Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 03
"Ambil
racun penghancur, lenyapkan mayatnya!" Im-kan Seng-jin berkata dan dua
orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebuah guci,
membuka tutupnya dan menuangkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh
Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.
"Suhuuuu...!"
Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhu-nya sampai jari
tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit
lagi. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhu-nya
itu cepat sekali mencair, ‘dimakan’ benda cair putih itu dan terciumlah bau
yang asam dan tajam menusuk hidung. Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip
melihat betapa mayat suhu-nya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya,
tidak ada bekasnya sedikit pun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan
yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu.
Dua titik
air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak
menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak biar pun kedukaan menyesak di
dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa bencinya terhadap keempat orang itu.
Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak membakar tubuh Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama
sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga
bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhu-nya!
Akan tetapi
enam orang itu tidak mempedulikannya. Setelah mayat Kakek Siauw Lam lenyap,
kemudian mereka bergegas mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang
dijadikan medan pertandingan.
Kedua orang
kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti
yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek
Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak
Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya
mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan
siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang
sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang lebih merasa penasaran dan dua
orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.
"Mundur!"
Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya adalah
bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap
di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti seekor
burung saja.
Semua orang
memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk
sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi
kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah
kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua
buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung
hawa dingin dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang
tersembul keluar dari lengan baju amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus
seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan
berhias!
Akan tetapi
semua orang segera berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu
tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari
sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri
berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu.
Tanpa
diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ,
bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk
barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak
mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan halus,
akan tetapi amat nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.
"Apakah
kalian berdua ini utusan Pulau Es?"
Yap Sun
sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi
seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang
disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang
wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir berani
memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan
majikannya sendiri yang juga hanya pemuda, malah buntung sebelah kakinya, ia
menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.
"Tidak
keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini
adalah utusan dari Pulau Es."
"Bagus!
Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!"
Ucapan ini
disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita
ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin
halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah
karena itu menunjukkan kekuatan sinkang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan
sute-nya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah
membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali
ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat
mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak
saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
"Dukk!
Dukk!"
Sukar sekali
dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang
kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh
mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat
bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sute-nya bukan
orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini
keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
"Bagus!
Kalian boleh juga!" kata wanita berkerudung itu.
Terjadilah
pertandingan yang amat hebat. Dua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat,
pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat
dielakkan oleh Si Wanita berkerudung dengan mudah. Berkali-kali kedua orang
kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa
wanita itu dapat mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan
serangan-serangan mereka!
Karena
penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak
tangannya. Juga sute-nya mengimbangi serangan suheng-nya itu, dari pihak yang
berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.
"Aiiihhhh!”
Tubuh wanita
berkerudung mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sinkang itu luput. Ia
melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil,
semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.
"Bukankah
itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat
Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan
Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"
Yap Sun
merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jeri terhadap pukulan tenaga
inti api dan pukulan sute-nya dengan tenaga inti es, maka ia berkata.
"Apakah Pangcu yang terhormat jeri menghadapinya?"
"Aihhh,
sombong! Siapa takut? Majulah!"
Kedua orang
tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat
berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Ada pun
Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi
terkejut sekali.
"Gak
Liat adalah Ayahku...!" teriaknya perlahan.
Karena
Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga
sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba
pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya
tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
"Pegang
dia, jangan sampai dia lari!" kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu
karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat
pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi
seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar.
Biar pun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga
puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek
Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita
berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
"Sesungguhnya
aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku
jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak
suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo
katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia
tidak keluar, kuambil daun telingamu!"
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor
burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena
pertandingan, diikuti suara yang bergema, "Siapakah mencari aku?"
Semua orang
terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih,
pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat
butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu. Pria
muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar
Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang,
memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret
kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil
berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
"Maaf,
To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon
keputusan To-cu."
Akan tetapi
Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga
tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan
mulutnya berkata penuh sesal.
"Aku
mencari dia... ah, di manakah dia kalau tidak di sini?" Kemudian dia
berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. "Hong-ji (Anak
Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini...!"
Suaranya
bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua
orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu
dengan Suma Han memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria
muda buntung ini. Ada pun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar
Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran.
Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa
menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman?
Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biar pun rambutnya putih dan
panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu
kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.
"Ke
manakah perginya Siocia, To-cu?" Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh
kekhawatiran.
"Dia
pergi dari Pulau Es membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di
sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?"
"Pendekar
Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua
Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut
menjadi pemimpin dunia persilatan!" Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang
masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar
suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia
mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua
Thian-liong-pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa
dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan
oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti
tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam segumpal ujung
rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi
wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut
dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita
berkerudung.
Seperti
orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya
perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua
orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin. "Engkau
siapa...?" Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka
kerudung dan menjenguk wajah si wanita.
Tanpa
disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya
kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
"Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es
untuk mengadu ilmu di sini!"
Akan tetapi
Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak
ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.
"Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan
kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya
bocah berandalan itu!"
Wajah Yap
Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada
pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan
ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya,
tanda bahwa ia terkejut.
"Pendekar
Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan
mati!" Ia menggerakkan pisau belatinya.
"Paman
Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?" Suma Han berseru dan tangan
kanannya bergerak.
Terdengar
bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan
dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak
menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh
sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi
wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya
itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek
Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!
Kiranya Suma
Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai
menyerang Ketua Thian-liong-pang, tetapi hanya serangan pancingan saja karena
begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah
tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat
ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan
kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum
rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan
kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
"Pulanglah
kalian dan cari Si Bengal!" kata Pendekar Siluman pada dua pembantunya.
Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk, dan keduanya meloncat lalu lari pergi
dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke
punggung garuda putih!
"Haiii!
Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum
arak dulu denganku untuk belajar kenal?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun berseru. "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu
kerajaan!"
Tangan kanan
koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah
muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang
melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya. Jarak antara
koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup
membuktikan betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sinkang yang ia
pergunakan!
Suma Han
hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan
kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa
dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu
jauh dan... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh
semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im
Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat
benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
"Pendekar
Siluman, mau lari ke mana engkau?" Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita
berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
"Cet-cet-cet-cet...!"
Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari
mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han.
Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam
tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli
melempar senjata rahasia.
Suma Han
menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan... ketiga belas batang pisau itu
seolah-olah tertarik oleh besi magnet dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat
di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
"Aku
tidak sempat main-main dengan kalian!" terdengar Suma Han berkata,
tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah
pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga
merupakan senjata berat yang besar.
Akan tetapi,
dengan pukulan sinkang Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya
menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat
kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika
wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar
keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba
terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki
tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya
kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan
sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum
terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit
kedua kaki burung garuda tadi. Betapa kaget hati semua orang ketika melihat
benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu
semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh
garuda!
Melihat
Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir.
Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak
cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus
terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah
laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku
tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang!
Laki-laki
itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah
kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan
cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
"Krekkk!"
pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah.
Sebelum
laki-laki anggota Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda
hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh
laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya
sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat.
Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat
garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah,
jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
"Celaka...!
Air pusaran maut!" Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.
Semua orang
memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu
meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran
air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena
merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut
mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada
artinya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh
itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya
makin lama makin melebar!
Semua orang
menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh,
hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita
berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas
tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
"Tidak
ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini,"
katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana
dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
"Haiiii!
Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!" Koksu
berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu.
Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi
itu terdengar suara merdu.
"Seperti
juga Pendekar Siluman, saya tak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!"
Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas,
kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman.
Majikan
Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa,
seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan
menyaksikan kedua orang itu bertanding silat! Jikalau kedua orang itu saling
mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentu mereka akan
menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika
melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala
penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini, bukankah bermaksud untuk mengadu
kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah
tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan
maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi
pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku
mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani
menghadapinya boleh maju. Jangan khawatir, pertandingan melawan panglima
kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan
jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!" Dengan wajah berseri
gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong
adalah seorang jenderal perang. Biar pun ia memiliki ilmu silat yang tinggi,
namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang
tentara tentu saja dia selalu akan menaati perintah atasan. Maka setelah
menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga
panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut
senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan
runcing sekali.
Bun Beng
yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang.
Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu
ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin
tadi ia berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan
dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam
mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara
pula. Betapa bencinya!
Kini
Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat
mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh
Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan
diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman!
Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah!
Akan tetapi
hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut
gendut itu. Biar pun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak
dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini
memandang rendah kepada Bun Beng, maka pegangannya tidaklah erat benar karena
dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula ia amat tertarik untuk
menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara
para panglima pengawal!
Tiba-tiba
dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang
bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa
seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu
tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka
yang semenjak tadi belum maju menjadi penasaran.
Apa lagi
melihat seorang anggota mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka
marah sekali, namun yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih
tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka
tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan
dalam pibu ini. Apa lagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan
pertandingan perorangan. Andai kata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau
Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah
atau siapa pun juga!
Laki-laki
tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri,
mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam.
Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya dari
muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
"Aku
Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" katanya dan tanpa
menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang
amat panjang. Gerakannya kuat, cepat, dan juga aneh sekali, berbeda dengan ilmu
pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak
pendeknya.
"Cringgggg...!"
Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa
telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka
ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Bun Beng
menonton, namun pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan
wanita berkerudung tadi yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian
ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk
Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari
Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan
oleh Pendekar Siluman kepada utusannya.
Kalau begitu
ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Setidaknya, tentu ayahnya
bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa
dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati
orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak
memeliharanya!
Ketika ia
melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, yaitu
Panglima Bhe Ti Kong, lagi terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari
lawannya. Tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh
mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si
Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek!
Mengertilah
Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain
curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti
orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri.
Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera mengerahkan ilmu ini
secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang
memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia
cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
"Heiii...!
Mau pergi ke mana...?" Panglima gendut terkejut.
Akan tetapi
Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam
terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang sudah ikut membunuh suhu-nya membuat Bun Beng
pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang
makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhu-nya adalah
empat orang yang lihai bukan main. Apa lagi koksu dan dua orang pendeta Lama
itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian
suhu-nya?
Akan tetapi,
Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apa
lagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan
membalas kematian suhu-nya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi
pikiran Bun Beng. Maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si
Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia
segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang
mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
"Manusia
curang! Rasakan pembalasanku!" Bun Beng membentak sambil meloncat dan
menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut.
Memang
hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhu-nya yang dikeroyok
secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat
mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun
Beng ini.
Ketika tadi
melihat anak buahnya itu terdesak oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru
muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali.
Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan
membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena
memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya.
Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari
dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa
daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat
mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan
seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi
seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan
selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya.
Apa lagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak
yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit
saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di
ujung pedang Si Muka Biru Muda.
Akan tetapi
Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat,
maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari
bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil
dari atas yang memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat
kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong.
Panglima ini
berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki
menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini, maka
cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biar pun
hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong
karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah
membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di
depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian
belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng
menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan
seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
"Bocah
setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau Neraka
bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng
merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk
pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
"Lepaskan,
aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia
meronta-ronta.
Dan pada
saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim
tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai
sekali. Biar pun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat
melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan
Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak
pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru
terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakkan pedang, tubuh Bun
Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun gerakannya
ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti
Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
"Crottt...!"
Tangan Bhe
Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang
sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara
otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek
kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat ke luar! Si Muka
Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan
mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan
pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan
dirinya!
Semua orang
yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu terbelalak ngeri dan juga kagum,
kecuali para anggota Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam
tak bergerak menonton pertandingan. Wajah beraneka warna itu tidak menunjukkan
sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini.
Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan
banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang
yang kulitnya berwarna aneh itu.
Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal. Akan tetapi
mereka berasal dari Tibet, maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau
Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya
kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.
Koksu
Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang kemudian menjawab
tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung
hebat. "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya
mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya di jaman dahulu, entah berapa
ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau
yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat
keluarga raja yang amat sakti, konon memiliki kesaktian seperti dewa-dewa,
bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!"
"Aihhh,
apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan
katanya datang dari Pulau Es?" Thai Li Lama bertanya, masih seram
mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.
"Entahlah,
aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu
memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan
pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau
Neraka."
"Mengapa
namanya begitu seram?" Thian Tok Lama bertanya.
"Entahlah,
hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari
Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering
disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di
sana."
"Hemm,
aneh. Kalau tak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak
tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.
"Tidak
ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang kini kembali
mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka
Biru itu biar pun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin
hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong
terdesak!
Pengetahuan
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya
kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat
dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan
Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan
tahun tiada buktinya, baru sekarang muncul tokoh-tokohnya yang memiliki
kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh.
Memang
benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan
orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah
keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek
moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya
seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung
racun begitu keluar dari sumbernya.
Dan di situ
banyak tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang
ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau
manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya
menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika.
Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim,
keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat,
apa lagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.
Semua ini
masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra
dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap
yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Karena itu, betapa
pun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan
dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun
penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.
Akan tetapi
pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su, yaitu yang bergelar
Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat
keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan
memiliki perasaan kasihan. Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es
yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan
kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu,
ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau
Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran
ilmu-ilmu yang amat tinggi.
Demikianlah,
dengan bekal itu Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari
ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan
yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di
Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian,
sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat
aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka
turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka
atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan,
kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun
dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu
membuat mereka makin ulet dan kuat.
Namun
perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun
yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata
mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat,
mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali
terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah
sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari
Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal
ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, maka yang ia ceritakan
kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka
kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang
anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya
itu.
Sementara
itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru terlempar dan
terbanting jatuh ke atas tanah. Karena tubuhnya terlatih, ia cepat
menggelinding, lalu meloncat bangun. Tiba-tiba ia merasa pundaknya dicengkeram
orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah
menangkapnya kembali.
"Hemm,
bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!" Cengkeraman pada
pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.
"Lepaskan
aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang
oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan
menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.
"Kalau
engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!" Panglima itu menghardik.
"Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"
Bun Beng
seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia
menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri.
Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang
memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke
arahnya.
Ia mengenal
wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang,
seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin
seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu
merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapa pun juga tentu mempunyai
perasaan yang lebih halus dari pada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun
Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu.
Akan tetapi
dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong
kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita
yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang
itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang
Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya
ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau
Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.
Pandang mata
Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini
tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang
tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suheng-nya, yaitu Siauw-lim
Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak
dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang
Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain
karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ
setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.
Dan memang,
lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa
supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya
secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biar
pun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim
Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu
mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu
pergi dari tempat itu.
Juga banyak
tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu. Selain
segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau
Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan
untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.
Ketika Bun
Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan
Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi,
sepuluh orang anggota Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan
pengawal. Ada pun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan,
hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap
hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jeri dan
sungkan terlibat.
Dengan
demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga
rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan
Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian
dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.
Tidak ada
harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia
dapat membebaskan diri....
Ia
mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan
sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua
pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat
kuatnya, sedetik pun tak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya
melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati
panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut
bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya.
Tiba-tiba
Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
"Tukkk!"
Biar pun
yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras
sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang
tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan
menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya
tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela
melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.
Pada saat
itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka
amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah,
mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti
Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri
amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang
tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si
Muka Biru menyambar lehernya!
Bhe Ti Kong
berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang
menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging
terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat
lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh
lawan yang masih bergulingan.
"Aihhhh...!"
Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan,
matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang
kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya
sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan
sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di
lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan nyawa Bhe
Ti Kong tertolong.
Si Panglima
Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biar pun rasa tulang keringnya
masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd...
duhhhh...!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih.
Kiranya Bun
Beng menjadi gemas dan marah. Karena tidak dapat memukul, dia telah menggunakan
giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima
Gendut kaget sekali. Sesaat dia lupa hingga melepaskan cengkeramannya,
menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.
"Plakkk...!"
Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting, namun biar kepalanya
terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat
dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.
"Heee!
Lari ke mana kau, bocah setan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah
panjang.
Dengan
pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita
Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita
dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"
Wanita itu
memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin, tetapi bibirnya tersenyum sedikit.
Agaknya, betapa pun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat
dan watak aslinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang
yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian.
Biar pun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan
yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang
laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati
siapa takkan merasa senang?
Wanita ini
merupakan salah seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang, biar pun
kedudukannya hanyalah sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita,
dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil
mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas,
sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah. Pakaiannya dari sutera
halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat
membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang
wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam
putih.
Namun wanita
itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya
karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia
menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan
wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.
"Bocah,
mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!" Sambil berkata demikian,
wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir.
Pada waktu
itu panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap
kembali. Namun gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang
membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga
tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah. Oleh karena dia tadi
sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba
tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih
dulu.
"Ngekk!"
Panglima itu meringis. Napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap.
Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng,
mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.
"Anak
Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap
nanti!"
Ia mengejar
lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka
untuk minta bantuan.
"Mohon
bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut
itu!"
Akan tetapi
rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah
sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga
bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut. Panglima ini
bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena
perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini benar-benar
kewalahan mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng.
Mulailah
orang gendut ini melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng
beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat
terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali
dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar
biasa sehingga biar pun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat
menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut.
Tiba-tiba
sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin menggunakan akal
ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh
ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka dari pada menjadi korban kekejian
koksu yang dibencinya itu. Maka meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita
Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.
"Harap
bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah
Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"
Mendengar
ini semua anggota Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka lalu memandang
penuh perhatian, bahkan wanita cantik Thian-liong-pang itu melangkah maju
sambil mengeluarkan suara terheran.
"Kau...
kau she apa?"
"Aku
she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim..."
Pada saat
itu panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu
mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"
Tubuh
panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba
tartahan dun terbanting ke bawah.
“Brukkk!” Ia
terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil
mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak.
"Nyonya...
eh, Nona...." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam
dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah
bersuami ataukah masih gadis. "Kau tidak boleh membelanya, dia adalah
tawanan Koksu!"
"Tidak
peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, suaranya
dingin menantang.
"Apa?
Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu karena
terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
"Aku
tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada
Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapa pun juga," wanita itu berkata
dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan koksu maka
mempergunakan alasan yang telah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara
halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.
Pada saat itu
terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua
orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka
menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat
dan terdengar bentakan koksu, "Jangan sentuh!"
Kiranya
kedua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah
komandannya sebab adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan
yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun
tangan. Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si
Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka
mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat
masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang
terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang
Pulau Neraka.
Wajah Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar,
menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat
itu.
"Jangan
ganggu jenazah Suheng kami!" Dua orang bermuka biru tua dari rombongan
Pulau Neraka berteriak sambil bergerak maju.
Akan tetapi
sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat
dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin
mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur. Sambil menyeringai dan
mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini
telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun
penghancur mayat.
"Taijin,
bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!" Panglima gendut
memberi hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi
menghalangi dia menangkap Bun Beng.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari
kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh...?!"
Semua anak
buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan
mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang
anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu
dengan sikap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang
temannya sama sekali tak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng
sambil membujuk dan mendesak anak itu.
"Gak
Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggota termuda Thian-liong-pang. Memang
Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut
peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggota kami! Engkau
berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau
harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah
mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang
anggota lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.
"Tidak...!
Aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang!" Bun Beng berteriak dan
meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak
dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang
Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.
"Kalau
begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"
"Aku...
aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak
ingin menjadi anggota..."
"Engkau
harus menjadi anggota kami, mau atau tidak!" Wanita itu membentak.
"Tidak...
tidak... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!"
"Ha-ha-ha-ha.
Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil."
Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya
tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, menjadi
pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara
kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai.
Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa
adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah
menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang
terkejut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti
yang sangat hebat sehingga untuk melindungi jantung mereka terpaksa harus
mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara
ketawa itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan
tetapi agaknya kini kalian dan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak
memperebutkannya pula. Baiklah, bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang
gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik.
Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap
rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya
keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak
setuju?" Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf
di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah
cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam
keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa
menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan menghadapi
pihak lawan ini saja sudah berat, apa lagi kalau sampai rombongan karajaan itu
membantu lawan! Dari pada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik
menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut
koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat diperacaya
sepenuhnya.
"Baik,
kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
"Kami
setuju!" kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. "Kami mengajukan
dua orang jago, aku sendiri dan Sute-ku ini!" Seorang tinggi besar seperti
raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya dari
pada pemimpin rombongan, meloncat keluar.
Wanita
cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku adalah
pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa
untuk mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggung jawab dan
biarlah kami dari pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja,
yaitu aku sendiri."
"Ahh,
mana bisa begitu? Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua
orang lawan sekaligus!" Si Muka Hijau mencela.
Wanita itu
tersenyum mengejek. "Melihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah
memiliki kedudukan di Pulau Neraka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku
masih tinggi beberapa tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak keberatan
untuk melawan kalian berdua sekaligus!"
Dua orang
Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata melotot karena ucapan
wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali. Akan tetapi sebagai
orang-orang berkepandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai,
kalau tidak demikian, tentu tidak akan berani bersikap sesombong itu.
"Ha-ha-ha-ha,
benar-benar Cu-wi pa-ra wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat gagah dan
mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi
dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama
melayani dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu
melawan wanita gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang
nanti keluar sebagai pemenang, boleh membawa pergi dan memiliki bocah
itu."
Ucapan ini
merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka sudah
melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok Lama yang gendut sudah
menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh
kurus dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun
Beng yang dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempedulikan
karena semua orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pulau itu.
Bun Beng
mendekati tebing dan memandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeliling pulau kecil
itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan
berhadapan dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga
perahu hanyalah bagian di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk
pusaran air yang amat mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang
anggota Pulau Neraka dan disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka
pucat dan membalikkan tubuh menonton pertempuran yang telah dimulai.
Pertempuran
yang amat dahsyat. Semua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan menonton
dengan hati tegang, jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun
dari pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh
sakti yang memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.
Dua orang
tokoh Pulau Neraka bermuka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok Lama,
menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mereka aneh sekali dan
kedua orang itu agaknya bersilat dengan membentuk tin (barisan) karena gerakan
mereka teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan
rombongan Pulau Neraka menyerang dari atas, sute-nya yang tinggi besar itu
menerjang dari bawah dan kalau Thian Tok Lama menyerang yang satu, yang lain
tentu cepat membantu kawan.
Biar pun
maklum bahwa pendeta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau
Neraka ini memiliki keangkuhan sebagai jago-jago kelas tinggi. Buktinya, ketika
melihat bahwa Thian Tok Lama maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak
menggunakan senjata, hanya menyerang dengan tangan kosong. Tetapi bukan tangan
sembarangan, karena kini tangan mereka telah berubah menjadi senjata yang
sangat ampuh, mengandung hawa beracun dan mengeluarkan uap kehijauan! Dengan
dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua orang Pulau Neraka melancarkan
serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-tubi dan bergantian.
Thian Tok
Lama bukanlah seorang tokoh biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang tokoh
besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li
Lama yang menjadi sute-nya, dia telah menjagoi selama puluhan tahun di dunia
barat dan telah mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh.
Maka begitu
melihat gerakan kedua orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu
mengandung racun yang amat aneh, amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat
di Pulau Neraka, maka tidak boleh dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai
obat penawarnya, sekali terluka oleh tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka
hwesio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak mau mengadu tangan dengan kedua
orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka dengan elakan-elakan atau
dengan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan angin kuat sekali menolak
setiap serangan lawan.
Betapa pun
juga, karena terlalu hati-hati tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak,
lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Setelah bertanding lebih dari tiga
puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu silat mau pun tenaga
sinkang dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi, akan
tetapi karena dia jeri terhadap racun di tangan kedua lawannya, maka
kelebihannya tertutup dan dia terdesak.
Tiba-tiba
pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan suara gerengan yang keluar dari dalam
perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya dengan keras sekali
sambil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya menyambar
seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena biar pun
hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai
batu karang pun dapat hancur!
Begitu kedua
lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya, menggerakkan tangan
kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi seperti kokok ayam
bertelur.
"Kok-kok-kok-kok!"
Dan tangan
kanannya kini berubah menjadi biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu
ke depan, angin dahsyat menyambar disertai hawa panas dan uap hitam menerjang
kedua orang lawannya.
"Aihhh!"
Dua orang tokoh Pulau Neraka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas
untuk menghindarkan pukulan dahsyat itu sambil balas memukul.
Kini Thian
Tok Lama dapat membalas sehingga mereka saling serang makin hebat dan
kesudahannya ternyata mambuat keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang
Pulau Neraka itulah yang terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari
sambaran angin pukulan dahsyat Thian Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini sudah
menggunakan ilmu pukulannya yang amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu
pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu hitam sehingga pukulan itu
mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung getaran-getaran dahsyat
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Ada pun
pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita cantik Thian-liong-pang
merupakan pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan
orang sembarangan dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi
kepala pelayan pribadi Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya
dia adalah seorang tokoh penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih
merupakan keturunan pendiri Thian-liong-pang, biar pun hanya merupakan cucu
buyut luar.
Dia bernama Tang
Wi Siang dan semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suaminya
tewas dalam pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas
isteri dari seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang, apa lagi dia sendiri
pun keturunan nenek moyang Thian-liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat
kedudukan penting di dalam perkumpulan itu dan juga dia mewarisi ilmu silat
yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang.
Ketika suatu
hari muncul Si Wanita berkerudung, wanita berkedok yang tak dikenal oleh siapa
pun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah,
kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi
kepala pelayan pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti
iblis itu Wi Siang digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga
kepandaiannya meningkat tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada semua tokoh
Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan! Akan tetapi sekarang keadaannya
menjadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang menerima ilmu dari ketua
baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga kini para
pengurus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah,
melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.

Pangcu baru
yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya disesuaikan
dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai bakat yang baik sekali
dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi
ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua baru itu memang mengenal
segala macam ilmu silat sehingga kadang-kadang membingungkan dan mengherankan
hati para pembantunya. Bahkan ilmu silat keturunan Thian-liong-pang pun
dikenalnya baik!
Kini,
menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh.
Thai Li Lama di samping suheng-nya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian
Tok Lama. Di samping ilmu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli
ilmu hitam yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu
merampas semangat orang atau menundukkan kemauan orang dengan kekuatan gaib.
Tentu saja ia amat jarang ia mempergunakan ilmu hitamnya ini karena dengan ilmu
silatnya saja, jarang ada lawan mampu menandinginya.
Tadinya Thai
Li Lama memandang rendah lawannya. Biar pun mengaku sebagai tokoh
Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling banyak tiga
puluh tahun lebih! Pula ia hanyalah seorang wanita, sampai di mana
kehebatannya? Karena memandang rendah, pada gebrakan-gebrakan awal Thai Li Lama
hanya menggunakan kedua ujung jubahnya yang panjang untuk menyerang dan
menangkis. Akan tetapi betapa kaget hati pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba
saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah memukul dari atas
belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.
"Omitohud...!"
Ia berseru.
Cepat ia
memutar kedua tangan melindungi kepala dan pundak. Tetapi wanita itu telah
melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah mengirim pukulan ke
punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.
Sambil
meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai
bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah sembarang orang yang
dapat dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki ginkang yang amat
mengagumkan dan yang dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga
bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia masih kalah jauh!
Maka ia lalu
mendengus pendek. Mulailah ia memasang kuda-kuda dan mengerahkan sinkang
sehingga setiap kali kedua tangannya menyambar, angin dahsyat bertiup
mendahului tangannya menyambar ke arah lawan. Kakek yang maklum akan kelihaian
lawan ini tidak segan-segan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang kuat
sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran
aneh mempengaruhi lawan.
"Tasss!"
Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindarkan oleh Wi
Siang yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut
dipukulkan.
"Tass!
Tasss!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi mengenai
tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri.
Tiba-tiba
wanita itu sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menusuk ke
arah mata lawan sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah
serangan yang amat dahsyat dan cepat sekali datangnya sehingga Thai Li Lama
terkejut bukan main. Untuk menghadapi serangan maut yang amat cepat ini,
menangkis sudah tidak keburu lagi, maka hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke
belakang dan terus bergulingan!
Bagaikan
seekor burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan
serangan dari atas ke arah tubuh yang bergulingan. Memang kini Wi Siang mainkan
ilmu silat yang khusus diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat
Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan
dengan ginkang yang amat cepat sehingga membingungkan lawan.
Repot sekali
keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia terus diserang dengan
gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergulingan, maka dia sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus
bergulingan sambil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan
sungguh berbahaya dan biar pun tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari
pada lawan, namun karena posisinya sudah rusak seperti itu, dengan bergulingan
terus mana mungkin kakek ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus? Gerakan
Wi Siang amat cepatnya, ke mana pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita
itu seperti seekor burung telah menyambarnya dan mengirim serangan maut.
Tiba-tiba
Thai Li Lama mengeluarkan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul
bentakan keras. "Mundurrrr...!"
Hebat bukan
main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang yang
menonton, malah banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki
melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepadanya dan ada tenaga
rahasia yang mendorong mereka mundur. Apa lagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang
yang langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu.
Wanita ini
memekik aneh dan tubuhnya mencelat mundur, seolah-olah ia kaget menghadapi
semburan seekor ular berbisa. Saat itu dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk
meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru Wi Siang sadar bahwa dia kena
diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu dan ia menerjang maju
lagi sambil membentak.
"Pendeta
siluman!"
Akan tetapi
Thai Li Lama juga marah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus
bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi
terjangan lawan ia mendorongkan kedua tangannya bergantian dengan ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita
ini mengenal bahaya, maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap
mengirim serangan susulan. Akan tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan
suara aneh dan amat berpengaruh sambil menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
"Engkau
sudah lelah sekali...! Kedua kakimu sukar digerakkan...!"
Aneh!
Tiba-tiba Wi Siang berdiri terbelalak, tak mampu menggerakkan kedua kaki dan
tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.
"Pendeta
curang... kau menggunakan ilmu siluman...!"
Yang
berteriak ini adalah Bun Beng. Anak ini semenjak tadi menonton pertandingan
dengan hati tertarik dan ia amat kagum menyaksikan sepak terjang wanita
Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak ‘mundur’ dia sendiri
sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa pendeta Tibet itu
menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan mendekati
pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dikaguminya itu terpengaruh oleh
suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li
Lama!
Gerakannya
ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah. Pendeta
ini menggerakkan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat
tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara
langsung disambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti
peluru dan... melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua orang
tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan memandang ke arah tubuh
Bun Beng yang melayang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai
koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak
ngeri ketika melihat betapa tubuh anak itu terjun ke bawah dan terlempar tepat
ke arah tengah-tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih
dulu! Mereka menahan napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan
menyesal melihat anak yang amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak
mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun Beng
menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan
diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut terbuka lebar dan ia tahu
bahwa ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya? Dia diperebutkan oleh tiga
kekuasaan yang mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada
kekuasaan yang paling besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya.
Maka tanpa menjerit sedikit pun ia membiarkan tubuhnya terbanting di
tengah-tengah pusaran air.
"Byurrr!"
Sebelum
tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas
sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air,
terus saja tubuhnya ditarik ke bawah oleh pusat air yang berpusing itu. Bun
Beng, berbeda dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melakukan perlawanan,
bahkan menyerahkan dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air,
menahan napasnya.
Semua orang
yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh
tepat di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam,
lenyap seketika! Mereka masih memandang tanpa berkedip, menanti dengan dugaan
bahwa tubuh anak itu tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan
rusak-rusak. Akan tetapi, ditunggu sampai lama, tubuh Bun Beng tak pernah
timbul kembali, seolah-olah lenyap dan habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran
air itu.
"Celaka...
benar-benar celaka...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting
kakinya dengan muka merah saking marahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada
di pulau dengan pandang matanya. "Kalian semua orang-orang sial yang hanya
mendatangkan kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang
mengganggu aku! Kalian ini orang-orang kang-ouw suka mencari ribut yang membuat
pekerjaanku menjadi tertunda-tunda dan terhalang!"
Semua orang
menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu.
Alangkah bedanya sikap kakek botak itu dengan tadi sebelum Bun Beng terlempar
ke dalam pusaran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi
sekarang, mendadak saja marah-marah.
"Teruskan
pibu! Aku masih belum kalah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang
berkata dengan suara dingin.
"Kami
pun belum kalah! Yang menang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus
pergi!" Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak
mempedulikan kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama sudah siap lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi
koksu menggoyangkan tangan dengan sikap tidak sabar sambil berkata.
"Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan? Anak itu
telah mampus ditelan pusaran air, dan pulau ini... dibutuhkan kerajaan. Harap
semua pergi dari sini sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan
kubasmi semua!"
Sekarang
semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang
marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang
macam apa! Keadaan menjadi sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa
memecahkan kesunyian, disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu:
Aku...!
Aku...! Aku...!
Pujaanku!
Milikku! Hakku!
Keluargaku,
sahabatku, hartaku, namaku!
Kurangkul
dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia
yang merugikan aku
Yang
terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku...!
Aku...! Aku...!
Semua orang
terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menyanyikan kata-kata aneh
itu. Yang bernyanyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat
kedatangannya karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan
yang seru disusul kejadian mengerikan yang menimpa diri Bun Beng. Orang itu
adalah seorang kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana, namun kedua kakinya
telanjang tak bersepatu. Wajahnya berseri pandang, matanya tajam penuh
kejujuran dan tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga.
"Im-yang
Seng-cu...!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ
berbisik ketika mengenal kakek itu.
Memang kakek
itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh yang tadinya merupakan tokoh
dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya yang aneh-aneh, dia
malah dibenci oleh pimpinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang Seng-cu ini
tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau mengelilingi dunia
sehingga ilmu kepandaiannya makin meningkat hebat. Karena kesukaannya
mempelajari ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap
sebagai murid Hoa-san-pai yang murtad, sungguh pun para pimpinan Hoa-san-pai
harus mengakui bahwa Im-yang Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang
tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman, tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan
bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-ilmu silat itu membuat ia memiliki
tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ketua Hoa-san-pai sendiri!
"Ha-ha-ha-ha!
Dunia ini menjadi ramai, manusia saling makan melebihi binatang paling buas,
semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu,
Koksu yang mulia?"
Karena
sikapnya tetap menghormat, bahkan ia menjura dengan hormat kepada Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun biar pun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi
marah. Apa lagi koksu pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu
miringkan kepala melirik dan bertanya.
"Apakah
orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"
"Tidak
salah, Koksu. Orang-orang memang menyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguh pun
sebenarnya aku pun hanyalah AKU, seperti setiap orang di antara kalian semua,
dan kita memiliki penyakit yang sama, penyakit AKU!"
Karena
ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak
senang, "Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu? Apa pula
maksud kedatanganmu?"
Im-yang
Seng-cu membelalakkan matanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu jelas
masih belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi? Segala peristiwa yang terjadi
dalam penghidupan semua manusia merupakan perputaran yang berporos pada ke
AKU-an itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini?
Memilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)? Menggelikan! Tentu sebelum terjadi
pemilihan sudah kau tangkap dan dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua
malu-malu untuk mengakui bahwa sasaran utama bukanlah perebutan bengcu,
melainkan untuk memperebutkan pusaka-pusaka keramat yang kabarnya lenyap dan
berada di pulau ini! Benar tidak? Dan semua datang memperebutkan karena
terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat membantah?"
"Hemm,
Im-yang Seng-cu, omonganmu terlalu besar dan main sikat sama rata saja. Engkau
mengenal aku dan tahu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa
kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan sebagai utusan!"
Koksu itu membantah.
"Kami
pun datang sebagai utusan!" teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah
semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelanjang kaki ini
tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat kesalahan
sendiri bukan main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sendiri merupakan
kekuatan yang jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi
semua mengaku sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan
tetapi utusan siapakah? Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan
negaramu, bukan?"
"Tentu
saja!"
"Nah,
apa bedanya itu? Manusia selalu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku,
rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan
tidak mau saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela
ke-AKU-annya itulah! Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan dunia akan aman,
manusia akan hidup penuh damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula
istilah milikku, hakku dan aku-aku lain lagi."
"Wah-wah,
Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang
suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.
"Ha-ha-ha-ha!
Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan penyakit kalian, yaitu
penyakit AKU. Penyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi
oleh manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang
dalam hidupnya. Ini pula yang menimbulkan watak manusia yang amat licik dan
rendah. Kalau senang, ingin senang sendiri. Kalau susah, ingin mencari kawan,
bahkan kesusahan menjadi ringan seolah-olah terhibur oleh kesusahan lain orang.
Betapa rendahnya!"
"Hemmm,
apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak menyerang
seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai tertarik. Tidak
mengadu ilmu silat, mengadu filsafat juga boleh karena dia pun bukan seorang
yang buta tentang filsafat.
"Maksudku
sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan
menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat
penderitaan orang lain! Hiburan yang paling manjur bagi seorang yang sengsara
adalah melihat bahwa di sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih
sengsara dari padanya. Mengapa begini? Inilah jahatnya sifat AKU yang
menimbulkan rasa sayang diri, rasa iba diri, perasaan-perasaan yang selalu
berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih jelas, orang yang
mempunyai keluarga tercinta sakit parah akan menderita kesengsaran batin yang
hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit? Tentu tidak
ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarganya yang sakit.
Timbul pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling
membela AKU-nya. Timbul perang di antara negara karena saling membela AKU-nya
pula. Manusia menjadi tidak aman dan tidak tenteram hidupnya karena dikuasai
oleh AKU-nya inilah, tidak sadar bahwa yang menguasainya itu bukanlah AKU
SEJATI, melainkan aku darah daging yang bergelimang nafsu-nafsu badani.
Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam tangisnya!" Im-yang Seng-cu lalu
berdongak dan bernyanyi.
Aku sudah
bosan!
Aku sudah
muak!
Terbelenggu
dalam sangkar darah daging!
Setiap saat
aku dipaksa
menyaksikan
tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis,
suka-duka,
marah-sesal,
suka-duka...
bebaskan aku
dari semua ini...!
"Omitohud!
Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang
beragama yang selalu berusaha untuk hidup bersih dan suci, ucapanmu itu
merupakan penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!" Seorang hwesio
berkata dengan alis berkerut.
Dia adalah
seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi
hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini
tidak sabar lagi untuk berdiam diri. "Engkau tidak boleh menyama-ratakan
semua manusia, Im-yang Seng-cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada
yang kotor batinnya, ada yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan
kebersihan batinnya. Jalan satu-satunya hanyalah mempelajari agama dan mematuhi
hukum-hukum agamanya."
Im-yang Seng-cu
tertawa dan memberi hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu yang kau
maksudkan itu adalah agamamu, bukan?"
"Tentu
saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.
"Hemm,
pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa
baik sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pemeluk
agama menjadi saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia
makin parah. Semua agama adalah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang
sekali, orang-orangnya yang menyalah-gunakan sehingga pelajaran kebaikan sering
kali dipergunakan untuk saling menghina dan saling menyalahkan. Maaf, Lo-suhu,
aku tidak akan menyinggung pelajaran agama karena aku yakin bahwa semua agama
itu mengajarkan kebaikan, tidak ada kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa
dirinya paling bersih adalah orang yang kotor karena perasaan diri paling
bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang paling tepat untuk itu.
Seseorang yang melihat tahi akan menutup hidungnya, merasa jijik dan muak, sama
sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi! Orang
yang merasa dirinya paling pintar sesungguhnya adalah sebodoh-bodohnya orang, karena
perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya
paling kuat sesungguhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan
membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlomba
mengejar kemenangan dalam apa pun juga, saling serang saling bunuh. Dalam
perkelahian, yang mati dianggap kalah, yang hidup dianggap menang. Yang hidup
ini agaknya lupa bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan
siapa dapat memastikan bahwa yang menang akan lebih bahagia dari pada yang
kalah dan mati? Ha-ha-ha, kalau manusia ingat akan semua ini, aku tanggung
manusia akan berpikir dulu sebelum memperebutkan kemenangan!"
Filsafat
yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati mereka yang mendengarkan.
"Im-yang
Seng-cu, ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong
sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau adalah
seorang tokoh Hoa-san-pai. Beginikah pelajaran To-kauw yang dianut oleh para
tosu Hoa-san-pai?" Sambil berkata demikian, koksu ini melirik ke arah
rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu ini sudah mendengar bahwa Im-yang
Seng-cu adalah orang yang dianggap murtad oleh Hoa-san-pai, dan Koksu yang
cerdik ini sengaja menimbulkan perpecahan atau memanaskan keadaan!
"Dia
bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari
rombongan Hoa-san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima
tahun, bertubuh pendek dan jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pendek.
Tosu ini memandang tajam ke arah Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.
Im-yang
Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya Suheng Lok
Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute..."
"Pinto
mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali tidak ada
hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai
seorang murid Hoa-san-pai!"
Semua orang
memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata bersinar. Tahu
rasa engkau sekarang, orang sombong, pikirnya. Akan tetapi Im-yang Seng-cu
tetap berseri wajahnya dan tenang sikapnya ketika menjawab,
"Lok
Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh
Hoa-san-pai. Aku berusaha untuk menjadi manusia bebas, akan tetapi... hemm...
alangkah sukarnya dan betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah
tidak bebas. Kita terbelenggu oleh kebudayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum
yang diciptakan manusia hanya untuk menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana
kebebasan? Aihhhh, aku pun rindu kebebasan, seperti Aku sejati...!"
Jawaban itu
membuat Lok Seng Cu bungkam, karena memang orang yang dianggap murtad ini tidak
pernah menyeret nama Hoa-san-pai dalam setiap sepak terjangnya, dan kalau tadi
dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan pengakuan
Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena
‘pembakarannya’ tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia
‘menangkap’ Im-yang Seng-cu untuk memancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini
akan mengeluarkan ucapan yang menyinggung sehingga dapat dijadikan alasan untuk
menyerangnya. "Im-yang Seng-cu, apa pula artinya perkataanmu bahwa manusia
kehilangan kebebasan karena terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia
sendiri?"
Im-yang
Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku selalu menjadi
gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri,
membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga
beberapa ribu tahun lagi manusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum!
Betapa bayi takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini?
Begitu terlahir, tubuhnya sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul
peraturan dan hukum-hukum yang tiada putusnya. Ada hukum ada pelanggaran,
diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang kesucian berarti mengerti tentang
kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang
manusia yang tidak mentaati peraturan berarti melanggar kesusilaan, melanggar
kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti
itu!" Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang
kosen dan jujur itu. Sebagian besar para pembesar dan panglima Kerajaan Ceng
(Kerajaan Mancu) mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara
tentang filsafat, Bhe Ti Kong tertarik lalu mengajukan bantahan atas pendirian
Im-yang Seng-cu tadi.
Im-yang
Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali, Ciangkun. Memang
tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Sekali lagi aku katakan
bahwa aku hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali
menganjurkan agar semua orang melanggar hukum dan peraturan-peraturan yang
sudah ada. Aku sendiri sampai sekarang masih memakai pakaian dan
peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena seperti juga semua manusia, aku
pun dihinggapi penyakit ke-AKU-an sehingga rela melakukan hidup dalam
kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah kukatakan tadi,
Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, merupakan
pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit
manusia yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran
itu dalam sepak terjang hidupnya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu
bersabda bahwa seorang Kuncu hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang
Siauw-jin hanya mengejar keuntungan! Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum
akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu memperingatkan manusia yang
selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan lahiriah! Kukatakan tadi
bahwa begitu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup tubuh. Kalau
pakaian dimaksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena
kebiasaan, karena sesungguhnya kalau tidak dibiasakan pun tidak apa-apa, maka
apa hubungannya dengan kesusilaan dan kesopanan?"
"Wah,
orang yang tidak mau berpakaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak
tahu malu dan tidak sopan!" Seorang membantah dan karena semua orang
berpendapat demikian, tidak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan
itu tadi.
Im-yang
Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu? Kalau pun benar, maka anggapan itu
muncul setelah orang menciptakan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar
dan palsu seperti yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan
sama sekali tidak berpakaian itu dianggap tak tahu malu dan tidak sopan?
Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mulai dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bayi,
manusia cilik itu tadinya wajar dan tidak mengenal hukum kesusilaan, maka tidak
bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal hukumnya,
dapatkah dianggap melanggar? Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar, barulah
dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk membelenggu
kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup? Timbulnya
segala kesalahan adalah karena melanggar hukum, dan timbulnya segala
pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa
hukum takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang
membuat manusia terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan
kesucian dan kedosaan, hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal
itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu,
engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mendengarkan kata-katamu.
Apakah engkau datang untuk berkhotbah? Ataukah hendak menyebarkan agama
baru?"
"Tidak,
Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenarnya, mengajak semua
orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan keadaan
bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu.
Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai
berpura-pura? Kalau memang pemerintah melarang semua orang gagah mencari
pusaka-pusaka yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan
saja. Tetapi hendaknya diingat bahwa mencari pusaka-pusaka lama dan
memperebutkannya adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan pemerintah
sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah akan menggunakan dalih
memberontak!"
Muka Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang sesungguhnyalah! Kami telah
menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa
saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh
menentangku!" Sambil berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju
dengan sikap menantang.
Im-yang
Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin, siapa yang
dapat melawanmu? Aku sendiri sudah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu
kepalan memperebutkan permainan." Dia lalu menghadapi semua orang yang
masih berada di situ sambil berkata nyaring, "Harap Cu-wi sekalian pulang
ke tempat masing-masing. Biar pun belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun
aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap itu tidak mungkin berada di pulau
ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang amat lihai
itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal itu hanya dapat
dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah
berhasil merampas pusaka masa orang sakti itu lalu meninggalkannya begitu saja
di tempat ini? Mustahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai
banyak pasukan ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk
mencari pusaka-pusaka itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang
Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit,
dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan alis
berkerut karena merasa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Koksu ini mengerti benar akan politik yang dijalankan Pemerintah Ceng, yaitu
ingin membaiki para tokoh-tokoh kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan
kepandaian mereka, bukannya memusuhi mereka sehingga memancing
pemberontakan-pemberontakan karena Kerajaan Mancu mengerti benar bahwa rakyat
masih belum mau tunduk kepada pemerintah penjajah dan di dalam hati amat
membenci pemerintah Ceng.
Maka, untuk
menghilangkan rasa penasaran karena tadi ia merasa ‘ditelanjangi’ oleh Im-yang
Seng-cu, juga karena alasan yang dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang
pusaka-pusaka itu tepat, maka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan
pasukannya untuk sekali lagi melakukan pencarian di pulau itu, bukan mencari
pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau itu, melainkan mencari
petunjuk-petunjuk selanjutnya karena jejak yang didapatkannya hanya sampai di pulau
itu.
Akan tetapi,
sampai beberapa hari mereka bekerja, hasilnya sia-sia sehingga akhirnya koksu
terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan memerintahkan kepada dua
orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian Tok Lama dan Thai
Li Lama, untuk merantau di dunia kang-ouw, memasang mata dan telinga, mencari
kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa ada
tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka
Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah
koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis? Sebenarnya, sebagai
seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan
sepasang pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggalan keluarga
Suling Emas yang amat keramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka
di dunia ini, ia ingin sekali mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan
hanya karena dia mendengar akan keampuhan sepasang pedang yang pernah
menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, juga karena masih ada hubungan
antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang itu!
Sepasang
Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara Hitam
yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mutiara Hitam. Kedua pedang
yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan
wanita yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau
membuatkan sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua
bongkah logam yang jatuh dari langit!
Kedua orang
India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi. Ada pun koksu Kerajaan Mancu yang
lihai ini pun adalah seorang peranakan India dan antara dia dengan kedua orang
ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga! Biar pun Mahendra dan Nila
Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek dan nenek luar yang
sudah jauh, akan tetapi sedikit banyak ada hubungan darah sehingga kini Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas Sepasang
Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah,
kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang Pedang
Iblis. Untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya
menjadi sebab kehilangan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian
Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian
tinggi itu, tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu
sendiri.
***************
Sesosok
bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan terdengar bunyi kelepak sayap
disusul bergeraknya daun-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar
dari gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas
tanah. Laki-laki berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya
lirih ditujukan kepada si Burung Garuda.
"Pek-eng
(Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh... kenapa selama
hidupku aku harus selalu menderita kehilangan...?"
Burung itu
menggerak-gerakkan lehernya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala Suma
Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki
itu bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan
Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pendekar sakti ini belum ada
tiga puluh tahun, akan tetapi biar pun wajahnya masih tampan dan segar,
rambutnya yang putih dan pandang matanya yang sayu membuat pendekar ini
memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua renta!
"Pek-eng...,"
katanya lirih, berbisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, "siapa
yang mempunyai, dia yang akan kehilangan..."
"Nguk-nguk..."
Garuda itu mengeluarkan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau
pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi
bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak
mempunyai orang-orang yang kucinta...! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak
mempunyai apa-apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa
bilang yang punya lebih senang dari pada yang tidak punya? Ah, dia tidak tahu!
Mempunyai berarti menjaga karena selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang
yang tidak mempunyai apa-apa saja yang dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan
apa-apa!"
Suma Han
menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu beberapa
menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es ini di
samping kesaktiannya yang luar biasa, mempunyai kebiasaan aneh, yaitu dalam
urusan makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manusia biasa. Kadang-kadang
sampai belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari
tidak makan sesuap pun, akan tetapi dia dapat tidur sampai berhari-hari dan
sekali makan menghabiskan beberapa kati gandum!
Garuda putih
yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas lalu terbang ke atas
pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan
penerbangan amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua makhluk yang
sama-sama lelah itu kini mengaso dan keadaan di dalam hutan itu sunyi, yang
terdengar hanya bersilirnya angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam
keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di
waktu ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuraman yang
mendalam, apa lagi karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu
selalu tampak sayu, membuat wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini
setelah ia tidur pulas, lenyaplah garis-garis dan bayangan gelap, membuat
wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya tersenyum penuh pengertian
bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-hal yang sudah
wajar dan semestinya, hal-hal yang tidak perlu mendatangkan suka mau pun duka!
Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan
penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang
nafsu perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap
dari dalam hati dan pikiran.
"Suma
Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung
getaran kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata.
Dengan malas
ia bangkit dan memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di depannya telah
berdiri seorang kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang memegang tongkat
berujung kepala naga itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu! Namun ia bersikap
tak acuh dan garis-garis bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia
bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya. Ia hanya sekilas memandang wajah
kakek itu, kemudian menunduk, seolah-olah enggan untuk berurusan dan memang
sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han merasa malas untuk berurusan
dengan siapa pun juga. Betapa pun, mengingat bahwa kakek ini adalah seorang
tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng-cu adalah guru dari
orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil tetap
menundukkan muka.
"Locianpwe
Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki sehingga demikian perlu
membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa
yang kukehendaki? Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku
sehingga tanpa kusengaja dapat bertemu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak
membunuhmu!"
Suma Han
sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia
hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa
mengejapkan mata karena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar
dari sepasang mata Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi
sepasang mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia
menarik napas panjang.
"Ada
akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada
sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini
lebih dulu mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hendak membunuh saya."
Suaranya tetap tenang.
Im-yang
Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya tak ada seujung rambut pun rasa
senang di hatinya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman untuk
membunuhnya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan
pendekar muda ini, mau pun karena memang dia selalu merasa suka dan kagum
kepada Suma Han.
"Tentu
ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang
tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh pun ada orang
yang takkan dapat melupakannya, yaitu Tan-siucai..."
Suma Han
memejamkan mata, dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya yang
menggetar, "Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi..."
Di depan
kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini
membayangkan semua peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hoa-san
Kiam-li (Pendekar Pedang Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua
Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita yang lihai sekali dan berjiwa patriot,
seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya, bahkan kemudian telah
mengorbankan nyawanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam pelukannya dan
menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta kepadanya. Dara perkasa itu
tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
"Suma
Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau kembali
telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia
ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab
kehancuran hidup mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali
membunuhmu atau mati di tanganmu!"
Suma Han
merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi
sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata,
"Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"
Pendekar
Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa tentu
telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang
amat dicintanya, bahkan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di
dunia ini. Telah lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah
dengan Wan Sin Kiat yang berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari
Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua
orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya itu?
Ada pun tentang
pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikandung di hati orang yang
benama Tan-siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan-siucai
adalah tunangan mendiang Lu Soan Li dan karena dia tidak merasa berdosa
terhadap kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka
dia pun tidak peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan
tetapi kalau adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa mala petaka...!
"Locianpwe,
saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi dengan
Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguh pun sikap dan suaranya tenang,
namun jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Kau
mau tahu? Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau
tewas di tanganku tidak menjadi setan penasaran dan kalau sebaliknya aku yang
mati di tanganmu agar lengkap noda darah di tanganmu!" Kakek itu lalu
menghampiri pohon yang menonjol. Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk
di depannya, bersiap mendengarkan penuturan kakek itu.....
Im-yang
Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima
tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali
pengantin pria, yaitu muridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan
Sin Kiat dengan Lulu yang dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan
walinya. Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan
semenjak itu tidak pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi,
semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka. Memang
pada bulan-bulan pertama dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin
Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hiburan suaminya tidak
dapat menyembuhkan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya
terbawa pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih-lebih setelah Lulu
melahirkan seorang anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin
merenggang.
Im-yang
Seng-cu yang sering kali mengunjungi muridnya dapat melihat kerenggangan ini,
akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami
isteri itu. Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu melahirkan anak, pada
suatu hari Im-yang Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat
Wan Sin Kiat menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini
amat mengejutkan hati kakek itu yang mengenal betul kegagahan muridnya.
"Sin
Kiat, hentikan tangismu! Air mata seorang gagah jauh lebih berharga dari pada
darahnya, jangan dibuang-buang!" Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat
muridnya yang gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut
air matanya dan menekan kedukaan hatinya.
"Ceritakan
apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa
yang menimpanya, baik mau pun buruk, secara gagah pula!"
"Maaf,
Suhu. Teecu sanggup menghadapi derita apa pun juga, akan tetapi ini... ahhh,
Suhu. Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa...?"
Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. "Dan puteramu?"
"Dibawanya
pergi."
"Kenapa
tidak kau kejar dia? Mengapa datang ke sini dan tidak segera mengejar dan
membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa
tentu terjadi percekcokan antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.
Akan tetapi
Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma, Suhu. Hatinya
keras sekali dan kepergiannya merupakan hal yang sudah ditahan-tahannya selama
dua tahun, semenjak teecu menikah dengannya."
"Aihh,
bagaimana pula ini? Bukankah kalian menikah atas dasar saling mencinta?"
"Teecu
memang mencintanya dengan jiwa raga teecu, bahkan sampai saat ini pun teecu tak
pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi... dia... ahhh,
kasihan Lulu... dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu,
melainkan kepada Han Han..."
"Suma
Han? Dia kakaknya!"
"Itulah
soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru
setelah melangsungkan pernikahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan
baru menyesal. Lulu sudah berusaha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha
untuk membalas cinta kasih teecu, aduh kasihan dia... semua gagal, cintanya
terhadap kakak angkatnya makin mendalam dan membuatnya makin menderita..."
"Dan
semua itu dia ceritakan kepadamu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata
terbelalak, terheran-heran mendengar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk
akal itu.
"Tidak
pernah, sampai ketika ia pergi, Suhu. Dia meninggalkan surat, mengakui segala
isi hatinya dan minta teecu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi
dengan pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan
mau kembali kepada teecu."
"Mau ke
mana dia?"
"Dia
tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han
Han."
"Si
Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di
lantai.
"Jangan,
Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini... juga Lulu tidak bersalah. Sejak
dahulu teecu sudah menduga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu
melebihi cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada
Lulu teecu tidak berpikir panjang lagi..."
"Tidak
bersalah, katamu? Kalau memang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan
adiknya menikah denganmu? Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu
kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm... hanya mereka atau aku yang boleh
hidup lebih lama di dunia ini!"
"Suhu!"
Wan Sin Kiat membujuk suhu-nya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena
merasa betapa peristiwa itu merupakan penghinaan dan penghancuran kehidupan
muridnya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia
mendengar bahwa Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur
di dalam perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara
Mancu menyerbu Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia.
Menurut
berita yang didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang
gila yang tidak mengenal mundur lagi sehingga diam-diam ia mengerti bahwa
muridnya sengaja menyerahkan nyawa, mencari mati dalam perang. Hatinya seperti
ditusuk pedang dan biar pun dia merasa bangga bahwa di dalam kedukaannya
muridnya itu memilih mati sebagai seorang patriot sejati, namun dia berduka
sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat putusnya cinta kasih!
Mendengar
penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya
tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang mengantuk.
Im-yang
Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus
dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama
lagi ini akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu
atau engkau menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"
Akan tetapi
Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang Seng-cu,
melainkan hanya memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih,
"Hemm... kalau begitu... dia agaknya..." Ucapan ini diulang beberapa
kali.
Pada saat
itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama,
diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara
Thian Tok Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan
permintaan koksu supaya Taihiap suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada
pinceng."
Akan tetapi
Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak
mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar
kata-kata Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan
terdengar suaranya lirih berulang-ulang. "Aihhh... tentu dia...!"
Thian Lok
Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggapnya memandang
rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok dengan
Suma Han dan maklum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan
tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut.
Terdengar pendeta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh
hutan.
"Suma-taihiap!
Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pulau Es, maka mengajukan
permintaan secara baik-baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai
penghormatan Koksu!"
Suma Han
tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang Seng-cu,
"Ha-ha-ha-ha-ha! Penghormatan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan
palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok
Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi pendeta
Tibet yang cerdik ini tidak mau melayani karena dia tahu bahwa menghadapi Suma
Han saja sudah merupakan lawan berat, apa lagi kalau dibantu kakek aneh yang
dia tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap
ditujukan kepada Suma Han.
"Koksu
berpendapat bahwa karena Taihiaplah orangnya yang dahulu menguburkan jenazah
Siang-mo Kiam-eng (Sepasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang itu,
maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang
pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis
adalah Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, karena pembuat pedang itu adalah
nenek moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan
Suma-taihiap untuk mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi
Suma Han mengangguk-angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah
lagi, tentu dia..."
"Orang
ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju.
"Berani engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang
sombong?"
Setelah
membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah
pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan memaksanya tunduk.
"Plakk!
Auggghhhhh...!" tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan
terbanting ke atas tanah. Ia meloncat bangun dengan muka pucat dan tangan
kirinya memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pundak Suma
Han.
Pendekar
Super Sakti masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu
sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima
kerajaan mencengkeram pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan
ke dalam tungku perapian yang luar biasa panasnya dan ada daya tolak yang amat
kuat sehingga ia terjengkang dan terpelanting.
Melihat
kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira
bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan
gerakan otomatis keduanya lalu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
Angin yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menyerang Suma Han yang masih
berdiri termenung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan
pukulan maut jarak jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar
terlanda angin pukulan itu akan tetapi, tenaga pukulan dengan sinkang itu
seperti ‘menembus’ tubuh Suma Han lewat begitu saja dan....
"Kraaakkkk!"
sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang dilanda angin pukulan
itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak
bergoyang!
Hal ini
membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran-heran dan penasaran. Kalau
lawan itu menggunakan tenaga sinkang melawan serangan mereka, bahkan andai kata
mengalahkan sinkang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan. Akan tetapi
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin
pukulan mereka hanya lewat saja seolah-olah tubuh itu terbuat dari pada uap
hampa! Rasa penasaran membuat keduanya menerjang maju dan menggunakan dorongan
telapak tangan mereka menghantam dada Suma Han dari kanan kiri!
"Buk!
Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya
kedua orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong
tadi!
"Ha-ha-ha-ha!
Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai
membadut, pandai menari jungkir balik!" Im-yang Seng-cu bersorak dan
bertepuk tangan seperti orang kagum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak
di panggung.
Dua orang
pendeta Lama itu meloncat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan mata
mendelik. Keduanya tadi roboh karena biar pun Suma Han kelihatannya diam tidak
bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari
tangan kanan kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak
tangan kedua lawan dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil
memukul dada, tenaganya sudah buyar sehingga merekalah yang ‘terpukul’ oleh
hawa sinkang yang melindungi tubuh Suma Han.
Tentu saja
keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han, sudah tahu
akan kelihaian Pendekar Super Sakti itu. Tetapi yang mereka hadapi kini adalah
pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat dari pada dahulu, lima
tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan rasa jeri.
Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul karena malu kepada Im-yang
Seng-cu yang mengejek mereka.
"Im-yang
Seng-cu, engkau sungguh seorang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu
telah mengampuni nyawamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima
pukulan pinceng!"
Thian Tok
Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke samping karena datangnya
serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok Lama adalah pukulan
Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuhnya agak merendah, perutnya yang
gendut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara seperti seekor
ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru. Pukulannya bukan
hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap hitam!
Melihat
betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li
Lama yang juga amat marah terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut
dari kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya
dibanding dengan Hek-in-hui-hong-ciang.
"Ayaaaa...!"
Biar pun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat mengejek sambil
melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. "Kedua pelawak ini
selain lucu juga gagah sekali!"
Tentu saja
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api kemarahan di dalam
hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan nafsu mereka kembali
menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya
melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan
menang apa lagi dikeroyok dua.
"Plakk...
krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung
ke belakang. Thai Li Lama segera mengejarnya dengan pukulan maut.
Tiba-tiba
tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama
yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat
menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan
tangan.
"Bressss!"
Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu dapat
ditangkis Thai Li Lama.
Pendeta
Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan hebat antara burung garuda
dengan pendeta ini, sedangkan Thian Tok Lama kembali sudah menerjang dan
mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong-ciang yang merupakan
cengkeraman maut.
Im-yang
Seng-cu adalah seorang bekas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mempelajari banyak
macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya.
Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat
kakek itu lihai sekali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah
telah melampaui tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini
menghadapi Thian Tok Lama, dia benar-benar bertemu tanding yang amat kuat.
Pendeta Lama
itu adalah seorang tokoh Tibet yang memiliki kepandaian tinggi ditambah tenaga
mukjizat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh
Tibet. Biar pun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama tidaklah sekuat ilmu
Hoat-sut milik Thai Li Lama, namun ilmu ini memperkuat sinkang-nya dan menambah
kewibawaannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sinkang, Im-yang Seng-cu jelas
kalah setingkat oleh lawannya.
Memang tubuh
gendut Thian Tok Lama mengurangi kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit
dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu bertemu dengan lawan yang
menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak dikenalnya! Setelah
saling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu terdesak dan
hanya mundur sambil mempertahankan diri saja, tidak mampu balas menyerang.
Hanya ada sebuah keuntungan yang membuat dia tidak dapat cepat dirobohkan,
yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gembira, selalu mengejek, berbeda dengan
sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga
Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama mau
tidak mau harus mengakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama
tidak akan mampu menyerang burung itu kalau Si Garuda terbang tinggi, akan tetapi
biar pun kelihatannya Si Burung yang selalu meluncur turun dan menyerang kepala
Thai Li Lama, selalu burung itu yang terpental oleh tangkisan dan pukulan Thai
Li Lama! Banyak sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin
mengendur, bahkan garuda putih itu mulai mencampuri pekik kemarahannya dengan
suara tanda gentar.
Sementara
itu Suma Han masih terus berdiri bersandar di tongkatnya. Sinar matanya
memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu dia... wahai...
Lulu... untuk apakah engkau mengambil pusaka-pusaka itu...? Lulu...
satu-satunya sinar bahagia yang menembus semua awan hitam di hatiku hanya
melihat engkau hidup bahagia di samping suami dan anakmu... akan tetapi...
engkau menghancurkan kebabagiaanmu sendiri... sekaligus memadamkan sinar
bahagia di hatiku. Mengapa...? Mengapa...?"
Biar pun
wajah yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, tetapi bulu
matanya basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar,
jantungnya seperti diremas-remas, perasaan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong,
panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sendiri ketika
menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu.
Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang
bertanding melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biar pun kedua
orang temannya selalu mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si
Kaki Buntung itu maju, tentu kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah.
Dia adalah
seorang panglima, sudah biasa mengatur siasat-siasat perang, siasat untuk
mencari kemenangan dalam pertempuran. Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja
Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan terancam bahaya ikutnya
Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han termenung seperti
orang mimpi, ia menghampiri perlahan-lahan dan mencabut senjatanya yang
mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing
dan kuat.
Bhe Ti Kong
bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang hendak
dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenangan pihaknya.
Biasanya dalam pertempuran perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang
ada hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Sekarang pun, ketika ia
berindap-indap menghampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangannya,
satu-satunya yang memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.
Setelah tiba
di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang. Panglima
tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senjatanya juga berat dan kuat
sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusukkan tombak runcing ke
punggung Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak
mungkin dapat dihindarkan lagi!
"Wirrrr...!"
Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma Han.
Akan tetapi,
pada waktu itu ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah ‘mendarah daging’ sehingga boleh
dibilang setiap bagian kulit tubuhnya memiliki kepekaan yang tidak lumrah.
Perasaan di bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga
jangankan baru sedang melamun, bahkan biar pun dia sedang tidur nyenyak sekali
pun, perasaan ini bekerja melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang
mengancam dari luar.
Pada saat
itu pikirannya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya sedang ikut
melayang-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama
sekali akan segala yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa Im-yang
Seng-cu dan garuda tunggangannya didesak hebat oleh Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata menyambar punggung mengancam
keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu mengguncang kesadarannya dengan
kecepatan melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!"
Bhe Ti Kong
berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri karena tiba-tiba orang yang diserangnya
itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan berkelebat
cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu, kemudian
bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu-tahu tubuh
kedua orang pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri
dengan wajah pucat memandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan
memandang mereka berdua dengan sinar mata tajam berpengaruh.
Keduanya
telah kena didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menusuk tulang dan biar pun
kedua orang pendeta ini sudah mengerahkan sinkang, tetap saja mereka itu
menggigil dan wajah mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling
beradu mengeluarkan bunyi! Setelah mengerahkan sinkang beberapa lamanya,
barulah mereka itu dapat mengusir rasa dingin dan tahulah mereka bahwa kalau Si
Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan tadi tentu akan membuat nyawa mereka
melayang...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment