?"
Sai-cu Lo-mo
menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa itu.
"Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita tak ada hubungan
apa-apa, dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena
sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih
cucu keponakan saya sendiri."
"Hemmm....
begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak siapa dan
bagaimana hubugannya denganmu, Lo-mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku
yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir,
aku akan dapat menghadapinya!"
Bahkan Wi
Siang sendiri diam-diam menjadi kaget mendengar ini. Berani menentang Pendekar
Siluman? Benarkah Ketua yang baru ini memiliki kesaktian yang demikian hebat
sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar cerita para anggota
Thian-liong-pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri)
menjadi raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang
gagah di Thian-liong-pang ngeri dan seram!
Sai-cu Lo-mo
dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup kerudung itu,
Sai-cu Lo-mo menjawab, "Dia adalah putera dari keponakan saya yang bernama
Bhok Khim, murid Siauw-lim-pai."
"Hemmm...
Bhok Kim yang berjuluk Bi-kiam, seorang di antara Kang-lam Sam-eng?"
"Betul,
Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita
berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia
tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung, "Saya dahulu bernama
Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku..."
Akan tetapi
agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang melamun karena
mengingat, lalu berkata, "Dan bocah itu she Gak? Hem... tentu anak dari
Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak..."
Tiga orang
tokoh Thian-liong-pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai-cu Lo-mo
berteriak, "Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya...?"
Nirahai
memandangnya. "Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim hingga
wanita itu dihukum di Siauw-lim-pai, kemudian melahirkan anak dan... mereka
berdua kemudian saling bunuh. Hemm... jadi engkau ingin mengambil cucu
keponakanmu itu, Sai-cu Lo-mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak
Liat, datuk kaum sesat!"
Sai-cu Lo-mo
menarik napas panjang. "Betapa pun juga, dia adalah cucu keponakan saya,
Pangcu."
Nirahai
mengangguk, "Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak
ingin melibatkan Thian-liong-pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat.
Betapa pun juga, kalau engkau mendengar di mana adanya bocah itu sekarang dan
jika ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau di mana
dia itu sekarang?"
"Dia
menjadi murid di Siauw-lim-si."
Nirahai
menggeleng kepala. "Kalau di Siauw-lim-si, kita tidak dapat berbuat
sesuatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw-lim-pai, sudah semestinya kalau
anaknya menjadi murid Siauw-lim-pai pula. Jangan mengira bahwa aku takut
menghadapi Siauw-lim-pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan
menjadi musuh Siauw-lim-pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan seorang
anak, apa lagi anak keturunan seorang seperti Gak Liat?"
Diam-diam
Sai-cu Lo-mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini. Tiba-tiba ia mengangkat
kepala dan berkata, "Pangcu... maaf... hati saya akan selalu gelisah kalau
tidak menyatakannya sekarang. Kalau tidak keliru menduga... saya dapat mengenal
siapa kiranya Pangcu!"
Nirahai
menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, "Bagaimana dengan engkau, Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga siapa aku?"
Chie Kang
terkejut. Dia pun sedang berpikir-pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak
memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang
bagi banyak tokoh kang-ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya
ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam-diam dia terkejut dan
tidak percaya bahwa pangcunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup
mendengar pertanyaan itu dan menjawab, "Saya... saya hanya menduga-duga
akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar
untuk diduga..."
Nirahai
tersenyum di balik kerudung-nya. "Sai-cu Lo-mo, aku dapat menjenguk isi
hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau dan Chie Kang telah kuangkat
menjadi pembantu-pembantuku yang setia dan boleh dipercaya, sedangkan Wi Siang
menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga sajalah yang boleh
mengetahui siapa sebenarnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara
kalian berani membocorkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah,
agar hati kalian tidak ragu-ragu lagi, kalian boleh mengenalku." Berkata
demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya
yang cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah
menggemparkan seluruh dunia kang-ouw sebagai pemimpin pasukan-pasukan
pemerintah yang membasmi para pemberontak!
Tiga orang
tokoh Thian-liong-pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai,
akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat
kenyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang
berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwibawa
memandang kepada mereka dengan mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus,
mereka serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.
"Harap
Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang
mulia," kata Sai-cu Lo-mo mewakili saudara-saudaranya.
"Bangunlah
kalian!" tiba-tiba Nirahai membentak. Ketika mereka dengan kaget bangkit
berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya
yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang
marah.
"Mulai
saat ini, sekali-kali kalian tidak boleh menyebutku Puteri dan jangan bocorkan
rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian-liong-pang dan kalian sebut saja
aku Pangcu. Nah, mari duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan
perkumpulan kita."
Demikianlah,
semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian-liong-pang. Kecuali tiga orang
pembantunya itu, tidak seorang pun di antara para anggota Thian-liong-pang
mengetahui bahwa Ketua mereka yang selalu menyembunyikan muka di belakang
kerudung, yang diliputi penuh rahasia, yang memiliki ilmu kepandaian hebat
seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu.
Nirahai
menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga
dalam waktu dua tahun saja, Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan
Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat mereka naik
jauh lebih tinggi dari pada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun berubah,
penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian-liong-pang juga
dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian-liong-pang
kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggotanya memiliki kepandaian
tinggi.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, tadinya Nirahai menitipkan puterinya,
Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama membangun dan
memperkuat Thian-liong-pang beberapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan
hanya kira-kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puterinya.
Milana sama sekali tidak tahu bahwa ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang yang
amat terkenal itu. Setelah Nirahai mengajaknya ke Thian-liong-pang anak
perempuan ini baru tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua
Thian-liong-pang yang menggemparkan dunia kang-ouw. Dengan hati penuh
kebanggaan namun juga kedukaan, kini Milana juga tahu bahwa ayahnya adalah
Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan
ibunya sehingga ayah bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling
bertentangan!
Pertemuannya
dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai.
Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita yang mempunyai harga diri
tinggi sekali. Betapa pun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap
suaminya itu membuatnya berduka. Ia tidak mau menyembah-nyembah minta dibawa,
sungguh rasa rindunya kadang-kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan
bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan
merangkak-rangkak mengejar suaminya!
Keangkuhan
ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya kadang-kadang berubah menjadi
kebencian, membuat dia ingin menandingi kebesaran suaminya, menandingi
kepandaiannya. Dalam dua kali pertemuannya dengan Suma Han, yang pertama ketika
tokoh-tokoh kang-ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang-ho, kedua
baru-baru ini, Nirahai maklum bahwa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu
menandingi Suma Han.
Biar pun
Perkumpulan Thian-liong-pang kini menjadi amat kuat dan agaknya para pembantu
dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia
sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-sia belaka. Tidak ada
seorang pun di Thian-liong-pang yang akan kuat bertanding dengan Suma Han. Maka
dia harus mempertinggi ilmu-ilmunya.
Terutama
sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang yang lebih
pandai dari padanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma
Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di
antaranya ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua perkumpulan silat
yang diundang, atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk
apa? Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang
mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh
Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa kedua orang itu
sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang terkenal itu.
Markas
Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan sekumpulan
bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi
manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat di mana tampak
penjaga yang melakukan penjagaan siang malam sehingga sarang perkumpulan itu
seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal
berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang.
Pintu
gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan
tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup
kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan
dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang
itu terlalu memandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu
baginya? Lebih tinggi lagi pun dia akan mampu melompatinya.
Dia maklum
bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus
memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong
banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia
sudah mengambil keputusan bulat untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan
menegurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa
orang-orang Thian-liong-pang amat lihai, apa lagi ketuanya yang pernah ia lihat
di pulau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau
teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu.
Akan tetapi
kepandaiannya sekarang tidak seperti dahulu. Kini dia telah dewasa dan berilmu
tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia
mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun? Pula, dia teringat betapa tokoh wanita
Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang
Thian-liong-pang tidaklah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu,
juga dalam perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai
perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan. Kalau sekarang
mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada
rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus membongkar rahasia itu dan
berusaha menghentikan perbuatan mereka.
Akan tetapi
Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa meloncat begitu saja
pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Tidak, dia tidak
berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh,
menanti sampai malam tiba karena dia mengambil keputusan untuk memasuki sarang
naga itu setelah hari menjadi gelap.
Setelah hari
berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung sarang
Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung sebelah kiri pintu
gerbang untuk meloncat masuk. Tiba-tiba ia mendengar suara gembreng dan tambur
di sebelah dalam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh
perhatian. Apakah sedang Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hmm, bukan, bantah
hatinya.
Tambur dan
gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain
silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau
mereka telah siap menantinya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya
sejak tadi telah diintai. Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan
terlambat.
Dengan
gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya
hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor
burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah
atau senjata orang menyambutnya. Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya
tampak genteng bangunan-bangunan dan tampak sinar penerangan yang besar,
terutama di depan sebuah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang
hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya
orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan
kedatangannya.
Bun Beng
merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah
sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia melayang
turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun pula ke
bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat keramaian.
Akan tetapi
begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang
kakek yang berkata tenang. "Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai.
Biar pun caramu masuk tidak selayaknya, namun mengingat bahwa Siauw-hiap adalah
seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk
sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai
seorang tamu yang terhormat, ataukah... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai
seorang pencuri yang rendah?"
Bun Beng
memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepala gundul,
berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang sastrawan, usianya kurang
lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi sikapnya halus dan
seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng tersenyum.
"Terserah
kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku
ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai
tamu, biarlah aku menerima sambutan ini."
"Kalau
begitu, silakan Siauw-hiap!" kata kakek itu.
Bun Beng
berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan besar diiringkan
oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak disambut sebagai
musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan
bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka
dia disambut dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andai kata kedua orang tokoh
yang menawan Ketua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat
Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid
Siauw-lim-pai, tentu penyambutan mereka akan lain sekali.
Ketika kakek
gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi banyak
lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan di
situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam. Di
atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah seorang wanita berkerudung
duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditilami kulit seekor biruang.
Wanita berkerudung yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu
pernah datang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya
menginjak kepala biruang yang berada di bawah kursinya.
Di sebelah
kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti seekor singa,
kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita berkerudung. Di sebelah
kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik
yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili
Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur,
berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai
yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.
"Silakan
duduk di sini, Siauw-hiap," kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun
Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga.
Akan tetapi
Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan terheran-heran memandang ke
arah para tamu yang duduk menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang
diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan
para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung. Dia tidak peduli dan
tidak melihat betapa Ketua Thian-liong-pang sama sekali tidak mengacuhkannya,
akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin,
Ketua Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu
dengan sikap tenang dan sama sekali tidak menoleh kepadanya!
Mengapa
orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak
tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal?
Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu
betapa di tengah jalan dia berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal
ini sudah dilaporkannya pula kepada Ke-tua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi
Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini
berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan
menegur.
"Ang-locianpwe,
engkau baik-baik sajakah?"
Kakek itu
memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali. Mengapa
Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia berusaha
menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!
"Locianpwe,
apakah kau lupa kepadaku?" Ia menegur lagi.
Kakek itu
kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara
ragu-ragu, "Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu." Setelah berkata
demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang
bertanding di bawah anak tangga, memandang penuh perhatian seperti yang
dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ.
Makin heran
Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri dari
kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sama sekali tidak menoleh
kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja! Dengan hati mengkal Bun
Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk oleh kakek gundul. Kakek ini pun
duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang
menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh
taruh arak dengan guci dan cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi
meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang
memenuhi meja-meja lain pula.
Kini Bun
Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang, tepatnya
empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti
sikap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka ini pun terdapat meja penuh makanan
dan mereka semua menonton pertandingan sambil makan minum.
Di belakang
para tamu duduk pula banyak orang dan di antara mereka Bun Beng mengenal dua
orang tokoh yang pernah dilawannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua
Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya
juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek
kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di
antara mereka yang berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut.
Agaknya
sepasang kakek kembar itu adalah anggota-anggota rendahan saja, sedang kakek
muka tengkorak dan pemuda tampan adalah anggota yang lebih tinggi. Kakek gundul
yang duduk di sebelahnya, yang tadi menyambutnya ketika baru datang, tentu
lebih tinggi kedudukannya, apa lagi kakek muka singa dan wanita cantik yang
duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar
yang demikian lihai itu saja menjadi anggota rendahan, dapat dibayangkan betapa
lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apa lagi kakek muka singa, dan
lebih-lebih ketuanya!
Bun Beng
bersikap hati-hati. Ia tidak mau bergerak, hendak melihat perkembangannya
karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa Ang-lojin yang
tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun
Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali dia tercengang.
Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan!
Laki-laki
berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok itu
memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu
sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi pula.
Diam-diam ia menonton dan mencurahkan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal
ilmu silat, bahkan dahulu gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka
rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dimiliki
oleh partai-partai besar.
Maka setelah
menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah
seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena
kehebatan ilmu golok mereka, sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi
tentulah seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang
dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka
main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di
tempat ini? Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang
sambil makan minum, juga diiringi tambur dan gembreng!
Pertandingan
itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai
terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu
memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya
Bun Heng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik
kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang.
Seketika
tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding itu pun meloncat
mundur menghentikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang
agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang menghampiri tokoh
Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi
masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh ini.
Bun Beng
memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan dugaannya yang agaknya
tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik
diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi
bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung,
terdengar suara merdu dari balik kerudung.
"Ang-lojin
dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan
memperlihatkan kepandaian!"
Jantung Bun
Beng berdebar tegang.
"Siauw-hiap,
silakan mencoba hidangan!" Tiba-tiba kakek gundul berkata.
"Terima
kasih, aku tidak lapar," jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pandang matanya
dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kursinya dan
melangkah maju ke tempat pertandingan dengan wajah tidak membayangkan sesuatu
dan sikapnya tanpa ragu-ragu.
"Kalau
begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami,"
kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh
kepada Bun Beng.
Mendengar
ini Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang. Ia melihat betapa
sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju kepadanya dengan sinar
tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali
teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak
tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak
mungkin secawan arak membuat ia mabok!
"Harap
Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang,"
kata pula kakek gundul.
"Cukup,
aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!" kata Bun Beng
dengan hati-hati, dan biar pun ia menjadi curiga sekali, pikirannya diputar
untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi. Tetapi ia
menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah
berhadapan dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sastrawan).
"Harap
Ji-wi suka mulai pertandingan tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah
seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dilawan dengan
jurus-jurus simpananmu!" Terdengar pula suara halus dingin Ketua
Thian-liong-pang.
Betapa heran
hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik atau
ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi! Pemuda yang
dipanggil julukannya sebagai Tok-ciang Siucai (Sastrawan Tangan Beracun) telah
membuka serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan
terbuka dan telapak tangannya berwarna kemerahan! Serangan pertama ini
merupakan tamparan dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan
telapak tangan kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat
bahwa kedua telapak tangannya mengandung hawa beracun, dapat dibayangkan betapa
dahsyat dan berbahaya serangan ini.
Namun
Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki tingkat ilmu silat
yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepatnya, ia mengelak
dengan geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan kanan ke kanan menangkis
dan dari samping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah
perut siucai itu.
"Bagus
sekali!" tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun
Beng juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua
Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekatan.
Tok-siang
Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah kaki melangkah mundur tangan
kirinya dapat menangkis serangan itu dengan melemparkan ke kanan. Namun,
tiba-tiba tendangan kaki kanan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul dengan
tendangan kaki kiri yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali
tendangan ini menyerong dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda
kaget, mundur selangkah menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai
terus melakukan tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali sehingga kedua
kakinya yang kelihatan banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.
"Hemmmm...
Soan-hong-twi... seperti itukah?" Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih
sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang
sejak tadi memperhatikannya, walau hanya dengan pendengaran karena matanya
ditujukan untuk mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya.
Jantung Bun
Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai yang
baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan penurut dan... arak yang
secawan saja sudah membuat dia mabok... bukan tidak mungkin ada hubungannya! Ia
baru minum secawan saja sudah pening dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan
kakek gundul itu tadi berusaha membuat dia minum lebih banyak! Kemudian, para
tokoh yang saling bertanding mati-matian dan dengan bersungguh hati, Ketua
Thian-liong-pang yang menonton dan memberi komentar!
Hemmm,
seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun pengaruh arak
membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk memutar
otaknya, tidak seperti biasa. Betapa pun juga, Bun Beng mengerahkan seluruh
pikirannya untuk melakukan penyelidikan, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan
mengumpulkan dugaan-dugaan.
Pertandingan
antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang berlangsung makin seru.
Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menyenangkan hatinya. Ternyata
ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biar pun kini mau saja
diadu seperti jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang ketua partai persilatan besar.
Pemuda
bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya dan mematikan,
namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biar pun terpaksa mengeluarkan
jurus-jurus simpanan dari Bu-tong-pai untuk menyelamatkan diri, namun serangan
balasannya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah dia enggan untuk mencelakai
lawan, tidak mau melukai hebat, apa lagi membunuh. Hal ini tentu saja dapat ia
lihat karena banyak lowongan baik tidak dipergunakan oleh kakek itu. Kalau
Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat
dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.
Betapa pun
juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur.
Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya
terhuyung miring, jika Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan
pukulan maut. Namun kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya
roboh terjengkang.
"Cukup!"
teriak Ketua Thian-liong-pang. "Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng
Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu
silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silatmu dengan
senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan
Bu-tong-pai? Silakan!"
Berkata
demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang
pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab
melainkan menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat
munculnya seorang pendeta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah
menerima sebatang toya dari tangan kakek muka singa yang duduk di sebelah kanan
Ketua Thian-liong-pang.
"Pek-eng
Sai-kong, kami telah menyaksikan dan mengagumi ilmu toyamu. Harap jangan
sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, terutama jurus kedua
puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu
siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!" Dalam suara dari balik kerudung itu
terkandung kegembiraan besar. Bun Beng makin berdebar karena di dalam otaknya
yang kacau oleh pengaruh arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir
yang merahasiakan semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya.
Kembali
terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan dari pada tadi.
Sai-kong itu amat kuat, toyanya benar-benar berbahaya dan teringatlah Bun Beng
akan sebuah aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang
merupakan sekelompok orang gagah yang sesungguhnya memiliki dasar ilmu toya
Siauw-lim-pai namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi
saikong ini adalah seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian
karena dia pun ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang
telah diubah itu!
Terdengar
suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah
sinar toya yang kuning bergulung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang
putih. Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya
karena yang menjadi lawannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biar pun
Ketua Bu-tong-pai ini tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apa
lagi membunuh lawan, namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan
menjadi korban toya yang ganas.
Bun Beng
mengepal ujung lengan kursinya. Diam-diam ia telah siap sedia untuk menolong
kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biar pun dia kini dapat menduga bahwa
saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan seperti dua ekor
jangkerik aduan, namun tetap saja hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan
semata-mata karena kakek itu adalah ayah Ang Siok Bi yang cantik, biar pun hal
ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi terutama sekali karena ilmu
toya Siauw-lim-pai yang telah berubah itu menurut keterangan suhu-nya dibawa
lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
"Hyaaatttt...!"
Tiba-tiba
saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut sekali sehingga
tanpa disadarinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap untuk
disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali jurus yang
kini dipergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah jurus dari
ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi
jurus itu telah dirobah sedemikian rupa sehingga selain lihai juga menjadi
ganas dan licik sekali.
Toya itu
menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis
dengan pedang kiri, tiba-tiba tubuh saikong itu terguling ke depan, lalu
tubuhnya menggelinding ke arah lawan, tongkat atau toya itu diputar
menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan sodokan ke atas, mengarah mata
dibarengi dengan tendangan ke arah anggota tubuh di bawah pusar. Serangan yang
mematikan!
Namun
Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang
disebut Pek-eng-coan-ci tadi, terpaksa dia pun mengeluarkan jurus simpanannya.
Kedua pedangnya melakukan gerakan menggunting dan begitu berhasil menjepit
toya, tubuhnya terangkat ke atas dengan kaki ke atas, kemudian ia berjungkir
balik, melepaskan jepitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya
melakukan gerakan menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher
dan pinggang lawan dengan sepasang pedang!
"Heh,
itukah Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memutuskan Gunung)?" terdengar
Ketua Thian-liong-pang berseru lirih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun
Beng.
Saikong itu
kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar toya
membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi
ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba
tubuhnya membalik, sikapnya seperti hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba
sambil membalik ini toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah
raksasa yang menyambar ke arah tubuh Ang-lojin.
"Trakkk!"
Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi
saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.
"Cukup!
Harap Ji-wi kembali ke kursi masing-masing!" Terdengar Ketua
Thian-liong-pang berkata sambil memandang ke arah Bun Beng yang sudah bangkit
berdiri. Semua orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum
bahwa Ketua mereka marah sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah
menimpuk toya dengan ujung lengan kursi yang dipatahkan.
"Chie
Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?" terdengar wanita
berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu
mengira Ketua itu bertanya apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak
sehingga mabok dan melakukan kelancangan itu.
Akan tetapi
Bun Beng yang sudah dapat menduga, hanya tersenyum, apa lagi ketika mendengar
kakek gundul menjawab, "Dia hanya minum secawan dan menolak untuk minum
lagi, Pangcu."
"Dan
untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kau
jadikan jangkerik aduan, bukan begitu, Thian-liong-pangcu?" Sekarang Bun
Beng menghadapi Ketua itu dengan sikap tenang, sedikit pun tidak gentar, bahkan
mulutnya tersenyum mengejek.
Biar pun
wajah itu tidak tampak, namun sepasang mata yang tampak dari kedua lubang itu
mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening
di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan benar oleh semua anggota
Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang
mengerikan.
"Orang
muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak mempunyai
permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menyerang dua pembantu kami,
kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai seorang tamu terhormat, biar pun
engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan tetapi jangan mengira bahwa karena
engkau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan
lancang!"
Bun Beng
mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.
"Thian-liong-pangcu!
Aku datang bukan sebagai utusan Siauw-lim-pai, memelainkan atas nama pribadi
yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu tidak baik dan kuminta engkau
segera menghentikan perbuatanmu itu!"
"Eh,
bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?" Suara Ketua
Thian-liong-pang mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di
dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berani
menentangnya secara terang-terangan, bahkan menegurnya seperti seorang dewasa
menegur seorang kanak-kanak!
"Hemmm,
perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan bicara mengawur dan
menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua
penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau
menculik mereka, termasuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, kemudian kau beri mereka
minuman arak yang mengandung racun perampas ingatan, mungkin yang pengaruhnya hanya
untuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini
kehilangan ingatan mereka, kau jadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan karena
engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang terpaksa harus
mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri. Bukankah
begitu?"
Keadaan
makin tegang dan semua anggota Thian-liong-pang menganggap pemuda lancang itu
menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mereka membiarkan saja
kekurang-ajaran seperti itu? Tetapi sikap dan ucapan Bun Beng menimbulkan
kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang sebagai seorang
sakti wanita ini akan selalu kagum terhadap orang yang gagah berani, yang
menganggap nyawa sebagai hal yang ringan, menganggap kematian sebagai hal
sepele, menganggap bahaya bukan apa-apa dalam membela kebenaran yang
dipercayanya. Hanya ada keraguan di hatinya... apakah pemuda ini bersikap
sedemikian berani terdorong sifat gagah yang asli, ataukah hanya untuk
bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.
"Bocah
sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?"
"Pangcu,
aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau menanam
permusuhan dengan seluruh dunia kang-ouw dengan perbuatanmu ini. Aku minta agar
engkau menghentikan perbuatan ini dan membebaskan semua tawanan."
"Hemm,
tanpa kau minta, semua sahabat yang menjadi tamuku akan kubebaskan. Kau
memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak
peringatanmu ini, habis kau mau apa?"
"Terpaksa
aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti,
Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi keselamatan
seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!"
"Keparat
cilik! Engkau sombong sekali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong
ini!" Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.
"Wi
Siang, mundurlah!" Ketua Thian-liong-pang membentak, "Bocah ini
mempunyai ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang
mengandalkan nama Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang
melayaninya!"
"Baik,
Pangcu!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini
sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, "Eh, orang muda
yang tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai di mana
kepandaianmu!" katanya dengan suara yang tinggi nyaring.
"Chie
Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
"Hemmm,"
Bun Beng mengejek. "Aku pun sudah tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak
mempelajari pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan? Ha, sekali ini
engkau akan kecelik!"
Kembali
Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar biasa, juga
amat cerdik seolah-olah mengetahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti
ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga, siapakah gerangan
bocah ini? Apakah Ketua Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan
yang dilakukannya sengaja mengirim seorang murid yang dapat dipercaya untuk
melakukan penyelidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang
pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan memesan
kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan dengan partai itu.
Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil langkah pertama memusuhi
Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang maklum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng yang
dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia makin marah. Sambil menggereng
ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk memaksa
lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar dapat
dilihat oleh Ketuanya.
Memang apa
yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai
sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak
beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerakan yang asli dari
jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja.
Dia ingin memperdalam ilmu silatnya sedemikian rupa dalam persiapannya
menghadapi suaminya, Suma Han atau Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti
Majikan Pulau Es!
Menghadapi
terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan lawannya
yang menubruk dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas dan
bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sinkang kuat. Untuk
menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai, dia tidak mau karena dia tidak ingin
kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu ‘mencuri’ jurus-jurus pilihan
dengan melihat dia mainkan jurus itu.
Akan tetapi
terjangan kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar amat berbahaya. Maka
ia cepat mengerahkan ginkangnya dan hanya mengelak ke sana ke mari tanpa
mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Untung bahwa dalam hal ginkang, dia dapat
mengatasi gerakan kakek itu sehingga sampai belasan jurus ia mampu
menghindarkan semua terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan ilmunya
meringankan tubuh!
"Heh,
kau masih keras kepala, ya?" Chie Kang mendengus marah menyaksikan
lawannya itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya
mengelak ke sana-sini. Ia merobah serangannya, kini dia mengerahkan sinkang dan
menyerang dengan gerakan lambat, tetapi kedua tangannya mendatangkan angin yang
bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar Bun Beng!
Pemuda itu
terkejut, maklum bahwa menghadapi penyerangan seperti itu tak mungkin baginya
untuk hanya mengandalkan ginkang saja. Maka ia berseru keras, tubuhnya
melakukan gerakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke depan, kedua tangannya
membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua serangan lawan dan
berbalik kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu
mengirim pukulan dari semua penjuru!
"Aihhhh...!"
Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena
tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang. Bun Beng mendesak ke depan
untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan.
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat. Kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan
sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh.
Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah
menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung
beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi, dan maklumlah pemuda ini bahwa
sekali wanita itu mengerahkan tenaga, dadanya akan pecah! Namun dia tidak takut
dan memandang dengan mata melotot.
"Bocah
sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?"
Biar pun dia
sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki wanita
itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia mendapat
kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!
"Ha-ha-ha-ha!
Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa takut
padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan
jahat seperti iblis. Memang engkau iblis, kalau tidak, tentu engkau tidak akan
menyembunyikan mukamu di belakang kerudung! Akan tetapi, biar pun engkau iblis
sendiri yang masih belum puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang
kang-ouw, tetap saja engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau
Es! Ha-ha-ha, engkau akan dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho,
seperti yang telah kusaksikan sendiri. Ha-ha-ha!"
Bun Beng
merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia memejamkan mata,
menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak terus, bahkan
turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjambak,
tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu,
melihat sepasang mata di balik kerudung yang seolah-olah hendak membakarnya.
"Siapa
engkau? Siapa...?" Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu
lagi, melainkan melengking nyaring penuh kemarahan.
"Aku
akan mati, perlu apa menyembuyikan nama? Aku Gak Bun Beng..."
"Ya
Tuhan...!"
Bun Beng
mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia tidak tahu siapa
yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di depannya tiba-tiba
tertawa menghina.
"Hi-hik,
kiranya anak haram, keturunan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk kaum
sesat? Pantas... pantas saja...! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak sah.
Manusia macammu ini tidak layak hidup!"
Nirahai
mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Sekali ini, karena
Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mampu berkutik,
tentu saja tidak sudi mampus begitu saja tanpa melawan.
"Plakkk!"
Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus
Sam-po-cin-keng dan biar pun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia
berhasil menangkis dan tidak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap
melawan mati-matian.
"Pangcu...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan berkelebatlah tubuh kakek bermuka singa
menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan menghampiri Bun Beng dengan mata
berkilat penuh penasaran.
"Sai-cu
Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!" bentak ketuanya.
"Pangcu,
ampunkanlah... dia... cucu keponakan saya, satu-satunya keturunan saya,
bagaimana Pangcu tega untuk membasmi keturunan saya? Ampunkanlah, atau Pangcu
bunuh saya sekalian!"
Mendengar
ini, tiba-tiba lemaslah tubuh Nirahai. Ia memandang wajah pembantunya yang
berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang dengan mata terbelalak!
Dia cucu keponakan kakek bermuka singa itu?
"Sudahlah!
Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menjadi anggota
kita."
"Apa?
Aku menjadi anggota Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang
gagah untuk dicuri kepandaiannya? Terima kasih, lebih baik aku mati!" Bun
Beng membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan.
Sai-cu Lo-mo
cepat meloncat ke depan Bun Beng sambil membentak penuh teguran, "Gak Bun
Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cucu keponakanku
sendiri, harus mentaati kata-kataku."
Bun Beng
memandang kakek itu penuh perhatian. "Locianpwe, sejak kapankah aku
menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?"
"Aku
adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, dan mendiang Ibumu Bhok Khim adalah
keponakanku."
Diam-diam
Bun Beng merasa terharu. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada
hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.
"Kalau
benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Paman
Kakekku?"
Sai-cu Lo-mo
menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Bun Beng. Dahulu aku telah
berusaha merampasmu dengan mengirim anak buah Thian-liong-pang ke kuil tua, di
dekat Sungai Fen-ho. Akan tetapi usahaku gagal, engkau dirampas oleh Pendekar
Siluman dan diberikan kepada orang Siauw-lim-pai. Sekarang kebetulan sekali
kita bisa berkumpul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggota kami,
mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa."
"Maaf,
Kakek, hal ini tidak dapat kulakukan. Bukan sekali-kali aku tidak memandang
perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang baik dan telah
berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggota Thian-liong-pang
aku tidak sudi. Terserah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku
bersama para tokoh kang-ouw di sini atau hendak membunuhku!"
"Sai-cu
Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia
harus menjadi anggota kita atau mati!" terdengar Nirahai berkata, suaranya
dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi.
Sai-cu Lo-mo
menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan tetapi
maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar
ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, tidak ada seorang
pun berani membantahnya. Lalu ia mendapatkan akal dan berkata.
"Pangcu,
ampunkan saya dan ampunkan dia yang masih muda. Kalau dia tidak mau, biar dia
kita tawan dan perlahan-lahan saya akan membujuknya."
Terdengar
jawaban dengan suara kesal, "Sesukamulah...."
Sai-cu Lo-mo
menjadi girang sekali. "Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita.
Engkau menurutlah, Cucuku!"
"Maaf,
aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang! Biar pun Ayahku yang tidak
pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang
sesat!"
"Bocah
bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!" Sai-cu Lo-mo membentak dan
menubruk ke depan hendak menangkap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah
mengelak cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk
merobohkannya, dia cepat menangkis.
"Plak-plak!"
Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun Beng
terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki
kepandaian dan tenaga lebih hebat dari pada kakek gundul yang berhasil ia
kalahkan tadi.
Di lain
pihak, Sai-cu Lo-mo juga kagum. Kiranya cucu keponakannya ini benar-benar
tangguh, pantas saja sute-nya kalah.
"Gak
Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?"
"Aku
tidak melawan seorang kakekku, melainkan melawan orang-orang Thian-liong-pang."
jawab Bun Beng tegas.
"Engkau
benar tak tahu diri dan sombong!" Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan
hebatnya.
Bun Beng
terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali ia menggunakan Ilmu Silat
Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan jurus-jurus aneh ilmu silat ini, Sai-cu
Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat gerakan
pemuda itu Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah melihat dan
mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan
ilmu silat tangan kosong seperti yang dimainkan pemuda itu. Sungguh pun gerak
kaki pemuda itu mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang sudah matang,
namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw Lim Pai.
"Wi
Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia
mengeluarkan seluruh ilmunya," bisiknya dengan tertarik sekali sambil
duduk kembali ke atas kursinya untuk menonton dan mempelajari jurus-jurus yang
dimainkan Bun Beng.
Tang Wi
Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah menolongnya
ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir
celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan menyerang Bun Beng dengan
gerakan lincah sekali.
Bun Beng
terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar biasa
dan mungkin lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar,
Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di
antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang
lebih tinggi dari pada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia
beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan
gerakan ginkang tinggi sekali.
Menghadapi
Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai
sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini.
Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi terancam
hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan
wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai
ia tertawan oleh kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah
lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak
dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak
tangga.
Ia meloncat
lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang
yang sedang memandangnya penuh perhatian. Ia menjadi terkejut sekali, sadar
bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya
agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua
itu hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat
gerakan-gerakannya!

Bun Beng
adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapa pun juga, dia takkan
mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapa pun dia melawan
tetap akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak
memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau
akan dapat mencuri jurus-jurus simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng,
pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan
jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo.
Nirahai
menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel
itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan
dirinya tertangkap!
"Lempar
dia ke dalam penjara di bawah tanah!" bentak Ketua Thian-liong-pang.
"Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"
Sai-cu Lo-mo
terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas
menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh
pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di
bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang
Thian-liong-pang.
Biar pun
tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih
mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, "Lanjutkan pesta dan
pertandingan!"
Dia merasa
puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah
kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah
berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!
Tahanan di
bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh
Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun melalui
anak tangga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi
yang terjaga oleh dua orang anggota Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh
pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke
dalam kamar ini.
Bun Beng
tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu
ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan
totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa
usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan
waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan
darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat
itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi
segala kemungkinan.
Sekitar
sejam lamanya dia bersiulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, baru Bun Beng menghentikan
semedhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu
agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya
dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki
kamar tahanan.
Sebuah kamar
berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu,
tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak ada jendelanya, hanya terdapat
sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki
satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh
kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar.
Bun Beng
menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin
lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol
dinding. Harus mencari akal. Namun, andai kata dia dapat keluar, bagaimana ia
dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu
yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah
tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama
sekali Ketuanya!
"Aku
harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya," akhirnya ia
menghibur diri sendiri.
Betapa pun
juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena selain Sai-cu Lo-mo
mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat keturunannya terbunuh, juga
Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali mendapatkan ilmu silatnya, terutama
sekali Sam-po-cin-keng! Betapa pun, dia masih memiliki ilmu sebagai ‘modal’
untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu
mencari tempat duduk di lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk
yang enak?
Lantai itu
terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik
turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng
mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka
itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu
berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi rangka-rangka manusia di situ
memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua
Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggotanya, tanpa dibunuh pun dia akan
mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek
muka singa yang telah berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati?
Tidak! Dia
tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar dari
neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia memeriksa
pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak
mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu.
Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras. Kokoh kuat tak
mungkin dibongkar dengan tangan kosong.
Siapa tahu
akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama
kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan mengirim
makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati
begitu saja sebelum dibujuk.
Maka ia
menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan
bersemedhi. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Semenjak
terseret oleh pusaran maut air Sungai Huang-ho, sudah berkali-kali dia terancam
bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa
terbang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia
tertolong! Kalau Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat.
Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang.
Manusia
hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan
Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang memompa darah ke
seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan
otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekali pun, detik jantung dan
pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan
Tuhan?
Dalam
keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat
dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang
pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia,
betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat
akan wejangan suhu-nya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan
kelemahan manusia?
Orang yang
merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara
lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di
tubuhnya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak
mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan
mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat
hidup dan mati!
Pelajaran
seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan
sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa
yakin sepenuhnya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apa
pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki.
Kalau Tuhan
menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat
menghindarkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia
hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apa
lagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekali
pun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua
Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan
rambut-rambutnya, tidak usah semua, sehelai saja!
Betapa pun
juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya
sendiri. Usaha atau ikhtiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak
boleh dihentikan selama dia hidup. Ada pun akan jadinya, terserah kepada
kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri. Kalau Tuhan
menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang,
atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua
itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab
kematiannya.
Pikiran ini
membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir
karena hatinya telah bebas dari pada keinginan hidup atau mati, sudah ia
serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari
jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal.
Setelah
keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api
penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas
lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang
membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia
menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit
menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih
dengan cahaya lampu kemerahan.
Sebuah
kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo!
Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti
kering yang panjang dan seguci air.
Bun Beng
dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu.
Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk
melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan
tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
"Terima
kasih." Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong
roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air
jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang
melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya
bertanya.
"Sampai
berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman diberi racun
perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari
Pangcu-mu?"
Sai-cu Lo-mo
menggeleng kepalanya. "Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau
dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang
kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun Beng,
tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya
satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggota
Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan
kepandaianmu."
Bun Beng
menggeleng kepala. Biar pun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak
pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi
anggota Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!
"Percuma
saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi anggota Thian-liong-pang
hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku
tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw."
"Ahhh,
engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang bijaksana, sama sekali bukan
orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya,
kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri tokoh-tokoh
kang-ouw, itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan
hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah
diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali.
Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!"
"Hemmm,
kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"
"Pangcu
tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian
menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es."
Bun Beng
mengerutkan keningnya. "Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan
suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti,
juga amat bijaksana. Kalau Pangcu-mu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti
sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!"
Sai-cu Lo-mo
kelihatan berduka. "Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati
seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang
tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah
bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan
Thian-liong-pang!"
"Maaf,
aku tetap tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Bun
Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah
mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau
selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya!
Dan engkau... engkau akan mati dengan sia-sia..."
"Menyesal
sekali. Aku lebih memilih bahaya mati dari pada harus menuruti kehendak
Pangcu-mu yang seperti iblis itu!"
Kakek itu
menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari
terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti
bujukannya. Bahkan pemuda itu kini semakin tekun dengan penyelidikannya.
Dibongkarnya batu-batu di lantai, di antara tulang-tulang rangka manusia, dan
dia menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu kapak ini merupakan senjata
dari seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia
memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin
sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, terdengar bunyi air
berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling
tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada
air di balik dinding ini?
Setelah hari
ketiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu
tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan
guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak
gagang panjang itu dia mulai membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga. Dia
bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air,
mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu
sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi
makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, karena kalau
tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!
Bun Beng
bekerja dengan semangat menyala-nyala, tak pernah sedetik pun ia berhenti dan
dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan
otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging. Ia terus
menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar. Batu
itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam satu
meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis!
Pada
keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa
lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami
batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa
dia harus berlomba dengan waktu. Betapa pun juga, hatinya mulai risau ketika
dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai
sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang
mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini,
Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah
ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu
berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan
kiri dan belakangnya.
Malam tiba.
Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan sinar lampu penerangan
seperti biasa. Tak seberapa lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng
menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu
keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak.
Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya
setebal perut gunung!
Dan Si
Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usahanya yang
mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya terasa penat sekali, perutnya lapar
dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng
meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya
hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja,
mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya
penjaga.
Ketika ia
melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak
memaki, "Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan
hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam
engkau!"
Penjaga itu
berhenti dan tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu
akan akal bulusmu!"
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada
jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji dengan kedua lengan di kanan kiri
mukanya. "Apa... apa maksud-mu?"
Kembali
penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu
menjangkau dengan tangannya. "Ha-ha-ha, apa kau kira aku bodoh? Engkau
tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkap dan membunuhku,
bukan?"
Rasa lega
menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, "Memang aku ingin sekali
mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!"
"Jangan
mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah
curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa
untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau
mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!" Penjaga itu
melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng.
Dengan
sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air
itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah. "Jahanam,
lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!" Bun Beng berteriak-teriak
akan tetapi penjaga itu tertawa.
"Rasakan
kau!" katanya sambil berjalan pergi!
Bun Beng
cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya lega.
Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi! Batu-batu itu
mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air
menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.
Pada
keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas
terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak,
kapaknya terayun ke arah batu itu dan...
"Krasak-krasak...
byuuuurrrr...!"
Bun Beng
cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat
lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air
seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang
datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang benar dia telah berhasil
membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang
entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan.
Bun Beng
tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Jika ia menerobos lubang itu,
tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia
hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua
tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus
menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa
lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan
air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan
luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh. Air naik dengan cepatnya
sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas sepenuh
paru-parunya sambil menanti.
Bun Beng
memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding, selain
air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga
membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang
telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding
yang jebol itu tidak begitu kuat lagi.
Cepat ia
melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan
tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat
apa-apa, air itu keruh dan akhirnya dia dapat meraba dinding yang jebol. Dia
merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu.
Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa
dia berada di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin
lautan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke
atas, bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di
permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia
menahan napas!
Betapa
girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia
membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dadanya terasa nyeri. Ia
terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah tiba
di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga
dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia
muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.
"Aduhhh...!"
Tiba-tiba
secara otomatis Bun Beng mengerahkan sinkang membuat kakinya keras karena
kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan
sinkang-nya yang membuat kaki kirinya kebal, tetapi kini makhluk yang mengigitnya
itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.
Bun Beng
menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit
kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
"Ikan
keparat!" Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya.
Ikan itu
mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di
atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di
kanan kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala
dan ekor ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan
kiri dan belakang!
Bun Beng
makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak
bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti
mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini
merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang mau pun dimasak atau
digoreng sekali pun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat
menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah
yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang
biasanya dilihat Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele
sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan
lele, karena tidak mempunyai kumis!
Bun Beng
tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk.
Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan
sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya
bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.
"Aupppp...!"
Karena lupa
bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air,
tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan
kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua tangan saja untuk
memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan
untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam.
Bun Beng
adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya
dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan
para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air,
dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan
termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di
air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah
beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.
Celaka,
keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air,
dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut
di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini
mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan
lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia.
Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak
mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke
tepi sungai itu.
Tiba-tiba
terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng
mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap
pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan
dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena
kepalanya pecah.
Tiba-tiba
saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali
beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar
akan datangnya bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya sudah
melayang ke atas!
Bun Beng
terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap
burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan,
pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia
dibawa terbang tinggi sekali!
"Sialan!"
Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam
cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa
kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan?
Teringat ia
akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia
bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang penuh perhatian dan keningnya
berkerut. Celaka! Burungnya yang itu-itu juga! Burung rajawali milik Pulau
Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada,
tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan
sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam dari
pada dahulu.
Hampir saja
Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia
melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali sehingga
sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan
burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas
dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua
tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung
erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram
pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan
karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.
Tiba-tiba ia
melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh.
Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak
salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih
terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada
penunggangnya atau tidak.
Ia memutar
otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu
betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia
akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung,
barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki
burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik,
paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan, yang
sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung.
Tiba-tiba
burung yang membawanya itu melengking keras, lengking tanda kemarahan, dan
ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak
lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Namun kelegaan hatinya itu menjadi
berubah seketika saat kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan
hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah
seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu. Burung tunggangan Pendekar
Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi
musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk,
saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.
Bun Beng
yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak?
Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu,
kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang,
bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat
membedakan antara dia dari kaki burung lawan.
Bun Beng
yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu
garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti memukul diri
sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh jatuh
ke bawah? Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul
garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk, hatinya tidak
mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia
berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia
kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja
juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertadingan angkasa itu.
Bun Beng
benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi
bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk dan cakar
hingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya pun banyak yang
terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya.
Dalam
pertadingan biasa, biar pun melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya
dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat
melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya.
Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan
diri pun... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan
seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan!
Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya
patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!
Dalam
pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak
hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak
mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang
terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apa lagi sekarang sebelah kakinya
diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga
dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman. Oleh karena itu, sambil
mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak
kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun
Beng, berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya.
Bun Beng
maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun
begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan
kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu
sekuat mungkin sehingga biar pun rajawali itu berusaha untuk menendangkan
kakinya, tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya.
Namun kini
keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari
serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja
menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun
Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang
secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari rajawali yang hendak
menendang dirinya supaya terlepas.
Tubuh Bun
Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapa
pun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya,
karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis terjangan
garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat sekali. Kalau
sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang
menggandul, sedang tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi
tubuhnya dari terjangan garuda putih.
Burung
garuda itu menyambar lagi, kini dari bawah. Agaknya garuda yang cerdik itu
melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya. Otomatis paruh dan cakar garuda
yang menerjang perut rajawali itu mengabruk pula tubuh Bun Beng yang
tergantung.
"Celaka...!"
Pemuda itu berseru keras.
Betapa pun
ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan garuda sehebat itu
hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan menyelamatkan dirinya secara
otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya
tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan
melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah.
"Mampus
aku sekarang...!" Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri,
tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, "...kalau Tuhan
menghendaki...!"
Akan tetapi
betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah
sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapa pun
lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat
sekali, seperti batu disambitkan.
Bukan main
herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini, seperti
dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian
berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi
puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut
yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi
kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak
mata keranjang seorang pria?
Ayahnya
memperkosa ibunya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua
Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, sering kali ia mendengarnya.
Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya
seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun tidak akan ada yang kehilangan.
Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti
dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan,
mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang.
Satu-satunya
orang yang paling baik terhadapnya adalah suhu-nya yang pertama, Siauw Lam
Hwesio. Namun suhu-nya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya.
Tidak, dia tidak boleh mati!
Biar pun
kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk
menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan
dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang
kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan
hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya
orang yang dikaguminya di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.
"Aku
tidak mau mati dulu...!!" Bun Beng berteriak diluar kesadarannya.
Tiba-tiba ia
melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua
ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak
terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang
dan meluncur turun ini, sedangkan untuk menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu,
bagaimana akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya?
Ah, dia akan
tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah
merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya dia harus dapat mengunakan
burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi
akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang
burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar
menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja
tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu?
Makin
dekat... dan Bun Beng kembali menyumpah, "Dasar awak sialan!"
Yang
disangkanya burung raksasa itu ternyata hanya sebuah layangan besar sekali.
Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi
tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan
seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan
terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak
ke kanan kiri dipermainkan angin.
Melihat
betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya,
timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan
tetapi sedikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak
berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan
dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan
tubuhnya meluncur terus ke bawah.
Teringat ia
ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di
dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia terjatuh
dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia masih kecil
dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri
dan tidak menjadi pingsan. Hal ini karena sinkang-nya sudah bertambah jauh
lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia masih
dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya, merasakan betapa
tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.
Tiba-tiba ia
merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya
tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa
kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking.
Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur
ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi,
hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.
"Setan!
Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si
keparat!"
Tiba-tiba
Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak ia melihat
bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali
layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot panjang dengan
rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah
wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena jenggot dan
rambutnya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang
tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari
Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?
Timbul
harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang,
tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat
ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat,
kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini
dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan
kedua kakinya ia libatkan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu
makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun
dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.
"Setan!
Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau
layang-layangku, heh? Lekas... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan,
injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah... celaka, bisa
turun terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!"
Tidak usah
dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya
‘menunggang’ layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika
layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia
bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi ‘mengemudikan’ layang-layang secara
aneh dan biar pun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka
yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya.
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang
senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama
selamat.
Dia
mengerahkan tenaganya ke kanan, menginjak tali layang-layang dan mengenjot
tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan dan bobot di
bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya kembali ke
atas dan kini layang-layang itu menjadi ‘odek’ (bergoyang-goyang ke kanan kiri
cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya
pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan kiri.
"Setan
udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang
menjadi odek tidak karuan, sialan!"
Biar pun
dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung
dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.
"Habis
bagaimana, Kakek yang baik?"
"Wah-wah,
kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah tampangmu pernah kulihat?"
Bun Beng
menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia
mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan...
teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh.
Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biar pun kini kelihatan lebih tua dan
memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, akan tetapi sikap aneh
kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi
dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah
mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia
menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.
"Aku
tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."
"Ahhh,
bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm... kalau saja engkau sudah tua dan
kepalamu botak... heiii, kau mau ke mana?"
Bun Beng
tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan
maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan
dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot
turun sambil berkata, "Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan di
sini!"
"Eh,
eh, enak saja! Mana bisa?" Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba
layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga
tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.
"Wuuuttt!"
"Aihhhh...!"
Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar
jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan
aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan
kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia
meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan
tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang
itu menjadi kacau balau gerakannya.
"Ehhh...
Ohhh... setan cilik! Jangan kacau layanganku!" Kakek itu terkejut dan
memaki-maki.
Bun Beng
tersenyum. "Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik
tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!"
"Eh,
jangan, eh... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"
"Masa
bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Tetapi Locianpwe akan
terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!"
"Hahh-hoh
kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan... biarlah kita berjanji, aku
tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya."
"Aku
berjanji takkan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi
aku turun."
"Wah,
perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak
menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau
kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?"
"Kalau
aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang sendiri
saja. Aku hendak turun, Locianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau
Locianpwe tidak menghalangi aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu baru
adil namanya."
"Wah,
monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau
turunlah, hendak kulihat bagaimana!" Tiba-tiba angin bertiup keras sekali
membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.
"Wuuuutttt...!"
"Aihhh,
celaka. Engkau jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau
mengganggu kendaliku!" Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat
ke pinggir kanan layang-layang itu.
"Siuuuttt...!"
Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng
terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan
jantungnya berdebar penuh kengerian.
"Aku
mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan
menyerangku!" Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang
ia tahu amat cerdik dan curang itu.
"Apa?
Bersumpah?" Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah
lurus dan tenang. "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima
puluh kali melanggarnya, sekarang ditambah lagi satu kali sumpah untuk
dilanggar lima kali, tidak mengapalah!"
"Wah,
sumpah seperti itu apa harganya?" Bun Beng mendongkol sekali dan maklum
bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga.
Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan
secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila
agaknya!
"Kalau
begitu, biar kutarik putus tali ini!" katanya dan mulai menarik-narik
lagi.
"Eit-eit-eit-eiitt...!
Jangan...! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi,
akan tetapi kau harus memberi-tahukan namamu."
Bun Beng
berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka
tentulah bukan dari golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku?
Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.
"Baiklah,
Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng..."
"Astaga!
Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua
di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja
aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak.
Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan
memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya.
Mengkal
sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. "Kakek gila, engkau
terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa
hubunganmu dengan Ayah Bundaku?"
"Ha-ha-heh-heh-heh!"
Kakek itu masih terpingkal-pingkal, bahkan saking geli hatinya, air matanya
bercucuran di atas pipinya yang kuning. "Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia
kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun
merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan
Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu. Kami bertanding dan aku membuat dia payah
sampai terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia
mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat
dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai.
Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat
perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil
anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biar pun hasil perkosaan, namun Gak
Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan.
Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu menyuruh
anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi."
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment