Cerita Silat Kho PIng Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 24
Setelah dia
menerima gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi
dia berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekali pun, atau siapa
saja. Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke
utara dan kini tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum
bahwa tidaklah mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh
bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau
Neraka.
Giam Kwi
Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi.
Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh
orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan
lima orang bersenjata toya panjang. Biar pun ilmu tongkat tiga orang itu aneh
dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki
ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.
Kwi Hong
tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan
itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat
ke tengah arena pertandingan sambil berseru, "Tahan...!"
Delapan
orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu
saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa
bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa
gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya
mereka dan membentak, "Pergi kau!"
"Sing...!
Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
"Berhenti
dan jangan bertempur kataku!" Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.
Dua orang
pemegang toya, yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan
terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka
terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan
gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
"Siapa
kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin
mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung
melengkung ke atas. "Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"
"Aku
siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan
pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang
dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan
satu, atau tiga lawan tiga."
"Perempuan
muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya?
Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang
saikong itu membentak.
"Bukan
aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah
marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
"Siluman
betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan
hidup!" Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.
"Tidak
perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian
orang-orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah
menjadi kilat menyambar-nyambar.
Lima orang
itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi,
seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah
dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan
menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima
batang tubuh para anggota Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka
ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!
Melihat dara
itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali
sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya
habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak
ada setetes pun, tiga orang anggota Koai-tung-pang menggigil kakinya.
"Mo-kiam
Lihiap..." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut.
"Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di
antara mereka.
Kwi Hong
tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. "Kalian sudah mengenalku?"
"Baru
sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap
siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami.
Kami adalah anggota-anggota Koai-tung-pang di Bukit Serigala, sudah lama kami
selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan
kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggota mereka tewas, tentu mereka
akan ke sini dan kami akan celaka."
"Lima
orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?"
"Lihiap
tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang
bersembunyi dan melihat-lihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata
melakukan penyelidikan. Kini orang itu tentu telah melapor dan kami pasti akan
celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang
kuat, lima orang anggota mereka tewas, sungguh hebat sekali..." Pemimpin
tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.
"Hemmm,
kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama
sekali bukan. Aku tak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya
dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena
tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena
mereka menghinaku. Sudahlah!" Sebelum tiga orang anggota Koai-tung-pang
itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga orang
itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka...!" kata pemimpin
mereka, "Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul,
paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka
tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita
akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh
Pek-eng-pang."
"Lebih
baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka.
Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk
cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Serigala yang tidak
jauh dari tempat itu.
Kwi Hong
sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan
lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang
berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah
lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua
memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa
mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang
dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah
menjadi marah sekali.
"Dia
inilah orangnya!" Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah
yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggota
mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka sudah
tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah
engkau telah membunuh mati lima orang anggota kami?"
"Kalau
benar demikian, kalian mau apakah?"
Saikong itu
menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak
menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong
sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggota kami?"
"Mereka
telah menghinaku, tentu saja kubunuh."
"Perempuan
rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka
bumi!" Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya.
Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
"Awas
pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat
betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan tetapi
teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu
pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggota
terpelanting mandi darah!
"Kurung
dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri
menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar
dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah
bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi Hong
bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena
datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya
dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang
panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.
Tiba-tiba
tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah
rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ
dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua
orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
"Pek-eng-pangcu
(Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari
kami bantu kalian!"
Kini delapan
orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja
gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat
dan pengecut!" Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke
orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan
ginkang-nya.
"Singgg-trang-trang-trakk!"
Tiga batang
tongkat patah-patah dan dua orang anggota Koai-tung-pang roboh dan tewas
seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Namun teman-temannya mengurung ketat.
Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang
mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau
sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biar pun tidak
terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.
"Wuuuttt...
singgg... aughhh...!"
Teriakan
saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan,
disusul robohnya dua orang anggota Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan
mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang
memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi
Hong, hanya agak lebih panjang.
"Nona
Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"
Biar pun Kwi
Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap
membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak,
"Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ha-ha-ha,
betapa pun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita
berlomba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara
murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"
"Boleh
kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi
Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para
pengeroyok.
Wan Keng In
tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan bagai naga sakti
mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis
pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang
membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup
di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang
hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok
termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang
berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun tidak bernoda darah biar pun
Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!
"Ha-ha-ha!
Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian
kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali
membuktikan apakah gadis murid susiok-nya ini akan mampu menandinginya.
Di lain
pihak, Kwi Hong juga heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu
pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan
bersikap ramah. Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan
Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih
berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,
"Wan
Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari
ibumu untukmu."
Berkerut
alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana
perginya ibunya, sungguh pun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
"Di
mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak
lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai
yang menjijikkan ini?"
"Terserah
kepadamu," jawab Kwi Hong singkat.
Keng In
kemudian meloncat dan berlari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong
menyusulnya. Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar.
"Nah,
di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"
Kwi Hong
memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hmm, menghadapi engkau yang
memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku."
Keng In
mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa.
"Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia
menyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.
"Aku
bertemu dengan ibumu di Pulau Es..."
"Apa?
Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak
disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
"Benar,
tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han
bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami
isteri."
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya
ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara
hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun Keng In
sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan
perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat
muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
"Apakah
pesan Ibu kepadamu untukku?"
Kwi Hong
benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya
dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa
dan bahkan ramah.
"Bibi
Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu supaya
engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."
Keng In
tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apa lagi
kalau tersenyum seperti itu.
"Tentu
saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku
yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku
bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah
keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak
tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apa
lagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin,
berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kau
terimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu."
Kwi Hong
tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi
seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan
membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali
bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi
adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan
ibumu. Nakalmu bukan main..."
"Wah,
Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta
ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di
atas tanah depan kaki Kwi Hong!
"Ihhh!
Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan mereka
berdua lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari
tanah.
"Enci
Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari
aku di sini!"
Berat rasa
hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun
Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka
mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka dia
menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua
pembantunya."
Keng In
mengerutkan alisnya. "Hemmm... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci
Kwi Hong?"
"Aku
mau bunuh mereka!"
"Ehh!
Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Kenapa kau hendak membunuh
mereka?"
"Mereka
itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku
sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku
telah melakukan kesalahan besar terhadap pamanku."
"Hemmm,
begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku
akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang di
antara mereka."
"Apa?
Benarkah itu, Keng In?"
"Benar,
aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak
buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu
bersembunyi di tempat sunyi itu."
Berseri
wajah Kwi Hong. "Benarkah? Bagus, mari kau antar aku ke tempat itu, Keng
In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak
yang dikejar-kejar pemerintah."
"Mari,
Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan?
Sudah kau maafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"
Kalau
memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar
untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena
keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan
berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah
menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apa lagi pemuda itu jelas ingin
membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
"Aku
tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."
Wajah yang
tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke
pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa
hari saja dari situ.
***************
Seperti
telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan
Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu perahu besar yang ditumpangi oleh
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan.
Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan
kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah
murung dan hati kesal.
Usaha
pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali,
dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh
Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak
memiliki pegangan untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami
pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehingga
mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang
kalah. Seperti anjing setelah mengalami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang
terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan
dan merendahkan dari pada diampuni lawan setelah mereka kalah!
Memang
mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan
kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini selagi mereka bingung ke
mana harus pergi dengan perahu mereka karena amat berbahaya untuk mendarat
setelah mereka menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang
mengamuk dan menyerang perahu mereka!
Perahu itu
sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya.
Akan tetapi, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang setinggi
anak bukit, perahu itu tak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga.
Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian
tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja
menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini,
dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya
perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong Ji Kun
dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha
menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika
perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah
itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan
lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram
sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa potong papan
besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja.
Dalam
keadaan hampir pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung itu,
terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh tinggi
besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing.
Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok,
dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.
Berkat
pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan perahu
yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah
badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang
berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil
setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil
mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan tenaga habis
dan hampir mati kelaparan!
Kini mereka
sudah hampir dua pekan berada di goa-goa pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka
sudah pulih dan pada siang hari itu ketiga orang bekas pembantu Koksu
bercakap-cakap di depan goa sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas
sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
"Sudah
lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul," kata Liong
Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis
menjadi pemimpin mereka.
"Dalam
badai seperti itu, biar pun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan
banyak berdaya," Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih
ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali,
maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia
dilemparkan ke dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
"Agaknya
dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan," kata Gozan. "Lebih
baik kita tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada
nelayan yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir
sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan
itu."
"Tak
usah khawatir," Liong Khek berkata, "Perahu kecil itu hanya
ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia
sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada
hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi,
andai kata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan
biasa?"
"Sekarang
lebih baik kita lanjutkan rencana kita," kata pula Gozan. "Kita dapat
pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi
Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan
tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga
yang menjaga di Tembok Besar. Jalan kedua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu
dan kemudian terus ke barat melalui Mancu."
"Melalui
Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?"
"Justeru
karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira
bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol, maka
bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja
melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol." Gozan yang
sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan
coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.
"Kalau
begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!" kata Liong Khek sambil menarik
napas panjang.
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring merdu, "Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan
pergi ke neraka!"
Tampak dua
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng In!
Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan
bersedekap (terlipat di dada).
Mendengar
ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah
meloncat berdiri. "Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu
itu?" Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.
"Aku
datang untuk membunuh kalian! Mana dia Si Keparat Bhong Ji Kun? Suruh dia
keluar!"
"Dia...
mungkin sudah mati. Perahu kami pecah dihantam badai dan yang dapat
menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh
paman Nona. Kami telah dimaafkan..."
"Mungkin
Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian
lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!" Sambil berkata
demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya.
"Singggg...!"
Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.
Tiga orang
itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih
berdiri tenang dan tersenyum-senyum. "Wan-taihiap engkau adalah bekas
sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak
memaksa kami bertanding."
Wan Keng In
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat
dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh.
Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan
menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!"
Tiba-tiba
tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut
dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat
tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas
juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan
mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh,
lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!
Tiga orang
itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka
hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar
biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang
kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja
melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.
Biar pun
mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai
sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apa lagi
mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata
itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu
silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil
menyelamatkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di
punggung. Ada pun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri
sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing
baru. Biar pun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk
dipergunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh
ini.
Melihat
betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan telah
berdiri memasang kuda-kuda dengan dua lengan dikembangkan seperti seorang yang
kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan
membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
Akan tetapi
Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata mereka.
Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan
terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata
kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.
Kwi Hong
maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang menangkis
sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk
menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam,
cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan
serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong
Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.
Kwi Hong
tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biar pun orang Mongol itu bertangan
kosong, akan tetapi dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya.
Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia
selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan
menyergapnya dari belakang.
Keng In
hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa
yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah
jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan
kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan
wajah yang cantik dari gadis itu.
Pertandingan
itu berjalan seru dan biar pun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat
mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi,
akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jeri menghadapi keampuhan
Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mukjizat itu. Betapa pun juga,
tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga
orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!
Lima puluh
jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka, kecuali
golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa
kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan
menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk membalas dan
merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka
hanya berarti membunuh atau dibunuh!
Pada saat
untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha
menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya mengacau untuk
memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang
menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek menggerakkan pancingnya
yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu!
Kwi Hong
memang sudah menanti hal ini terjadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan
sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali
pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya
menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan
aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan
kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!
Kwi Hong
mengerahkan sinkang, menarik tali pancing dengan tangan kiri. Ketika sepasang
golok menyambar, kembali dia memutar pedang dan melepas tali pancing dengan
tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya! Tentu saja Liong
Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak
karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu
sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang,
sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah
mencengkeram ke arah pinggang!
Kwi Hong
tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia
tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu
masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan
raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul
ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok
itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi.
“Krakkk!”
terdengar suara ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus
membabat ke belakang.
"Crokkkk!
Aughhhh...!" Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak
akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari
tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!
"Ihhhh!"
Kwi Hong bergidik, merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, kemudian
membuangnya ke samping.
"Brettt!"
Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam
hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya yang
putih bersih itu tampak!
Sambil
menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan
pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang bagai kilat menyambar
di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan
ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan pinggang
hampir terpotong!
Liong Khek
menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat.
Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun
menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah
menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sinkang ke arah dada dara itu.
"Heiiittt...!
Blessss! Aduhhh...!"
Dengan
kecepatan mengagumkan Kwi Hong telah merubah kedudukannya menjadi setengah
berjongkok sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, lalu dari bawah
pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek sampai menembus
punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil
menarik kembali pedangnya hingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai
pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa bersambat lagi.
Terdengar
orang bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!"
Mulutnya
memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup
tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar sapu tangan
sutera dan menggunakan sapu tangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang
robek.
Kwi Hong
menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut,
menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi
muka dan... tertawa!
"Kau
hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?"
"Masih
belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah
Bhong Ji Kun!"
"Akan
tetapi agaknya kau kalah duluan oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi,
perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat."
Kwi Hong
bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Sayang sekali kalau begitu."
"Aku
tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi aku tidak mau turun
tangan membantu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu
tentu kau akan kecewa."
Kwi Hong
tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan
melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di
hatiku."
"Eh,
kasihan kepadaku, Enci Hong?" Keng In benar-benar merasa heran.
"Mengapa engkau merasa kasihan kepadaku?"
Mereka
bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka
berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan
sepanjang pantai laut.
Tiba-tiba
Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu. "Keng In, bukankah engkau mencinta
Milana?"
Keng In
terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi
dia dapat menekan perasaannya. "Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta
Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana
adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin...?"
"Bukan
hanya itu saja." Kwi Hong menghela napas.
Gadis itu
merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pamannya dan semua
orang membencinya, dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin.
Kini, sebelum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang
bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang
dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan
kekecewaannya.
"Bukan
itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang..."
"Ehhh...?"
Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong
mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya
Keng In sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi
Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! "Diculik...
siapa...?"
"Entahlah,
aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, tetapi melihat perubahan pada
dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga
bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng
In."
Dapat
dibayangkan betapa lega hati Keng In. "Eh, ada apakah lagi yang lebih
hebat dari berita hilangnya Milana itu?"
"Ada
yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku..., bahwa Milana
telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng."
Berita ini
benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya seolah-olah
ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun
Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata
telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan tetapi dia
memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya sendiri sehingga
dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang
yang berduka.
Sampai lama
mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang
pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.
"Enci
Hong... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?"
"Tidak
mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan
dijodohkan denganku..."
Keng In
menoleh dan menatap tajam pada wajah yang menunduk itu. "Kau... kau juga
mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong
mengangguk tanpa menoleh hingga ia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat
wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera
terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar
berniat jujur dan baik. "Betapa pun juga, Enci Hong. Engkau adalah
keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya
sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke
mana dia dibawa pergi."
Sekarang Kwi
Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran. "Kau...? Hendak mencari
dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau
membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli
karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus
mencari Bun Beng. Biar pun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus
menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es."
"Kalau
begitu marilah kita mencari mereka, Enci Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis
berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali
ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan
bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!"
Tentu saja
Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan
mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Ia tidak mengartikan lain dengan sebutan
‘musuh-musuh kita’ maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas
kepala dan dengan wajah berseri berseru, "Siang-mo-kiam akan menggegerkan
dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!"
Siang hari
itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang
yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang
tadi mereka beli di dusun terakhir di luar hutan. Keng In memilih daging-daging
yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang
sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas
api unggun.
"Sayang
tidak ada nasi," kata Kwi Hong.
"Makan
daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan
arak," kata Keng In.
Maka
makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia
merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia
merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng
In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak
seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng
seorang laki-laki di dunia ini, sungguh pun sukarlah menemukan keduanya!
Setelah
perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepalanya agak
ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong
duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali,
melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan
dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadari lagi dia telah tertidur
sambil menyandar batang pohon!
Malam hampir
tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. "Auggghhh... kepalaku
pening..."
Keng In
segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka mata,
memandang heran. "Di mana aku...? Kau... kau...?"
"Enci
Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa...?"
"Ahh,
Keng In... hampir aku lupa kepadamu... entah, kepalaku pening... aku
bingung..."
"Tenanglah,
Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum
obat ini..." Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum,
memberi gadis itu minum obat ini.
Kwi Hong
yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh
kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepalanya pening dan pandang
matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama kemudian dia menjadi pulas.
Melihat dara
itu sudah tidur dengan nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya
mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih
banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar
baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari
itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan
kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga
mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya!
Biarlah dia
akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun
Beng yang terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya
tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan
obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih
banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena
hatinya lega, maka tidurlah Keng In.
Pada
keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan
kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia
dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya
hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar
suara orang memanggil.
"Kwi
Hong...!"
Kwi Hong
menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biar pun dia tidak ingat
apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu
menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!
Melihat
munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia
membentak sambil meloncat berdiri, "Siapa kau?"
Pemuda
bercaping bundar itu terbelalak heran. "Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku,
kepada laki-laki yang kau cinta dan yang mencintamu? Kau lihatlah wajahku,
lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?"
Kwi Hong
tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini,
akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang mengenal
pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak
ingat lagi.
"Aku
tidak tahu... aku tidak ingat... siapakah engkau...?"
"Kwi
Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!"
Mendengar
nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. "Bun... Bun Beng?! Ahhh,
Bun Beng...!" Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.
Pemuda itu
cepat berlutut di depannya, melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya dengan
mesra. Biar pun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali
sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi
mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang takkan pernah
terlupa olehnya.
Otomatis,
karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia kehilangan ingatan, dan kini
seolah-olah memperoleh obat penawar yang menyejukkan, kedua lengannya balas
memeluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan Kwi Hong terisak penuh rasa girang
dan lega. Pemuda itu memegang dagunya, mengangkat muka, dan ketika pemuda itu
menciumnya, mencium pipinya, hidungnya, mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan
suara rintihan terharu dan memejamkan kedua matanya!
Sebelum
kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, terutama sekali
karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya
untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan
bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih olehnya, maka cintanya
terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada
Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih mencengkeram bawah
sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan
menciumnya. Tanpa dorongan rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan
menerimanya begitu saja pencurahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya,
keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama
sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya
bergerak membalas ciuman pemuda itu dengan gairah yang meluap-luap.
"Kwi
Hong... ahhh, Kwi Hong... kekasihku... hanya engkaulah wanita yang
kucinta...!" Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan
membawa Kwi Hong rebah di atas rumput.
"Bun
Beng... ohhh, Bun Beng...!" Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali
tidak peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu
terhadap dirinya.
Dia menyerah
bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh kerelaan, bahkan dia
membantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih sayang pemuda ini.
Maka terjadilah hal yang tak dapat dielakkan lagi dalam keadaan seperti itu.
Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru keluar dari
sarangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta birahi yang berlangsung
pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu birahi yang terjadi
atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguh pun Kwi Hong melakukannya
dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia telah menyerahkan
tubuhnya kepada orang yang dicintanya, Gak Bun Beng, dan tidak akan merasa
menyesal akan apa pun yang menjadi akibatnya.
Ada pun
pemuda itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan
Wan Keng In, mula-mula menggunakan siasat ini, merampas ingatan Kwi Hong dengan
obat pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata
untuk menikmati kemesraan tanpa perkosaan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang
dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng!
Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah
menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi
penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan
tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun
Beng ke pecomberan.
Setelah
mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, pengalaman pertama
selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak
disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia
bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong
menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua
tangan ke leher laki-laki yang telah duduk di dekatnya, menarik muka yang
dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.
"Hemmm...,
Bun Beng... aku merasa berbahagia sekali...!"
Keng In
tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. "Hayo bangunlah, kita mandi di
telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan."
"Eh, ke
mana?" Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya
yang awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan menambah
keaslian kecantikannya.
"Ke
mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biar pun belum
resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku."
Kwi Hong
menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingat lagi... di mana rumahmu...
akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan selalu
merasa bahagia, biar kau bawa ke neraka sekali pun!"
Keng In
merangkul dan kembali mereka berciuman. "Kwi Hong... pujaan hatiku...
kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku... aku cinta
padamu, Kwi Hong...!" Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In
karena dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang
lain! Dia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong!
Sudah
beberapa kali dia berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan mau pun dengan
suka rela karena kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani
saja. Anehnya, setelah apa yang terjadi, setelah merasa sampai ke dasar dirinya
betapa Kwi Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang
mesra, agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah
cintanya pula!
Sambil
tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka
mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang
lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali
kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuatan mereka di
bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, seperti sepasang
pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta
ini.
Keng In yang
cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan ingatannya
kembali lagi, lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau dia akan
kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keadaan menjadi terbalik sama
sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat perampas ingatan
ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan perjalanan cepat,
hanya diseling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.
Keng In
ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin
menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan
Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat
itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya sekali. Kwi
Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar. Maha besar.
***************

Biar pun
Milana masih dapat mempertahankan harga dirinya dan menolak dengan keras ajakan
Keng In yang menyamar Gak Bun Beng untuk bermain cinta, namun dara ini merasa
berduka sekali. Sepanjang ingatannya, kekasihnya yang bernama Gak Bun Beng itu
adalah seorang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan. Akan tetapi
siapa kira begitu datang pemuda yang dirindukannya itu hendak melakukan
pelanggaran yang amat merendahkan dirinya! Sepeninggal Bun Beng malam itu, dia
menangis dan berduka.
Biar pun dia
terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seorang yang seperti
boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena sebelum
pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang dipimpin oleh tokoh Pulau
Neraka, Si Gundul Kong To Tek untuk setiap hari memberi obat perampas ingatan
itu dicampurkan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.
Pada suatu
pagi, Milana duduk termenung seorang diri di belakang pondoknya di Pulau
Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong keponakan
dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In! Andai
kata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang
memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati
risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang keadaannya sama
dengan dia.
Tiba-tiba
muncul Kong To Tek. Biar pun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi
Kong To Tek bukan merupakan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah
yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke
mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa
pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.
"Nona,
Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini," Kong To Tek berkata kepada
Milana sambil menyeringai. "Dan Nona diharapkan menemuinya di sana."
Terjadi
perang di dalam pikiran Milana. Tetapi akhirnya, cinta kasih yang sebetulnya
tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia mengangguk. "Di mana
dia?"
"Di
dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona."
Milana lalu
berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan keadaan di Pulau
Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi saja
di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang berbicara
dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang bersendau-gurau
dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela dari kamar
tunggal pondok kecil itu.
Kamar itu
terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di dalam kamar. Dia
melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain
cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang seperti telah
dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adegan yang
selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria
satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak
tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak tertahan, membalikkan tubuhnya dan
lari dari tempat itu!
Dari dalam
kamar di pondok kuning itu, biar pun dia sedang berkasih-kasihan dengan mesra
bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa siasatnya
berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam-diam dia tersenyum bangga
ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya. Milana tentu
takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah terjadi dua hal
itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya berzina, kedua, Bun
Beng telah bermain cinta dengan wanita lain!
Setelah
berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan
bekal kebencian yang meluap kepada Bun Beng! Dan dia sendiri... dia sudah puas
dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang masih amat membingungkan dan menggelisahkan
hati Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin
kalau selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti
sekarang ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus
diberikan, menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul-betul!
Akan tetapi, kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia
telah menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang
akan terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia
takut kehilangan wanita yang dicintanya!
Keng In
mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih-kasihan dan Kwi
Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada
sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia
pergi ke pondok Milana, memakai caping lebar.
Milana
sedang duduk menangis di dalam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang
dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bangkit berdiri.
"Manusia
hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!"
Keng In
membelalakkan mata dan kelihatan terkejut. "Milana... kekasihku, mengapa
kau marah-marah kepadaku?"
"Jahanam,
jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat
dimaafkan. Namun apa yang telah kau lakukan di dalam pondok kuning bersama
perempuan lacur itu?"
"Milana!
Perempuan lacur yang mana kau maksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa
kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?" Keng In sengaja menekankan nama ini ke
dalam ingatan Milana.
"Aku
tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perempuan tak tahu
malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu.
Pergi!"
"Milana!
Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus
menolak? Gak Bun Beng bukan laki-laki yang suka menolak cinta seorang wanita.
Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?"
Milana
kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia
mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?
"Siapa?
Ayahku...?"
"Ayahmu
Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!"
Disebutnya
nama ini seolah-olah merupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana.
Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah
berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama
ini, biar pun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas
dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan
keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.
"Keparat,
kau telah menghina ayahku!" Tiba-tiba kaki Milana menendang dan sebuah bangku
melayang ke arah muka Keng In.
"Haiii!"
Keng In memukul bangku itu.
"Brakk!"
Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana sudah menerjang maju dengan pukulan
tangannya. Keng In kaget sekali, tidak mengira bahwa Milana menyerangnya dengan
marah seperti itu. Dia cepat mengelak dan meloncat keluar, di hatinya dia
tertawa girang. Milana sudah mulai membenci Gak Bun Beng! Karena tidak ingin
melayani Milana yang mengamuk itu, Keng In cepat berlari kembali ke pondok
kuning.
Akan tetapi
tiba-tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong sudah
berdiri di depan pondok dengan pedang Li-mo-kiam di tangan dan mukanya merah,
sepasang matanya berkilat! Keng In terperanjat, dan bulu tengkuknya meremang.
Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia tidak
memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana tadi? Ah,
tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping atau pun
tidak! Akan tetapi mengapa?
"Wan
Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana
padaku!" Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li-mo-kiam di tangannya.
Keng In
terbelalak. Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua
pekan ini setiap hari berenang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan
wanita ini selalu menganggapnya Gak Bun Beng. Kenapa kini tiba-tiba menyebutnya
Wan Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah
menyediakan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!
Memang amat
mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi dengan diri Kwi Hong
ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih tidur
pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang pendek
menyelinap ke dalam kamar itu, membuang isi cawan minuman dan menukarnya dengan
benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Bayangan itu lalu
menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang lalu
terbangun.
Kwi Hong
memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja.
"Bun
Beng...?" Dia memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan
itu dan diminumnya. Tiba-tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi
terbanting jatuh lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!
Bayangan
pendek yang bukan lain adalah seorang kakek tua renta, Bu-tek Siauw-jin, masuk
ke kamar itu dan menggeleng kepala sambil mengeluarkan suara
"ck-ck-ckk!" Dengan perlahan dia lalu mengurut-urut punggung muridnya
itu, di sepanjang tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.
Kwi Hong
siuman, bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aihhh, di mana
aku...?"
"Kwi
Hong..."
Dia menoleh,
terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia meloncat turun
dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.
"Suhu!
Apa artinya ini? Di mana teecu? Dan... dan... Bun Beng..." Gadis ini telah
pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu-tek Siauw-jin dan urutan
tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka
dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.
"Kwi
Hong," suara Bu-tek Siauw-jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas
dan sama sekali tidak tampak senda-guraunya, bahkan alisnya yang putih itu
berkerut. "Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka."
"Ehhh...?
Apa teecu mimpi...?" Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi
semua pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun hanya mimpi?
"Tidak,
kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In,
dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!" Kakek itu
berkelebat dan lenyap.
Mendengar
nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut.
Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya membunuh tiga orang
musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan
perjalanan bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana
dia berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun
Beng? Betapa pun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan
pakaiannya, menyambar Li-mo-kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan
Keng In yang datang, dia segera menegurnya.
"Enci
Kwi Hong... kau... kau... bagaimana bisa tahu?"
"Tak
perlu kau ketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta
kau segera membebaskannya agar dapat secepatnya pergi keluar dari Pulau Neraka
ini bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku
takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?"
Keng In
menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa Gak
Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia
sendiri!
"Oohhh
dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dulu ketika kau melakukan perjalanan bersamaku, di
tengah jalan aku bertemu dia dan... dan..., aku mendengar bahwa Milana diculik
orang maka aku titipkan kau kepadanya dan aku sendiri lalu mencari Milana,
berhasil dan kubawa ke sini... ada pun... ada pun dia itu..."
Keng In
menjadi bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong secara mendadak kembali
pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urusan menjadi berbalik arah! Kini
dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya! Maka dia menekan hatinya dan
mengambil keputusan untuk terang-terangan saja karena kalau tidak tentu Kwi
Hong juga segera pergi meninggalkan dia!
"Begini,
Kwi Hong... dengarlah baik-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa
Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodohkan menjadi
calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan
tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa
kasihan, dan... dan kita berdua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah telah
saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan
menikah. Aku... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi
Hong."
Muka Kwi
Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai
mengingat-ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali.
Pengakuan yang kedua lebih cocok.
"Wan
Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?"
Dengan nada
suara sedih penuh kekhawatiran, Keng In menjawab, "Bun Beng tidak ada, Kwi
Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi Keng In
adalah milikmu seperti engkau milikku, Kwi Hong."
Wajah itu
menjadi makin pucat, jantungnya berdebar tegang, dan hatinya penuh tanda tanya.
"Apa...? Apa maksudmu?"
"Kwi
Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain,
tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai
Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan
menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat
menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan
mampu menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta
padamu."
"Apa...?
Kau gila, Keng In!"
"Kita
berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita
akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi
isteriku, selama dua pekan ini... bukankah kita berdua telah saling mencurahkan
cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra... Ahhh, Kwi Hong, dapatkah kau
melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu dihentikan
untuk mengejar yang tak mungkin didapat?
Kini wajah
Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. "Kau... jadi kau...
kau yang selama ini... kusangka Bun Beng...?"
"Terpaksa
aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan dirimu, cintamu,
tanpa perkosaan..."
Terdengar
jerit melengking disusul dengan berkelebatnya Li-mo-kiam ketika Kwi Hong
menyerang Keng In. Pemuda ini cepat-cepat menangkis dengan Lam-mo-kiam dan
bertandinglah mereka. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka,
karena keduanya maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu
kini benar-benar beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan
oleh dua orang muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng
oleh Bu-tek Siauw-jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena
dengan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sinkang tenaga Inti
Bumi yang belum dikuasainya benar, dia kini memiliki tenaga sakti yang
mukjizat!
Tiba-tiba
terdengarlah bentakan nyaring. "Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus
membunuhmu!"
Sebuah
caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong. Itu
adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang terlepas ketika dia
diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sinkang
kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana
ini. Karena sambitannya mengandung sinkang, maka caping itu meluncur dan
berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan
dapat membuat putus leher itu.
Akan tetapi
tentu saja Keng In yang lihai tidak menjadi gentar, bahkan menggunakan tangan
kirinya menyambar capingnya itu dan dipakainya lagi! Dia melakukan ini bukan
semata-mata hendak bergurau atau memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk
menyakinkan hati Milana yang menganggapnya Bun Beng itu.
Milana yang
marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang
dijadikan teman bercinta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi
Hong murid ayahnya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena Bun
Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Kedua,
karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjinah bersama murid
ayahnya.
Dengan
kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena dia tidak
mempunyai senjata, kini dia gunakan sabuk itu untuk menyerang Bun Beng. Memang
senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu sabuknya meluncur
ke udara mengeluarkan ledakan-ledakan kecil kemudian menyambar turun ke arah
Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat-cepat dia harus meloncat ke
kanan untuk mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar ujung sabuk. Akan
tetapi sabuk adalah benda lemas, apa lagi berada di tangan seorang ahli, sabuk
itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serangan, dan kalau mengenai
pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman pedang
Lam-mo-kiam.
Kwi Hong
bingung sekali melihat keadaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa
tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sendiri yang
mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau... digauli dan menyerahkan
tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir saja dia
menjerit-jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li-mo-kiam yang
mengamuk dahsyat.
Bantuan
Milana itu ternyata membuat Keng In merasa terdesak juga, akan tetapi pemuda
ini dapat mempertahankan dirinya dengan baik. Baginya, melawan kedua orang
wanita cantik itu benar-benar merupakan hal yang tidak menyenangkan. Yang
dibenci adalah Bun Beng, dan biar pun dia sudah ‘meloncati’ Milana, namun di
lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang mendalam sehingga dia tidak suka
untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi Hong yang sudah menjadi ‘isterinya’
juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu saja dia pun tidak mau melukai, apa
lagi membunuh Kwi Hong. Padahal, kedua orang dara itu menyerang sungguh-sungguh
untuk membunuhnya.
"Huhhh...
gadis-gadis liar...!" Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang
membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.
"Suhu,
jangan...!" Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui-beng Koai-ong
muncul dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh.
Akan tetapi
kakek itu tidak peduli, sambil bersungut-sungut seperti seorang kakek yang
marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti terbang saja dan
kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan
pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.
"Suhu...!"
Keng In kembali berteriak kaget.
"Dessss!"
Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat
Cui-beng Koai-ong bertemu dengan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu-tek
Siauw-jin yang muncul secara tiba-tiba di tempat itu.
Melihat
gurunya sudah muncul menghadapi kakek mayat hidup yang mengerikan itu, Kwi Hong
sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya kepada
Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar-benar
merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.
"Haiii,
mundur kalian, jangan bantu aku!" Dia membentak Kong To Tek dan
teman-temannya, sisa para anggota Pulau Neraka yang sudah maju mengurung hendak
membantu pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu.
Tentu saja
para anggota Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui-beng
Koai-ong sudah bertanding melawan Bu-tek Siauw-jin, mereka pun hanya saling
pandang dengan bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini
mereka tidak berani, karena keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu
Keng In dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan
hati bingung.
Akan tetapi
yang paling bingung adalah Wan Keng In. Dia tidak mengira sama sekali bahwa
akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan serapi-rapinya
telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek pendek sinting yang
kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki kecerdikan yang luar
biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana dengan Lam-mo-kiam di
tangannya dan menggunakan kelincahannya berkelebatan ke sana-sini, otaknya
mulai bekerja dan mempertimbang-timbangkan keadaan.
Kalau
pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang
sudah ‘kumat’ kemarahannya itu tentu tidak mau sudah kalau belum membunuh Kwi
Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum
bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar
biasa itu. Sebaliknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat
bahwa susiok-nya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat
sekali, jika gurunya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita
ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu-tek Siauw-jin, bagaimana dia akan dapat
meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang
berani membantunya menghadapi Bu-tek Siauw-jin.
Sungguh
celaka, pikirnya. Setelah dua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding
sendiri, keadaan menjadi berbahaya baginya. Gurunya menang pun celaka, gurunya
kalah lebih celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar-benar tidak beres!
Kalau tidak cepat-cepat mengambil tindakan yang tepat selagi gurunya dan
susiok-nya (paman gurunya) masih berhantam, tentu akan terlambat. Tiada jalan
lain, dia harus dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum
kedua orang kakek sinting itu saling bunuh!
Dengan
kecerdikan yang dapat membuat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In
lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian
menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat
dan melarikan diri!
"Manusia
hina hendak lari ke mana kau?" Milana mengejar.
"Urusan
di antara kita belum beres!" Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.
Keng In lari
ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia sengaja
melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau, melainkan
juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pantai, pada saat
itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang laki-laki
yang juga memakai caping bundar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya pemuda ini,
diam-diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia hari ini!
Sementara
itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan
girang hatinya. Dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan langsung saja
menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, "Milana...
terima kasih kepada Tuhan... engkau masih dalam keadaan selamat...."
"Kau...?
Kau...?" Milana memandang bengong, sebentar kepada Bun Beng, kemudian
memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari terus dan kini
hanya dikejar Kwi Hong seorang.
"Milana,
kekasihku... aku Bun Beng, lupakah kau...? Apa yang telah terjadi,
Milana?" Bun Beng mendekat lalu memeluk dengan kaget dan heran melihat
kekasihnya itu tak mengenalnya.
"Dessss!"
Sebuah pukulan tangan kanan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta merta
memukul begitu mendengar nama Bun Beng.
"Aihhh
mengapa, Milana?" Bun Beng terjengkang.
Biar pun
secara otomatis sinkang-nya sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun
karena pukulan itu tidak tersangka-sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk
melihat kekasihnya seperti tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya,
Bun Beng terpukul dan sejenak memandang nanar.
Memang
Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan. Gadis ini sendiri bingung
ketika di depannya ada ‘Bun Beng’ lagi padahal Bun Beng sedang dikejar. Maka
tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang mengaku Bun Beng ini.
Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng adalah nama yang
dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya! Setelah memukul,
Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah meloncat ke atas
sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong juga sudah
mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan bagaikan seekor
burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah mulai meluncur
itu.
Melihat
Milana, Kwi Hong lantas berkata, "Milana, kau kembalilah. Dia itu Bun Beng
kekasihmu, sedangkan yang di depan itu..."
"Tutup
mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!"
"Akan
tetapi, Milana..."
"Aku
tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak
peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!"
"Aih,
Milana... aku... aku tidak ada apa-apa dengan Bun Beng..."
Milana
memandang dengan penuh kemarahan. "Apa kau kira mataku ini sudah buta? Kau
mau menyangkal bahwa kau berjinah dengan laki-laki di depan itu?" Dia
menuding ke arah perahu yang ditumpangi Keng In.
Kwi Hong
terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak mungkin
dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain cinta
dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata-kata
Milana menghancurkan hatinya dan betapa pun keras watak gadis ini, karena
merasa betapa dia telah terperosok ke jurang kehinaan, dia menangis
terisak-isak.
Milana juga
menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu
adalah murid ayahnya, Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa
ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang menjadi muridnya sendiri. Dan
Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga dicintanya itu, di depan
matanya sendiri telah berjinah dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya
dan Milana juga menangis.
Dua orang
gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka digerak-gerakkan ombak. Kemudian
keduanya teringat akan Keng In atau yang disangka Bun Beng oleh Milana, maka
tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mendayung perahu dan mengembangkan layar,
melakukan pengejaran kepada perahu Keng In yang sudah amat jauh, tinggal
menjadi titik hitam di depan itu.
Sementara
itu, Bun Beng yang merasa terheran-heran menyaksikan sikap Milana, tidak melakukan
pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak perlu
dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah melarikan
diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu akan timbul
salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyelidikinya kelak, apa yang
menyebabkan Milana marah-marah dan memukulnya seperti itu setelah tadinya dara
itu seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Tiba-tiba
muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan langsung mereka itu
mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal
mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh
yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan
dikalahkannya, ketika mereka mengacau di Thian-liong-pang dan dia menyamar
sebagai ketua Thian-liong-pang.
Dua orang
yang memimpin delapan belas sisa anak buah Pulau Neraka itu bukan lain adalah
Kong To Tek yang kepalanya gundul dan mukanya merah muda, pendek dan gendut. Orang
kedua adalah Chi Song yang juga gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya
merah muda. Melihat dia diserbu dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi
melampaui kepala mereka yang berada di belakangnya, kemudian turun ke atas
tanah sambil berseru, "Tahan senjata! Aku datang bukan sebagai
musuh!"
"Kami
mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In.
Wan-kongcu sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus
membunuhmu!" kata Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman-temannya sudah
mengurung Bun Beng lagi dengan sikap mengancam.
Bun Beng
mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, "Kalian ini apakah tidak
dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan
Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang telah menjadi
anggota keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya
yang terjadi di pulau ini?"
"Tidak
perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu...!"
Kong To Tek
dan Chi Song sudah menerjang maju memelopori teman-temannya dan begitu maju
keduanya telah menggunakan pukulan-pukulan maut mereka. Kong To Tek Si Gendut
pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukan dengan
tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok dan
mulutnya mengeluarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng.
Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja, tidak
mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan mengenai perutnya, ia mengerahkan
sinkang-nya.
"Capppp!"
Tangan
beracun itu memasuki perut, tersedot sampai sebatas pergelangan tangan dan
tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain
tangannya terasa panas sekali, juga hawa beracun itu seperti tertolak dan
menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda
itu.
"Haiiiittt!"
Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti terbang dia
mengirim sebuah tendangan ke arah kepala Bun Beng.
Tentu saja
pemuda ini tidak membiarkan kepalanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia
menampar, mengenai tulang kering betis kaki yang menendang.
"Krekkk!"
Tubuh Chi
Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah.
Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah
melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek
terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh-aduh karena lengannya seperti
dibakar dan dalam keadaan lumpuh!
Para anak
buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin mereka
roboh. Mereka adalah orang-orang yang tak mengenal takut, maka sambil
berteriak-teriak mereka lari menyerbu.
Pada saat
itu terdengar teriakan-teriakan melengking, sedemikian hebat teriak yang
mengandung khikang kuat sekali itu sehingga belasan orang Pulau Neraka itu
bergelimpangan dan seperti lumpuh sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng
sendiri cepat mengerahkan sinkang-nya karena lengkingan dahsyat itu benar-benar
luar biasa sekali. Dia tidak lagi mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan
cepat dia melompat dan lari ke arah suara melengking yang luar biasa tadi.
Ketika dia
tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengkingan dahsyat
tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak memandang
peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa kakek pendek
yang sakti, yang bersama-sama Pendekar Super Sakti telah menurunkan ilmu tinggi
kepadanya, yaitu kakek Bu-tek Siauw-jin yang berkali-kali telah menolongnya,
sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang mengerikan
sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak kalah oleh Si
Kakek Pendek yang sinting!
Dan memang
pertandingan antara kakak beradik seperguruan itu hebat bukan main. Selama ini,
mereka tidak pernah bentrok, karena biar pun keduanya adalah datuk-datuk Pulau
Neraka, namun keduanya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu-tek Siauw-jin
adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan
Cui-beng Koai-ong adalah seorang yang suka bertapa, terutama bertapa di bawah
tanah-tanah kuburan bersama kerangka dan mayat-mayat. Dengan cara
masing-masing, keduanya menambah ilmu mereka sehingga tidak lumrah manusia
lagi. Mereka memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu
bahwa masing-masing memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk
bentrok, apa lagi karena mereka masih saudara seperguruan.
Pertentangan
dalam batin mereka baru timbul setelah Cui-beng Koai-ong mengambil Wan Keng In
sebagai murid. Bu-tek Siauw-jin juga melakukan perbuatan tandingan, mengambil
Kwi Hong sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan
ilmu sinkang-nya Tenaga Inti Bumi kepada Gak Bun Beng. Padahal hal-hal itu
merupakan pantangan bagi datuk-datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu
terjadi ketika Bu-tek Siauw-jin melihat suheng-nya itu hendak membunuh Kwi
Hong, maka dia muncul dan melawan. Andai kata Kwi Hong terbunuh dalam
pertandingan melawan Wan Keng In umpamanya, kiranya kakek pendek ini tidak akan
mau turut campur.
Pertandingan
antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan
ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan
mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sampai seratus jurus belum
juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi penasaran dan mengeluarkan pekik
melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai
membuat para anak buah Pulau Neraka terguling dan yang menarik perhatian Bun
Beng tadi.
Setelah
mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah dari tempat mereka
dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan membuat orang tertawa
geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter,
dan mereka itu menggerak-gerakkan kedua tangan dengan gerakan memukul dan
menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan tanpa ditangkis pun
pukulan itu tidak akan mengenai badan.
Akan tetapi,
Bun Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan-pukulan
jarak jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai
terasa oleh dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani
melerai atau mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Kini tampak
kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorongkan ke depan dengan
dahsyat sekali. Bu-tek Siauw-jin juga mendorongkan kedua lengannya ke depan,
menyambut serangan suheng-nya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan tahu
betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mukjizat yang amat kuat saling bertemu
di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak tergetar
dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap dilonjorkan saling
dorong dan tubuh mereka tidak bergerak.
Perlahan-lahan
tampak uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng
melihat betapa muka Bu-tek Siauw-jin penuh dengan peluh yang besar-besar
menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya
tersenyum. Ada pun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan,
akan tetapi tidak tampak peluh di mukanya walau pun uap yang mengepul dari
kepalanya sama tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sute-nya.
Pertandingan
mengadu tenaga sakti ini benar-benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri
sehingga tanpa disadarinya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia
tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman-teman mereka yang
sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli-ahli silat tahu apa artinya
keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang dengan hati tegang, tidak
bergerak bahkan ada yang menahan napas.
Bun Beng
yang sudah memiliki sinkang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu
terdesak hebat, napasnya sudah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam
pertandingan ini. Akan tetapi, Si Mayat Hidup itu pun harus mengerahkan segenap
tenaganya dan andai kata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun
tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang.
Dia tidak berani mencampuri, apa lagi karena dalam keadaan seperti itu, kalau
dia mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi
kedua orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas
seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.
Tiba-tiba
kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya
dan darah merah menyembur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga
terakhir ini membuat Bu-tek Siauw-jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh
terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian
tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun menginjak ke arah tubuh
sute-nya.
Bu-tek
Siauw-jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya bergerak
menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh
terbanting, dada Bu-tek Siauw-jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki
kanan Cui-beng Koai-ong hancur oleh pukulan sute-nya.
"Heh-heh...
mampus kau, sute... heh-heh... aughhh..." Cui-beng Koai-ong terkekeh dan
menuding ke arah sute-nya.
"Ha-ha...
Suheng... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih...?" Bu-tek
Siauw-jin juga tertawa sambil menuding ke arah suheng-nya.
Cui-beng
Koai-ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sute-nya, kakek ini tewas
seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan
tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul
hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki
kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara
mereka sendiri, sebuah pertandingan yang menggetarkan jantung Bun Beng.
Pemuda itu
meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas. Dia
berlutut dekat mayat Bu-tek Siauw-jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai
penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi
dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia
membentak, "Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek
ini!"
Sikap dan
ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu-ragu, apa lagi karena kedua orang
pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding lagi.
Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan serigala
yang berniat mengeroyok akan tetapi ditindih rasa jeri.
***************
Perahu yang
ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In sehingga
akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini mencapai tepi
pantai dan mendarat, Keng in sudah tidak tampak lagi.
"Milana,
dengarlah kata-kataku baik-baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya
engkau masih belum menguasai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang
kita kejar tadi bukanlah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat
yang harus kita bunuh!"
"Bohong!
Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri
bahwa kau... kau telah..."
"Milana,
aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahuilah, kau dan
Gak Bun Beng telah dijodohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali
ke Pulau Es bersama Bun Beng..."
"Kwi
Hong! Tak perlu engkau membujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab, apa
engkau mencinta Wan Keng In?"
"Tidak!
Aku akan bunuh keparat jahanam itu!"
"Nah,
engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan
siapa engkau di dalam pondok itu?"
"Dengan...
dengan..." Kwi Hong bingung dan gugup sekali.
Maklumlah
dia bahwa dia telah masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki-laki dengan
siapa dia bermain cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini
berlawanan dengan pengakuannya bahwa dia membenci dan akan membunuh Keng In.
Tentu saja Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki-laki itu
Gak Bun Beng.
"Sudahlah,
Kwi Hong, aku sudah melihatnya sendiri, tidak perlu kau membohong lagi. Engkau
mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku tidak
peduli lagi!" Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong
memegang lengannya dan membujuk,
"Milana,
apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang
memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar..."
Milana
merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. "Cukup! Aku tidak
sudi lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!" Milana lalu melompat
dan pergi meninggalkan Kwi Hong.
Kwi Hong
menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan kedua
tangan. Dia menangis! "Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak akan
berhenti sebelum dapat membunuhmu!" Dia bangkit berdiri dan melangkah
dengan terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang
tertekan kedukaan.
Milana juga
lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk redam mengingat akan
hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap dirinya di
Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu hendak merayunya
dan mengajaknya bermain cinta, masih dapat dimaafkannya biar pun hal itu
mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan
cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu
birahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjinah dengan Giam
Kwi Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apa lagi mendengar dari mulut Kwi
Hong bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri
seorang laki-laki mata keranjang seperti itu?
Beberapa
hari kemudian setelah melakukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-lahan ingatan
Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap
setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari
seperti biasa. Karena kembalinya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana
tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahulu satu
demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua
orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak
semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu
lagi, sekarang menjadi seorang laki-laki yang dibencinya.
Karena ini,
dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia
dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau
menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak
menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke
kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kaisar yang
hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!
Pada suatu
siang selagi Milana berjalan cepat melalui pegunungan di sebelah utara kota
raja, tiba-tiba muncul belasan orang laki-laki yang rambutnya digelung ke atas.
Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas bahwa
mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki
tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyuruh
dara itu berhenti.
"Nona
harap berhenti dulu!"
Milana
mengerutkan alis dan dia bertanya, "Kalian ini siapa dan mau apa
menghadang orang lewat?"
Si Tinggi
Kurus menjawab, "Kami adalah orang-orang Tiong-gi-pang (Perkumpulan Orang
Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di sini.
Harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona melanjutkan
perjalanan."
Milana marah
sekali. "Kalian perampok?"
Orang itu
menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang dengan sebutan
itu. "Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para perampok
yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang-orang lewat. Akan
tetapi perkumpulan kami membutuhkan biaya-biaya dan dari siapa lagi kalau tidak
dari sumbangan para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita muda melakukan
perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang-ouw dan sudah maklum akan hal
ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa dari sini sampai
kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani mengganggumu,
Nona."
Tentu saja
Milana mengerti dan mengenal perkumpulan seperti itu. Dia adalah puteri bekas
Ketua Thian-liong-pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang-ouw.
Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong-gi-pang ini adalah
perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok-perampok halus. Mereka sebetulnya
adalah orang-orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para
perampok, maling dan lain-lain.
Tetapi
karena mereka itu tidak mempunyai penghasilan tetap dan perkumpulan mereka
tentu saja membutuhkan biaya, maka mereka mengambil cara ini untuk menutup
kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu dengan jalan ‘memungut sumbangan’ dari
para orang lewat di daerah yang telah mereka ‘bersihkan’ itu. Akan tetapi pada
waktu itu, hati dan pikiran Milana sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan
karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang biasanya akan dianggap wajar dan
dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini menimbulkan kemarahannya.
"Bilang
saja perampok, pakai memutar-mutar omongan segala. Kalau kalian minta sumbangan
kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa membagi pukulan dan
tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!"
Dua belas
orang itu adalah laki-laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali
mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapa pun juga,
mereka merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan
hanya pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak
marah ketika dia membentak,
"Bocah
perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi
hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini
tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi
pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!"
"Kalau
begitu, terimalah ini!" Milana yang sedang risau hatinya itu segera menerjang
maju dan mengirim pukulan-pukulan dengan kecepatan luar biasa.
Biar pun Si
laki-laki Tinggi Kurus itu berusaha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah
lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Pukulan bertubi-tubi dari
Milana membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya mengenai
sasaran, pundaknya tertampar dan laki-laki itu terpelanting!
Melihat ini
kawan-kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa dikomando lagi
mereka menyerbu, namun tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan
senjata. Niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan menghadapkannya
kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana mengamuk, akan tetapi dia pun mengerti
bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-orang jahat kejam karena mereka itu
tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya memukul dan menendang
dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan membunuh mereka.
Para
pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihainya gadis
muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu sudah terpelanting ke kanan kiri
dan mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu
Milana melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi,
datang berlari-larian ke tempat itu. Hatinya menjadi gemas, dan dia sudah siap
untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua!
Tiba-tiba
beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. "Berhenti
semua...! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang!"
Mendengar
seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhenti mengamuk
dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-orang ini dia
mengenal beberapa anggota Thian-liong-pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Milana sambil berkata,
"Harap
Nona suka memaafkan kami dan teman-teman kami, karena tidak tahu maka berani
bersikap kurang ajar kepada Nona."
"Hemm,
apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggota gerombolan ini?" tanya
Milana dengan alis berkerut.
"Harap
Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong-gi-pang bukanlah gerombolan
perampok... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua)."
"Haii...?
Sai-cu Lo-mo...?"
"Marilah
Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar
dari Pangcu sendiri."
Berdebar
jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewas ketika Thian-liong-pang
diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai-cu Lo-mo dapat menyelamatkan diri dan
kini kakek ini selain masih hidup, juga sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan.
Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan, dipandang penuh
kagum oleh anggota-anggota perkumpulan Tiong-gi-pang yang bukan bekas anggota
Thian-liong-pang.
Di dalam
hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok-pondok sederhana dan inilah
pusat perkumpulan Tiong-gi-pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang
itu. Ketika Milana berhadapan dengan Sai-cu Lo-mo, gadis ini tidak dapat
menahan kesedihan dan keharuannya. Dia menubruk Sai-cu Lo-mo sambil menangis.
"Bhok-kongkong
(Kakek Bhok)...!" Dia menangis di pundak kakek yang mengelus-elus
kepalanya itu.
Kakek itu
duduk di kursi, kedua kakinya telah lumpuh akibat luka-lukanya ketika
Thian-liong-pang diserbu oleh anak buah Koksu.
"Nona
Milana... aihhh, Nona..." Sai-cu Lo-mo juga mengejap-ngejapkan mata
menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu
menuntun nona itu memasuki pondok. "Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita
harus masih bersukur bahwa para pemberontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu,
dan biar pun Thian-liong-pang sudah hancur lebur, namun namanya masih tetap
baik sebagai pembela negara. Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa
Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk
membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia-sia. Apa lagi terdengar berita
bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada
seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu."
Milana
menghapus air matanya, kemudian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang
setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In,
akan tetapi berhasil mempertahankan kehormatannya sungguh pun dia tidak berdaya
untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan
bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga
pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek
yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika
menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.
"Menurut
kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan
tetapi... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja
berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinahan yang kotor, tetapi dia juga
berjinah dengan Giam Kwi Hong..." Milana menangis lagi.
Dapat
dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah
cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh
Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng adalah keponakannya. Dan
dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh ibu Milana dan yang
membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Milana bukan saja puteri
Kaisar, akan tetapi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti! Dan sekarang, Pendekar
Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu dengan Gak Bun Beng, akan
tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi seorang pemuda berwatak
kotor!
"Nona,
apakah yang kau ceritakan kepadaku benar terjadi? Menurut penglihatanku, Bun
Beng bukanlah seorang berwatak bejat..."
"Kalau
aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat
sendiri dia berjinah dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek.
Akan tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri..." Kembali dia
terisak dan menutupi mukanya.
"Sudahlah,
Nona. Kalau kelak bertemu dengannya, aku sendiri akan menegur dan menghajarnya.
Biar pun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam
tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke
mana?"
"Aku
hendak mencari ibu..."
"Beliau
tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu
ikut bersama ayahmu ke Pulau Es."
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment