Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 07
Nirahai,
bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah
berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia
mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu
mengalah dan berwatak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia
menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat
ini, Milana terkejut dan heran.
"Ibu,
mengapa Ibu memakai itu?"
Dari dalam
kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah
tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat ini engkau akan turut
bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua
Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana
memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, "Ibu...! Engkau
Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu...? Akan tetapi mengapa...?" Hati
anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang
tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia
kang-ouw.
"Diamlah.
Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut
bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!" Dia menggandeng
tangan Milana dan lari cepat sekali.
Ada pun Suma
Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah
bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis
derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka
melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah
perahu yang dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia
berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam
pelayaran ini barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dengan penuh
perhatian dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di
hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai
sekali, bahkan siucai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh
Nirahai dan melarikan diri membawa pedang pusaka.
"Aihhhh...
kiranya dia...!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala
yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang
dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?
"Apakah
Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak
yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang,
seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi
tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi muridnya Maharya. Aku belum pernah
melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."
"Paman,
dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon
isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"
Suma Han
menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya
seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas
karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh,
berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu
mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa,
yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir
mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh
Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu
muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi
Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan
batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia
tidak membohong, Kwi Hong. Biar pun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi
dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahhh, sungguh
aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia
telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat
untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis."
"Kenapa
Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas
kembali pedang itu?"
Kembali Suma
Han menggeleng kepala. "Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk
berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang
engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang
amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau
melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."
Demikianlah,
dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu
dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya
semenjak kecil, yang kedua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu
dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu
memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih
diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia
melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini
memperolah kemajuan yang pesat sekali.
***************
Semenjak
jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan
dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas,
yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang kini
dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh
Bangsa Mancu. Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun
makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap
pemerintah penjajah ini.
Hal ini
adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri
dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Menyaksikan kenyataan betapa besar
dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, biar pun menjadi penjajah, mereka
menerima kebudayaan itu dan bahkan melebur diri mereka seperti keadaan para
pribumi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya menggunakan
bahasa ini sehingga dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak
pandai lagi berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka
sendiri!
Kerajaan
Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai
puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari
tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap,
pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang
mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat
rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun
penggemar kebudayaan sehingga berhasil menarik pula hati para sastrawan pribumi
yang mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah
pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh lebih
besar dari pada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar dari
pada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi
mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan
pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang
dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat
bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya.
Namun
setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri bisa ditumpas semua, Kaisar Kang
Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui
kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke
selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya
ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk
dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara
negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam,
Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi,
selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk
memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan
dan memperkembangkan kesenian melukis, sastra, dan lain-lain di samping
mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini
menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di
mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu.
Seperti
telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai
bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol sebagai
bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali
bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol
tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala
tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini.
Akan tetapi,
setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak
melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mongol sebagai bangsa
serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol
melihat kecenderungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan
orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menjadi makin erat hubungannya
dengan rakyat, sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa
Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa
makin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap
bangsa Mancu.
Pemberontakan
meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya.
Sehingga begitu Secuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang dipimpin
oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar dan gigih
yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh
tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super
Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan
mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat
dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian
dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah
terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan
geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol.
Kembali
dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pula yang
membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan
itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi karena tidak ada
peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam
di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka
biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja.
Pemberontakan
bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut
karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan
kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak
pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada
Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas
dendam atas kekalahan negaranya.
Di dunia
persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan
tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan ‘perang’ sendiri, menggunakan
kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka karena
pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan
Mongol. Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan
kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan
mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para
pembantunya yang lain!
Namun yang
lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar
Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang
berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak
yang sudah menjadi jeri kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai
seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah
ketua-ketua partai persilatan merasakan kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang
dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum
pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu
yang sukar dicari bandingnya!
Terdengar
berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan partai-partai
persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini
hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara
tetangga yang takluk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah
naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan
banyak tentangan. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun
seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan
besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi ‘anak buah’ Thian-liong-pang!
Selagi dunia
kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang
menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama
bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan
warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena
mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan
tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap
tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya
orang dari Pulau Es, bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau Es agaknya
sudah memutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.
Di antara
partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai
sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai
persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak
kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat
banyak pula. Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai.
Bahkan orang-orang Thian-liong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main
gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi
antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin di
antara anak muridnya, dengan bijaksana dapat memadamkan bentrokan-bentrokan
kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan pelanggaran.
Pada waktu
itu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia
lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biar pun tubuhnya tinggi
besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, kitab-kitab
kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi dan sukar sekali
dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya.
Ketika Kian
Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang
benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar
dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut kepercayaan lingkungan
Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat menguasai sebagian dari
isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguh pun belum dapat dibandingkan
dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang
jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi
dari pada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.
Selain lihai
ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang mempunyai kewaspadaan.
Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng
bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apa lagi ketika
mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok Kim,
seorang di antara Kang-lam Sam-eng, segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun
Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang
melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini
‘berjodoh’ dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid. Selama
delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima
gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh
kemajuan yang luar biasa.
"Bun
Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kau nanti-nanti dan baru sekarang
pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk meluaskan
pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini
yang pinceng adakan," kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila di
hadapan muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat
dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia
ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan
mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah
dipelajarinya semua.
"Terima
kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."
Hwesio tua
itu mengangguk dan tertawa. "Pinceng tahu dan tidak menyalahkanmu. Usiamu
sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak
berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia ramai.
Kepandaianmu telah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang
kuketahui belum kuajarkan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang
matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi
engkau sudah akan melampaui aku."
"Teecu
berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan
Suhu."
"Sudahlah,
tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat
penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah menguasai
ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu yang kau kuasai
itu hendak kau pergunakan apakah?"
Ditanya
secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia
mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba
teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga
terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu
yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari
musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di
tangan mereka!"
"Omitohud...,
sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau
memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan
kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."
Bun Beng
terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai sambil
berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk
Suhu bagaimana baiknya."
Hwesio itu
tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan
kepadamu itu hanya akan kau pergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk
membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun
Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan
perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh
perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau
bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan
Ibumu?"
Bun Beng
tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apa lagi setelah ia mendengar
kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat!
"Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan
mengapa."
"Kalau
kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan
mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kau balas dan bunuh
pula?"
Bun Beng
terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia
menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik,
sekarang kau balaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas
dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"
Biar pun Bun
Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali, tidak
urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu
menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhu-nya.
"Omitohud...!
Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang
seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah
mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan
hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak
baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua mau
pun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu
dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andai kata orang tuamu menjadi
penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu
mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama
sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya, karena engkau makin
mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah,
karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah
yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikit pun
tidak boleh ada sisanya. Jika kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang
dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan
karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas
dendam."
Bun Beng
cepat memeluk kaki gurunya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti buta,
tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua
perintah Suhu."
"Aahhh,
pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh.
Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat
kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat
dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan
lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar dari pada
membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan
sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang
perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan
permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik
Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."
"Hemm...,
kalau sampai kau langgar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan
menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng
minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa
bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan
memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata
lagi.
Setelah jauh
meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di
puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong. Juga
kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang
secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan
ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk
menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhu-nya
karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat!
Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri,
kalau dia mempergunakan ilmu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu
akan dapat menandinginya!
Di dalam
perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia bertanya-tanya
tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika mendengar akan sepak
terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting
dari partai-partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh
aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka
diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum
Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur
ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari
Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala
keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu
Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak terdengar lagi.
Yang amat
menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu
menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya
kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa yang tersembunyi di balik perbuatan
aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka dia akan
lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu
melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban
pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam
perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah
penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan
perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan
melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam
di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia
ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah
bilik tanpa gangguan.
Akan tetapi
menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak
tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan bahwa
tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya seperti
tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang
membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang
wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar
seorang wanita?
Dia sudah
memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain
dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis. Karena suara isak
tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu
membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke
atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang
terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke atas
genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka
genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja
dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas
pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya
angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke
arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciut!"
tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang
piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat
Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar suara wanita
memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak
seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan
sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan
langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.
"Wuuuttt...
plakkk!"
Dengan
tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya
kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak tangannya! Gadis itu
berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya, akan tetapi sia-sia.
Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang sambil
memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti
tadi, gadis itu melihat tiga batang piauw-nya berada di tangan kiri pemuda itu.
Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Mau
apa lagi? Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang
dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!"
Nona yang
usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu
membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng
tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga batang
piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia
khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan
berkata, "Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata
orang, lengan kanan semua anggota Thian-liong-pang dicacah dengan gambar naga
kecil?"
"Huh!"
Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu
sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sinkang yang
demikian hebat, "Kalau bukan anggota Thian-liong-pang, agaknya engkau
seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"
Bun Beng
mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh!
Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih,
engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau
bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng
kamar orang dan mengintai ke dalam?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata,
sungguh pun dia sendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar
dan halus ini seorang penjahat.
Bun Beng
tertawa. "Salahku... salahku...! Puas kau sekarang?!" Dia menunjuk
hidung sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang
lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika
terganggu... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga
aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingin sekali tahu mengapa
di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat
apa yang terjadi, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui,
mengapa kau menangis? Ahhh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang.
Buktinya, engkau menyangka aku orang Thian-liong-pang..."
Bun Bang menghentikan
kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!
"Eh,
eh, bagaimana ini...? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu
masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun
Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat bangun, merasa tidak pantas
menyentuh tubuh seorang gadis. "Eh, eh... Nona. Bangkitlah, jangan
begitu...!"
"Mohon
maaf atas kesalahanku tadi... dan mohon pertolongan Taihiap yang memiliki
kepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku...."
"Aku
bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan
menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita
bicara."
Gadis itu
bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
"Nah,
ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin
terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah
manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.
"Namaku
adalah Ang Siok Bi..."
"Nama
yang bagus..." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya
tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia
betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu
karena ia kagum memandang wajah yang manis.
"Eh,
maksudku... teruskan ceritamu, Nona Ang..." Sambungnya cepat-cepat dan
gugup.
"Ayahku
adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua
Bu-tong-pai..."
"Aihh!
Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang
hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan
dada sambil membungkuk.
Siok Bi,
gadis itu, biar pun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah banyak
merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia
banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini
alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali
tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi
telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta
pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu
jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan
sedang mempermainkannya!
"Taihiap,
harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur
tangan menolong orang yang sedang tertimpa mala petaka ataukah seorang dari
kaum sesat?"
Bun Beng
yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan
terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis,
menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan
sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia
berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu
dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala
gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar
mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
"Ang-siocia,
ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang
matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya
menjadi merah. Betapa pun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia
masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas dari pada sifat
wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apa lagi oleh seorang pemuda setampan
dan segagah Bun Beng!
"Pandang
mataku? Aihhh... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali,
Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!" Dan Bun
Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika
ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan
di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi."
Gadis itu berhenti bercerita.
Bun Beng
yang masih memejamkan mata itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia
hanya bisa mengeluarkan suara, "Hmmm...!" Lalu menanti lagi, akan
tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa
diam?"
"Agaknya
Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak
sudi menolong, aku... aku pun tidak mau memaksa." Suara itu terdengar
menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah berlari pergi!
Sekali
menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan
ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam
Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu
pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata,
"Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli,
mana... enak hatiku?"
Tiba-tiba
Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang.
Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata, "Wah, benar-benar aku
tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata,
pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tak
peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai
niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat
dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Kini sinar
bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas.
Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu Bun Beng
bicara sungguh-sungguh, tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya
seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini
memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga
tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu ‘nakal’ dan bibirnya tersenyum kurang
ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.
"Selagi
kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang.
Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah
ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"
"Hemmm,
sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan
betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang tersenyum. "Tentu
engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah
yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan
dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa?
Dikerangkeng dan kau diam saja?"
Kalau belum
mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu
sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka
amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama
sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan
akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan,
mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang
membebaskan Ayah. Akan tetapi... ah, akan makan waktu lama, mungkin
terlambat... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat
kuat itu."
"Ke
mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"
"Di
luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke
utara..."
"Aku
akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok Bi
bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak,
"Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut...!"
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar
mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau tunggu saja di
sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar
suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan
memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia
melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia
menarik napas panjang. "Hebat dia...!"
Kemudian ia
pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan
penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya. Kalau aku
ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu
mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang
bibirnya selalu tersenyum dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya
tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat
lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat,
akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar
kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki
ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng
merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang
didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar
berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar
keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah
hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong
Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.
Dengan
kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia gunakan ilmu lari
cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang hingga tubuhnya
seperti terbang di atas rumput, seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya
lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju
ke utara!
Namun karena
ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja
barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua
Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang
mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya
sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya
kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat
dari pada papan tebal dan beroda dua.
Bun Beng
mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang
itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak
pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan
itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian.
Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun
Beng.
Saat
memperhatikan empat orang itu, diam-diam Bun Beng terkejut. Ternyata memang
benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan
sikap mereka menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka
tentu orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh.
Seorang di
antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak
berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip
tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di
punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang kedua masih muda, paling
banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di
atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap
seperti sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan
keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang.
Biar pun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu
ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi
dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar
membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka
kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima
duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan
angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang
buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di
antara mereka langsung membentak,
"Bocah
sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"
"Minggir
kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!" Orang kedua membentak pula.
Bun Beng
memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah
kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini penculik-penculik dari
Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua
Bu-tong-pai?"
"Benar
orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini.
Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua
Thian-liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah
tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang. Nah, setelah
mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas menggelinding pergi?"
Bun Beng
dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kedua orang kakek kembar
yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata, "Sebenarnya aku mau
pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku yang berada di sini tidak
membolehkan aku pergi sebelum kalian membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar
ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke sekeliling mereka.
Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang ajar ini mempunyai empat
orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di sekitar mereka tanpa mereka
ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai empat orang itu. Apa lagi setelah
mereka memandang ke sekeliling tidak dapat melihat gerak-gerik orang di situ,
mereka menjadi makin hati-hati karena hal itu hanya menandakan bahwa empat
orang sahabat pemuda ini benar-benar lihai.
"Orang
muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat bicara dengan
mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan tokoh
Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng, dan kakek
bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang ke atas
tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya si orang muda menjaga
kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi penjaga di tempat tinggi.
Sikap mereka
yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di hati Bun Beng bahwa
tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya tinggi, lebih tinggi dari pada
tingkat sepasang kakek kembar yang menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda
bahwa mereka memandang rendah kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh
kedua kakek kembar yang rendah tingkatnya!
Bun Beng
tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang sahabatku? Awas,
mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan mereka, tentu kalian akan
mereka robohkan dengan mudah!"
"Tak
perlu banyak menggertak!" Bentak kakek kembar kedua, akan tetapi tidak
urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri dengan sikap
agak gentar. "Lekas suruh mereka keluar!"
"Mereka
sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua
kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jeri. Kalau ada empat
orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat melihatnya, hal itu hanya
berarti bahwa empat orang itu bukanlah manusia, melainkan iblis-iblis.
Teringatlah mereka akan orang-orang Pulau Neraka, musuh utama mereka yang
mereka takuti, akan tetapi pemuda ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan
anggota Pulau Neraka. Ah, tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal
kanak-kanak untuk menakut-nakuti mereka!
"Bocah,
jangan main-main engkau!" Seorang di antara mereka membentak.
"Inilah
mereka!" Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.
Muka kedua
kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan karena kepala mereka
botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang pernah menjadi
kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip kera-kera itu!
Akan tetapi
sebagai anggota-anggota Thian-liong-pang yang banyak pengalaman, menyaksikan
sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka dan yang amat tenang itu, dua
orang kakek kembar tidak mau sembrono. Seorang di antara mereka melangkah maju
dan menegur.
"Orang
muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari Thian-liong-pang? Apa
yang telah kau perbuat ini hanya dapat dicuci dengan darahmu dan ditebus dengan
nyawamu. Maka sebelum mampus, mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng
menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang kalian yang
akan kalah, dan andai kata aku sampai mati pun, biarlah namaku menjadi rahasia
dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar Thian-liong-pang!"
"Keparat!"
Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan senjatanya yang aneh dan
kiranya senjata gelang berduri itu digenggam dengan duri-durinya di depan,
digerakkan secara cepat dan kuat sekali menghantam ke arah muka Bun Beng yang
masih bertolak pinggang.
"Heeitt!
Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun Beng. Dengan
mudah ia mengelak ke kanan dan biar pun matanya melirik ke arah orang di
depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya dicurahkan untuk mengikuti
gerakan kakek kedua yang telah melompat ke belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai
yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu menjadi gelisah sekali. Ia
berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak tekenal yang jelas hendak
menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan
celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia saja dan hal inilah
yang menggelisahkan hatinya, sama sekali bukan dia tidak mempunyai harapan
tertolong.
Sudah banyak
tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang Thian-liong-pang
untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh yang dibunuh, maka dia
tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya sungguh pun ada hal yang lebih
hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih hebat dan penting dari pada keselamatan
dirinya, yaitu keselamatan nama besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina!
Kini pemuda yang hendak menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati
mempermainkan orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran
kalau nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.
"Orang
muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya ketika
melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang dengan dahsyat.
"Jangan
khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai menakut-nakuti anak kecil
saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan ginkang-nya untuk melesat ke sana
ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia sudah melihat bahwa biar pun ilmu silat
kedua kakek itu aneh sekali, gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak
terlalu cepat dan kuat baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan
mudah walau pun dia bertangan kosong.
Ketua
Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu benar-benar
bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga memiliki gerakan yang
amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah dengan baik sekali sehingga
semua serangan kedua orang itu selalu mengenai angin kosong.
"Wutttttt!
Wah, galak amat!"
Bun Beng
miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri dari arah
belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah sambungan lutut
lawan di depan, jari tangannya menyentil senjata yang melayang di depan
hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah sebuah di antara lima
dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sinkang sekuatnya.
"Cringgg!"
Dan kakek itu memekik kaget.
Ternyata
duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya terasa panas dan
perih sekali. Hampir ia melepaskan sebuah gelangnya dan ia melompat ke
belakang. Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang tendangan tadi cepat
melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan penasaran. Kakek yang di
belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah, tangan kirinya bergerak dan
gelang berduri yang kehilangan sebuah durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah
Bun Beng, berputaran dan mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus...!"
Bun Beng diam-diam kagum juga.
Kiranya
senjata ini bukan hanya digunakan untuk menyerang dengan dipegangi, tetapi juga
dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan. Dia mengelak dan lebih kagum
lagi hatinya melihat betapa gelang yang berputaran menyambar kepalanya itu
setelah luput dari sasarannya, kini dapat membalik dan kembali ke tangan
pemiliknya!
Dia cepat
membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya, Bun Beng sudah
memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh dengan pengerahan
sinkang-nya.
"Wuuutttttt!"
Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung mundur. Akan tetapi
kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng sudah melontarkan gelang
kanan ke arah punggung pemuda itu.
"Awasss...!"
Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget.
Namun tanpa
memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil menangkap senjata itu,
seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata ketiga!
"Senjata
yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan yang mahir
seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan senjata itu! Tentu
saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia telah digembleng oleh Ketua
Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan belas macam senjata, dan pernah
pula diajar cara mempergunakan senjata gelang yang jarang dipakai di dunia
kang-ouw, maka dia tidak asing dengan senjata ini, pula karena memang bakat
yang dimiliki pemuda itu luar biasa sekali.
"Trang-cring-trangg...!"
tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang kakek itu bertemu dan gelang
kiri kakek yang di belakangnya patah menjadi tiga bertemu dengan gelang di
tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh,
sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi adil namanya, seorang
satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan mengejek.
"Tahan
dulu!"
Tiba-tiba
kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan gerakannya membuat Bun
Beng bersikap hati-hati karena melihat cara meloncatnya saja tingkat kepandaian
kakek muka tengkorak ini sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan sepasang
kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi
dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu dengan tertawa,
"Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih ramai!"
Kakek muka
tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin ketika berkata,
"Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai, apakah kini
Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap
Thian-liong-pang?"
Mendengar
ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam pandang matanya
sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Juga kakek Ketua
Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,
"Orang
muda yang gagah. Jika engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap menyingkir. Aku
tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam urusan ini."
Bun Beng
merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar jangan melibatkan
Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah ia mundur dan membiarkan
Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang terutama sekali, haruskah dia
mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis itu? Membayangkan betapa sinar mata
yang indah itu menjadi kecewa, murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia
tidak tahan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini tidak terhitung
banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu mendasar segala gerakan pada
pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada gerakan yang mirip dengan ilmu silat
Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi
kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. "Orang muda, apakah engkau hendak
menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku
tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau
begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku
pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung banyaknya
sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini ilmu silat
Siauw-lim-pai?" Setelah berkata demikian, Bun Beng menggerakkan gelang
berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia telah menyerang dua orang kakek
kembar sekaligus.
"Trang-cringgg...!"
Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan... kedua senjata mereka patah-patah.
"Ahhh...
ini adalah jurus ilmu silat kami...!" Kakek kembar berseru dan cepat
menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di tangan.
Bun Beng
tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh seperti yang
dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng pernah mempelajari ilmu
silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu? Tentu saja tidak. Melihat pun
baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng memiliki daya ingatan yang kuat sekali
sehingga sekali melihat dia sudah mengerti dan dapat mengingat serta menirunya!
Dia tadi ketika menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih
jauh lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan
gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguh pun tentu
saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi landasan
jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua
orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda itu selain merampas
senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu mereka sendiri, adalah kakek
muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata
angkuh dan mengandalkan ilmu sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus
ilmu silat dua orang kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek
kembar bukan lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada
kawan-kawannya.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang muda itu sudah
menyambar. Dengan didahului sinar hijau pedangnya, bagaikan bintang jatuh sinar
ini menyerbu ke arah Bun Beng.
"Bagus!"
Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang tampan itu
tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak.
Kakek muka
tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning sehingga dalam
sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini menghindarkan dirinya
ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia masih sempat memperhatikan
dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek kembar sudah meninggalkannya dan
mendorong pergi kerangkeng di mana Ketua Bu-tong-pai tertawan.
"Berhenti!"
Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur cepat, berputaran
mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kerangkeng.
"Krakkkk!"
Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi.
Namun dua
orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal. Mereka lalu mengangkat
kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun Beng tidak dapat
mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang amat cepat dan berbahaya
sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya untuk melawan dua orang pengeroyok
baru yang lihai ini.
Dua orang
itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah mengerahkan kepandaiannya,
dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang bertangan kosong ini. Namun tetap saja
pemuda itu tidak dapat didesak karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas
menyerang mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat
pengepungan dan mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan
ilmu silat Siauw-lim-pai.
Namun Bun
Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya berkelebatan
di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan ilmu silat yang ganasnya
seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak mundur dan makin terheran. Pemuda
ini memiliki ilmu silat yang aneh, pikir mereka. Biar pun agak ‘berbau’ dasar
ilmu silat Siauw-lim-pai, namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena
melihat keganasannya lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang
tokoh yang amat lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun
Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari Sam-po-cin-keng yang
bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong Menyerbu Barisan) sehingga kedua
orang itu tentu saja tidak mengenal ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini!
Dua orang
itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin bermusuhan
dengan Siauw-lim-pai!" Setelah berkata demikian, mereka melesat jauh dan
lari pergi.
Bun Beng
penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu, apa lagi membunuhnya,
akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai. Maka dia pun lalu melompat
dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak menyusul mereka, hanya membayangi dari
jauh. Agaknya kedua orang itu juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu
berlari tidak secepat yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi
kesempatan kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, kedua
kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik perhatian
Ketua mereka!
Bun Beng
bukan orang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan keadaan, maka
dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja memancingnya. Namun dia
tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku tidak perlu susah payah mencari
sarang mereka. Akan kutemui Ketua mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin
dan lain-lain tawanan, dan kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan
perbuatan-perbuatan menculik orang-orang penting itu.
Sebetulnya
apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini perkumpulan besar itu
melakukan perbuatan aneh itu, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai
persilatan? Sesungguhnya, tidaklah terjadi perubahan di Thian-liong-pang.
Ketuanya masih tetap Si Wanita berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu
kepandaiannya itu. Seperti kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh
rahasia ini, yang mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan
para pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah
melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri yang
terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia
dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya dan bibi gurunya,
yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri Suma Han, hatinya girang bukan
main. Diam-diam ia telah jatuh cinta kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki
tunggal itu. Namun betapa kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami
yang dicintainya itu tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga
mereka berpisah dengan hati hancur.

Dengan rasa
hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta suaminya, Nirahai
berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia telah mengandung! Ingin
ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya
sebagai bekas puteri kaisar mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan
telah berkorban dengan kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah
kecewa karena setelah berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi
seorang buruan! Pukulan batin kedua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang
dibelanya itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di
hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu kelak
menyusulnya ke Mongol.
Namun
harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai
bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap saja
tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapa pun juga, wanita yang keras hati
ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya. Kalau memang suaminya tidak
mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya, biarlah dia akan
memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka dia lalu meninggalkan
puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan yang berkekuasaan besar dari
Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau ke selatan. Karena dia mendengar
bahwa suaminya telah menjadi Majikan Pulau Es, maka dia lalu membuat
perkumpulan yang kelak dapat ia pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau
Es, dan dipilihlah Perkumpulan Thian-liong-pang.
Puteri
Nirahai memiliki watak dan sifat yang gagah perkasa, angkuh dan tidak pernah
mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan ilmu kepandaiannya yang
amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han yang dicintainya, bahkan ia telah
mengorbankan nama, kedudukan dan kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang
dikaguminya itu. Sebesar itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya,
bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa sakit
hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal kepandaian dan
kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah wanita sakti ini
meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia menjatuhkan pilihannya kepada
Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan
Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah mengalami jatuh
bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan merupakan sebuah
perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih dari seratus tahun dan
pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang berjuluk Sin Seng Losu (Kakek
Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena dia adalah murid keponakan dari
Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk kaum sesat yang amat sakti.
Ketika
perkumpulan ini terjatuh ke tangan menantu Sin Seng Losu yang bernama Siangkoan
Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan tergolong perkumpulan bersih
yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, setelah
Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang
bernama Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sute-nya,
maka kembali Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat
ditakuti karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka.
Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka adalah
Ma Kiu dan sute-sute-nya yang merajalela di dunia kang-ouw.
Dalam
keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li, putera mendiang Siangkoan Bu atau
cucu dari Sin Seng Losu yang dengan bantuan Mutiara Hitam menentang para paman
gurunya. Siangkoan Li ini lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi
murid dua orang kakek sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pak-kek Sian-ong
dan Lam-kek Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan
seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik Mutiara
Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak hanya mewarisi
kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi keganasan dan
kegilaannya!
Siangkoan Li
mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia menjadi ketuanya
dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang penuh rahasia.
Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak ada
yang berani lancang tangan mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang
yang hidupnya aneh dan penuh rahasia. Ilmu silat para anggota Thian-liong-pang
rata-rata amat tinggi dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang
aneh dan luar biasa dari Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih
tepat dari Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah
dan murid-muridnya.
Setelah
Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin karena cintanya yang
gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak mau menikah, dalam puluhan
tahun terjadilah pergantian ketua baru beberapa kali dan mulailah terjadi
kekacauan di dalam perkumpulan ini karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak
itu, selalu ada ketegangan di antara para murid-murid kepala atau dewan
pimpinan mereka yang selalu berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan
ketua.
Keadaan ini
menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka, yaitu setiap tahun
diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan pibu, mengadu kepandaian dan siapa
yang paling pandai di antara mereka, tidak peduli wanita atau pria, tidak
peduli saudara tua atau saudara muda dalam perguruan, dia yang berhak menjadi
ketua sampai lain tahun diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan
kedudukannya dengan taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini
sering kali terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara
saudara sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan
karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama besar!
Ketika
Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai syarat untuk
menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han, suaminya yang
dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu tepat terjadi di waktu
Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan yang selalu terjadi di ruangan
belakang gedung perkumpulan yang amat luas dan terkurung pagar tembok yang
tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing sehingga orang yang
berkepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok
itu. Seperti biasa, pibu diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak
buah Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan juga
kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon ketua
masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang menonton adu
jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang bertaruh, bukan hanya bertaruh
uang dan barang berharga, bahkan ada yang mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu
itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua akan tetapi juga
berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil Cin-bun yang letaknya di
lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota Cin-bun di Propinsi Shantung.
Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak ada
yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar yang
dilingkungi pagar tembok bertombak itu pun merupakan hal yang berbahaya bagi
mereka.
Para
pembesar pemerintah Mancu pun tak ada yang berani mencampuri, dan mereka ini
sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan
permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka pemerintah daerah yang
mengawasi gerak-gerik mereka dan selama perkumpulan itu tidak melakukan
perbuatan yang menentang pemerintah, pemerintah pun lebih suka untuk berbaik
dengan mereka. Menentang pun berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru
dan pemerintah tidak menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan
bahaya besar, dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang
dijajah.
Pada waktu
itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua ratus orang lebih,
sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada pula yang tinggal di
dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka cabang-cabang
Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu semua pimpinan cabang berkumpul
pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan ketua baru melalui pibu, bahkan di
antara mereka ada yang ingin melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka
sudah cukup untuk dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus
orang lebih anggota Thian-liong-pang sudah berkumpul dan suasana menjadi riang
gembira karena para anggota itu sibuk saling bertaruh memilih jago
masing-masing. Para pimpinan rendahan yang mendapat tempat di bangku rendah
yang berjajar di depan anak buah itu hanya mendengarkan tingkah anak buah
mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh
seperti yang dilakukan anak buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai
pilihan masing-masing karena tingkat kepandaian mereka sendiri masih merasa
terlalu rendah untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Ada pun
pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas kursi-kursi di
tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan tempat pibu itu oleh lima
buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading untuk Sang Ketua, diapit-apit
beberapa buah kursi untuk para pimpinan yang tinggi tingkatnya dan mereka
inilah yang menjadi calon-calon penantang ketua lama.
Pada waktu
itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan tubuh tegak dan
sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah mereka itu masing-masing
telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan dalam pibu yang hendak diadakan.
Kursi gading untuk Ketua masih kosong karena Ketuanya belum keluar, sedangkan
seperangkat alat tetabuhan yang dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti
dalam pesta.
Orang
pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang menyeramkan.
Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua pelipisnya disambung dengan
jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya juga tipis seperti kumis singa.
Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga yang amat kuat biar pun kakek ini usianya
sudah mendekati enam puluh tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna
putih, namun warna ini menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih
mirip muka singa. Sepasang matanya yang lebar menyinarkan cahaya kilat
menyeramkan, namun sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti
seekor singa kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini
sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan menjadi suheng dari
Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang berjiwa perantau dan petualang,
maka dia tidak mempunyai nafsu untuk merebut kedudukan ketua, sungguh pun dalam
hal kepandaian, masih sukar ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan
Sang Ketua. Kakek ini sudah tidak dikenal lagi nama aslinya, lebih dikenal
julukannya yang menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Ber-muka Singa)!
Orang kedua
juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya gundul akan tetapi
dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot dan berkumis dan pakaiannya
seperti seorang pelajar, bersikap halus namun matanya liar seperti mata orang
yang tidak waras pikirannya. Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk
memegangi lengan kursi dan kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil
seperti orang buyuten, kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari
mengangguk-angguk dan mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada
setan tak tampak membadut di depannya. Namun jangan dianggap remeh kakek ini
karena dia pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo.
Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suheng-nya karena
di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin
dan Kilat)!
Orang ketiga
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar,
wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi, matanya melotot jarang
berkedip, hidungnya besar merah tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti
seorang jago silat dan di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar.
Inilah Twa-to Sin-seng (Bintang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani
dan ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap
wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke
empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, wajahya tampan
sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah bibirnya dan begitu
tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih mirip seorang wanita! Sepasang
pedang tergantung di pinggangnya, pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan
laki-laki tampan ini termasuk seorang yang pesolek. Sayangnya, sinar matanya
yang bagus itu mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah
semua orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan salah seorang di
antara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-liong-pang menjadi
nama besar dan tenar.
Pedangnya
amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah),
namanya Liauw It Ban. Kalau suheng-nya, Ma Chun, terkenal sebagai seorang
laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan wanita, Liauw It Ban ini lebih
hebat lagi karena dia seorang mata keranjang yang berwatak sadis, senang sekali
menyiksa wanita yang menjadi korbannya! Betapa pun juga, dia dan suheng-nya
tidak pernah mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka
tunduk akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang
di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap pemerintah. Karena
itu namanya lebih tersohor di daerah lain di luar propinsi.
Orang ke
lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar Thian-liong-pang karena dia
paling tidak patut menjadi anggota dewan pimpinan perkumpulan besar itu. Dia
adalah seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun
usianya, cantik manis dengan pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan
lekuk lengkung tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara
seperguruan termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan
para Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari
mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai.
Suaminya
tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan
ketua sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda
kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali
memetiknya. Terutama sekali kedua orang suheng-nya sendiri, Ma Chun dan Liauw
It Ban yang pada waktu itu pun sering kali melayangkan sinar mata ke arahnya.
Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang matanya menyapu tubuh
sumoi-nya yang penuh gairah. Liauw It Ban juga memandang dengan sinar mata
penuh gairah, akan tetapi ia tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan
mungkin untuk menundukkan hati sumoi-nya yang sudah menjadi janda itu.
Tetapi Tang
Wi Siang duduk dengan tenang, sikapnya dingin sekali, seperti sebongkah es
membeku. Tapi di luar tahu lain orang, diam-diam ia menyapukan pandang matanya
yang tajam itu ke arah Liauw It Ban, suheng-nya yang tampan. Dulu sebelum
suaminya tewas, dia tidak mempedulikan suheng-nya yang tampan ini, bahkan
sebelum menikah, ia tidak pernah melayani rayuan suheng-nya. Akan tetapi
sekarang, setelah setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya
karena kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya
hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau
membayangkan suheng-nya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang
inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh utama dari
Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki kepandaian yang tinggi,
memiliki keistimewaan masing-masing sehingga sukar untuk dikatakan siapa di
antara mereka yang paling lihai. Dan sekarang sudah dapat dibayangkan bahwa
dalam pibu perebutan kedudukan ketua, lima orang inilah yang akan berani maju
untuk berpibu melawan Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan
berani maju?
Tiba-tiba
tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan upacara, yaitu
seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan munculnya Sang Ketua. Semua
anggota Thian-liong-pang serentak bangkit memberi hormat, dan lima orang itulah
yang berdiri dengan tenang dan biasa menyambut munculnya Si Ketua yang
ditunggu-tunggu sejak tadi. Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya
Ketua Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua. Tubuhnya
tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar itu hanya
setinggi pundaknya!
Ketua
Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya. Langkahnya lebar
dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai tergetar dibuatnya.
Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan membayangkan tonjolan otot-otot yang
besar. Kedua lengannya sampai ke jari tangannya penuh bulu hitam kasar,
kepalanya yang besar juga berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja.
Alisnya tebal hampir persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil
sehingga kelihatannya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi
mulutnya besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan kumisnya dipotong
pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal seperti
kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang akan kulit buaya
yang tebal, keras, dan lebat!
Inilah dia
Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi Hwi-tok-ciang (Tangan
Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu Lam-kek Sian-ong! Tahun yang
lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua lama yang menjadi paman gurunya
sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi Siang dan beberapa orang lain lagi,
bahkan melukai Ma Chun yang menjadi sute-nya.
Dengan
gerakan kedua tangannya yang kaku, Ketua ini mempersilakan saudara-saudara
seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri menduduki kursi gading, dan
semua anak buah lalu duduk pula, para pemimpin rendah duduk di bangku dan para
anggota duduk di atas lantai yang terbuat dari batu persegi yang lebar, keras
dan berwarna hitam.
Seperti
biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah tempat para
pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau sebelah bawah anak
tangga yang merupakan ruangan yang sengaja dikosongkan karena di situlah
biasanya diadakan pibu antara pimpinan untuk menentukan siapa yang berhak
menjadi ketua baru karena memiliki ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang
berbahaya karena lantai ubin batu itu amat keras sehingga sekali terbanting,
tulang bisa patah, apa lagi kalau kepala yang terbanting, bisa pecah!
Seperti
sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua baru,
Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat dengan kedua
tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan suara berisik. Setelah
keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata yang
sudah dikenal baik oleh semua anggota.
"Saudara
sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru seperti
yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan pimpinan. Aku sendiri
sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute, dan Sumoi-ku sebagai anggota
dewan pimpinan telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan ketua baru pada hari
ini sesuai dengan kebiasaan dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah
menjadi kebiasaan Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan
kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan kemudian
keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua baru tanpa ada
tentangan dari siapa pun juga dan memiliki hak mutlak untuk menjadi Ketua
Thian-liong-pang. Luka atau mati dalam pibu tidak boleh mengakibatkan dendam
dan kebencian di antara saudara seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan
karena urusan pribadi, melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan
nama besar Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para
anggota biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan
menyatakan pendapatnya."
Setelah
berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk kembali, kedua
lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading, tubuhnya memenuhi
kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang yang hadir penuh tantangan.
Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang suheng-nya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang. Ketua ini tidak gentar menghadapi dua orang
sute-nya dan seorang sumoi-nya karena merasa yakin bahwa dia akan dapat
mengalahkan mereka. Namun dia mengerti bahwa kalau dua orang suheng-nya itu
memasuki pibu, dia harus berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo
yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang perantau dan sejak
dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi ketua karena baginya menjadi
ketua berarti harus selalu berada di Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau
mengorbankan kesukaannya merantau dengan menjadi ketua. Ada pun Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi,
belum pernah mengikuti pibu pemilihan ketua. Orang ini lebih senang duduk termenung,
atau bersemedhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu dia
tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku yang
karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai kadang-kadang
matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya menggigil buyuten! Betapa
pun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa suheng-nya yang kedua ini memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi dan dia masih belum berani memastikan apakah dia akan
menang melawan Ji-suheng-nya ini.
Karena ada
kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat
twa-suheng-nya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit berdiri dari
kursi di ujung sebelah kanannya. Para anggota juga menjadi heran dan tegang
karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut pibu, tentu akan ramai
sekali pertandingan antara saudara-saudara seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo
mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum bicara, kemudian ia
berkata, "Harap semua saudara jangan salah menduga. Aku lebih suka
merantau di alam bebas dari pada harus terikat di atas kursi gading sebagai
ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah kesenanganku dan aku tidak akan
mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya ada sedikit hal yang perlu kukemukakan.
Siapa pun yang akan menjadi ketua baru, mulai sekarang harus dapat
mengendalikan Thian-liong-pang dengan baik, mencegah penyelewengan para anggota
yang hanya akan merusak nama besar Thiang-liong-pang. Hentikan
perbuatan-perbuatan maksiat yang rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang ke
lembah kehinaan, sebab kita bukanlah anggota-anggota perkumpulan rendah, bukan
segerombolan penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk
melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu berlaku sewenang-wenang,
memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau perbuatan-perbuatan ini tidak
dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu mengendalikan, hmmm... aku tidak
mengancam, akan tetapi terpaksa aku akan turun tangan menentangnya dan mungkin
akan timbul hasratku untuk menjadi ketua!" Setelah berkata demikian, kakek
muka singa itu duduk kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan
menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik di antara para anggota yang
sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan ucapan itu. Ada pun
Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya, terasa panas seperti baru
saja menerima tamparan.
"Cocok
sekali!" Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan bangkit dari
kursinya. Suaranya tinggi nyaring, sungguh tidak sesuai dengan sikapnya yang
tenang dan kelihatan lemah. "Jangan membikin malu nenek moyang kita yang
gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah menjadi sahabat baik pendekar
wanita sakti Mutiara Hitam!" Setelah berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang
Chie Kang duduk kembali.
Biar pun
ucapan kedua orang suheng-nya itu merupakan tamparan dan teguran tersembunyi
yang ditujukan kepadanya, tetapi hati Phang Kok Sek menjadi lega karena jelas
bahwa kedua orang suheng-nya itu tidak mau memasuki pibu memperebutkan kursi
ketua! Kini tinggal dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya, karena selain
mereka bertiga, siapa lagi yang berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua
orang sute-nya dan sumoi-nya.
Hampir
berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban bangkit
berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil berkata,
"Aku
hendak memasuki pibu!" kata Ma Chun.
"Dan
aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!" kata
Liauw It Ban.
Setelah
kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri. Janda muda yang
cantik jelita ini berkata tenang, "Aku ingin memasuki pibu, akan tetapi
hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara sekalian maklum bahwa aku
merasa tidak cukup untuk menjadi ketua..."
"Sumoi,
aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!" Tiba-tiba Liauw It Ban
berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti.
Kedua pipi
wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum apa yang
tersembunyi di balik ucapan itu, apa lagi ketika ia melihat banyak mulut
tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah lagi. "Terima
kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi ketua, juga jangan
disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena mendendam atas kematian mendiang
suamiku. Sama sekali tidak, aku memasuki pibu setelah selama ini aku melatih
diri memperdalam ilmu silat dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan
bahwa orang yang menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandaikan utuk menjunjung
nama dan kehormatan Thian-liong-pang!"
Girang
sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia mengambil keputusan
untuk memaafkan sumoi-nya yang cantik itu dan tidak membunuhnya. Akan tetapi kedua
orang sute-nya Ma Chun dan Liauw It Ban harus ia tewaskan dalam pibu itu karena
kalau sekali ini mereka gagal, pada lain kesempatan tentu mereka itu akan
mencoba lagi dan hal ini merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia
segera bangkit berdiri dan berkata,
"Terima
kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha memperbaiki
keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah mendengar, yang
memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah Ma-sute dan Liauw-sute,
sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian Ketua baru yang berhasil keluar
sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa tidak ada orang lain lagi yang akan
memasuki pibu hari ini!"
"Ada!"
Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita! "Akulah yang
akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua Thian-liong-pang!"
Semua orang
menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang wanita yang
kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan
itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua pintu masih tertutup, dan tempat
itu dikelilingi tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi tombak-tombak runcing
mengandung racun!
"Engkau
siapa?" Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar
suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan langkah tenang
wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian tengah yang kosong, di
bawah anak tangga kemudian berkata, "Pangcu, siapa aku bukanlah hal
penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin tahu juga, akulah calon Ketua
baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua kalian. Aku memasuki pibu untuk
mendapatkan kedudukkan Ketua Thian-liong-pang."
Phang Kok
Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita berkerudung itu.
"Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, engkau
sebagai orang luar berani memasuki tempat ini tanpa ijin, kesalahan ini saja
sudah patut dihukum dengan kematian. Kedua, pibu kedudukan Ketua
Thian-liong-pang hanya dilakukan di antara anggota sendiri, tidak boleh
dicampuri orang dari luar! Ayo, buka kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena
engkau seorang wanita, mungkin sekali kami dapat memberi ampun."
Kembali
wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup membuat tulang
punggung yang mendengarnya terasa dingin. "Phang Kok Sek, biar pun engkau
telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau agaknya tidak tahu atau
lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat tokoh-tokoh besarnya di waktu
dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan Li telah diusir dari Thian-liong-pang,
dan dianggap sebagai orang luar karena perbuatan-perbuatannya yang menentang
Thian-liong-pang dan karena menjadi murid dari kedua Siang-ong Kutub Utara dan
Selatan. Akan tetapi kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi
ketuanya! Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua
Thian-liong-pang? Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggota
dewan pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru kalian
mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari Kun-lun-san yang sama
sekali bukan anggota Thian-liong-pang tadinya?"
Keenam
pimpinan Thian-liong-pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini dapat mengetahui
semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para pimpinan Thian-liong-pang?
"Siapakah
engkau?" Kembali Phang Kok Sek bertanya.
"Aku
adalah calon Thian-liong-pang-cu," wanita berkerudung menjawab.
Tiba-tiba
Sai-cu Lo-mo berkata setelah menatap sepasang mata di balik kerudung itu dengan
tajam. "Toanio, siapa pun adanya engkau, tapi caramu masuk dan sikapmu
menunjukkan bahwa engkau seorang pemberani. Akan tetapi ketahuilah bahwa
seorang yang ingin menjadi Ketua Thian-liong-pang bukanlah melalui pibu,
melainkan merupakan perampas perkumpulan yang harus lebih dahulu mengalahkan
seluruh pimpinan..."
"Memang
aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang menentangku
menjadi Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu menjawab seenaknya. "Nah,
aku menyatakan diriku sebagai Ketua Thian-liong-pang yang baru! Siapa yang akan
menentang? Boleh maju!"
Para anggota
Thian-liong-pang memandang dengan hati tegang dan juga gembira karena mereka
merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan mengakibatkan pertandingan
yang amat menarik. Tadinya mereka sudah merasa kecewa ketika mendengar ucapan
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua
itu tidak memasuki pibu sehingga pertandingan yang akan terjadi di antara Ketua
dan dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya tidak akan menarik hati.
Sementara
itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan Thian-liong-pang
menjadi marah dan diam-diam Phang Kok Sek memberi tanda dengan matanya kepada
Cui-beng-kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah orang-orang yang berkedudukan
tinggi pula, maka biar pun mereka ditantang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok.
Pula, Phang Kok Sek yang cerdik sengaja menyuruh sute-nya maju, selain untuk
menyaksikan dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga andai kata terjadi
sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilangan seorang di
antara saingan-saingannya!
Akan tetapi
betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika wanita itu mendahului
Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si Pedang Pengejar Roh itu sambil
berkata, "Nah, engkau sudah menerima perintah Suheng-mu untuk melawan aku.
Majulah!"
Bukan main
tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga isyarat Sang Ketua
dengan matanya dapat ia tangkap! Liauw It Ban meloncat bangun dan ketika tangan
kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat, pedangnya telah berada di tangan
kanan. Ia tersenyum mengejek, melintangkan pedang depan dada dan menggunakan
telunjuk kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu.
"Perempuan
sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau berani membuka mulut
besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka kerudungmu agar dapat kulihat
wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu, hemm... agaknya aku masih dapat
mengampunimu asal engkau tahu bagaimana harus membalas budi, ha-ha-ha!"
Betapa
kagetnya ketika laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tampan dan pesolek ini
mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu namun mengandung ejekan,
"Cui-beng-kiam Liauw It Ban, siapa tidak mengenal orang rendah seperti
engkau ini? Engkau orang ke lima dari enam Pimpinan Thian-liong-pang, dan sudah
cukup engkau mengotorkan Thian-liong-pang dengan perbuatan-perbuatan kotormu,
memperkosa wanita-wanita baik-baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat
cabul yang berhati keji dan mestinya engkau tidak patut menjadi tokoh
Thian-liong-pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang dan
sekaligus membersihkan Thian-liong-pang dari monyet-monyet kotor macam
engkau!"
"Singggg...!"
Tampak sinar kilat ketika pedang di tangan Liauw It Ban menyambar ke arah leher
wanita berkerudung. Namun, dengan gerakan mudah sekali wanita itu mengelak,
bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak percuma Liauw It Ban mendapat julukan
Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) karena begitu pedangnya luput, sudah membalik
lagi dengan serangan kedua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita
berkerudung itu.
Semua
pimpinan Thian-liong-pang terbelalak kaget ketika menyaksikan gerakan wanita
berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan dua buah jari
tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang yang menusuknya dengan
mudah sekali dan... betapa pun Liauw It Ban menarik, pedangnya tidak dapat
terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
"Begini
sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya.
Hi-hik!" Wanita berkerudung itu mengejek.
"Perempuan
siluman!" Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyambar ke depan,
menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung sutera itu.
"Plakk!
Krekkk... aduuhhh!" Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika tangan kanan
wanita itu menyambut pukulannya dengan telapak tangan, terus mencengkeram
sehingga tulang-tulang jari tangan Liauw It Ban yang terkepal itu patah-patah
dan remuk!
"Krak...
ceppp! Augghhhh..."
Wanita itu
tak berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya yang menjepit ujung pedang
membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali mengibaskan tangan kiri,
ujung pedang itu meluncur dan amblas memasuki dada Liauw It Ban sampai tembus
ke punggung. Liauw It Ban melepaskan pedang, mendekap dadanya, dan akhirnya
roboh terjengkang, tewas di saat itu juga. Wanita berkerudung menendang dan
mayat itu melayang ke atas anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong-pang!
Phang Kok
Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya menjadi merah saking
marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam sebuah pertandingan yang dapat
membuka rahasia gerakan wanita itu dan yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia
akan merasa girang kehilangan seorang saingan. Akan tetapi kematian sute-nya
itu demikian aneh, hanya dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak
dapat mengukur sampai di mana tingginya kepandaian wanita itu, dan hal ini
merupakan penghinaan bagi Thian-liong-pang yang ditakuti oleh semua tokoh
kang-ouw. Biar pun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita
berkerudung, namun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak mungkin
sute-nya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu dapat tewas
semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
"Serbu...!"
Dua ratus
orang anak buah Thian-liong-pang, dipimpin oleh komandan masing-masing serentak
bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga,
disusul berkelebatnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya
dan... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas
lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan
setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana
caranya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama
sekali.
"Para
anggota Thian-liong-pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian,
melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa
mudahnya! Aku akan menjadikan Thian-liong-pang sebuah perkumpulan terbesar dan
terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es dengan penghuni-penghuninya!"
Mendengar
ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka,
para anggota itu serentak mundur dan menjadi ragu-ragu. Hal ini menimbulkan
kemarahan besar di hati para pimpinan.
"Perempuan
rendah, berani engkau membunuh Sute-ku?" Twa-to Sin-seng Ma Chun berteriak
dan tangan kirinya bergerak.
"Cuit-cuit-cuit...
cap-cap-cappp!"
Tiga batang
senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh wanita berkerudung,
namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan jepitan jari-jari tangannya.
Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah senjata rahasia itu di tangan
kirinya, mengepal dan terdengar suara keras. Ketika ia membuka tangannya, tiga
buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah
hancur berkeping-keping dan dibuang ke atas lantai!
Twa-to
Sin-seng Ma Chun marah sekali, lalu mencabut golok besarnya dan menerjang maju.
Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang menggerakkan gairahnya itu
terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pedang dan membantu Ma Chun
mengeroyok wanita itu.
Sinar golok
dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita berkerudung,
akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si
Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan seolah-olah tubuhnya berubah
menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah
terkekeh-kekeh dan masih dapat berkata-kata sambil mengelak ke sana ke mari.
"Twa-to
Sin-ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik-baik. Engkau mata keranjang,
sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa..."
"Perempuan
rendah! Kalau saja aku berhasil menangkapmu, aku bersumpah akan menelanjangimu
dan memperkosamu di depan mata seluruh anggota Thian-liong-pang...
aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan
ketika semua orang memandang, tampak tanda tiga buah jari membiru di dahi Ma
Chun yang sudah tewas itu!
"Engkau...
manusia kejam...!" Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan
hebatnya.
Kalau
dibandingkan dengan Ma Chun dan Liauw It Ban, tingkat kepandaian Tang Wi Siang
dapat dikatakan sama. Namun setelah mempelajari ilmu pedang dari suaminya yang
telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar dari
Bu-tong-pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi
berdesing-desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi-tubi.
"Tang
Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu-tong-pai.
Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wakilku dalam
memimpin Thian-liong-pang!"
"Tutup
mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"
"Wanita
bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi mengatakan bahwa
engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua Thian-liong-pang, nah, sekarang
boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat
baik-baik, dalam tiga jurus aku akan mengalahkanmu!"
Biar pun
pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu,
namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu telah
mengenal baik-baik keadaan Thian-liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini,
bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian-liong-pang berikut
watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah
dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa? Rasa
penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia
berteriak keras.
"Manusia
yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat
mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut
mampus atau menjadi pelayanmu!"
"Bagus!
Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!" Wanita aneh itu menjawab,
akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya,
menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung).
Jurus ini
adalah jurus ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi
aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan
ilmu asli dari Thian-liong-pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah
muka lawan dilanjutkan dengan gerakan membabat leher dari kanan ke kiri dengan
gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti
yang disebut Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang
digerakkan dengan tenaga sinkang dan dapat menggetarkan isi dada menghancurkan
jantung dan paru-paru!
"Siuuuttt...
wirr-wirrr-wirrrr...!"
Wi Siang
hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita berkerudung itu ke kanan, kiri dan
serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia melanjutkan serangannya secara
beruntun, yaitu dengan jurus Sian-li-touw-so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir
dengan jurus Sian-li-sia-kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula-mula pedangnya
berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar mengurung tubuh wanita
berkerudung dan menyerangnya dari arah yang mengelilingi lawan itu.
Wi Siang
maklum bahwa lawannya memiliki ginkang yang luar biasa, dapat bergerak cepat
seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti
yang telah diduganya, wanita itu tiba-tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan
diri dari lingkaran sinar pedang. Saat ini sudah dinanti-nanti oleh Wi Siang,
maka ia lalu menyerang dengan jurus ketiga. Jurus terakhir jurus
Sian-li-sia-kwi ini hebat sekali, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah
bayangan lawan yang mencelat ke atas.
Wi Siang
amat cerdik. Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam tiga jurus
wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia dianggap menang!
Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan untuk menggunakan jurus
Sian-li-sia-kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat di udara dan diserang
oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat
merobohkannya?
Betapa
kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu agaknya
berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah meluncur turun dan
menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat
pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang
penuh kemenangan.
Tiba-tiba
suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat
bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak
terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita
berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemudian sebelum
ia dapat memulihkan kekagetan hatinya, tahu-tahu tangan wanita berkerudung
telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang
bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu
benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa
biar pun seluruh anggota dan pimpinan Thian-liong-pang maju mengeroyok sekali
pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.
"Bangkitlah,
Wi Siang!" Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan
tangan.
Tiba-tiba Wi
Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat bangun,
melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil berkata, "Saya
menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!"
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda-benda yang
mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang
dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang sudah
tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan
senjata rahasia berbentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari
Thian-liong-Pang dan tentu saja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang
ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata
rahasia terbang menyambar seperti berlomba menuju ke sasaran masing-masing
yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita
berkerudung.
Namun wanita
berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapa pun cepat datangnya
senjata-senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat
lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah lenyap. Ketika
orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit-langit ruangan itu
bagai kelelawar besar bergantungan pada pohon.
Phang Kok
Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera
melenyapkan wanita berkerudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke
atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke
arah tubuh lawan yang masih menempel di langit-langit.
"Braakkk!"
Hebat bukan
main pukulan itu. Pukulan Hwi-tok-ciang selain amat dahsyat juga mengandung
hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit-langit ruangan itu jebol dilanda
hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi, bagaikan seekor capung ringannya, tubuh
wanita berkerudung sudah mengelak dan melayang turun. Ketika tubuhnya lewat
dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan ke arah dada
Phang Kok Sek.
Tingkat
kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian dua
orang sute-nya yang tewas dan seorang sumoi-nya yang telah dikalahkan lawan.
Tendangan itu cepat dan tidak terduga-duga, dilepas selagi tubuh mereka berada
di tengah udara. Akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan
berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung
bajunya saja yang robek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan
betapa lihai wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan muka
berubah.
"Ji-wi
Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma-sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang
anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?" Sambil menegur kedua
orang suheng-nya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu
sebatang tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang
tempat duduknya.
Karena
wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang-terangan hendak
merampas Thian-liong-pang, semenjak tadi memang Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan
kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-ouw, mereka masih
merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wanita.
Kini
menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar-benar amat luar biasa dan mendengar
teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan.
Mereka tidak memegang senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih
mengandalkan kepada kaki tangannya dari pada senjata. Biar pun bertangan
kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih
berbahaya dari pada segala macam senjata yang tajam runcing.
Sai-cu Lo-mo
yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan memiliki
tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung,
memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya,
lalu berkata, "Nona, engkau masih begini muda telah memiliki kepandaian
yang hebat dan sikap yang aneh sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu
dan jelaskan apa sebabnya engkau mengacau di Thian-liong-pang dan membunuh
orang-orang yang sama sekali tidak ada permusuhan denganmu!"
Sepasang
mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar-sinar dan biar pun
mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Mata itu
memandang kepada Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang bergantian, kemudian berkata,
"Sai-cu
Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan
tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian
berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan Thian-liong-pang, akan tetapi
mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa
enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak
buahnya! Thian-liong-pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak
terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut!
Betapa pun juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku tidak akan membunuh
kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui
bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin
Thian-liong-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, lebih besar
dan lebih kuat dari pada para penghuni Pulau Es. Ada pun Phang Kok Sek Si
Raksasa tolol yang tidak segan-segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk
memperebutkan kursi ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan..."
"Siluman
betina!" Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya
yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.
"Takkk!"
Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya
mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat
mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok
Seng merasa tangannya bergetar hebat.
Sai-cu Lo-mo
dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya mendengar ucapan
wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban
untuk menentang wanita ini, bukan sekali-kali untuk membantu demi keselamatan
pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian-liong-pang dan sebagai
tokoh-tokoh Thian-liong-pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
"Wussss...
ciattt!"
Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah sekali seperti
seorang sastrawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir dan menjadi
buyuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah
memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantap dan
mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua
tangannya seolah-olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara serta
mengeluarkan suara mengerikan. Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam-diam
wanita berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi
pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Biar pun
keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang
Thian-liong-pang, namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Nirahai.
Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apa lagi
setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya, tingkat kepandaiannya sudah hebat
sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa-apa dan dengan
mudah ia dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai-cu Lo-mo sudah siap dengan
serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
"Wirrr-wirrr-wirrr...
plak-plak-plak!"
Nirahai
makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai-cu Lo-mo
dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu
mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada kedua tangan Chie Kang dan dia
maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu
karang yang keras! Akan tetapi, Sai-cu Lo-mo lebih kaget lagi karena tiga kali
ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari-jari tangan wanita itu dengan
kibasan yang membuat dia merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia
telah bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat dari pada dia dan para
sute-nya!
"Syuuutt...
serrr-serrr-serrr!"
Tombak
panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung Nirahai disusul meluncurnya
tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek menyerang ini saja sudah
membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan kesempatan selagi Nirahai
menghadapi dua orang suheng-nya yang lihai, menyerang dari belakang, bukan
hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata
rahasia).
Nirahai
menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu tiga buah senjata
rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya
menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan
tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah
senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya!
Sebagai seorang
ahli melepas senjata rahasia Sin-seng-ci tentu saja Phang Kok Sek dapat
menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan
kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya. Gerakannya ini
cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin-seng-ci menyambar lewat di
bawah tubuhnya.
Akan tetapi
dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai
mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke
atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun
dia kalah kuat dan terdengar teriakan mengerikan ketika gagang tombak itu
menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai tembus ke punggungnya.
Sekali
menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh Ketua
Thian-liong-pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan otomatis kedua
tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri yang dilakukan Sai-cu
Lo-mo dan Chie Kang.
Dalam
melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada telapak
tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua
orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat pada telapak tangan yang
berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita
berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sinkang, maka kedua kakek itu
dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sinkang melalui tangan
mereka untuk merobohkan lawan.
Terjadilah
adu tenaga sinkang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang
tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua
tangannya terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua lawan, kakinya
terpentang sedikit dan tubuhnya tegak. Semua orang menonton dengan hati tegang,
mengira bahwa wanita berkerudung itu tentu akan terhimpit di tengah-tengah oleh
dua kekuatan raksasa yang amat dahsyat...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment